Anda di halaman 1dari 6

PENETAPAN KADAR ABU (AOAC 2005)

Mulyo Riska Amelia a, Dwinova Nina a, Azharman Trisno a, S Wittresna Julyanty a, Nurhalimah
Fika Rafika a, Hariyanti Arifatush yuni a (M. Q Aliyyan Wijayaa, Rizqi M. Miftachura )
a

Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, 16680 Bogor, Indonesia

ABSTRAK
Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi yaitu sekitar 500-600C dan
melakukan penimbangan zat yang tersisa setelah proses pembakaran tersebut. Praktikum ini bertujuan untuk
melakukan analisis proksimat yaitu penetapan kadar abu dalam berbagai sampel. Praktikum ini menggunakan
metode pengabuan kering atau prinsip AOAC 2005. Metode pengabuan kering adalah metode pengabuan dengan
menggunakan tanur (500- 600C) selama 3 jam. Data dianalisis menggunakan perhitungan sederhana, berat abu
didapatkan dari selisih berat cawan yang berisi sampel dengan berat cawan. Persentase kadar abu pada biskuit A2
pengulangan 1 adalah 0.81 % sedangkan kadar abu pada biskuit A2 pengulangan 2 adalah 0.93 %. Nilai yang
diperoleh tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan persentase kadar abu biskuit yang ditetapkan oleh Standar
Nasional Indonesia (SNI).
Kata Kunci: Penetapan kadar abu, metode pengabuan kering, abu

1.

PENDAHULUAN

Abu adalah zat anorganik sisa suatu


pembakaran zat organik dalam bahan
pangan. Bahan pangan terdiri dari 96%
bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya
merupakan unsur-unsur mineral. Penentuan
kadar abu dapat digunakan untuk berbagai
tujuan, antara lain untuk menentukan baik
atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui
jenis bahan yang digunakan, dan sebagai
penentu parameter nilai gizi suatu bahan
makanan (Danarti 2006). Terdapat dua jenis
metode pengabuan yaitu metode pengabuan
kering dan metode pengabuan basah, akan
tetapi yang dilaksanakan dalam praktikum
hanya pengabuan kering. Kadar abu dapat
dianalisis dalam suatu bahan pangan.
Kadar abu dianalisis dengan
membakar
bahan
pangan
atau
mengabukannya dalam suhu yang sangat
tinggi. Penentuan kadar abu berhubungan
erat dengan kandungan mineral yang ada
dalam suatu bahan, kemurnian, serta
kebersihan suatu bahan yang dihasilkan.
Pengukuran kadar abu bertujuan untuk

mengetahui besarnya kandungan mineral


yang terdapat dalam suatu bahan pangan
(PERSAGI 2009). Kadar abu merupakan
ukuran dari jumlah total mineral yang
terdapat dalam bahan pangan. Kadar abu
pada suhu yang terlalu tinggi menunjukkan
bahan pangan telah tercemar oleh berbagai
macam zat seperti tanah, pasir, dan lain-lain.
Oleh karena itu ahli gizi perlu
melakukan analisis kadar abu dalam suatu
bahan pangan. Hal tersebut sangat penting
dilakukan karena dengan melakukan analisis
ini kita akan mengetahui kandungan mineral
atau parameter nilai gizi yang ada dalam
suatu bahan pangan.
2.

METODE

2.1.

Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari


kamis, tanggal 27 Februari 2014 pukul
13.00-16.00 WIB di Laboratorium Analisis
Zat Gizi Makro Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.

2.2.

Alat dan Bahan

Percobaan penetapan kadar abu ini


menggunakan alat anatara lain silica disk,
tanur, timbangan analitik, desikator, tang
penjepit, cawan. Bahan yang digunakan
adalah sampel biskuit A2.
2.3.

Prosedur Percobaan

Prosedur praktikum penetapan kadar


abu dilakukan dengan metode AOAC 2005.
Adapun, prosedurnya sebagai berikut :

Tabel 1 Hasil penetapan kadar abu sampel


A2
Pengula
ngan
Sampel

Berat
cawan
(a)

Berat
sampel
(b)

A2 (1)
A2 (2)

26.2700
29.4766

3.0175
3.0119

Berat
cawan
+ sampel
setelah
diabukan
(c)
26.2944
29.5047

Berat
abu
(c-a)
0.0244
0.0281

Contoh cara perhitungan :


% kadar abu = x 100%

Dikeringkan cawan dalam oven pada suhu


105C selama 1 jam

0.0244

= 3.0175 100%
= 0.0081 x 100%
= 0.81 % (pengulangan 1)

Didinginkan cawan selama 15 menit dalam


desikator, dan ditimbang
4.
Dimasukkan sampel 1.5-2 gram, kemudian
dimasukkan ke dalam tanur yang suhunya
600C selama 3 jam

Didinginkan di luar tanur sampai suhu


120C, dimasukkan dalam desikator

Cawan dan abu ditimbang sehingga didapat


berat konstan

Dilakukan perhitungan kadar abu


Gambar 1 Prosedur percobaan penetapan
kadar
abu
3.

HASIL

Sampel
yang
digunakan pada
penetapan kadar abu AOAC 2005 adalah
biskuit A2. Berikut adalah hasil perhitungan
penetapan kadar abu.

PEMBAHASAN

Abu merupakan residu dari suatu


bahan pangan yang berupa bagian anorganik
yang tersisa setelah bahan organik dalam
makanan didestruksi atau dapat diartikan
bahwa abu adalah zat anorganik dari sisa
hasil pembakaran suatu bahan organik.
Penentuan kadar abu ada hubungannya
dengan mineral suatu bahan pangan. Kadar
abu ditentukan berdasarkan kehilangan berat
setelah pembakaran dengan syarat titik akhir
pembakaran dihentikan sebelum terjadi
dekomposisi dari abu tersebut (Sudarmadji
2003). Kadar abu yang diukur bermanfaat
untuk mengetahui besarnya kandungan
mineral yang terdapat dalam sampel bahan.
Kadar
abu
ditentukan
berdasarkan
kehilangan berat setelah pembakaran
dengan syarat titik akhir pembakaran
dihentikan sebelum terjadi dekomposisi dari
abu tersebut (Sudarmadji 2003). Fungsi dari
kadar abu tersebut yaitu mengetahui bahwa
semakin tinggi kadar abu suatu bahan
pangan, maka semakin buruk kualitas dari
bahan pangan tersebut (Sudarmadji 2003).

Kandungan kadar abu ditentukan


dengan cara mengabukan atau membakar
dalam tanur sejumlah berat makanan pada
suhu 500-600 C sampai semua karbon
hilang dari bahan makanan tersebut. Sisanya
adalah abu dan dianggap mewakili bagian
anorganik makanan. Abu dapat mengandung
bahan yang berasal dari bahan organik
seperti sulfur dan fosfor dari protein, dari
beberapa bahan yang mudah terbang seperti
natrium, klorida, fosfor dan sulfur akan
hilang
selama
proses
pembakaran.
Kandungan abu dengan demikian tidaklah
sepenuhnya mewakili bahan anorganik pada
makanan baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Prinsip penentuan kadar abu
adalah dengan menimbang berat sisa
mineral hasil pembakaran bahan organik
pada suhu 500C keatas. Penentuan kadar
abu dapat dilakukan secara langsung dengan
membakar bahan pada suhu tinggi (500600C) selama 2-8 jam dan kemudian
menimbang sisa pembakaran yang tertinggal
sebagai ab (AOAC 2005).
Terdapat beberapa kelemahan maupun
kelebihan pada pengabuan secara langsung,
Kelebihan dari cara langsung antara lain
dapat digunakan untuk penentuan kadar abu
total bahan makanan dan bahan hasil
pertanian, sample yang digunakan relatif
banyak, digunakan untuk menganalisa abu
yang larut dan tidak larut dalam air, asam,
serta tanpa menggunakan regensia, sehingga
biaya lebih murah dan tidak menimbulkan
resiko akibat penggunaan reagen yang
bebahaya. Kelemahan dari cara langsung
antara lain proses pengabuan membutuhkan
waktu yang lebih lama, memerlukan suhu
yang relatif tinggi, dan adanya kemungkinan
kehilangan mineral yang dapat menguap
pada suhu tinggi (Apriantono 1989).
Penentuan kadar abu total dapat
digunakan untuk berbagai tujuan yaitu untuk
menentukan baik atau tidaknya suatu proses
pengolahan, mengetahui jenis bahan yang
digunakan dan memperkirakan kandungan
buah yang digunakan untuk membuat jelly.

Kandungan abu juga dapat dipakai untuk


menentukan atau membedakan buah asli
atau sintesis sebagai parameter nilai bahan
pada makanan. Adanya kandungan abu yang
tidak larut dalam asam yang cukup tinggi
menunjukkan adanya pasir atau kotoran lain
(Irawati 2008).
Penentuan
kadar
abu
adalah
mengoksidasikan senyawa organik pada
suhu yang tinggi yaitu sekitar 500-600C
dan melakukan penimbangan zat yang
tersisa setelah proses pembakaran tersebut.
Waktu lamanya pengabuan tiap bahan
berbeda-beda dan berkisar antara 2-8 jam.
Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan
yaitu tanur yang dapat diatur suhunya.
Pengabuan dianggap selesai apabila
diperoleh sisa pembakaran yang umumnya
bewarna putih abu-abu dan beratnya konstan
dengan
selang
waktu
30
menit.
Penimbangan terhadap bahan dilakukan
dalam keadaan dingin, untuk itu cawan
berisi abu yang ada dalam tanur harus lebih
dahulu dimasukan ke dalam oven bersuhu
105C agar suhunya turun menyesuaikan
dengan suhu didalam oven, barulah
dimasukkan ke dalam desikator sampai
dingin, barulah abunya dapat ditimbang
hingga
hasil
timbangannya
konstan
(Sudarmadji 2003).
Percobaan ini diawali dengan mencari
berat cawan porselen yang akan dipakai
dalam penetapan kadar abu. Pengukuran
cawan porselen bertujuan untuk mendapat
hasil presentase kadar abu. Perhitungannya
adalah dengan mengurangkan cawan
porselen berisi abu dengan berat cawan
poselen kosong dibagi berat sampel dikali
100%. Peneliti melakukan prosedur secara
duplo yaitu pengambilan contoh kerja yang
dilakukan dua kali. Tujuan duplo adalah
agar didapat data yang dapat dibandingkan
dan menghindari kesalahan sehingga harus
mengulang prosedur dari awal (Sumarna
2009).
Hal pertama yang dilakukan adalah
menandai cawan di bagian bawah dengan

menggunakan pena atau spidol. Hal ini


bertujuan agar cawan porselen tidak tertukar
dengan cawan milik kelompok lain. Kedua,
cawan dipanaskan di tungku pemanas
selama 5 menit. Pemanasan pada tungku
pemanas bertujuan untuk mencegah cawan
porselen pecah ketika dimasukkan kedalam
tanur bersuhu 5500 C. Ketiga cawan
dimasukkan kedalam tanur selama 15 menit.
Hal ini bertujuan untuk menghilangkan
kadar air dalam cawan. Keempat cawan
dimasukkan kedalam desikator. Fungsi
deksikator yaitu untuk menyerap air dan
untuk mencegah cawan terkontaminasi uap
air dari udara karena di dalam deksikator
terdapat silika gell yang sifatnya higroskopis
untuk menyerap air di sekitar (Kamal 1998).
Cawan yang telah didinginkan lalu
ditimbang sampai diperoleh berat konstan.
Setelah mendapatkan berat cawan
kosong, hal selanjutnya adalah mengabukan
sampel. Perlakuannya hampir sama dengan
pemanasan cawan porselen kosong. Cawan
berisi sampel dipanaskan pada tungku
pemanas sampai tidak berasap. Pemanasan
pada tungku pemanas bertujuan untuk
menghilangkan karbon yang ada pada
sampel. Karbon ini akan berupa asap,
dikhawatirkan apabila cawan berisi sampel
langsung dimasukkan ke dalam tanur tanpa
dipanaskan terlebih dahulu tanur akan
dipenuhi asap gas karbon tersebut.
Pemanasan pada tungku pemanas ini juga
membuat senyawa pada sampel lebih stabil
(Fauzi 2006). Setelah tidak ada lagi asap,
cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam
tanur bersuhu 5500C. Tujuannya untuk
menghilangkan air baik yang terdapat secara
fisik maupun kimia dan zat-zat organik yang
terdapat dalam sampel sehingga yang tersisa
hanya abu dari contoh tersebut. Abu
merupakan sisa bahan pijar yang tidak
teroksidasi. Sampel akan berbentuk abu,
selanjutnya
cawan
berisi
sampel
dimasukkan kedalam desikator untuk
didinginkan. Hal ini tidak sesuai dengan
pernyataan Sumarna (2009), bahwa cawan

berisi sampel harus dimasukkan kedalam


oven 1050C terlebih dahulu sebelum
dimasukkan ke dalam desikator, setelah
sampel dingin kemudian sampel ditimbang.
Percobaan yang dilakukan dalam
menganalisis kadar abu dari bahan pangan
A2 dengan melakukkan metode pengabuan
kering atau dikenal dengan metode tanur,
dalam analisis kadar abu ini dilakukan dua
kali pengulangan. Hasil yang didapatkan
dari analisis penentuan kadar abu pada
sampel A2 ini kemudian dibandingkan
dengan tetapan kadar abu bahan pangan A2
yang tercantum di dalam SNI.
Hasil pengukuran penentuan kadar
abu biskuit yang digunakan pada
pengulangan 1 adalah 3.0175 gram dan
pengulangan 2 adalah 3.0119 gram. Berat
awal tersebut diperoleh dari hasil berat abu
dari kedua pengulangan sampel tersebut
secara berurutan yaitu 0.0244 g dan 0.0281
g. Berat sisa sampel dalam cawan setelah
diabukan merupakan kadar abu yang
terdapat pada pangan tersebut. Persentase
kadar abu pada biskuit A2 pengulangan 1
adalah 0.81 % sedangkan kadar abu pada
biskuit A2 pengulangan 2 adalah 0.93 %.
Nilai yang diperoleh tersebut lebih kecil jika
dibandingkan dengan persentase kadar abu
biskuit yang ditetapkan oleh Standar
Nasional Indonesia (SNI). Menurut SNI 012973-1992 syarat mutu kandungan kadar
abu dalam biskuit pada umumnya
maksimum 1.6%. Hasil yang diperoleh lebih
kecil dibandingkan dengan SNI dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yang salah
satunya adalah kekurangan dari metode
gravimetri yang digunakan, karena salah
satu kekurangan dari metode pengabuan ini
yaitu memungkinkan terjadinya kehilangan
zat mineral yang terikat secara kimia dan
dapat menguap pada suhu yang tinggi
(Skoog 2004). Oleh karena itu, hasilnya
lebih kecil dari SNI, selain itu terdapat pula
kemungkinan kesalahan yang terjadi pada

kesalahan prosedur yang dilakukan pada


saat analisis kadar abu ini.
Metode penetapan abu lainnya yang
biasa digunakan secara Internasional salah
satunya adalah metode AOAC. Prinsip
penentuan kadar abu metode ini yaitu
dengan menimbang berat sisa mineral hasil
pembakaran bahan organik pada suhu
550C. Penetuan kadar abu ini dapat
dilakukan
secara
langsung
dengan
membakar bahan pada suhu yang tinggi
yaitu sekitar 500-600C selama 2-8 jam dan
menimbang sisa pembakaran yang tertinggal
sebagai abu (AOAC 2005).

6.

DAFTAR PUSTAKA

Apriantono A dan D Fardiaz. 1989. Analisa


Pangan. Bogor (ID): Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen
Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan
Gizi IPB.
Association of Official Analytical Chemist
(AOAC).
1995-2005.
Official
Methods of Analysis : AOAC
Arlington
Danarti N S. 2006. Kopi Budidaya dan
Penanganan Pasca Panen. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya.
Fauzi M. 2006. Analisa Pangan dan Hasil
Pertanian. Jember (ID): FTP UNEJ

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kadar abu mempunyai fungsi untuk


mengetahui kualitas kadar abu. Persentase
kadar abu pada biskuit A2 pengulangan 1
adalah 0.81 % sedangkan kadar abu pada
biskuit A2 pengulangan 2 adalah 0.93 %.
Nilai yang diperoleh tersebut lebih kecil jika
dibandingkan dengan persentase kadar abu
biskuit yang ditetapkan oleh Standar
Nasional Indonesia (SNI). Menurut SNI 012973-1992 syarat mutu kandungan kadar
abu dalam biskuit pada umumnya
maksimum 1.6%. Hasil dari kadar abu yang
semakin tinggi dalam suatu bahan pangan,
maka semakin buruk kualitas dari bahan
pangan tersebut.
Saran
yang
diberikan
untuk
praktikum ini adalah sebaiknya dalam
melaksanakan
praktikum
praktikan
mengikuti prosedur secara teliti supaya hasil
diperoleh tidak jauh berbeda dari literatur
yang didapatkan.

Irawati. 2008. Modul Pengujian Mutu 1.


Cianjur (ID): Diploma IV PDP PTK
Vedca
Kamal

M. 1998. Nutrisi Ternak I,


Rangkuman. Lab. Makanan Ternak,
jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak. Yogyakarta (ID): Fakultas
Peternakan, UGM.

PERSAGI. 2009. Kamus Gizi Pelengkap


Kesehatan Keluarga. Jakarta (ID):
PT Kompas Media Nusantara
SNI. Mutu & Cara Uji Biskuit. 01-29731992
Sudarmadji. 2003. Analisis Bahan Makanan
dan Pertanian. Yogyakarta (ID):
Liberti
Sumarna A. 2009. Pengantar Kimia Analsis
Titrimetri II. Bogor (ID): Pusdiklat

Anda mungkin juga menyukai