Anda di halaman 1dari 48

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF PADA ANAK SEKOLAH

DASAR
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT. yang telah
memberikan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah pengembangan PKn SD.
Dalam menulis makalah diperlukan Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta
memerlukan sebuah kevalidasian informasi. Karena makalah itu sendiri akan menjadi sumber
ilmu dan rujukan banyak orang dalam menulis. Untuk menjadi guru Sekolah Dasar (SD) yang
profesional, penulis harus menguasi dasar-dasar pengetahuan baik pengetahuan pada materi
yang akan diajarkan maupun pengetahuan tentang strategi pembelajaran yang tepat untuk
diterapkan berdasarkan karakteristik peserta didik, termasuk pula pada pengetahuan
pembentukkan sikap anak yang menjadi titik fokus penulis.
Yang akan menjadi titik fokus utama penulis dalam menyusun, meneliti, mengkaji,
serta memahami materi-meteri yang penulis persembahkan dalam makalah ini ialah mengenai
Strategi Pembelajaran Afektif Pada Anak Sekolah Dasar, meskipun di dalam penyusunan
makalah ini, penulis mengalami kesulitan-kesulitan yang cukup signifikan.
Salah satu tujuan penulis menyusun makalah ini ialah dalam rangka penyelesaian
tugas yang diberikan oleh dosen penulis. Penulis berharap bisa mendapatkan nilai terbaik dari
dosen penulis dalam penilaian makalah ini. Walaupun penulis menyadari masih terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan dan jauh dari kesempurnaan.
Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih kepada Ibu Dra.Nina Nurhasanah.M.pd,
selaku dosen Pengembangan PKn SD yang telah membina serta mendidik penulis selama satu
semester ini sehingga penulis termotivasi untuk mengenyam pendidikan secara matang. Dan
terimakasih pula kepada orangtua penulis yang telah memotivasi dan membiayai penulis
dalam penyusunan makalah ini.
Jakarta, 08 Juni 2011

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi anak didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Belajar adalah suatu proses dimana suatu organism berubah perilakunya sebagai akibat
pengalaman (Gagne, 1984).
Belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap.
(Margaret Gredler, terj Munandar, 1994)
M.Sobry Sutikno mengemukakan, belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan
oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Dari definisi yang dikemukakan oleh pakar pendidikan, dapat ditarik kesimpulan
mengenai definisi belajar. Belajar ialah sebuah proses yang kompleks dari kegiatan berfikir
dan merasakan yang terjadi di dalam interaksi individu dengan lingkungan fisik dan
lingkungan sosialnya yang hasil belajar tersebut mampu menambah/ merubah perilaku
pembelajar dalam bentuk kognitif, afektif, maupun psykomotoriknya yang berlangsung
cukup lama dan bersifat progress. Apabila di dalam proses belajar tidak mendapatkan
peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, dapat dikatakan bahwa orang tersebut
mengalami kegagalan di dalam proses belajar.
Dari rumusan pendidikan nasional dan definisi belajar di atas, sudah jelas bahwa belajar
merupakan suatu kegiatan direncanakan yang kompleks dengan tujuan meningkatkan kualitas
dan kuantitas tingkah laku manusia dalam bentuk kognitif, afektif, dan psykomotoriknya.
Namun sangat disayangkan, pada kenyataannya pendidikan yang berlangsung di Indonesia
hanya menitikberatkan pada peningkatan kualitas kognitifnya saja dan mengabaikan kualitas
pembentukkan kemampuan afektif serta psykomotor si pembelajar.
Dengan demikian, tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran tidak
membahas strategi pembelajaran yang berhubungan dengan pembentukkan sikap dan nilai.
Ada orang beranggapan bahwa sikap bukan untuk diajarkan, seperti halnya matematika,
fisika, ilmu sosial, dan lain sebagainya, akan tetapi sikap untuk dibentuk. Oleh karena itu,
yang lebih tepat untuk bidang afektif bukanlah istilah pengajaran, namun pendidikan. Karena
strategi pembelajaran yang dibicarakan dalam makalah ini diarahkan untuk mencapai tujuan

pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga dimensi lainnya, yaitu sikap dan
ketrampilan melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas siswa sebagai
subjek belajar, maka selanjutnya penulis menggunakan istilah strategi pembelajaran afektif.
Pada pengajaran afektif sangat sulit diukur karena masalah afektif ini bersifat kejiwaan.
Pembelajaran afektif ini perlu dilakukan pada bidang studi PKn karena dalam setiap materi
pelajaran memiliki nilai yang harus ditanamkan pada siswa yaitu nilai-nilai moral.
Penerapan pembelajaran afektif dilaksanakan sesuai dengan materi dan target nilai yang
akan ditanamkan kepada siswa. Melalui pembelajaran afektif siswa dibina kesadaran
emosionalnya melalui cara kritis rasional, melalui klarifikasi dan mampu menguji kebenaran,
kebaikan keadilan, kelayakan dan ketepatan.
Pembelajaran afektif pada mata pelajaran PKn dapat dilaksanakan oleh seorang guru
dengan menggunakan metode percontohan dan pengaplikasian materi pembelajaran melalui
learning by doing. Penerapan pembelajaran afektif akan berhasil baik apabila ada
keterbukaan dan kesediaan atau kesiapan para siswa dalam memberikan tanggapan setiap
stimulus yang diberikan guru. Melalui metode stimulus ini siswa akan menemukan jati
dirinya sehingga guru dapat memahami potret diri siswa itu sendiri.
Oleh karena itu, maka tugas utama guru adalah menjelajahi jenis ragam dan tigkat
kesadaran nilai-nilai yang ada dalam diri siswa melalui berbagai indikator, meluruskan nilai
yang kurang baik dan menangkal masuknya nilai yang naif dan negatif, membina,
mengembangkan dan meningkatkan nilai yang ada dalam diri siswa baik kualitatif maupun
kuantitatif, menanamkan nilai-nilai baru.
B. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
I. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif secara Teoritis
Pandangan para ahli mengenai pembelajaran afektif:
a. Menurut Mc Paul, pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang
rasional, pembelajaran moral siswa adalah pembentukan kepribadian, bukan pengembangan
b.

intelektual.
Menurut Kohlberg moral manusia berkembang melalui tiga tingkat, dan setiap tingkat terdiri

dari 2 (dua) tahap.


c. Menurut Rokeach (1968), nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau
perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap
mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi,
sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.
d. Menurut Tyler (1973:7), nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh
individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa
manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur

penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu
peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta
didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap
e.

masyarakat.
Menurut John Dewey dan Jean Peaget, berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi
sebagai proses Restrukturisasi kognitif yang berlangsung serta berangsur-angsur menurut

f.

aturan tertentu.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk
merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap

peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran.
g. Menurut Dooglas Graham (Golu). Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari
penampilannya.
Pengembangan dominant efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan
psikomotorik, masalah nilai adalah masalah emosional dank arena itu dapat berubah,
berkembang, sehingga bisa dibina, perkembangan nilai-nilai atau moral tidak akan terjadi
sekaligus tetapi melalui tahap-tahap.
II. II. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif secara Edukatif
Berdasarkan definisi yang dipaparkan oleh para ahli bahwa strategi pembelajaran
afektif ialah suatu teknik dan metode mengajar seorang guru dalam proses pembelajaran agar
siswa-siswinya mampu menyerap, mengaflikasikan dan mengamalkan ilmu dan materi
pembelajaran yang mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai.
Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila
seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi.
Pembelajaran afektif ini dapat diterapkan pada siswa sekolah dasar dengan proses
pembentukkan sikap yang meliputi pola pembiasaan, modeling. Melalui model strategi
pembelajaran sikap yang meliputi model konsiderasi, model pengembangan kognitif, dan
teknik mengklarifikasi nilai.
C. Perumusan Masalah
1.

Apakah strategi pembelajaran afektif itu?

2.

Apakah ada hubungan antara pembelajaran afektif, kognitif dan psikomotorik?

3. Apa kegunaan mempelajari strategi pembelajaran Afektif?

D. Tujuan Penyusunan Makalah


1. Untuk mengetahui pengertian dari strategi pembelajaran-pembelajaran afektif.
2. Untuk mengetahui Hakikat pendidikan, nilai dan sikap.
3.

Agar mengetahui proses pembentukan sikap.

4.

Agar mengetahui model strategi pembelajaran sikap.

5.

Agar dapat menerapkannya dalam proses pendidikan.

BAB II
PERMASALAHAN
A. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Pada Bab I telah dijelaskan bahwa sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang
dimiliki seseorang. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh karenanya,
pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
Menurut pendapat saya, pendidikan nilai dan sikap ini penting diterapkan pada siswa
sekolah dasar, untuk pondasi kelak mereka dewasa nanti dalam bertindak, bersosialisasi, dan
hidup bermasyarakat. Masalah yang terjadi di Indonesia saat ini ialah banyaknya produk
manusia-manusia yang cerdas secara intelektual namun mereka tidak berkarakter dan tidak
memiliki moral yang baik, mereka kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri,
menghormati oranglain, menjaga perasaan oranglain, rukun dalam bermasyarakat, sulitnya
bersatu dalam perbedaan, dsb.
Banyak faktor yang melatarbelakangi hilangnya sikap-sikap positif dalam diri bangsa
Indonesia. Salah satu factor yang melatarbelakangi rusaknya moral bangsa Indonesia ialah
pendidikan di Indonesia yang hanya menekankan kecerdasan kognitif tanpa memperhatikan
unsur-unsur lainnya. Selain itu, pendidikan di negri ini hanya menekankan hasil yang dicapai
dari sebuah pembelajaran sedangkan proses untuk mengkonstruksi ilmu itu sendiri sering
terlupakan. Pembelajaran di sekolah masih menempatkan guru sebagai pemberi materi dan
siswa dianggap sebagai wadah yang harus diisi dengan ilmu sehingga banyak siswa yang
tahu dan hafal dengan materi pelajaran tetapi mereka tidak mampu mengimplementasikan
pengetahuannya tersebut untuk meningkatkan kualitas kehidupan sehari-harinya.
Sebagai contoh sederhana, siswa tahu tentang perbedaan individu tetapi perilaku
kesehariannya tidak mencerminkan hidup rukun didalam perbedaan. Mereka menganggap
sukunya lah yang terbaik, ajarannya lah yang terbenar, warna kulit putih lebih cantik daripada
kulit hitam. Menurut pengamatan saya, proses belajar yang diperoleh siswa lebih banyak
pada belajar tentang (learning about thing) daripada belajar menjadi (learning how to
be). Siswa belajar tentang perbedaan individu tetapi siswa tidak belajar bagaimana bersatu
dalam perbedaan yang ada.
Bisa disimpulkan, nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia sifatnya
tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak,
dsb. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba dan tidak ada sebuah tolok
ukur yang baku untuk mengukur pandangan itu semua. Oleh karena itu nilai pada dasarnya
standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik,

benar dan salah, indah dan buruk, dsb, sehingga standar itu yang akan mewarnai seseorang.
Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta
didik yang diharapkan sehingga siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang
dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu menurut
Douglas Graham (Gulo, 2002), yaitu:
1.

Normativist ialah kepatuhan pada norma-norma hukum.

2.

Integralist ialah kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbanganpertimbangan yang rasional.

3. Fenomalist : Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.


4. Hedonist : Kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual tentu saja yang
kita harapkan ialah kepatuhan yang bersifat normativist, karena kepatuhan seperti ini
merupakan jenis kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai tanpa memperdulikan apakah
perilaku itu akan menguntungkannya atau tidak.
Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi anak
sekolah dasar merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era globalisasi ini
anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya baik.
Karena nilai ini bersifat relatif, setiap masyarakat memiliki suatu sudut pandang yang
berbeda terhadap nilai-nilai yang dianutnya, tidak ada suatu standar baku yang mematenkan
suatu kebenaran, keindahan, dsb tentang sebuah nilai/ sikap. Nilai yang dianut setiap bangsa
akan berbeda dengan bangsa lainnya. Seperti di Indonesia, budaya Timurlah yang dianutnya.
Tentu persepsi sebuah nilai akan berbeda dengan budaya Barat. Bagi bangsa Indonesia,
berciuman di tempat umum merupakan hal yang taboo namun bagi bangsa Barat hal tersebut
merupakan peristiwa yang wajar.
Pertukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin terjadi
secara buka-bukaan. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan
tak mungkin akan digantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya
masyarakat.
Nilai bagi seseorang tidaklah statis akan tetapi selalu berubah, setiap orang akan selalu
menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu,
sistem nilai yang dimiliki seseorang bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang

menganggap nilai agama adalah di atas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung
pada nilai agama tersebut. Dengan demikian sikap seseorang sangat bergantung pada sistem
nilai yang dianggapnya paling benar, dan kemudian sikap itu akan mengendalikan perilaku
orang tersebut.
Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap
yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek, misalnya jika seseorang berhadapan
dengan sesuatu objek, dia akan menunjukan gejala senang atau tidak senang, suka atau tidak
suka. Goul (2005) menyimpulkan tentang nilai tersebut :
1.

Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.

2.

Pengembangan dominant efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan
psikomotorik.

3.

Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang,
sehingga bisa dibina.

4.

Perkembangan nilai atau moral tidak akan terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperan sekali dalam mengambil
tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau
tersedia beberapa alternatif (Winkel, 2004).
Pernyataan senang atau tidak senang seseorang terhadap suatu objek yang dihadapinya,
akan dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) terhadap objek tersebut. Oleh
karena itu, tingkat penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk bertindak
terhadapnya (psikomotoriknya) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang
bersangkutan.
Misalnya, siswa dapat memberikan penjelasan dari berbagai sudut bahwa mencuri itu
tidak baik dan dilarang oleh norma apapun ( aspek kognitif ). Berdasarkan pengetahuannya
itu ia tidak suka melakukannya (aspek afektif); akan tetapi sikap negatif terhadap perbuatan
mencuri baru bisa kita lihat dari tindakan nyata walaupun ada kesempatan untuk mencuri ia
tidak melakukannya. Dan, penilaian terhadap sikap negatif dari mencuri itu lebih meyakinkan
bahwa perbuatan mencuri memang tidak pernah ia lakukan walaupun banyak kesempatan
untuk melakukannya.

B. Proses Pembentukkan Sikap


I.

I. Pola Pembiasaan
Apakah sikap bisa dibentuk? Perhatikan percobaan yang dilakukan oleh seorang
psikolog terkenal bernama Watson.

Pada suatu hari Watson melihat anak yang senang dengan tikus berbulu putih.
Kemana pun anak itu pergi, ia selalu membawa tikus putih yang disenanginya. Watson ingin
mengubah sikap senang terhadap tikus tersebut menjadi benci. Maka ketika si anak hendak
memegang tikus berbulu putih itu, Watson memberi kejutan dengan suara keras hingga anak
tersebut terkejut. Terus-menerus hal tersebut dilakukan. Ketika anak mendekati dan hendak
membawa tikus itu, dimunculkan suara keras; anak semakin terkejut dan lama-kelamaan anak
benar-benar menjadi takut dengan tikus putih peliharaannya. Jangankan mau membawa atau
memegangnya, melihat saja ia menangis dan ketakutan. Mengapa anak berubah sikap positif
terhadap tikus putih menjadi sikap negatif? Hal ini disebabkan kebiasaan (conditioning). Cara
belajar sikap demikian menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak disadari,
guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya,
siswa sering kali menerima perlakuan tidak mengenakan dari gurunya, seperti perilaku
mengejek/ kekerasan/ perilaku yang menyinggung perasaan anak, maka lama-kelamaan akan
timbul rasa benci dari anak tersebut. Perlahan-lahan anak akan mengalihkan sikap negatif itu
bukan hanya pada gurunya sendiri, melainkan pada bidang studi yang diajarkannya. Untuk
mengembalikan sikap positif bukanlah pekerjaan yang mudah.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner melalui
teorinya operant conditioning. Proses pembentukkan sikap melalui pembiasaan yang
dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner.
Pembentukkan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respon
anak. Setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement)
dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama-kelamaan anak
berusaha meningkatkan sikap positifnya.
II. Modeling
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu
pembentukkan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh.
Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang ialah keinginannya untuk
meniru (imitasi). Hal yang ditiru adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau
didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud
modeling. Modeling ialah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya
atau yang dihormatinya.

Pemodelan biasanya dimulai dari perasaan kagum. Anak kagum terhadap kepintaran
orang lain, misalnya terhadap guru yang dianggapnya bisa melakukan segala sesuatu yang
tidak bisa dilakukannya. Secara perlahan perasaan kagum akan memengaruhi emosinya dan
secara perlahan anak tersebut akan meniru perilaku yang dilakukan oleh idolanya. Misalnya,
jika idolanya (guru atau siapa saja) menunjukkan perilaku tertentu terhadap suatu objek,
maka anak akan cendrung berperilaku sama seperti apa yang dilakukan idolanya. Jika
idolanya begitu perduli terhadap kebersihan lingkungan, membuang sampah pada tempatnya,
memungut sampah yang berserakkan, maka anak juga akan berperilaku seperti apa yang
dilakukan oleh idolanya terhadap lingkungannya; jika anak mengagumi gurunya karena
kecantikkan gurunya maka anak akan berperilaku seperti gurunya.
Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu objek melalui proses modeling pada
mulanya dilakukan secara mencontoh. Namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal
tersebut dilakukan. Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus menjaga
kebersihan lingkungan. Dan dampak yang terjadi apabila kita tidak menjaga lingkungan.
Proses pemahaman ini diperlukan agar sikap yang muncul benar-benar didasari oleh suatu
keyakinan kebenaran sebagai suatu nilai.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Model Strategi Pembelajaran Sikap
Setiap strategi sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung
konflik atau situasi yang problematis. Melalui situasi ini siswa diharapkan dapat mengambil
keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik. Di bawah ini disajikan beberapa model
strategi pembelajaran pembentukkan sikap.
I.

Model Konsiderasi
Model konsiderasi dikembangkan oleh MC.Paul, seorang humanis. Paul menganggap
bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional.
Pembelajaran

moral

siswa

menurutnya

adalah

pembentukan

kepribadian

bukan

pengembangan intelektual. Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan,


mementingkan, dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Kebutuhan yang fundamental pada
manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan saling
menerima dengan penuh cinta dan kasih sayang. Oleh sebab itu, model ini menekankan
kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar
siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain sehingga mereka dapat

bergaul, bekerja sama, hidup secara harmonis dengan orang lain, dan dapat merasakan apa
yang dirasakan orang lain (tepo saliro).
Atas dasar asumsi di atas, guru hasrus menjadi model di dalam kelas dalam
memperlakukan siswa dengan hormat, menjauhi sikap otoriter. Guru perlu menciptakan
kebersamaan, saling membantu, saling menghargai, dsb.
Implementasi model konsiderasi dapat dilaksanakan
1.

melalui

tahap-tahap

pembelajaran sebagai berikut:


Menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung masalah/ konflik yang sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi seandainya siswa ada dalam masalah

2.

tersebut.
Menyuruh siswa untuk menganalisis sesuatu masalah dengan melihat bukan hanya yang
tampak tetapi juga menganalisis permasalahan yang tersirat, misalnya perasaan, kebutuhan,

3.

dan kepentingan orang lain.


Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal
ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum mendengar respons

orang lain untuk dibandingkan.


4. Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap
5.

respons yang diberikan siswa.


Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang
diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala kemungkinan yang
akan timbul sehubungan dengan tindakannya. Guru juga perlu menjaga agar siswa dapat
menjelaskan argumentasinya secara terbuka serta dapat saling menghargai pendapat orang
lain. Diupayakan agar perbedaan pendapat tumbuh dengan baik sesuai dengan titik pandang

yang berbeda.
6. Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk
menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang
dimilikinya.
7. Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan
pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Guru hendaknya tidak menilai benar atau
salah atas pilihan siswa. Yang diperlukan adalah guru dapat membimbing mereka
menentukan pilihan yang lebih matang sesuai dengan pertimbangannya sendiri.

II. II. Model Pengembangan Kognitif


Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh
Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget
yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi

kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut


Kolhberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat dan setiap tingkat terdiri dari 2
tahap
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri,
artinya pertimbangan moral didasarkan pada pandangan secara individual tanpa
menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat, terdiri dari dua tahap:
Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan.
Artinya anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar itu adalah perilaku yang tidak
akan mengakibatkan hukuman,dengan demikian setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak
menimbulkan konsekuensi negative.
Tahap 2. Orientasi instrumental-relatif.
Pada tahap ini perilaku anak didasarkan pada perilaku adil, berdasarkan aturan
permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil apabila orang membalas perilaku kita yang
dianggap baik. Dengan demikian perilaku tersebut didasarkan kepada saling tolong menolong
dan saling memberi.
b. Tingkat Konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu-masyarakat.
Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan normanorma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, pemecahan masalah bukan
hanya didasarkan kepada rasa keadilan belaka, akan tetapi apakah pemecahan masalah itu
sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai 2
tahap sebagai kelanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvensional, yaitu tahap
keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.
Tahap 3. Keselarasan Interpersonal
Pada tahap ini ditandai dengan perilaku yang ditampilkan individu didorong oleh
keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu mulai tumbuh bahwa ada
orang lain di luar dirinya untuk berperilaku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak sadar
bahwa ada hubungan antara dirinya dengan oranglain. Dan hubungan itu tidak boleh dirusak.
Tahap 4. Sistem Sosial dan Kata Hati
Pada tahap ini, perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi
harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi didasarkan apda tuntutan dan harapan
mayarakat. Hal ini berarti telah terjadi pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran
sosial. Artinya, anak sudah menerima adanya sistem sosial yang mengatur perilaku individu.
c. Tingkat Postkonvensional
Tahap 5. Kontrak Sosial

Pada tahap ini, perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui oleh
masyarakat. Kesadaran individu untuk berperilaku tumbuh karena kesadaran untuk
menerapkan prinsip-prinsip sosial. Dengan demikian, kewajiban moral dipandang sebagai
kontrak sosial yang harus dipatuhi bukan sekedar pemenuhan sistem nilai.
Tahap 6. Prinsip Etis yang Universal
Pada tahap terakhir, perilaku manusia didasarkan pada prinsip-prinsip universal. Segala
macam tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi, akan
tetapi didasarkan pada suatu kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib menolong
orang lain, apakah orang itu sebagai orang yang kita benci ataupun tidak, apakah orang itu
sebagai orang yang kita cintai atau pun tidak. Pertolongan yang diberikan bukan didasarkan
pada alsan yang subjektif melainkan didasarkan pada kesadaran yang bersifat universal.
Sesuai dengan prinsip bahwa moral terjadi secara bertahap, maka strategi pembelajaran
model Kohlberg diarahkan untuk membantu agar perkembangan moral setiap individu
meningkat.
III. Teknik Mengklarifikasi Nilai (VCT)
Teknik mengklarifikasi nilai (value clarification technique) atau sering disingkat VCT
dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan
menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui
proses menganalisis nilai yang sudag ada dan tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan yang sering kali terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah
proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan
langsung nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memerhatikan nilai yang sudah tertanam
dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa karena
ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan
oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama dengan nilai
baru.
Salah satu karakteristik VCT sebagai model dalam strategi pembelajaran sikap adalah
proses penanaman nilai dilakukan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada
sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang
hendak ditanamkan. VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral bertujuan:
a. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.
b. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tingkatannya maupun
sifatnya (positif dan negatifnya) untuk dibina kearah peningkatan dan pembetulannya.
c. Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima
siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa.

d. Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap suatu
persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat.
John Jarolimek (1974) menjelaskan langkah-langkah pembelajaran dengan metode VCT
dalam 7 tahap yang dibagi ke dalam 3 tingkat. Setiap tahapan dijelaskan di bawah ini:
1. Kebebasan memilih
Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu:
a. Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik.
Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi miliknya secara penuh.
b. Memilih dari beberapa alternatif, artinya untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif
pilihan secara bebas.
c. Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan, konsekuensi yang akan timbul sebagai
akibat pilihannya.
Menghargai
Pada tingkat ini terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu:
a. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai
2.

tersebut akan menjadi bagian integral dari dirinya.


b. Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depan umum.
Artinya, bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh
kesadaran untuk menunjukkan di depan oranglain.
3. Berbuat
Pada tingkat ini terdiri atas 2 tahapan, yaitu:
a. Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.
b. Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai yang menjadi pilihannya
harus tercemin dalam kehidupan sehari-harinya.
VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut
anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam praktik pembelajaran, VCT dikembangkan melalui
proses dialog antara guru dengan siswa. Proses tersebut hendaknya dalam suasana santai dan
terbuka, sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan secara bebas perasaannya. Beberapa hal
yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog:
v Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan-pesan
moral yang dianggap guru baik.
v Jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila siswa tidak menghendakinya.
v Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan
v
v
v
v

perasaannya secara jujur dan apa adanya.


Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas.
Hindari respons yang menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensif.
Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu.
Jangan mengorek alasan siswa lebih mendalam.

Model VCT dalam penerapannya terbagi atas empat macam, yaitu:


1.
2.

Model VCT dengan teknik percontohan, diterapkan melaui cerita dari rekayasa guru.
Model VCT dengan teknik analisis nilai, diberikan melalui teknik reportase, analisis nilai,

cerita tidak selesai.


3. Model VCT yang diterapkan melalui daftar matrik seperti daftar baik buruk, skala bertingkat.
4. Model VCT yang diterapkan melalui bermain peran/ permainan yang diperagakan di depan
kelas (Adnan,1996:75).
B. Kekeliruan Pendidikan dalam Pembangunan Sikap Anak
Strategi Pembelajaran Afektif atau strategi pembelajaran yang berfungsi membangun dan
membentuk sikap anak mereka siap dalam menghadapi zaman yang kian berubah dalam
segala aspek terutama perubahan, pergeseran, maupun pengikisan moral anak bangsa.
Agama dan PKn merupakan mata pelajaran ujung tombak dalam pembentukkan moral
anak. Namun sangat disayangkan pembelajaran Agama dan PKn, khususnya pembelajaran
PKn yang terjadi di bangku Sekolah Dasar, hanya menitikberatkan kompetensi anak dalam
segi kognitifnya saja. Pencapaian pembelajaran Agama dan PKn yang terjadi di SD saat ini
barulah tercapai pada taraf learning to know. Menurut pengamatan saya, dalam pembelajaran
PKn keberhasilan tujuan belajar masih pada taraf C2. Tujuan belajar baru tercapai pada taraf
mengetahui isi/konten dari materi pembelajaran tersebut. Dan sekolah-sekolah dasar di
negara ini mengevaluasi pembelajaran PKn dengan cara yang keliru menurut saya, mereka
memberikan

test

pilihan

ganda

dari

keseluruhan

materi

pembelajaran

yang

pengevaluasiannya terjadi secara kognitif yakni menghafal. Padahal pembelajaran PKn ini
menurut saya merupakan pembelajaran yang sifatnya membangun nilai-nilai ataupun sikapsikap untuk peserta didik, maka strategi pembelajaran yang terjadi harus memperhatikan
kemampuan kognitif dan psikomotorik anak tetapi juga harus memperhatikan kemampuan
afeksi anak.
PKn menekankan pada nilai moral dan norma. PKn dinilai sangat penting untuk
mengarahkan siswa menuju sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat. Salah satu hal yang sangat berpengaruh adalah kemampuan guru dalam
mengembangkan strategi belajar mengajar melalui ketrampilan menggunakan beberapa
merode yang dapat merangsang siswa untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan standar
yang dikehendaki (Mujiono,1992:84).
Menurut pendapat saya, dalam pembelajaran PKn diperlukan rentetan-rentetan inovasi
strategi pembelajaran. Strategi belajar mengajar PKn di SD, selalu didominasi oleh metode
ceramah, tanya jawab. Keduanya kadang-kadang disertai dengan membaca buku teks.
Akibatnya sangat sulit untuk pengaktualisasian sikap dan perilaku-perilaku moral

sebagaimana yang diharapkan. Kekurangan ini lebih diperburuk lagi dengan sarana buku teks
yang lebih menekankan kepada aspek mengingat pada penilaian dibanding dengan aspek
sikap dan perilaku. Disamping kemampuan guru dalam mengembangkan model strategi
belajar mengajar yang mampu merangsang sikap dan perilaku siswa, juga dituntut
kemampuan guru dalam menampilkan materi seobjektif mungkin yang juga memerlukan
teknik penyampaian tersendiri sehingga dapat merangsang sikap positif siswa terhadap materi
pembelajaran.
Untuk itu, keterampilan guru menggunakan beberapa model, teknik, ataupun metode
pembelajaran yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan atau menampilkan sikap
siswa adalah sangat penting dimiliki oleh seorang guru PKn. Seperti yang telah kita bahas
sebelumnya, VCT (Value Clarification Technique) merupakan suatu model pengklarifikasian
sikap yang sesuai dengan tuntutan perkembangan pembelajaran PKn masa sekarang. Titik
berat bidang studi PKn terletak pada pengaplikasian nilai-nilai moral siswa. Oleh karena itu,
guru harus memberdayakan ketrampilan menggunakan variasi model beberapa metode
belajar mengajar yang dapat mengungkapkan sikap dan perilaku moral siswa. Selama ini,
penekanan pembelajaran bidang studi PKn terletak pada aspek kognitif dengan metode
ceramah yang terkesan tidak memberikan peluang bagi siswa dalam melakukan pilihanpilihan moral dan keputusan moral atau sikap dan perilaku tertentu (Suryanef, 2001:2-3).
VCT merupakan model yang dapat mengungkapkan sikap siswa yang berhubungan
dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan demikian, tugas guru dalam mengajarkan
PKn cukup kompleks. Di satu sisi, guru berperan sebagai pengajar atau transformator
dari nilai-nilai pancasila, dan di sisi lain guru adalah fasilitator dan model bagi siswa untuk
melatih merekan berfikir kritis dan memutuskan sendiri pilihan moral atau perilaku apa yang
harus diambil dalam situasi tertentu (Suryanef,200:5).
C. Kendala Dalam Pembelajaran Afektif
Di samping aspek pembentukkan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan
peserta didik dan pembentukkan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar
peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukkan sikap peserta didik
merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya. Proses pendidikan bukan hanya membentuk
kecerdasan dan/atau memberikan ketrampilan tertentu saja, akan tetapi juga membentuk dan
mengembangkan sikap agar anak berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Namun demikian, dalam pendidikan di sekolah proses pembelajaran sikap
kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkan proses pembelajaran sikap kadang-kadang

terabaikan. Hal ini disebabkan proses pembentukkan dan pembelajaran akhlak memiliki
beberapa kesulitan.
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung
diarahkan untuk pembentukkan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses
pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukkan oleh kriteria kemampuan
intelektual (kemampuan kognitif). Akibatnya, upaya yang dilakukan setiap guru diarahkan
kepada bagaimana agar anak dapat menguasai sejumlah pengetahuan sesuai dengan standart
isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik dengan penguasaan
materi pelajaran. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan
baik evaluasi tingkat sekolah, tingkat wilayah, maupun evaluasi nasional diarahkan pada
kemampuan anak menguasai materi pelajaran. Pendidikan agama atau pendidikan PKn
misalnya yang semestinya diarahkan untuk pembentukkan sikap dan moral, oleh karena
keberhasilannya diukur dari kemampuan intelektual, maka evaluasinya pun lebih banyak
mengukur kemampuan penguasaan materi pelajaran dalam bentuk kognitif.
Kedua, sulitnya melakukan control karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses
pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga
faktor-faktor lain terutama factor lingkungan. Artinya, walaupun di sekolah, guru berusaha
memberikan contoh yang baik, akan tetapi manakala tidak didukung oelh lingkungan anak
baik lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat, maka pembentukkan sikap akan
sulit dilaksanakan. Misalnya, ketika anak diajarkan tentang keharusan bersikap jujur dan
disiplin, maka sikap tersebut sulit diinternalisasi manakala lingkungan luar sekolah anak
banyak melihat perilaku-perilaku ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun guru di
sekolah begitu keras menekankan pentingnya sikap tertib berlalu lintas, maka sikap tersebut
akan sulit diadopsi oleh anak manakala ia melihat banyak pelanggaran rambu lalu lintas yang
terjadi di jalan. Demikian juga, walaupun di sekolah guru-guru menekankan pentingnya
berkata dan berperilaku sopan disertai contoh perilaku guru, akan tetapi sikap itu akan sulit
diterima oleh anak manakala di luar sekolah begitu banyak manusia yang berkata kasar dan
tidak sopan, tertutama factor didikan keluarga yang tidak mendukung dan tidak selaras
dengan visi dan misi sekolah untuk membentuk moral anak. Pembentukkan sikap memang
memerlukan upaya dari semua pihak, baik lingkungan sekolah, keluarga, maupun lingkungan
masyarakat.
Ketiga, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan
aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukkan karakter anak. Tidak bisa kita
pungkiri, program-program televisi, misalnya penayangan program acara produksi luar yang

memiliki latar budaya yang berbeda, kebutuhan pendidikan yang berbeda, dan ditonton oleh
anak-anak, sangat berpengaruh dalam pembentukkan sikap dan mental anak. Secara perlahan
tapi pasti budaya asing yang belum tentu cocok dengan budaya local merembes dalam setiap
relung kehidupan, menggeser nilai-nilai local sebagai nilai luhur yang mestinya
ditumbuhkembangkan, sehingga pada akhirnya membentuk karakter baru yang mungkin
tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku. Contohnya, secara perlahan
tapi pasti telah terjadi perubahan pandangan anak remaja kita terhadap nilai-nilai kesopanan,
nilai-nilai seks, dan sebagainya.
Keempat, keberhasilan pembentukkan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera karena
penilaian afektif berkaitan dengan perasaan, sikap, minat, dan apresiasi. Berbeda dengan
pembentukkan aspek kognitif dan aspek ketrampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah
proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan pembentukkan sikap dapat dilihat pada
rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan hubungan internalisasi nilai yang
memerlukan proses yang lama. Sebagai contoh, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa
seseorang telah memiliki sikap jujur hanya dengan melihat suatu kejadian tertentu. Selain
sikap jujur perlu diuraikan pada indikator-indikator yang mungkin masih banyak, juga
menilai secara jujur perlu dilakukan secara terus menerus hingga menkristal dalam segala
tindakan dan perbuatan. Adapula contoh yang seringkali kita hadapi, seseorang yang
dianggap biasa-biasa saja di sekolah, tidak punya prestasi yang menonjol, justru setelah
dewasa ia mempunyai prestasi yang luar biasa. Siswa seperti ini merupakan siswa yang
memiliki domain afeksi yang luar biasa, seperti mempunyai motivasi yang tinggi, bekrja
keras, dll. Dalam proses pembelajaran, banyak guru yang tidak tahu tentang sikap dan
kepribadian peserta didiknya sehingga gagal dalam menyelesaikan sekolah. Apabila guru
mampu memperbaiki sikap peserta didik lalu memberikan motivasi belajar, mungkin saja
siswa yang bersangkutan tidak akan gagal bahkan lebih sukses dari temannya yang lain.
D. Implikasi Strategi Pembelajaran Afektif pada Pembelajaran PKn di Sekolah Dasar
Strategi pembelajaran afektif menurut pendapat saya tepat digunakan pada mata pelajaran
PKn di Sekolah Dasar. Pembelajaran afektif ini diperluas dari model VCT (Value
Clarification Technique) terdiri dari teknik percontohan, teknik analisis nilai, teknik daftar
matrik, dan teknik bermain peran. Berikut ini contoh pengimplementasian VCT dalam
pembelajaran PKn di Sekolah Dasar:
Pada Kelas Tinggi:
Kompetensi Dasar:
1. Peserta didik mampu menjelaskan pentingnya keutuhan negara NKRI.

2. Memahami nilai-nilai juang para tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari.
Bentuk-bentuk permainan yang diberikan dalam proses pembelajaran untuk dua kali
pertemuan adalah sebagai berikut:
Permainan kartu, permainan ini menyediakan kartu yang dibuat dari karton. Langkahlangkah kegiatannya sebagai berikut: menyampaikan tujuan pembelajaran, menugasi siswa
membaca materi pembelajaran, guru menyediakan kartu, siswa dibagi atas 5 kelompok,
masing-masing kelompok mengambil 1 kartu, kelompok melakukan perintah yang ada di
dalam kartu tersebut, menerangkan cara bermain kartu, menceritakan jawaban dari soal,
siswa lain menanggapi penjelasan, guru dan siswa menarik kesimpulan.
Pesan berantai, mengisahkan seorang komandan memerintahkan seorang anak buahnya
untuk melakukan penyerangan. Langkah-langkahnya adalah: komandan, malam ini kita akan
melakukan penyerangan ke tempat pertahanan musuh, sampaikan kepada anggota yang lain.
Pesan: 1, 2, 3, 4, dst. Guru dan siswa menilai apakah pesan yang diterima oleh siswa pertama
sama dengan pesan yang diterima siswa terakhir. Jika berbeda, siswa akan mendapatkan
hukuman tetapi hukuman yang bersifat mendidik.
Melacak kata, caranya: Dino akan berkunjung ke rumah nenek, untuk itu Dino harus
melalui kata-kata tertentu. Angka-angka itu mengandung kata-kata seperti yang terdapat pada
kode. Kalau disusun akan berbentuk kalimat yang dapat kamu teladani. Angka-angka yang
manakah harus dilewati Dino agar sampai ke rumah nenek. Bagaimanakah bunyi kalimat itu?
Kunci: 10=berhasil, 20=percayalah, 30=pada, 40=sukses, 50-dan, 60=jika, 70=dirimu,
80=ingin, 90=kemampuan, 100-sendiri.
Permainan yang telah diberikan guru ternyata membuat pembelajaran menjadi asyik dan
tidak membosankan. Guru mengadakan penilaian melalui wawancara dan pengamatan. Nilainilai yang dapat ditemukan dalam games ini ialah: keseriusan siswa sewaktu melakukan
permainan, keterlibatan siswa, ketelitian dalam bermain, kecepatan/keaktifan siswa,
bekerjasama dalam kelompok, ketepatan jawaban sesuai dengan permainan, kekompakan
dalam bermain. Kunci permainan: jika dirimu ingin berhasil dan sukses, percayalah pada
kemampuan sendiri.
Kelas Rendah
Permainan yang diadakan di kelas rendah tentu sesuai dengan tingkat kelasnya. Pada saat
ini permainan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Kompetensi Dasar: mengenal nilai kejujuran, kedisiplinan, dan senang bekerja dan senang
bekerja dalam kehidupan sehari-hari, melaksanakan disiplin dan senang bekerja dalam
kegiatan sehari-hari. Permainan yang disampaikan ada beberapa macam permainan, yaitu:
Disiplin di jalan raya: langkah-langkahnya: guru/siswa membuat model lampu lalu lintas
berbentuk lingkaran dari kardus 4 set. Satu set terdiri dari 3 warna, merah, kuning, hijau. Cara
bermain: siswa dibawa ke halaman sekolah, siswa dibagi menjadi 4 kelompok, satu orang
setiap kelompok memegang rambu lalu lintas, anak yang lain berperan menjadi kendaraan
yang berlalu lalang sambil menirukan bunyi kendaraan, guru member aba-aba dengan pluit
setiap 10 detik untuk bergantian, ternyata salah satu siswa melaju ketika sedang lampu merah
dan kelompok yang satu

lagi menyalakan lampu hijau. Apa yang akan terjadi:

kecelakaan/tabrakan dan yang mematuhil alu lintas tidak terjadi tabrakan/kecelakaan.


Bermain kartu peran. Kartu dari karton yang bertuliskan jenis pekerjaan di rumah. Tiap
kartu hanya berisi satu jenis pekerjaan. Cara permainan: permainan dilakukan dalam
kelompok. Ambilah kartu secara bergantian lalu baca tulisannya. Lalu peragakanlah
pekerjaan tersebut. Niali yang dapat diambil dari permainan ini ialah: keseriusan siswa
sewaktu

melakukan

permainan,

keterlibatan

siswa,

ketelitian

dalam

bermain,

kecepatan/keaktifan siswa, kekompakan dalam bermain, dan kedisiplinan.


Menyusun kartu huruf. Kartu huruf ini dibuat dari kertas dupleks. Langkah-langkahnya:
siswa dibagi atas kekompakan-kekompakan kecil terdiri dari 4 orang yang berhadap-hadapan,
guru menjelaskan cara permainan, guru memberikan kartu, siswa melakukan permainan
dengan waktu 10 15 menit, guru memperlihatkan kalimat/huruf yang disusun, cara
penilaian siapa yang paling cepat menyusun dengan benar.
Menyusun potongan-potongan kertas. Kalimat atau gambar dipotong-potong kemudian
disatukan kembali dengan cara menyusun. Langkahnya seperti guru menyiapkan bahan yang
telah digunting, siswa dibagi perkelompok terdiri dari 4 orang, guru menjelaskan cara
permainan, siswa melakukan permainan dengan waktu 10, penilaian siswa yang paling cepat
menyusun kalimat dan gambar.
E. Kesimpulan
Pada pengajaran afektif sangat sulit diukur karena masalah afektif ini bersifat kejiwaan.
Pembelajaran afektif ini perlu dilakukan pada bidang studi PKn karena dalam setiap materi
pelajaran memiliki nilai yang harus ditanamkan pada siswa yaitu nilai-nilai moral.
Penerapan pembelajaran afektif dilaksanakan sesuai dengan materi dan target nilai yang
akan ditanamkan kepada siswa. Melalui pembelajaran afektif siswa dibina kesadaran

emosionalnya melalui cara kritis rasional, melalui klarifikasi dan mampu menguji kebenaran,
kebaikan keadilan, kelayakan dan ketepatan.
Berdasarkan definisi yang dipaparkan oleh para ahli bahwa strategi pembelajaran afektif
ialah suatu teknik dan metode mengajar seorang guru dalam proses pembelajaran agar siswasiswinya mampu menyerap, mengaflikasikan dan mengamalkan ilmu dan materi
pembelajaran yang mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai.
Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila
seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi.
Pembelajaran afektif ini dapat diterapkan pada siswa sekolah dasar dengan proses
pembentukkan sikap yang meliputi pola pembiasaan, modeling. Melalui model strategi
pembelajaran sikap yang meliputi model konsiderasi, model pengembangan kognitif, dan
teknik mengklarifikasi nilai.
Penilaian afektif mencangkup penilaian sikap, tingkah laku, minat, emosi, dan motivasi.
Penilaian afektif terdiri dari penerimaan (receiving), termasuk kesadaran dan keinginan
untuk menerima stimulus, respon, control, seleksi gejala atau rangsangan dari luar,
menanggapi, reaksi yang diberikan, menilai, mengorganisasi, membentuk watak.
Kendala pembelajaran afektif meliputi proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang
berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukkan intelektual/ kemampuan bernalar, sulitnya
melakukan control karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap
seseorang, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan
aneka pilihan program acara dari mancanegara yang memiliki latar budaya yang berbeda,
kebutuhan pendidikan yang berbeda berdampak pada pembentukkan karakter anak yang tidak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku di Negara Indonesia, keberhasilan pembentukkan
sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera karena penilaian afektif berkaitan dengan perasaan,
sikap, minat, dan apresiasi. Berbeda dengan pembentukkan aspek kognitif dan aspek
ketrampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir.

DAFTAR PUSTAKA
Sanjaya Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan. Kencana. Jakarta : 2008.
Raka, Joni. Strategi Belajar Mengajar, P3G, Jakarta : 1980
Mujiono. 1992. Metode Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud.
Omar,H. 1993. Metodik Belajar dan Kesulitan Belajar. Bandung: Genesa.
Suryanef. 2001. Penerapan SMU Model-Model VCT di Kota Padang: UNP, Padang.
Wahab,A. 1996. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Depdikbud

Strategi Pembelajaran Afektif

A.

Strategi Pembelajaran Afektif


Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk
mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetai juga bertujuan untuk mencapai dimensi lainya.
Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit di ukur karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam
kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Strategi Pembelajaran Afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan
psikomotor. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh sebab itu
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Dalam batasan tertentu
memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk
sampai kepada kesimpulan yang bisa dipertanggung jawabkan membutuhkan ketelitian dan
observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Apabila menilai
perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah kita
tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan bahasa
atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang
dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan guru dalam keluarga dan
lingkungan sekitar.
Strategi pembelajaran afektif pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang
mengandung konflik atau situasi yang problematis, dan pengajar dapat membina dalam
menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai kemampuan masing-masing.

Dalam pengaplikasian terhadap pembelajaran yang diberikan guru, dalam pemberian contoh
terhadap yang diberikan guru hendaknya siswa difasilitasi dengan lingkungan yang baik, saya
lihat sebagian sekolah, bahwasanya lingkungan sekitar sekolah tidak nyaman untuk
melakukan pembelajaran yang afektif, dan juga lingkungan masyarakat, maka dari itu
pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan.
Misalnya ketika anak diajarkan tentang keharusan bersifat jujur dan disiplin, maka
sifat tersebut akan sulit diinternalisasi manakala lingkungan diluar sekolah anak banyak
melihat prilaku-prilaku ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun guru sekolah begitu
keras menekankan pentingnya sikap tertib berlalu lintas.
Maka sikap tersebut akan sulit diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu banyak
orang-orang yang melanggar lalu lintas, demikian juga walaupun disekolah guru-guru
menerangkan dan menegaskan perlunya bagi anak untuk bekata sopan dan halus disertai
contoh prilaku guru, akan tetapi sifat itu sulit diterima oleh anak manakala diluar sekolah
begitu banyak manusia yang berkata kasar dan tidak sopan.
B.

Tingkatan dan Karakteristik Ranah Afektif


Tingkatan
Menurut Krathwohl (1961) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai
komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya ada komponen sikap
ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi
Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan
characterization.

1.

Tingkat receiving
Pada

tingkat

receiving

atau

attending,

peserta

didik

memiliki

keinginan

memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku,
dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang
menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar
senang membaca buku, senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi
kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.
2.

Tingkat responding

Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari
perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi
ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons,
berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi
pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan
kesenangan pada aktivitas khusus. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang
membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
3.

Tingkat valuing
Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat
internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya
keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau
penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada
tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara
jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.

4.

Tingkat organization
Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai
diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil pembelajaran
pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya
pengembangan filsafat hidup.

5.

Tingkat characterization
Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini peserta
didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga
terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi,
dan sosial.

Karakteristik Ranah Afektif


Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai
ranah afektif. Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku
harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas,

arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa
perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian
orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain. Arah perasaan
berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah
perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang
kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka
karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek,
aktivitas, atau ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif
yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap
sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan target
dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang
tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta
didik tersebut cenderung sadar bahwa target kecemasannya adalah tes.

Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan
moral.
1.

Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka
terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu
yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap
dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan
konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk
mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan
sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari
untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang.
Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata
pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta
didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta
didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran.
Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan

proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk
pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran
menjadi lebih positif.
2.

Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas,
pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut
kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati
yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum
minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
Penilaian minat dapat digunakan untuk:

mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam


pembelajaran,

mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,

pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,

menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,

mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,

acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih
metode yang tepat dalam penyampaian materi,

3.

mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,

bahan pertimbangan menentukan program sekolah,

meningkatkan motivasi belajar peserta didik.

Konsep Diri

Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap
kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada
dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga
institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa
dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep diri
ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan
dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain
itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta
didik dengan tepat.

Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian
diri adalah sebagai berikut.

Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.

Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.

Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.

Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.

Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.

Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input
peserta didik.

Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.

Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.

Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.

Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.

Peserta didik memahami kemampuan dirinya.

Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik.

Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk


instropeksi pembelajaran yang dilakukan.

4.

Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.

Peserta didik mampu menilai dirinya.

Peserta didik dapat mencari materi sendiri.

Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.

Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan,
tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan
bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau
situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan. Target nilai cenderung menjadi ide, target
nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat
negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi
dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai, yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang
dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya
dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini
menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan
harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan
signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi
konstribusi positif terhadap masyarakat.

5.

Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun
Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia
hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema
hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak. Moral

berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan
terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi
orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan
dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan
berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang. Ranah
afektif lain yang penting adalah:

Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi


dengan orang lain.

Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan
artistik.

Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang
sama dalam memperoleh pendidikan.

Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi
kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.

C.

Model Strategi Pembelajaran Afektif.


Menurut Wina Sanjaya (2006), ada 3 model strategi pembelajaran yaitu :
1. Model Konsiderasi, dikembangkan oleh Mc, Paul yang menekankan bahwa model
ini merupakan strategi pembelajaran yg dapat membentuk kpribadian. Salah satu
implementasinya yakni mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari
berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang
sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
Implementasi model konsideransi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti

a)

dibawah ini :
Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi

dalam kehidupan sehari hari.


b)
Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya dengan
c)
d)

tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut.


Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.
Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap
respon yang diberikan siswa.

e)

Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang

diusulkan siswa.
f)
Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari sudut pandang (interdisipliner)
untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai
yang dimilikinya.
g)
Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan
2.

pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.


Model Pengembangan Kognitif oleh Lawrence KohlBerg, berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung
secara berangsur-angsur . Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3

a)

tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap, yaitu :


Tingkat Prakonvensional.
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri.
Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa
menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvesional
ini terdiri atas dua tahap, yaitu : tahap pertama adalah Orientasi Hukum dan Kepatuhan dan

tahap kedua Orientasi Instrumental Relatif.


b) Tingkat Konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarkat.
Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma
norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat. Pada tingkatan ini mempunyai 2 tahap, yaitu :
c)

keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.


Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma norma
masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasarkan oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai
nilai yang dimilikinya secara individu. Pada tingkatan ini juga terdiri dari dua tahap, yaitu :
tahap kontrak sosial dan tahap prinsip etis yang universal.
3. Teknik Mengklarifikasi Nilai dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk
membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik
dalam menghadapi suatu persoalan yang dianggap proses menganalisis nilai yang
sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
Manfaat pembelajaran Afektif Bahwa pembelajaran ini sangat perlu karena :

1)

Mengajak siswa untuk mengklarifikasi dan mengungkap dirinya

2)

Membina, meningkatkan serta mengembangkan masalah afeksi melalui cara yang wajar
dan sesuai dengan potensi diri yang bersangkutan.

3)

Membawakan dunia emosional/afeksi dalam pembelajaran serta melatih siswa untuk


melakoninya sehingga dapat mengalami sendiri.

4)

Melatih dan membina perbaikan kehidupan/sosial (social and life ajustment).

5)

Membentuk dan mengembangkan sikap sikap konstruktif positif.

6)

Menanamkan nilai/sistem nilai yang utama/esensial serta melestarikanya.

7)

Membina tata cara pemahaman (understanding) moral dan perilaku seseorang dengan
kajian sistem nilai.

8)

Membina kesadaran akan : perlunya nilai/moral, kebaikan tentang sesuatu (a set of..) nilai
dan mendorong keinginan untuk menganut serta melaksanakannya.

9)

Pembinaan dan pengembangan kepribadian anak (Personaliti/Ego development).


Dari ungkapan kegunaan dan tujuan di atas jelas kiranya bagi kita terutama para guru
bahwa penanaman sikap, moral dan nilai tidak boleh dilaksanakan secara verbalisme
melainkan harus meresap pada diri yang bersangkutan.

D.

Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif dan Cara mengatasi Kesulitan dalam

Pembelajaran Afektif
a. Kesulitan
Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan
peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar peserta
didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap peserta didik merupakan
aspek yang tidak kalah pentingnya. Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan
dan memberikan keterampilan akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agar
anak berperilaku sesuai dengan norma norma yang berlaku dimasyarakat.Hal ini
disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku
cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual (kemampuan kognitif).
Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik

melalui proses pembisaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh guru, akan tetapi
juga faktor faktor lain.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda
dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui
setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat
dilihat pada rentang waktu yang panjang.
Keempat, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang
menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak.
Tidak bisa kita pungkiri, program program televisi.
b.

Cara mengatasi
Dalam mengatasi kesulitan-kesulitan pembelajaran afektif diatas terdapat beberapa
cara yang dapat diterapkan agar kesulitan-kesulitan tyersebut dapat diminimalisir dan bahkan
diatasi dengan baik. Cara-cara mengatasinya adalah :
Pertama, Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang digunakan
untuk mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi
kemampuan dalam bersikap pun tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa memiliki
generasi muda yang pintar akan tetapi perilakunya tidak mencerminkan orang yang memiliki
intektual. Pendidikan agama dan kewarganegaraan sampai saat ini merupakan pendidikan
yang wajib diberikan pada anak didik, karena dengan pendidikan agama dan moral dapat
mengontrol perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada perilaku yang buruk tetapi sangat
popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi. Kesadaran yang harus dimiliki diri anak yang
sangat baik ditanamkan sejak dini adalah sesuatu sikap yang sangat tepat dalam memfilter
perilaku anak, anak akan memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan mana
sikap yang baik dan mana sikap yang buruk bagi dirinya.
Kedua, Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan perilaku
yang akan dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran
yang intelektual dan juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat guru mengajarkan
bagaimananya caranya bersikap pada pengemis, pemulung, orang tua, dan lain sebagainya.
Guru pun dapat memberikan praktek melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
lingkungan masyarakat orang tua yang harus menjadi contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu
agama dan moral dari anak berusia dini, serta berikan perhatian dan penjelasan yang ringan

mengenai akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan beberapa contoh suri tauladan seperti
akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga memberikan contoh praktek bersikap yang
baik didepan anak-anaknya, agar anak bangga dan mencontohnya.
Ketiga, Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua serta
lingkungan berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman dan jauh
dari kekacauan. Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang optimal pada anak maka perilaku
anak akan mudah tergantikan dengan perilaku yang datang silih berganti, membuat perilaku
anak sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi anak tersebut.
Keempat, Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang baik
dari orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan
menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar.
Kedekatan orang tua dan anak sangat banyak membantu dalam mengotrol sikap anak dalam
menerima kemajuan teknologi yang ada, berikan anak kebebasan yang bertanggung jawab,
berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk bagi dirinya sendiri.
E.

Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif


Instrumen penilaian afektif meliputi lembar pengamatan sikap, minat, konsep diri,
nilai, dan moral.yaitu: Ditinjau dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran ranah
afektif, yaitu instrumen: (a) sikap, (b) minat, (c) konsep diri, (d) nilai, dan (e) moral. Ada 11
(sebelas) langkah dalam mengembangkan instrumen penilaian afektif, yaitu:
1. menentukan spesifikasi instrumen
2. menulis instrumen
3. menentukan skala instrumen
4. menentukan pedoman penskoran
5. menelaah instrumen
6. merakit instrumen

7. melakukan ujicoba
8. menganalisis hasil ujicoba
9. memperbaiki instrumen
10. melaksanakan pengukuran
11. menafsirkan hasil pengukuran

1. Spesifikasi instrumen
Ditinjau dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran ranah afektif, yaitu
instrumen: (a) sikap, (b) minat, (c) konsep diri, (d) nilai, dan (e) moral.
a. Instrumen sikap
Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek,
misalnya terhadap kegiatan sekolah, mata pelajaran, pendidik, dan sebagainya. Sikap
terhadap mata pelajaran bisa positif bisa negatif. Hasil pengukuran sikap berguna untuk
menentukan strategi pembelajaran yang tepat.
b. Instrumen minat
Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap
mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap
mata pelajaran.
c. Instrumen konsep diri
Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri
sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap potensi yang ada dalam
dirinya. Karakteristik potensi peserta didik sangat penting untuk menentukan jenjang
karirnya. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan
program yang sebaiknya ditempuh.
d. Instrumen nilai

Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta didik.
Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif. Hal-hal
yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang bersifat negatif dikurangi dan akhirnya
dihilangkan.
e. Instrumen moral
Instrumen moral bertujuan untuk mengungkap moral. Informasi moral seseorang
diperoleh melalui pengamatan terhadap perbuatan yang ditampilkan dan laporan diri melalui
pengisian kuesioner. Hasil pengamatan dan hasil kuesioner menjadi informasi tentang moral
seseorang. Dalam menyusun spesifikasi instrumen perlu memperhatikan empat hal yaitu: (1)
tujuan pengukuran, (2) kisi-kisi instrumen, (3) bentuk dan format instrumen, dan (4) panjang
instrumen.
Setelah menetapkan tujuan pengukuran afektif, kegiatan berikutnya adalah menyusun
kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi (blue-print), merupakan matrik yang berisi spesifikasi instrumen
yang akan ditulis. Langkah pertama dalam menentukan kisi-kisi adalah menentukan definisi
konseptual yang berasal dari teori-teori yang diambil dari buku teks. Selanjutnya
mengembangkan definisi operasional berdasarkan kompetensi dasar, yaitu kompetensi yang
dapat diukur. Definisi operasional ini kemudian dijabarkan menjadi sejumlah indikator.
Indikator merupakan pedoman dalam menulis instrumen. Tiap indikator bisa dikembangkan
dua atau lebih instrumen.
2. Penulisan instrumen
Penilaian ranah afektif peserta didik dilakukan dengan menggunakan instrumen
penilaian afektif sebagai berikut.
a. Instrumen sikap
Definisi konseptual: Sikap merupakan kecenderungan merespon secara konsisten baik
menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui
sikap peserta didik terhadap suatu objek, misalnya kegiatan sekolah. Sikap bisa positif bisa
negatif. Definisi operasional: sikap adalah perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek.
Objek bisa berupa kegiatan atau mata pelajaran. Cara yang mudah untuk mengetahui sikap
peserta didik adalah melalui kuesioner. Pertanyaan tentang sikap meminta responden
menunjukkan perasaan yang positif atau negatif terhadap suatu objek, atau suatu kebijakan.

Kata-kata yang sering digunakan pada pertanyaan sikap menyatakan arah perasaan seseorang;
menerima-menolak, menyenangi-tidak menyenangi, baik-buruk, diingini-tidak diingini.
Contoh indikator sikap terhadap mata pelajaran matematika misalnya.

Membaca buku matematika

Mempelajari matematika

Melakukan interaksi dengan guru matematika

Mengerjakan tugas matematika

Melakukan diskusi tentang matematika

Memiliki buku matematika

Contoh pernyataan untuk kuesioner:

Saya senang membaca buku matematika

Tidak semua orang harus belajar matematika

Saya jarang bertanya pada guru tentang pelajaran matematika

Saya tidak senang pada tugas pelajaran matematika

Saya berusaha mengerjakan soal-soal matematika sebaik-baiknya

Memiliki buku matematika penting untuk semua peserta didik

b. Instrumen minat
Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik
terhadap suatu mata pelajaran yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta
didik terhadap mata pelajaran tersebut. Definisi konseptual: Minat adalah keinginan yang
tersusun melalui pengalaman yang mendorong individu mencari objek, aktivitas, konsep, dan

keterampilan untuk tujuan mendapatkan perhatian atau penguasaan. Definisi operasional:


Minat adalah keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek.
Contoh indikator minat terhadap pelajaran matematika:

Memiliki catatan pelajaran matematika.

Berusaha memahami matematika

Memiliki buku matematika

Mengikuti pelajaran matematika

Contoh pernyataan untuk kuesioner:

Catatan pelajaran matematika saya lengkap

Catatan pelajaran matematika saya terdapat coretan-coretan tentang hal-hal yang


penting

Saya selalu menyiapkan pertanyaan sebelum mengikuti pelajaran matematika

Saya berusaha memahami mata pelajaran matematika

Saya senang mengerjakan soal matematika.

Saya berusaha selalu hadir pada pelajaran matematika

c. Instrumen konsep diri


Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri
sendiri. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan
program yang sebaiknya ditempuh oleh peserta didik. Definisi konsep: konsep diri
merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri yang menyangkut keunggulan dan
kelemahannya. Definisi operasional konsep diri adalah pernyataan tentang kemampuan diri
sendiri yang menyangkut mata pelajaran.
Contoh indikator konsep diri:

Memilih mata pelajaran yang mudah dipahami

Memiliki kecepatan memahami mata pelajaran

Menunjukkan mata pelajaran yang dirasa sulit

Mengukur kekuatan dan kelemahan fisik

Contoh pernyataan untuk instrumen:

Saya sulit mengikuti pelajaran matematika

Saya mudah memahami bahasa Inggris

Saya mudah menghapal suatu konsep.

Saya mampu membuat karangan yang baik

Saya merasa sulit mengikuti pelajaran fisika

Saya bisa bermain sepak bola dengan baik

Saya mampu membuat karya seni yang baik

Saya perlu waktu yang lama untuk memahami pelajaran fisika.

d. Instrumen nilai
Nilai merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi peserta didik.
Kegiatan yang disenangi peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh nilai (value) peserta didik
terhadap kegiatan tersebut. Misalnya, ada peserta didik yang menyukai pelajaran
keterampilan dan ada yang tidak, ada yang menyukai pelajaran seni tari dan ada yang tidak.
Semua ini dipengaruhi oleh nilai peserta didik, yaitu yang berkaitan dengan penilaian baik
dan buruk.
Nilai seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagaimana ia berbuat atau keinginan
berbuat. Nilai berkaitan dengan keyakinan, sikap dan aktivitas atau tindakan seseorang.
Tindakan seseorang terhadap sesuatu merupakan refleksi dari nilai yang dianutnya. Definisi

konseptual: Nilai adalah keyakinan terhadap suatu pendapat, kegiatan, atau objek. Definisi
operasional nilai adalah keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek atau kegiatan.
Misalnya keyakinan akan kemampuan peserta didik dan kinerja guru. Kemungkinan ada yang
berkeyakinan bahwa prestasi peserta didik sulit ditingkatkan atau ada yang berkeyakinan
bahwa guru sulit melakukan perubahan.
Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan individu. Informasi
yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif. Hal-hal yang positif
ditingkatkan sedang yang negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.
Contoh indikator nilai adalah:

Memiliki keyakinan akan peran sekolah

Menyakini keberhasilan peserta didik

Menunjukkan keyakinan atas kemampuan guru.

Mempertahankan keyakinan akan harapan masyarakat

Contoh pernyataan untuk kuesioner tentang nilai peserta didik:

Saya berkeyakinan bahwa prestasi belajar peserta didik sulit untuk

ditingkatkan.

Saya berkeyakinan bahwa kinerja pendidik sudah maksimal.

Saya berkeyakinan bahwa peserta didik yang ikut bimbingan tes cenderung akan
diterima di perguruan tinggi.

Saya berkeyakinan sekolah tidak akan mampu mengubah tingkat kesejahteraan


masyarakat.

Saya berkeyakinan bahwa perubahan selalu membawa masalah.

Saya berkeyakinan bahwa hasil yang dicapai peserta didik adalah atas usahanya.

Selain melalui kuesioner ranah afektif peserta didik, sikap, minat, konsep diri, dan
nilai dapat digali melalui pengamatan. Pengamatan karakteristik afektif peserta didik
dilakukan di tempat dilaksanakannya kegiatan pembelajaran. Untuk mengetahui keadaan
ranah afektif peserta didik, perlu ditentukan dulu indikator substansi yang akan diukur, dan
pendidik harus mencatat setiap perilaku yang muncul dari peserta didik yang berkaitan
dengan indikator tersebut.

e. Instrumen Moral
Instrumen ini bertujuan untuk mengetahui moral peserta didik.
Contoh indikator moral sesuai dengan definisi tersebut adalah:

Memegang janji

Memiliki kepedulian terhadap orang lain

Menunjukkan komitmen terhadap tugas-tugas

Memiliki Kejujuran

Contoh pernyataan untuk instrumen moral

Bila saya berjanji pada teman, tidak harus menepati.

Bila berjanji kepada orang yang lebih tua, saya berusaha menepatinya.

Bila berjanji pada anak kecil, saya tidak harus menepatinya.

Bila menghadapi kesulitan, saya selalu meminta bantuan orang lain.

Bila ada orang lain yang menghadapi kesulitan, saya berusaha membantu.

Kesulitan orang lain merupakan tanggung jawabnya sendiri.

Bila bertemu teman, saya selalu menyapanya walau ia tidak melihat saya.

Bila bertemu guru, saya selalu memberikan salam, walau ia tidak melihat saya.

Saya selalu bercerita hal yang menyenangkan teman, walau tidak seluruhnya benar.

Bila ada orang yang bercerita, saya tidak selalu mempercayainya.

3. Skala Instrumen Penilaian Afektif


Skala yang sering digunakan dalam instrumen penelilaian afektif adalah Skala Thurstone,
Skala Likert, dan Skala Beda Semantik.

Contoh Skala Thurstone: Minat terhadap pelajaran sejarah


No
1.

Saya senang belajar Sejarah

2.

Pelajaran sejarah bermanfaat

3.

Saya berusaha hadir tiap ada jam pelajaran sejarah

4.

Saya berusaha memiliki buku pelajaran Sejarah

5.

Pelajaran sejarah membosankan

6.

Dst.

Contoh skala Likert: Sikap terhadap pelajaran matematika


No

Pernyataan

1.

Pelajaran matematika bermanfaat

2.

Pelajaran matematika sulit

3.

Tidak semua harus belajar matematika

4.

Pelajaran matematika harus dibuat mud

5.

Sekolah saya menyenangkan

6.

Dst.

Keterangan:
SS

Sangat

setuju

TS

Setuju
Tidak

setuju

STS: Sangat tidak setuju


Contoh skala beda Semantik:

Pelajaran ekonomi
b

4. Sistem penskoran
Sistem penskoran yang digunakan tergantung pada skala pengukuran. Apabila
digunakan skala Thurstone, maka skor tertinggi untuk tiap butir 7 dan skor terendah 1.
Demikian pula untuk instrumen dengan skala beda semantik, tertinggi 7 terendah 1. Untuk
skala Likert, pada awalnya skor tertinggi tiap butir 5 dan terendah 1. Dalam pengukuran
sering terjadi kecenderungan responden memilih jawaban pada katergori tiga 3 (tiga) untuk
skala Likert. Untuk menghindari hal tersebut skala Likert dimodifikasi dengan hanya
menggunakan 4 (empat) pilihan, agar jelas sikap atau minat responden. Skor perolehan perlu
dianalisis untuk tingkat peserta didik dan tingkat kelas, yaitu dengan mencari rerata (mean)
dan simpangan baku skor. Selanjutnya ditafsirkan hasilnya untuk mengetahui minat masingmasing peserta didik dan minat kelas terhadap suatu mata pelajaran.
5. Telaah instrumen
Kegiatan

pada

telaah

instrumen

adalah

menelaah

apakah:

a)

butir

pertanyaan/pernyataan sesuai dengan indikator, b) bahasa yang digunakan komunikatif dan


menggunakan tata bahasa yang benar, c) butir peranyaaan/pernyataan tidak bias, d) format
instrumen menarik untuk dibaca, e) pedoman menjawab atau mengisi instrumen jelas, dan f)

jumlah butir dan/atau panjang kalimat pertanyaan/pernyataan sudah tepat sehingga tidak
menjemukan untuk dibaca/dijawab.
Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang diukur dan akan lebih baik bila ada
pakar penilaian. Telaah bisa juga dilakukan oleh teman sejawat bila yang diinginkan adalah
masukan tentang bahasa dan format instrumen. Bahasa yang digunakan adalah yang sesuai
dengan tingkat pendidikan responden. Hasil telaah selanjutnya digunakan untuk memperbaiki
instrumen. Panjang instrumen berhubungan dengan masalah kebosanan, yaitu tingkat
kejemuan dalam mengisi instrumen. Lama pengisian instrumen sebaiknya tidak lebih dari 30
menit. Langkah pertama dalam menulis suatu pertanyaan/pernyataan adalah informasi apa
yang ingin diperoleh, struktur pertanyaan, dan pemilihan kata-kata. Pertanyaan yang diajukan
jangan sampai bias, yaitu mengarahkan jawaban responden pada arah tertentu, positif atau
negatif.
Contoh pertanyaan yang bias:
Sebagian besar pendidik setuju semua peserta didik yang menempuh ujian akhir lulus.
Apakah saudara setuju bila semua peserta didik yang mengikuti ujian lulus semua?
Contoh pertanyaan yang tidak bias:
Sebagian pendidik setuju bahwa tidak semua peserta didik harus lulus, namun
sebagian lain tidak setuju. Apakah saudara setuju bila semua peserta didik yang menempuh
ujian akhir lulus semua?
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan kata-kata untuk suatu kuesioner,
yaitu:

Gunakan kata-kata yang sederhana sesuai dengan tingkat pendidikan responden

Pertanyaannya jangan samar-samar

Hindari pertanyaan yang bias.

Hindari pertanyaan hipotetikal atau pengandaian.

Hasil telaah instrumen digunakan untuk memperbaiki instrumen. Perbaikan dilakukan


terhadap konstruksi instrumen, yaitu kalimat yang digunakan, waktu yang diperlukan untuk
mengisi instrumen, cara pengisian atau cara menjawab instrumen, dan pengetikan.
6. Merakit instrumen
Setelah instrumen diperbaiki selanjutnya instrumen dirakit, yaitu menentukan format
tata letak instrumen dan urutan pertanyaan/ pernyataan. Format instrumen harus dibuat
menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga responden tertarik untuk membaca dan
mengisinya. Setiap sepuluh pertanyaan sebaiknya dipisahkan dengan cara memberi spasi
yang lebih, atau diberi batasan garis empat persegi panjang. Urutkan pertanyaan/pernyataan
sesuai dengan tingkat kemudahan dalam menjawab atau mengisinya.
7. Ujicoba instrumen
Setelah dirakit instrumen diujicobakan kepada responden, sesuai dengan tujuan
penilaian apakah kepada peserta didik, kepada guru atau orang tua peserta didik. Untuk itu
dipilih sampel yang karakteristiknya mewakili populasi yang ingin dinilai. Bila yang ingin
dinilai adalah peserta didik SMA, maka sampelnya juga peserta didik SMA. Sampel yang
diperlukan minimal 30 peserta didik, bisa berasal dari satu sekolah atau lebih. Pada saat
ujicoba yang perlu dicatat adalah saran-saran dari responden atas kejelasan pedoman
pengisian instrumen, kejelasan kalimat yang digunakan, dan waktu yang diperlukan untuk
mengisi instrumen. Waktu yang digunakan disarankan bukan waktu saat responden sudah
lelah. Selain itu sebaiknya responden juga diberi minuman agar tidak lelah. Perlu diingat
bahwa pengisian instrumen penilaian afektif bukan merupakan tes, sehingga walau ada
batasan waktu namun tidak terlalu ketat. Agar responden mengisi instrumen dengan akurat
sesuai harapan, maka sebaiknya instrumen dirancang sedemikian rupa sehingga waktu yang
diperlukan mengisi instrumen tidak terlalu lama. Berdasarkan pengalaman, waktu yang
diperlukan agar tidak jenuh adalah 30 menit atau kurang.
8. Analisis hasil ujicoba
Analisis hasil ujicoba meliputi variasi jawaban tiap butir pertanyaan/pernyataan. Jika
menggunakan skala instrumen 1 sampai 7, dan jawaban responden bervariasi dari 1 sampai 7,
maka butir pertanyaan/pernyataan pada instrumen ini dapat dikatakan baik. Namun apabila
jawabannya hanya pada satu pilihan jawaban saja, misalnya pada pilihan nomor 3, maka butir

instrumen ini tergolong tidak baik. Indikator yang digunakan adalah besarnya daya beda.
Bila daya beda butir instrumen lebih dari 0,30, butir instrumen tergolong baik.
Indikator lain yang diperhatikan adalah indeks keandalan yang dikenal dengan indeks
reliabilitas. Batas indeks reliabilitas minimal 0,70. Bila indeks ini lebih kecil dari 0,70,
kesalahan pengukuran akan melebihi batas. Oleh karena itu diusahakan agar indeks
keandalan instrumen minimal 0,70.
9. Perbaikan instrumen
Perbaikan dilakukan terhadap butir-butir pertanyaan/pernyataan yang tidak baik,
berdasarkan analisis hasil ujicoba. Bisa saja hasil telaah instrumen baik, namun hasil ujicoba
empirik tidak baik. Untuk itu butir pertanyaan/pernyataan instrumen harus diperbaiki.
Perbaikan termasuk mengakomodasi saran-saran dari responden ujicoba. Instrumen
sebaiknya dilengkapi dengan pertanyaan terbuka.
10. Pelaksanaan pengukuran
Pelaksanaan pengukuran perlu memperhatikan waktu dan ruangan yang digunakan.
Waktu pelaksanaan bukan pada waktu responden sudah lelah. Ruang untuk mengisi
instrumen harus memiliki cahaya (penerangan) yang cukup dan sirkulasi udara yang baik.
Tempat duduk juga diatur agar responden tidak terganggu satu sama lain. Diusahakan agar
responden tidak saling bertanya pada responden yang lain agar jawaban kuesioner tidak sama
atau homogen. Pengisian instrumen dimulai dengan penjelasan tentang tujuan pengisian,
manfaat bagi responden, dan pedoman pengisian instrumen.
11. Penafsiran hasil pengukuran
Hasil pengukuran berupa skor atau angka. Untuk menafsirkan hasil pengukuran
diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan tergantung pada skala dan jumlah butir
pertanyaan/pernyataan yang digunakan. Misalkan digunakan skala Likert yang berisi 10 butir
pertanyaan/ pernyataan dengan 4 (empat) pilihan untuk mengukur sikap peserta didik. Skor
untuk butir pertanyaan/pernyataan yang sifatnya positif: Sangat setuju = 4; Setuju = 3;
Tidak setuju = 2; Sangat tidak setuju = 1. Sebaliknya untuk pertanyaan/pernyataan yang
bersifat negatif: Sangat setuju = 1; Setuju = 2; Tidak setuju = 3; Sangat tidak setuju = 4
Skor tertinggi untuk instrumen tersebut adalah 10 butir x 4 = 40, dan skor terendah 10
butir x 1 = 10. Skor ini dikualifikasikan misalnya menjadi empat kategori sikap atau minat,

yaitu sangat tinggi (sangat baik), tinggi (baik), rendah (kurang), dan sangat rendah (sangat
kurang). Berdasarkan kategori ini dapat ditentukan minat atau sikap peserta didik.
Selanjutnya dapat dicari sikap dan minat kelas terhadap mata pelajaran tertentu. Penentuan
kategori hasil pengukuran sikap atau minat dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Kategorisasi sikap atau minat peserta didik untuk 10 butir
pernyataan, dengan rentang skor 10 40.

Sangat tinggi/Sangat baik


Tinggi/Baik
Rendah/Kurang
Sangat rendah/Sangat kurang
Keterangan Tabel 1:
1. Skor batas bawah kategori sangat tinggi atau sangat baik adalah: 0,80 x 40 = 36, dan
batas atasnya 40.
2. Skor batas bawah pada kategori tinggi atau baik adalah: 0,70 x 40 = 28, dan skor batas
atasnya adalah 35.
3. Skor batas bawah pada kategori rendah atau kurang adalah: 0,50 x 40 = 20, dan skor
batas atasnya adalah 27.
4. Skor yang tergolong pada kategori sangat rendah atau sangat kurang adalah kurang
dari 20.
Tabel 2 Kategorisasi sikap atau minat kelas
No.

Skor Rata Rata Kelas

Kategori Sikap/ Minat

1.

Lebih besar dari 35

Sangat tinggi/Sangat baik

2.

28 sampai 35

Tinggi/Baik

3.

28 sampai 35

Rendah/Kurang

Kurang dari 20

Sangat rendah/Sangat kurang

Keterangan:

1. Rata-rata skor kelas: jumlah skor semua peserta didik dibagi jumlah peserta didik di
kelas ybs.
2. Skor batas bawah kategori sangat tinggi atau sangat baik adalah: 0,80 x 40 = 36, dan
batas atasnya 40.
3. Skor batas bawah pada kategori tinggi atau baik adalah: 0,70 x 40 = 28, dan skor batas
atasnya adalah 35.
4. Skor batas bawah pada kategori rendah atau kurang adalah: 0,50 x 40 = 20, dan skor
batas atasnya adalah 27.
5. Skor yang tergolong pada kategori sangat rendah atau sangat kurang adalah kurang
dari 20.
Pada Tabel 1 dapat diketahui minat atau sikap tiap peserta didik terhadap tiap mata pelajaran.
Bila sikap peserta didik tergolong rendah, maka peserta didik harus berusaha meningkatkan
sikap dan minatnya dengan bimbingan pendidik. Sedang bila sikap atau minat peserta didik
tergolong tinggi, peserta didik harus berusaha mempertahankannya.
Tabel 2 menujukkan minat atau sikap kelas terhadap suatu mata pelajaran. Dalam
pengukuran sikap atau minat kelas diperlukan informasi tentang minat atau sikap setiap
peserta didik terhadap suatu objek, seperti mata pelajaran. Hasil pengukuran minat kelas
untuk semua mata pelajaran berguna untuk membuat profil minat kelas. Jadi satuan
pendidikan akan memiliki peta minat kelas dan selanjutnya dikaitkan dengan profil prestasi
belajar. Umumnya peserta didik yang berminat pada mata pelajaran tertentu prestasi
belajarnya untuk mata pelajaran tersebut baik.
C. Observasi
Penilaian ranah afektif peserta didik selain menggunakan kuesioner juga bisa
dilakukan melalui observasi atau pengamatan. Prosedurnya sama, yaitu dimulai dengan
penentuan definisi konseptual dan definisi operasional. Definisi konseptual kemudian
diturunkan menjadi sejumlah indikator. Indikator ini menjadi isi pedoman observasi.
Misalnya indikator peserta didik berminat pada mata pelajaran matematika adalah kehadiran
di kelas, kerajinan dalam mengerjakan tugas-tugas, banyaknya bertanya, kerapihan dan
kelengkapan catatan. Hasil observasi akan melengkapi informasi dari hasil kuesioner. Dengan

demikian informasi yang diperoleh akan lebih akurat, sehingga kebijakan yang ditempuh
akan lebih tepat.
Sebelum membahas mengenai strategi belajar mengajar maka hendaknya kita mengetahui
perbedaan antara strategi, metode, teknik, maupun pendekatan. Karena banyak orang bingung
untuk membedakannya. Strategi merupakan kumpulan sejumlah metode/cara/pola dalam
mencapai/melaksanakan sesuatu atau mengerjakan sesuatu. Sedangan Metode merupakan
kumpulan sejumlah teknik, dan Teknik adalah taktik atau cara kerja. Pendekatan (approach)
adalah pola/dasar berfikir atau kerangka berfikir dalam menghadapi/
menyelesaikan/mengerjakan sesuatu. Tentu saja Pendekatan seseorang akan menentukan
strateginya, sedangkan metode serta teknik kerja akan ditentukan oleh pilihan strategi orang
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai