PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Konflik antar etnis mungkin sudah terjadi dihampir seluruh negara di dunia, tidak
terkecuali dengan Irlandia Utara. Negara ini memang jarang disorot media, namun ketika
dikaitkan dengan konflik maka yang akan menjadi topik pembicaraan yaitu mengenai The
Troubles. The Troubles merupakan sebutan untuk periode konflik yang terjadi di Irlandia Utara
sejak tahun 1966 dimana melibatkan kaum loyalitas dan unionis (umumnya Protestan) yang pro
bersatu dengan Inggris melawan kaum nasionalis & republikan (umumnya Katolik) yang pro
bersatu dengan Irlandia.
Pada dasarnya penduduk Kepulauan Irlandia, tidak terkecuali Irlandia Utara
mayoritasnya beragama Kristen, sedangkan yang beragama Protestan merupakan para imigran
yang berasal dari Inggris. Sejak abad ke-5, etnis Kelt yang merupakan cikal bakal orang-orang
Irish mendapat diskriminasi dari bangsa Anglo yang menjadi cikal bakal orang-orang English
akibat adanya perbedaan penggunaan gereja. Kerajaan Inggris yang membentuk Gereja Nasional
membuat munculnya rasa tidak suka orang-orang Irish yang masih menggunakan Gereja Katolik
Roma. Hal inilah yang menjadi awal munculnya diskriminasi terhadap orang-orang Irlandia.
Rasa terdiskriminasi yang semakin tinggi dirasakan oleh orang-orang di Kepulauan
Irlandia, terutama Irlandia Utara. Ini disebabkan oleh imigran dari Inggris yang menjadi
mayoritas di Irlandia Utara dan menekan keberadaan pendudul lokal disana. Pada akhirnya
muncullah dua kelompok yang kelompok besar di Irlandia: kelompok loyalis & unionis
(mayoritasnya Protestan) yg dekat dengan Inggris serta golongan nasionalis (mayoritasnya
Katolik) yg menginginkan restorasi parlemen yg berkuasa di Irlandia agar kaum Katolik Irlandia
bisa mendapatkan kesetaraan dengan kaum Protestan.
Konflik di Irlandia Utara ini sudah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Adanya
keinginan untuk hidup secara damai pun lambat laun muncul dari kedua pihak Sebagai pihak
minoritas disini, sikap yang diambil oleh kaum Katolik Irlandia ini menjadi salah satu faktor
yang mendorong munculnya berbagai upaya-upaya penyelesaian konflik dari kedua belah pihak.
1
Posisi mereka sebagai penduduk asli yang terminoritaskan dan berjuang untuk mendapatkan
keadilan inilah yang dianggap menarik oleh penulis. Inilah yang menjadi dasar dari dipilihnya
judul Peran Minoritas Katolik Irlandia dalam Penyelesaian Konflik The Troubles di Irlandia
Utara sebagai fokus pembahasan di dalam paper ini.
II.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih
lanjut mengenai Peran Minoritas Katolik Irlandia dalam Penyelesaian Konflik The Troubles
di Irlandia Utara
BAB II
KERANGKA TEORI
I.
Konflik
II.
Minoritas
Minoritas merujuk pada kelompok bawahan maupun marginal. Minoritas sosiologis
tak perlu bersifat numerik sebab dapat mencakup kelompok yang di bawah normal
dengan memandang pada kelompok dominan dalam hal status sosial, pendidikan,
pekerjaan, kekayaan, dan kekuasaan politik. Kelompok sosial yang tak menyusun
mayoritas populasi total dari voting dominan secara politis dari suatu kelompok
masyarakat tertentu. Istilah "kelompok minoritas" sering diterapkan bersama dengan
wacana hak asasi manusia dan hak kolektif yang mengemuka di abad ke-20. Kelompok
minoritas adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku
bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk. Minoritas
sebagai kelompok yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
penduduk lainnya dari negara bersangkutan dalam posisi yang tidak dominan.
Keanggotaannya memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda
dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit sikap solidaritas
yang ditujukan untuk melestarikan budaya, tradisi,agama dan bahasa. (academia.edu)
III.
Sektarianisme
BAB III
3
PEMBAHASAN
I.
menangkap mereka yg dianggap terlibat dengan IRA tanpa harus melalui proses
peradilan. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi & tekanan bagi kaum Katolik di
Irlandia Utara sehingga menjelang dekade 1960-an, IRA memutuskan untuk
menghentikan aktivitas bersenjatanya.
Sebagai bagian dari Kerajaan Inggris, Irlandia Utara memiliki hak istimewa untuk
mendirikan parlemen sendiri. Di dalam pemerintahannya, Irlandia Utara menerapkan
kebijakan
yg
cenderung
mengistimewakan
kaum
mayoritas
Protestan
&
II.
UVF sebagai gerakan ilegal & menangkap pemimpinnya, namun faktanya UVF tetap
melancarkan aksinya walau secara sembunyi-sembunyi.
Dari tahun 1969 sudah terjadi beberapa kerusuhan yang terjadi diantara kedua
belah pihak. Pertama, terjadi kerusuhan besar yg dikenal sebagai Pertempuran Bogside
(Battle of the Bogside) antara penduduk lokal Derry yang mayoritas Katolik & nasionalis
dengan polisi keamanan RUC (Royal Ulster Constabulary). Kerusuhan yang
menyebabkan ribuan korban luka ini terjadi akibat kekesalan warga terhadap kinerja
polisi RUC yang dianggap sebagai perpanjangan tangan kaum loyalis karena anggotanya
didominasi Protestan. Rangkaian aksi balasan setelah kejadian di Bogside membuat
pemerintah Irlandia Utara akhirnya meminta penerjunan tentara Inggris di sejumlah
wilayah konflik di Irlandia Utara untuk memulihkan kondisi di Irlandia Utara &
mencegah konflik sektarian lebih jauh. Kebijakan penempatan tentara Inggris di Irlandia
Utara tersebut juga dikenal sebagai "Operasi Banner". Di awal kedatangannya, tentara
Inggris disambut dengan hangat oleh komunitas Katolik yg memang sudah muak dengan
aktivitas polisi RUC yg dianggap tidak serius mencegah konflik sektarian sambil
berharap tentara Inggris bisa bertindak sebagai pihak netral dalam menengahi konflik &
melindungi mereka dari serangan-serangan yg dilakukan kelompok loyalis & Protestan.
Sejumlah pihak dari kubu Katolik & nasionalis menuding IRA gagal
melaksanakan tugasnya untuk melindungi komunitas Katolik yg ada di Belfast. IRA
sendiri beralasan mereka berusaha menghindari baku tembak di wilayah padat penduduk
untuk mencegah terjadinya konflik sektarian lebih jauh. Kebijakan IRA tersebut
menimbulkan perpecahan internal sehingga sejak akhir tahun 1969, IRA terpecah
menjadi 2: Provisional IRA (PIRA) yg berhaluan nasionalis republik & Official IRA
(OIRA) yg berhaluan sosialis. Keduanya memiliki tujuan yg sama: menyatukan Irlandia
menjadi satu negara, namun dengan cara yg agak berbeda. OIRA berusaha menghindari
kontak senjata di wilayah padat penduduk dengan harapan bisa menyatukan komunitas
Katolik & Protestan, sementara PIRA tidak segan-segan melakukan aksi bersenjata di
wilayah padat penduduk dengan tujuan membuat korban dari pihak musuh sebanyak
mungkin hingga Inggris setuju untuk pergi dari Irlandia Utara. Terpecahnya IRA yg
diikuti dengan berdirinya PIRA yg menyatakan tidak segan-segan melakukan aksi
7
bersenjata terhadap kaum loyalis memunculkan ketakutan baru bagi kaum loyalis &
Protestan. Maka pada tahun 1971, kaum loyalis kembali membentuk organisasi
paramiliter baru bernama Ulster Defence Association (UDA) yg bertujuan untuk
melindungi keberadaan kaum loyalis-Protestan & mengimbangi aktivitas PIRA di mana
mereka menyatakan baru akan berhenti beraksi bila PIRA juga menghentikan aksinya.
Terpecahnya IRA & kemunculan UDA beserta UVF menandai periode baru dalam
The Troubles di mana konflik yg semula hanya sebatas kerusuhan sipil berubah menjadi
perang bersenjata. Ini dimulai dari awal hingga pertengahan dekade 1970-an yang
merupakan salah satu era paling berdarah dalam perkembangan The Troubles. Hal ini
disebabkan karena di masa ini, PIRA sedang giat-giatnya melakukan aksi bersenjata yg
ditujukan terhadap tentara Inggris & kaum loyalis. Salah satu peristiwa paling penting
dalam dekade 1970-an adalah insiden Bloody Sunday (Minggu Berdarah) yg terjadi pada
tanggal 30 Januari 1972 di area Bogside, Kota Derry. Dikatakan bahwa militer Inggris
mendengar ada sejumlah sniper IRA yg menyamar dalam demonstrasi yg dilakukan
NICRA. Kabar tersebut lalu direspon dengan penerjunan pasukan Inggris ke wilayah
Bogside, Derry, yg kemudian melepaskan tembakan ke arah kerumuman demonstran
sehingga 14 orang tewas tertembak & 13 lainnya terluka. Pihak tentara mengatakan
bahwa mereka hanya bereaksi karena diserang lebih dulu oleh demonstran memakai
senapan & bom rakitan, namun klaim itu dibantah oleh saksi mata yg mengatakan tak
satupun dari demonstran yg ditembak membawa atau menggunakan senjata.
Bagaimanapun respon kedua pihak, Bloody Sunday membawa dampak negatif,
baik bagi tentara Inggris maupun perkembangan The Troubles sendiri. Sebelum peristiwa
Bloody Sunday, warga Katolik Irlandia bersikap hangat kepada tentara Inggris karena
menganggap mereka sebagai pihak netral yg bisa diandalkan untuk melindungi mereka
dari konflik sektarian. Namun usai peristiwa penembakan tersebut, opini mereka berubah
di mana mereka kemudian menganggap pihak tentara tidak ada bedanya dengan
kelompok paramiliter Ulster & polisi RUC yg semena-mena. Di sisi lain, berubahnya
opini warga Katolik terhadap tentara Inggris membuat perkembangan The Troubles
semakin rumit karena sesudah peristiwa Bloody Sunday, jumlah orang yg bergabung ke
PIRA bertambah banyak. Kejadian ini juga membuat OIRA memecah dirinya menjadi
8
Partai Pekerja (ingin menggapai kemerdekaan Irlandia Utara tanpa jalan kekerasan) dan
Irish National Liberation Army (INLA) pada pertengahan 1972. INLA pun membentuk
partai politik yang berhaluan sosialis Marxis, yaitu Irish Republican Socialist Party
(IRSP).
Tahun 1979 memperlihatkan tingginya tingkat pembunuhan yang dilakukan oleh
kelompok paramiliter yang bermayoritas Kristen Irlandia. Pertama dengan kematian 3
figur penting Inggris, yaitu Richard Sykes (duta besar Inggris untuk Belanda), Airey
Neave (anggota parlemen Partai Konservatif Inggris), & Lord Louis Mountbatten
(sepupu Ratu Elizabeth yg juga merupakan veteran Perang Dunia II). Sykes dibunuh oleh
anggota PIRA di Den Haag, Neave terbunuh ketika mobil pribadinya diledakkan oleh
anggota INLA, sementara Mountbatten tewas bersama 5 anggota keluarganya setelah
kapal pesiar pribadi yg mereka naiki meledak di perairan laut dekat Sligo, Irlandia. Selain
ketiga figur penting tersebut, jumlah korban tewas dari pihak tentara Inggris & polisi
RUC juga terus bertambah akibat aksi-aksi pembunuhan yg sebagian besar dilakukan
oleh PIRA. Adanya kejenuhan dari masyarakat sipil dengan pertumpahan darah yang
terjadi menjadikan mereka lebih berperan dalam proses perdamaian dalam menyelesaikan
konflik The Troubles.
III.
langsung menambah kekuatan bagi mereka untuk terus menjalankan aksi-aksi bersenjata.
Ini terlihat dari Aksi pengeboman di Hotel Grand di Brighton, Inggris pada 12 Oktober
1984. Aksi pengeboman tersebut menarik atensi publik begitu besar karena di saat
bersamaan, Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher sedang berada di sana dalam
kongres Partai Konservatif. Tercatat 5 orang terbunuh & 34 lainnya luka-luka, namun
Thatcher sendiri selamat dalam aksi pengeboman tersebut. Aksi pengeboman tersebut
dianggap sebagai aksi balas dendam PIRA terhadap pemerintah Inggris atas kematian
Bobby Sands & simpatisan republikan lainnya dalam aksi mogok makan tahun 1981.
Melihat aksi dari yang dilakukan kaum minoritas, baik simpatisan maupun
paramiliternya membuat Inggris kembali melakukan pembicaraan dengan Irlandia &
menghasilkan suatu kesepakatan yg dikenal sebagai Perjanjian Anglo-Irlandia (AngloIrish Agreement). Inti dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada Irlandia
sebagai penasihat bagi Irlandia Utara untuk menyelesaikan konflik & tidak akan ada
perubahan dalam konstitusi Irlandia Utara, kecuali mayoritas dari anggotanya memilih
untuk bergabung ke dalam komunitas republik. Namun, perjanjian tersebut juga
mendapat penolakan baik dari kaum unionis maupun republik. Kaum unionis menolak
perjanjian tersebut karena memberi keleluasaan bagi Irlandia untuk mencampuri kegiatan
politik Irlandia Utara, sementara kaum republik - khususnya PIRA - melakukan
penolakan karena perjanjian tersebut masih menetapkan Irlandia Utara sebagai bagian
dari
Inggris.
Lepas
dari
penolakan
yg
diterima,
perjanjian
tersebut
tetap
11
Menurunnya konflik yang terjadi membuat pihak Inggris dan Irlandia semakin
optimis mengupayakan pembicaraan lebih lanjut untuk mengakhiri konflik di Irlandia
Utara. Tahun 1998, pasca pembicaraan panjang yg diadakan sejak beberapa tahun
sebelumnya antar partai-partai di Irlandia Utara beserta pemerintah Inggris & Irlandia,
Perjanjian Belfast (dikenal juga sebagai Perjanjian Jumat Agung atau "Good Friday
Agreement) dirumuskan. Sejumlah poin penting dalam perjanjian ini antara lain Irlandia
Utara tetap menjadi bagian dari Inggris kecuali mayoritas rakyatnya berubah pendirian,
pendirian komisi HAM di Irlandia Utara, penyusunan sistem pemerintahan di Irlandia
Utara yg komposisi anggotanya harus terdiri dari partai loyalis & republik, serta
berakhirnya operasi militer Inggris di Irlandia Utara. Dicapainya Perjanjian Belfast juga
disebut-sebut sebagai akhir dari The Troubles.
Berbagai perubahan dilakukan sebagai penerapan lanjutan dari Perjanjian Belfast.
Salah satu perubahan penting yg dilakukan adalah reformasi dalam tubuh kepolisian
RUC (Royal Ulster Constabulary) di mana pada tahun 2001, namanya diubah menjadi
Police Service of Northern Ireland (PSNI) yg komposisi anggotanya terdiri dari 50%
Katolik & 50% Protestan. Perubahan tersebut dilakukan untuk menghapus citra polisi di
Irlandia Utara yg selama ini dianggap diskriminatif & semena-mena terhadap komunitas
Katolik & nasionalis serta mengembalikan peran mereka sebagai penjaga ketertiban di
Irlandia Utara usai penarikan mundur tentara Inggris.
Tidak hanya dalam tubuh kepolisiannya saja, kelompok-kelompok paramiliter di
Irlandia Utara pun menghentikan aktivitas bersenjatanya untuk sementara waktu. Usai
Perjanjian Belfast disahkan, pelucutan senjata masing-masing kelompok paramiliter
dilakukan. Fokus utama dalam upaya pelucutan senjata adalah PIRA mengingat
kelompok paramiliter ini merupakan yang terbesar & paling dominan semasa The
Troubles berlangsung. Upaya tersebut akhirnya terwujud setelah pada tahun 2005, PIRA
dipastikan sudah menghancurkan semua stok persenjataannya dengan disaksikan oleh tim
pengawas independen. Setelah pelucutan senjata milik PIRA dilakukan, pelucutan senjata
dilakukan kepada kelompok-kelompok paramiliter lain seperti UDA & UVF.
12
BAB IV
PENUTUP
13
I.
Kesimpulan
Konflik The Troubles di Irlandia Utara ini bermula dari penduduk asli Irlandia
yang sering disebut Katolik Irlandia. Katolik Irlandia merupakan mayoritas di Pulau
Irlandia, namun minoritas di Irlandia Utara, dimana wilayah tersebut mayoritasnya
merupakan imigran Inggris yang mayoritas Protestan. Kelompok minoritas ini merasa
didiskriminasi baik secara etnis, agama, maupun hak-hak yang seharusnya didapat,
seperti politik, ekonomi maupun sosial. Hal inilah yang memunculkan benih-benih
nasionalisme bangsa Irlandia, dimana ada keinginan untuk memerdekakan Irlandia
seutuhnya. Muncul dua kelompok dengan pemikiran yang berbeda, yaitu kelompok
loyalis & unionis (mayoritasnya Protestan) yang dekat dengan Inggris serta golongan
nasionalis dan republic (mayoritasnya Katolik) yg menginginkan restorasi parlemen yg
berkuasa di Irlandia agar kaum Katolik Irlandia bisa mendapatkan kesetaraan dengan
kaum Protestan Inggris. Tidak dimerdekakannya Pulau Irlandia seutuhnya memunculkan
konflik diantara kedua kelompok tersebut.
Konflik antara kaun Katolik/Nasionalis dengan kaum Protestan/Unions bersifat
peperangan terbuka secara fisik juga politik, secara militer konflik ini diwakili oleh
organisasi paramiliter yang dibentuk oleh masing-masing pihak. Kaum diwakili oleh
IRA, PIRA dan OIRA sementara kaum diwakili oleh UVF dan UDA. Karena korban
yang terus berjatuhan dan kondisi yang terus memburuk, maka tentara Inggris pun
dilibatkan pada tahun 1969 demi menjaga keamanan dan stabilitas wilayah, sehingga
konflik tidak lepas dari campur tangan Inggris. Konflik menjadi susah dikendalikan
karena terdapat banyak masalah kompleks, seperti sektarianisme (permusuhan antara
Katolik-Protestan di Irlandia), masalah etnis (permusuhan antara etnis Irish-English),
kondisi sosial ekonomi (perlakuan diskriminasi) serta politik (antara Nasionalis dan
Unionis) dimana masalah tersebut sudah menjadi akar masalah yang belum teratasi sejak
berabad-abad yang lalu.
Bloody Sunday membawa dampak yang negatif terhadap konflik The Troubles
dan pandangan penduduk asli Irlandia terhadap tentara Inggris. Gerakan bersenjata
memang semakin banyak, namun kejenuhan akan kondisi inipun mulai memunculkan
adanya niat untuk menghentikan konflik ini. Aksi mogok makan oleh Bobby Sands dan
14
Saran
Melihat telah terciptanya perdamaian antara Katolik Irlandia dan Protestan Inggris,
maka sebaiknya gerakan paramiliter yang masih tersisa, yaitu RIRA & CIRA dihentikan.
Walaupun mungkin tidak begitu aktif, namun bisa jadi suatu saat konflik lama akan
diungkit kembali dan akan menyulut terjadinya konflik yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/5147635/KODIFIKASI_HUKUM_DAN_INTERPRETASI_HUKU
M
15
OLEH :
Merry Sukmasasmita
Ratna Pramesti
Deadora Isabel Dos Reis Saldanha
Ni Made Mahatma Devi
(1321105014)
(1321105016)
(1321105037)
(1321105045)
17