Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
I.

Latar Belakang
Konflik antar etnis mungkin sudah terjadi dihampir seluruh negara di dunia, tidak

terkecuali dengan Irlandia Utara. Negara ini memang jarang disorot media, namun ketika
dikaitkan dengan konflik maka yang akan menjadi topik pembicaraan yaitu mengenai The
Troubles. The Troubles merupakan sebutan untuk periode konflik yang terjadi di Irlandia Utara
sejak tahun 1966 dimana melibatkan kaum loyalitas dan unionis (umumnya Protestan) yang pro
bersatu dengan Inggris melawan kaum nasionalis & republikan (umumnya Katolik) yang pro
bersatu dengan Irlandia.
Pada dasarnya penduduk Kepulauan Irlandia, tidak terkecuali Irlandia Utara
mayoritasnya beragama Kristen, sedangkan yang beragama Protestan merupakan para imigran
yang berasal dari Inggris. Sejak abad ke-5, etnis Kelt yang merupakan cikal bakal orang-orang
Irish mendapat diskriminasi dari bangsa Anglo yang menjadi cikal bakal orang-orang English
akibat adanya perbedaan penggunaan gereja. Kerajaan Inggris yang membentuk Gereja Nasional
membuat munculnya rasa tidak suka orang-orang Irish yang masih menggunakan Gereja Katolik
Roma. Hal inilah yang menjadi awal munculnya diskriminasi terhadap orang-orang Irlandia.
Rasa terdiskriminasi yang semakin tinggi dirasakan oleh orang-orang di Kepulauan
Irlandia, terutama Irlandia Utara. Ini disebabkan oleh imigran dari Inggris yang menjadi
mayoritas di Irlandia Utara dan menekan keberadaan pendudul lokal disana. Pada akhirnya
muncullah dua kelompok yang kelompok besar di Irlandia: kelompok loyalis & unionis
(mayoritasnya Protestan) yg dekat dengan Inggris serta golongan nasionalis (mayoritasnya
Katolik) yg menginginkan restorasi parlemen yg berkuasa di Irlandia agar kaum Katolik Irlandia
bisa mendapatkan kesetaraan dengan kaum Protestan.
Konflik di Irlandia Utara ini sudah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Adanya
keinginan untuk hidup secara damai pun lambat laun muncul dari kedua pihak Sebagai pihak
minoritas disini, sikap yang diambil oleh kaum Katolik Irlandia ini menjadi salah satu faktor
yang mendorong munculnya berbagai upaya-upaya penyelesaian konflik dari kedua belah pihak.
1

Posisi mereka sebagai penduduk asli yang terminoritaskan dan berjuang untuk mendapatkan
keadilan inilah yang dianggap menarik oleh penulis. Inilah yang menjadi dasar dari dipilihnya
judul Peran Minoritas Katolik Irlandia dalam Penyelesaian Konflik The Troubles di Irlandia
Utara sebagai fokus pembahasan di dalam paper ini.

II.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih

lanjut mengenai Peran Minoritas Katolik Irlandia dalam Penyelesaian Konflik The Troubles
di Irlandia Utara

BAB II
KERANGKA TEORI

I.

Konflik

II.

Minoritas
Minoritas merujuk pada kelompok bawahan maupun marginal. Minoritas sosiologis
tak perlu bersifat numerik sebab dapat mencakup kelompok yang di bawah normal
dengan memandang pada kelompok dominan dalam hal status sosial, pendidikan,
pekerjaan, kekayaan, dan kekuasaan politik. Kelompok sosial yang tak menyusun
mayoritas populasi total dari voting dominan secara politis dari suatu kelompok
masyarakat tertentu. Istilah "kelompok minoritas" sering diterapkan bersama dengan
wacana hak asasi manusia dan hak kolektif yang mengemuka di abad ke-20. Kelompok
minoritas adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku
bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk. Minoritas
sebagai kelompok yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
penduduk lainnya dari negara bersangkutan dalam posisi yang tidak dominan.
Keanggotaannya memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda
dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit sikap solidaritas
yang ditujukan untuk melestarikan budaya, tradisi,agama dan bahasa. (academia.edu)

III.

Sektarianisme

BAB III
3

PEMBAHASAN

I.

Latar Belakang Terjadinya Konflik The Troubles


Jika dilihat lebih jauh, munculnya The Troubles tidak lepas dari rasa
terdiskriminasi yang dirasakan oleh penduduk asli Irlandia sejak awal abad ke-17.
Kepulauan Irlandia terbagi atas dua, yaitu Irlandia Utara dan Irlandia Selatan yang mana
penduduk aslinya beragama Katolik sehingga sering disebut sebagai Katolik Irlandia.
Kedatangan kaum imigran Inggris Protestan pasca invasi bangsa Normandia ke Irlandia
mendesak keberadaan penduduk asli Katolik Irlandia sehingga muncul konflik antara
kedua etnis. Pada waktu itu perang dimenangkan oleh kaum Protestan Inggris sehingga
memberi mereka dominansi kekuasaan di Pulau Irlandia sekaligus menciptakan
diskriminasi atas penduduk asli setempat. Setelah Inggris menjadikan Irlandia sebagai
bagian dari wilayahnya sejak awal abad ke-19, muncullah 2 kelompok besar di Irlandia:
kelompok loyalis & unionis (mayoritasnya Protestan) yang dekat dengan Inggris serta
golongan nasionalis dan republic (mayoritasnya Katolik) yg menginginkan restorasi
parlemen yg berkuasa di Irlandia agar kaum Katolik Irlandia bisa mendapatkan
kesetaraan dengan kaum Protestan Inggris.
Terjadinya gejolak di dalam Irish Parliamentary Party (IPP) pada permulaan abad
ke-20 memberi keleluasaan bagi kaum nasionalis & republik untuk segera mengupayakan
restorasi parlemen Irlandia. IPP yang berhaluan loyalis-unionis memegang peranan
penting dalam aktivitas politik internal Irlandia. Hal ini membawa ketakutan kepada
kaum unionis & loyalis, sehingga pada tahun 1912 mereka mendirikan angkatan
bersenjata bernama Ulster Volunteers. Untuk mengimbanginya, kaum nasionalis &
republik mendirikan angkatan bersenjata bernama Irish Volunteers yang setelah
reorganisasi berubah nama menjadi Irish Republican Army (IRA).

Peristiwa penyanderaan General Post Office di kota Dublin dan mengibarkan


bendera hijau yang melambangkan Republik Irlandia menjadi salah satu peristiwa
4

terpenting dalam sejarah Irlandia oleh simpatisan nasionalis-republik. Simpatisan


nasionalis-republik ini memproklamasikan kemerdekaan Irlandia, walaupun pada
awalnya tidak dipedulikan oleh mayoritas rakyat Irlandia, namun semuanya berubah
ketika ke-16 orang yg dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut dieksekusi 2 tahun
sesudahnya oleh pihak Inggris. Tindakan eksekusi sebagai akibat dari peristiwa yang juga
sering disebut sebagai "Easter Rising ini diikuti dengan aksi mogok tentara asal Irlandia
yg berada dalam angkatan perang Inggris. Hal ini menimbulkan aksi perlawanan dari
rakyat Irlandia yg dimotori oleh angkatan bersenjata Irish Republican Army (IRA).
Memanfaatkan situasi masyarakat yang pada saat itu menolak Inggris di Pulau
Irlandia partai Sinn Fein yg berhaluan nasionalis republik berhasil meraih suara dominan
di banyak wilayah di Irlandia dalam pemilu pada tahun 1918, namun hanya meraih
sedikit suara di wilayah utara Irlandia atau Ulster. Keberhasilan Sinn Fein ini memberi
mereka keleluasaan untuk melakukan negosiasi dengan Kerajaan Inggris untuk
menentukan nasib Irlandia selanjutnya. Namun isi Traktat Anglo-Inggris (Anglo-Irish
Treaty) hanya memberi kemerdekaan pada mayoritas wilayah Irlandia, sedangkan
wilayah Irlandia Utara (Ulster) tetap menjadi bagian dari kerajaan Inggris. Hal ini terjadi
karena mayoritas rakyat di sejumlah wilayah Irlandia Utara memilih tetap bergabung
dengan Inggris. Ini menjadi mungkin karena kaum unionis, loyalis, & Protestan
merupakan mayoritas di wilayah Irlandia Utara, namun merupakan minoritas di wilayah
Pulau Irlandia keseluruhan. Kebijakan tersebut tentu ditolak oleh kaum nasionalis &
republik yg menyatakan bahwa keputusan tersebut menentang keinginan mayoritas
rakyat Irlandia keseluruhan. Ini menimbulkan friksi dalam tubuh IRA sehingga terjadilah
perang sipil Irlandia antara kelompok IRA yg pro-traktat dengan kelompok IRA yg antitraktat & menghendaki Irlandia bersatu. Perang yg dikenal sebagai Perang Sipil Irlandia
itu berakhir dengan kemenangan IRA pro-traktat yg saat itu juga dibantu Inggris.
Kekalahan kelompok IRA anti-traktat (belakangan hanya dikenal dengan nama
IRA setelah IRA yg pro-traktat bergabung dengan tentara nasional Irlandia) tetap
menjalankan aksi-aksi bersenjatanya yg mencakup peledakan bom, penyerangan, &
sabotase di sejumlah wilayah di Inggris & Irlandia. Sebagai respon atas tindakan IRA yg
merajarela tersebut, pemerintah Irlandia mengeluarkan wewenang bagi kepolisian untuk
5

menangkap mereka yg dianggap terlibat dengan IRA tanpa harus melalui proses
peradilan. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi & tekanan bagi kaum Katolik di
Irlandia Utara sehingga menjelang dekade 1960-an, IRA memutuskan untuk
menghentikan aktivitas bersenjatanya.
Sebagai bagian dari Kerajaan Inggris, Irlandia Utara memiliki hak istimewa untuk
mendirikan parlemen sendiri. Di dalam pemerintahannya, Irlandia Utara menerapkan
kebijakan

yg

cenderung

mengistimewakan

kaum

mayoritas

Protestan

&

mengesampingkan kaum Katolik dalam berbagai bidang kehidupan seperti pendidikan,


pekerjaan, perumahan, & hak suara dalam pemilu. Konflik & intimidasi juga terjadi di
daerah-daerah yg didominasi oleh kaum agama tertentu sehingga sejak tahun 1930-an,
terjadi migrasi berlatar belakang sektarian antar wilayah di Irlandia Utara yg
mengakibatkan masyarakat Irlandia Utara terpolar menjadi wilayah timur yg didominasi
kaum Protestan (berpusat di Belfast) & wilayah barat yg didominasi oleh kaum Katolik
(berpusat di Derry).

II.

Proses Terjadinya Konflik The Troubles


The Troubles dianggap bermula pada dekade 1960-an di mana pada tahun 1966,
sekelompok besar simpatisan republik melakukan pawai di Belfast memperingati momen
50 tahun pasca Easter Rising. Di tahun yg sama juga terjadi ledakan bom di Belfast yg
dilakukan oleh mantan anggoata IRA. Sementara sejak awal dekade 60-an, sekelompok
orang dari kaum Katolik yg menyebut diri mereka Northern Ireland Civil Rights
Association (NICRA) melakukan protes atas sejumlah kebijakan yg dianggap
diskriminatif & memojokkan kaum Katolik. Protes mereka mulai menemukan titik terang
ketika Terrence O'Neill, perdana menteri Irlandia Utara waktu itu, mengatakan bahwa ia
akan mendengarkan protes mereka & menjanjikan akan ada perubahan. Hal tersebut
kembali mengundang ketakutan dari kaum unionis & loyalis yang khawatir jika mereka
kehilangan dominasi di Irlandia Utara sehingga mereka membentuk Ulster Volunteer
Force (UVF). Di awal berdirinya, kelompok tersebut langsung menyatakan perang
terhadap IRA & menyatakan pula akan langsung mengeksekusi orang-orang yg dianggap
sebagai simpatisan IRA. Aksi UVF ini membuat pemerintah Irlandia Utara menyatakan
6

UVF sebagai gerakan ilegal & menangkap pemimpinnya, namun faktanya UVF tetap
melancarkan aksinya walau secara sembunyi-sembunyi.
Dari tahun 1969 sudah terjadi beberapa kerusuhan yang terjadi diantara kedua
belah pihak. Pertama, terjadi kerusuhan besar yg dikenal sebagai Pertempuran Bogside
(Battle of the Bogside) antara penduduk lokal Derry yang mayoritas Katolik & nasionalis
dengan polisi keamanan RUC (Royal Ulster Constabulary). Kerusuhan yang
menyebabkan ribuan korban luka ini terjadi akibat kekesalan warga terhadap kinerja
polisi RUC yang dianggap sebagai perpanjangan tangan kaum loyalis karena anggotanya
didominasi Protestan. Rangkaian aksi balasan setelah kejadian di Bogside membuat
pemerintah Irlandia Utara akhirnya meminta penerjunan tentara Inggris di sejumlah
wilayah konflik di Irlandia Utara untuk memulihkan kondisi di Irlandia Utara &
mencegah konflik sektarian lebih jauh. Kebijakan penempatan tentara Inggris di Irlandia
Utara tersebut juga dikenal sebagai "Operasi Banner". Di awal kedatangannya, tentara
Inggris disambut dengan hangat oleh komunitas Katolik yg memang sudah muak dengan
aktivitas polisi RUC yg dianggap tidak serius mencegah konflik sektarian sambil
berharap tentara Inggris bisa bertindak sebagai pihak netral dalam menengahi konflik &
melindungi mereka dari serangan-serangan yg dilakukan kelompok loyalis & Protestan.
Sejumlah pihak dari kubu Katolik & nasionalis menuding IRA gagal
melaksanakan tugasnya untuk melindungi komunitas Katolik yg ada di Belfast. IRA
sendiri beralasan mereka berusaha menghindari baku tembak di wilayah padat penduduk
untuk mencegah terjadinya konflik sektarian lebih jauh. Kebijakan IRA tersebut
menimbulkan perpecahan internal sehingga sejak akhir tahun 1969, IRA terpecah
menjadi 2: Provisional IRA (PIRA) yg berhaluan nasionalis republik & Official IRA
(OIRA) yg berhaluan sosialis. Keduanya memiliki tujuan yg sama: menyatukan Irlandia
menjadi satu negara, namun dengan cara yg agak berbeda. OIRA berusaha menghindari
kontak senjata di wilayah padat penduduk dengan harapan bisa menyatukan komunitas
Katolik & Protestan, sementara PIRA tidak segan-segan melakukan aksi bersenjata di
wilayah padat penduduk dengan tujuan membuat korban dari pihak musuh sebanyak
mungkin hingga Inggris setuju untuk pergi dari Irlandia Utara. Terpecahnya IRA yg
diikuti dengan berdirinya PIRA yg menyatakan tidak segan-segan melakukan aksi
7

bersenjata terhadap kaum loyalis memunculkan ketakutan baru bagi kaum loyalis &
Protestan. Maka pada tahun 1971, kaum loyalis kembali membentuk organisasi
paramiliter baru bernama Ulster Defence Association (UDA) yg bertujuan untuk
melindungi keberadaan kaum loyalis-Protestan & mengimbangi aktivitas PIRA di mana
mereka menyatakan baru akan berhenti beraksi bila PIRA juga menghentikan aksinya.
Terpecahnya IRA & kemunculan UDA beserta UVF menandai periode baru dalam
The Troubles di mana konflik yg semula hanya sebatas kerusuhan sipil berubah menjadi
perang bersenjata. Ini dimulai dari awal hingga pertengahan dekade 1970-an yang
merupakan salah satu era paling berdarah dalam perkembangan The Troubles. Hal ini
disebabkan karena di masa ini, PIRA sedang giat-giatnya melakukan aksi bersenjata yg
ditujukan terhadap tentara Inggris & kaum loyalis. Salah satu peristiwa paling penting
dalam dekade 1970-an adalah insiden Bloody Sunday (Minggu Berdarah) yg terjadi pada
tanggal 30 Januari 1972 di area Bogside, Kota Derry. Dikatakan bahwa militer Inggris
mendengar ada sejumlah sniper IRA yg menyamar dalam demonstrasi yg dilakukan
NICRA. Kabar tersebut lalu direspon dengan penerjunan pasukan Inggris ke wilayah
Bogside, Derry, yg kemudian melepaskan tembakan ke arah kerumuman demonstran
sehingga 14 orang tewas tertembak & 13 lainnya terluka. Pihak tentara mengatakan
bahwa mereka hanya bereaksi karena diserang lebih dulu oleh demonstran memakai
senapan & bom rakitan, namun klaim itu dibantah oleh saksi mata yg mengatakan tak
satupun dari demonstran yg ditembak membawa atau menggunakan senjata.
Bagaimanapun respon kedua pihak, Bloody Sunday membawa dampak negatif,
baik bagi tentara Inggris maupun perkembangan The Troubles sendiri. Sebelum peristiwa
Bloody Sunday, warga Katolik Irlandia bersikap hangat kepada tentara Inggris karena
menganggap mereka sebagai pihak netral yg bisa diandalkan untuk melindungi mereka
dari konflik sektarian. Namun usai peristiwa penembakan tersebut, opini mereka berubah
di mana mereka kemudian menganggap pihak tentara tidak ada bedanya dengan
kelompok paramiliter Ulster & polisi RUC yg semena-mena. Di sisi lain, berubahnya
opini warga Katolik terhadap tentara Inggris membuat perkembangan The Troubles
semakin rumit karena sesudah peristiwa Bloody Sunday, jumlah orang yg bergabung ke
PIRA bertambah banyak. Kejadian ini juga membuat OIRA memecah dirinya menjadi
8

Partai Pekerja (ingin menggapai kemerdekaan Irlandia Utara tanpa jalan kekerasan) dan
Irish National Liberation Army (INLA) pada pertengahan 1972. INLA pun membentuk
partai politik yang berhaluan sosialis Marxis, yaitu Irish Republican Socialist Party
(IRSP).
Tahun 1979 memperlihatkan tingginya tingkat pembunuhan yang dilakukan oleh
kelompok paramiliter yang bermayoritas Kristen Irlandia. Pertama dengan kematian 3
figur penting Inggris, yaitu Richard Sykes (duta besar Inggris untuk Belanda), Airey
Neave (anggota parlemen Partai Konservatif Inggris), & Lord Louis Mountbatten
(sepupu Ratu Elizabeth yg juga merupakan veteran Perang Dunia II). Sykes dibunuh oleh
anggota PIRA di Den Haag, Neave terbunuh ketika mobil pribadinya diledakkan oleh
anggota INLA, sementara Mountbatten tewas bersama 5 anggota keluarganya setelah
kapal pesiar pribadi yg mereka naiki meledak di perairan laut dekat Sligo, Irlandia. Selain
ketiga figur penting tersebut, jumlah korban tewas dari pihak tentara Inggris & polisi
RUC juga terus bertambah akibat aksi-aksi pembunuhan yg sebagian besar dilakukan
oleh PIRA. Adanya kejenuhan dari masyarakat sipil dengan pertumpahan darah yang
terjadi menjadikan mereka lebih berperan dalam proses perdamaian dalam menyelesaikan
konflik The Troubles.
III.

Peran Minoritas Katolik Irlandia dalam Penyelesaian Konflik The Troubles


Proses untuk mencapai perdamaian dalam konflik The Troubles tidaklah
mudah. Seperti pada tahun 1973, dimana sempat dilakukan perundingan antara
perwakilan Inggris, Irlandia, kaum nasionalis, & kaum unionis. Perundingan itu lalu
menghasilkan kesepakatan yg dikenal sebagai Perjanjian Sunningdale, dimana intinya
adalah membentuk parlemen eksekutif di mana kaum loyalis akan berbagi kekuasaan
dengan kaum nasionalis & pembentukan konsul yg diharapkan bisa meningkatkan kerja
sama antara Irlandia Utara dengan Republik Irlandia. Perjanjian tersebut didukung oleh
sejumlah partai unionis & nasionalis, namun ditolak oleh PIRA yg hanya menginginkan
"Irlandia bersatu" sebagai solusi akhir bagi aksi perlawanan mereka. Di lain pihak, kaum
unionis & loyalis garis keras juga menolak perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut
dianggap terlalu pro-Irlandia & kaum nasionalis. Pada akhirnya mereka yg menentang

Perjanjian Sunningdale berhasil memenangkan suara mayoritas sehingga perjanjian itu


pun resmi berakhir sejak pertengahan 1974.
Peran minoritas Katolik Irlandia mulai terlihat pada awal dekade 1980. Pada awal
dekade 1980 dilakukan aksi mogok makan oleh 7 orang simpatisan republik. Aksi mogok
makan tersebut dilakukan sebagai aksi protes terhadap kebijakan Pemerintah Inggris yg
menangkap mereka yg diduga sebagai simpatisan republik tanpa proses pengadilan &
tindakan kasar petugas penjara terhadap tahanan. yg Aksi mogok makan yg dilakukan
pada tahun 1980 tersebut berlangsung selama 53 hari, yaitu dimulai pada tanggal 27
Oktober & berakhir pada tanggal 18 Desember 1980, dimana mereka ditahan oleh Inggris
di Penjara Maze.
Setahun kemudian, ketika mengetahui bahwa tuntutan para peserta aksi mogok
makan pada tahun 1980 tidak dipenuhi, para tahanan simpatisan republik kembali
melakukan aksi mogok makan. Berbeda dengan aksi mogok makan sebelumnya, aksi
mogok makan pada tahun 1981 dilakukan dengan interval beberapa hari antar pesertanya
dengan tujuan untuk menarik perhatian publik lebih besar. Aksi mogok makan dimulai
oleh Bobby Sands pada tanggal 1 Maret 1981. Enam puluh enam hari sesudah ia memulai
aksi mogok makannya, Bobby Sands akhirnya meninggal akibat kelaparan & prosesi
pemakamannya di Belfast dihadiri oleh 100.000 orang lebih. Meninggalnya Sands akibat
aksi mogok makan kemudian diikuti oleh kematian kesembilan peserta mogok makan
lainnya selama 3 bulan berikutnya.
Aksi mogok makan oleh Bobby Sands dan kesembilan peserta mogok makan
lainnya berhasil menarik perhatian masyarakat dunia & menaikkan pamor komunitas
nasionalis republik. Beberapa aksi pun dilakukan sebagai dampak dari aksi mogok makan
tersebut, yaitu didirikan dan diberi nama beberapa tempat di dunia yang mengandung
unsur Bobby Sands sebagai bentuk penghormatan serta meledaknya aksi-aksi protes
mengecam pemerintah Inggris pasca meninggalnya Bobby Sands.
Tidak hanya melalui jalan damai saja, dampak kematian dari Bobby Sands ini
juga mengakibatkan munculnya aksi kekerasan dari paramiliter Kristen Irlandia.
Meningkatnya jumlah pemuda dalam PIRA pasca insiden Bloody Sunday secara
10

langsung menambah kekuatan bagi mereka untuk terus menjalankan aksi-aksi bersenjata.
Ini terlihat dari Aksi pengeboman di Hotel Grand di Brighton, Inggris pada 12 Oktober
1984. Aksi pengeboman tersebut menarik atensi publik begitu besar karena di saat
bersamaan, Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher sedang berada di sana dalam
kongres Partai Konservatif. Tercatat 5 orang terbunuh & 34 lainnya luka-luka, namun
Thatcher sendiri selamat dalam aksi pengeboman tersebut. Aksi pengeboman tersebut
dianggap sebagai aksi balas dendam PIRA terhadap pemerintah Inggris atas kematian
Bobby Sands & simpatisan republikan lainnya dalam aksi mogok makan tahun 1981.
Melihat aksi dari yang dilakukan kaum minoritas, baik simpatisan maupun
paramiliternya membuat Inggris kembali melakukan pembicaraan dengan Irlandia &
menghasilkan suatu kesepakatan yg dikenal sebagai Perjanjian Anglo-Irlandia (AngloIrish Agreement). Inti dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada Irlandia
sebagai penasihat bagi Irlandia Utara untuk menyelesaikan konflik & tidak akan ada
perubahan dalam konstitusi Irlandia Utara, kecuali mayoritas dari anggotanya memilih
untuk bergabung ke dalam komunitas republik. Namun, perjanjian tersebut juga
mendapat penolakan baik dari kaum unionis maupun republik. Kaum unionis menolak
perjanjian tersebut karena memberi keleluasaan bagi Irlandia untuk mencampuri kegiatan
politik Irlandia Utara, sementara kaum republik - khususnya PIRA - melakukan
penolakan karena perjanjian tersebut masih menetapkan Irlandia Utara sebagai bagian
dari

Inggris.

Lepas

dari

penolakan

yg

diterima,

perjanjian

tersebut

tetap

diimplementasikan oleh Inggris & Irlandia.


Mundurnya Margaret Thatcher dari kursi Perdana Menteri Inggris pada bulan
November 1990 memperlihatkan menurunnya aksi-aksi kekerasan di Irlandia Utara.
Memang masih terjadi aksi-aksi kekerasan selama dekade 1990-an, namun intensitasnya
sedikit lebih menurun dibandingkan dekade-dekade sebelumnya. Aksi-aksi kekerasan yg
terjadi mencakup operasi-operasi yg dilakukan oleh tentara keamanan Inggris serta aksi
saling bunuh anggota komunitas antara paramiliter nasionalis Irlandia dengan paramiliter
loyalis Ulster di mana ironisnya korban yg timbul umumnya justru orang-orang sipil dari
masing-masing komunitas yg seringkali tidak ada hubungannya dalam konflik.

11

Menurunnya konflik yang terjadi membuat pihak Inggris dan Irlandia semakin
optimis mengupayakan pembicaraan lebih lanjut untuk mengakhiri konflik di Irlandia
Utara. Tahun 1998, pasca pembicaraan panjang yg diadakan sejak beberapa tahun
sebelumnya antar partai-partai di Irlandia Utara beserta pemerintah Inggris & Irlandia,
Perjanjian Belfast (dikenal juga sebagai Perjanjian Jumat Agung atau "Good Friday
Agreement) dirumuskan. Sejumlah poin penting dalam perjanjian ini antara lain Irlandia
Utara tetap menjadi bagian dari Inggris kecuali mayoritas rakyatnya berubah pendirian,
pendirian komisi HAM di Irlandia Utara, penyusunan sistem pemerintahan di Irlandia
Utara yg komposisi anggotanya harus terdiri dari partai loyalis & republik, serta
berakhirnya operasi militer Inggris di Irlandia Utara. Dicapainya Perjanjian Belfast juga
disebut-sebut sebagai akhir dari The Troubles.
Berbagai perubahan dilakukan sebagai penerapan lanjutan dari Perjanjian Belfast.
Salah satu perubahan penting yg dilakukan adalah reformasi dalam tubuh kepolisian
RUC (Royal Ulster Constabulary) di mana pada tahun 2001, namanya diubah menjadi
Police Service of Northern Ireland (PSNI) yg komposisi anggotanya terdiri dari 50%
Katolik & 50% Protestan. Perubahan tersebut dilakukan untuk menghapus citra polisi di
Irlandia Utara yg selama ini dianggap diskriminatif & semena-mena terhadap komunitas
Katolik & nasionalis serta mengembalikan peran mereka sebagai penjaga ketertiban di
Irlandia Utara usai penarikan mundur tentara Inggris.
Tidak hanya dalam tubuh kepolisiannya saja, kelompok-kelompok paramiliter di
Irlandia Utara pun menghentikan aktivitas bersenjatanya untuk sementara waktu. Usai
Perjanjian Belfast disahkan, pelucutan senjata masing-masing kelompok paramiliter
dilakukan. Fokus utama dalam upaya pelucutan senjata adalah PIRA mengingat
kelompok paramiliter ini merupakan yang terbesar & paling dominan semasa The
Troubles berlangsung. Upaya tersebut akhirnya terwujud setelah pada tahun 2005, PIRA
dipastikan sudah menghancurkan semua stok persenjataannya dengan disaksikan oleh tim
pengawas independen. Setelah pelucutan senjata milik PIRA dilakukan, pelucutan senjata
dilakukan kepada kelompok-kelompok paramiliter lain seperti UDA & UVF.

12

Walaupun PIRA telah mengambil kebijakan untuk mengakhiri kegiatan


bersenjatanya, banyak simpatisannya yang menolak, sehingga mereka memutuskan untuk
membelot & membentuk kelompok paramiliter baru bernama Real IRA (RIRA). RIRA
memiliki agenda untuk melanjutkan aktivitas bersenjata yg selama ini dilakukan oleh
PIRA. Dalam sejumlah aksinya, mereka diketahui bekerja sama dengan Continuity IRA
(CIRA) yg juga merupakan pecahan dari PIRA tahun 1986. Bisa dibilang, tinggal RIRA
& CIRA kelompok paramiliter di Irlandia Utara yg masih aktif sampai sekarang.

BAB IV
PENUTUP
13

I.

Kesimpulan
Konflik The Troubles di Irlandia Utara ini bermula dari penduduk asli Irlandia
yang sering disebut Katolik Irlandia. Katolik Irlandia merupakan mayoritas di Pulau
Irlandia, namun minoritas di Irlandia Utara, dimana wilayah tersebut mayoritasnya
merupakan imigran Inggris yang mayoritas Protestan. Kelompok minoritas ini merasa
didiskriminasi baik secara etnis, agama, maupun hak-hak yang seharusnya didapat,
seperti politik, ekonomi maupun sosial. Hal inilah yang memunculkan benih-benih
nasionalisme bangsa Irlandia, dimana ada keinginan untuk memerdekakan Irlandia
seutuhnya. Muncul dua kelompok dengan pemikiran yang berbeda, yaitu kelompok
loyalis & unionis (mayoritasnya Protestan) yang dekat dengan Inggris serta golongan
nasionalis dan republic (mayoritasnya Katolik) yg menginginkan restorasi parlemen yg
berkuasa di Irlandia agar kaum Katolik Irlandia bisa mendapatkan kesetaraan dengan
kaum Protestan Inggris. Tidak dimerdekakannya Pulau Irlandia seutuhnya memunculkan
konflik diantara kedua kelompok tersebut.
Konflik antara kaun Katolik/Nasionalis dengan kaum Protestan/Unions bersifat
peperangan terbuka secara fisik juga politik, secara militer konflik ini diwakili oleh
organisasi paramiliter yang dibentuk oleh masing-masing pihak. Kaum diwakili oleh
IRA, PIRA dan OIRA sementara kaum diwakili oleh UVF dan UDA. Karena korban
yang terus berjatuhan dan kondisi yang terus memburuk, maka tentara Inggris pun
dilibatkan pada tahun 1969 demi menjaga keamanan dan stabilitas wilayah, sehingga
konflik tidak lepas dari campur tangan Inggris. Konflik menjadi susah dikendalikan
karena terdapat banyak masalah kompleks, seperti sektarianisme (permusuhan antara
Katolik-Protestan di Irlandia), masalah etnis (permusuhan antara etnis Irish-English),
kondisi sosial ekonomi (perlakuan diskriminasi) serta politik (antara Nasionalis dan
Unionis) dimana masalah tersebut sudah menjadi akar masalah yang belum teratasi sejak
berabad-abad yang lalu.
Bloody Sunday membawa dampak yang negatif terhadap konflik The Troubles
dan pandangan penduduk asli Irlandia terhadap tentara Inggris. Gerakan bersenjata
memang semakin banyak, namun kejenuhan akan kondisi inipun mulai memunculkan
adanya niat untuk menghentikan konflik ini. Aksi mogok makan oleh Bobby Sands dan
14

kesembilan orang lainnya meningkatkan gerakan-gerakan simpatisan maupun paramiliter


dari Katolik Irlandia. Seiring waktu konflik bersenjata semakin menurun dan pada
akhirnya konflik yang terjadi selama periode 1969-1998 ini pun dianggap berakhir
dengan dikeluarkannya Perjanjian Belfest serta perubahan-perubahan terkait perjanjian
tersebut.
II.

Saran
Melihat telah terciptanya perdamaian antara Katolik Irlandia dan Protestan Inggris,
maka sebaiknya gerakan paramiliter yang masih tersisa, yaitu RIRA & CIRA dihentikan.
Walaupun mungkin tidak begitu aktif, namun bisa jadi suatu saat konflik lama akan
diungkit kembali dan akan menyulut terjadinya konflik yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/5147635/KODIFIKASI_HUKUM_DAN_INTERPRETASI_HUKU
M

15

MINORITAS DAN INTEGRASI MASYARAKAT


PERAN MINORITAS KATOLIK IRLANDIA DALAM PENYELESAIAN
KONFLIK THE TROUBLES DI IRLANDIA UTARA

OLEH :

Merry Sukmasasmita
Ratna Pramesti
Deadora Isabel Dos Reis Saldanha
Ni Made Mahatma Devi

(1321105014)
(1321105016)
(1321105037)
(1321105045)

HUBUNGAN INTERNASIONAL 2013


16

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS UDAYANA
2014/2015

17

Anda mungkin juga menyukai