Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL

INDIKASI TERJADINYA FRAUD DALAM PENDETEKSIAN KERUGIAN KECURANGAN


BENDAHARA DESA

Disusun Oleh :

Ristania Maharani
NIM : 12030115420087

MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dana Desa merupakan wujud nyata pemerintah dalam berkomitmen memajukan
pembangunan dari tingkat pemerintahan terkecil, sebagaimana pencapaian Cita ke 3 dalam
Nawa Cita Presiden Jokowi, yaitu Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan DESA dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
Melalui UU No.6 tahun 2014 tentang Desa, setiap desa diberikan keleluasaan untuk
mengatur kewenangannya sendiri, baik kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan
lokal berskala desa, dan kewenangan yang ditugaskan pemerintah pusat/provinsi/kab./kota
sesuai ketentuan perundang-undangan.
Secara teoritis fraud menurut Alridge dan Parry (1985) adalah tindakan yang tidak
jujur dengan tujuan untuk

menipu

pihak

lain

untuk

keuntungan

pelaku

yang

merugikan pihak yang menjadi korban. Anonymous (2006) fraud merupakan praktik
yang dapat dilakukan oleh orang-orang dari dalam maupun dari luar organisasi, untuk
mendapatkan

keuntungan,

baik

pribadi

maupun

kelompok,

yang

mana

secara

langsung maupun tidak langsung, tindakan tersebut dapat merugikan pihak lain.
Ditegaskan pula oleh Institute of Internal Auditors (IIA) bahwa fraud mencakupi
berbagai

tindak

illegal

yang

disengaja.

Fraud

dapat

berupa

tindakan

yang

menguntungkan ataupun merugikan organisasi dan bisa dilakukan oleh orang dalam
ataupun di luar organisasi.
Dana desa sangat rentan dengan terjadinya fraud atau kecurangan yang dilakukan
bendahara desa selaku pemegang dana desa, dengan segala bentuk dan modusnya telah
membawa dampak buruk dan kerugian kepada masyarakat desa bahkan pemerintahan desa.
Setiap desa apapun jenis, bentuk, skala operasi dan kegiatannya semua memiliki risko
terjadinya fraud. Penulisan ini untuk mengetahui kecenderungan terjadinya fraud di sektor
pemerintahan d e s a k h u s u s n ya b e n d a h a r a d e s a , dan indikasinya. Indikasi ini terdiri
dari keefektifan pengandalian internal, perilaku tidak jujur, gaya kepemimpinan, adanya
kesempatan dan asimetri komunikasi.
Mengingat akan arti pentingnya tanggung jawab auditor, maka penulisan proposal
ini untuk mengidentifikasi
kecurangan bendahara desa.

indikasi terjadinya kecurangan dalam

pendeteksian

1.2 RUMUSAN MASALAH


Ada beberapa masalah dalam proposal ini:
1. Bagaimana pengaruh indikasi pengendalian internal terhadap Fraud bagi bendahara
desa?
2. Bagaimana pengaruh indikasi perilaku tidak jujur terhadap Fraud bagi bendahara
desa?
3. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan terhadap Fraud bagi bendahara desa?
4. Bagaimana pengaruh indikasi adanya kesempatan terhadap Fraud bagi bendahara
desa?
5. Bagaimana pengaruh indikasi adanya asimetri komunikasi terhadap Fraud bagi
bendahara desa?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendeteksi terjadinya fraud yang dilakukan oleh bnedahara.
2. Sebagai alat evaluasi yang lebih informatif tentang kinerja aparatur desa utamanya
bendahra desa.
3. Sebagai sarana pengendalian terhadap kemungkinan terjadinya praktik
penyalahgunaan ataupun penyimpangan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki desa.

1.4 MANFAAT PENELITIAN


Manfaat yang dapat diperoleh secara langsung berdampak pada bendahara itu sendiri,
pemerimtahan desa dan masyarakat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai langkah awal untuk membangun
sistem keuangan desa secara menyeluruh. Dapat dijadikan bahan untuk penelitian lebih lanjut
di bidang yang berkaitan.
1.4.1 Manfaat penelitian untuk Bendahara Desa
1. Berguna sebagai masukan dalam usaha mencegah terjadinya fraud di sektor
pemerintahan,

dengan

menekan

penyebab

pemerintahan desa seperti yang disajikan penulis

terjadinya

fraud

di sektor

1.4.2 Manfaat penelitian untuk pembaca


1. Diharapkan

dapat

memberi

tambahan

informasi

dan

mampu menjadi

bahan referensi bagi penelitian lain dalam bidang yang terkait. Dan dapat
memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait yang memerlukan hasil
penelitian ini

1.5 SISTIMATIKA PENULISAN


Sistematika penulisan ini merupakan gambaran umum mengenai isi dari keseluruhan
pembahasan, yang bertujuan untuk memudahkan pembaca dalam mengikuti alur pembahasan
yang terdapat dalam penulisan proposal ini. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai
berikut :
BAB 1 : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang tentang Dana Desa. Membahas permasalahan yang dihadapi,
permasalahan yang akan diteliti, tujuan dan manfaat yang akan dilakukan, metodelogi
penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan.
BAB 2 : TELAAH PUSTAKA
Berisi tentang teori dasar yang mendasari indikasi fraud terhadap bendahara desa. Terdapat
kutipan dari buku-buku, website, maupun sumber literatur lainnya yang mendukung
penyusunan proposal ini. Berisi pula teori-teori khusus yang berhubungan dengan fraud.
BAB 3 : METODE PENELITIAN
Berisi tentang cara-cara (metode) yang digunakan dalam mendukung penelitian indikasi
fraud dan pengungkapannya.
BAB 4 : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Secara singkat dapat dijelaskan berdasarkan hasil wawancara secara mendalam mengenai
faktor-faktor penyebab terjadinya fraud, diantaranya karena adanya kesempatan, pada
kondisi sistem pengendalian internal yang belum berjalan dengan maksimal,

kurang

jelasnya prosedural karena akses informasi yang kurang, gaya kepemimpinan yang

tidak memberikan teladan, pola tidak jujur, dan pola kebiasaan. Semua itu pemicu
terjadinya fraud.
BAB 5 : KESIMPULAN DAN SARAN
1. Penyebab utama fraud dikarenakan sistem dan orang. Sistem yaitu sistem pengelolaan
keuangan dana desa itu sendiri dan orang yaitu bendahara bahkan pejabat yang
memiliki kewenangan dalam pengelolaan keuangan dana desa. Pada kondisi
tertentu sistem yang baik dapat membuat pengelolaan keuangan berjalan dengan baik,
dan sebaliknya. Pada kondisi lain, bendahara yang memiliki perilaku yang baik akan
membuat pengelolaan keuangan berjalan dengan baik, dan sebaliknya.
2. Sistem yang lemah dan bendahara/orang tidak baik penyebab terjadinya fraud.
Yang dimaksud sistem yang lemah adalah peraturan-peraturan, prosedur-prosedur
dan tahapan-tahapan tidak dijalankan dengan baik dan benar serta aplikasi-aplikasi
yang digunakan masih manual atau masih banyak yang tidak menggunakan
sistem komputerisasi. Bendahara/orang yang tidak baik adalah bendahara/orang
yang mempunyai sifat buruk seperti tamak/rakus, hidup melebihi kemampuan,
banyak hutang, penjudi, pemin;um, pecandu narkoba, gemar dengan barang bagus
dan tidak punya kemampuan dalam menjalankan sistem itu sendiri.
SARAN
Dalam pengelolaan keuanggan dana desa harus diperhatikan menyangkut aspek sistem
dan orangnya. Jadi kalau kita punya sistem yang baik dilaksanakan oleh orang yang baik
(good people, good sistem) itu sempurna. Sistemnya tidak baik orangnya baik (bad sistem
good people) ini masih bisa dibantu, masih bisa tertolong, masih bisa diperbaiki.
Kenapa demikian, karena meskipun orang bekerja dengan cara manual tanpa
menggunakan sistem dengan baik tapi karena orangnya baik/dia tidak mau berbuat
jahat dan tentunya tidak akan terjadi fraud. Tapi kalau sistemnya baik orangnya tidak baik
(good sistem bad people) itu rusak. Sebaik apapun sistem kalau orangnya tidak baik pasti
rusak. Karena di jebol orang tidak baik. Lebih parah lagi jika sistemnya tidak baik dan
orangnya tidak baik (bad sistem bad people) itu hancur.

BAB II
TELAAH PUTSAKA
2.1 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA FRAUD PADA BENDAHARA
DESA
Analisis hasil wawancara secara mendalam dengan beberapa informan kunci yaitu
Kepala Bagian Perbendaharaan Daerah, Camat, Kepala Desa, Bendahara Desa, Pegawai Desa
dan masyarakat desa, disesuaikan dengan fokus penelitian, yaitu hal-hal yang berkaitan
dengan bentuk dan praktek kecurangan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan desa dan
faktor- faktor penyebab terjadinya fraud dalam perspektif pejabat Desa.
Dalam bagian ini, akan dibahas 5 (tiga) bagian yang diajukan pada bagian
sebelumnya berkaitan dengan indikasi penyebab terjadinya fraud.
2.1.1 Aspek pengendalian internal
Lingkungan pengendalian intern merupakan alat untuk menciptakan suasana
pengendalian dalam suatu pemrintahan desa dan harus mampu mempengaruhi kesadaran
pegawai desa tentang pengendalian. Lingkungan pengendalian yang ada di pemerintah desa
sangat kurang dipahami nyaris sama sekali tidak ada. Kepala Desa bahkan bendahara samasama memposisikan diri bahwa saya yang berkuasa. Hal ini dapat memperlihatkan
bagaimana fraud mudah saja terjadi oleh karena lingkungan internalnya sangat tidak
dipahami oleh aparat desa. Lingkungan pengendalian merupakan dasar untuk semua unsur
pengendalian

intern, menyediakan

disiplin

dan

struktur.

Lingkungan

pengendalian

mencakup berikut ini:


a. Integritas dan nilai etika.
b. Komitmen terhadap kompetensi.
c. Filsofi dan gaya bekerja.
e. Struktur
f. Pemberian wewenang dan tanggung jawab
Penerapan Corporate Governance dalam pemerintahan Desa perlu disandingkan
dengan pekerjaan seorang bedahara desa, yaitu:

1.

Transparency; keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan


maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan.

2.

Accountability; kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban


sehingga pengelolaan terlaksana secara efektif

3.

Responsibility; kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan yang sehat serta


peraturan perundangan yang berlaku

4.

Independency; kuatu keadaan dimana dana dikelola secara profesional


tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan.

5.

Fairness, kerlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak


stakeholder.

2.1.2 Adanya perilaku tidak jujur


Dapat

kita ketahui

bahwa

pembentukan lingkungan budaya jujur dalam internal

organisasi merupakan unsur yang sangat berpengaruh sebagai pedoman dalam mencegah,
menghalangi, dan rnendeteksi kecurangan.
Bendahara desa cenderung melakukan perilaku tdak jujur,kita dapat temui di beberapa
desa, adapun ketidak jujuran mereka dianggap lumrah, dan dianggap seperti budaya yang
sepele. Ketidak jujuran bendahara yang sering dilakukan yakni memalsukan bukti-bukti, tidak
terbuka tentang anggara desa yang dikelolanya, tidak jujur terhadap atasan langsung, membuat
laporan palsu trhdap masyarakat, dll.
Banyak hasil riset membuktikan bahwa cara yang paling efektif dalam pencegahan
kecurangan adalah mengimplementasikan program yang didasarkan pada nilai-nilai inti
yang dianut perusahaan. Sehingga membentuk lingkungan yang mendukung perilaku dan
ekspektasi yang membuat pegawai dapat menggunakan nilai itu untuk mengarahkan
tindakan mereka.
2.1.3 Aspek gaya kepemimpinan
H. Koontz dan Cyril ODonnel (1982) Kepemimpinan adalah suatu seni atau proses
mempengaruhi sekelompok orang sehingga mereka mau bekerja dengan sungguh sungguh
untuk meraih tujuan kelompok.
Kepemimpinan yang direktif (mengarahkan), memberikan panduan kepada para
karyawan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana melakukannya,
menjadwalkan pekerjaan, dan mempertahankan standar kinerja.
Gaya kepemimpinan kepala desa yang cuek dengan aturan yang ada bahkan gaya
kerjasama untuk melakukan bukti-bukti fiktif dengan bendahara sering terjadi. Fraud dalam
beberapa kasus ditemui sebagai akibat mencontoh atasan atau teman sekerja, merasa sudah

berbuat banyak, menganggap bahwa yang diambil tidak seberapa, ataupun dianggap hanya
sekadar meminjam, pada waktunya akan dikembalikan. Merasa telah berbuat banyak
menjadi pembenaran seorang pejabat melakukan fraud.
2.1.4 Adanya kesempatan
Adanya kesempatan dapat menyebabkan terjadinya tindakan kecurangan, baik yang
disebabkan karena sistem, aturan dan penegakan aturan (law enforcement). Para bendahara
yang memegang kekuasaan akan memiliki perilaku

diskresi

atau

perilaku

yang

menguntungkan diri sendiri atau sekelompok orang tertentu. Para bndahara akan memiliki
keinginan tertentu untuk memperlengkapi dirinya dengan berbagai fasilitas melebihi standar
yang ada, misalnya mobil, perlengkapan fasilitas kantor dan sebagainya.
Hasil wawancara menjelaskan fraud terjadi karena adanya kesempatan berdasarkan
kewenangan yang dimiliki bendahara bersangkutan maupun dikarenakan SDM yang
dimiliki, yaitu kemampuan bendahara mendisiplikan dengan sanksi secara internal.
Perubahan pola kehidupan ini menimbulkan perubahan dalam pola konsumsi dan
peningkatan pengeluaran lainnya. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bendahara
mencari tambahan pendapatan untuk menutupi kelebihan pengeluaran ini. Perilaku ini
secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan tindakan fraud dari seorang
bendahara. Apa jika ada peluang atau kesempatan untuk melakukan hal itu. Peluang
atau kesempatan ini dapat diciptakan sendiri dari bendahara atau merupakan kebiasaan
di masa lalu.
2.1.5 Adanya asimetri komunikasi
Baiman dan Evans (1982) menyarankan agar bawahan yang memiliki informasi
pribadi mengenai perusahaan ikut berpartisipasi sesuai dengan sistem pengendalian
manajemen
dipadukan

dengan menyampaikan
dengan

standar anggaran

atau

menyertakan

pemerintahan

informasi pribadinya

dalam

rangka

untuk

penetapan kinerja

pemerintah. Bentuk-bentuk asimetri informasi, yaitu:


1. Asimetri informasi vertical Yaitu informasi yang mengalir dari tingkat yang
lebih rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi (atasan). Setiap
bawahan dapat mempunyai alasan yang baik dengan meminta atau memberi
informasi kepada atasan.
2. Asimetri informasi horizontal Yaitu informasi yang mengalir dari orang ke orang
dan jabatan yang sama tingkat otoritasnya atau informasi yang bergerak
diantara orang-orang dan jabatan-jabatan yang tidak menjadi atasan maupun
bawahan satu dengan yang lainnya dan mereka menempati bidang fungsional
yang berbeda dalam organisasi tapi dalam level yang sama.

Asimetris informasi bendahara desa dan kepala desa menujukkan hasil pengaruh yang
signifikan positif terhadap perilaku tidak etis pada pemerintahan desa dan asimetri
informasi memberikan pengaruh yang signifikan positif terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi yang dibuat.
Bila terjadi asimetri informasi, bendahara desa akan menyajikan laporan keuangan
yang bermanfaat bagi Kuasa Bendahara Kas Daerah, demi motivasi untuk memperoleh
nilai yang baik di mata mereka, mempertahankan jabatan dan lain- lain (Khang, 2002
dalam Wilopo,
perusahaan

2006). Demikian

membuat

bias

pula,

bila

terjadi

atau memanipulasi

asimetri

laporan

informasi, manajemen

keuangan

sehingga

dapat

memperbaiki kompensasi dan reputasi manajemen, serta ratio-ratio keuangan perusahaan


(Scott, 2003:13 dalam Wilopo, 2006).

2.2 Kerangka Pemikiran Teoritis


2.2.1 Aspek Teoritis mengenai fraud
Perkembangan teori fraud diawali dengan oleh tulisan Cressey (1953),
mengenai white-collar fraud yang diikuti oleh Albrecht et al (1982) dan Romney,
Albrecht & Cherrington (1980), yang mengemukakan bahwa insentif dan tekanan,
kesempatan, pembenaran merupakan 3 faktor utama seseorang melakukan fraud, yang
dikenal sebagai fraud triangle (segitiga fraud). Albrecht et al (2002) mendefinisikan fraud
sebagai suatu tindakan kriminal. Lebih lanjut lagi menurut Albrech et al (2002) fraud
adalah penggunaan segala cara oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan terhadap
orang lain dengan melakukan hal yang tidak benar yang meliputi kejutan, tipu daya,
kelicikan atau pembohongan dan hal hal yang tidak lainnya dimana orang lain
dicurangi.
Pengertian

dasar

fraud

menurut

Garner

(2004)

adalah

penyalahartian

kebenaran atau penyembunyian fakta yang materiil yang menyebabkan seseorang bertindak
merugikan terhadap pihak lain. Sedangkan menurut Alridge dan Parry (1985), fraud adalah
tindakan yang tidak jujur dengan tujuan untuk menipu pihak lain untuk keuntungan pelaku
yang merugikan pihak yang menjadi korban.
Berdasarkan dari beberapa definisi ini, dapat diartikan secara luas bahwa fraud
terkait dengan penipuan (deception), ketidakjujuran (dishonest) dan niat (intent). Fraud
menyangkut cara-cara yang dihasilkan oleh akal manusia yang dipilih oleh seseorang untuk
mendapatkan suatu keuntungan dari pihak lain dengan penyajian yang salah/palsu.
Kecurangan mencakup kejutan, tipu daya, cara-cara licik dan tidak jujur yang
digunakan untuk menipu orang lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Singleton et al (2006),
yang mengemukakan bahwa fraud, theft, defalcation, irregularities, white collar crime, dan

embezzlement adalah terminologi yang sering dipertukarkan.


2.2.2 Aspek Teoritis Mengenai Pengklasifikasian Fraud
Pengklasifikasian Penyebab Fraud. Menurut OGara (2004) fraud dapat
dilihat dari 2 (dua) dimensi, yakni jenis fraud dan pelaku fraud. Jika dilihat dari jenisnya,
maka fraud terdiri dari: penyalahgunaan internal atau korupsi, dan kecurangan dalam
pelaporan. Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), salah satu asosiasi di USA
yang mempunyai kegiatan utama dalam pencegahan dan pemberantasan kecurangan,
mengkategorikan kecurangan dalam tiga kelompok, yaitu : kecurangan laporan keuangan
(financial

statement fraud), penyalahgunaan aset (asset misappropriation), dan korupsi

(corruption).
Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation) dapat digolongkan ke dalam
kecurangan kas dan kecurangan atas persediaan dan aset lainnya, serta pengeluaranpengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement). Asset misappropriation atau
pengambilan aset secara ilegal dalam bahasa sehari-hari disebut mencuri. Namun dalam
istilah hukum, mengambil aset secara ilegal (tidak sah atau melawan hukum) yang
dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengatasi aset
tersebut, disebut menggelapkan.
Korupsi (corruption) terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of
interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic
extortion). Pengertian korupsi ini tentu saja berbeda dengan pengertian korupsi yang
terkandung dalam Undang-undang 31 tahun 1999 jo Undang-undang 20 tahun 2001. Dalam
bahasa hukum positif (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) pengertian korupsi secara umum, adalah
perbuatan yang diancam dengan ketentuan pasal-pasal UU No 31 tahun 1999. Dalam salah
satu pasal, korupsi terjadi apabila memenuhi tiga kriteria yang merupakan syarat bahwa
seseorang bisa dijerat dengan undang-undang korupsi, ketiga syarat tersebut adalah melawan
hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan merugikan
keuangan negara atau perkonomian negara. Dengan kriteria tersebut maka orang yang
dapat dijerat dengan undang-undang korupsi, bukan hanya pejabat negara saja melainkan
pihak swasta yang ikut terlibat dan badan usaha/korporasi pun dapat dijerat dengan ketentuan
undang-undang korupsi.
2.2.3 Aspek Teoritis Mengenai Faktor Penyebab Fraud
Setiap

orang

dapat

melakukan

fraud.

Kadang-kadang

sulit

dipercaya,

seseorang yang kita pandangjujur, taat beragama, berpendidikan, dari lingkungan sosial
yang

dihormati,

bahkan

dari

kalangan

berada, ternyata terlibat dalam kasus fraud.

Bagaimana hal ini bisa terjadidan apa gejalanya?

Pandangan lain dari sisi perilaku manusia, dijelaskan oleh Bologna et al


(1987) berdasarkan GONE Theory, yang terdiri dari 4 (empat) faktor yang mendorong
seseorang berperilaku menyimpang dalam hal ini berperilaku fraud, yaitu: keserahkaan
(greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs), dan pengungkapan (exposure).
Keserakahan berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di
dalam diri setiap orang. Kesempatan berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan terhadapnya. Kebutuhan berkaitan dengan faktor-faktor yang
dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang menurutnya wajar;
dan pengungkapan berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh
pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 DISAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Creswell (dalam Putra & Hendarman
2012, hal. 8) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif mempunyai strategi penelitian yaitu
naratif, fenomenologi, dan studi kasus. Dengan kata lain metode penelitian kualitatif
digunakan untuk mengklarifikasi fenomena yang terjadi dengan sumber data dengan jelas dan
rinci. Tujuan penelitian kualitatif sendiri ialah diperolehnya pemahaman menyeluruh dan utuh
tentang fenomena atau realitas yang diteliti (Rianse & Abdi 2008, hal: 9).
Penelitian kualitatif ini menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi dalam
mendapatkan data yang sifatnya naratif dan gambar. Penelitian ini memfokuskan persoalan
pada indikasi terjadinya fraud dalam pendeteksian kecurangan bendahara desa. Kemudian
penelitian ini memfokuskan pula pada peran masyarakat di dalamnya. Sehingga penelitian
kualitatif ini relevan digunakan untuk menjelaskan indikasi yang terjadi dalam penelitian ini.
3.2 POPULASI DAN SAMPEL
Populasi adalah keseluruhan elemen yang dijadikan objek dalam penelitian

(Arikunto,

2002).
Populasi adalah sekelompok orang, ejadian atau segala sesuatu yang mempunyai
karakteristik tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah Satuan Kerja Perangkat Desa
(SKPD). Berdasarkan data yang diperoleh dari masyarakat desa, Dinas PPKAD dan kepala
inspektorat, dan kantor Distrik.
Sampel merupakan sebagian dari populasi yang terpilih sebagai sumber data. Peneliti
menjadikan seluruh populasi sebagai sampel (total sampling). Respondennya adalah
kepala, bendahara kas daerah (dians PPKAD), staf sub bagian akuntansi/ keuangan pada
masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan masyarakat desa.
3.3 INSTRUMEN PENELITIAN
Peneliti menjadi alat pengumpul data primer. Sebab manusialah yang dapat berhubungan
dengan responden atau objek, dan menilai apakah kehadirannya dapat mengganggu suasana.
Karena itu, dalam penelitian kualitatif keberhasilan proses pengumpulan data sangat tergantung
kepada peneliti sebagai instrumen utama. Sedangkan alat-alat lainnya seperti kertas, tape
recorder, video cassette dan sebagainya hanya dipandang sebagai alat bantu yang diharapkan
dapat mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data, menganalisis dan memahami realitas
yang diteliti.
3.4 LOKASI
Penelitian ini akan dilaksanakan salah satu desa di Kota Batu, yaitu Desa Junrejo,
Kecamatan Junrejo, Kota Batu.

3.4 PROSEDUR PENGUMPULAN DATA


Beberapa prosedur pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu:
1. Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan
yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif
adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (indepth interview) adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam
kehidupan sosial yang relatif lama.
2. Observasi
Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku,
kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan. Alasan peneliti
melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk
menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu
melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran
tersebut.
Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam
penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi
kelompok tidak terstruktur.

3. Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan metode penelitian terakhir yang saya gunakan. Dengan
digunakannya metode ini, saya memperoleh gambar hasil potret bagaimana pemanfaatan media
penelitian saya. Media ini membantu saya memperoleh data yang akurat, tentang bagaimana
pemanfaatan media audio, visual, auidio-visual dan multimedia dalam proses penelitian.
Manfaat metode ini, saya bisa memperoleh hasil dokumentasi dengan data yang
memperkuat apa yang telah diwawancara dan diamati. Jadi di sini, tak ada dugaan mengadaada data ketika disertai dengan wujud nyata penelitian saya.

3.5 TEKNIK ANALISIS


Studi kasus
Langkah-langkah analisis data pada studi kasus, yaitu:
a. Mengorganisir informasi.
b. Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode.

c. Membuat suatu uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya.


d. Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.
e. Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural dari
kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus yang lain.
f. Menyajikan secara naratif.

Anda mungkin juga menyukai