Tepung Putih Telur
Tepung Putih Telur
SKRIPSI
RATNA PUSPITASARI
RINGKASAN
RATNA PUSPITASARI. D14202007. 2006. Skripsi. Sifat Fisik dan Fungsional
Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Waktu Desugarisasi Berbeda. Program
Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
: Ir. Rukmiasih, MS
: Zakiah Wulandari, S.TP., MSi
Telur merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan asam amino yang
tinggi. Pengolahan telur banyak dilakukan dalam rangka memperpanjang umur
simpan. Putih telur memiliki beberapa sifat fungsional diantaranya adalah berperan
dalam pembentukan buih dan koagulasi. Pengeringan terhadap telur sering dilakukan
dalam memperpanjang masa simpan telur. Proses pengeringan putih telur dapat
mengakibatkan terjadinya reaksi Maillard. Desugarisasi merupakan suatu proses
dalam pembuatan tepung putih telur dengan menambahkan ragi roti instant
(Saccharomyces sp.). Desugarisasi dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi
Maillard (pencoklatan) akibat proses pemanasan.
Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Bagian
Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Laboratorium Pengolahan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian serta Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, SEAFAST
Center (South East Asean Food Agricultural Science and Technology Center),
Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan, mulai bulan Mei
2006 hingga Juni 2006.
Penelitian ini menggunakan telur ayam ras dengan umur satu hari sebanyak
96 butir. Hasil yang didapat dari masing-masing perlakuan diuji secara statistik
dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga taraf perlakuan.
Sebagai perlakuan adalah waktu desugarisasi 0; 1; 2.5 dan 4 jam. Hasil perbedaan
rataan antar perlakuan dilakukan uji Duncan.
Data yang telah didapat dari masing-masing perlakuan secara statistik
menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0.01) untuk peubah kadar air, pH
setelah desugarisasi, pH tepung putih telur, rendemen, daya dan tirisan buih,
sedangkan kecerahan tepung putih telur didapat hasil yang berbeda nyata (P<0.05).
Desugarisasi dengan waktu 1 jam pada penelitian ini merupakan proses desugarisasi
yang paling baik dalam pembuatan tepung putih telur. Desugarisasi 1 jam
menghasilkan kadar air (6,25%), pH tepung putih telur (8,64) dan tirisan buih
(3,23%) yang paling rendah dengan daya buih yang dihasilkan paling tinggi
(511,10%). Nilai L (kecerahan) tepung putih telur dengan lama desugarisasi selama 1
jam tidak berbeda dengan desugarisasi 2,5 dan 4 jam.
Kata-kata kunci : Tepung putih telur ayam ras, sifat fisik, sifat fungsional,
desugarisasi.
ABSTRACT
Physical and Functional Characteristic of Hen Albumen Powder
with Different Time Desugarization
Puspitasari, R., Rukmiasih, and Z. Wulandari
This studi was aimed to examine physical and functional characteristic of hen
albumen powder in different time desugarization to hen albumen (0; 1; 2.5 and 4
hours). This research was carried out at poultry science laboratory and animal
product technology laboratory, processing food technology laboratory, and
SEAFAST Center, University Agricultural Bogor. The experimental design was
randomized complete block design. The collected data was analyzed using analysis
of variance (ANOVA) which was folllowed by the Duncan`s test for any significant
result. The result show that different time desugarization has very significantly effect
(P<0,01) to water content, pH after desugarization, pH egg albumen powder,
rendement, foaming capacity and foaming stability of hen albumen powder. The
result show that different time desugarization has significantly effect (P<0,05) to
brightness.
Keywords: hen albumen powder, physical characteristic, functional characteristic,
desugarization.
RATNA PUSPITASARI
D 14202007
Oleh
RATNA PUSPITASARI
D 14202007
Pembimbing Utama
Ir. Rukmiasih, MS
NIP 131 284 605
Pembimbing Anggota
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 08 Juni 1984 di Cirebon. Penulis adalah anak
ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Ismail Ahmad Musyafa (Alm) dan
Ibu Chaeriah Harun.
Penulis menyelesaikan Taman Kanak-kanak di TK Islam Al-Azhar Cirebon
pada tahun 1990, pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Pekalangan
I Cirebon, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan di SLTPN 16 Cirebon
pada tahun 1999, dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di
SMU Mandiri Cirebon. Penulis diterima sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Ternak,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada tahun 2002.
Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi anggota dan
pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi Ternak (HIMAPROTER), Ikatan
Keluarga Cirebon, serta mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan, pelatihan dan
seminar yang di laksanakan di Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik skripsi
berjudul Sifat Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan
Waktu Desugarisasi Berbeda pengolahan telur menjadi tepung belum lazim
dilakukan
di
Indonesia.
Pengolahan
telur
menjadi
tepung
telur
mampu
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ..............................................................................................
ABSTRACT .................................................................................................
ii
iii
iv
vii
viii
ix
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
2
3
5
5
6
7
9
11
14
15
17
17
17
17
17
17
18
19
19
23
23
24
24
24
25
27
27
28
29
29
30
33
Kesimpulan ......................................................................................
Saran ................................................................................................
33
33
34
35
LAMPIRAN .................................................................................................
38
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
10
10
12
23
29
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
14
20
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
39
2. Uji Lanjut Duncan Kadar Air Tepung Putih Telur Ayam Ras
pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda ....................................
39
39
40
40
40
41
41
41
42
11. Uji Lanjut Duncan Kecerahan Tepung Putih Telur Ayam Ras
pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda ....................................
42
12. Analisis Ragam Daya Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras
dengan Lama Desugarisasi Berbeda ...............................................
42
13. Uji Lanjut Duncan Daya Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras
pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda ....................................
43
14. Analisis Ragam Tirisan Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras
dengan Lama Desugarisasi Berbeda ...............................................
43
15. Uji Lanjut Duncan Tirisan Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras
pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda ....................................
43
44
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemenuhan gizi akan protein sangat penting di dalam tubuh. Sumber protein
hewani dapat diperoleh diantaranya dengan mengkonsumsi daging dan telur. Telur
sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia karena memiliki kandungan asam-asam amino
yang lengkap dan seimbang, vitamin, serta daya cerna yang tinggi. Konsumsi
masyarakat terhadap telur ayam relatif tinggi dan sering digunakan dalam
pengolahan bahan pangan seperti pembuatan roti dan kue.
Telur merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan.
Tingginya produksi telur di Indonesia, mencapai 66.636.000 ton pada tahun 2004
(Departemen Pertanian, 2004) merupakan alasan perlu dilakukannya pengolahan
serta pengawetan terhadap telur untuk memperpanjang masa simpannya.
Pengeringan merupakan suatu metode pengawetan dengan cara menghilangkan kadar
air bahan pangan. Proses pengeringan telur terdiri dari beberapa metode diantaranya
adalah metode pan drying. Pan drying atau pengeringan lapis tipis merupakan suatu
metode pengeringan dengan menggunakan oven yang dilakukan secara sederhana.
Kelemahan yang dapat timbul pada proses pengeringan adalah akan
menyebabkan terjadinya reaksi Maillard. Reaksi pencoklatan (Maillard) terjadi
karena adanya reaksi gula pereduksi dengan gugus amina primer sehingga
menghasilkan senyawa melanoidin yang menyebabkan warna coklat akibat
pemanasan. Proses yang dilakukan dalam mencegah terjadinya reaksi Maillard
adalah dengan melakukan desugarisasi.
Desugarisasi adalah suatu proses penghilangan glukosa yang terdapat pada
putih telur dengan cara menambahkan Saccharomyces sp. yang dilakukan sebelum
proses pengeringan. Proses desugarisasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan
sifat fisik dan fungsional akibat adanya pemecahan glukosa yang terdapat di dalam
putih telur. Lama desugarisasi diperkirakan mempengaruhi sifat fisik dan fungsional
tepung putih telur yang dihasilkan sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap lama
desugarisasi yang berbeda untuk memaksimalkan sifat fisik dan fungsional tepung
putih telur.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari pengaruh lamanya
waktu desugarisasi terhadap kadar air, nilai pH, rendemen, waktu rehidrasi,
kecerahan, daya dan tirisan buih dari tepung putih telur.
TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi Gizi Telur Ayam
Telur merupakan protein hewani yang memiliki kandungan asam-asam amino
yang lengkap dan seimbang. Telur adalah sumber protein hewani yang dapat
dijangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Telur merupakan bahan utama yang
sering digunakan pada proses pembuatan kue, roti. Zat-zat makanan yang terdapat
pada telur sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti protein, mineral, vitamin,
lemak, serta memiliki daya cerna yang tinggi (Sirait, 1986).
Telur secara fisik dibagi menjadi tiga komponen yaitu kerabang telur (egg
shell) 12,3%, putih telur (egg white) 55,8%, dan kuning telur (egg yolk) 31,9%
(Stadelman dan Cotterril, 1995). Kerabang telur merupakan bagian paling keras dan
kaku. Kerabang memiliki fungsi utama sebagai pelindung isi telur terhadap
kontaminasi mikroorganisme (Sirait, 1986). Kerabang telur sebagian besar terdiri
dari kalsium karbonat. Kerabang telur memiliki banyak pori-pori. Jumlah pori-pori
pada kerabang bervariasi antara 100-200 buah per cm2 (Winarno dan Sutrisno, 2002).
Kuning telur berbentuk bulat dengan warna kuning atau oranye dan terletak
pada pusat telur dan bersifat elastis. Warna kuning pada kuning telur disebabkan oleh
kandungan pigmen karotenoid yang berasal dari pakan. Posisi kuning telur akan
bergeser bila telur mengalami penurunan kualitas (Buckle et al., 1987).
Putih telur terdiri dari empat lapisan yang tersusun dari lapisan encer luar
(23,2%), lapisan kental luar (57,3%), lapisan encer dalam (16,8%), dan lapisan kental
dalam atau khalazaferous (2,7%) (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut Zayas
(1997) komponen terbesar dalam putih telur mengandung protein dan air. Komposisi
kimia yang terdapat dalam telur ayam dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen
penyusun putih telur sebagian besar tersusun oleh air. Air akan mempengaruhi daya
simpan suatu bahan pangan. Air sangat berpengaruh dalam pengolahan dan
pengawetan bahan pangan. Perbedaan tingkat kekentalan putih telur dipengaruhi oleh
kandungan air yang menyusunnya (Romanoff and Romanoff, 1963). Telur
mengandung komponen-komponen lain selain air dan protein seperti lemak,
karbohidrat, kalsium, pospor, besi, vitamin A yang masing-masing jumlahnya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan)
Komposisi
Telur Utuh
Kuning Telur
Putih Telur
Kalori
(Kal)
148,0
361,0
50,0
Air
(g)
74,0
49,4
87,8
Protein
(g)
12,8
16,3
10,8
Lemak
(g)
11,5
31,9
0,0
Karbohidrat (g)
0,7
0,7
0,8
Kalsium
(mg)
54,0
147,0
6,0
Pospor
(mg)
180,0
586,0
17,0
Vitamin A
(SI)
900,0
200,0
0,0
Komponen telur didalam produk pangan sangat penting. Hal yang penting
dalam proses pangan komersil adalah sifat fungsional telur yang ditentukan oleh
kondisi protein telur untuk berkoagulasi. Proses pemanasan, garam, asam, basa, atau
pereaksi lain seperti urea (Winarno dan Sutrisno, 2002) yang dilakukan pada putih
telur akan menyebabkan terjadinya koagulasi protein telur. Koagulasi disebabkan
karena protein mengalami agregasi dan terbentuknya ikatan antar molekul. Ikatan
yang terbentuk yaitu ikatan hidrofobik, ikatan hidrogen, dan ikatan disulfida.
Koagulasi yang terjadi karena panas disebabkan karena adanya reaksi antara protein
dan air yang diikuti dengan penggumpalan protein. Putih telur ayam akan mengalami
koagulasi pada suhu 62oC selama 10 menit (Winarno dan Sutrisno, 2002).
Fungsi telur dalam pengolahan bahan pangan adalah untuk menimbulkan
buih, sebagai emulsifier, dan koagulasi (Matz, 1992). Protein putih telur memiliki
komponen yang dapat memberikan kestabilan terhadap buih. Volume dan kestabilan
buih menurut beberapa peneliti terdahulu, dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya umur telur, pengocokan dan penambahan bahan-bahan kimia atau
stabilisator, komposisi protein, pH, pemanasan, adanya garam dan komposisi fase
cair yang mungkin mengubah konfigurasi dan stabilitas molekul protein (Stadelman
dan Cotterill, 1995).
Desugarisasi
Desugarisasi dilakukan sebelum proses pengeringan untuk menghilangkan
glukosa yang terkandung dalam putih telur. Glukosa yang terkandung dalam putih
telur akan menyebabkan terjadinya reaksi Maillard selama proses pengeringan,
sehingga akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan seperti bau, cita rasa,
warna, ketidaklarutan dan pengurangan daya buih pada produk tepung putih telur
(Buckle et al, 1987).
Desugarisasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme yang
sesuai pada substrat organik. Terjadinya proses desugarisasi dapat menyebabkan
perubahan sifat bahan pangan akibat pemecahan kandungan-kandungan bahan
pangan tersebut. Menurut Fardiaz (1992) pertumbuhan khamir dibagi menjadi enam
fase yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik, fase
pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, dan fase kematian. Khamir akan
melakukan adaptasi untuk menyesuaikan kondisi substrat dan lingkungan sekitarnya.
Waktu yang dibutuhkan pada fase adaptasi tergantung pada faktor medium,
lingkungan, dan jumlah inokulum. Fase kedua adalah fase pertumbuhan awal.
Pertumbuhan yang terjadi pada fase ini masih relatif rendah karena khamir baru
melakukan fase adaptasi. Fase ketiga yaitu fase pertumbuhan logaritmik. Pada fase
ini khamir telah tumbuh dengan cepat dan konstan (optimal). Menurut Sa`id (1987)
dan Feed (1991) proses desugarisasi terjadi secara optimal selama 45 menit (pada
fase logaritmik). Fase keempat adalah pertumbuhan lambat yang dipengaruhi oleh
zat nutrisi dalam medium yang sudah berkurang. Fase ini terjadi setelah 1-2 jam. Hal
yang terjadi pada fase pertumbuhan tetap adalah sebagian khamir akan melakukan
pertunasan. Fase terakhir dari pertumbuhan khamir adalah fase kematian. Sel akan
mengalami kematian akibat kandungan nutrisi yang telah berkurang (Fardiaz, 1992).
Pertumbuhan Saccharomyces sp. dalam putih telur memerlukan beberapa
nutrisi diantaranya adalah karbon. Karbon dapat diperoleh dari karbohidrat seperti
glukosa, fruktosa, dan mannosa (Peppler, 1979). Saccharomyces sp. merupakan
khamir yang memiliki bentuk oval. Pertumbuhan khamir dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah nutrisi, pH, suhu, tersedianya oksigen, dan ada tidaknya
senyawa penghambat. Khamir dapat tumbuh pada suhu 25-30oC (Fardiaz, 1992).
Nilai pH yang optimum untuk pertumbuhan khamir menurut Fardiaz (1992) adalah
4,0-4,5 dan menurut Pelczar (1986) sebesar 3,8-5,6. Saccharomyces sp. dapat
tumbuh dalam keadaan aerobik maupun anaerobik. Kondisi pertumbuhan khamir
secara anaerobik akan menghasilkan senyawa berupa alkohol (C2H5OH) dan CO2
sedangkan pada kondisi aerobik akan menghasilkan senyawa berupa CO2 dan H2O.
Proses desugarisasi sangat membantu dalam mempertahankan daya buih
putih telur serta menurunkan viskositasnya sehingga dapat mempermudah dalam
penanganan (Hill dan Sebring, 1973). Penambahan khamir sebanyak 1% dalam
pembuatan tepung putih telur tidak akan mempengaruhi flavour yang dihasilkan
(Stadelman
dan
Cotterill,
1995).
Desugarisasi
putih
telur
menggunakan
Saccharomyces cerevisiae pada konsentrasi 0,20-0,40 persen dari berat putih telur
segar serta inkubasi pada suhu 22-23oC selama 2-4 jam dapat mengkonversi gula
pereduksi secara sempurna serta menghasilkan produk akhir yang bebas dari yeast
flavor (Hill dan Sebring, 1973).
Tepung putih telur yang telah mengalami proses desugarisasi setelah
disimpan selama empat bulan pada suhu ruang masih memiliki warna seperti awal
akan tetapi tepung putih telur yang tidak mangalami desugarisasi memiliki warna
merah kecoklatan (Stuart dan Goresline, 1942).
Pengeringan
Pengeringan
merupakan
suatu
metode
untuk
mengeluarkan
atau
menghilangkan sebagian air yang terkandung pada suatu bahan dengan cara
menguapkan air dengan energi panas. Proses pengeringan makanan merupakan salah
satu cara dalam pengawetan makanan. Pengeringan terhadap telur sudah dilakukan
sejak tahun 1880 di Amerika Serikat. Pengeringan telur akan menghasilkan produk
berupa tepung telur atau telur bubuk. Proses pengeringan telur dilakukan untuk
mengeluarkan air dari cairan telur dengan cara penguapan hingga kandungan air
menjadi lebih sedikit.
Metode pengeringan yang digunakan dalam pembuatan tepung telur terdiri
dari empat macam yaitu pengeringan semprot (spray drying), foaming drying,
pengeringan secara lapis (pan drying) dan pengeringan beku (freeze drying).
Pengeringan semprot (spray drying) biasanya digunakan dalam membuat tepung
telur dan tepung kuning telur tetapi tidak dapat digunakan dalam pembuatan tepung
et.al (1992) pengeringan dapat membuat bahan menjadi lebih padat dan kering
sehingga akan lebih memudahkan dalam proses transportasi, pengemasan serta
penyimpanan bahan tersebut. Kerugian yang terjadi pada proses pengeringan adalah
sifat bahan yang mengalami perubahan seperti bentuk, sifat fisik dan kimia, serta
penurunan mutu (Winarno dan Fardiaz, 1982). Proses desugarisasi akan membantu
dalam mencegah terjadinya reaksi Maillard pada tepung putih telur akibat
pengeringan.
Reaksi Maillard adalah urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus
amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik
pada gula, urutan proses ini diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna
coklat atau melanoidin (deMan, 1997). Menurut Hill dan Sebring (1973), interaksi
antara glukosa dengan komponen yang terkandung dalam telur akan menyebabkan
penurunan kualitas produk tepung putih telur. Reaksi utama yang terjadi dari
glukosa dalam pengeringan telur adalah reaksi glukosa-protein (Maillard).
Menurut Muchtadi (1993) pada proses ini glukosa akan bereaksi dengan
senyawa amino yang akan menyebabkan terbentuknya senyawa deoksiketosil dan
degradasi strecker yang akan menghasilkan senyawa melanoidin yang berwarna
coklat. Proses pengolahan pangan melibatkan reaksi degradasi karbohidrat. Reaksi
Maillard terjadi karena gula dalam bahan pangan dengan temperatur yang tinggi
akan mengalami interaksi komponen asam amino dan adanya komponen nitrogen
dalam hasil (MacCarthy, 1989).
Syarat Mutu Tepung Putih Telur
Putih telur yang telah dikeringkan akan menghasilkan produk berupa tepung
putih telur. Tepung putih telur biasa digunakan sebagai bahan dalam pembuatan
angel food cake. Angel food cake merupakan jenis kue yang tidak mengandung
lemak. Pembuatan kue ini menggunakan putih telur sebanyak 41,3 % (Stadelman dan
Cotteril, 1995). Karakteristik putih telur dan tepung putih telur memiliki perbedaan
dari jumlah komponen glukosa, protein, kadar abu, serta nilai pH (Tabel 2.).
9,0
7,0
(%)
10,1
80,5
Glukosa (%)
0,4
0,1
Abu
0,6
4,8
pH
Protein
(%)
Nilai mutu suatu produk perlu diperhatikan guna menjaga kualitas. Syarat
mutu tepung putih telur menurut SNI 01-4323-1996 meliputi nilai pH, kadar air,
kadar protein, gula pereduksi dan kadar abu total dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat Mutu Tepung Putih Telur
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
pH
6,5-7,5
Kadar Air
Maks 8
Kadar Protein
Min 75
Gula Pereduksi
Maks 0,5
Maks 5
Kadar air adalah banyaknya kandungan air yang terdapat dalam suatu bahan.
Nilai kadar air dapat ditentukan dari pengurangan berat suatu bahan yang dipanaskan
pada suhu pengujian. Kadar air erat hubungannya dengan tekstur produk, cita rasa
penampakan, daya simpan suatu bahan pangan (Winarno, 2002).
Menurut deMan (1997) air merupakan faktor pendukung yang sangat
mempengaruhi laju perubahan kimiawi maupun fisik pada bahan makanan. Prinsip
dalam pengukuran kadar air adalah dengan cara mengeringkan bahan dalam oven
dengan suhu 105oC hingga dicapai berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan
sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Nilai kadar air yang
rendah akan mencegah tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat menyebabkan
kerusakan pada produk (Winarno, 2002).
Selain faktor-faktor yang tertera pada Tabel 3, perlu diperhatikan pula faktor
lain yang menentukan mutu tepung putih telur seperti sifat fisiknya. Sifat fisik tepung
putih telur terdiri atas rendemen, waktu rehidrasi dan kecerahan. Rendemen adalah
suatu peubah yang menentukan efektif dan efisien tidaknya suatu proses pengolahan
seperti pengeringan. Nilai rendemen bahan kering putih telur ayam ras menurut
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979) yaitu sebesar 12,20%. Nilai
rendemen yang semakin besar menunjukkan makin efektif dan efisiennya proses
yang dilakukan terhadap bahan baku. Nilai rendemen dipengaruhi oleh protein yang
dapat mengikat air. Air yang semakin banyak ditahan oleh protein, maka air yang
keluar akan semakin sedikit sehingga nilai rendemen yang dihasilkan semakin
bertambah (Ockermen, 1978). Menurut AOAC (1995) perhitungan rendemen tepung
putih telur ditentukan dengan menghitung berat tepung putih telur yang dihasilkan
dari setiap perlakuan.
Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk merekostitusi tepung
putih telur hingga semua tepung terlarut (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut
Romanoff dan Romanoff (1963) daya rehidrasi tepung putih telur dipengaruhi oleh
lama dan suhu penyimpanan, kesempurnaan fermentasi dan ukuran partikel tepung.
Proses pengolahan makanan bertujuan untuk meningkatkan edibilitas suatu
makanan yang dapat menimbulkan perubahan warna yang dihasilkan. Perubahan
warna makanan dapat bersifat signifikan bagi tingkat kesukaan terhadap makanan
tersebut. Perubahan warna ini dapat mengindikasikan kesegaran dan tingkat
pemasakan produk (Hutchings, 1999). Menurut Pomeranz dan Meloan (1978) warna
merupakan salah satu faktor untuk menarik keinginan konsumen untuk
mengkonsumsi produk yang dihasilkan.
Daya dan Kestabilan Buih
Daya buih adalah ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika
dilakukan pengocokan. Nilai daya buih biasanya dinyatakan dalam persen terhadap
bobot putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Hasil-hasil penelitian yang dikutip
Alleoni dan Antunes (2004), menunjukkan bahwa salah satu fraksi protein putih telur
yang memiliki kemampuan mempermudah terbentuknya buih adalah globulin,
sementara kompleks ovomucin-lysozyme, ovalbumin dan conalbumin mempunyai
kemampuan dalam menstabilkan buih saat dipanaskan. Menurut Georgia Egg
Commission (2005) telur segar mampu mencapai buih 6 hingga 8 kali dari volume
awal putih telur segar.
Putih telur merupakan campuran protein yang tinggi dan setiap komponennya
mempunyai fungsi yang spesifik. Protein yang terkandung pada putih telur sangat
dibutuhkan oleh tubuh. Jumlah dan karakteristik protein telur dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Protein dalam Putih Telur
Jenis Protein
Ovalbumin
Karakteristik
Conalbumin
13
Ovomucoid
11
Menghambat trypsin
Lysozyme
3,5
G2 globulin
4,0
G3 globulin
4,0
Ovomucin
1,5
Sialoprotein
Flavoprotein
0,8
Mengikat riboflavin
Ovoglycoprotein
0,5
Sialoprotein
Ovomacroglobulin
0,5
Ovoinhibitor
0,1
Avidin
0,05
Phosphoglicoprotein
Kandungan dan jumlah protein dalam putih telur akan mempengaruhi buih
yang dihasilkan setelah mengalami proses pengocokan. Fraksi-fraksi protein yang
mempengaruhi dalam pembentukan buih menurut Stadelman dan Cotterill (1995)
serta Linden dan Lorient (1999) adalah ovalbumin, ovomucin, dan globulin. Menurut
Johnson dan Zabik (1981) dalam Davis dan Reeves (2002) ovotransferin, lysozyme
dan ovomucoid berperan dalam proses pembentukan buih. Hamershof dan Anderson
(2002) menyatakan bahwa protein yang berperan dalam pembentukan buih adalah
ovalbumin, ovotransferin, ovoglobulin, dan ovomucin.
Ovalbumin adalah komponen utama yang menyusun putih telur. Ovalbumin
merupakan phosphoglycoprotein. Molekul ovalbumin mengandung 4 gugus
sulfihidril (-SH) serta 2 gugus disulfida. Ovalbumin dapat berubah menjadi Sovalbumin yaitu suatu protein yang bersifat lebih stabil terhadap panas selama
penyimpanan telur. Perubahan sifat-sifat fisik ovalbumin menjadi S-ovalbumin
dipengaruhi oleh perubahan gugus sulfihidril menjadi disulfida. Ovalbumin mudah
mengalami denaturasi dan terkoagulasi akibat adanya pengocokan akan tetapi,
ovalbumin lebih tahan terhadap proses pemanasan. Pemanasan pada suhu 62oC
selama 3,5 menit dengan pH 9 akan menyebabkan denaturasi ovalbumin sebanyak
3-5% (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Ovomucin yaitu suatu glikoprotein. Ovomucin adalah protein yang tidak larut
dalam air akan tetapi dapat larut dalam garam dan pada pH 7 atau lebih (Linden dan
Lorient, 1999). Ovomucin mampu membentuk lapisan yang tidak larut dalam air dan
dapat menstabilkan buih yang terbentuk pada saat pengocokan. Ovomucin dapat
menstabilkan buih karena ovomucin lebih kental serta mengandung karbohidrat yang
tinggi sehingga dapat mengikat air (Linden dan Lorient, 1999). Ovomucin dalam
putih telur mencapai 1,5% (Tabel 3.). Kandungan karbohidrat dalam ovomucin
mencapai 30% (Linden dan Lorient, 1999). Ovomucin merupakan protein putih telur
yang berperan dalam kestabilan buih serta memiliki viskositas yang tinggi
(Hammershoj dan Andersen, 2002). Proses pemanasan pada suhu 90oC dengan pH
sekitar 7,1-9,4 selama 2 jam tidak akan mengubah viskositas protein ini (Stadelman
dan Cotterill, 1995). Interaksi antara ovomucin dan globulin akan meningkatkan
volume atau daya buih.
Globulin atau Lysozyme merupakan suatu protein putih telur yang
menentukan tingkat kekentalan dan mengurangi pencairan buih. Globulin dapat
membantu tahapan dalam pembentukan buih. Kurangnya globulin dalam putih telur
akan membutuhkan waktu pengocokan lebih lama untuk mencapai volume tertentu
(Stadelman dan Cotterill, 1995). Proses pemanasan akan merusak konsentrasi
globulin. Proses pemanasan akan mempercepat pecahnya ovomucin-lysozyme diikuti
dengan terjadinya denaturasi yang dapat menyebabkan menurunnya daya buih yang
dihasilkan (Zayas, 1997). Slosberg et al. (1947) bahwa proses pemanasan yang
dilakukan terhadap putih telur pada suhu lebih dari 57,2oC dengan waktu yang relatif
singkat dapat mempengaruhi sifat fungsional putih telur terutama dalam
pembentukan buih.
DENATURASI
PEMBENTUKAN LAPISAN
TIPIS
udara
udara
MENANGKAP UDARA
udara
PERBAIKAN BUIH
YANG
TERBENTUK
udara
KOAGULASI
udara
udara
DISTRUPSI
dihasilkan oleh induk memiliki nilai pH 7,6. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995)
pada saat pH meningkat menjadi 9 terjadi interaksi antara ovomucin dan lysozyme
yang menyebabkan putih telur menjadi encer. Menurut Mine (1996) proses
pengeringan putih telur dengan nilai pH yang rendah (dibawah 9,5) merupakan cara
yang efektif dalam memperbaiki bentuk dan fungsional protein telur.
Menurut Meyer dan Hood (1973) kehilangan karbondioksida (CO2) dalam
telur akan menyebabkan meningkatnya nilai pH. Peningkatan pH putih telur hingga
10,7 selama proses penyimpanan akan membentuk ikatan komples ovomucinlysozyme yang menyebabkan putih telur menjadi lebih encer sehingga daya buih
yang dihasilkan menjadi lebih rendah (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut
Seideman et al. (1963) peningkatan pH putih telur hingga 9,0 akan memecah protein
globulin sehingga akan menurunkan kemampuan putih telur untuk mengikat udara
dalam pembentukan buih.
Waktu pengocokan putih telur yang lama akan berpengaruh terhadap volume
dan kestabilan buih yang dihasilkan. Penambahan waktu pada proses pengocokan
akan meningkatkan volume buih dan akan memperkecil ukuran buih (Stadelman dan
Cotterill, 1995). Tingkat kestabilan buih maksimum putih telur dicapai sebelum
volume maksimum buih dicapai (Stadelman dan Cotterill, 1995). Volume buih tidak
meningkat kembali setelah dikocok selama enam menit (Romanoff dan Romanoff,
1963).
Suhu akan mempengaruhi daya dan kestabilan buih. Penyimpanan telur pada
suhu tinggi akan mempercepat peningkatan pH. Pada pH 9,5 akan terjadi pemecahan
beberapa protein. Transformasi ovalbumin menjadi s-ovalbumin terjadi akibat adanya
peningkatan pH dan suhu (Alleoni dan Antunes, 2004). Kandungan s-ovalbumin
yang tinggi akan menyebabkan meningkatnya tirisan buih yang menimbulkan
kestabilan buih yang rendah.
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Bagian
Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas
Peternakan,
Laboratorium
Pengolahan
Teknologi
Pangan,
serta
ijk
Keterangan:
Yij
: Rataan umum
Ai
Bj
ijk
berbeda nyata maka akan dilakukan uji Duncan. (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kadar air, rendemen,
kecerahan, waktu rehidrasi, daya dan tirisan buih tepung putih telur ayam ras.
Kadar Air (AOAC, 1995).
menggunakan oven. Cawan kosong dikeringkan terlebih dahulu didalam oven selama
15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang.
Sampel tepung putih telur sebanyak 2 g (bobot awal) dimasukkan dalam cawan yang
telah ditimbang, dimasukkan dalam oven dengan suhu 105oC selama 24 jam dan
dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang (bobot akhir).
Kadar Air (%) =
x 100 %
x 100 %
Pengukuran
Volume Buih
X 100%
X 100%
Volume Buih
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian berupa kadar air, rendeman, waktu
rehidrasi, daya dan persentase tirisan buih dianalisis menggunakan analisis ragam.
Perbedaan rataan antar perlakuan akan dilakukan uji Duncan. (Mattjik dan
Sumertajaya, 2002).
Prosedur
Prosedur yang dilakukan dalam pembuatan tepung putih telur dengan
menggunakan metode pan drying dapat dilihat pada Gambar 4. Prosedur pembuatan
tepung putih telur adalah sebagai berikut:
Persiapan Telur
Homogenisasi
Pengaturan pH
Pasteurisasi
Desugarisasi
Pengeringan
Penggilingan
Pengemasan
1. Persiapan telur
Telur yang akan digunakan terlebih dahulu dilakukan seleksi dengan memilih
telur yang memiliki kualitas A dengan ciri-ciri memiliki bentuk kuning telur
cembung, terletak ditengah, bersih dari noda (bercak darah dan daging), kulit telur
bersih, tidak retak, dan memiliki bentuk normal. Telur yang digunakan diusahakan
memiliki bobot yang seragam. Telur dibersihkan terlebih dahulu dengan
menggunakan air hangat (35-40 oC) kemudian ditiriskan.
2. Pemisahan isi telur dan homogenisasi
Pemisahan isi telur dilakukan diatas meja kaca. Putih telur dipisahkan dari
kuningnya kemudian ditempatkan dalam mangkuk stainless steel dengan
menggunakan spatula. Homogenisasi putih telur dilakukan dengan pengadukan
menggunakan spatula.
3. Pengaturan pH
Putih telur yang digunakan terlebih dahulu diatur pHnya sesuai rekomendasi
Stadelman dan Cotterill (1995) yaitu sebesar 6,0-7,0. Putih telur yang memiliki nilai
pH di atas 7,0 ditambah asam sitrat 5 % hingga pH putih telur mencapai 6,0-7,0.
4. Pasteurisasi
Pasteurisasi dilakukan pada suhu 60-62
menggunakan metode double wall. Panci berisi air dipanaskan di atas kompor hingga
mencapai suhu yang diinginkan, kemudian putih telur yang telah dipisahkan di dalam
mangkuk stainless steel dimasukkan ke dalam panci berisi air, didiamkan selama 3
menit kemudian diangkat.
5. Desugarisasi
Ragi roti instant (Saccharomyces sp.) ditambahkan sebanyak 0,3 % (w/w) ke
dalam cairan putih telur, kemudian diaduk sampai penyebaran ragi merata
menggunakan sumpit kayu selama 2 menit dan didiamkan pada suhu ruang (2730oC) masing-masing selama 0; 1; 2.5 dan 4 jam.
6. Pengeringan telur
Loyang yang akan digunakan untuk mengeringkan putih telur berukuran
27,5x30 cm. Cairan putih telur dimasukkan ke dalam loyang dan dibuat agar
memiliki tinggi putih telur sebesar 6 mm. Kemudian dilakukan pengeringan dalam
oven dengan suhu 45-50oC selama 42 jam.
7. Penggilingan
Putih telur yang dihasilkan kemudian digiling. Penggilingan terhadap putih
telur kering dilakukan dengan menggunakan blender (Philips) selama 2-3 menit.
Hasil yang didapat dari penggilingan ini adalah tepung putih telur.
8. Pengemasan
Tepung putih telur yang telah terbentuk segera dikemas dalam plastik
Polyethylen, kemudian dimasukkan kedalam stoples kedap udara.
Tahap akhir yang dilakukan adalah pengukuran sifat fisik dan fungsional
terhadap tepung putih telur. Pengukuran sifat fisik dan fungsional tepung putih telur
dilakukan terhadap kadar air, rendemen, waktu rehidrasi, warna, daya dan persentase
tirisan buih.
Desugarisasi (Jam)
1
2,5
(%)
7,5
6,5
7,25
6,75
6,25
6,5
7,5
7,5
6,5
Rataan+sd
7,58+0.38A
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan Sangat Berbeda Nyata
(P<0.01)
Rataan nilai kadar air tepung putih telur yang dihasilkan pada penelitian ini
berkisar antara 6,25-7,58%. Nilai yang dihasilkan tersebut sesuai dengan standar
nilai kadar air tepung putih telur. Menurut SNI 01-4323-1996 nilai kadar air tepung
putih telur maksimal adalah sebesar 8%.
Perlakuan desugarisasi 0 jam tidak terjadi perombakan glukosa jika
dibandingkan dengan perlakuan desugarisasi 1; 2.5 dan 4 jam. Hal ini terjadi karena
kandungan air awal pada perlakuan desugarisasi 0 jam relatif masih sama dengan
kandungan air pada putih telur segar. Menurut Poedjiadi (1994) air yang terkandung
dalam putih telur segar mencapai 87% . Proses pengeringan yang dilakukan dapat
pula mengurangi jumlah air yang terdapat dalam putih telur. Nilai kadar air pada
perlakuan desugarisasi 0 jam mencapai 7,25%.
Proses desugarisasi akan mempengaruhi kandungan air yang terdapat dalam
tepung putih telur. Hasil nilai Kadar air tepung putih telur dengan perlakuan
desugarisasi 1 jam sebesar 6,25%. Penurunan kadar air yang dihasilkan pada
perlakuan desugarisasi 1 jam terjadi karena dalam pertumbuhannya, Saccharomyces
sp. memerlukan air. Hal ini menyebabkan kandungan air yang lebih rendah pada
perlakuan desugarisasi 1 jam.
Nilai kadar air pada perlakuan desugarisasi 2,5 jam memiliki nilai yang lebih
tinggi dari pada perlakuan desugarisasi 1 jam. Hal ini terjadi karena pada perlakuan
desugarisasi 2,5 jam pertumbuhan Saccharomyces sp. berada dalam fase
pertumbuhan tetap (statis) sehingga air yang dibutuhkan lebih sedikit. Keadaan ini
menyebabkan penggunaan air dalam pertumbuhan Saccharomyces sp. semakin
berkurang sehingga kadar air tepung putih telur yang dihasilkan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan perlakuan desugarisasi 1 jam.
Perlakuan desugarisasi 4 jam mengandung air lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan desugarisasi 0; 1 dan 2.5 jam. Pada perlakuan ini, pertumbuhan
Saccharomyces sp. berada pada fase menuju kematian sehingga nutrisi yang
dibutuhkan lebih rendah. Selain itu, perombakan glukosa yang terjadi menghasilkan
senyawa berupa karbondioksida dan air. Jumlah air yang tinggi pada perlakuan
desugarisasi 4 jam kemungkinan berasal dari hasil perombakan glukosa tersebut.
Proses pertumbuhan jasad renik menurut Fardiaz (1992) dibagi menjadi lima fase
yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik, fase
pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, dan fase kematian.
Sifat Fisik Tepung Putih Telur Ayam Ras
Nilai pH
Nilai pH Setelah Desugarisasi. Hasil pengujian nilai pH setelah desugarisasi dapat
dilihat pada Tabel 6. Nilai pH setelah desugarisasi yang dihasilkan berbeda sangat
nyata secara statistik (P<0.01).
Nilai pH pada perlakuan desugarisasi 0; 1; 2.5 dan 4 jam relatif rendah. Hal
ini terjadi karena pada awal proses sebelum desugarisasi dilakukan penurunan pH
terlebih dahulu dengan menambahkan asam sitrat konsentrasi 5% sebanyak 3,33%
dari bobot putih telur untuk mendapatkan kondisi yang sesuai dalam pertumbuhan
Saccharomyces sp.
Nilai pH pada perlakuan desugarisasi 0 jam sebesar 6,19. Nilai pH yang
rendah pada perlakuan ini terjadi karena pada proses tersebut tidak menghasilkan
senyawa berupa karbondioksida dan air akibat perombakan glukosa. Nilai pH pada
perlakuan desugarisasi 1 jam lebih tinggi dari pada perlakuan desugarisasi 0 jam. Hal
ini terjadi karena pada perlakuan desugarisasi 1 jam telah terjadi perombakan
glukosa akibat penambahan Saccharomyces sp. yang menghasilkan karbondioksida.
Hilangnya
karbondioksida
selama
proses
pengeringan
akan
menyebabkan
0
8,28+0
Desugarisasi (Jam)
1
2,5
8,26+0.09
8,36+0.07
4
8,38+0.08
6,14+0,03
6,24+0,05
6,26+0,05
6,25+0,04
pH Setelah
Desugarisasi
6,19+0.36A
6,76+0.14BC
6,91+0.14CD 7,07+0.27D
pH Tepung
8,82+0.01A
8,64+0.01B
8,73+0.01C
8,85+0.03D
12,38+0.21A 12,51+0.26A
13,00+0.67A
11,75+0.31B
Waktu Rehidrasi
(detik)
41,00+1.32
38,16+2.30
37,50+1.00
40,16+1.25
Kecerahan
64,84+0.84a
65,10+0.62ab 65,50+0.74bc
Rendemen
(%)
65,55+0.86bc
Keterangan: Superskrip yang A berbeda pada baris yang sama menunjukkan Sangat Berbeda Nyata
(P<0.01)
Superskrip a yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan Berbeda Nyata (P<0.05)
Nilai pH Tepung Putih Telur. Hasil pengujian nilai pH tepung putih telur dapat
dilihat pada Tabel 6. Nilai pH tepung putih telur yang dihasilkan berbeda sangat
nyata secara statistik (P<0.01).
Nilai pH tepung putih telur pada perlakuan desugarisasi 0 jam yaitu 8,82.
Nilai pH pada perlakuan desugarisasi 0 jam lebih tinggi dari pada perlakuan
desugarisasi 1 dan 2,5 jam. Hal ini terjadi akibat tidak adanya proses desugarisasi
pada perlakuan tersebut. Tidak adanya proses desugarisasi pada proses pembuatan
tepung putih telur menyebabkan kondisi putih telur yang tidak stabil. Proses
pengeringan hanya menguapkan air yang terkandung dalam putih telur. Nilai pH
yang dihasilkan pada perlakuan desugarisasi 0 jam mendekati nilai pH putih telur
segar.
Perlakuan lama desugarisasi 1; 2.5 dan 4 jam telah mengalami perombakan
glukosa
sebelum
pengeringan.
Proses
pengeringan
yang
dilakukan
akan
Rendeman
Hasil pengujian rendemen dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai rendemen yang
dihasilkan berbeda sangat nyata secara statistik (P<0.01). Analisis ragam yang
dilakukan menunjukkan hasil yang berbeda nyata untuk perlakuan lama desugarisasi
4 jam.
Perbedaan tersebut terjadi karena semakin lama waktu desugarisasi yang
dilakukan maka perombakan glukosa akan semakin banyak. Nilai rendemen yang
dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 11,75%-13,00%. Nilai ini lebih besar
jika dibandingkan dengan nilai rendemen bahan kering putih telur ayam ras menurut
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1979) yaitu sebesar 12,20%.
Proses pengeringan yang dilakukan menyebabkan terjadinya penguapan
karbondioksida (CO2) dan air sehingga persentase nilai rendemen akan berkurang
untuk perlakuan lama desugarisasi 4 jam. Nilai rendemen dengan lama desugarisasi 4
jam memiliki nilai rendemen paling rendah karena pada perlakuan ini proses
perombakan glukosa menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O) yang terjadi akan
semakin banyak sehingga pada proses pengeringan, terjadi penguapan komponen
tersebut yang akan mengurangi kandungan air dalam putih telur.
Perombakan glukosa menjadi karbondioksida dan air yang terjadi pada proses
lama waktu desugarisasi 0; 1; dan 2.5 jam belum banyak sehingga penguapan
karbondioksida dan air yang terjadi tidak terlalu tinggi. Hal ini menyebabkan hasil
nilai rendemen yang relatif sama antara lama desugarisasi 0; 1 dan 2.5 jam.
Waktu Rehidrasi
Hasil pengukuran waktu rehidrasi dapat dilihat pada Tabel 6. Waktu rehidrasi
adalah waktu yang dibutuhkan untuk melarutkan tepung. Pengukuran waktu rehidrasi
dilakukan dalam satuan detik. Waktu rehidrasi yang terjadi pada setiap perlakuan
secara statistik tidak berbeda nyata.
Hasil yang tidak berbeda ini terjadi akibat proses penggilingan yang
dilakukan pada masing-masing perlakuan sama sehingga ukuran partikel yang
terbentuk pada masing-masing perlakuan relatif sama. Ukuran partikel tepung akan
mempengaruhi daya larut tepung tersebut. Perbedaan tingkat kekeringan tepung
putih telur akan mempengaruhi waktu rehidrasi yang dihasilkan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Romanoff dan Romanoff (1963) bahwa daya rehidrasi
Desugarisasi (Jam)
1
2,5
(%)
3,23+0B
3,77+0.28C
4,45+0.34D
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan Sangat Berbeda Nyata
(P<0.01)
Nilai daya buih tepung putih telur tertinggi pada penelitian ini didapat dari
perlakuan lama desugarisasi 1 jam yaitu sebesar 511,10%. Hal ini didukung oleh
pernyataan Sa`id (1987) dan Feed (1991) bahwa proses desugarisasi terjadi secara
optimal selama 45 menit. Daya buih yang tinggi pada perlakuan lama desugarisasi 1
jam dipengaruhi oleh kandungan air (Tabel 5.) dan pH (Tabel 6.) yang terdapat
dalam tepung putih telur. Kandungan air dan pH pada perlakuan ini dicapai paling
rendah dari pada perlakuan lainnya. Air merupakan faktor yang mempengaruhi daya
buih yang dihasilkan. Semakin rendah kandungan air dalam tepung putih telur maka
akan memudahkan tepung putih telur untuk membuih. Nilai pH menyebabkan
protein pembentuk putih telur semakin mudah untuk menangkap udara sehingga
daya buih yang dihasilkan semakin tinggi. Namun demikian, volume buih yang
didapat tersebut masih dibawah daya buih yang dapat dicapai pada putih telur segar
yaitu mencapai 6 hingga 8 kali dari volume awal putih telur (Georgia Egg
Commission, 2005). Hal ini karena nilai pH tepung putih telur yang dicapai 8,64
sedangkan menurut Stadelman dan Cotterill (1995) volume buih tertinggi terjadi
pada pH 8,0. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut daya buih tepung putih telur
dengan pH 8,0 atau dibawah 8,0 sesuai dengan persyaratan tepung putih telur
menurut SNI 01-4323-1996 yaitu sebesar 6,5-7,5.
Nilai daya buih pada perlakuan desugarisasi 2,5 jam lebih rendah dari pada
perlakuan desugarisasi 1 jam akan tetapi lebih tinggi dari perlakuan desugarisasi 4
jam. Hal ini terjadi karena pada perlakuan desugarisasi 2,5 jam jumlah air yang
dihasilkan lebih tinggi jika dibandingkan pada perlakuan desugarisasi 1 jam. Selain
air, nilai pH juga mempengaruhi rendahnya daya buih yang terbentuk. Nilai pH yang
dihasilkan pada perlakuan ini sebesar 8,73. Nilai pH tepung putih telur yang
mendekati 9,0 menyebabkan sulitnya proses pembentukan buih.
Daya buih tepung putih telur terendah pada penelitian ini dihasilkan pada
perlakuan lama desugarisasi 4 jam yaitu mencapai 349,99%. Hasil daya buih tepung
putih telur yang rendah pada perlakuan lama desugarisasi 4 jam disebabkan oleh
kandungan air pada perlakuan lama desugarisasi 4 jam sangat tinggi mencapai
7,58%. Air yang tinggi pada perlakuan tersebut menyebabkan sulitnya proses
pembentukan buih. Nilai pH yang tinggi mendekati 9,0 pada tepung putih telur
dengan perlakuan lama desugarisasi 4 jam menyebabkan daya buih yang dihasilkan
rendah. Rendahnya daya buih terjadi akibat pada nilai pH 9,0 kondisi protein putih
telur terutama globulin akan pecah, sehingga akan menurunkan kemampuan untuk
mengikat udara dalam proses pembentukan buih. Hal ini didukung oleh pernyataan
Seidemen et al. (1963) yang menyatakan bahwa peningkatan pH putih telur hingga
mencapai 9,0 akan memecah protein globulin putih telur.
Proses pengeringan akan merubah beberapa komponen penyusun putih telur.
Protein ovomucin yang menstabilkan struktur buih dan ovalbumin yang membentuk
buih akan mengalami kerusakan akibat pengeringan sehingga akan mempengaruhi
daya buih yang dihasilkan. Proses pemanasan akan merusak konsentrasi globulin.
Proses pemanasan akan mempercepat pecahnya ovomucin-lysozyme diikuti dengan
terjadinya denaturasi yang dapat menyebabkan menurunnya daya buih yang
dihasilkan. Hal ini didukung oleh pernyataan Slosberg et al. (1947) bahwa proses
pemanasan yang dilakukan terhadap putih telur pada suhu lebih dari 57,2oC dengan
waktu yang relatif singkat dapat mempengaruhi sifat fungsional putih telur terutama
dalam pembentukan buih.
Kestabilan Buih
Hasil tirisan buih dapat dilihat pada Tabel 7. Persentase tirisan buih yang
rendah menunjukkan tingginya nilai kestabilan buih yang terjadi. Berdasarkan
analisis ragam, kestabilan buih tepung putih telur ayam ras dipengaruhi sangat nyata
(P<0.01) oleh lama desugarisasi berbeda.
Tirisan buih yang terbentuk pada perlakuan lama desugarisasi 0 jam memiliki
nilai paling tinggi diantara perlakuan lainnya. Tingginya tirisan buih yang terbentuk
menunjukkan nilai kestabilan buih yang semakin rendah. Hal ini terjadi karena pada
perlakuan desugarisasi 0 jam kondisi komponen pembentuk buih tidak stabil akibat
tidak dilakukannya proses desugarisasi serta adanya pengeringan dalam pembuatan
tepung putih telur. Proses pemanasan yang lama akan mengubah viskositas protein
pembentuk buih terutama ovomucin yang berperan dalam kestabilan buih. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Stadelman dan Cotterril (1995) bahwa semakin banyak
ovomucin maka kestabilan buih akan semakin tinggi. Peningkatan suhu juga akan
mengakibatkan transformasi ovalbumin menjadi s-ovalbumin (Alleoni dan Antunes,
2004).
DAFTAR PUSTAKA
Alleoni, A.C.C. and A.J Antunes. 2004. Albumen foam stability and s-ovalbumen
content in egg coated with whey protein concentrate. Rev.Bras.Cienc.Avic.
Vol 6. No.2. Campinas. ./Revista Brasileira de Ciencia Aviola Balbumen
foam stability and s-ovalbumin content in e 4/9/05.
Aman, W, Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S.I Budiwati. 1992. Peralatan dan Unit
Proses Industri Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16 th Edit. Assosiation of Official
Analitical Chemist Int., Washington D.C.
Berquist, D. H. 1964. Egg dehidration. Dalam: W. J. Stadelmen and O. J. Cotterill
(Editor). Egg Science and Technology. Food Products Press. An Imprint of
The Haworth Press, Inc., New York.
Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan: Hari purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Cunningham, F. E. 1995. Egg Product Pasteurization. Dalam: W. J. Stadelmen and
O. J. Cotterill (Editor). Egg Science and Technology. Food Products Press.
An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York.
Cherry, J. P. and McWaters. 1981. Protein Functionality in Foods. American
Chemical Soviety, Washington.
Davis, C and Reeves. 2002. High value opportunities from the chicken egg. A report
for Rural Industries Research and Development Corporation. RIRDC
Publication No. 02/094.
deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan. Edisi kedua. Institut Teknologi Bandung,
Bandung.
Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian,
Jakarta.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan-Bahan
Makanan. Bharata Karya, Jakarta.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Feed, G. and T. W. Nagodawithana. 1991. Yeast Technology. Second Edition. Van
Nostrand Reinhold, New York.
Georgia Egg Commission. 2005. Albumen. http://www.georgiaeggs.org/pages/
albumen.html. [1 April 2006].
Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Penerbit
Liberty, Yogyakarta.
Hammershoj, M. and J. Andersen. 2002. Egg processing focus on the functional
properties of egg albumen powder. J. Poultry International. 41: 18-24.
Stadelman, W. J. and O. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed.
Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York.
Standar Nasional Indonesia 01-4323-1996. Tepung Putih Telur. Badan Standarisasi
Nasional.
Stuart, L. S. and H. E. Goresline. 1942. Bacteriological studies on the Natural
fermentation process of preparing egg white for drying. Agricultural
Chemical Research Division Contribution No. 62.
Winarno, F. G dan S. Fardiaz. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia,
Jakarta.
Winarno, F. G. dan Sutrisno. K. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan dan
Pengolahannya. M-brio Press, Bogor.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wirakartakusumah, A., A. Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S. I. Budiwati. 1992.
Peralatan dan Proses Industri pangan. Pusat Antar Universitas, Bogor.
Zayas, J. F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer, Berlin.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Ragam Kadar Air Tepung Putih Telur Ayam Ras
dengan Lama Desugarisasi Berbeda
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
3.18229
1.06076
17.46
0.002**
Blok
0.59375
0.29688
4.89
Galat
0.36458
0.06076
Total
11
4.14063
0.055
Lampiran 2. Uji Lanjut Duncan Kadar Air Tepung Putih Telur Ayam Ras
pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda
Taraf
Ulangan
Kelompok Duncan
Rata-rata
0 jam
7.25
1 jam
6.25
2.5 jam
6.66
4 jam
7.58
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
4.0483
1.34943
112.14
Blok
0.1718
0.088590
Galat
0.0722
0.01203
Total
11
4.2923
7.14
P
0.000**
0.026
Ulangan
Kelompok Duncan
Rata-rata
0 jam
8.23
1 jam
6.76
2.5 jam
BC
6.91
4 jam
7.07
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
0.08043
0.02681
106.07
0.000**
Blok
0.00195
0.00097
3.86
Galat
0.00151
0.00025
Total
11
0.08390
0.084
Lampiran 6. Uji Lanjut Duncan pH Tepung Putih Telur Ayam Ras pada
berbagai Lama Desugarisasi Berbeda
Taraf
Ulangan
Kelompok Duncan
Rata-rata
0 jam
8.82
1 jam
8.64
2.5 jam
8.73
4 jam
8.85
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
2.39503
0.798344
6.29
0.028*
Blok
0.56672
0.283358
2.23
0.189
Galat
0.76202
0.1227003
Total
11
3.72337
Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan Rendemen Tepung Putih Telur Ayam Ras
pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda
Taraf
Ulangan
Kelompok Duncan
Rata-rata
0 jam
12.38
1 jam
12.51
2.5 jam
13.00
4 jam
11.75
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
0.15329
0.05109
2.57
0.150
Blok
0.00221
0.00110
0.06
0.946
Galat
0.11918
0.01986
Total
11
0.27469
Lampiran 10. Analisis Ragam Kecerahan Tepung Putih Telur Ayam Ras
dengan Lama Desugarisasi Berbeda
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
1.01777
0.33926
5.24
0.041*
Blok
4.44463
2.22231
34.30
0.001
Galat
0.38872
0.06479
Total
11
5.85112
Lampiran 11. Uji Lanjut Duncan Kecerahan Tepung Putih Telur Ayam Ras
pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda
Taraf
Ulangan
Kelompok Duncan
Rata-rata
0 jam
8.05
1 jam
ab
3.23
2.5 jam
bc
3.77
4 jam
bc
4.45
Lampiran 12. Analisis Ragam Daya Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras
dengan Lama Desugarisasi Berbeda
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
40462.1
13487.4
87.42
0.000**
Blok
555.6
277.8
1.80
Galat
925.7
154.3
Total
11
41943.4
0.244
Lampiran 13. Uji Lanjut Duncan Daya Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras
pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda
Taraf
Ulangan
Kelompok Duncan
Rata-rata
0 jam
405.55
1 jam
511.10
2.5 jam
433.33
4 jam
349.99
Lampiran 14. Analisis Ragam Tirisan Buih Tepung Putih Telur Ayam Ras
dengan Lama Desugarisasi Berbeda
Sumber Keragaman
db
JK
Perlakuan
0.14702
Blok
Galat
Total
KT
F hit
0.049008
98.02
0.000**
0.00020
0.000100
0.20
0.00300
0.000500
11
0.15022
0.824
Lampiran 15. Uji Lanjut Duncan Tirisan Buih Tepung Putih Telur Ayam
Ras pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda
Taraf
Ulangan
Kelompok Duncan
Rata-rata
0 jam
8.05
1 jam
3.23
2.5 jam
3.77
4 jam
4.45
Lampiran 16. Daya Buih Tepung Putih Telur dengan Lama Desugarisasi
Berbeda