Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH GEOMORFOLOGI

ADINDA NOVIANA
072.12.005

TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK KEBUMIAN DAN ENNERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2016

GEOMORFOLOGI
Definisi Geomorfologi
Pada hakekatnya geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang roman muka bumi
beserta aspek-aspek yang mempengaruhinya. Adapun bentangalam (landscape) didefinisikan
sebagai panorama alam yang disusun oleh elemen elemen geomorfologi dalam dimensi yang
lebih luas dari terrain, sedangkan bentuk-lahan (landforms) adalah komplek fisik permukaan
ataupun dekat permukaan suatu daratan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia.
Pada dasarnya geomorfologi mempelajari bentuk bentuk bentangalam; bagaimana
bentangalam itu terbentuk secara kontruksional yang diakibatkan oleh gaya endogen, dan
bagaimana bentangalam tersebut dipengaruhi oleh pengaruh luar berupa gaya eksogen seperti
pelapukan, erosi, denudasi,sedimentasi. Air, angin, dan gletser, sebagai agen yang merubah
batuan atau tanah membentuk bentang alam yang bersifat destruksional, dan menghasilkan
bentuk-bentuk alam darat tertentu (landform).
Pengaruh struktur (perlipatan, pensesaran, pengangkatan, intrusi, ketidakselarasan, termasuk
didalamnya jenis-jenis batuan) yang bersifat kontruksional, dan proses yang bersifat
destruksional (pelapukan, longsoran kerja air, angin, gelombang, pelarutan, dan lainnya),
sudah diakui oleh para ahli geologi dan geomorfologi sebagai dua buah paramenter penting
dalam pembentukan rupa bumi. Selain itu batuan sebagai bagian dari struktur dan tahapan
proses geologi merupakan faktor cukup penting.
Selama pertengahan awal abad ini, hampir semua kegiatan riset geomorfologi terutama
ditujukan sebagai alat interpretasi geologi saja, dengan menganalisa bentangalam dan bentukbentuk alam yang mengarah pada kecurigaan pada unsur-unsur struktur geologi tertentu atau
jenis-jenis batuan, seperti pembelokan atau kelurusan sungai, bukit-bukit, dan bentuk-bentuk
alam lainnya. Tetapi dalam empat dekade terakhir, riset geomorfologi sudah mulai diarahkan
pada studi tentang proses-proses geomorfologi, walaupun kegiatan interpretasi masih tetap
tidak ditinggalkan dan tetap diperlukan. Selain itu pembangunan fisik memerlukan informasi
mengenai geomorfologi yang menyangkut antara lain:

Geometri bentuk muka bumi


Proses-proses geomorfologi yang sedang berjalan beserta besaran-besarannya, dan
antisipasi terhadap perubahan bentuk muka bumi dalam skala detail dapat mempengaruhi
pembangunan.
Dengan berkembang pesatnya teknologi penginderaan jauh, seperti foto udara, citra landsat,
SPOT, radar, Ikonos, Quickbirds dan lainnya, maka geomorfologi semakin menarik untuk
diteliti, baik karena lebih mudahnya interpretasi geologi maupun lebih jelas dan aktualnya
data mengenai proses-proses yang sedang terjadi di permukaan bumi yang diamati. Dengan
demikian, pengamatan terhadap gejala struktur (dan batuan) serta proses, adalah sangat

penting dalam menganalisa bentang alam, baik dengan cara menganalisa peta topografi, foto
udara dan citra, maupun di lapangan. Pengamatan yang baik di lapangan maupun
dilaboratorium terhadap alat bantu yang berupa peta topografi, foto udara, citra satelit, citra
radar akan membuat pembuatan peta geomorfologi menjadi cepat dan menarik. Pembuatan
peta geomorfologi tidak dapat lepas dari skala peta yang digunakan. Pembuatan satuan
geomorfologi selain berdasar bentuk, proses maupun tahapan sangat tergantung pada skala
peta yang digunakan. Makin besar skala peta, makin banyak satuan yang dapat dibuat.
Peta Geomorfologi
Peta geomorfologi didefinisikan sebagai peta yang menggambarkan bentuk lahan, genesa
beserta proses yang mempengaruhinya dalam berbagai skala. Berdasarkan definisi diatas
maka suatu peta geomorfologi harus mencakup hal hal sebagai berikut:
1.

Peta geomorfologi menggambarkan aspek-aspek utama lahan atau terrain disajikan


dalam bentuk simbol huruf dan angka, warna, pola garis dan hal itu tergantung pada tingkat
kepentingan masing-masing aspek.

2.

Peta geomorfologi memuat aspek-aspek yang dihasilkan dari sistem survei analitik
(diantaranya morfologi dan morfogenesa) dan sintetik (diantaranya proses geomorfologi,
tanah /soil, tutupan lahan).

3.

Unit utama geomorfologi adalah kelompok bentuk lahan didasarkan atas bentuk
asalnya (struktural, denudasi, fluvial, marin, karts, angin dan es).

4.

Skala peta merupakan perbandingan jarak peta dengan jarak sebenarnya yang
dinyatakan dalam angka, garis atau kedua-duanya.
Adapun informasi yang terdapat dalam peta geomorfologi berupa bentuk, geometri, serta
proses-proses yang telah maupun sedang terjadi, baik proses endogenik maupun eksogenik.
Ada sedikit perbedaan penekanan antara informasi geomorfologi untuk sains dan informasi
geomorfologi untuk terapan.

1.

Untuk tujuan sains maka peta geomorfologi diharap mampu memberi informasi
mengenai hal-hal berikut :

1.

Faktor-faktor geologi apa yang telah berpengaruh kepada pembentukan bentang


alam disuatu tempat

2.

Bentuk-bentuk bentangalam apa yang telah terbentuk karenanya. Pada umumnya halhal tersebut diuraikan secara deskriptif. Peta geomorfologi yang disajikan harus dapat
menunjang hal-hal tersebut diatas, demikian pula klasifikasi yang digunakan. Gambaran
peta yang menunjang ganesa dan bentuk diutamakan.

1.

Sedangkan untuk tujuan terapan peta geomorfologi akan lebih banyak memberi
informasi mengenai :

1.

Geometri dan bentuk permukaan bumi seperti tinggi, luas, kemiringan lereng,
kerapatan sungai, dan sebagainya.

2.

Proses geomorfologi yang sedang berjalan dan besaran dari proses seperti :

Jenis proses (pelapukan, erosi, sedimentasi, longsoran, pelarutan, dan sebagainya)

Besaran dan proses tersebut (berapa luas, berapa dalam, berapa intensitasnya, dan
sebagainya)
Pada umumnya hal-hal tersebut dinyatakan secara terukur. Peta geomorfologi yang disajikan
harus menunjang hal-hal tersebut diatas, demikian pula klasifikasi yang digunakan.
Gambaran peta diutamakan yang menunjang kondisi parametris (yang dapat diukur) serta
proses-proses exsogen yang berjalan pada masa kini dan yang akan datang.
Skala Peta dan Peta Geomorfologi
Skala peta merupakan rujukan utama untuk pembuatan peta geomorfologi. Pembuatan satuan
peta secara deskriptif ataupun klasifikasi yang dibuat berdasarkan pengukuran ketelitiannya
sangat tergantung pada skala peta yang digunakan.
Di Indonesia peta topografi yang umum tersedia dengan skala 1: 20.000, 1: 1.000.000, 1:
500.000, 1: 250.000, 1: 100.000, 1: 50.000 dan beberapa daerah (terutama di Jawa) telah
terpetakan dengan skala 1 : 25.000 untuk kepentingan-kepentingan khusus sering dibuat peta
berskala besar dengan pembesaran dari peta yang ada, atau dibuat sendiri untuk keperluan
teknis, antara lain peta 1: 10.000, 1: 5.000, dan skala-skala yang lebih besar lagi.
Untuk penelitian, sesuai dengan RUTR, dianjurkan menggunakan peta 1:250.000, 1:100.000
untuk regional upraisal, 1: 50.000 1: 25.000 untuk survey dan 1: 10.000 dan yang lebih
besar untuk investigasi. Untuk mudahnya penggunaan peta-peta tersebut dapat dilihat pada
table 3.1. Dari skala peta yang digunakan akhirnya dapat kita buat satuan peta geomorfologi,
sebagai contoh pada table 3.2.
Tabel 3.1 Skala peta, sifat dan tahap pemetaan, serta proses dan unsur dominan
Sifat
Pemetaan

Skala
<
1
250.000

<
1
250.000

Tahap
Pemetaan

Proses
dan
unsur
geologi yang dominan
Geoteknik, Geofisik

Global

1 : 100.000 Regional

Regional
Tektonik,

Formasi

(batuan utama)
1 : 50.000

1 : 25.000

1 : 10.000
<
1
10.000

Lokal

Survey

Struktur
jenis
batuan/satuan batuan

Lokal

Batuan,
pengulangan
bentuk/relief,
eksogen

Detail

Batuan, proses eksogen,


Investigas
sebagai unsur utama,
i
bentuk akibat proses

: Sangat
Kecil

struktur,
dan
proses

Proses eksogen,
hasil proses

dan

Interpretasi Geomorfologi
Ada dua cara dasar untuk belajar mengenal dan mengidentifikasi kenampakan-kenampakan
geologi pada peta topografi. Cara pertama adalah dengan mengamati dengan teliti dan detail
terhadap bentuk-bentuk dari struktur geologi yang digambarkan dalam bentuk-bentuk kontur
pada peta topografi. Gambaran / ilustrasi dari bentuk-bentuk semacam ini disebut sebagai
kunci untuk mengenal dan mengidentifikasi kenampakan geologi. Cara kedua adalah melalui
metoda praktek dan pelatihan sehingga memiliki kemampuan melakukan deduksi dalam
mengidentifikasi dan memaknakan kenampakan-kenampakan geologi melalui kajian dengan
berbagai kriteria. Cara kedua ini diyakini sangat dibutuhkan dalam melakukan interpretasi.
Meskipun banyak diilustrasikan disini bahwa kesamaan geologi yang terdapat di banyak
tempat di dunia, baik secara stuktur geologi, stratigrafi dan geomorfologi detail serta
hubungan diantaranya sangatlah unik. Berikut ini adalah beberapa cara dalam mengenal dan
mengidentikasi kenampakan-kenampakan geologi pada peta topografi:
Pembuatan peta geomorfologi akan dipermudah dengan adanya data sekunder berupa peta
topografi, peta geologi, foto udara, citra satelit, citra radar, serta pengamatan langsung
dilapangan. Interpretasi terhadap data sekunder akan membantu kita untuk menetapkan
satuan dan batas satuan geomorfologinya.
Interpretasi Peta Topografi
Dalam interpretasi geologi dari peta topografi, maka penggunaan skala yang digunakan akan
sangat membantu. Di Indonesia, peta topografi yang tersedia umumnya mempunyai skala 1 :
25.000 atau 1 : 50.000 (atau lebih kecil). Acapkali skala yang lebih besar, seperti skala 1 :

25.000 atau 1 : 12.500 umumnya merupakan pembesaran dari skala 1 : 50.000. dengan
demikian, relief bumi yang seharusnya muncul pada skala 1 : 25.000 atau lebih besar, akan
tidak muncul, dan sama saja dengan peta skala 1 : 50.000. Dengan demikian, sasaran / objek
interpretasi akan berlainan dari setiap skala peta yang digunakan. Perhatikan Tabel 3-3
dibawah. Walaupun demikian, interpretasi pada peta topografi tetap ditujukan untuk
menginterpretasikan batuan, struktur dan proses yang mungkin terjadi pada daerah di peta
tersebut, baik analisa secara kualitatif, maupun secara kuantitatif.
Dalam interpretasi peta topografi, prosedur umum yang biasa dilakukan dan cukup efektif
adalah: 1). Menarik semua kontur yang menunjukkan adanya lineament /kelurusan; 2).
Mempertegas (biasanya dengan cara mewarnai) sungai-sungai yang mengalir pada peta, 3).
Mengelompokan pola kerapatan kontur yang sejenis.
Tabel 3.2 Contoh skala peta dan satuan geomorfologi
Skala
Contoh satuan geomorfologi
1 : 250.000
Zona fisiografi : geoantiklin Jawa, pegunungan Rocky, Zona
patahan Semangko
1 : 100.000
Sub fisiografi : Komplek dieng, Perbukitan kapur selatan, dan
lainnya, Plateau Rongga
1 : 50.000
Perbukitan Karst Gn. Sewu, Perbukitan Lipatan Karangsambung,
Delta Citarum, Dataran Tinggi Bandung, dan lainnya
1 : 25.000
Lembah Antiklin Welaran, Hogback Brujul Waturondo, Bukit
Sinklin Paras, Kawah Upas, dan lainnya
1 : 10.000
Lensa gamping Jatibungkus, Sumbat Lava Gn. Merapi, Longsoran
Cikorea
1 : 10.000 <
Aliran Lumpur di , rayapan di km,Erosi alur di, dsb

Tabel 3.3 Hubungan antara skala peta dan pengenalan terhadap objek geomorfologi.
Skala
Lebih
Kecil
dari

1:2.500
s/d

1:10.000
s/d

1:10.000

1:30.000

1:30.00
0

Buruk

Baik

Baik
Sangat

Objek Geomorfologi

Regional
alam

bentang

(Contoh
:
jajaran
Pegunungan,
perbukitan lipatan dan
lainnya )
Lokal/bentuk
alam
darat
(Contoh :korok, gosong
pasir,
questa,
dan
lainnya
Detail/proses geomorfik
(contoh:
longsoran
kecil, erosi parit, dan
lainnya

baik

Baik
Sangat
Baik

Sangat
Baik

Baik
Sedang

Buruk

SedangBuruk

Sangat
buruk

Pada butir 1, penarikan lineament biasa dengan garis panjang, tetapi dapat juga berpatahpatah dengan bentuk garis-garis lurus pendek. Kadangkala, setelah pengerjaan penarikan
garis-garis garis-garis pendek ini selesai, dalam peta akan terlihat adanya zona atau trend atau
arah yang hampir sama dengan garis-garis pendek ini.
Pada butir 2, akan sangat penting untuk melihat pola aliran sungai (dalam satu peta mungkin
terdapat lebih dari satu pola aliran sungai). Pola aliran sungai merupakan pencerminan
keadaan struktur yang mempengaruhi daerah tersebut.
Pada butir 3, pengelompokan kerapatan kontur dapat dilakukan secara kualitatif yaitu dengan
melihat secara visual terhadap kerapatan yang ada, atau secara kuantitatif dengan menghitung
persen lereng dari seluruh peta. Persen lereng adalah persentase perbandingan antara beda
tinggi suatu lereng terhadap panjang lerengnya itu sendiri.
Banyak pengelompokan kelas lereng yang telah dilakukan, misalnya oleh Mabbery (1972)
untuk keperluan lingkungan binaan, Desaunettes (1977) untuk pengembangan pertanian, ITC
(1985) yang bersifat lebih kearah umum dan melihat proses-proses yang biasa terjadi pada
kelas lereng tertentu (lihat tabel 3.4).
Tabel 3-4 Kelas lereng, dengan sifat-sifat proses dan kondisi alamiah yang kemungkinan
terjadi dan usulan warna untuk peta relief secara umum (disadur dan disederhanakan dari Van
Zuidam, 1985)

Kelas
Lereng
0 20
(0-2 %)
2 40
(2-7 %)

Sifat-sifat proses dan kondisi


Warna
alamiah
Datar hingga hampir datar; tidak Hijau
ada proses denudasi yang berarti

Agak miring; Gerakan tanah


kecepatan rendah, erosi lembar dan
erosi alur (sheet and rill erosion).
rawan erosi
4 80
Miring;sama dengan di atas, tetapi
(7 15 %) dengan besaran yang lebih tinggi.
Sangat rawan erosi tanah.

Hijau
Muda

Kunin
g

8 160
Agak curam; Banyak terjadi Jingga
(15
-30 gerakan tanah, dan erosi, terutama
%)
longsoran yang bersifat nendatan.
16 350
Curam;Proses
denudasional Merah
(30 70 intensif, erosi dan gerakan tanah Muda
%)
sering terjadi.
35 550
Sangat curam; Batuan umumnya Merah
(70 140 mulai
tersingkap,
proses
%)
denudasional
sangat
intensif,
sudah
mulai
menghasilkan
endapan rombakan (koluvial)
0
>55
Curam sekali, batuan tersingkap; Ungu
(>140 %) proses denudasional sangat kuat,
rawan jatuhan batu, tanaman
jarang tumbuh (terbatas).
0
>55
Curam sekali Batuan tersingkap; Ungu
(>140 %) proses denudasional sangat kuat,
rawan jatuhan batu, tanaman
jarang tumbuh (terbatas).

Dalam interpretasi batuan dari


peta topografi, hal terpenting yang perlu diamati adalah pola kontur dan aliran sungai.

1.

Pola kontur rapat menunjukan batuan keras, dan pola kontur jarang menunjukan
batuan lunak atau lepas.

2.

Pola kontur yang menutup (melingkar) diantara pola kontur lainnya, menunjukan
lebih keras dari batuan sekitarnya.

3.

Aliran sungai yang membelok tiba-tiba dapat diakibatkan oleh adanya batuan keras.

4.

Kerapatan sungai yang besar, menunjukan bahwa sungai-sungai itu berada pada
batuan yang lebih mudah tererosi (lunak). (kerapatan sungai adalah perbandingan antara
total panjang sungai-sungai yang berada pada cekungan pengaliran terhadap luas cekungan
pengaliran sungai-sungai itu sendiri).
Dalam interpretasi struktur geologi dari peta topografi, hal terpenting adalah pengamatan
terhadap pola kontur yang menunjukkan adanya kelurusan atau pembelokan secara tiba-tiba,
baik pada pola bukit maupun arah aliran sungai, bentuk-bentuk topografi yang khas, serta
pola aliran sungai. Beberapa contoh kenampakan Geologi yang dapat diidentikasi dan dikenal
pada peta topografi:
Sesar, umumnya ditunjukan oleh adanya pola kontur rapat yang menerus lurus, kelurusan
sungai dan perbukitan, ataupun pergeseran, dan pembelokan perbukitan atau sungai, dan pola
aliran sungai parallel dan rectangular.
Perlipatan, umumnya ditunjukan oleh pola aliran sungai trellis atau parallel, dan adanya
bentuk-bentuk dip-slope yaitu suatu kontur yang rapat dibagian depan yang merenggang
makin kearah belakang. Jika setiap bentuk dip-slope ini diinterpretasikan untuk seluruh peta,
muka sumbu-sumbu lipatan akan dapat diinterpretasikan kemudian. Pola dip-slope seperti ini
mempunyai beberapa istilah yang mengacu pada kemiringan perlapisannya.
Kekar, umumnya dicirikan oleh pola aliran sungai rektangular, dan kelurusan-kelurusan
sungai dan bukit.
Intrusi, umumnya dicirikan oleh pola kontur yang melingkar dan rapat, sungai-sungai
mengalir dari arah puncak dalam pola radial atau anular.
Lapisan mendatar, dicirikan oleh adanya areal dengan pola kontur yang jarang dan dibatasi
oleh pola kontur yang rapat.
Ketidakselarasan bersudut, dicirikan oleh pola kontur rapat dan mempunyai kelurusankelurusan seperti pada pola perlipatan yang dibatasi secara tiba-tiba oleh pola kontur jarang
yang mempunyai elevasi sama atau lebih tinggi.
Daerah mlange, umumnya dicirikan oleh pola-pola kontur melingkar berupa bukit-bukit
dalam penyebaran yang relative luas, terdapat beberapa pergeseran bentuk-bentuk topografi,
kemungkinan juga terdapat beberapa kelurusan, dengan pola aliran sungai rektangular
atau contorted.
Daerah Slump, umumnya dicirikan oleh banyaknya pola dip-slope dengan penyebarannya
yang tidak menunjukan pola pelurusan, tetapi lebih berkesan acak-acakan. Pola kontur
rapat juga tidak menunjukan kelurusan yang menerus, tetapi berkesan terpatah-patah.
Gunung api, dicirikan umumnya oleh bentuk kerucut dan pola aliran radial, serta kawah
pada puncaknya untuk gunung api muda, sementara untuk gunung api tua dan sudah tidak

aktif, dicirikan oleh pola aliran anular serta pola kontur melingkar rapat atau memanjang
yang menunjukan adanya jenjang volkanik atau korok-korok.
Karst, dicirikan oleh pola kontur melingkar yang khas dalam penyebaran yang luas, beberapa
aliran sungai seakan-akan terputus, terdapat pola-pola kontur yang menyerupai bintang segi
banyak, serta pola aliran sungai multibasinal.
Pola karst ini agak mirip dengan pola perbukitan seribu yang biasanya terjadi pada kaki
gunung api. Walaupun dengan pola kontur yang melingkar dengan penyebaran cukup luas,
tetapi umumnya letaknya berjauhan antara satu pola melingkar dengan lainnya, dan tidak
didapat pola kontur seperti bintang segi banyak.
Pada peta batuan resisten diwakili oleh pola kontur yang rapat, sedangkan batuan nonresisten diwakili oleh pola kontur yang renggang. Bagian sebelah atas peta memperlihatkan
bentuk dan pola kontur yang rapat dengan tekstur yang relatif tidak teratur dan ditafsirkan
tersusun dari batuan metamorf.
Kedudukan lapisan batuan (strike/dip) dapat ditafsirkan dengan melihat arah dari pola
kerapatan kontur dan arah kemiringan lapisan ditafsirkan ke arah spasi kontur yang semakin
renggang.
10 Konsep Geomorfologi Menurut Thornbury
1.

Proses fisik dan hukum yang terjadi seluruhnya saat ini telah terjadi juga sepanjang
waktu geologi, meskipun intensitasnya tidak sama seperti sekarang. Konsep ini hampir sama
dengan prinsip yang dikemukakan oleh James Hutton pada 1785 yaitu
prinsip uniformitarianisme. James Hutton mengajarkan the present is the key to the past,
tetapi dia mengaplikasikan prinsip ini terlalu kaku dan berpendapat bahwa proses geologi
yang terjadi dahulu dan sekarang mempunyai intensitas yang sama. Telah terbukti bahwa
intensitas kejadian geologi tiap waktu tidak sama, seperti gletser pada Pleistosen lebih besar
intensitasnya dibanding sekarang.
2.
Struktur geologi adalah salah satu pengontrol dominan dalam evolusi pada bentang
alam dan tercermin pada daratan tersebut. Pada suatu waktu W.M Davis mengajarkan bahwa
struktur, proses, dan tingkatan adalah faktor pengontrol utama pada bentang alam. Tetapi apa
yang diajarkan Davis tentang tingkatan cukup diragukan oleh para geomorfologist. Hal
yang tidak diragukan adalah tentang proses dan struktur. Istilah struktur tidak hanya
mencakup lipatan, kekar, dan uncomfotmity tetapi juga mencakup cara bagaimana material
bumi membentuk daratan yang meninggalkan jejak yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya seperti sikap batuan, kehadiran kekar, sesar, unsur mineral, dan sebagainya.
3.
Banyak relief permukaan Bumi karena proses geomorfologi berlangsung pada
kecepatan yang berbeda. Alasan utama gradasi pada permukaan bumi terjadi secara berbeda
adalah batuan pada kerak Bumi memiliki ragam litologi dan struktur dan oleh karena itu
menyebabkan perbedaan resistensi dalam proses gradasi. Perbedaan pada komposisi dan
struktur batuan tercermin tidak hanya pada variasi geomorfologi secara regional tetapi juga
pada topografi lokal. Selain litologi dan struktur ada juga faktor lain yang mempengaruhi
seperti suhu, kelembaban, ketinggian, mikroklimatik, dan jumlah vegetasi yang menutupi

4.

5.

6.

7.

8.

9.

permukaan. Pengaruh-pengaruh ini akan tampak pada intensitas pengendapan, laju


penguapan, jumlah embun tanah, dan sebagainya.
Proses geomorfologi meninggalkan jejak khusus pada bentang alam, dan setiap
proses geomorfologi menghasilkan karakter yang terkumpul pada pembentukan muka bumi.
Proses yang dimaksud mencakup proses fisik dan kimia yang terjadi saat modifikasi muka
Bumi. Bentang alam mempunyai pembeda yang bergantung pada proses geomorfologi pada
saat pembentukannya seperti dataran banjir, kipas aluvial, dan delta yang dibentuk oleh arus.
Meskipun sangat tepat bahwa pembentukan bentang alam berasal dari proses geomorfologi
yang terpisah, tetapi kita akan menyadari bahwa bentang alam adalah produk dari
sekelompok proses.
Karena agen erosional berbeda pada permukaan Bumi, maka akan menghasilkan
urutan yang sesuai dengannya pada bentang alam. Hampir semua geomorfologist percaya
bahwa bentang alam memiliki proses yang teratur dan berurutan, tetapi tidak selalu melewati
tahapan muda, dewasa, dan tua. Konsep muda, dewasa, dan tua mungkin cocok pada tingkat
dasar tetapi tidak cocok ketika pendekatan canggih dilakukan pada evolusi bentang alam.
Kompleksitas dari evolusi geomorfologi lebih lazim dibandingkan dengan yang
sederhana. Biasanya kebanyakan detail topografi dibuat dari proses selama siklus erosi,
sangat jarang kumpulan bentang alam yang terbentuk dari satu proses geomorfologi. Horberg
(1952) mengelompokkan interpretasi bentang alam dalam 5 kategori utama : sederhana
(produk dari satu proses geomorfologi yang utama), campuran (produk dari dua atau lebih
proses geomorfologi baik dipermukaan seperti angin dan gletser maupun di bawah
permukaan seperti sesar dan larutan air bawah tanah), monosiklik (menghasilkan jejak hanya
dari satu siklus erosi, lebih sedikit dibanding multisiklik), multisiklik (menghasilkan jejak
lebih dari satu siklus erosi), dan resurrected landscapes. Selain itu ada konsep tambahan
yaitupolyclimatic landscapes, yaitu banyak bentang alam yang berkembang dalam kondisi
lebih dari satu kondisi iklim bersamaan dengan variasi kondisi dominan pada proses
geomorfologi. Resurrected landscapes adalah bentang alam yang terbentuk selama periode
waktu geologi yang lalu, kemudian terkubur di bawah yang ditutupi oleh batuan sedimen atau
beku.
Sedikit topografi Bumi lebih tua daripada Tersier dan kebanyakan tidak ada yang
lebih tua daripada Pleistosen. Ashley (1931) memperkirakan setidaknya 90 persen daratan
yang ada sekarang terbentuk pada post-Tersier dan mungkin sekitar 99 persen terbentuk pada
post-tengah Miosen. Contohnya seperti pegunungan Himalaya pertama terlipat pada zaman
Kapur dan hampir seluruh topografi seperti sekarang terbentuk pada Pleistosen.
Interpretasi yang tepat pada bentang alam masa kini tidak mungkin tanpa apresiasi
dari pengaruh perubahan geologi dan iklim selama Pleistosen. Gletser
dan diastropishm adalah kejadian yang signifikan pada Plesitosen yang mempengaruhi
bentang alam yang kita jumpai pada masa kini.Diastropishm berperan pada pembentukan
bentang alam disekitar batas lempeng laut pasifik. Gletser yang terjadi pada Plesitosen salah
satunya berefek pada arus yang terjadi pada sungai Ohio dan Missouri yang kita lihat
sekarang. Air lelehan dari zaman es diperkirakan berefek pada permukaan Bumi seluas
10.000.000 m2.
Apresiasi terhadap perubahan iklim dunia diperlukan untuk memahami secara tepat
terhadap ragam penting dari proses geomorfologi yang berbeda. Ragam iklim dapat

mempengaruhi operasi dari proses geomorfologi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pengaruh secara tidak langsung adalah seperti iklim yang berpengaruh terhadap
jumlah, jenis, dan distribusi tumbuhan yang menutupi bentang alam. Pengaruh secara
langsung adalah seperti jumlah dan jenis pengendapan, intensitasnya, hubungan antara
pengendapan dan penguapan, rentang suhu harian, dan kecepatan dan arah angin.
10.
Geomorfologi tidak hanya fokus terhadap bentang alam masa kini, tetapi juga masa
lalu. Geomorfologist juga dapat menyusun sejarah tentang suatu bentang alam yakni dengan
prinsip uniformitarianisme .
referensi : william d.thornbury-fundconcept
SEJARAH PERKEMBANGAN GEOMORFOLOGI
Geomorfologi sejak awal abad 19 telah dikenal di negara-negara berkembang dan sebagai
disiplin akademik kira-kira muncul sebelum abad ke 17. Perkembangan yang pesat dari
geomorfologi terjadi pada awal abad ke 20 di negara-negara berkembang, sedangkan di
Indonesia geomorfologi baru dikenal pada awal abad ke 20. Awal perkembangannya
geomorfologi lebih bersifat akademik, sebagai ilmu pendukung geografi dan geologi, tetapi
dalam dasawarsa terakhir ini geomorfologi mulai dirasakan arti pentingnya dalam
pembangunan maupun dalam pengelolaan lingkungan hidup. Geomorfologi yang kita pelajari
seperti saat sekarang ini telah melalui pengalaman panjang dalam membangun konsep dasar
dan metodologinya. Ada 5 fase perkembangan geomorfologi yang dapat ditelusuri, yang
masing-masing uraiannya adalah sebagai berikut:
1). Fase pertama (sebelum abad ke 17)
Fase ini merupakan fase peletak dasar pemikiran geologi dan geomorfologi yang telah
dimulai lima abad sebelum Masehi (Thornbury, 1954). Pandangan kuno yang terkait dengan
geologi dan geomorfologi seperti dikemukakan oleh Herodutus (485-425 SM), Aristotle
(384-322 SM), Strabo (54 SM 25 M) dan Senecca (- SM 65 M).Herodutus, mengamati
penimbunan geluh (loam) dan lempung (clay) oleh S. Nil, sehingga memberikan julukan
Mesir adalah pemberian S. Nil. Pandangan Herodutus yang lain adalah perbukitan di Mesir
yang mengandung kerang, pada masa lampau pernah di bawah permukaan laut.
Aristotle, berpandangan bahwa air yang keluar dari mata air itu berasal dari air hujan yang
mengalami perkolasi ke bawah permukan tanah; air yang ada di dalam bumi berasal dari
kondensasi di udara yang masuk ke permukaan bumi, dan air yang berada di dalam bumi
menguap dengan berbagai jalan. Strabo, mengamati dan mencatat adanya penenggelaman
lokal dan munculnya daratan. Strabo berpendapat bahwa Vale of Tompe merupakan basil
gempa bumi, selain itu juga mengatakan bahwa G. Vesuvius adalah gunungapi, meskipun
semasa hidupnya gunungapi tersebut belum pernah meletus. Pandangan Strabo yang lain
adalah bahwa delta dari sungai bervariasi menurut daerah aliran sungainya; delta yang besar
terbentuk bila daerah yang dialiri luas dan batuannya lemah, dan pembentukan delta
terpengaruh oleh pasang surut dan aliran sungai.
Seneca, mengenal gempa bumi lokal alami, tetapi masih menganggap bahwa gempa bumi
terjadi sebagai akibat bencana internal dari angin daratan. Seneca juga beranggapan bahwa

air hujan cukup untuk mengisi sungai-sungai, dan juga berpandangan bahwa tenaga aliran
sungai dapat mengikis lembah-lembahnya.
Avicenna (Ibnu Sina, 987-1037) berpandangan bahwa asal mula pegunungan dapat dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu pengangkatan seperti yang terjadi oleh gempa bumi, dan oleh
pengaruh air yang mengalir dan embusan angin yang membentuk lembahlembah pada batuan
lunak. Leonardo da Vinci (1452-15190) berpandangan bahwa lembah terkikis oleh sungai dan
sungai tersebut mengangkut material dari suatu tempat di permukaan bumi dan
mengendapkannya di mana saja.
Dalam fase pertama ini sebagian besar pandangan memberikan teori dasar terutama tentang
proses berdasarkan pengamatan lokal, dan berusaha memberikan penjelasan bagaimanakah
suatu fenomena alam tersebut terjadi. Pada fase ini ilmu geomorfologi belum muncul, tetapi
pandangan-pandangan yang dikemukakan sebagian masih relevan dengan konsep yang
berlaku hingga saat ini.
2). Fase kedua (Abad 17 dan 18).
Pada fase ini ada dua konsep yang menonjol, yaitu konsep katastrofisme dan konsep
uniformitarianisme (King, 1976). Konsep katastrofisme dikemukakan oleh Abraham Kitlob
Wenner (1979-1817). Konsep tersebut muncul atas dasar pengamatan Wennerpada strata
batuan yang ternyata setiap stratum (lapisan) memiliki sifat yang khas. Hasil pengamatan
tersebut diformulasikan menjadi konsep lahirnya bumi yang berasal dari basin lautan yang
besar. Wenner berpandangan bahwa setiap stratum batuan terjadi pads suatu dasar tubuh
perairan yang luas kemudian mengendapkan sedimennya di atas stratum yang ada
sebelumnya. Material yang lebih mampat terendapkan oleh larutan yang pekat/kental. Pada
waktu material secara berangsur-angsur diendapkan, laut secara berangsur-angsur menyusut
sehingga terbentuk daerah yang sekarang ini. Pandangan Wenner lain yang terkait dengan
konsep dasar geomorfologi adalah:
1. batuan dasar yang berupa batuan granit tidak berfosil;
2. setiap gradien sungai akan mencapai tingkat keseimbangan, dan gradien sungai
merupakan fungsi dari kecepatan, debit dan muatan sedimen;
3. seluruh sistem sungai merupakan suatu sistem yang terintegrasi.
3). Fase Ketiga (Awal abad 19).
Pada fase ke tiga dari perkembangan geomorfologi ada tiga tokoh yang terkenal yaitu: Sir
Charles Lyell (1797-1875), Dean William Buckland (1784-18560 dan Louis Agassiz (18071873). Lyell sebenarnya lebih antusias dalam geologi daripada ke geomorfologi, dengan bukti
karyanya yang berjudul Principle of Geology. Sumbangan pemikirannya dalam
geomorfologi adalah tentang perkembangan bentuklahan yang lambat bahkan melebihi waktu
geologi. Meskipun Lyell banyak mengadakan pengamatan terhadap muatan suspensi, debit
dan peubah-peubah lainnya, tetapi memberikan suatu konsep yang mendasar. Dalam
pengamatannya terhadap gletser (es), Lyell tidak mempercayai kapasitas daya angkutnya
dalam memindahkan bongkah dan endapan gletser. Buckland, sangat setuju dengan siklus
hidrologi, akan tetapi tidak begitu mengerti mengapa sungai dapat membentuk lembahnya
sendiri. Buah fikiran Buckland yang lain adalah:
1. relief merupakan basil dari struktur geologi dan bukan oleh proses erosi;

2.

material yang terangkut dari hulu dan melalui lembah sungai akan terendapkan di
laut;
3. pasang surut merupakan tenaga utama dalam transportasi material di bawah
permukaan air laut.
Agassiz, terkenal dengan teori glasialnya, bersama-sama dengan Buckland mengadakan
perjalanan ke Swiss. Mereka mengadakan pengamatan terhadap pantai dasar glasial, yang
akhirnya menghasilkan formulasi tentang struktur endapan glasial, endapan till
, karakteristik moraine, striasi dan gravel glasial.
4. Fase ke empat (Akhir abad 19).
Pada fase ke empat ini paling tidak ada lima tokoh yang terkenal, yaitu: Sir Andrew Ramsey;
G.K. Gilbert; J.W. Powell; C.G. Greenwood dan J.B. Jukes. Sumbangan
fikiran Ramsey (1814-1891) dalam geomorfologi terutama dalam proses glasial. Pendapat
penting dari Ramsey, antara lain:
1. ada hubungan penting antara teori glasial dengan teori fluvial; terutama untuk
mengetahui tenaga gletser untuk mengerosi;
2. kejadian danau di daerah bergletser tidak dapat dijelaskan dengan proses fluvial,
tetapi dapat dijelaskan dengan proses glasial;
3. tenaga erosi dari gletser terutama terdapat pads bagian bawah;
4. ada hubungan antara retakan/lenturan dengan arah sungai.
Powell (1834-1902) banyak memberikan konsep dasar dalam geomorfologi, antara lain :
1. prinsip dari base level yang menyatakan bahwa base level akhir adalah
permukaan air laut;
2. proses erosi itu memiliki potensi relatif;
3. mengusulkan dua klasifikasi lembah sungai, yaitu atas dasar hubungan antara strata
lembah daerah yang dilalui dan klasifikasi lembah menurut genetiknya.
Gilbert (1843-1918), memberikan dasar-dasar geomorfologi yang hingga kini masih
digunakan. Gilbert terkenal sebagai penulis metode ilmiah dan memformulasikan pemikiranpemikiran induktif dan deduktif dalam analisis geomorfik. Konsep-konsep geomorfologis
yang dikemukakan Gilbert, antara lain:
1. teori grade yang menunjukkan adanya suatu rangkaian hubungan antara proses dan
kenampakan, yang kemudian diasosiasikan dengan konsep penyesuaian dinamis;
2. pengangkutan material di sungai meliputi pengangkutan material hasil erosi, erosi
dasar sungai dan pengurangan ukuran material dasar oleh proses gesekan/benturan;
3. lereng merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap transportasi material oleh
air;
4. bertambahnya debit (luah) akan menyebabkan meningkatnya kecepatan aliran yang
selanjutnya memperbesar kecepatan pengangkutan;
5. dalam penyelidikan komponen fisikal hams dilandasi dengan formulasi teoriteori.
Greenwood (1793-1875) adalah pendukung Hutton dan Playfair. Konsep yang dikemukakan
oleh Greenwood adalah:
1. proses denudasi di suatu lahan dapat dijelaskan dengan hujan dan sungai; air huj an
yang jatuh di permukaan bumi membawa material halus di sepanjang lereng
membentuk alur-alur dan akhirnya membentuk sungai-sungai kecil;

2. lembah dan lereng merupakan suatu sistem yang terintegrasi.


Jukes (1811-1869), mengemukakan pandangannya bahwa erosi marin tidak dapat membentuk
lembah. Jukes adalah orang pertama yang mengidentifikasikan peranan vegetasi dalam
pembentukan bentukahan.
5. Fase ke lima (Awal abad 20)
Dalam fase lima ini tokoh yang paling terkenal adalah William Moris Davis (1850-1934).
Teori yang pertama dikemukakan adalah Siklus Geomorfik yang diterbitkan tahun 1889
dalam makalahnya yang berjudul The rivers and valleys in Pennsylvania. Dalam siklus
geomorfik tersebut disebutkan bahwa semua bentuklahan akan berkembang menurut tiga
stadium, yaitu : stadium muda, dewasa, dan tua. Konsep Davis lainnya yang terkenal adalah
trilogi. Konsep trilogi tersebut menjelaskan bahwa bentukahan ditentukan oleh struktur,
proses dan stadium.
Walther Penk dalam tahun 1920 dan 1930 mengemukakan keberatannya terhadap teori Davis.
Perbedaannya terletak pada pandangannya terhadap perkembangan bentuklahan. Menurut
Penck perkembangan bentanglahan tergantung oleh pengaruh tektonik yang aktif dan iklim.
Akhirnya Penck menyadari bahwa pendekatan yang dilakukannya bersifat geologis,
sedangkan pendekatan Davis lebih bersifat geografis.
Setelah periode Davis dan Penck banyak buku teks geomorfologi yang terbit, akan tetapi
hingga tahun 1960 (an) sebagian besar masih mengikuti konsep Davis, antara lain: Lobeck
(1939), Thornbury (1954), Wooldridge (1959) dan Spark (1960). Setelah tahun 1960 (an)
buku-buku teks geomorfologi dapat dikelompokkan menjadi empat atas dasar pokok
bahasannya sebagai berikut.
1.

Kelompok topikal, yaitu yang menekankan pada salah satu aspek geomorfologi
seperti proses pelapukan (Oilier, 1969), proses fluvial (Leopold, et al, 1964),
Morisawa, 1968 dan Richard, 1982); gunungapi (Olier, 1969) dan pantai (Pethick,
1979)
2. Kelompok metode dan tehnik penelitian dalam geomorfologi seperti King dan Goudie
(1981, 1990), Dackombe (1983) dan Verstappen (1976);
3. Kelompok pemetaan, yaitu yang menekankan pada tehnik pemetaan morfologi dan
geomorfologi, seperti Verstappen dan Van Zuidam (1966, 1979), Klimmaszeski (1978),
Demek (19780 dan Dorses dan Salome (1973);
4. Kelompok terapan, yaitu yang menekankan pada terapan geomorfologi untuk
berbagai tujuan seperti dalam bidang evaluasi lahan, kerekayasaan, konservasi lahan,
evaluasi sumberdaya material dan dalam bidang lingkungan, seperti Van Zuidam, et al.,
(1979), Cooke, et al., (1974, 1982), Verstappen (1983), Maitor Pesci (1985), Hooke
(1988), Viles dan Spencer, 1995, Panizza (1996) dan Oya, 2001.

Dalam buku-buku teks geomorfologi setelah tahun 1960-an analisis geomorfologis sudah ada
kecenderungan ke analisis kuantitatif. Hal tersebut dimungkinkan oleh kemajuan teknologi
dalam membuat instrumen yang lebih praktis dan lebih teliti. Dalam bukunya Leopold et al.,
(1960) yang berjudul Fluvial Processes in Geomorphology banyak menyajikan data debit
yang dikaitkan dengan parameter lembah sungai dan besar muatan sedimen, King (1960),
Goudie (1986) dan Dackombe (1983) memberikan petunjuk praktis dalam mengukur,
mengklasifikasikan aspek geomorfologi secara mendalam, termasuk analisis material batuan
penyusun. Metode pemetaan geomorfologi yang semula banyak dikerjakan secara terestrial,
setelah periode tahun 1960-an mulai memanfaatkan foto udara dan atau citra penginderaan
jauh yang lain, bahkan pads dasawarsa terakhir ini pemetaan geomorfologi tanpa
menggunakan tehnik penginderaan jauh dirasa kurang memadai.

Geomorfologi Kota Mojokerto

Pada tugas minggu ke-2 kuliah Alans ini, saya diberi tugas untuk menjelaskan tentang proses
Geomorfologi kota asal masing-masing. Karena saya berdomisili asli Mojokerto, maka saya
akan menjelaskan tentang proses Geomorfologi Kota Mojokerto.

Geomorfologi sendiri merupakan suatu studi pustaka yang mempelajari asal terbentuknya
permukaan bumi atau topografi akibat dari pengikisan atau penambahan material penyusun
bumi, atau tanah. Konsep dasar akan geomorfologi, menjelaskan bahwa bentuk permukaan
atau bentangan bumi, dikontrol oleh 3 faktor utama yaitu struktur, proses dan tahapan
pembentukan muka bumi.
Secara topografi Kota Mojokerto berada pada ketinggian 22 meter dari permukaan laut dan
kemiringan tanah 0% 3%. Dengan demikian dapat diperlihatkan bahwa Kota Mojokerto
mempunyai permukaan tanah yang relatif datar, sehingga aliran sungai/ saluran menjadi
relatif lambat dan hal ini mempercepat terjadinya pendangkalan yang pada akhirnya timbul
kecenderungan ada genangan pada berbagai bagian kota apabila terjadi hujan.
Apabila dilihat secara geografis wilayah Kota Mojokerto berada di tengah-tengah Kabupaten
Mojokerto, terbentang pada 733 LS dan 12228 BT dengan luas wilayah 692,15 km2
Wilayah Mojokerto cenderung tinggi dibagian wilayah selatan dan utara. Pada wilayah
selatan, pembentukan tanahnya di dominasi oleh landform vulkanik,yang dipengaruhi oleh
gunung penanggungan. Dan pada wilayah utara, pembentukan tanahnya dipengaruhi oleh
landform karst, di sekitar daerah Dawarblandong, karena berdekatan dengan wilayah
lamongan yang di dominasi juga oleh landform karst, begitu pula dengan wilayah Gresik,
yang selain berlandform karst juga dominan memiliki lanform Marin.
Wilayah Kota Mojokerto mempunyai beberapa daerah aliran sungai yang manfaatnya
cukup besar bagi kehidupan penduduk, khususnya untuk keperluan irigasi pertanian.
Potensi hidrologi yang terdapat di Kota Mojokerto, ialah sungai, sumber mata air, serta model
pengairannya. Menurut (Balitbang,2011), Kota Mojokerto dilalui oleh 4 (empat) buah sungai
yang cukup potensial yaitu:

Sungai Brantas di sebelah utara kota sepanjang 3,5 Km arah alirannya ke timur.
Sungai Brangkal di sebelah barat kota sepanjang 2,25 Km arah alirannya
ke utara.
Sungai Sadar di sebelah timur kota sepanjang 2,00 Km arah alirannya ke utara.
Sungai Gedeg di sebelah barat kota sepanjang 2,00 Km.

Jenis tanah yang terdapat di wilayah Kota Mojokerto sebagian besar terdiri dari aluvial
(62.74%) dan grumosol (37.26%). Dari kondisi tersebut jenis tanah di Kota Mojokerto
merupakan tanah yang cukup baik untuk usaha pertanian terutama untuk jenis tanaman
mayoritas padi, polowijo mayoritas jagung dan tanaman tebu.
Proses pembentukan tanah di Mojokerto, di dominasi dengan adanya pengaruh pegunungan
vulkanik yang berada pada wilayah selatan daerah Mojokerto yaitu gunung Penanggungan
serta kompleks pegunungan Arjuna-Welirang, yang ketika meletus abu vulkannya ikut
terbawa aliran lahar serta hembusan angin hingga ke wilayah perbatasan antara MojokertoMalang, Mojokerto-Pasuruan. Sehingga hal ini mempengaruhi pembentukan tanah yang

berada di wilayah Mojokerto. Selain itu ada juga sedikit pengaruh pegunungan kapur yang
berada di daerah Utara Mojokerto. Sedangkan pada bagian tengah, banyak dipengaruhi oleh
aliran sungai Brantas, yang kawasannya tersebut disebut Daerah Aliran Sungai Brantas.
Hal tersebut diperkuat dengan banyak ditemukannya tanah andisol dan Litosol di beberapa
bagian Mojokerto. Jenis tanah ini adalah jenis tanah yang umurnya masih muda, berasal dari
bahan vulkanis, porositas sedang, menahan air dengan baik, mudah longsor, dimanfaatkan
untuk pertanian dengan terasering. Tanah tersebut banyak ditemukan di Pacet, Gondang,
Jatirejo dan Trawas.
Banyak juga ditemukan tanah komplek Mediteran merah kuning dan Litosol dimana berasal
dari batuan berkapur, batuan beku basis sampai intermedier dan batuan metamorf. Banyak
ditemukan di Sebagian Pacet, Trawas, Gondang,Kutorejo, Ngoro, Pungging.
Geomorfologi dan Geologi
Konsep Dasar: Definisi dan Lingkup Kajian Geomorfologi
Relief dalam Geomorfologi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Topografi
Proses Geomorfologi
Bentanglahan dan Bentuklahan
Bentanglahan Yogyakarta
Bentanglahan Jawa Tengah
Konsep Geologi dan Struktur
Material / Jenis Batuan

Geomorfologi
Geo Morpho Logos
Ilmu yang menguraikan tentang bentuk bumi, dengan sasaran utama relief permukaan bumi.
Zuidam and Cancelado (1979, 1985)
Geomorphology is the study which describes landforms and the processes which arrange
their formation, and investigates the interrelationship of these forms and processes, and their
special arrangement.
Verstappen, H.Th (1983)
Geomorphology can be defined as science dealing which landform making up the earth
surface, both above and below sea level and stressing their genesis and future development,
as well as their environment contexts.

GEOMORPHOLOGY
a SCIENCE dealing with:

Landforms making up the earths surface, both above and below sea level;
Stressing their genesis and future development;
As well as their environmental context.

Bentuklahan, Proses dan Tenaga Geomorfologi


Bentuk lahan merupakan bentukan pada permukaan bumi sebagai hasil dari perubahan
bentuk permukaan bumi oleh proses-proses geomorfologi yang beroperasi dipermukaan
bumi.
Proses geomorfologi adalah semua perubahan fisik maupun khemis yang terjadi dipermukaan
bumi oleh tenaga-tenaga geomorfologi.
Tenaga geomorfologi adalah medium alami yang mampu merusak dan mengangkut partikel
bumi dari suatu tempat ke tempat lain.

9 PRINSIP DASAR GEOMORFOLOGI


1. Proses-proses dan hukum-hukum fisik yang bekerja sekarang, bekerja pula pada waktu
geologi, walaupun tidak selalu dengan intensitas yang sama.PRINCIPLE of
UNIFORMITARIANISM Fenomena yang ada pada bentanglahan masa kini merupakan
hasil proses geomorfologi yang sangat panjang, yang dapat dijadikan bukti kunci kejadian
masa lampau the present is the key to the past.
2. Struktur geologi merupakan faktor pengontrol dominan dalam evolusi bentuklahan, dan
stuktur geologi dicerminkan oleh bentuk lahannya.
3. Proses Proses-meninggal- proses geomorfik meninggal kan bekas yang nyata pada
bentuklahan, dan setiap proses geomorfik yang berkembang akan mencirikan
karakteristik tertentu pada bentuklahannya.
4. Karena perbedaan tenaga erosi yang bekerja pada permukaan bumi, maka dihasilkan
urutan
bentuklahan
dengan
karakteristik
tertentu
pada
setiap
tahap
karakteristiktertentupadasetiaptform; forms; form; forms; perkembangannya (kronologis).
5. Evolusi geomorfik yang kompleks lebih umum terjadi dibanding dengan evolusi
geomorfik sederhana:
a. Simple form
b. Compound forms
c. Monocyclic form
d. Multicyclic forms
e. Exhumed (pemunculan kembali).
6. Sebagian kecil dari topografi bumi lebih tua dari Tersier (2 60 jt tahun BP), dan
kebanyakan berumur Kwarter (lebih muda dari Pleistosen, <2 jt tahun BP).
7. Interpretasi bentanglahan saat ini tidak mungkin dilakukan tanpa memperhatikan
perubahan-perubahan geologis dan iklim selama kala Pleistosen.

8. Apresiasi iklim dunia adalah perlu untuk mengetahui bebagai kepentingan suatu proses
geomorfik yang berbeda.
9. Walaupun geomorfologi menekankan pada fenomena bentanglahan yang ada sekarang,
namun untuk mempelajarinya secara maksimum perlu memahami sejarah atau asal usul
proses (genesis) dan dinamikanya (kronologi).

Verstappen, H.Th. (1983) 4 subjek utama Geomorfologi


Static geomorphology, menekankan pada kajian bentuklahan aktual.
Dynamic geomorphology, menekankan pada berbagai proses yang terjadi dalam
bentuklahan dan perubahan dalam jangka pendek.
Genetic geomorphology, menekankan pada perkembangan jangka panjang atau evolusi
bentuklahan.
Environmental geomorphology, yang menekankan pada ekologi bentanglahan (landscape
ecological), yaitu kaitan antara geomorfologi dengan aspek kajian (disiplin) lainnya, atau
hubungan antarparameter penyusun bentanglahan.
Objek utama > BENTUKLAHAN (Landform)
Zuidam and Cancelado (1985):

objek utama kajian geomorfologi adalah BENTUKLAHAN


MORFOLOGI, yang mengkaji masalah bentuk atau seluk-beluk permukaan bumi, baik
morfografi (pemerian atau desktiptif), maupun morfometri (kuantitatif atau ukuran).
MORFOPROSES, yang mengkaji berbagai proses geomorfologis yang mengakibatkan
perubahan bentuklahan (morfogenesis), baik oleh tenaga endogen maupun eksogen.
MORFOKRONOLOGI, yang mengkaji masalah evolusi pertumbuhan bentuklahan, urutan,
dan umur pembentukannya, kaitannya dengan proses yang bekerja padanya.
MORFOARANSEMEN, yang mengkaji hubungan geomorfologi dengan lingkungannya
(hubungan bentuklahan dengan unsur bentanglahan lainnya, seperti: batuan, tanah, air,
vegetasi, dan penggunaan lahan).
BentukLahan (landiform)
Strahler (1983)
Bentuklahan adalah konfigurai permukaan lahan yang dihasilkan oleh proses alam.
Whitton (1984)
Bentuklahan merupakan morfologi dan karakteristik permukaan lahan sebagai hasil dari
interaksi antara proses fisik dan gerakan kerak dengan geologi lapisan permukaan bumi.
Tujuan Klasifikasi Bentuklahan
Sifat dan perwatakan tersebut mencakup 4 aspek:

1. Morfologi: morfografi (kesan topografik: daratan, perbukitan, pegunungan); dan


morfometri (ekspresi topografik: kemiringan lereng, bentuk lereng tunggal maupun
majemuk, panjang lereng, bentuk lembah);
2. Struktur geomorfologis;
3. Proses geomorfologi; dan
4. Material penyusun (litologi).
Geomorphology
Introduction
The land and soils that support our agricultural industries are managed in many different
ways that reflect the diversity of Victorias landscape. Landscapes are shaped by
geomorphological and pedological processes (Conacher 2002). Geomorphology is the study
of landforms, their origin and evolution, the investigation of relationships between landform
development and processes that shape and configure these landforms such as tectonic
movement, volcanism, erosion and deposition cycles (Hills 1975; Rosengren 1984: Ahnert
1998). Importantly, geomorphology provides a fundamental template on which landscape
processes and human interactions with those processes take place (Conacher 2002).
Understanding the land resource, its condition and inherent capability provides a basis for
sustainable land use. Collection of information to support land management and land use
planning programs has largely been based on Land Systems approaches. Land Systems are
derived by integrating environmental features including geology, landform, climate, soils and
native vegetation using an ecological approach (Christian and Stewart 1946).
In Victoria, the approach was used by Rowan and Downes (1963) and Gibbons and Downes
(1964). Since the first surveys there have been many land system and soil/terrain related
surveys that were combined to form a land systems map of the state. The first complete
Victoria Land Systems map coverage was produced by Rowan (1990) and an unpublished
second draft by Rowan, Russell and Ransome (1994). The most recent version of the
statewide land systems has been edited by Rees in Rowan, Russell, Ransome and Rees
(2000). Digital Elevation Models (DEM), Geographic Information System (GIS), Airborne
Gamma-Ray Spectrometry (AGRS), Light Detection and Ranging (LiDAR) and satellite
imagery have produced spatial datasets not previously available thereby presenting
opportunities to re-assess landscapes, refine boundaries and define critical land attributes not
previously possible.
Mapping
Geomorphological maps have been developed throughout the world, particularly with the
increasing availability and use of Geographical Information Systems (GIS). Some are based
on generalised mapping, while others emphasise specific areas of geomorphology for
particular purposes such as land use planning or hazard mapping (Ahnert 1998). Maps of
geomorphic land units can be rich in attributes including altitude, slope, aspect, soils, climate

and vegetation. This information then allows further analysis of landscape processes such as
water movement and erosion.
Over the last decade in Victoria, geomorphology has been
used to create a hierarchical classification of landforms and
landscapes, known as the Victorian Geomorphology
Framework (VGF). The VGF is a spatial framework
consisting of a hierarchical system of land unit descriptions.
The framework hierarchy is a spatial system to assist
planning, monitoring and reporting for natural resource
management in Victoria and Australia. The VGF describes Geomorphology of Victoria and defines details of Victorias landscapes and provides a Tier 1
hierarchy to align past and future soil and land information.
The tiered system incorporates information from
geomorphology, pedology and ecology fields, enabling users
to gain an understanding of both soil and vegetation
distribution. The VGF comprises a three-tier system,
incorporating eight level one divisions (Map 1), 34 level
two divisions (Map 2) and 95 level three divisions (Map 3). Geomorphology of Victoria Tier 2
A significant addition in the VGF has been the inclusion of a
coastal geomorphology division. The development of a third
tier for the VGF has allowed complexity within larger units to
be separated into units that had not been defined in previous
geomorphology systems. Within the hierarchy, there exists a
hiatus between the coarsest division of the VGF (tier one) and
the finest scale of land management units (tier 6). This hiatus
is largely due to the degree of complexity that exists between
and within land units (divisions) across equivalent tiers of the Geomorphology of Victoria Tier 3
VGF.
The revision of Victorias land resource mapping and
descriptions has been undertaken to update and refine spatial
land entities, including land systems, for Victoria. The VGF
used newly available technology, such as airborne gamma ray
spectrometry (radiometrics) and improved Digital Elevation
Models (DEMs) such as the Shuttle Radar Topographic
Mission (SRTM).

Geomorphology of Victoria - Regional Overviews


These regional overview maps (including links to the geomorphological map unit
descriptions) are provided for the catchment management authority (CMA) regions of
Victoria - Mallee, Wimmera, Glenelg-Hopkins, Corangamite, Port Phillip Westernport,West
Gippsland , East Gippsland ,North East, Goulburn Broken and North Central.
Related Links

Statewide Land Systems This section provides information on Land System mapping
in Victoria.

Regional Land Systems This section provides maps and reports on the regional Land
System mapping undertaken in Victoria.

Land Use Describes the major land use categories in Victoria and provides numerous
links to historical and current land use information, spatial frameworks and related
links.

Bioregions of Victoria Links to a listing of Victorias Bioregional landscapes.

Primary Production Landscapes A regional approach to analysis of different farming


systems, practices and productivity in different parts of the state and where land use in
placed in the state providing regionally relevant scenarios and advice.

The Australian and New Zealand Geomorphology Group (ANZGG) (external link)

International Association of Geomorphologists (IAG) (external link)

What Is Geomorphology?
Answer
The term Geomorphology refers to a science that deals with the relief features of the earth or
of another celestial body and seeks a genetic interpretation of them. The other meaning is the
study of the geometric features of landforms and the process that creates them.
cbec provides geomorphic services in rivers, estuaries and tidal zones. We conduct field
reconnaissance (including Rapid Assessment Methods and "fluvial audits"), geomorphic
interpretation and assessment, channel migration analysis, habitat restoration, and GPS
mapping of geomorphic features.

Rapid geomorphic assessments using hand held computer/GPS technology.


A thorough understanding of the physical processes involved in tidal and fluvial
environments is essential to the design of our projects and at cbec we work hard at
understanding these processes. For example, understanding the geomorphic setting of our
project sites is essential.

Relatively

pristine

situations

should

be

preserved

wherever

possible.

More degraded situations should be restored or rehabilitated through stabilization and recontouring.

In situations where the system has degraded historically and reached a new equilibrium, we
should manage for the new condition.
cbec recently developed the Stream Susceptibility Assessment System (SSAS) based on a
three tiered approach:
Tier 1 involves the development of a combined susceptibility and applicability decision
support tool. This includes conducting a watershed scale GIS- and remote sensing-based
screening analysis of various methodologies to quantify stream susceptibility to
hydromodification.
Tier 2 involves conducting Rapid Geomorphic Assessments (RGA) for identified and
prioritized areas that are screened to have high and low erosion potential in Tier 1. This fieldbased
study
also
provides
calibration
and
validation
for
Tier
1.
Tier 3 identifies key geomorphic thresholds (e.g. relationships between channel slope,
median particle size, and drainage area for stable and unstable channels, critical bank heights
in various channel materials, channel response to changes in flow and sediment supply, etc.)
from comparison of stable and unstable channels

SSAS geomorphic tools.


As a part of the SSAS, we are implementing a form of the Fluvial Audit developed by cbec
staff.

And

making

linkages

with

habitat:

Hydrology, Hydraulics, Geomorphology, Design, and Field Services - these are the tools in
our toolbox. SeeProjects for how we combine them all...

DAFTAR PUSTAKA

http://diamondgeologist.wordpress.com/2012/02/18/10-konsep-geomorfologi-

menurut-thornbury/
http://vienastra.wordpress.com/2010/08/27/perkembangan-geomorfologi/
http://blogpristatanahfpub.wordpress.com/2013/02/24/geomorfologi-kota-mojokerto/
http://dannbuea.wordpress.com/2010/11/27/geomorfologi/
http://23isnamardiyana.wordpress.com/2012/05/12/geomorfologi-dan-geologi/
http://vro.depi.vic.gov.au/dpi/vro/vrosite.nsf/pages/landform_geomorphology
http://www.ask.com/question/what-is-geomorphology
http://www.cbecoeng.com/geomorphology.php

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai