Anda di halaman 1dari 8

Pengantar

Manusia acapkali berbeda pendapat di dalam menilai baik-buruknya suatu


benda atau benar-salahnya suatu perbuatan. Perbedaan ini lebih disebabkan karena
adanya cara pandang dunia (weltanschauung) yang berbeda di antara mereka
terhadap benda atau perbuatan yang menjadi objek penilaian mereka. Seorang
muslim, misalnya, akan menjadikan hukum Allah – Pencipta, Hakim, dan
Pembuat Syariat – sebagai standar penilaian mereka. Sebaliknya, orang-orang
Barat Kapitalis, misalnya, akan menjadikan hukum produk akal mereka sebagai
tolak ukur penilaian mereka. Bahkan, bagi mereka, akal merupakan asas di dalam
menilai fakta. Sementara itu, kalangan lainnya, acapkali mengadopsi hukum dari
salah seorang pemikir yang telah memiliki cara pandang dunia tertentu. Mereka
kemudian menjadikan pemikiran-pemikiran sang pemikir tersebut sebagai asal
dan dasar penilaian atas fakta yang ada.

Atas dasar ini, wajar jika lahir sejumlah hukum yang berbeda di antara
manusia, bergantung pada sumber hukum yang digunakannya.

Manusia juga acapkali berbeda di dalam menentukan siapa yang berhak


membuat hukum (al-Hakim), bergantung pada adanya perbedaan hukum yang
hendak dikeluarkannya. Sesuatu sering dipandang baik atau buruk menurut akal,
halal atau haram menurut syariat, ataupun boleh atau terlarang menurut undang-
undang.

Oleh karena itu, sangat penting sekali bagi kita untuk memahami jenis-
jenis hukum untuk mengetahui siapa yang berhak membuat hukum. Dengan
begitu, akan jelas sikap apa yang mesti diambil oleh manusia di dalam merespon
perbuatan atau benda yang ada di hadapannya; apakah perbuatan tersebut harus
dilakukan atau malah ditinggalkan..?; apakah benda tersebut mesti diambil atau
justru dicampakkan..?

Penilaian Akal dan Kontradiksinya


Hal pertama yang mesti diperhatikan adalah kenyataan bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk menilai benda dari sisi faktanya, apakah baik atau
buruk. Mereka, misalnya, acapkali menilai sakit sebagai hal yang buruk dan sehat
sebagai hal yang baik; memandang kekayaan sebagai hal yang baik dan
kemiskinan sebagai hal yang buruk; atau menganggap kejujuran sebagai hal yang
baik dan kebohongan sebagai hal yang buruk.

Akal manusia kadang-kadang juga memiliki kemampuan untuk menilai


suatu fakta dari sudut pandang yang lain, mislanya, dari sudut pandang
kemashlahatan dan kemudlaratan. Mereka, misalnya, sering menilai rasa manis itu
mashlahat sementara rasa pahit itu mudlarat. Mereka kadang-kadang memandang
khamr sebagai hal yang mudlarat dan kadang-kadang pula menganggapnya
sebagai hal yang bermanfaat. Demikian pula daging babi; adakalanya dinilai
sebagai hal yang mudlarat dan adakalanya dianggap sebagai hal yang bermanfaat.
Akal juga mampu menentukan fakta bahwa air terdiri dari dua atom
hydrogen dan satu atom oksigen, bahwa bumi bulat seperti bola, dan matahari
terbit di sebelah timur. Akal juga dapat menilai sejumlah perbuatan sehingga
sering dikatakan, misalnya: distribusi air di tengah-tengah masyarakat harus
didasarkan pada prinsip persamaan, tetapi kadang-kadang juga dikatakan bahwa
distribusi air itu justru mesti didasarkan pada faktor kesungguhan; bank ribawi
adalah sangat penting bagi sistem ekonomi kapitalis karena mengandung banyak
manfaat, tetapi kadang-kadang juga dikatakan bahwa bank tersebut justru hanya
mengakibatkan harta terpusat di tangan segelintir orang saja, sehingga hal tersebut
bisa menimbulkan kemudlaratan. Demikian seterusnya.

Walhasil, akal sering memberikan penilaian atas berbagai macam benda


atau perbuatan yang dipandangnya pantas. Penilaian tersebut adakalanya benar
dan adakalanya salah. Penilaian tersebut juga sering berbeda dan bertentangan
antara satu masa dan masa lainnya, antara satu tempat dan tempat lainnya, atau
antara satu orang dan orang lainnya.

Sebagaimana telah disebutkan, manusia mampu memberikan penilaian


atas benda berdasarkan kecenderungan atau penolakannya terhadap benda
tersebut. Ia, misalnya, acapkali menyatakan bahwa bau parfum adalah wangi
sementara bau bawang merah adalah tidak sedap; gula-gula itu manis sementara
labu adalah pahit; istirahat itu lebih baik ketimbang kerja keras/letih; diam itu
lebih baik ketimbang pergi ke medan perang. Demikian seterusnya.

Penilaian Allah dan Penentuan Halal-Haram


Sementara itu, penilaian yang berhubungan dengan masalah keterpujian
dan ketercelaan jelas hanya merupakan hak Allah. Penilaian tersebut bukan hak
manusia. Alasannya, surga dan neraka adalah ciptaan Allah, sebagaimana halnya
manusia, langit dan bumi. Dalam hal ini, Allah telah menentukan kelayakan
manusia memasuki surga atau neraka bergantung pada sejauh mana manusia
mengikuti perintah-Nya. Artinya, surga dan neraka atau pahala dan siksa
merupakan konsekuensi dari sejauh mana manusia mengikuti hukum-hukum
Allah; Pemilik Surga dan Neraka, bukan mengikuti kehendak manusia sebagai
makhluk-Nya dengan segala keterbatasannya. Masalahnya, manusia tidak
mungkin memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian atas berbagai perkara
yang berada di luar jangkauan akalnya, bahkan ia tidak mungkin mampu menilai
perkara-perkara yang tidak dapat dia indera. Oleh karena itu, ketika ia
menyatakan bahwa ini halal atau menyebabkan masuk surga dan yang itu haram
atau menyebabkan masuk neraka, hal itu tidak lain disandarkan pada penilaian
Allah.

Dalam hal ini, Allah SWT telah mencela orang-orang yang yang berani
menentukan halal dan haram berdasarkan hawa nafsu mereka, karena tindakan
demikian merupakan manipulasi dan dusta terhadap Allah; Tuhan Pemilik
Kemuliaan. Allah SWT berfirman:

“Janganlah kalian mengatakan dengan lisan-lisan kalian secara dusta bahwa ini
halal dan ini haram”[QS an-Nahl (16): 116]
Benar.., bahwa siapa pun yang berani menentukan halal dan haram berarti
telah membuat kedustaan pada terhadap Allah. Oleh karena itu, siapa saja yang
bertindak demikian berarti seolah-olah telah mengklaim bahwa dirinya adalah
Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang berhak menentukan halal dan haram. Akan
tetapi, tentu saja Allah Pemilik Kemuliaan tidak mungkin ditandingi oleh siapa
pun. Allah SWT berfirman:

“Tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” [QS al-Ikhlas (112): 4]

Atas dasar inilah, pada saat Adi Ibn Hatim dihadapkan ke hadapan Nabi,
sementara Nabi Saw baru saja membaca ayat: “Mereka telah menjadikan para
pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah’[QS at-Taubah
(9): 31], ia berkata, “Sesungguhnya mereka tidak menyembah para pendeta dan
rahib-rahib mereka”. Akan tetapi Rasulullah Saw berkata, “Akan tetapi, para
pendeta dan rahib-rahib mereka itu telah mengharamkan apa yang telah dihalalkan
untuk mereka dan menghalalkan apa yang telah diharamkan atas mereka, lalu
mereka mengikutinya. Itulah bentuk penyembahan mereka terhadap para pendeta
dan rahib-rahib mereka.”

Demikianlah penafsiran Nabi Saw atas makna ubudiah (penyembahan).


Bahkan, Allah SWT telah menganggap buruk orang-orang yang mengikuti hawa
nafsu mereka dengan mencampakkan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya.
Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:

“Seandainya Kami menghendaki, sesungguhnya Kami akan meninggikan


derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung pada kehidupan dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Oleh karena itu, perumpamaannya
adalah seperti anjing; jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya, dan jika
kamu membiarkannya, diulurkan pula lidahnya. Demikianlah orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat kami. Oleh karena itu, ceritakanlah kisah-kisah itu kepada
mereka agar mereka berfikir” [QS al-A’raf (7): 176]

Dalam ayat di atas, nyata sekali bagaimana Allah menyifati orang-orang


yang mengikuti hawa nafsunya sebagai makhluk yang derajatnya sama dengan
binatang (anjing). Alasannya, karena mereka telah mencampakkan hukum-hukum
Allah seraya mengikuti hawa nafsu mereka. Hawa nafsu itulah yang menjadikan
mereka seperti binatang, karena mereka berperilaku atas dasar dorongan syahwat
dan nalurinya semata; persis sebagaimana halnya anjing. Anjing, sebagaimana
diketahui, telah diciptakan oleh Allah dengan perilaku yang bersifat instingtif
(hanya mengandalkan nalurinya) tanpa pernah berpikir atau memiliki kemampuan
untuk melakukan penelahaan. Anjing sejatinya tentu berbeda dengan manusia
karena manusia telah diangkat derajatnya dengan dianugerahi akal dan
kemampuan berpikir serta diberikan perintah dan larangan. Oleh karena itu,
manusia yang mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya akan
terangkat derajatnya. Sebaliknya, derajat manusia akan jatuh ke derajat anjing
(binatang) jika mereka selalu mengikuti hawa nafsunya.
Dengan demikian, penentuan halal dan haram hanyalah hak Allah semata,
bukan hak akal manusia berdasarkan aspek kemanfaatan dan kemudlaratan atau
baik dan buruk. Jika manusia berlaku demikian, berarti ia telah menjadikan akal
dan hawa nafsunya sebagai tuhan. Tindakan demikian tentu saja tercela dan
terlarang. Allah SWT berfirman:

“Tidakkah kamu memperhatikan apa yang menjadikan hawa nafsunya sebagai


tuhan..? Allah telah menyesatkannya dengan tidak memberikannya ilmu, telah
menutup pendengaran dan kalbunya, dan telah menjadikan pada hatinya penyakit.
Oleh karena itu, siapakah yang memberi petunjuk selain Allah..? Apakah kalian
tidak berpikir” [QS al-Jatsiyah (45): 23]

Wilayah Kerja Akal


Ada yang berpendapat bahwa Allah SWT acapkali berbicara pada akal-
akal manusia melalui banyak ayat-ayat-Nya. Contohnya adalah pada saat Allah
memerintahkan kepada manusia untuk memikirkan eksistensi Pencipta melalui
jalan akal serta untuk memikirkan ciptaan Allah melalui perenungan akal. Jika
demikian halnya, lalu di manakah fungsi akal.

Memang benar, Allah telah menuntut kita untuk untuk melakukan


pengkajian dan pemikiran melalui penggunaan akal untuk mencapai kebenaran
dan untuk menentukan siapa yang ada di balik penciptaan alam raya ini. Bahkan,
Allah telah mencela orang-orang yang menjadikan keimanannya semata-mata
didasarkan pada sikap taklid; tidak berdasarkan pembuktian/pembenaran yang
pasti dan meyakinkan serta sesuai dengan realitas yang ada, sekaligus didukung
dengan adanya dalil yang juga pasti (qath’i). Allah SWT berfirman:

“Mereka berkata, cukuplah bagi kami apa yang kami jumpai dari nenek moyang
kami, padahal nenek moyang mereka tidaklah mengetahui apapun dan tidak pula
mendapatkan petunjuk” [QS al-Maidah (5): 104]

Allah juga berbicara yang ditujukan pada akal:

“Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan; memperhatikan


langit, bagaimana ia ditinggikan; memperhatikan gunning, bagaimana ia
dipancangkan” [QS al-Ghasiyah (88): 17-19]

Ayat di atas merupakan bukti dari adanya Sang Pencipta. Allah SWT juga
berfirman:

“Mereka tidak menciptakan apapun dan mereka bukanlah pencipta” [QS ath-Thur
(52): 35]

“Tidakkah kalian memperhatikan air yang kalian minum..? Apakah kalian yang
menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkannya” [QS al-Waqi’ah
(56): 68-69]
“Dari apakah dia diciptakan..? Dia diciptakan dari segumpal darah yang telah
ditentukan kadarnya” [QS ‘Abasa (80): 18-19]

“Apakah kalian menjadikan sesuatu selain Allah..? Katakanlah, datangkanlah


bukti-bukti kalian” [QS al-Anbiya (21): 24]

Siapa saja yang merenungkan ayat-ayat di atas akan menyimpulkan bahwa


Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya di dalam
masalah keimanan yang sangat mendasar ini, yakni berkaitan dengan siapa yang
menciptakan alam raya; siapa yang berhak membuat hukum; siapa yang
menciptakan surga dan neraka. Pengkajian atas masalah ini merupakan perkara
yang harus dilandaskan pada–atau dasarnya adalah–akal. Artinya, satu-satunya
jalan untuk memahami sang Pencipta dengan sebuah pemahaman yang benar
adalah berpikir dan pengkajian akal yang lurus terhadap berbagai gejala yang
dapat menunjukkan pada adanya sang Pencipta.

Oleh karena itu, seorang manusia sudah selayaknya memahami kaidah


berpikir (qa’idah ‘aqliyyah) dengan metode penggunaan akal. Kaidah berpikir
yang dimaksud adalah akidah yang lurus yang menjadi dasar seluruh hukum
mengenai kehidupan. Dengan itu, manusia akan menerima–dengan sikap pasrah,
rasional dan meyakinkan–sumber hukum yang darinya digali berbagai hukum
yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Setelah bersikap pasrah kepada Allah,
Tuhan Pencipta, Penguasa dan Pembuat Hukum, ia tentu tidak boleh
menyekutukan Allah dengan salah seorang makhluk pun di dalam penetapan
hukum-Nya. Allah Maha Tinggi Setinggi-tingginya dan Maha Besar dari
persekutuan semacam itu.

Keterbatasan Akal
Sebagaimana dimaklumi, akal manusia sesungguhnya merupakan perkara
mendasar di dalam akidah Islam. Alasannya, hanya dengan metode penggunaan
akal, manusia dapat menentukan eksistensi sang Pencipta, yakni Allah SWT, dan
memastikan bahwa keberadaan-Nya adalah hal yang niscaya (wajib al-Wujud);
bersifat azali; tidak ada tuhan selain Diri-Nya; tidak ada tandingan-Nya; dan tidak
ada sekutu bagi-Nya. Dengan akal pula, manusia mampu memastikan kebenaran
pengutusan Muhammad dan kenyataan bahwa al-Quran sebagai kalam Allah.
Bahkan, seluruh perkara ghaib seperti surga, neraka, kebangkitan dan perhitungan
pada Hari Kiamat hanya mungkin diyakini melalui sumber-sumber yang
sebelumnya telah diuji kebenarannya lewat akal.

Itulah fungsi akal yang sangat besar. Namun demikian, akal memiliki
keterbatasan sebagaimana telah ditentukan oleh Allah, sehingga jika akal
memaksakan diri untuk menjangkau apa yang berada di luar jangkauannya, ia
pasti akan tersesat. Akal, misalnya, tidak mungkin mampu menentukan hukum di
seputar pahala dan siksa. Akal acapkali memandang sesuatu itu baik, padahal ia
buruk di mata Allah. Akal juga sering menganggap sesuatu itu bermanfaat,
padahal justru ia sesuatu yang mudlarat di mata Allah. Bukti-bukti yang
menunjukkan kelemahan dan keterbatasan akal manusia ini sangat banyak dan
sangat mudah ditemukan. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
“Telah diwajibkan atas kalian berperang (berjihad), sementara jihad itu sesuatu
yang kalian benci. Padahal, boleh jadi kalian membenci sesuatu, sementara
sesuatu itu justru buruk bagi kalian; boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu,
sementara sesuatu itu justru buruk bagi kalian. Allahlah yang mengetahui
sedangkan kalian tidak mengetahui” [QS al-Baqarah (2): 216]

Ini adalah ayat yang berkenaan dengan jihad; perkara yang tidak jarang
dibenci oleh manusia, tetapi justru disukai oleh Allah SWT dan merupakan
kebajikan yang sangat besar.

Hal yang juga terjadi manakala manusia memandang bahwa riba itu tidak
ada bedanya dengan jual beli; padahal Allah telah menginformasikan bahwa jual
beli adalah perkara yang halal sementara riba adalah perkara yang haram. Artinya,
keduanya jelas berbeda, dan tidak dapat dipersamakan. Allah SWT berfirman:

“Hal itu karena mereka mengatakan bahwa jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” [QS al-Baqarah (2):
275]

Akal manusia sesungguhnya juga sangat lemah di dalam menetapkan apa


yang pantas atau layak bagi dirinya dibandingkan dengan menetapkan apa yang
baik bagi orang lain. Ia juga kadang-kadang memberikan penilaian saat ini atas
satu persoalan yang berbeda dengan penilaian dirinya sebelumnya atau yang akan
datang. Sebaliknya, Allah SWT, Pencipta alam ini, tentu Maha Awas atas seluruh
makhluk ciptaan-Nya, juga Maha Tahu dan Maha Teliti terhadap hal yang baik
atau buruk dan yang terpuji atau tercela. Allah SWT kemudian memberikan
wahyu kepada Rasul-Nya berupa hukum-hukum yang berfungsi untuk mengatur
seluruh urusan kehidupan manusia. Jika manusia berusaha menaati hukum-hukum
tersebut dan sekaligus terikat dengannya, ia pasti akan memperoleh kebajikan di
dunia dan akhirat.

Reposisi Peran Akal


Sebagaimana dipahami, ketaatan dan keterikatan manusia terhadap syariat
Allah tidak berarti membelenggu akal, tetapi justru sebuah keniscayaan dalam hal
yang memang pantas dan baik bagi akal. Alasannya, dengan adanya akal, Allah
SWT telah memuliakan manusia sekaligus mengangkat derajatnya sehingga lebih
tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam” [QS al-Isra’ (17): 70]

Allahlah yang telah menciptakan akal bagi manusia dan menetukan


kapasitasnya. Allah SWT berfirman:

“Tidaklah Kami memberikan ilmu kepada kalian kecuali sangat sedikit” [QS al-
Isra’ (17): 85]
“Kami mengangkat beberapa derajat orang yang kami kehendaki dan di atas
setiap orang yang memiliki pengetahuan pasti ada orang yang lebih mengetahui”
[QS Yusuf (12): 76]

Allah SWT juga telah menunjuki manusia mengenai wilayah kerja akal
dan dan wilayah yang bukan merupakan bidang garapan akal manusia. Allah telah
berfirman, yang ditujukan pada akal manusia, dengan menurunkan sejumlah ayat
makiyyah, dalam upaya menunjuki manusia agar mereka memahami jalan untuk
mengetahui sang Pencipta, yakni dengan jalan mentafakuri dan merenungkan
fenomena makhluk-makhluk-Nya.

Selanjutnya, Allah SWT membukakan pintu yang luas bagi akal untuk
memikirkan bagaimana memakmurkan bumi ini dengan berbagai upaya yang
dipandang boleh dan halal bagi mereka, seperti dengan melakukan pengkajian
ilmiah, mengembangkan industri, dan bahkan untuk keperluan perang, dsb. Allah
SWT berfirman:

“Makanlah oleh kalian makanan yang baik-baik dari apa yang Kami karuniakan
kepada kalian” [QS Thaha (20): 81]

“Persiapkanlah oleh kalian untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja…” [QS
al-Anfal (8): 60]

Sementara itu Rasulullah Saw bersabda:

“Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki maupun wanita”
[HR. Ibn ‘Abd al-Barr]

Dengan akal pula, manusia dapat memahami hukum-hukum Allah–karena


ia merupakan objek taklif–sehingga ia mampu mengkaji fakta dan memahami
penerapan hukum pada faktanya. Inilah salah satu fungsi akal yang lain. Demikian
pula ijtihad, yakni mengerahkan segenap kesungguhan untuk menggali hukum-
hukum Allah dari dalil-dalil yang rinci. Hal ini juga merupakan garapan akal.
Allah SWT berfirman:

“Katakanlah, samakah antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak
mengetahui..?” [QS az-Zumar (39): 9]

“Oleh karena itu bertanyalah kepada orang yang beriman dan berilmu di antara
kalian beberapa derajat” [QS al-Mujadalah (85): 11]

“Tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata, kami beriman kepada Allah” [QS Ali ‘Imran (3): 7]

Atas dasar keharmonisan dan keserasian antara pemahaman tentang fungsi


akal dan hukum Allah, akal-akal manusia memiliki kedudukan yang sama di
dalam hubungannya dengan Allah dan makhluk-Nya, dan teralisasilah rahmat
yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Inilah yang dirasakan oleh para shahabat
Rasulullah generasi pertama–semoga Allah meridloi mereka–ketika mereka
memahami fungsi akal yang sebenarnya dan menyadari arti penting keterikatan
diri mereka dengan hukum-hukum Allah.

Melalui salah satu cahaya dari kehidupan para shahabat Rasulullah, kami
memperhatikan pengertian ini. Di dalam perang Badar al-Kubro, manakala Nabi
Saw tiba di sumber ai Badar, Hubab Ibn Mundzir berkata, “Ya Rasulullah,
bagaimana sesungguhnya pendapat Anda mengenai tempat ini..? Apakah tempat
ini telah ditentukan oleh Allah sehingga kami tidak boleh mendahului atau
melambatkannya ataukah ini sekedar pendapat Anda sebagai strategi dan tipudaya
perang saja..?” Rasulullah menjawab, “ini hanya pendapatku sebagai strategi dan
tipudaya perang saja”

Hubab kemudian melanjutkan kata-katanya, “Jika demikan, tempat ini


merupakan tempat yang tidak cocok bagi kita. Oleh karena itu, hendaklah Anda
memerintahkan orang-orang untuk bangkit hingga kita menjumpai tempat air
yang lebih rendah dibandingkan dengan tempat musuh sehingga kita dapat
menetap/singgah di sana…”

Dengan demikian, para shahabat Nabi Saw telah memahami sekaligus


mampu membedakan antara hukum Allah–yang wajib diikuti dan ditaati–dengan
hukum akal yang tidak mesti dituruti.

Penutup
Terakhir, kami ingin mengatakan bahwa merupakan manipulasi terhadap
Islam jika sampai ada yang mengatakan bahwa Islam membelenggu akal manusia
atau bahwa Islam tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi yang telah
dicapai oleh manusia. Orang yang mengatakan demikian jelas tidak memahami
hakikat Islam, hakikat kedudukan makhluk di hadapan Kholiq, serta hakikat akal
dan potensi yang ada pada manusia. Orang yang seperti inilah yang justru telah
menyesatkan dan merendahkan derajat manusia. Pasalnya, Islam adalah risalah
Allah yang telah diturunkan kepada manusia dari langit agar dijalankan oleh
manusia sesuai dengan perintah-Nya. Dengan begitu, risalah Allah akan mampu
menyinari jalan kehidupan manusia di dunia sehingga menjadi cahaya yang
menunjuki penduduk bumi, untuk selanjutnya manusia akan memperoleh pahala
di akhirat. Dengan demikian, hanya dengan risalah/hukum Allah sajalah, manusia
pasti akan memperoleh kemuliaan di dunia dan akhirat.

Tag: johan pratama, johan pratama satu tiga satu, untung merdeka, hamba nafsu,
gondrong kapuk, seven, firul aziz, abd doel, ahmad fatoni, diskusi marketing
politik, kammi, uin, hamka, Pks, pmii, gema, redaksi, radio, naswir win, bil haqq,
Muhammad Rahman, adi Victoria, miau idiologis, wong deso, muslimah energic,
nurul, salsabila, roesdiyanto atsari, dini az-zahra, mbah

Anda mungkin juga menyukai