kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak).
Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat
pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan
Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan
menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada
keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-
Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim.
Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad.
Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa
Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka
bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan
memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-
dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia
kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada
Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan
bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak
menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat
tinggal di timur laut Tikrit, Iraq sekarang.
Istilah “peradaban Islam” merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah al-
Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan “kebudayaan Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah
al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang
yang mensinonimkan dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah dan culture/Inggris)
dengan “peradaban” (civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku
kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu
dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu
masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis
lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan
dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik,
ekonomi dan teknologi.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1)
wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya.
Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para
sahabat (Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat
Islam sekarang. Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah
membawa bangsa arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan di abaikan
oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju. Bahkan kemajuan Barat pada
mulanya bersumber pada peradaban islam yang masuk ke eropa melalui spanyol.
Islam memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana pernah diungkapkan
oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian dikutip M.Natsir, bahwa,
“Islam is andeed much more than a system of theology, it is a complete civilization”
(Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban
yang sempurna). Landasan “peradaban islam” adalah “kebudayaan islam” terutama
wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan islam” adalah agama. Jadi, dalam
islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (nonsamawi),
agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari
tuhan.
Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat islam
itu sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu
dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam diantaranya Umayah dan Abbasiyah,
Umayah dan Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan
ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
Dalam diskusi kali ini, saya akan membahas peradaban islam pada masa Dinasti
Abbasiyah dengan topik bahasan diantaranya, latarbelakang berdirinya kekhalifahan
Abbasiyah, kemajuan dan kemunduran pada masa ini, baik dari aspek ekonomi,
politik, dan social.
3. Bidang Sosial
2. Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani
Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang
keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar
diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun,
sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu
disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi
kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar
upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan
para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan
para pejabat melakukan korupsi.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita
orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini
dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut para khalifah dan orang-
orang yang beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik diantara
keduanya, mulai polemik tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata
yang menumpahkan darah dari kedua belah pihak.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran
Syi`ah, sehingga banyak aliran syi`ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan dianggap
menyimpang oleh penganut Syi`ah sendiri. Aliran Syi`ah memang dikenal sebagai
aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan faham Ahlussunnah wal Jama`ah.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan
zindik atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam.
Mu`tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan
salaf.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh
perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal
abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang
mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan
yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam
lingkungan pengetahuan manusia…soal kehendak bebas manusia …telah
menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam…pendapat bahwa rakyat dan kepala
agama mustahil berbuat salah mustahil berbuat salah…menjadi sebab binasanya jiwa-
jiwa berharga”.
DAFTAR PUSTAKA
Abul a ‘la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah
Pemerintahan Islam, (Bandung, Mizan, 1998)
Badri Yatim, Dr., MA., Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT.
Grafindo Persada, 2006)
Jaih Mubarok, Dr., M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani
Quraisyi, Cet. 1, 2004)
John L. Esposito (ed), The Oxpord History of Islam, (New York, Oxpord University
Press 1999)
W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta : P3M, 1988)
PENDAHULUAN
Meski terdapat sejumlah perbedaan, para ahli sejarah banyak yang membagi periodisasi
sejarah peradaban Dinasti Abbasiyah yang berumur sekitar lima ratus tahun (750-1258 M / 132-656
H) ke dalam dua periode utama. Periode pertama, berlangsung antara tahun 750-945M/132-334H,
dimana pada masa itu Dinasti Abbasiyah memiliki otoritas politik yang sangat kuat dan kemudian
mampu melahirkan sebuah kemajuan peradaban yang disebut-sebut sebagai ”Era Keemasan” (the
Golden Age). Akan tetapi periode ini juga sekaligus mencatat munculnya benih-benih kemunduran
dan kelemahan politik yang terjadi di paruh akhir masa ini
.
Sedangkan periode kedua (945-1258M) adalah rentang waktu dimana Dinasti Abbasiyah
secara faktual mengalami kemunduran politik dan para khalifah kehilangan otoritas kekuasaanya
terhadap sejumlah wilayah dibarengi dengan lahirnya negara-negara kecil (duwaylāt) yang
memerdekakan diri. Karakteristik lain dari periode ini adalah masih terlihatnya sisa-sisa pengaruh
kemajuan peradaban Islam era keemasan yang terwujud dalam perkembangan berbagai disiplin
keilmuan (`ulūm), pembangunan (`umrān), tercapainya kesejahteraan, hingga pada level berikutnya
yang bersifat negatif yakni menggejalanya gaya hidup bermewahan (taraf). Periode Dinasti Abbasiyah
ini berakhir pada tahun 1258 M ketika Baghdad jatuh ke tangan bangsa Mongol di bawah komando
Hulagu Khan.
Pembagian sejarah Abbasiyah sebagaimana model di atas, meski diakui oleh beberapa
kalangan -seperti Eric Hanne sendiri- kurang tepat, ternyata mampu mempengaruhi nature atau gaya
studi modern terhadap Dinasti Abbasiyah, dimana mayoritas fokus kajiannya lebih banyak
dititikberatkan pada periode pertama.
Makalah ini, dengan mengenyampingkan periodisasi seperti diatas, secara spesifik akan
membahas dan memilah era kemajuan ilmu dan peradaban yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah,
sekaligus menelisik proses kejatuhannya dilengkapi dengan ulasan sejumlah faktor yang
menyebabkannya.
Selama beberapa dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Dinasti Abbasiyah
berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas wilayah-wilayah yang mereka
kuasai. Era kepemimpinan khalifah kedua, Abū Ja`far ibn `Abdullāh ibn Muhamad Al-Mansūr (137-
158H/754-775M), menjadi titik yang cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia
mengambil dua langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya. Yaitu; Pertama, menyingkirkan para
musuh maupun bakal calon musuh (potential and actual rivals) serta menumpas sejumlah perlawanan
lokal di beberapa wilayah kedaulatan Abbasiyah; Kedua, meninggalkan Al-Anbār dan membangun
Baghdad sebagai ibukota baru, yang beberapa saat kemudian menjadi lokus aktivitas ekonomi,
budaya dan keilmuan dunia Muslim saat itu.
Langkah-langkah penting yang diambil Al-Mansūr tersebut dan efek besar yang
ditimbulkannya terhadap perkembangan Dinasti Abbasiyah pada masa-masa berikutnya menjadikan
para sejarahwan kemudian menganggapnya sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah yang sebenarnya (al-
muassis al-haqīqi li al-dawlah al-`Abbasiyah).
Selain figur politiknya yang begitu kuat dan dominan, Al-Mansūr juga dikenal memiliki
perhatian cukup besar terhadap ilmu pengetahuan, bahkan sejak masa mudanya atau sebelum
menjadi seorang khalifah. Gerakan penerjemahan yang kemudian menjadi salah satu ’ikon’ kemajuan
peradaban Dinasti Abbasiyah juga tidak lepas dari peranan Al-Mansūr sebagai khalifah pertama yang
mempelopori gerakan penerjemahan sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban pra-Islam.
Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf) dan kodifikasi (tadwīn) ilmu tafsir, hadits,
fiqh, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan di era Al-Mansūr pula. Konon,
sebelum masa itu, para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan
lembaran-lembaran yang belum tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanūji secara
tegas menyebut Al-Mansur sebagai khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap
ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya terabaikan oleh para khalifah Bani Umayyah.
Namun betapapun pentingnya peranan Al-Mansūr, kemajuan peradaban yang dicapai oleh
Dinasti Abbasiyah pada hakekatnya tidak datang dari ruang hampa, melainkan pada titik yang paling
penting merupakan buah dari pengaruh konsep-konsep dalam ajaran Islam itu sendiri. Hal ini diakui
pula oleh beberapa penulis Barat semisal Vartan Gregorian dalam bukunya Islam: A Mosaic, Not a
Monolith.
Kesimpulan tersebut jika ditilik dari perspektif kajian sejarah peradaban berkesesuaian
dengan teori yang menyatakan bahwa semangat yang dibawa oleh konsep keagamaan (al-fikrah al-
dīniyyah) merupakan élan vital dan menjadi unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban.
Di samping itu, faktor lain yang secara lebih lanjut turut mempengaruhi kemajuan peradaban
Dinasti Abbasiyah adalah interaksi masif kaum muslimin era Abbasiyah dengan komunitas-komunitas
masyarakat di beberapa wilayah yang sebelumnya telah menjadi pusat warisan pemikiran dan
peradaban Yunani seperti Alexandria (Mesir), Suriah, serta wilayah Asia Barat, khususnya Persia.
Singkat kata, tidak lama setelah berdirinya, Dinasti Abbasiyah dengan cepat telah mampu
menciptakan sebuah kemajuan ilmu dan peradaban yang menurut Dr. Ahmad Shalabi terwujud dalam
tiga sektor yaitu menggeliatnya gerakan penulisan buku (harakat al-tasnīf), kodifikasi dan
sistematisasi ilmu-ilmu keislaman, serta menjamurnya gerakan penerjemahan (harakat al-tarjamah)
secara masif. Selain tiga hal di atas dapat ditambahkan pula perkembangan ilmu sains yang
melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan legendaris yang diakui tidak saja di dunia Muslim tetapi juga oleh
kalangan akademisi Barat.
Berbicara mengenai gerakan penerjemahan yang terjadi di Era Abbasiyah sebenarnya tidak
bisa dilepaskan dari upaya-upaya penerjemahan yang pernah dilakukan pada masa Dinasti Bani
Umayyah. Saat itu, usai penaklukan besar-besaran yang merambah wilayah-wilayah di tiga benua,
serta pada saat keamanan politik dalam negeri relatif stabil, sebuah upaya penerjemahan telah
dilakukan meski dalam skala kecil.
Sebagaimana diceritakan oleh para sejarahwan, Khālid ibn Yazīd ibn Mu’awiyah pernah
memerintahkan dihadirkannya sejumlah filosof Yunani yang bermukim di Mesir dan menguasai bahasa
Arab untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Mesir Kuno (Qibti), khususnya yang
terkait dengan ilmu medis dan kimia, ke dalam bahasa Arab. Selain itu, pada masa `Abdul Mālik ibn
Marwān dan Al-Walīd ibn `Abdul Malik itu juga telah dilakukan penerjemahan dīwān dari bahasa
aslinya, baik bahasa Pahlavi-Persia, Yunani maupun Mesir Kuno ke dalam bahasa Arab.
Berbeda dengan upaya penerjemahan di masa Dinasti Umayyah yang berskala kecil atau
bahkan bersifat individual, gerakan penerjemahan di Era Abbasiyah, didukung oleh para khalifah
yang rata-rata memiliki kecenderungan keilmuan dan ketertarikan terhadap pengetahuan dari Yunani
maupun Persia. Para khalifah seperti Al-Mansūr misalnya, selalu mendorong para ilmuwan dari
berbagai disiplin ilmu dengan tanpa membedakan agama maupun bangsa mereka, untuk
menerjemahkan buku-buku sains, filsafat dan sastra dari bahasa asing ke dalam Bahasa Arab. Di era
Al-Mansūr ini muncul tokoh penerjemah di bidang sastra seperti `Abdullāh Ibn Al-Muqaffa` (757 M),
seorang Majusi yang kemudian memeluk Islam, yang menerjemahkan buku Kalīlah wa Dimnah, serta
Hunayn Ibn Ishāq yang menerjemahkan buku-buku medis karya Hippocrates dan Galen.
Pada era Hārūn al-Rashīd (170-194 H) para cendekiawan dan ilmuwan semakin banyak yang
berdiam di Baghdad. Sang Khalifah-pun mendirikan Bayt al-Hikmah, laiknya sebuah akademi ilmiah
yang menjadi pusat aktivitas keilmuan mulai dari penelitian penerjemahan sekaligus perpustakaan.
Lembaga ini kemudian dikembangkan oleh Al-Ma’mūn dan mencapai puncaknya pada masa itu
dibawah tanggungjawab Hunayn Ibn Ishāq. Al-Ma'mun juga menambahkan bangunan khusus sebagai
sebuah observatorium untuk penelitian astronomi ke Bayt al-Hikmah.
Bayt al-Hikmah-pun menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual yang tidak tertandingi
dimana penelitian ilmu-ilmu sosial maupun sains, meliputi metematika, astronomi, kedokteran, kimia,
zoologi, geografi dan lain-lain dilakukan. Melalui lembaga ini pula berbagai buku penting (ummahāt
al-kutub) warisan peradaban pra-Islam (Persia, India dan Yunani) diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, seperti buku-buku Pythagoras, Plato, Aristoteles, Hippocrates, Euclid, Plotinus, Galen, Sushruta,
Charaka, Aryabhata maupun Brahmagupta. Maka tidak heran jika Philip K. Hitti menyatakan bahwa
Bayt al-Hikmah merupakan lembaga keilmuan paling penting yang pernah dibangun peradaban
manusia setelah Perpustakaan Alexandria yang didirikan sekitar paruh pertama abad ketiga sebelum
Masehi. Dengan gerakan penerjemahan ini Baghdad menjadi sebuah kota yang mengoleksi berbagai
karya keilmuan yang sangat agung. Bersamaan dengan itu Baghdad juga menjadi kota besar paling
kaya dan mempunyai populasi tertinggi mencapai satu juta jiwa.
Satu hal yang menarik untuk dicatat bahwa mayoritas para penerjemah buku-buku kuno ke
dalam bahasa Arab tersebut berasal dari warga non muslim (ahl al-dzimmah) seperti Yohana ibn
Māsawayh, Hunayn ibn Ishāq, Ishāq ibn Hunayn, Hubaysh ibn al-A`sam, Tsābit ibn Qarrah al-Sābi’i,
Yahya ibn al-Bitrīq, Iqlīdis ibn Nā`imah, Zarūbā ibn Mājwah al-Himsi, Āwī ibn Ayyub, Qustā ibn Lūqā,
Astufun ibn Bāsīl, Salībā Ayyūb al-Rahāwi, Dārī` al-Rāhib dan lain-lain masih banyak lagi.
Catatan menarik lainnya, bahwa gerakan penerjemahan ini ternyata tidak hanya menjadi
perhatian pemerintah dan para khalifah sahaja, melainkan juga oleh para pribadi dari kalangan elit
semisal Banū Shākir yang juga mengelola penerjemah-penerjemah handal yang bekerja siang malam
untuk mereka. Keluarga elit lain diceritakan bahkan sangat getol mengeluarkan harta berlimpah untuk
membayar para penerjemah mereka, seperti dilakukan oleh Banū Al-Munajjim yang berani membayar
500 dinar kepada para penerjemah tiap bulannya sebagai upah penerjemahan penuh waktu (li al-naql
wa al-mulāzamah).
Selain gerakan penerjemahan, kemajuan ilmu dan peradaban Era Abbasiyah juga ditandai
dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman, ilmu sosial dan sains. Di bidang ilmu-ilmu agama, Era
Abbasiyah mencatat dimulainya sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits dan
Fiqh. Khususnya sejak tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam bentuknya yang
sisitematis baik di bidang ilmu Tafsir, Hadits maupun Fiqh.
Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah adalah Ibn Jurayj (w. 150 H) yang menulis
kumpulan haditsnya di Mekah, Mālik ibn Anas (w. 171) yang menulis Al-Muwatta' nya di Madinah, Al-
Awza`i di wilayah Syam, Ibn Abi `Urūbah dan Hammād ibn Salāmah di Basrah, Ma`mar di Yaman,
Sufyān al-Tsauri di Kufah, Muhamad Ibn Ishāq (w. 151H) yang menulis buku sejarah (Al-Maghāzi),
Al-Layts ibn Sa’ad (w. 175H) serta Abū Hanīfah.
Pada masa ini ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu Hadits. Buku tafsir
lengkap dari al-Fātihah sampai al-Nās juga mulai disusun. Menurut catatan Ibn al-Nadīm yang
pertama kali melakukan penyusunan tafsir lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyād al-Daylamy atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farrā. Tapi luput dari catatan Ibn al-Nadīm bahwa `Abd al-
Razzāq ibn Hammam al-San`āni (w.211 H) yang hidup sezaman dengan Al-Farā juga telah menyusun
sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa.
Ilmu Fiqh pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh yang disebut
sebagai empat imam mazdhab fiqh hidup pada era tersebut, yaitu Abu Hanīfah (w.150 H), Mālik ibn
Anas (w.179H), Al-Shāfi`i (w.204) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 241H).
Tidak jauh berbeda dengan perkembangan yang dialami oleh ilmu Tafsir dan ilmu Fiqh, ilmu
Hadits juga mengalami masa penting khususnya terkait dengan sejarah penulisan hadits-hadits Nabi
yang memunculkan tokoh-tokoh yang telah disebutkan diatas seperti Ibn Jurayj, Mālik ibn Anas, juga
al-Rabī` ibn Sabīh (w.160) dan Ibn Al-Mubārak (w. 181 H).
Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru penulisan hadits Nabi
dalam bentuk musnad. Diantara tokoh yang menulis musnad antara lain Ahmad ibn Hanbal,
`Ubaydullah ibn Mūsa al-`Absy al-Kūfi, Musaddad ibn Musarhad al-Basri, Asad ibn Mūsā al-Amawi dan
Nu`aym ibn Hammād al-Khuzā`i.
Perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era Abbasiyah, yaitu mulai pada
pertengahan abad ketiga, muncul trend baru yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah
penulisan hadits, yaitu munculnya kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan
penelitian dan pemisahan hadits-hadits sahīh dari yang dla`īf sebagaimana dilakukan oleh Al-Bukhari
(w.256), Muslim (w.261), Ibn Mājah (w.273), Abu Dāwud (w.275), Al-Tirmidzi (w. 279), serta Al-
Nasā’i (w.303).
Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup signifikan pada era
Abbasiyah adalah ilmu sejarah, yang awal penulisannya dilakukan oleh Ibn Ishāq (w. 152) dan
kemudian diringkas oleh Ibn Hisyām (w. 218). Selanjutnya muncul pula Muhamad ibn `Umar al-
Wāqidi (w. 207) yang menulis buku berjudul Al-Tārīkh al-Kabīr dan Al-Maghāzi. Buku yang pertama
dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam oleh sejarahwan Al-Tabari (838-923M). Sejarahwan
lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad ibn Sa’ad (w.230 H) dengan Al-Tabaqāt al-
Kubrā-nya serta Ahmad Ibn Yahya al-Balādhuri (w.279) yang menulis Futūh al-Buldān.
Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di Era Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu-
ilmu agama atau yang biasa diistilahkan dengan `ulūm naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan
kemajuan ilmu-ilmu sains dan teknologi (`ulūm aqliyah).
Bahkan jika dicermati, kemajuan sains di dunia Islam mendahului perkembangan ilmu
filsafat yang juga berkembang pesat di era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari
kecenderungan bangsa Arab saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang
memiliki implikasi kemanfaatan secara langsung bagi kehidupan mereka (dzāt al-atsar al-māddi fī
hayātihim) dibanding buku-buku olah pikir (filsafat).
Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak memberikan sumbangan besar kepada
peradaban manusia modern dan sejarah ilmu pengetahun masa kini. Dalam bidang matematika
misalnya, ada Muhamad ibn Mūsa al-Khawārizmi sang pencetus ilmu algebra. Algoritma, salah satu
cabang matematika bahkan juga diambil dari namanya.
Astronomi juga merupakan ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslim era
Abbasiyah dan didukung langsung oleh Khalifah Al-Mansūr yang juga sering disebut sebagai seorang
astronom. Penelitian di bidang astronomi oleh kaum muslimin dimulai pada era Al-Mansūr ketika
Muhamad ibn Ibrāhīm al-Fazāri menerjemahkan buku "Siddhanta" (yang berarti Pengetahuan melalui
Matahari) dari bahasa Sanskerta ke bahasa Arab.
Pada era Hārūn al-Rashīd dan Al-Ma’mūn sejumlah teori-teori astronomi kuno dari Yunani
direvisi dan dikembangkan lebih lanjut. Tokoh astronom muslim yang terkenal pada era Abbasiyah
antara lain Al-Khawārizmi, Ibn Jābir Al-Battāni (w. 929), Abu Rayhān al-Biruni (w.1048) serta Nāsir
al-Dīn al-Tūsi (w.1274).
Sedangkan Ilmu fisika telah dikembangkan oleh Ibn Al-Haytsam atau yang dikenal di Barat
dengan sebutan Alhazen. Beliau pula yang memegembangkan teori-teori awal metodologi sains
ilmiyah melalui eksperimen (ujicoba). Untuk itu beliau diberi gelar sebagai the real founder of physics.
Ibn al-Haytsam juga dikenal sebagai bapak ilmu optic, serta penemu teori tentang fenomena pelangi
dan gerhana.
Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal Jābir ibn Hayyān (atau
Geber di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain itu ada Abu Bakr Zakariya al-Rāzi
yang pertama kali mampu menjelaskan pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol. Dari
para pakar kimia muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti Roger Bacon yang memperkenalkan
metode empiris ke Eropa dan Isaac Newton banyak belajar.
Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi yang pertama kali
mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika dalam dunia medis dan farmakologi.
Atau juga Al-Rāzi yang menemukan penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi, Ibn Sina dan lain-lain.
Disebutkan pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era Abbasiyah,
bahwa pada zaman Khalifah Al-Muqtadir Billah (907-932M/295-390H) terdapat sekitar 860 orang
yang berprofesi debagai dokter.
Di samping kemajuan beberapa disiplin ilmu sains sebagaimana yang telah dipaparkan di
atas umat Islam Era Abbasiyah juga mengalami kemajuan ilmu dibidang ilmu lainnya seperti biologi,
geografi, arsitektur dan lainnya yang tidak dapat dijeleaskan seluruhnya dalam makalah ini.
Era Keemasan Dinasti Abbasiyah juga mencatat penemuan-penemuan dan inovasi penting
yang sangat berarti bagi manusia. Salah satu diantaranya adalah pengembangan teknologi
pembuatan kertas. Kertas yang pertama kali ditemukan dan digunakan dengan sangat terbatas oleh
bangsa China berhasil dikembangkan oleh umat Muslim Era Abbasiyah, setelah teknologi
pembuatannya dipelajari melalui para tawanan perang dari Cina yang berhasil ditangkap setelah
meletusnya Perang Talas. Setelah itu kaum Muslim berhasil mengembangkan teknologi pembuatan
kertas tersebut dan mendirikan pabrik kertas di Samarkand dan Baghdad. Hingga pada tahun 900 M
di Baghdad terdapat ratusan percetakan yang mempekerjakan para tukang tulis dan penjilid untuk
membuat buku. Perpustakaan-perpustakaan umum saat itu mulai bermunculan, termasuk
perpustakaan peminjaman buku pertama sepanjang sejarah. Dari Baghdad teknologi pembuatan
kertas kemuddian menyebar hingga Fez dan ahirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia pada abad
13M.
PENUTUP
Unsur paling penting dari kemajuan peradaban yang dibangun oleh umat Muslim Era
Abbasiyah tersebut adalah al-fikrah al-dīniyah, yang dalam konteks ini adalah nilai-nilai dan konsep-
konsep yang bermuara kepada sumber agama Islam itu sendiri yaitu wahyu. Unsur ini ditopang oleh
unsur-unsur penunjang lainnya yaitu sumberdaya manusia yang direpresentasikan utamanya oleh
para khalifah serta tokoh-tokoh ilmuan saat itu, serta ruang dan waktu yang mewujud dalam rentang
sejarah yang berlaku. .
Alumnus Jurusan Dakwah dan Peradaban di The Faculty of Islamic Call, Tripoli, Libya (th. 2004). Saat
ini masih menempuh pendidikan S2 (magister) di Universitas Ibn Khaldun, Bogor, Konsentrasi
Pendidikan dan Pemikiran Islam.
Dinasti sendiri berasal dari bahasa Inggris “dynasty” yang berarti a line of hereditary rulers. a
succession of powerful or prominent people from the same family. Lihat : Software Concise Oxford
Dictionary, Oxford University Press, Edisi 10.
Bernard Lewis, ‘AbbÉsid, dalam E. Van Donzel et. al. (Ed.), The Encyclopaedia of Islam, Leiden, E.J.
Brill, 1997, Vol. I, h. 17; Eric Hanne, ‘Abbasids, dalam Josef W. Meri (Ed.), Medieval Islamic
Civilization: An Encyclopaedia, New York & London, Routledge, 2006, Vol. I, hlm. 1; Ahmad Ma`mūr
al-`Usayri, Mūjaz al-Tārikh al-Islāmi, Damām, Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, Cet. 3, 2004,
hlm. 166. Meski sepakat dengan pembagian dua periode sebagaimana dua sumber sebelumnya,
namun al-`Usayri memberi tahun yang berbeda untuk masing-masing perode. Dalam pandangannya,
periode pertama berlangsung antara tahun 749-861 M / 132-247 H, sedangkan periode kedua
berlangsung antara tahun 861-1258 M/247-656 H.
Diantara pemberontakan yang ditumpas oleh Al-Mansūr adalah pemberontakan pamannya sendiri
`Abdullah ibn `Ali yang mengklaim bahwa dirinya lebih berhak menjadi khalifah. Juga pemberontakan
Abū Muslim Al-Khurasāni, pemberontakan Muhamad ibn Ibrāhīm dan kelompok Khawārij. Lihat:
Ahmad Ma`mūr al-`Usayri, Mūjaz al-Tārikh al-Islāmi, hlm. 170-171
Sebuah kota kecil di Irak, di tepi sungai Euphrat, berjarak sekitar 10 atau 13 farsakh sebelah barat
Baghdad.. Nama yang sama juga dipakai untuk sebuah kota di Iran dekat Balkh, Jawzjān, Khurāsan.
Lihat: Muhamad Ibn `Abd al-Mun`im al-Himyari, Al-Rawdl al-Mi`tār fī Khabar al-Aqtār, Tahqiq: Ihsān
`Abbās, Beirut, Muassasah Nāsir li al-Tsaqāfah, Cet.2, 1980, hlm. 36; Yāqūt al-Hamawi, Mu’jam al-
Buldān, Vol. I, hlm.174 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32).
Ahmad Ma`mūr al-`Usayri, Mūjaz al-Tārikh al-Islāmi, hlm. 170; Karl Brockelman, Tārikh al-Shu’ūb al-
Islāmiyah, diterjemahkan dari aslinya ke dalam bahasa Arab oleh Naīh Amīn Fāris dan Munīr al-
Ba’albaki, Beirut, Dār al-`Ilm li al-Malāyīn, Cet. 5, 1968, hlm.175
Lihat misalnya contoh cerita perhatian Al-Mansūr terhadap ilmu dalam Jalāluddīn Al-Suyūti, Tārikh al-
Khulafā, Tahqīq: Ahmad Ibrāhīm Zahwah & Sa`īd Ibn Ahmad al-`Aidrūsi, Beirut, Dār al-Kitāb al-
`Arabi, 2006. hlm. 203
Dr. Muhamad al-Sādiq `Afīfi, Tatawwur al-Fikr al-'Ilmi`Inda al-Muslimīn, Kairo, Maktabah al-Khānji,
1976-1977, hlm. 37; The Encyclopaedia of Islam, Vol.X, hlm. 226; Lihat juga: Hāji Khalīfah, Kashf al-
Dzunūn, bab. `Ilm Al-Hikmah, vol. I, hlm 676 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32),
Ibn al-Nadīm al-Baghdādi, Al-Fihrist, hlm. 304 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32)
Siddīq Ibn Hasan al-Qannūji, Abjad al-`Ulūm al-Washi al-Marqūm fī Bayān Ahwāl al-`Ulūm, Vol. I,
hlm.179 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32)
Vartan Gregorian, Islam : A Mosaic, Not a Monolith, Brookings Institution Press, 2004, dapat juga
dilihat di http://books.google.co.id/books?
id=KccU9Kkt320C&pg=PA26&lpg=PA26&dq=&source=bl&ots=JHwM1crur3&sig=SZVYrDDM-
O2XmhtPO5m8ZF3NR3s#PPA29,M1, diakses terakhir tanggal 8 April 2009
Ibn Khaldūn adalah ahli sejarah pertama yang mencetuskan teori ini, yang kemudian diikuti oleh
pakar sejarah perdaban seperti Arnold Toynbee dan Mālik Ben Nabi. Lihat: Sulaymān al-Khatīb, Usus
Mafhūm al-Hadlārah fī al-Islām, Kairo, Al-Zahrā’ li al-I`lām al-`Arabi, Cet.I, 1986, hlm. 73-80
M.M. Sharīf, Al-Fikr al-Islāmi: Manābi`uhu wa Ātsāruhu, diterjemahkan dan dikomentari serta diberi
beberapa tambahan oleh oleh Dr. Ahmad Shalabi dari buku aslinya berjudul Islamic Thought: It’s
Origin and Achievements, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Cet. 8, 1986, hlm.37; Lihat juga:
Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh al-Islām: al-Siyāsi wa al-Dīni wa al-Tsaqāfi wa al-Ijtima`i, Beirut-Kairo,
Maktabah Al-Jīl & Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Vol. II, Cet. 14, 1996, hlm. 282. Perlu digaris
bawahi di sini bahwa Dinasti Abbasiyah memiliki satu karakteristik yang berbeda dengan Dinasti Bani
Umayyah. Jika Dinasti Bani Umayyah selama sejarahnya cenderung memiliki warna yang relatif
homogen, maka sebaliknya, Dinasti Abbasiyah sejak awal sejarah berdirinya lebih berwarna
heterogen dengan banyak melibatkan orang-orang Persia yang memiliki tradisi dan warisan
kebudayaan masa lalu mereka sendiri, disamping bangsa Arab dalam menjalankan roda kekuasaan.
Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-Hadlārah al-Islāmiyah, Kairo, Maktabah al-
Nahdlah al-Misriyah, Vol. III, Cet.8, 1985, hlm.229
Jika ingin dilihat lebih jauh sebenarnya benih-benih gerakan penerjemahan bisa dilacak pada zaman
Rasulullah. Dengan perintah beliau, Zayd Ibn Tsābit adalah satu diantara sahabat Nabi yang dikenal
pernah mempelajari bahasa asing khususnya bahasa Siryani (Syriac) dan Ibrani. Lihat : Muhamad Ibn
Sa’d ibn Manī`, Al-Tabaqāt al-Kubrā, Tahqiq: Ihsān Abbās, Beirut, Dār Sādir, Cet. 1, 1986, Vol. II,
hlm. 358-359. Catatan lain yang cukup menarik oleh Ahmad Amīn perlu juga disampaikan disini
bahwa kemajuan peradaban yang dicapai pada era Abbasiyah sesungguhnya tidak bisa dilepaskan
dari peran Bani Umayyah sebelumnya. Bahkan Ahmad Amīn berani menyatakan bahwa seandainya
Bani Umayyah berkesempatan meneruskan dinastinya hingga masa kepemimpinan Bani Abbasiyah,
niscaya mereka akan mampu menyamai keberhasilan yang diraih oleh Abbasiyah. Lihat: Ahmad Amīn,
Dluhā al-Islām, Kairo, Maktabah Nahdlah Al-Misriyah, Vol. I, Cet. 7, hlm. 1-4.
Ibn al-Nadīm al-Baghdādi, Al-Fihrist, hlm. 303 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32)
Berasal dari bahasa Pahlavi (Persia) yang berarti daftar catatan administrasi negara. Biasanya
digunakan untuk mencatat daftar nama-nama tentara, atau orang-orang yang berhak menerima
santunan negara dll. Dalam bahasa kita barangkali maknanya dekat dengan istilah “arsip negara”.
Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh al-Islām: al-Siyāsi wa al-Dīni wa al-Tsaqāfi wa al-Ijtima`i, hlm. 282.
Buku Kalīlah wa Dimnah, diterjemahkan oleh Ibn Al-Muqaffa` dari bahasa Persia. Adapaun aslinya
ditulis menggunakan bahasa Sanskerta. Buku yang berisi tentang pelajaran-pelajaran hidup melalui
cerita hewan (fabel) ini, baik dalam bahasa aslinya maupunbahasa Persia telah hilang, meskipun
sebagiannya masih termasktub dalam buku Panca Tantra dan Mahabharata. Melalui bahasa arablah
buku ini diwariskan ke genarasi manusia berikutnya dan kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa di dunia. Lihat: M.M. Sharīf, Al-Fikr al-Islāmi, hlm.43; Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh
al-Islāmi wa al-Hadlārah al-Islāmiyah, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Vol. III, Cet.8, 1985,
hlm.241
Hippocrates (460-380 SM), seorang ahli ilmu kedokteran dari Yunani yang paling populer dan sering
digelari sebagai Bapak Kedokteran. Terdapat 80 karya di bidang medis di perpustakaan Alexandria
sejak 200 SM, yang tidak diketahui pengarangnya ditemukan kemudian dinisbatkan kepadanya. Lihat
penjelasan tentang tokoh ini dalam Al-Mawsū`ah al-`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry ( أبقراطSoftware
al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32).
Galen atau Galenos dalam bahasa Yunani (hidup sekitar 129-210 M), salah satu ahli medis yang
sangat berpengrauh dalam sejarah ilmu kedokteran. Selain mengembangkan teori-teori kedokteran
pertama yang disandarkan pada eksperimen, bukunya yang membahas tentang operasi pembedahan
juga menjadi rujukan utama. Pikiran-pikirannya tetap menjadi oegangan hingga tahun 1800 M. Lihat
penjelasan tentang tokoh ini dalam Al-Mawsū`ah al-`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry ( جالينوسSoftware
al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32).
Yang menarik, meskipun Bayt al-Hikmah memiliki peran sentral dalam perkembangan peradaban
Abbasiyah, akan tetapi informasi tentang lembaga ini belum terbilang lengkap dan masih diselimuti
berbagai misteri. Lihat pertanyaan Ahmad Amīn tentang hal ini dalam Dluhā al-Islām, Kairo, Maktabah
Nahdlah Al-Misriyah, Vol. II, Cet. 7, hlm. 61
George Modelski, World Cities: –3000 to 2000, Washington DC: FAROS 2000, 2003, sebagaimana
dikutip dalam http://en.wikipedia.org/wiki/House_of_Wisdom, diakses terakhir tanggal 24 April 2009.
Sebagaian analisis di Barat menjelaskan sebab kemunduran ini dikarenakan Al-Ma'mūn, Al-Mu'tasim
dan Al-Wātsiq beraliran teologi Mu'tazilah sedangkan Al-Mutawakkil menganut "Islam Ortodox".
Pendapat ini barangkali masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Karena pada kenyataanya, gerakan
penerjemahan itu sendiri telah dimulai sejak era al-Mansūr dan Al-Rashid yang juga bukan penganut
teologi Mu'tazila.
Dapat dilihat di beberapa halaman dan bagian buku Ibn al-Nadīm, al-Fihrist dan Ibn Abi Usaybi`ah,
`Uyūn al-Anbā’ fi Tabaqāt al-Atibbā’, (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32). Lihat
juga: The Encyclopaedia of Islam, Vol. X, h. 228.
Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-Hadlārah al-Islāmiyah, Vol. 3, hlm. 245
Jalāluddīn Al-Suyūti, Tārikh al-Khulafā, hlm. 202; Ahmad Amīn, Dluhā al-Islām, Vol. II, hlm. 11 dan
107.
Ibn al-Nadīm al-Baghdādi, Al-Fihrist, hlm 73; Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-
Hadlārah al-Islāmiyah, Vol. 3, hlm. 233
Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-Hadlārah al-Islāmiyah, Vol. 3 hlm. 240
Muhamad ibn Mūsa al-Khawārizmi, Abu Abdullah (w.232H/847M): matematikawan, astronom dan
sejarawan. Sering dijuluki sebagai “sang profesor” (al-ustādz). Pernah ditugaskan oleh Al-Ma’mūn
untuk bertanggungjawab menjaga dan memelihara koleksi buku-bukunya. Pernah juga diperintahkan
untuk mengumpulkan dan menerjemahkan sejumlah buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Hidup
hingga zaman Al-Wātsiq Billah. Diantara karyanya adalah Al-Jabr wa al-Muqābala yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Inggris, al-Tārikh, Sūrah al-Ardl min al-Mudun wa al-Jibāl,
Wasf Ifrīqiyah, Rasm al-Ma’mūr min al-Bilād. Lihat: Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām,
Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, Vol. VII, hal. 116
Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilization, Indiana & Tripoli, American Trust Publication &
Islamic Call Society, 1976, hlm. 15-16; Uraian lebih lengkap lihat: Muhamad al-Sādiq `Afīfi, Tatawwur
al-Fikr al-'Ilmi`Inda al-Muslimīn, hlm.93-106
Abu ‘Ali Muhamad ibn al-Hasan ibn Al-Haytsam (354-430H/965-1038M), seorang ahli fisika yag lahir
di Basrah. Dijuluki sebagai Ptolomeus Kedua, memeliki beberapa karya dalam bidang ilmu fisika.
Lihat: Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. VI, hal. 83;
Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilization, hlm. 16-17; Lihat pula Al-Mawsū`ah al-
`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry: ابن الهيثم
Abu Mūsā Jābir ibn Hayyān ibn `Abdullāh al-Kūfi (w.200 H/815M), seorang filosof sekaligus ahli
kimia. Menulis lebih 232 buku, atau bahkan menurut sebagian riwayat mencapai 500 buku. Sebagian
besar bukunya hilang dansebagiannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Lihat: Khayr al-Dīn
Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. II, hal. 104;
Abū Bakr Muhamad ibn Zakariya al-Rāzi (w.313H/925M), dikenal di Barat dengan sebutan Razes.
Seorang dokter yang juga ahli ilmu jiwa dan kimia. Karya nya yang paling monumental adalah Al-
Hāwi. Lihat: Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. VI, hal. 130; Al-Mawsū`ah al-
`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry: أبو بكر محمد،الرازي
Abu Yusuf Ya’qūb ibn Ishāq ibn al-Sabāh al-Kindi (w.260/874M), Seorang ilmuwan yang terkenal
dalam bisang Kedoteran, filsafat, astronomi, teknik dan musik. Karya-karyanya konon mencapai 300
buku. Lihat: Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. VIII, hal. 195; Al-Mawsū`ah al-
`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry: أبو يوسف،الكندي
Felix Klein-Frank, Al-Kindi, dalam Oliver Leaman dan Hossein Nasr, History of Islamic Philosophy,
London, Routledge, 2001, hlm. 172 sebagaimana dikutip dalam www.en.wikipedia.org/
wiki/islamic_golden_age, terakhir diakses 24 April 2009.
Abu `Ali al-Husayn ibn `Abdullah ibn Sīnā (371-428H/981-1036M), seorang filosof dan ahli
kedokteran. Salah satu buunya yang paling fenomenal al-Qānūn fī al-Tibb (the Canon of Medicine)
selam enam abad menjadi rujukan utama ilmu kedokteran di Eropa. Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-
Ziriklī, Al-A’lām, Vol. II, hal. 242
Qadri Hāfidz Tawqān, Al-`Ulūm `Inda al-`Arab, sebagaimana dikutip oleh `Abd al-Tawwāb Yūsuf, Al-
Hadlārah al-Islāmiyah bi Aqlām Gharbiyyah wa `Arabiyyah, Kairo, Al-Dār al-Misriyah al-Lubnāniyah,
Cet.2, 1996, hlm. 68
Perang Talas adalah peperangan yang terjadi pada bulan Juli tahun 751 M antara pasukan Dinasti
Abbasiyah dengan pasukan Dinasti Tang dari Cina untuk memperebutkan wilayah Syr Darya
(termasuk wilayah Kazakhtan saat ini). Selengkapnya lihat:
http://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Talas, diakses terakhir tanggal 24 April 2009.
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama lebih kurang enam abad ( 132 – 656 H/ 750-
1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-
Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-
gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya
sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya
saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah,
sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya
secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan
tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa
tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah.
Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim
melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas
yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan
Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu
ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari
kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas
oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M, Marwan bin
Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di Fustat, Mesir
pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.
oleh:Fahmi Hidayati
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Bani Abbasiyah menjadi lima periode, yaitu:
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M)
Periode ini disebut periode pengaruh Persia pertama. Pada periode ini, pemerintahan
Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-
betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.
Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai
menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus
berkembang. Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Walaupun
demikian pada periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu
stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
2. Periode Kedua (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M)
Periode ini disebut masa pengaruh Turki pertama. Untuk mengontrol kekhalifahannya
Al-Ma’mun bergantung kepada dukungan Tahir, seorang bangsawan Khurasan yang
sebagai imbalan diangkat sebagai gubernur di Khurasan (820-822) dan jenderal bagi
seluruh pasukan Abbasiyah dengan janji bahwa jabatan ini akan diwarisi oleh
keturunannya. Al-Ma’mun dan Al-Mu’tashim mendirikan dea kekuatan bersenjata
yaitu; pasukan syakiriyah yang dipimpin oleh pemimpin lokal dan pasukan Gilman
yang terdiri dari budak-budak belian Turki. Yang penting dicatat disini adalah kalau
pada masa kejayaannya bani Abbasa mendapat dukungan militer dari rakyatnya
sendiri, pada masa kemunduran ini mereka bergantung kepada pasukan asing untuk
dapat berkuasa atas rakyatnya sendiri, sehingga pemerintahan pusat menjadi
lemah. .Masa-masa berikutnya sampai kedatangan kekuatan Bani Buwaih.
3. Periode Ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M)
Periode ini adalah periode masa kekuasaaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan
khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. Abu Syuja’
Buwaih adalah seorang berkebangsaan Persia dari Dailam. Ketiga anaknya : Ali
(‘Imad al-Daulah), hasan (Rukn al-Daulah), dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah)
merupakan pendiri dinasti Bani Buwaih. Kemunculan mereka dalam panggung
sejarah Bani Abbas bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih Ali dan
Ahmad dalam pasukan Makan ibn kali dari dinasti saman, tetapi kemudian berpindah
ke kubu Mardawij. Kemudian ketiga orang bersaudara ini menguasai bagian barat dan
barat daya Persia, dan pada tahun 945, setelah kematian jenderal Tuzun (penguasa
sebenarnya atas Baghdad) Ahmad memasuki Baghdad dan memulai kekuasaan Bani
Buwaih atas khalifah Abbasiyah.
Dengan berkuasanya Bani Buwaih, aliran Mu’tazilah bangkit lagi, terutama diwilayah
Persia, bergandengan tangan dengan kaum Syi’ah. Pada masa ini muncul banyak
pemikir Mu’tazilah dari aliran Basrah yang walaupun nama mereka tidak sebesar para
pendahulu mereka dimasa kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya
yang bisa dibaca sampai sekarang. Selama ini orang mengenal Mu’tazilah dari karya-
karya lawan-lawan mereka, terutama kaum Asy’ariyah. Yang terbesar diantara tokoh
Mu’tazilah periode kebangkitan kedua ini adalah al-Qadi Abd al-jabbar, penerus
aliran Basra setelah Abu Ali dan Abu Hasyim.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/ 1194 M)
Periode ini adalah masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah atau disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua. Saljuk (Saljuq) ibn
Tuqaq adalah seorang pemimpin kaum Turki yang tinggal di Asia Tengah tepatnnya
Transoxania atau Ma Wara’ al-Nahar atau Mavarranahr. Thughril Beg, cucu Saljuq
yang memulai penampilan kaum Saljuk dalam panggung sejarah. Pada tahun
429/1037 ia tercatat sudah menguasai Merv. Kekuasaannya makin bertambah luas
dari tahun ke tahun dan pada tahun 1055 menancapkan kekuasaannya atas Baghdad.
Tughril meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan digantikan kemenakannya Alp
Arselan yang kemudian digantikan puteranya Maliksyah yang merupakan penguasa
terbesar dari dinasti Saljuk. Sesudah itu bani Saljuk mengalami kemunduran sebelum
kekuasan mereka di Baghdad pudar sama sekali pada tahun 552 H/ 1157 M. Dalam
bidang keagamaan, masa ini ditandai dengan kemenangan kaum Sunni, terutama
dengan kebijakan Nidham al-Muluk mendirikan sekolah-sekolah yang disebut dengan
namanya Madaris Nidhamiyyah. Hal lain yang perlu dicatat dari masa ini dan masa
sebelumnya adalah munculnya berbagai dinasti di dunia Islam yang menggambarkan
mulai hilangnya persatuan dunia Islam di bidang politik. Seperti dinasti Fatimiyah
lahir di Mesir (969) dan bertahan sampai tahun 1171. Dari segi budaya dan pemikiran
keagamaan, terdapat berbagai wilayah dengan pusatnya sendiri yang masing-masing
mempunyai peran sendiri dalam mengekspresikan Islam, sesuai dengan kondisi
masing-masing. Misal, Andalus dan Afrika Utara mengembangkan seni yang
mencapai puncaknya pada al-Hambra dan pemikiran filsafat denngan tokoh Ibn Tufail
dan Ibn Rusyd.
5. Periode Kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M)
Periode ini adalah masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya
hanya efektif di sekitar kota Baghdad. Sesudah Saljuk, para khalifah tidak lagi
dikuasai oleh kaum tertentu. Tetapi, negara sudah terbagi-bagi dalam berbagai
kerajaan kecil yang merdeka. Khalifah al-Nashir (1180-1255) yang berusaha untuk
mengangkat kewibawaan kekhalifahan Abbasiyah. Untuk itu ia mencari dukungan
atas kedudukannya dengan bekerja sama dengan suatu gerakan dari orang-orang yang
memuja Ali. Dari kalangan pengrajin dan pedagang meyakini Ali sebagai pelindung
korporasi. Anggota dari gerakan ini bertemu secara teratur, dan tidak jarang
melakukan latihan-latihan spiritual dibawah pimpinan seorang pir. Al-Nashir
menempatkan dirinya sebagai pelindung dari gerakan ini. Sementara itu, kekuatan
Mongol Tartar mulai merayap dari arah timur dan pada tahun 656 H/1258 H, Hulagu
dengan pasukannya memasuki Baghdad dan membunuh khalifah al-Musta’shim dan
membunuh penduduk kota ini. Mereka menjarah harta, membakar kitab-kitab dan
menghancurkan banyak bangunan. Dengan demikian berakhirlah kekhalifahan Bani
Abbas di Baghdad.