Anda di halaman 1dari 20

Bani Abbasiyah atau Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: ‫العّباسدين‬, al-Abbāsidīn) adalah

kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak).
Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat
pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan
Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan
menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada
keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-
Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim.
Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad.
Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa
Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka
bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan
memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-
dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia
kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada
Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan
bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak
menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.

Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat
tinggal di timur laut Tikrit, Iraq sekarang.

Istilah “peradaban Islam” merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah al-
Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan “kebudayaan Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah
al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang
yang mensinonimkan dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah dan culture/Inggris)
dengan “peradaban” (civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku
kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu
dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu
masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis
lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan
dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik,
ekonomi dan teknologi.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1)
wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya.
Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para
sahabat (Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat
Islam sekarang. Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah
membawa bangsa arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan di abaikan
oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju. Bahkan kemajuan Barat pada
mulanya bersumber pada peradaban islam yang masuk ke eropa melalui spanyol.
Islam memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana pernah diungkapkan
oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian dikutip M.Natsir, bahwa,
“Islam is andeed much more than a system of theology, it is a complete civilization”
(Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban
yang sempurna). Landasan “peradaban islam” adalah “kebudayaan islam” terutama
wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan islam” adalah agama. Jadi, dalam
islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (nonsamawi),
agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari
tuhan.
Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat islam
itu sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu
dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam diantaranya Umayah dan Abbasiyah,
Umayah dan Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan
ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
Dalam diskusi kali ini, saya akan membahas peradaban islam pada masa Dinasti
Abbasiyah dengan topik bahasan diantaranya, latarbelakang berdirinya kekhalifahan
Abbasiyah, kemajuan dan kemunduran pada masa ini, baik dari aspek ekonomi,
politik, dan social.

Latar Belakang Berdirinya Abbasiyah (750-847 M – 132-232 H)


Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas ditandai dengan pembangkangan yang dilakukan
oleh Dinasti Umayah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil
bergelar amir (jabatan kepala wilayah ketika itu); sedangkan disisi yang lain, ia tidak
tunduk kepada khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman al-
Dakhil terhadap Bani Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh
muawiyah terhadap Ali Ibn Abi Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani
Abbas termasuk lama, yaitu sekitar lima abad.
Abu al-Abbas al-Safah (750-754 M) adalah pendiri dinasti Bani Abbas. Akan tetapi
karena kekuasaannya sangat singkat, Abu ja’far al-Manshur (754-775 M) yang
banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti Bani Abbas. Pada tahun 762
M, Abu ja’far al-Manshur memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah,
kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibukota
Persia. Oleh karena itu, ibukota pemerintahan Dinasti Bani Abbas berada di tengah-
tengah bangsa Persia.
Abu ja’far al-Manshur sebagai pendiri muawiyah setelah Abu Abbas al-Saffah,
digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas, ditangannyalah Abbasiyah
mempunyai pengaruh yang kuat. Pada masa pemerintahannya Baghdad sangatlah
disegani oleh kekuasaan Byzantium.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, melanjutkan kekuasaan
dinasti Umayah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa
dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H
(1258 M).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, social dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan dan
pola politik itu para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas
menjadi lima periode :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki
pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani
sejak dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.

Kemajuan Dinasti Bani Abbas


Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikenal dengan fase pendirian,
fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan kehancuran. Akan tetapi
durasi dari masing-masing fase itu berbeda-beda karena bergantung pada kemampuan
penyelenggara pemerintahan yang bersangkutan.
Pada masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan dari beberapa
bidang, diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial. Pada masing-
masing bidang memiliki kelebihan dan kekurangan.
1. Bidang Politik
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Gerakan-gerakan ini seperti sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas,
revolusi al-khawarij di Afrika utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah dan
konflik antar bangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
2. Bidang Ekonomi
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai nmeningkat dengan peningkatan di sector
pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas,
tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara timur dan barat juga banyak
membawa kekayaan. Bahsrah menjadi pelabuhan yang penting.

3. Bidang Sosial

Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-


Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang banyak
di manfaatkan Harun Al-Rasyid untuk keperluan social. Rumah sakit, lembaga
pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak
800 orang dokter. Disamping itu pemandian-pemandian juga dibangun. Tingkat
kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini, kesejahteraan
social, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan
berada pada zaman keemasannya.
Pemerintahan bani Umayah adalah pemerintahan yang memiliki wibawa yang besar
sekali, meliputi wilayah yang amat luas, mulai dari negeri sind dan berakhir di negeri
Spanyol. Ia demikian kuatnya sehingga apabila seseorang menyaksikannya, pasti akan
berpendapat bahwa usaha mengguncangkannya adalah sesuatu yang tidak mudah bagi
siapapun. Namun jalan yang ditempuh oleh pemerintahan Bani Umayyah, meskipun
ia dipatuhi oleh sejumlah besar manusia yang takluk kepada kekuasaannya, tidak
sedikitpun memperoleh penghargaan dan simpati dalam hati mereka. Itulah sebabnya
belum sampai berlalu satu abad dari kekuasaan mereka, kaum Bani Abbas berhasil
menggulingkan singgasananya dan mencampakannya dengan mudah sekali. Dan
ketika singgasana itu terjatuh, demikian pula para rajanya, tidak seorangpun yang
meneteskan air mata menangisi mereka.
Adapun penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya Khilafah Bani Abbas ialah
karena mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada umumnya, bahwa Bani
Abbas adalah keluarga yang paling dekat kepada Nabi saw, dan bahwasanya mereka
akan mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah rasul dan menegakkan syari’at Allah.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu
al Abbas dan Abu ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada
pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M),
Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M),
al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Kalifah Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang mencintai seni dan ilmu. Ia
banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan kalangan ilmuwan dan
mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap seni.
Al-Rasyid mengembangkan satu akademi Gundishapur yang didirikan oleh
Anushirvan pada tahun 555 M. pada masa pemerintahannya lembaga tersebut
dijadikan sebagai pusat pengembangan dan penerjemahan bidang ilmu kedokteran,
obat dan falsafah.
Dari gambaran diatas terlihat bahwa, Dinasti Bani Abbas pada periode pertama lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan
wilayah. disinilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Kehancuran Dinasti Bani Abbas
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi
berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti
islam berdiri. Ada diantaranya dinasti yang cukup besar, namun yang terbanyak
adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali,
tetapi hanya di Baghdad sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini
menunjukan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan
yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal
babak baru dalam sejarah islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak
periode kedua, namun demikian factor-faktor penyebab kemunduran itu tidak dating
secara tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah
pada saat periode ini sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam
sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para mentri
cenderung berperan sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan
berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing factor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang
Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada
masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-saama tertindas. Setelah khilafah
Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.
Menurut Stryzewska,11 ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang
Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk
melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Ashabiyyah
kesukuan. Dengan demikian, khilafah Abbasiyyah tidak ditegakkan di atas
`ashabiyyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan
sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab
beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa
dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat luas, meliputi
berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan
India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak
ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan
kuat.12 Akibatnya, disamping Fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-
bangsa lain yang melahirkan gerakan syu`ubiyah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah
adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas
politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil, seorang khlaifah yang lemah, naik tahta,
dominasi tentara turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini
kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga dan
selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.

2. Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani
Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang
keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar
diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun,
sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu
disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi
kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar
upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan
para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan
para pejabat melakukan korupsi.

3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita
orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini
dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut para khalifah dan orang-
orang yang beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik diantara
keduanya, mulai polemik tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata
yang menumpahkan darah dari kedua belah pihak.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran
Syi`ah, sehingga banyak aliran syi`ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan dianggap
menyimpang oleh penganut Syi`ah sendiri. Aliran Syi`ah memang dikenal sebagai
aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan faham Ahlussunnah wal Jama`ah.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan
zindik atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam.
Mu`tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan
salaf.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh
perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal
abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang
mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan
yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam
lingkungan pengetahuan manusia…soal kehendak bebas manusia …telah
menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam…pendapat bahwa rakyat dan kepala
agama mustahil berbuat salah mustahil berbuat salah…menjadi sebab binasanya jiwa-
jiwa berharga”.

4. Ancaman dari luar


Apa yang disebutkan di atas adalah factor-faktor internal. Disamping itu, ada pula
factor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan
menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan
Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk
ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya.
Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang
berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen
Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan dengan Perang
Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.13
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa
Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak
dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di
kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-
pusat Islam, ikut memperbaiki yerussalem.
Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah, yakni
kalangan elite imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong
kehancuran dan transformasi imperium tersebut. Bahkan kemerosotan Abbasiyah
telah berlangsung disaat berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini sedang
memperkuat militernya dan institusi pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah
kemajuan ekonomi dan kultur, terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya
mengharubirukan nasib imperium Abbasiyah.
Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi
sangat kritis. Harun telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada putra mertuanya, al-
Amin, dan kepada putranya yang lebih muda yang bernama al-Makmun, seorang
gubernur Khurasan dan orang yang berhak menjabat tahta khilafah sepeninggal
kakaknya. Setelah kematian Harun, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan
menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang
sipil. Al-amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun
harus berjuang untuk memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan
dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-makmun berhasil mengalahkan saudara
tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada tahun 813. Namun peperangan sengit
tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan juga
melemahkan warga iraq dan sejumlah propinsi lainnya.
Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang tidak
mau berdamai dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan tersebut bertujuan
untuk mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan menguasai seluruh urusan
keagamaan. Kebijakan ini, sebagaimana yang telah kita lihat, tidak membawa hasil
dan gagal. Kebijakan ini justru menghilangkan dukungan masyarakat umum terhadap
sang khalifah.Al-Makmun juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk menguasai
kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun menggantungkan dukungan seorang
panglima khurasan, yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan sebagai gubernur
khurasan (820-822) dan menjadi jenderal militer Abbasiyah diseluruh imperium dan
disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya,
selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara konsesi atas sebuah jabatan
gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah untuk menyatukan
sebuah wilayah propinsi besar menjadi sebuah system pemerintahan politik yang
memusat ditangan pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit
dibawah arahan khalifah tidak akan terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai
oleh sebuah persekutuan khalifah dengan kuasa gubernuran besar.14

DAFTAR PUSTAKA

Abul a ‘la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah
Pemerintahan Islam, (Bandung, Mizan, 1998)

Badri Yatim, Dr., MA., Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT.
Grafindo Persada, 2006)

Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung, Mizan,


1995)

Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam,(Jakarta : Rajawali Pers 1999)

Jaih Mubarok, Dr., M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani
Quraisyi, Cet. 1, 2004)

John L. Esposito (ed), The Oxpord History of Islam, (New York, Oxpord University
Press 1999)

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Gramedia,


Jakarta,1985)

M.Natsir, Capita Selecta, NV Penerbitan W. van Hoeve, tanpa tahun

Philip K. Hitti, History of The Arabs (London : Mac Millan, 1970)

W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta : P3M, 1988)

PENDAHULUAN

Meski terdapat sejumlah perbedaan, para ahli sejarah banyak yang membagi periodisasi
sejarah peradaban Dinasti Abbasiyah yang berumur sekitar lima ratus tahun (750-1258 M / 132-656
H) ke dalam dua periode utama. Periode pertama, berlangsung antara tahun 750-945M/132-334H,
dimana pada masa itu Dinasti Abbasiyah memiliki otoritas politik yang sangat kuat dan kemudian
mampu melahirkan sebuah kemajuan peradaban yang disebut-sebut sebagai ”Era Keemasan” (the
Golden Age). Akan tetapi periode ini juga sekaligus mencatat munculnya benih-benih kemunduran
dan kelemahan politik yang terjadi di paruh akhir masa ini

.
Sedangkan periode kedua (945-1258M) adalah rentang waktu dimana Dinasti Abbasiyah
secara faktual mengalami kemunduran politik dan para khalifah kehilangan otoritas kekuasaanya
terhadap sejumlah wilayah dibarengi dengan lahirnya negara-negara kecil (duwaylāt) yang
memerdekakan diri. Karakteristik lain dari periode ini adalah masih terlihatnya sisa-sisa pengaruh
kemajuan peradaban Islam era keemasan yang terwujud dalam perkembangan berbagai disiplin
keilmuan (`ulūm), pembangunan (`umrān), tercapainya kesejahteraan, hingga pada level berikutnya
yang bersifat negatif yakni menggejalanya gaya hidup bermewahan (taraf). Periode Dinasti Abbasiyah
ini berakhir pada tahun 1258 M ketika Baghdad jatuh ke tangan bangsa Mongol di bawah komando
Hulagu Khan.

Pembagian sejarah Abbasiyah sebagaimana model di atas, meski diakui oleh beberapa
kalangan -seperti Eric Hanne sendiri- kurang tepat, ternyata mampu mempengaruhi nature atau gaya
studi modern terhadap Dinasti Abbasiyah, dimana mayoritas fokus kajiannya lebih banyak
dititikberatkan pada periode pertama.

Makalah ini, dengan mengenyampingkan periodisasi seperti diatas, secara spesifik akan
membahas dan memilah era kemajuan ilmu dan peradaban yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah,
sekaligus menelisik proses kejatuhannya dilengkapi dengan ulasan sejumlah faktor yang
menyebabkannya.

LATAR BELAKANG KEMAJUAN PERADABAN

Selama beberapa dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Dinasti Abbasiyah
berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas wilayah-wilayah yang mereka
kuasai. Era kepemimpinan khalifah kedua, Abū Ja`far ibn `Abdullāh ibn Muhamad Al-Mansūr (137-
158H/754-775M), menjadi titik yang cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia
mengambil dua langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya. Yaitu; Pertama, menyingkirkan para
musuh maupun bakal calon musuh (potential and actual rivals) serta menumpas sejumlah perlawanan
lokal di beberapa wilayah kedaulatan Abbasiyah; Kedua, meninggalkan Al-Anbār dan membangun
Baghdad sebagai ibukota baru, yang beberapa saat kemudian menjadi lokus aktivitas ekonomi,
budaya dan keilmuan dunia Muslim saat itu.

Langkah-langkah penting yang diambil Al-Mansūr tersebut dan efek besar yang
ditimbulkannya terhadap perkembangan Dinasti Abbasiyah pada masa-masa berikutnya menjadikan
para sejarahwan kemudian menganggapnya sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah yang sebenarnya (al-
muassis al-haqīqi li al-dawlah al-`Abbasiyah).

Selain figur politiknya yang begitu kuat dan dominan, Al-Mansūr juga dikenal memiliki
perhatian cukup besar terhadap ilmu pengetahuan, bahkan sejak masa mudanya atau sebelum
menjadi seorang khalifah. Gerakan penerjemahan yang kemudian menjadi salah satu ’ikon’ kemajuan
peradaban Dinasti Abbasiyah juga tidak lepas dari peranan Al-Mansūr sebagai khalifah pertama yang
mempelopori gerakan penerjemahan sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban pra-Islam.

Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf) dan kodifikasi (tadwīn) ilmu tafsir, hadits,
fiqh, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan di era Al-Mansūr pula. Konon,
sebelum masa itu, para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan
lembaran-lembaran yang belum tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanūji secara
tegas menyebut Al-Mansur sebagai khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap
ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya terabaikan oleh para khalifah Bani Umayyah.

Namun betapapun pentingnya peranan Al-Mansūr, kemajuan peradaban yang dicapai oleh
Dinasti Abbasiyah pada hakekatnya tidak datang dari ruang hampa, melainkan pada titik yang paling
penting merupakan buah dari pengaruh konsep-konsep dalam ajaran Islam itu sendiri. Hal ini diakui
pula oleh beberapa penulis Barat semisal Vartan Gregorian dalam bukunya Islam: A Mosaic, Not a
Monolith.

Kesimpulan tersebut jika ditilik dari perspektif kajian sejarah peradaban berkesesuaian
dengan teori yang menyatakan bahwa semangat yang dibawa oleh konsep keagamaan (al-fikrah al-
dīniyyah) merupakan élan vital dan menjadi unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban.

Di samping itu, faktor lain yang secara lebih lanjut turut mempengaruhi kemajuan peradaban
Dinasti Abbasiyah adalah interaksi masif kaum muslimin era Abbasiyah dengan komunitas-komunitas
masyarakat di beberapa wilayah yang sebelumnya telah menjadi pusat warisan pemikiran dan
peradaban Yunani seperti Alexandria (Mesir), Suriah, serta wilayah Asia Barat, khususnya Persia.
Singkat kata, tidak lama setelah berdirinya, Dinasti Abbasiyah dengan cepat telah mampu
menciptakan sebuah kemajuan ilmu dan peradaban yang menurut Dr. Ahmad Shalabi terwujud dalam
tiga sektor yaitu menggeliatnya gerakan penulisan buku (harakat al-tasnīf), kodifikasi dan
sistematisasi ilmu-ilmu keislaman, serta menjamurnya gerakan penerjemahan (harakat al-tarjamah)
secara masif. Selain tiga hal di atas dapat ditambahkan pula perkembangan ilmu sains yang
melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan legendaris yang diakui tidak saja di dunia Muslim tetapi juga oleh
kalangan akademisi Barat.

GERAKAN PENERJEMAHAN DI ERA ABBASIYAH

Berbicara mengenai gerakan penerjemahan yang terjadi di Era Abbasiyah sebenarnya tidak
bisa dilepaskan dari upaya-upaya penerjemahan yang pernah dilakukan pada masa Dinasti Bani
Umayyah. Saat itu, usai penaklukan besar-besaran yang merambah wilayah-wilayah di tiga benua,
serta pada saat keamanan politik dalam negeri relatif stabil, sebuah upaya penerjemahan telah
dilakukan meski dalam skala kecil.

Sebagaimana diceritakan oleh para sejarahwan, Khālid ibn Yazīd ibn Mu’awiyah pernah
memerintahkan dihadirkannya sejumlah filosof Yunani yang bermukim di Mesir dan menguasai bahasa
Arab untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Mesir Kuno (Qibti), khususnya yang
terkait dengan ilmu medis dan kimia, ke dalam bahasa Arab. Selain itu, pada masa `Abdul Mālik ibn
Marwān dan Al-Walīd ibn `Abdul Malik itu juga telah dilakukan penerjemahan dīwān dari bahasa
aslinya, baik bahasa Pahlavi-Persia, Yunani maupun Mesir Kuno ke dalam bahasa Arab.

Berbeda dengan upaya penerjemahan di masa Dinasti Umayyah yang berskala kecil atau
bahkan bersifat individual, gerakan penerjemahan di Era Abbasiyah, didukung oleh para khalifah
yang rata-rata memiliki kecenderungan keilmuan dan ketertarikan terhadap pengetahuan dari Yunani
maupun Persia. Para khalifah seperti Al-Mansūr misalnya, selalu mendorong para ilmuwan dari
berbagai disiplin ilmu dengan tanpa membedakan agama maupun bangsa mereka, untuk
menerjemahkan buku-buku sains, filsafat dan sastra dari bahasa asing ke dalam Bahasa Arab. Di era
Al-Mansūr ini muncul tokoh penerjemah di bidang sastra seperti `Abdullāh Ibn Al-Muqaffa` (757 M),
seorang Majusi yang kemudian memeluk Islam, yang menerjemahkan buku Kalīlah wa Dimnah, serta
Hunayn Ibn Ishāq yang menerjemahkan buku-buku medis karya Hippocrates dan Galen.

Pada era Hārūn al-Rashīd (170-194 H) para cendekiawan dan ilmuwan semakin banyak yang
berdiam di Baghdad. Sang Khalifah-pun mendirikan Bayt al-Hikmah, laiknya sebuah akademi ilmiah
yang menjadi pusat aktivitas keilmuan mulai dari penelitian penerjemahan sekaligus perpustakaan.
Lembaga ini kemudian dikembangkan oleh Al-Ma’mūn dan mencapai puncaknya pada masa itu
dibawah tanggungjawab Hunayn Ibn Ishāq. Al-Ma'mun juga menambahkan bangunan khusus sebagai
sebuah observatorium untuk penelitian astronomi ke Bayt al-Hikmah.

Bayt al-Hikmah-pun menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual yang tidak tertandingi
dimana penelitian ilmu-ilmu sosial maupun sains, meliputi metematika, astronomi, kedokteran, kimia,
zoologi, geografi dan lain-lain dilakukan. Melalui lembaga ini pula berbagai buku penting (ummahāt
al-kutub) warisan peradaban pra-Islam (Persia, India dan Yunani) diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, seperti buku-buku Pythagoras, Plato, Aristoteles, Hippocrates, Euclid, Plotinus, Galen, Sushruta,
Charaka, Aryabhata maupun Brahmagupta. Maka tidak heran jika Philip K. Hitti menyatakan bahwa
Bayt al-Hikmah merupakan lembaga keilmuan paling penting yang pernah dibangun peradaban
manusia setelah Perpustakaan Alexandria yang didirikan sekitar paruh pertama abad ketiga sebelum
Masehi. Dengan gerakan penerjemahan ini Baghdad menjadi sebuah kota yang mengoleksi berbagai
karya keilmuan yang sangat agung. Bersamaan dengan itu Baghdad juga menjadi kota besar paling
kaya dan mempunyai populasi tertinggi mencapai satu juta jiwa.

Popularitas Bayt al-Hikmah ini terus berlangsung sampai kepemimpinan Al-Mu`tasim


(berkuasa 833-842M) dan Al-Wātsiq (berkuasa 842-847M), tetapi mulai tenggelam dan mengalami
kemunduran pada masa kekuasaan Al-Mutawakkil (847-861M).

Satu hal yang menarik untuk dicatat bahwa mayoritas para penerjemah buku-buku kuno ke
dalam bahasa Arab tersebut berasal dari warga non muslim (ahl al-dzimmah) seperti Yohana ibn
Māsawayh, Hunayn ibn Ishāq, Ishāq ibn Hunayn, Hubaysh ibn al-A`sam, Tsābit ibn Qarrah al-Sābi’i,
Yahya ibn al-Bitrīq, Iqlīdis ibn Nā`imah, Zarūbā ibn Mājwah al-Himsi, Āwī ibn Ayyub, Qustā ibn Lūqā,
Astufun ibn Bāsīl, Salībā Ayyūb al-Rahāwi, Dārī` al-Rāhib dan lain-lain masih banyak lagi.

Catatan menarik lainnya, bahwa gerakan penerjemahan ini ternyata tidak hanya menjadi
perhatian pemerintah dan para khalifah sahaja, melainkan juga oleh para pribadi dari kalangan elit
semisal Banū Shākir yang juga mengelola penerjemah-penerjemah handal yang bekerja siang malam
untuk mereka. Keluarga elit lain diceritakan bahkan sangat getol mengeluarkan harta berlimpah untuk
membayar para penerjemah mereka, seperti dilakukan oleh Banū Al-Munajjim yang berani membayar
500 dinar kepada para penerjemah tiap bulannya sebagai upah penerjemahan penuh waktu (li al-naql
wa al-mulāzamah).

KEMAJUAN ILMU-ILMU AGAMA

Selain gerakan penerjemahan, kemajuan ilmu dan peradaban Era Abbasiyah juga ditandai
dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman, ilmu sosial dan sains. Di bidang ilmu-ilmu agama, Era
Abbasiyah mencatat dimulainya sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits dan
Fiqh. Khususnya sejak tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam bentuknya yang
sisitematis baik di bidang ilmu Tafsir, Hadits maupun Fiqh.

Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah adalah Ibn Jurayj (w. 150 H) yang menulis
kumpulan haditsnya di Mekah, Mālik ibn Anas (w. 171) yang menulis Al-Muwatta' nya di Madinah, Al-
Awza`i di wilayah Syam, Ibn Abi `Urūbah dan Hammād ibn Salāmah di Basrah, Ma`mar di Yaman,
Sufyān al-Tsauri di Kufah, Muhamad Ibn Ishāq (w. 151H) yang menulis buku sejarah (Al-Maghāzi),
Al-Layts ibn Sa’ad (w. 175H) serta Abū Hanīfah.

Pada masa ini ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu Hadits. Buku tafsir
lengkap dari al-Fātihah sampai al-Nās juga mulai disusun. Menurut catatan Ibn al-Nadīm yang
pertama kali melakukan penyusunan tafsir lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyād al-Daylamy atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farrā. Tapi luput dari catatan Ibn al-Nadīm bahwa `Abd al-
Razzāq ibn Hammam al-San`āni (w.211 H) yang hidup sezaman dengan Al-Farā juga telah menyusun
sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa.

Ilmu Fiqh pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh yang disebut
sebagai empat imam mazdhab fiqh hidup pada era tersebut, yaitu Abu Hanīfah (w.150 H), Mālik ibn
Anas (w.179H), Al-Shāfi`i (w.204) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 241H).

Tidak jauh berbeda dengan perkembangan yang dialami oleh ilmu Tafsir dan ilmu Fiqh, ilmu
Hadits juga mengalami masa penting khususnya terkait dengan sejarah penulisan hadits-hadits Nabi
yang memunculkan tokoh-tokoh yang telah disebutkan diatas seperti Ibn Jurayj, Mālik ibn Anas, juga
al-Rabī` ibn Sabīh (w.160) dan Ibn Al-Mubārak (w. 181 H).

Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru penulisan hadits Nabi
dalam bentuk musnad. Diantara tokoh yang menulis musnad antara lain Ahmad ibn Hanbal,
`Ubaydullah ibn Mūsa al-`Absy al-Kūfi, Musaddad ibn Musarhad al-Basri, Asad ibn Mūsā al-Amawi dan
Nu`aym ibn Hammād al-Khuzā`i.

Perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era Abbasiyah, yaitu mulai pada
pertengahan abad ketiga, muncul trend baru yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah
penulisan hadits, yaitu munculnya kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan
penelitian dan pemisahan hadits-hadits sahīh dari yang dla`īf sebagaimana dilakukan oleh Al-Bukhari
(w.256), Muslim (w.261), Ibn Mājah (w.273), Abu Dāwud (w.275), Al-Tirmidzi (w. 279), serta Al-
Nasā’i (w.303).

Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup signifikan pada era
Abbasiyah adalah ilmu sejarah, yang awal penulisannya dilakukan oleh Ibn Ishāq (w. 152) dan
kemudian diringkas oleh Ibn Hisyām (w. 218). Selanjutnya muncul pula Muhamad ibn `Umar al-
Wāqidi (w. 207) yang menulis buku berjudul Al-Tārīkh al-Kabīr dan Al-Maghāzi. Buku yang pertama
dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam oleh sejarahwan Al-Tabari (838-923M). Sejarahwan
lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad ibn Sa’ad (w.230 H) dengan Al-Tabaqāt al-
Kubrā-nya serta Ahmad Ibn Yahya al-Balādhuri (w.279) yang menulis Futūh al-Buldān.

KEMAJUAN SAINS DAN TEKNOLOGI

Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di Era Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu-
ilmu agama atau yang biasa diistilahkan dengan `ulūm naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan
kemajuan ilmu-ilmu sains dan teknologi (`ulūm aqliyah).
Bahkan jika dicermati, kemajuan sains di dunia Islam mendahului perkembangan ilmu
filsafat yang juga berkembang pesat di era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari
kecenderungan bangsa Arab saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang
memiliki implikasi kemanfaatan secara langsung bagi kehidupan mereka (dzāt al-atsar al-māddi fī
hayātihim) dibanding buku-buku olah pikir (filsafat).

Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak memberikan sumbangan besar kepada
peradaban manusia modern dan sejarah ilmu pengetahun masa kini. Dalam bidang matematika
misalnya, ada Muhamad ibn Mūsa al-Khawārizmi sang pencetus ilmu algebra. Algoritma, salah satu
cabang matematika bahkan juga diambil dari namanya.

Astronomi juga merupakan ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslim era
Abbasiyah dan didukung langsung oleh Khalifah Al-Mansūr yang juga sering disebut sebagai seorang
astronom. Penelitian di bidang astronomi oleh kaum muslimin dimulai pada era Al-Mansūr ketika
Muhamad ibn Ibrāhīm al-Fazāri menerjemahkan buku "Siddhanta" (yang berarti Pengetahuan melalui
Matahari) dari bahasa Sanskerta ke bahasa Arab.

Pada era Hārūn al-Rashīd dan Al-Ma’mūn sejumlah teori-teori astronomi kuno dari Yunani
direvisi dan dikembangkan lebih lanjut. Tokoh astronom muslim yang terkenal pada era Abbasiyah
antara lain Al-Khawārizmi, Ibn Jābir Al-Battāni (w. 929), Abu Rayhān al-Biruni (w.1048) serta Nāsir
al-Dīn al-Tūsi (w.1274).

Sedangkan Ilmu fisika telah dikembangkan oleh Ibn Al-Haytsam atau yang dikenal di Barat
dengan sebutan Alhazen. Beliau pula yang memegembangkan teori-teori awal metodologi sains
ilmiyah melalui eksperimen (ujicoba). Untuk itu beliau diberi gelar sebagai the real founder of physics.
Ibn al-Haytsam juga dikenal sebagai bapak ilmu optic, serta penemu teori tentang fenomena pelangi
dan gerhana.

Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal Jābir ibn Hayyān (atau
Geber di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain itu ada Abu Bakr Zakariya al-Rāzi
yang pertama kali mampu menjelaskan pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol. Dari
para pakar kimia muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti Roger Bacon yang memperkenalkan
metode empiris ke Eropa dan Isaac Newton banyak belajar.

Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi yang pertama kali
mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika dalam dunia medis dan farmakologi.
Atau juga Al-Rāzi yang menemukan penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi, Ibn Sina dan lain-lain.
Disebutkan pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era Abbasiyah,
bahwa pada zaman Khalifah Al-Muqtadir Billah (907-932M/295-390H) terdapat sekitar 860 orang
yang berprofesi debagai dokter.

Di samping kemajuan beberapa disiplin ilmu sains sebagaimana yang telah dipaparkan di
atas umat Islam Era Abbasiyah juga mengalami kemajuan ilmu dibidang ilmu lainnya seperti biologi,
geografi, arsitektur dan lainnya yang tidak dapat dijeleaskan seluruhnya dalam makalah ini.

Era Keemasan Dinasti Abbasiyah juga mencatat penemuan-penemuan dan inovasi penting
yang sangat berarti bagi manusia. Salah satu diantaranya adalah pengembangan teknologi
pembuatan kertas. Kertas yang pertama kali ditemukan dan digunakan dengan sangat terbatas oleh
bangsa China berhasil dikembangkan oleh umat Muslim Era Abbasiyah, setelah teknologi
pembuatannya dipelajari melalui para tawanan perang dari Cina yang berhasil ditangkap setelah
meletusnya Perang Talas. Setelah itu kaum Muslim berhasil mengembangkan teknologi pembuatan
kertas tersebut dan mendirikan pabrik kertas di Samarkand dan Baghdad. Hingga pada tahun 900 M
di Baghdad terdapat ratusan percetakan yang mempekerjakan para tukang tulis dan penjilid untuk
membuat buku. Perpustakaan-perpustakaan umum saat itu mulai bermunculan, termasuk
perpustakaan peminjaman buku pertama sepanjang sejarah. Dari Baghdad teknologi pembuatan
kertas kemuddian menyebar hingga Fez dan ahirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia pada abad
13M.

PENUTUP

Setelah pemaparan singkat mengenai sejarah Dinasti Abbasiyah, khususnya terkait


kemajuan ilmu dan peradaban serta masa-masa kemunduran dan kehancurannya di atas dapat ditarik
beberapa kesimpulan antara lain bahwa sejarah peradaban Islam, melalui Dinasti Abbasiyah, telah
berhasil menciptakan sebuah peradaban agung yang mampu menampilkan kemajuan-kemajuan baik
di bidang ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu sains yang kemudian disumbangkan bagi peradaban
manusia dan diwarisi oleh pemegang tampuk peradaban modern yaitu Barat.

Unsur paling penting dari kemajuan peradaban yang dibangun oleh umat Muslim Era
Abbasiyah tersebut adalah al-fikrah al-dīniyah, yang dalam konteks ini adalah nilai-nilai dan konsep-
konsep yang bermuara kepada sumber agama Islam itu sendiri yaitu wahyu. Unsur ini ditopang oleh
unsur-unsur penunjang lainnya yaitu sumberdaya manusia yang direpresentasikan utamanya oleh
para khalifah serta tokoh-tokoh ilmuan saat itu, serta ruang dan waktu yang mewujud dalam rentang
sejarah yang berlaku. .

[insya Allah to be completed]

Alumnus Jurusan Dakwah dan Peradaban di The Faculty of Islamic Call, Tripoli, Libya (th. 2004). Saat
ini masih menempuh pendidikan S2 (magister) di Universitas Ibn Khaldun, Bogor, Konsentrasi
Pendidikan dan Pemikiran Islam.

Dinasti sendiri berasal dari bahasa Inggris “dynasty” yang berarti a line of hereditary rulers. a
succession of powerful or prominent people from the same family. Lihat : Software Concise Oxford
Dictionary, Oxford University Press, Edisi 10.

Bernard Lewis, ‘AbbÉsid, dalam E. Van Donzel et. al. (Ed.), The Encyclopaedia of Islam, Leiden, E.J.
Brill, 1997, Vol. I, h. 17; Eric Hanne, ‘Abbasids, dalam Josef W. Meri (Ed.), Medieval Islamic
Civilization: An Encyclopaedia, New York & London, Routledge, 2006, Vol. I, hlm. 1; Ahmad Ma`mūr
al-`Usayri, Mūjaz al-Tārikh al-Islāmi, Damām, Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, Cet. 3, 2004,
hlm. 166. Meski sepakat dengan pembagian dua periode sebagaimana dua sumber sebelumnya,
namun al-`Usayri memberi tahun yang berbeda untuk masing-masing perode. Dalam pandangannya,
periode pertama berlangsung antara tahun 749-861 M / 132-247 H, sedangkan periode kedua
berlangsung antara tahun 861-1258 M/247-656 H.

Eric Hanne, `Abbasids, hlm. 1

Diantara pemberontakan yang ditumpas oleh Al-Mansūr adalah pemberontakan pamannya sendiri
`Abdullah ibn `Ali yang mengklaim bahwa dirinya lebih berhak menjadi khalifah. Juga pemberontakan
Abū Muslim Al-Khurasāni, pemberontakan Muhamad ibn Ibrāhīm dan kelompok Khawārij. Lihat:
Ahmad Ma`mūr al-`Usayri, Mūjaz al-Tārikh al-Islāmi, hlm. 170-171

Sebuah kota kecil di Irak, di tepi sungai Euphrat, berjarak sekitar 10 atau 13 farsakh sebelah barat
Baghdad.. Nama yang sama juga dipakai untuk sebuah kota di Iran dekat Balkh, Jawzjān, Khurāsan.
Lihat: Muhamad Ibn `Abd al-Mun`im al-Himyari, Al-Rawdl al-Mi`tār fī Khabar al-Aqtār, Tahqiq: Ihsān
`Abbās, Beirut, Muassasah Nāsir li al-Tsaqāfah, Cet.2, 1980, hlm. 36; Yāqūt al-Hamawi, Mu’jam al-
Buldān, Vol. I, hlm.174 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32).

Ahmad Ma`mūr al-`Usayri, Mūjaz al-Tārikh al-Islāmi, hlm. 170; Karl Brockelman, Tārikh al-Shu’ūb al-
Islāmiyah, diterjemahkan dari aslinya ke dalam bahasa Arab oleh Naīh Amīn Fāris dan Munīr al-
Ba’albaki, Beirut, Dār al-`Ilm li al-Malāyīn, Cet. 5, 1968, hlm.175

Lihat misalnya contoh cerita perhatian Al-Mansūr terhadap ilmu dalam Jalāluddīn Al-Suyūti, Tārikh al-
Khulafā, Tahqīq: Ahmad Ibrāhīm Zahwah & Sa`īd Ibn Ahmad al-`Aidrūsi, Beirut, Dār al-Kitāb al-
`Arabi, 2006. hlm. 203

Dr. Muhamad al-Sādiq `Afīfi, Tatawwur al-Fikr al-'Ilmi`Inda al-Muslimīn, Kairo, Maktabah al-Khānji,
1976-1977, hlm. 37; The Encyclopaedia of Islam, Vol.X, hlm. 226; Lihat juga: Hāji Khalīfah, Kashf al-
Dzunūn, bab. `Ilm Al-Hikmah, vol. I, hlm 676 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32),
Ibn al-Nadīm al-Baghdādi, Al-Fihrist, hlm. 304 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32)

Jalāluddīn Al-Suyūti, Tārikh al-Khulafā, hlm. 202

Siddīq Ibn Hasan al-Qannūji, Abjad al-`Ulūm al-Washi al-Marqūm fī Bayān Ahwāl al-`Ulūm, Vol. I,
hlm.179 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32)

Vartan Gregorian, Islam : A Mosaic, Not a Monolith, Brookings Institution Press, 2004, dapat juga
dilihat di http://books.google.co.id/books?
id=KccU9Kkt320C&pg=PA26&lpg=PA26&dq=&source=bl&ots=JHwM1crur3&sig=SZVYrDDM-
O2XmhtPO5m8ZF3NR3s#PPA29,M1, diakses terakhir tanggal 8 April 2009
Ibn Khaldūn adalah ahli sejarah pertama yang mencetuskan teori ini, yang kemudian diikuti oleh
pakar sejarah perdaban seperti Arnold Toynbee dan Mālik Ben Nabi. Lihat: Sulaymān al-Khatīb, Usus
Mafhūm al-Hadlārah fī al-Islām, Kairo, Al-Zahrā’ li al-I`lām al-`Arabi, Cet.I, 1986, hlm. 73-80

M.M. Sharīf, Al-Fikr al-Islāmi: Manābi`uhu wa Ātsāruhu, diterjemahkan dan dikomentari serta diberi
beberapa tambahan oleh oleh Dr. Ahmad Shalabi dari buku aslinya berjudul Islamic Thought: It’s
Origin and Achievements, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Cet. 8, 1986, hlm.37; Lihat juga:
Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh al-Islām: al-Siyāsi wa al-Dīni wa al-Tsaqāfi wa al-Ijtima`i, Beirut-Kairo,
Maktabah Al-Jīl & Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Vol. II, Cet. 14, 1996, hlm. 282. Perlu digaris
bawahi di sini bahwa Dinasti Abbasiyah memiliki satu karakteristik yang berbeda dengan Dinasti Bani
Umayyah. Jika Dinasti Bani Umayyah selama sejarahnya cenderung memiliki warna yang relatif
homogen, maka sebaliknya, Dinasti Abbasiyah sejak awal sejarah berdirinya lebih berwarna
heterogen dengan banyak melibatkan orang-orang Persia yang memiliki tradisi dan warisan
kebudayaan masa lalu mereka sendiri, disamping bangsa Arab dalam menjalankan roda kekuasaan.

Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-Hadlārah al-Islāmiyah, Kairo, Maktabah al-
Nahdlah al-Misriyah, Vol. III, Cet.8, 1985, hlm.229

Jika ingin dilihat lebih jauh sebenarnya benih-benih gerakan penerjemahan bisa dilacak pada zaman
Rasulullah. Dengan perintah beliau, Zayd Ibn Tsābit adalah satu diantara sahabat Nabi yang dikenal
pernah mempelajari bahasa asing khususnya bahasa Siryani (Syriac) dan Ibrani. Lihat : Muhamad Ibn
Sa’d ibn Manī`, Al-Tabaqāt al-Kubrā, Tahqiq: Ihsān Abbās, Beirut, Dār Sādir, Cet. 1, 1986, Vol. II,
hlm. 358-359. Catatan lain yang cukup menarik oleh Ahmad Amīn perlu juga disampaikan disini
bahwa kemajuan peradaban yang dicapai pada era Abbasiyah sesungguhnya tidak bisa dilepaskan
dari peran Bani Umayyah sebelumnya. Bahkan Ahmad Amīn berani menyatakan bahwa seandainya
Bani Umayyah berkesempatan meneruskan dinastinya hingga masa kepemimpinan Bani Abbasiyah,
niscaya mereka akan mampu menyamai keberhasilan yang diraih oleh Abbasiyah. Lihat: Ahmad Amīn,
Dluhā al-Islām, Kairo, Maktabah Nahdlah Al-Misriyah, Vol. I, Cet. 7, hlm. 1-4.

Ibn al-Nadīm al-Baghdādi, Al-Fihrist, hlm. 303 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32)

Berasal dari bahasa Pahlavi (Persia) yang berarti daftar catatan administrasi negara. Biasanya
digunakan untuk mencatat daftar nama-nama tentara, atau orang-orang yang berhak menerima
santunan negara dll. Dalam bahasa kita barangkali maknanya dekat dengan istilah “arsip negara”.

Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh al-Islām: al-Siyāsi wa al-Dīni wa al-Tsaqāfi wa al-Ijtima`i, hlm. 282.

Buku Kalīlah wa Dimnah, diterjemahkan oleh Ibn Al-Muqaffa` dari bahasa Persia. Adapaun aslinya
ditulis menggunakan bahasa Sanskerta. Buku yang berisi tentang pelajaran-pelajaran hidup melalui
cerita hewan (fabel) ini, baik dalam bahasa aslinya maupunbahasa Persia telah hilang, meskipun
sebagiannya masih termasktub dalam buku Panca Tantra dan Mahabharata. Melalui bahasa arablah
buku ini diwariskan ke genarasi manusia berikutnya dan kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa di dunia. Lihat: M.M. Sharīf, Al-Fikr al-Islāmi, hlm.43; Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh
al-Islāmi wa al-Hadlārah al-Islāmiyah, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Vol. III, Cet.8, 1985,
hlm.241

Hippocrates (460-380 SM), seorang ahli ilmu kedokteran dari Yunani yang paling populer dan sering
digelari sebagai Bapak Kedokteran. Terdapat 80 karya di bidang medis di perpustakaan Alexandria
sejak 200 SM, yang tidak diketahui pengarangnya ditemukan kemudian dinisbatkan kepadanya. Lihat
penjelasan tentang tokoh ini dalam Al-Mawsū`ah al-`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry ‫( أبقراط‬Software
al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32).

Galen atau Galenos dalam bahasa Yunani (hidup sekitar 129-210 M), salah satu ahli medis yang
sangat berpengrauh dalam sejarah ilmu kedokteran. Selain mengembangkan teori-teori kedokteran
pertama yang disandarkan pada eksperimen, bukunya yang membahas tentang operasi pembedahan
juga menjadi rujukan utama. Pikiran-pikirannya tetap menjadi oegangan hingga tahun 1800 M. Lihat
penjelasan tentang tokoh ini dalam Al-Mawsū`ah al-`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry ‫( جالينوس‬Software
al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32).

Yang menarik, meskipun Bayt al-Hikmah memiliki peran sentral dalam perkembangan peradaban
Abbasiyah, akan tetapi informasi tentang lembaga ini belum terbilang lengkap dan masih diselimuti
berbagai misteri. Lihat pertanyaan Ahmad Amīn tentang hal ini dalam Dluhā al-Islām, Kairo, Maktabah
Nahdlah Al-Misriyah, Vol. II, Cet. 7, hlm. 61

http://en.wikipedia.org/wiki/House_of_Wisdom, diakses terakhir pada tanggal 24 april 2009.


Philip K. Hitti, History of Arabs, hlm. 310, sebagaimana dikutip oleh M.M. Sharīf, Al-Fikr al-Islāmi,
hlm.44

George Modelski, World Cities: –3000 to 2000, Washington DC: FAROS 2000, 2003, sebagaimana
dikutip dalam http://en.wikipedia.org/wiki/House_of_Wisdom, diakses terakhir tanggal 24 April 2009.

Sebagaian analisis di Barat menjelaskan sebab kemunduran ini dikarenakan Al-Ma'mūn, Al-Mu'tasim
dan Al-Wātsiq beraliran teologi Mu'tazilah sedangkan Al-Mutawakkil menganut "Islam Ortodox".
Pendapat ini barangkali masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Karena pada kenyataanya, gerakan
penerjemahan itu sendiri telah dimulai sejak era al-Mansūr dan Al-Rashid yang juga bukan penganut
teologi Mu'tazila.

Dapat dilihat di beberapa halaman dan bagian buku Ibn al-Nadīm, al-Fihrist dan Ibn Abi Usaybi`ah,
`Uyūn al-Anbā’ fi Tabaqāt al-Atibbā’, (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32). Lihat
juga: The Encyclopaedia of Islam, Vol. X, h. 228.

Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-Hadlārah al-Islāmiyah, Vol. 3, hlm. 245

Ibn al-Nadīm al-Baghdādi, Al-Fihrist, hlm. 304

Jalāluddīn Al-Suyūti, Tārikh al-Khulafā, hlm. 202; Ahmad Amīn, Dluhā al-Islām, Vol. II, hlm. 11 dan
107.

Ibn al-Nadīm al-Baghdādi, Al-Fihrist, hlm 73; Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-
Hadlārah al-Islāmiyah, Vol. 3, hlm. 233

Lihat Al-Mawsū`ah al-`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry: Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm.

Ahmad Amīn, Dluhā al-Islām, Vol. II, hlm. 108-109

Ahmad Amīn, Dluhā al-Islām, Vol. II, hlm. 109-110

Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-Hadlārah al-Islāmiyah, Vol. 3 hlm. 240

Muhamad al-Sādiq `Afīfi, Tatawwur al-Fikr al-'Ilmi`Inda al-Muslimīn, hlm.40

Muhamad ibn Mūsa al-Khawārizmi, Abu Abdullah (w.232H/847M): matematikawan, astronom dan
sejarawan. Sering dijuluki sebagai “sang profesor” (al-ustādz). Pernah ditugaskan oleh Al-Ma’mūn
untuk bertanggungjawab menjaga dan memelihara koleksi buku-bukunya. Pernah juga diperintahkan
untuk mengumpulkan dan menerjemahkan sejumlah buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Hidup
hingga zaman Al-Wātsiq Billah. Diantara karyanya adalah Al-Jabr wa al-Muqābala yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Inggris, al-Tārikh, Sūrah al-Ardl min al-Mudun wa al-Jibāl,
Wasf Ifrīqiyah, Rasm al-Ma’mūr min al-Bilād. Lihat: Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām,
Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, Vol. VII, hal. 116

Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilization, Indiana & Tripoli, American Trust Publication &
Islamic Call Society, 1976, hlm. 15-16; Uraian lebih lengkap lihat: Muhamad al-Sādiq `Afīfi, Tatawwur
al-Fikr al-'Ilmi`Inda al-Muslimīn, hlm.93-106

Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilization, hlm. 13

Muhamad al-Sādiq `Afīfi, Tatawwur al-Fikr al-'Ilmi`Inda al-Muslimīn, hlm.80

M.M. Sharīf, Al-Fikr al-Islāmi: Manābi`uhu wa Ātsāruhu, hlm. 70-73

Abu ‘Ali Muhamad ibn al-Hasan ibn Al-Haytsam (354-430H/965-1038M), seorang ahli fisika yag lahir
di Basrah. Dijuluki sebagai Ptolomeus Kedua, memeliki beberapa karya dalam bidang ilmu fisika.
Lihat: Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. VI, hal. 83;

Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilization, hlm. 16-17; Lihat pula Al-Mawsū`ah al-
`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry: ‫ابن الهيثم‬
Abu Mūsā Jābir ibn Hayyān ibn `Abdullāh al-Kūfi (w.200 H/815M), seorang filosof sekaligus ahli
kimia. Menulis lebih 232 buku, atau bahkan menurut sebagian riwayat mencapai 500 buku. Sebagian
besar bukunya hilang dansebagiannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Lihat: Khayr al-Dīn
Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. II, hal. 104;

Abū Bakr Muhamad ibn Zakariya al-Rāzi (w.313H/925M), dikenal di Barat dengan sebutan Razes.
Seorang dokter yang juga ahli ilmu jiwa dan kimia. Karya nya yang paling monumental adalah Al-
Hāwi. Lihat: Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. VI, hal. 130; Al-Mawsū`ah al-
`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry: ‫ أبو بكر محمد‬،‫الرازي‬

Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilization, hlm. 18;

Lihat www.en.wikipedia.org/wiki/abbasid , diakses terakhir April 2009.

Abu Yusuf Ya’qūb ibn Ishāq ibn al-Sabāh al-Kindi (w.260/874M), Seorang ilmuwan yang terkenal
dalam bisang Kedoteran, filsafat, astronomi, teknik dan musik. Karya-karyanya konon mencapai 300
buku. Lihat: Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. VIII, hal. 195; Al-Mawsū`ah al-
`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry: ‫ أبو يوسف‬،‫الكندي‬

Felix Klein-Frank, Al-Kindi, dalam Oliver Leaman dan Hossein Nasr, History of Islamic Philosophy,
London, Routledge, 2001, hlm. 172 sebagaimana dikutip dalam www.en.wikipedia.org/
wiki/islamic_golden_age, terakhir diakses 24 April 2009.

Abu `Ali al-Husayn ibn `Abdullah ibn Sīnā (371-428H/981-1036M), seorang filosof dan ahli
kedokteran. Salah satu buunya yang paling fenomenal al-Qānūn fī al-Tibb (the Canon of Medicine)
selam enam abad menjadi rujukan utama ilmu kedokteran di Eropa. Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-
Ziriklī, Al-A’lām, Vol. II, hal. 242

Qadri Hāfidz Tawqān, Al-`Ulūm `Inda al-`Arab, sebagaimana dikutip oleh `Abd al-Tawwāb Yūsuf, Al-
Hadlārah al-Islāmiyah bi Aqlām Gharbiyyah wa `Arabiyyah, Kairo, Al-Dār al-Misriyah al-Lubnāniyah,
Cet.2, 1996, hlm. 68

Perang Talas adalah peperangan yang terjadi pada bulan Juli tahun 751 M antara pasukan Dinasti
Abbasiyah dengan pasukan Dinasti Tang dari Cina untuk memperebutkan wilayah Syr Darya
(termasuk wilayah Kazakhtan saat ini). Selengkapnya lihat:
http://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Talas, diakses terakhir tanggal 24 April 2009.

Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_golden_age; Baca juga artikel Holland Cotter di surat


kabar New York Times berjudul The Story of Islam's Gift of Paper to the West, dapat diakses melalui
http://web.utk.edu/~persian/paper.htm, terakhir kali diakses pada tanggal 24 April 2009.

FAKTOR – FAKTOR MUNCULNYA DINASTI ABBASIYAH

Dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama lebih kurang enam abad ( 132 – 656 H/ 750-
1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-
Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-
gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya
sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya
saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah,
sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya
secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan
tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa
tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah.
Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim
melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas
yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan
Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu
ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari
kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas
oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M, Marwan bin
Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di Fustat, Mesir
pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.

KEMAJUAN DINASTI ABBASIYAH DALAM BIDANG SOSIAL BUDAYA


Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima
abad, telah banyak memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam. Dari sekitar 37 orang khalifah yang pernah
berkuasa, terdapat beberapa orang khalifah yang benar-benar memliki kepedulian
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai bidang
lainnya, seperti bidang-bidang sosial dan budaya.
Diantara kemjuan dalam bidang sosila budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan
asimilasi masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa
dampak positif dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini.
Karna dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat
dipergunakan untuk memajukan bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian
menjadi lambang bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya.
Diantara kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah
Dinasi Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana,
masjid, bangunan kota dan lain sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam
pembanguanan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan Qashrul
Khuldi, sementara banguan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra dan
lain-lainnya.
Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada mas inilah
lahir seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah,
Al Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka
masih dapat dibaca hingga kini, seperti kitab Kalilah wa Dimna. Sementara tokoh
terkenan dalam bidang musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus
bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad, pencipta teori musik Islam, Al farabi dan lain-
lainnya.
Selain bidang –bidang tersebut diatas, terjadi juga kemajuan dalam bidang
pendidikan. Pada masa-maa awal pemerinath Dinasti Abbasiyah, telah banyak
diushakan oleh para khalifah untuk mengembangakan dan memajukan pendidikan.
Karna itu mereka kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari
tingkat dasar hingga tingakat tinggi.

KEMAJUAN DALAM BIDANG POLITIK DAN MILITER


Di antara perbedaan karakteristik yang sangat mancolok anatara pemerinatah Dinasti
Bani Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah, terletak pada orientasi kebijakan
yang dikeluarkannya. Pemerinath Dinasti Bani Umayyah orientasi kebijakan yang
dikeluarkannya selalu pada upaya perluasan wilayah kekuasaanya. Sementara
pemerinath Dinasti Bani Abbasiyah, lebih menfokuskan diri pada upaya
pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga masa pemerintahan
ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam. Meskipun begitu, usaha untuk
mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan hal penting yang harus
dilakukan. Untuk itu, pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem
politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran.
Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka
pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan,
yang disebut diwanul jundi. Departemen inilah yamg mengatur semua yang
berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan.Pembentuka lembaga ini
didasari atas kenyataan polotik militer bahwa pada masa pemertintahan Dinasti
Abbasiyah, banayak terjadi pemebrontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha
memisahkan diri dari pemerintahan Dinasyi Abbasiyah

KEMAJUAN DALAM BIDANG ILMU PENGETAHUAN


Keberahasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam
pengembangan ilmu pengetahuan sains dan peradaban Islam secara menyeluruh, tidak
terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di anataranya adalah kebijakan politik
pemerintah Bani Abbasiyah terhadap masyarakat non Arab ( Mawali ), yang memiliki
tradisi intelektual dan budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka.
Meraka diberikan fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus
melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan malalui bahan-bahan rujukan yang
pernah ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata
membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasyi ini.
Dengan demikian, banyak bermunculan banyak ahli dalam bidang ilmu pengetahaun,
seperti Filsafat, filosuf yang terkenal saat itu antara lain adalah Al Kindi ( 185-260 H/
801-873 M ). Abu Nasr al-faraby, ( 258-339 H / 870-950 M ) dan lain-lain.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban islam juga terjadi pada bidang ilmu
sejarah, ilmu bumi, astronomi dan sebagainya. Dianatar sejarawan muslim yang
pertama yang terkenal yang hidup pada masa ini adalah Muhammad bin Ishaq ( w.
152 H / 768 M ).
KEMAJUAN DALAM ILMU AGAMA ISLAM
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang berlangsung lebih kurang lima abad
( 750-1258 M ), dicatat sebagai masa-masa kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam ini, khususnya kemajuan
dalam bidang ilmu agama, tidak lepas dariperan serta para ulama dan pemerintah
yang memberi dukungan kuat, baik dukungan moral, material dan finansia, kepada
para ulama. Perhatian yang serius dari pemeruntah ini membuat para ulama yang
ingin mengembangkan ilmu ini mendapat motivasi yang kuat, sehingga mereka
berusaha keras untuk mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan dan
perdaban Islam. Dianata ilmu pengetahuan agama Islam yang berkembang dan maju
adalah ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih dan tasawuf

KEHANCURAN DINASTI ABBASIYAH


Setelah berkuasa lebih kurang lima abad ( 750-1258 M ), akhirnya Dinasti Abbasiyah
mengalami masa-masa suram. Masa suram ini terjadi ketika para pengusaha setelah
Al-Makmun, Al- Mu’tashim dan Al-Mutawakkil, tidak lagi memiliki kekuatan yang
besar, sebab para khalifah sesudahnya lebih merupakan boneka para amir dan para
wajir dinasti Buwaihiyah dan Salajikah. Para khalifah Abbasiyah pada periode
terakhir lebih mementingkan kepentingan peribadi, ketimbang kepentingan
masyarakat umum. Mereka saling melalaikan tugas-tugas sebagai pemimpin dan
kepala negara, bahkan banyak di antara mereka yang lebih memilih hidup bermewah-
mewahan. Pada akhirnya mereka kehilangan semangat juan untuk menegakan
kekuasaan.
Kenyataan ini dipengaruhui denga situasi politik umat Islam ketika itu. Konflik antra
etnis dan suku bangsa sering terjadi, terutama perseteruan antara bangsa Arab dan
bangsa Persia dengan bangsa Turki. Perseteruan ini terjadi ketika bangsa Turki
semakin memiliki posisi strategis dipemerintahan dan menggeser posisi bangsa Arab
dan Persia, yang merupakan dua suku bangsa yang memiliki peran penting didalam
proses berdirinya pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pada masa pemerintahan khalifah
al- Mutawakkil, pengaruh bangsa Turki semakin kuat, sehingga bangsa Arab dan
Persia merasa cemburu. Sikap anti Turki ini pada akhirnya menimbulkan gerakan
pemberontakan di setiap daerah, yang kemudian masing-masing mendirikan
kekuasaan-kekuasaan lokal.
Dianatara kekuatan lokal yang sangat berpengaruh dalam proses melemahnay
kekuasaan Dinasti Abbasiyah adalah dikarenakan luasnya wilayah kekuasaan
sehingga tidak dapat melakukan kontrol pemerintah denga baik ke seluruh
wilayahnya, sehingga peluang ini dimanfaatkan oleh penguasa daerah yang jauh dari
pemerintah pusat untuk melepaskan diri menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Dianatar
kerajaan-kerajaan kecil yang dapat melepaskan diri adalah Dinasti Buwaihiyah ( 945-
1055 M ), Dinasti Salajiqah ( 1037-1157 M ). Dinasyi Bani Fathimiyah yang didirikan
di Tunisia pada tahun 297-323 H / 909-934 M oleh Al Mahdi. Dinasti ini berkuasa
cukup lama, hingga akhirnya dihancurkan oleh Salahuddin al- Ayyubi. Dinasti
Idrisiyah yang didirikan oleh Idris bin Abdullah ( 172-311 H/ 788-932 M ), Dinasti
Aghlabiyah didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab ( 184-296 H/ 800-909 M ), Dinasti
Thuluniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thulun ( 254-292 H/868-905 M ).
Dinasti Ikhsyidiyah, didirikan oleh Muhammad bin Tughj ( 323-358 H/ 935-969 M ),
Dinasti Hamdaniyah, didirikan oleh Hamdan bin Hamdan ( 293-394 H/ 905-1004
M ), Dinasti Thahriyah, didirikan oleh Thahir bin Husein ( 205-259 H/ 821-873 M ),
Dinasti Samaniyah, didirikan oleh Saman Khuda ( 261-9-389 H/ 874-999 M ).
Kemunculan kerajaan-kerajaan ini, sedikit banyak memperlemah kekuasaan dan
wibawa kerajaan Bani Abbas. Sebab paling tidak pemasukan dan pengaruh para
khalifah Bani Abbas berkurang. Lama kelamaan, akan membawa kelemahan,
kemunduran dan kemudian kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah.
Persoalan lain yang juga memperlemah kekuasaan Bani Abbasiyah adalh konflik
internal dikalangan Bani Abbas. Konflik ini dimanfaatkan oleh para pendatang baru,
seperti bangsa Turki yang kemudian menguasai sistem pemerintahan Dinastu
Abbasiyah. Bahkan bangsa Turki mendirikan mendirikan kekuasaan di wilayah
pemerintahan Bani Abbasiyah dan menguasi Baghdad. Ketika para kalifah semakin
lemah, baik secara militer atau ekonomi, para tentara bayaran mendominasi kekuatan,
sehingga mereka menciptakan ketergantunan khalifah kepada tentara bayaran.
Ketergantungan ini merupakan salah satu faktor penyebab melemahnya kekuasaan
Dinasti Abbasiyah.
Pada saat semua mengalami kelemahan, kekuatan baru datang dan berusaha
menghancurkan Dinasti Abbasiyah, yaitu kekuatan bangsa Mongol. Dibawah
pimpinan hulaghu Khan, kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan Dinasti
Abbasiyah diluluh lantakan pada tahun 1258 m. Serangan bangsa Mongol ini
manandai akhir dari masa kekuasaan dinasti Abbasiyah.

oleh:Fahmi Hidayati

Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Bani Abbasiyah menjadi lima periode, yaitu:
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M)
Periode ini disebut periode pengaruh Persia pertama. Pada periode ini, pemerintahan
Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-
betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.
Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai
menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus
berkembang. Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Walaupun
demikian pada periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu
stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
2. Periode Kedua (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M)
Periode ini disebut masa pengaruh Turki pertama. Untuk mengontrol kekhalifahannya
Al-Ma’mun bergantung kepada dukungan Tahir, seorang bangsawan Khurasan yang
sebagai imbalan diangkat sebagai gubernur di Khurasan (820-822) dan jenderal bagi
seluruh pasukan Abbasiyah dengan janji bahwa jabatan ini akan diwarisi oleh
keturunannya. Al-Ma’mun dan Al-Mu’tashim mendirikan dea kekuatan bersenjata
yaitu; pasukan syakiriyah yang dipimpin oleh pemimpin lokal dan pasukan Gilman
yang terdiri dari budak-budak belian Turki. Yang penting dicatat disini adalah kalau
pada masa kejayaannya bani Abbasa mendapat dukungan militer dari rakyatnya
sendiri, pada masa kemunduran ini mereka bergantung kepada pasukan asing untuk
dapat berkuasa atas rakyatnya sendiri, sehingga pemerintahan pusat menjadi
lemah. .Masa-masa berikutnya sampai kedatangan kekuatan Bani Buwaih.
3. Periode Ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M)
Periode ini adalah periode masa kekuasaaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan
khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. Abu Syuja’
Buwaih adalah seorang berkebangsaan Persia dari Dailam. Ketiga anaknya : Ali
(‘Imad al-Daulah), hasan (Rukn al-Daulah), dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah)
merupakan pendiri dinasti Bani Buwaih. Kemunculan mereka dalam panggung
sejarah Bani Abbas bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih Ali dan
Ahmad dalam pasukan Makan ibn kali dari dinasti saman, tetapi kemudian berpindah
ke kubu Mardawij. Kemudian ketiga orang bersaudara ini menguasai bagian barat dan
barat daya Persia, dan pada tahun 945, setelah kematian jenderal Tuzun (penguasa
sebenarnya atas Baghdad) Ahmad memasuki Baghdad dan memulai kekuasaan Bani
Buwaih atas khalifah Abbasiyah.
Dengan berkuasanya Bani Buwaih, aliran Mu’tazilah bangkit lagi, terutama diwilayah
Persia, bergandengan tangan dengan kaum Syi’ah. Pada masa ini muncul banyak
pemikir Mu’tazilah dari aliran Basrah yang walaupun nama mereka tidak sebesar para
pendahulu mereka dimasa kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya
yang bisa dibaca sampai sekarang. Selama ini orang mengenal Mu’tazilah dari karya-
karya lawan-lawan mereka, terutama kaum Asy’ariyah. Yang terbesar diantara tokoh
Mu’tazilah periode kebangkitan kedua ini adalah al-Qadi Abd al-jabbar, penerus
aliran Basra setelah Abu Ali dan Abu Hasyim.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/ 1194 M)
Periode ini adalah masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah atau disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua. Saljuk (Saljuq) ibn
Tuqaq adalah seorang pemimpin kaum Turki yang tinggal di Asia Tengah tepatnnya
Transoxania atau Ma Wara’ al-Nahar atau Mavarranahr. Thughril Beg, cucu Saljuq
yang memulai penampilan kaum Saljuk dalam panggung sejarah. Pada tahun
429/1037 ia tercatat sudah menguasai Merv. Kekuasaannya makin bertambah luas
dari tahun ke tahun dan pada tahun 1055 menancapkan kekuasaannya atas Baghdad.
Tughril meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan digantikan kemenakannya Alp
Arselan yang kemudian digantikan puteranya Maliksyah yang merupakan penguasa
terbesar dari dinasti Saljuk. Sesudah itu bani Saljuk mengalami kemunduran sebelum
kekuasan mereka di Baghdad pudar sama sekali pada tahun 552 H/ 1157 M. Dalam
bidang keagamaan, masa ini ditandai dengan kemenangan kaum Sunni, terutama
dengan kebijakan Nidham al-Muluk mendirikan sekolah-sekolah yang disebut dengan
namanya Madaris Nidhamiyyah. Hal lain yang perlu dicatat dari masa ini dan masa
sebelumnya adalah munculnya berbagai dinasti di dunia Islam yang menggambarkan
mulai hilangnya persatuan dunia Islam di bidang politik. Seperti dinasti Fatimiyah
lahir di Mesir (969) dan bertahan sampai tahun 1171. Dari segi budaya dan pemikiran
keagamaan, terdapat berbagai wilayah dengan pusatnya sendiri yang masing-masing
mempunyai peran sendiri dalam mengekspresikan Islam, sesuai dengan kondisi
masing-masing. Misal, Andalus dan Afrika Utara mengembangkan seni yang
mencapai puncaknya pada al-Hambra dan pemikiran filsafat denngan tokoh Ibn Tufail
dan Ibn Rusyd.
5. Periode Kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M)
Periode ini adalah masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya
hanya efektif di sekitar kota Baghdad. Sesudah Saljuk, para khalifah tidak lagi
dikuasai oleh kaum tertentu. Tetapi, negara sudah terbagi-bagi dalam berbagai
kerajaan kecil yang merdeka. Khalifah al-Nashir (1180-1255) yang berusaha untuk
mengangkat kewibawaan kekhalifahan Abbasiyah. Untuk itu ia mencari dukungan
atas kedudukannya dengan bekerja sama dengan suatu gerakan dari orang-orang yang
memuja Ali. Dari kalangan pengrajin dan pedagang meyakini Ali sebagai pelindung
korporasi. Anggota dari gerakan ini bertemu secara teratur, dan tidak jarang
melakukan latihan-latihan spiritual dibawah pimpinan seorang pir. Al-Nashir
menempatkan dirinya sebagai pelindung dari gerakan ini. Sementara itu, kekuatan
Mongol Tartar mulai merayap dari arah timur dan pada tahun 656 H/1258 H, Hulagu
dengan pasukannya memasuki Baghdad dan membunuh khalifah al-Musta’shim dan
membunuh penduduk kota ini. Mereka menjarah harta, membakar kitab-kitab dan
menghancurkan banyak bangunan. Dengan demikian berakhirlah kekhalifahan Bani
Abbas di Baghdad.

Anda mungkin juga menyukai