HAN adalah kumpulan peraturan hukum yang mengikat badan-badan negara baik tinggi
maupun rendah jika badan-badan itu mulai menggunakan wewenangnya yang ditentukan
oleh HTN. Menurut Oppenheim, rumusan ini menunjukkan r r
u%&
Menggunakan pendekatan sistematik, yakni :
HTN dalam arti sempit meliputi:
á
r yaitu mengenai persoon dalam arti hukum yang meliputi hak dan kewajiban
manusia, pertanggungjawaban, lahir dan hilangya hak dan kewajiban, dan lain-lain
yang menyangkut wilayah atau lingkungan dimana hukum itu berlaku,
termasuk mengenai waktu, tempat dan manusia atau kelompok atau benda.
HAN meliputi ajaran mengenai hubungan hukum. HAN mempelajari jenis, bentuk, serta
akibat hukum yang dilakukan oleh pejabat dalam melakukan tugasnya.
!"
&
Hubungan HTN dan HAN dapat disamakan dengan hubungan antara hukum perdata dan
hukum dagang. Apabila terjadi pemisahan hanyalah disebabkan karena kebutuhan dan
perlu dibaginya materi yang diajarkan. Menurutnya, HTN meliputi susunan, tugas,
wewenang dan cara-cara badan-badan itu menjalankan tugasnya. HAN meliputi bagian-
bagian lain yang lebih rinci.
u#
Perbedaan secara prinsipil tidak menimlbukan suatu akibat hukum. Dan apabila ada
perbedaan, hal itu penting bagi ilmu pengetahuan hukum sehingga para ahli hukum
mendapatkan gambaran tentang sistem yang bermanfaat.
'&&
Perbedaanya hanya terletak pada cara pendekatan masing-masing ilmu pengetahuan.
HTN untuk mengetahui organisasi negara serta badan-badan lainnya, sedangkan HAN
menghendaki bagaimana caranya negara serta organ-organnya melakukan tugas.
Dengan demikian, HTN menyelidiki struktur utama ogan negara, sedangkan HAN
menyelidiki cara bekerjanya pejabat-pejabat institusi negara dalam melakukan pelayanan publik
dan mengatur aktivitas warganegara.
'(c)
Menurut J. M. Baron Gerando objek HAN adalah peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyat.
*
c
c $&
Istilah:
keputusan tata usaha negara
ketetapan administrasi negara
penetapan administrasi negara
Yang umum digunakan dalam UU No.5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara yaitu
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA.
Keputusan Tata Usaha Negara sifatnya konkrit dan khusus, artinya dibuat untuk menyelesaikan
suatu hal konkrit yang telah diketahui lebih dulu oleh administrasi negara dan ditujukan kepada
pihak tertentu, berbeda denga peraturan yang sifatnya abstrak dan umum, artinya dibuat untuk
menyelesaikan hal-hal yang belum dapat diketahui terlebih dahulu dan yang mungkin akan
terjadi, diberlakukan secara umum, tidak ditujukan pada pihak tertentu
$+
c
r árr árá rá
r
r
r á
r r
r
rr
selanjutnya
Utrecht mengatakan ár
á rá
r
r
árrá
r r
á
Î,
c
r árr
á
árrá
r
r
rá
r
r
rrr
Unsur-unsur beschikkingmenurut Prins:
adanya perbuatan hukum
bersifat sebelah pihak
dalam lapangan pemerintahan
dilakukan oleh badan pemerintahan
berdasarkan kekuasaan yang istimewa.
Dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, yang dimaksud dengan keputusan tata usaha
negara (yang dapat menjadi objek gugatan dalam peradilsan TUN), yaitu:
penetapan tertulis
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
berisi tindakan hukum tata usaha negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan positif
bersifat konkret, individual, final
menimbulkan akibat hukum bagi individu atau badan hukum perdata.
r
%
Merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang bertugas untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara (sengketa TUN).
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengekta yang timbul dalam bidang TUN antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (KTUN), termasuk sengketa
kepegawaian. Dengan demikian unsur-unsur sengekta TUN, yaitu :
1. dibidang tata usaha negara
2. orang atau badan hukum perdata
3. badan atau pejabat tata usaha negara
4. keputusan tata usaha negara
Akan tetapi, tidak semua KTUN dapat digugat, Pasal 2 UU No.5/1986 mengatur beberapa
KTUN yang tidak dapat digugat, yaitu:
1. KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata,
i merupakan kompetensi hakim perdata
i jika suatu KTUN sasaran tindakan hukum perdata, maka ia dianggap melebur dalam
perbuatan hukum perdata
2. KTUN yang bersifat umum
i tidak individual
3. KTUN yang masih memerlukan persetujuan
i belum final
4. KTUN yang dikeluarkan berdasarkan KUHP, KUHAP atau peraturan dalam hukum pidana
i kompetensi hakim pidana
5. KTUN yang dikeluarkan atas hasil pemeriksaan badan peradilan (lain)
i kompetensi badan peradilan lain
6. KTUN mengenai tata usaha ABRI
i tugas, tanggungjawab, serta kewajiban badan/pejabat diluar TUN di luar ABRI berbeda
dengan di dalam lingkungan ABRI
7. KTUN yang merupakan hasil pemilu
Selain itu, Pasal 49 juga mengatur KTUN yang tidak dapat digugat, yaitu KTUN yang
dikeluarkan dalam:
1. waktu perang, keadaan bahaya, bencana alam, keadaan luar biasa yang membahayakan
2. keadaan mendesak untuk kepentingan umum
Dikenal juga KTUN fiktif yaitu jika Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan,
padahal hal tersebut menjadi kewajibannya, maka ia dianggap telah mengeluarkan KTUN.
KTUN fiktif dapat berupa:
1. tidak mengeluarkan KTUN, setelah waktu yang ditentukan, badan/pejabat TUN dianggap
menolak mengeluarkan KTUN (negatif)
2. jika tidak ditentukan batas waktu, maka setelah 4 bulan sejak diterimanya permohonan, juga
tidak mengelurakan KTUN, maka badan/pejabat TUN dianggap mengeluarkan keputusan
penolakan (negatif)
- +
!
Kompetensi atau kewenangan mnegadili dapat dibedakan menjadi kompetensi absolut dan
relatif. Kompetensi absolut berkaitan dengan badan peradilan manakah yang berwenang
mengadili suatu sengketa tertentu, sedangkan kompetensi relatif berkenaan dengan pengadilan
manakah yang berwenang mengadili suatu sengeketa yang diajukan:
kompetensi absolut Peratun berkaitan dengan tugas Peratun sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman dalam menyelesaikan sengekta TUN. Sengketa TUN timbul karena ada
KTUN yang merugikan kepentingan orang atau badan hukum perdata, namun sebagaimana
disebutkan diatas bahwa tidak semua KTUN dapat digugat di Peratun, apabila ia memenuhi
Pasal 1 ayat (3), tidak termasuk jenis KTUN dalam Pasal 2 dan Pasal 49, dan dapat berupa
KTUN yang dimaksud dalam Pasal
kompetensi relatif Peratun berkaitan dengan Pengadilan TUN atau Pengadilan Tinggi TUN
mana yang berwenang menyelesaikan sengketa yang diajukan. Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal
54 UU Peratun memberikan petunjuk mengenai pengadilan manakah yang berwenang
mengadili sengketa yang diajukan.