Anda di halaman 1dari 18

PEMICU TERJADINYA HAMBATAN SENSOR PADA OTAK PENYEBAB AUTIS

Ini diungkapkan Guru Besar University of Southern California Amerika Prof Erna Blanche, PhD,
OTR (Occupational Therapis) saat hadir sebagai tamu dalam workshop & seminar di Hotel Hyatt,
Bandung.

"Selain faktor genetik (bisa) menyebabkan anak lahir mengidap kelainan sensor pada otak hingga
menjadi autis, hal ini disebabkan hal lain yakni faktor lingkungan tempat tinggal, terutama polusi,"
ujarnya.

Dia menjelaskan, interaksi lingkungan dampak polusi bahan kimia hasil industri yang memenuhi
udara, ternyata mampu mengubah cara kerja biosel otak anak sejak dilahirkan.

Penulis buku Best Seller "Sensory Balancing" (2008) tentang penyakit autis untuk para orangtua ini
menambahkan, peluang anak dari orang yang hidup di perkotaan yang penuh polusi industri lebih
besar ketimbang yang jauh dari polusi udara.
Meski demikian dia menyebutkan, belum pernah ada penelitian dilakukan di dunia apakah anak yang
lahir atau tinggal di desa berpeluang lebih kecil terhindar dari kelainan autis atau tidak.

Namun hal terpenting, lanjut Blenc, penganan terbaik adalah pendeteksian anak pengidap autis
dilakukan sejak dini agar bisa diintervensi dalam tindakan terapi sejak awal pula.

"Intinya bagaimana berbagai macam cara terapi bagi pengidap autis dapat membantu, agar nantinya
mereka bisa hidup mandiri," ucapnya yang telah menjadi pembicara di 200 kota di dunia.

Karena sampai kini, sambungnya, hampir 90 persen riset yang dilakukan di dunia belum
menghasilkan cara yang tepat untuk penanganan masalah sensor otak pada anak pengidap autis.

Sebelumnya, ratusan anak di Riau tercatat penderita autis. Salah satu penyebab munculnya autis
dikarenakan kabut asap yang kerap menyelimuti provinsi itu.

Sebagian lahan di Riau merupakan kawasan gambut yang setiap tahunnya mengalami kebakaran
hutan. Karena itu, pemerintah diminta untuk memperhatikan anak-anak autis.

“Salah satu penyebab anak-anak mengidap penyakit autisme adalah karena kabut asap. Selain itu
faktor lainnya seperti terjadi kesalahan saat kehamilan sang ibu maupun saat persalinan,” ujar seorang
psikolog anak saat mengikuti dukungan seribu tanda tangan untuk anak autis di depan kantor Wali
Kota, Jalan Jendral Sudirman, Pekanbaru.

Menurut dia, gejala yang menonjol pada penderita autis, di antaranya anak yang cenderung cuek
kepada linkungan dan susah berinteraksi dengan siapa saja. Selain itu, anak penderita autis sering
menjilat-jilat dinding atau suka memutar benda yang bisa dipermainkannya seperti ban mobil mainan
dan kipas angin. Hal itu dilakukan sesuai dengan tingkat keparahan penyakitnya.

“Sebenarnya mereka juga diberi kelebihan yang potensial yang harus digali, seperti mereka itu pandai
mengambar atau mewarnai, bermain musik,” paparnya.
Sementara itu, koordinator aksi Hamdani, mengatakan saat ini di Pekanbaru saja terdapat sedikitnya
300 anak yang mengalami autis. Menurutnya, anak-anak tersebut diberi kasih sayang dan mendapat
perharian serius dari pemerintah dengan memberi mereka sekolah khusus.

Untuk menangani anak autis, lanjutnya, sudah dibentuk wadah Ikatan Terapis Special Needs Child
(Ikatrasc).

“Ikatrasc adalah tempat berkumpulnya seluruh para pendidik dan terapis anak. Fungsinya antara lain
memotivasi orangtua yang anaknya mengalami autis agar jangan putus asa dan menghilangkan mitos
bahwa Autis identik dengan keterbelakangan,” ujar Hamdani yang juga Ketua Ikatrasc Riau.

Terapi Kualitatif Bagi Autisme

Kian kompleksnya gangguan penyakit di tengah masyarakat menuntut perhatian banyak pihak,
termasuk para praktisi di bidang kesehatan. Yang lebih memprihatinkan, gangguan penyakit bukan
hanya menyerang orang dewasa, tetaai juga anak-anak yag dikenal sebagai gangguan perkembangan,
salah satunya yaitu autisme.

Autisme yang disebut juga sebagai geek syndrom merupakan kata yang diinduksi dari istilah suatu
bidang penyakit. Artikulasi autisme yang telah diintroduksi kepada publik ada dalam berbagai sudut
pandang. Autisme dipandang sebagai gangguan perkembangan neurobiologis dengan cerebal cortex,
cerebellum, thalamus, hippocampus, hypothalamas. corpus collosum, cingulated gyrus, basal ganglia,
spinal cord yang disertai dengan berbagai masalah, seperti masalah autoimunitas, gangguan
pencernaan dan dysbiosis pada usus, gangguan integrasi sensori, keracunan logam berat (timbal,
merkuri, kadmium, dan lain-lain), ketidakseimbangan susunan ada amino tubuh, dan sebagainya.
Selain gangguan autoimunitas, pada anak autisme ditemukan adanya gangguan integrasi sensori.
Secara spesifik, gangguan integrasi terbagi menjadi beberapa tingkat sensori, antara lain sensori
sentuh, sensori pendengaran, sensori penglihatan, sensori rasa, sensori penciuman, sensori
vestibule/motorik dan gravitasi yang meliputi simtom:

Tidak mau melakukan kontak mata.


Tidak mau berinteraksi.
Keterbatasan berkomunikasi.
Lamban belajar bahasa.
Hiperakttif.
Menjinjit atau berputar-putar.
Stimulasi diri.
Suka menggeleng-gelengkan kepala.
Sensitif terhadap suara.
Gangguan metabolisme/pencernaan dan pola tidur.
Suka berteriak-teriak sendiri.
Sering berbicara, tertawa atau menangis sendiri.
Menggigit-gigit pensil, rambut, kuku, mainan
Suka menerawang.
Suka melihat benda yang kecil.
Ketika mengangkat atau mengambil suatu benda, matanya selalu mendekatinya.
Menyusun benda secara berbaris.
Suka mencium benda.
Tidak bisa duduk diam.
Sering melakukan gerakan yang menggunakan tenaga kuat, misalnya berlari-lari menepuk tangan
dengan keras.
Tidak bisa mengkoordinasi gerakan sendiri.
Tantrum.
Dan sebagainya.
Sejauh ini imunisasi MMR (Measle, mumps, rubella) diduga menjadi pemicu autisme. Sayangnya hal
tersebut masih menjadi kontroversi dan belum dapat dipastikan. Faktor lain yang memicu autisme
diduga dipengaruhi juga oleh stimulasi lingkungan hidup yang buruk, seperti pokusi udara/air yang
umumnya banyak mengandung zat-zat beracun (timbal dalam asap knalpot atau asap pabrik, merkuri
atau turunan air raksa dalam vaksin, kadmium da;am batu baterai dan sebagainya), zat aditif dalam
makanan, penggunaan antibiotik berlebih, virus penyakit (toksoplasma, sitomegalovirus, herpes, dan
sebagainya), serta pola hidup yang tidak sehat.

Pada sebagian besar anak autisme diketemukan adanya gangguan pencernaan. Buruknya kondisi
sistem pencernaan, membuat anak harus menghindari bahan makanan yang mengandung karbohidrat
olahan dengan gula (gluten dan casein), dikarenakan kedua bahan makanan tersebut beserta hasil
olahannya dapat meningkatkan jadar glukosa. Dalam hal tersebut selanjutnya akan mempengaruhi
keseimbangan neurotransmitter (pembawa pesan ke otak) seretonin dan dopamin. Selain itu, kadar
glukosa yang tinggi juga dapat memicu timbulnya peningkatan insulin dalah darah yang pada
gilirannya menekan jumlah triptofan (prekusor seretonin) dan meningkatkan jumlah tirosin (prekusor
dopamin) yang masuk ke dalam otak. Jika tubuh kekurangan kadar seretonin berefek depresi,
berperilaku agresif dan insomnia. Sebaliknya jika kadar seretonin dalam tubuh berlebihan, berefek
terjadinya rasa kantuk, lesu, gelisah dan sukar berkonsentrasi.

Sejauh ini, autisme diatasi dengan memberikan obat antipsikotik, yang berefek sebagai pengatur kadar
emosional anak autisme. Padahal, pemberian obat semacam itu hanya cenderung menjadikan anak
lebih pasif dan memungkinkan mengalami penurunan intelegensi. Hakikatnya anak autisme
memerlukan terapi makanan bergizi atau suplemen, terapi pendengaran, terapi perilaku, terapi
okupasi, terapi pelatihan dan pendidikan yang melibatkan orang tua dan keluarganya. Namun perlu
diketahui, pemberian terapi secara fisik dan mental saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan
perbaikan pada sistem saraf pusat.

Menilai pada kondisi umum gangguan penyakit dan simtom autisme yang ada, dikembangkanlah
sebuah terapi yang mengacu pada perbaikan sistem saraf dan otak yaitu TERAPI JARUM MULTI
SUPER MUTAKHIR oleh Prof. H.M. Hembing Wijayakusuma. Sebagai jenis terapi yang memiliki
mekanisme neeurofisiologis yang efektif untuk memperbaiki sistem saraf pusat otak guna
memperbaiki kinerja sistem tubuh, baik itu cerebral, cortex, cerebellum, thalamus, hippocampus,
hypothalamus, corpus callosum, cingulate gyrus, basal ganglia, spinal cord dan sistem saraf pusat
lainnya.

TERAPI JARUM MULTI SUPER MUTAKHIR merupakan generasi baru Terapi Jarun Super
Mutakhir yang memiliki mekanisme berdasarkan kinerja bioelektrik neurotransmitter. Terapi Jarum
Multi Super Mutakhir memiliki kekuatan elektris yang mampu menghantarkan stimulasi lebih dari
6300 meter per detik. Media utama Terapi Jarum Multi Super Mutakhir tetap susunan saraf pusat
yaitu otak dan spinal cord. Keduanya tidak lepas dari energi utama tubuh yang jika kinerjanya
terganggu dapat menimbulkan kekecauan pada organ tubuh, baik secara fakultatif ataupun
menyeluruh.
Terapi Jarum Multi Mutakhir mempunyai efektivitas sebagai berikut:

1.Meningkatkan fungsi dan kinerja susunan saraf pusat


2.Meningkatkan fungsi kelenjar dan biokimia tubuh.
3.Meningkatkan daya ineligensi, imajinasi, konsentrasi dan kreativitas.
4.Meningkatkan kemampuan detoksifikasi, chelation, dan ekskresi tubuh.
5.Melakukan peremajaan sel-sel tubuh dan perbaikan pola tidur.
6.Meningkatkan metabolisme dan sirkulasi darah serta penyerapan nutrisi.
7.Memperbaiki dan meningkatkan kinerja sistem tubuh.
8.Menormalkan kondisi hiper/berlebihan atau hipo.kekurangan
9.Menurunkan tingkatan agresi dan mengatasi alergi.
10.Menyeimbangkan kondisi internal dan eksternal tubuh.
11.Meningkatkan kondisi tubuh secara neurofisiologis dan neurobiologis.
12.Meningkatan imunitas tubuh termasuk antialergi dan antiradang.
13.Meningkatkan stimulasi tubuh dan sedasi organ tubuh.
14.Menenangkan tanpa obat penenang.
15.Menormalkan antibodi.
16.Memperbaiki kinerja sensorik dan motorik tubuh.
17.dan sejumlah efektivitas lainnya.
Terapi Jarum Multi Super Mutakhir memiliki energi elektris yang dapat mengoptimalkan hantaran
bioelektrik dan neurotransmitter sehingga merangsang terjadinya kontraksi otot dan bahasa tubuh
seperti tampilan bicara, perilaku. kemampuan motorik, dan sebagainya. Kemampuan Terapi Jarum
Multi Super Mutakhir dalam keharmonisan dan keseimbangan dalam jangka waktu yang relatif
singkat. Terapi Jarum Multi Super Mutakhir terbukti memiliki solusi kualitatif yang bukan hanya
efektif dan efisien, namun juga aman, tidak menimbulkan efek samping dan ekonomis. (fn/z2k/cbn)
BAGAIMANA MENDETEKSI GEJALA AUTIS PADA ANAK !
Anak perempuan itu menolak tatapan mata saya dan langsung melihat ke arah lain. Ekspresi mukanya
datar dan mulutnya berkomat-kamit mengeluarkan kata-kata yang tidak beraturan. "Ya Tuhan,"saya
berdoa dalam hati saya,"Mengapa anak semanis ini harus mengalami autis?"

Bekerja sebagai seorang psikolog klinis anak, saya harus membiasakan diri menegakkan suatu
diagnosa yang sebenarnya saya sendiri enggan melakukannya. Oh ya, saya sangat senang ketika
mengabarkan kepada orang tua bahwa anak mereka memiliki IQ sebesar 150. Hal yang berbeda
terjadi saat saya harus menyampaikan kabar bahwa anak mereka mengalami autisme. Dipandang dari
sudut profesionalitas, mungkin orang-orang akan mengkritik saya sebagai seorang psikolog yang
terlalu melibatkan perasaan dalam pemeriksaan terhadap pasien-pasien cilik di klinik tumbuh
kembang anak tempat saya bekerja. Bagaimanapun, tidak mudah menghadapi reaksi orang tua yang
terkejut, menangis, bahkan tidak mau menerima kondisi anaknya yang didiagnosa mengalami autis.

Saat ini gangguan autisme yang dikenal dengan nama Autistic Spectrum Disorder (ASD) telah
merebak menjadi sebuah epidemi di banyak negara. Sebuah organisasi yang bergerak di bidang
penanganan Autis di Amerika membuat pernyataan yang mengagetkan bahwa 1 dari 150 anak
terdiagnosa autis. Ini adalah data yang fantastis sekaligus memprihatinkan semua pihak. Di Indonesia
sendiri, data terakhir yang diperoleh adalah dari tahun 2004 yang mencatat sebanyak 475.000 anak
didiagnosa mengalami autis.

Hampir semua orang mempertanyakan apa yang menjadi penyebab gangguan perkembangan yang
menyebabkan seorang anak tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia seolah-
olah terisolasi dari dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah 'autis' sendiri berasal dari
bahasa Yunani yang berarti 'didalam diri sendiri'. Gangguan ini mulai dideteksi oleh Leo Kanner pada
tahun 1943 dan sampai saat ini penelitian mengenai penyebab dan cara menanganinya masih terus
berlanjut.

Misteri yang Belum Terpecahkan

"Bagaimana mungkin anak saya autis? Apa penyebabnya, bu? Apakah semua ini salah saya?"
pertanyaan ini sangat sering dilontarkan orang tua kepada saya. Menenangkan orang tua yang
mengalami shock merupakan kewajiban saya sebagai seorang profesional. "Ibu tidak perlu
menyalahkan siapa-siapa. Sampai saat ini penyebab autis masih menjadi tanda tanya besar."
Bukannya bermaksud memberikan sekedar 'angin surga' kepada orang tua namun pada faktanya
memang sampai saat ini belum ada satu hasil penelitianpun yang secara tegas menyimpulkan
penyebab tunggal dari gangguan yang mengerikan ini.

Diperkirakan salah satu penyebab autis adalah faktor genetik, hal ini terbukti dari lebih besarnya
jumlah penyandang autis pria dibanding wanita. Selain itu, perkiraan lain mengatakan bahwa autis
disebabkan oleh keracunan logam berat. Hal ini mungkin terjadi karena ibu makan sea food yang
sudah tercemar logam berat atau melakukan tambal gigi yang mengandung amalgam. Seorang dokter
yang mendalami bidang autis pernah mengemukakan dalam seminar bahwa sebaiknya saat
mengandung ibu-ibu tidak menggunakan make up sama sekali.

Hal ini adalah untuk menghindari kemungkinan terpaparnya janin dalam kandungan terhadap merkuri
yang mungkin terdapat dalam kosmetik yang digunakan. Ada pula yang memperkirakan bahwa
banyaknya jenis vaksinasi yang diterima oleh bayi menyebabkan masuknya merkuri dalam jumlah
besar ke dalam tubuh anak pada usia terlalu dini. Hal ini disebabkan karena sebagian besar vaksin
yang digunakan menggunakan thimerosal (etil merkuri) sebagai bahan pengawetnya. Akibatnya,
untuk anak-anak yang rentan kemungkinan akan memperlihatkan gejala autis yang disebabkan karena
keracunan logam berat.

Kenalilah Gejala Autis Sedini Mungkin!

Sangatlah penting bagi orang tua untuk mengenali gejala yang ada pada gangguan ini. You are your
child's first doctor. Karakteristik seorang anak yang mengalami autis ditandai dengan 3 hal. Pertama,
anak tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia cenderung menolak menatap
mata lawan bicaranya dan memilih melihat ke arah lain saat diajak berbicara. Saat merasa senang atau
sedih, ekspresi mukanya tetap datar dan tidak mengalami perubahan. Biasanya orang tua merasa
frustasi karena anak mereka tidak bisa diajak bermain ci luk ba, menolak untuk dipeluk, dan hampir
tidak pernah memulai pembicaraan dengan orang tuanya.

Kedua, anak mengalami keterlambatan bicara atau bahkan sama sekali tidak bisa berbicara. Batas usia
yang diberikan para ahli untuk mentoleransi seorang anak mengucapkan kata pertamanya adalah 18
bulan. Pada perkembangannya di usia 2 tahun anak minimal dapat mengucapkan sebuah kalimat yang
terdiri dari 2 kata, sesederhana apapun itu. Pada anak yang mengalami autis, sekalipun ia dapat
berbicara, biasanya kata-katanya tidak jelas (sering dikenal dengan istilah bahasa planet) atau tidak
sesuai dengan konteks pembicaraan.

Ketiga, anak tampak sering melakukan rutinitas yang berulang atau sangat menyukai benda tertentu
secara berlebihan. Hellen (bukan nama sebenarnya), menjerit-jerit saat ibu tidak menghidangkan
sarapan paginya menggunakan piring merah muda dengan pola bunga-bunga di sekeliling piringnya.
Ia juga tidak mau makan saat posisi piring, garpu, dan sendok tidak tertata secara simetris seperti
biasanya. Selain memiliki pola rutinitas yang sangat kaku, anak yang mengalami autis biasanya
bermain secara aneh terus menerus.

Kasus yang sering dijumpai adalah mereka senang sekali memutar roda mobil-mobilannya dalam
waktu yang lama, berjam-jam melihat kipas angin yang berputar, atau menyusun mainannya dalam
pola yang berulang. Ada pula anak yang sangat senang benda yang berwarna hijau dan terus menerus
merengek agar ia dapat memegang sebuah stabilo hijau selama menjalani terapi.

Gejala yang paling mudah dikenali dari autisme adalah minimnya kontak mata anak terhadap lawan
bicaranya. Gejala lain yang juga mudah dikenali adalah apabila anak mengalami keterlambatan
bicara. Bagaimanapun, untuk gejala yang kedua ini, orang tua perlu berhati-hati. Tidak semua anak
yang terlambat bicara pasti mengalami autis, namun terlambat bicara merupakan salah satu
karakteristik autis.

Apa yang Harus Saya Lakukan?

Langkah pertama yang perlu ditempuh orang tua apabila mencurigai anaknya mengalami autis adalah
dengan membawa anak tersebut pada ahli. Diagnosa autis dapat ditegakkan oleh seorang psikolog
atau dokter melalui pemeriksaan yang terstandarisasi. Apabila anak mengalami autis, umumnya
psikolog atau dokter akan menganjurkan orang tua untuk mengikutkan anak dalam terapi. Jenis dan
jumlah jam terapi biasanya tergantung pada seberapa berat gangguan autis yang dialami anak.
Umumnya jenis terapi yang perlu diikuti adalah terapi sensori intrgrasi, perilaku, dan wicara. Tidak
sedikit pula anak yang perlu menjalani farmakoterapi, yaitu pemberian obat tertentu oleh dokter.
Pastikan tempat terapi memiliki program dan sistem evaluasi yang baik untuk memantau kemajuan
anak.

Selain terapi, anak yang mengalami autis juga perlu menjalani diet. Diet yang tepat akan
'mempersiapkan' tubuh anak menerima materi terapi. Tanpa diet, terapi yang dilakukan akan menjadi
kurang efektif. Umumnya, diet yang harus dijalani adalah dengan menghindari makanan yang
mengandung kasein dan gluten. Hal ini termasuk salah satu tugas terberat orang tua. Karena tidaklah
mudah menahan anak mengkonsumsi makanan yang mengandung kasein seperti susu, mentega, es
krim, coklat, dan yogurt. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja sulit menahan dirinya untuk tidak
mengkonsumsi coklat. Belum lagi makanan yang mengandung gluten yang umumnya terdapat dalam
tepung terigu. Makanan seperti roti, biskuit, mi, makaroni, spagheti, dan segala sesuatu yang berasal
dari terigu wajib dihindari. Bagaimanapun tidak semua anak yang terdiagnosa autis harus
menghindari semua jenis makanan tersebut. Untuk mengetahui secara spesifik jenis makanan apa
yang harus dihindari anak, dapat diadakan tes alergi.

Dalam melakukan penanganan, orang tua perlu bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait
dengan anak, seperti: psikolog, dokter, terapis, guru, dan seluruh anggota keluarga. Bahkan, sangatlah
penting untuk melatih pengasuh anak agar ikut melatih anak di rumah.
Besar Kecil Normal
GEN PENYEBAB AUTISME DITEMUKAN DOMINAN PADA PRIA
Kamis, 21 Mei 2009 | 02:10 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta : Bagi pemerhati sindrom kelainan emosional dan mental yang disebut
dengan istilah autisme, riset yang menunjukkan bahwa kelainan itu lebih rentan menimpa anak laki-
laki dibanding perempuan mungkin sudah pernah didengar.
Riset itu dilanjut oleh kelompok peneliti dari University of California, Los Angeles (UCLA) yang
melaporkan penjelasan atas hasil riset sebelumnya pada jurnal kesehatan Molecular Psychiatry baru-
baru ini.
Tim dari UCLA itu menemukan unsur genetis tertentu pada pola genetis penderita-penderita autis
yaitu pada kromosom 17. Kromosom 17 adalah salah satu dari 23 pasang kromosom yang menyusun
struktur DNA dan protein pada setiap sel manusia, yang mengandung sekitar 1.200 sampai 1.500
unsur genetis.
Para ahli memberi nama unsur genetis itu CACNA1G dan mengatakan pengamatan mereka atas 1.000
penderita autis menunjukkan bahwa unsur itu lebih banyak ditemui pada penderita laki-laki dibanding
perempuan. Namun penelitian itu belum dapat menjelaskan mengapa unsur itu bisa lebih banyak
ditemui pada penderita laki-laki dibanding perempuan.
Dr. Daniel Geschwind, Direktur Pusat Penelitian dan Penanganan Autisme Universitas California
Los Angeles mengatakan unsur CAGNA1G sebenarnya ditemui secara umum pada sekitar 40 persen
sampel DNA yang diamati, namun satu varian dari unsur itu ternyata dominan pada anak laki-laki.
Namun Geschwind mengingatkan bahwa unsur genetis pada kromosom 17 itu tidak dapat dianggap
sebagai penyebab tunggal autisme karena masih banyak unsur genetis lain yang menjadi penyebab
kelainan itu seperti yang ditemukan pada riset-riset sebelumnya.
AUTISME PADA ANAK, MENGAPA BISA TERJADI?

Informasi selengkapnya... KASUS penyakit autis saat ini semakin banyak terjadi di dunia, termasuk di
Indonesia. Saat ini penyakit autis sudah dapat dideteksi sejak usia dini. Meski demikian, pengetahuan
awam mengenai autis dan bagaimana menanganinya masih belum diketahui luas.

Autisme adalah suatu gangguan yang ditandai oleh melemahnya kemampuan bersosialisasi,
bertingkah laku, dan berbicara. Autisme sering disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD).

Nah, untuk mengetahui apakah anak Anda mengidap autis, maka penting untuk mengetahui mulai dari
gejala, tindakan kuratif (penyembuhan) hingga tindakan preventif (pencegahan), serta makanan apa
yang baik dan tidak baik dikonsumsi oleh penderita autisme.

Sejalan dengan bulan "Autis Awareness", Sun Hope menggelar seminar kesehatan dengan mengambil
tema "Autiskah Anakku?". Dalam seminar yang diselenggarakan di Kantor Pusat Sun Hope Indonesia
ini, menghadirkan pembicara dr Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K), dan bintang tamu artis Diah
Permatasari.

Dalam seminar yang baru diadakan belum lama ini, dr Irawan memberikan pemahaman kepada para
peserta seminar lebih jauh mengenai penyakit autis. "Penyakit autis memiliki gejala-gejala yang
kemudian dapat membantu diagnosis dokter yang dapat dilihat dari perilaku para penderitanya,"
paparnya.

Menurut dr Irawan, anak autis memiliki gangguan komunikasi yang lemah. Artinya, tidak bisa
berbicara atau memiliki keterlambatan bicara pada usia seharusnya. Kadang kesalahan yang terjadi
diakibatkan kurang tahunya orangtua akan penyakit ini. Sehingga menganggap biasa anak yang telat
bicara.

"Bila anak Anda mengalamai ciri tersebut, maka sebaiknya cepat konsultasikan pada dokter,"
sarannya.

Ciri lain yang dapat dilihat ialah anak memiliki gangguan interaksi sosial. Dengan kondisi demikian,
anak sulit untuk diajak berkomunikasi. Tak hanya itu saja, lanjutnya, anak autis juga memiliki
gangguan perilaku.

"Ciri khas lainnya dari gejala autis ialah anak sering melakukan kegiatan yang berulang. Seperti
mukul-mukul sendiri atau suka memutar diri sendiri yang dilakukan berulang kali," terangnya.

Mengenai cara penanganan penyandang autis, ahli gizi Sun Hope Indonesia, Fatimah Syarief, AMG,
StiP menuturkan untuk memberikan nutrisi tepat.

"Pada beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami autisme ternyata juga alergi terhadap
makanan tertentu. Penderita autis umumnya mengalami masalah pencernaan, terutama makanan yang
mengandung casein (protein susu) dan gluten (protein tepung)," jelas Fatimah.

Karena kedua jenis protein tersebut sulit dicerna, maka akan menimbulkan gangguan fungsi otak
apabila mengonsumsi kedua jenis protein ini. Sehingga perilaku penderita autis akan menjadi lebih
hiperaktif.
Menurutnya, suplemen yang baik diperlukan penderita autis yang biasanya mengalami lactose
intolerance (ketidakmampuan pencernaan untuk mencerna laktosa). Salah satu suplemen yang baik
diberikan bagi penderita autis adalah sinbiotik.

"Sinbiotik yaitu gabungan probiotik dan prebiotik. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang
dimakan untuk memperbaiki secara menguntungkan keseimbangan mikroflora usus," kata dia.

Anak autis, sambungnya, memerlukan vitamin C sebagai antioksidan. Adapun sumber terbaik yang
dapat diberikan pada anak dengan kasus ini dapat berasal dari sayuran dan buah-buahan. Meski
demikian, sebaiknya pilih sayuran dan buah-buahan yang tidak mengandung pengawet.

Ditambahkan Fatimah, beberapa spesies yang biasa digunakan antara lain mengandung Lactobacillus
acidophilus, Lactobacillus casei, Bifidobacterium bifidum, Bifidobacterium infantis, Bifidobacterium
longum, dan Streptococcus lactis. Sementara itu, prebiotik adalah substansi makanan yang dapat
meningkatkan beberapa bakteri usus yang menguntungkan bagi kesehatan.
IMUNISASI PENYEBAB AUTIS ?

KEKAWATIRAN TERHADAP THIMEROSAL DAN AUTIS

Dr Widodo Judarwanto SpA

Rumah Sakit Bunda Jakarta, Jl Teuku cikditiro 28 Jakarta Pusat


PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN)
JL Rawasari Selatan 50 Jakarta Pusat.
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 – 4264126 – 31922005
email : wido25@hotmail.com , http://alergianak.bravehost.com

Dari waktu ke waktu jumlah penyandang spektrum Autis tampaknya semakin meningkat pesat. Autis
seolah-olah mewabah ke berbagai belahan dunia. Di beberapa negara terdapat kenaikan angka
kejadian penderita Autisme yang cukup tajam. Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada
anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa,
perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Di Amerika Serikat disebutkan Autis terjadi pada 60.000 –
15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan angka kejadian autis 10-20 kasus
dalam 10.000 orang.

Kontroversi yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada kemungkinan hubungan Autis dengan imunisasi
anak. Banyak orang tua menolak imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa beberapa jenis
imunisasi khususnya kandungan Thimerosal dapat mengakibatkan Autis. Akibatnya, anak tidak
mendapatkan perlindungan imunisasi untuk menghindari penyakit-penyakit justru yang lebih
berbahaya. Penyakit tersebut adalah hepatitis B, Difteri, Tetanus, pertusis, TBC dan sebagainya.
Banyak penelitian yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan bahwa Autis tidak berkaitan
dengan thimerosal. Memang terdapat teori atau kesaksian yang menunjukkan bahwa Autis dan
berhubungan dengan thimerosal.

Thimerosal atau Thiomersal adalah senyawa merkuri organik atau dikenal sebagai sodium etilmerkuri
thiosalisilat, yang mengandung 49,6% merkuri. Bahan ini digunakan sejak tahun 1930, sebagai bahan
pengawet dan stabilizer dalam vaksin, produk biologis atau produk farmasi lainnya. Thimerosal yang
merupakan derivat dari etilmerkuri, sangat efektif dalam membunuh bakteri dan jamur dan mencegah
kontaminasi bakteri terutama pada kemasan vaksin multidosis yang telah terbuka. Selain sebagai
bahan pengawet, thimerosal juga digunakan sebagai agen inaktivasi pada pembuatan beberapa vaksin,
seperti pertusis aseluler atau pertusis ”whole-cell”. Food and Drug Administration (FDA) menetapkan
peraturan penggunaan thimerosal sebagai bahan pengawet vaksin yang multidosis untuk mencegah
bakteri dan jamur. Vaksin tunggal tidak memerlukan bahan pengawet. Pada dosis tinggi, merkuri dan
metabolitnya seperti etilmerkuri dan metilmerkuri bersifat nefrotoksis dan neurutoksis. Senyawa
merkuri ini mudah sekali menembus sawar darah otak, dan dapat merusak otak.

WHO (Worls Health Organization), FDA (Food and Drug Administration), EPA (US Enviromental
Protection Agency), dan ATSDR Amerika Serikat (Agency for Toxis Substances and Disease
Registry) mengeluarkan rekomendasi tentang batasan paparan etilmerkuri yang masih bisa ditoleransi
antara 0,1 – 0,47 ug/kg berat badan/hari. Kandungan yang ada di dalam vaksin adalah etilmerkuri
bukan metilmerkuri. Etilmerkuri hanya mempunyai paruh waktu singkat di dalam tubuh, sekitar 1,5
jam, selanjutnya akan dibuang melalui saluran cerna. Sedangkan metilmerkuri lebih lama berada di
dalam tubuh.

Pendapat yang mendukung Autis berkaitan dengan Thimerosal :


Terdapat beberapa teori, penelitian dan kesaksian yang mengungkapkan Autisme mungkin
berhubungan dengan imunisasi yang mengandung Thimerosal. Toksisitas merkuri pertama kali
dilaporkan tahun 1960 di Minamata Jepang. Konsumsi ikan laut yang tercemari limbah industri,
sehingga kadar merkuri yang dikandung ikan laut tersebut mencapai 11 mcg/kg dan kerang 36 mcg/kg
(batas toleransi kontaminasi sekitar 1 mcg/kg). Penelitian pada binatang ditemukan efek neurotoksik
etilmerkuri dan metil merkuri. Ditemukan kadarnya di dalam otak cukup tinggi pada metil merkuri.
Hal ini menunjukkan bahwa merkuri dapat menembus sawar darah otak.

Saline Bernard adalah perawat dan juga orang tua dari seorang penderita Autisme bersama beberapa
orang tua penderita Autis lainnya melakukan pengamatan terhadap imunisasi merkuri. Mereka
bersaksi di depan US House of Representatif (MPR Amerika) bahwa gejala yang diperlihatkan anak
Autis hampir sama dengan gejala keracunan merkuri. Beberapa orang tua penderita Autis di
Indonesiapun, berkesaksian bahwa anaknya terkena autis setelah diberi imunisasi

Penelitian dan rekomendasi yang menentang Thimerosal menyebabkan Autis


Sedangkan penelitian yang mengungkapkan bahwa Thimerosal tidak mengakibatkan Autis juga lebih
banyak lagi. Kreesten M. Madsen dkk dari berbagai intitusi di denmark seperti Danish Epidemiology
Science Centre, Department of Epidemiology and Social Medicine, University of Aarhus, Denmark
Institute for Basic Psychiatric Research, Department of Psychiatric Demography, Psychiatric Hospital
in Aarhus, Risskov, National Centre for Register-Based Research, University of Aarhus,
Aarhus,Denmark, State Serum Institute, Department of Medicine, Copenhagen, Denmark
mengadakan penelitian bersama terhadap anak usia 2 hingga 10 tahun sejak tahun 1970 hingga tahun
2000. Mengamati 956 anak sejak tahun 1971 hingga 2000 anak dengan autis. Sejak thimerosal
digunakan hingga tahun 1990 tidak didapatkan kenaikkan penderita auitis secara bermakna.
Kemudian sejak tahun 1991 hingga tahun 2000 bersamaan dengan tidak digunakannya thimerosal
pada vaksin ternyata jumlah penderita Autis malah meningkat drastis. Kesimpulan penelitian tersebut
adalah tidak ada hubungan antara pemberian Thimerazol dengan Autis.

Stehr-Green P dkk, Department of Epidemiology, School of Public Health and Community Medicine,
University of Washington, Seattle, WA, bulan Agustus 2003 melaporkan antara tahun 1980 hingga
1990 membandingkan prevalensi dan insiden penderita autisme di California, Swedia, dan Denmark
yang mendapatkan ekposur dengan imunisasi Thimerosal. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
insiden pemberian Thimerosal pada Autisme tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Geier DA
dalam Jurnal Americans Physicians Surgery tahun 2003, menungkapkan bahwa Thimerosal tidak
terbukti mengakibatkan gangguan neurodevelopment (gangguan perkembangan karena persarafan)
dan penyakit jantung. Melalui forum National Academic Press tahun 2001, Stratton K dkk
melaporkan tentang keamanan thimerosal pada vaksin dan tidak berpengaruh terhadap gangguan
gangguan neurodevelopment (gangguan perkembangan karena persarafan).

Hviid A dkk dalam laporan di majalah JAMA 2004 mengungkapkan penelitian terhadap 2 986 654
anak pertahun didapatkan 440 kasus autis. Dilakukan pengamatan pada kelompok anak yang
menerima thimerosal dan tidak menerima thimerosal. Ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Disimpulkan bahwa pemberian thimerosal tidak berhubungan dengan terjadinya autis.
Menurut penelitian Eto, menunjukkan manifestasi klinis autis sangat berbeda dengan keracunan
merkuri. Sedangkan Aschner, dalam penelitiannya menyimpulkan tidak terdapat peningkatan kadar
merkuri dalam rambut, urin dan darah anak Autis. Pichichero melakukan penelitian terhadap 40 bayi
usia 2-6 bulan yang diberi vaksin yang mengandung thimerosal dan dibandingkan pada kelompok
kontrol tanpa diberi thimerosal. Setelah itu dilakukan evaluasi kadar thimerosal dalam tinja dan darah
bayi tersebut. Ternyata thimerosal tidak meningkatkan kadar merkuri dalam darah, karena etilmerkuri
akan cepat dieliminasi dari darah melalui tinja. Selain itu masih banyak lagi peneliti melaporkan hasil
yang sama, yaitu thimerosal tidak mengakibatkan Autis.

Bagaimana sikap kita sebaiknya ?


Bila menyimak dan mengetahu kontroversi tersebut tanpa memahami dengan jelas, maka masyarakat
awam bahkan beberapa klinisipun jadi bingung. Bila terpengaruh oleh pendapat yang mendukung
keterkaitan Autis dan imunisasi tanpa melihat fakta penelitian lainnya yang lebih jelas. Maka, akan
mengabaikan imunisasi dengan segala akibatnya yang jauh lebih berbahaya pada anak. Penelitian
dalam jumlah besar dan luas tentang Thimerosal tidak mengakibatkan Autis secara epidemiologis
lebih bisa dipercaya untuk menunjukkan sebab akibat. Laporan beberapa penelitian dan kasus
jumlahnya relatif tidak bermakna dan dalam populasi yang kecil. Hanya menunjukan kemungkinan
hubungan tidak menunjukkan sebab akibat. Beberapa institusi atau badan kesehatan dunia yang
bergengsi pun telah mengeluarkan rekomendasi untuk tetap meneruskan pemberian imunisasi MMR.
Hal ini juga menambah keyakinan bahwa memang Thimerosal dalam vaksin memang benar aman.

Walaupun paparan merkuri terjadi pada setiap anak, namun hanya sebagian kecil saja yang
mengalami gejala Autis. Peristiwa tersebut mungkin berkaitan dengan teori genetik, salah satunya
berkaitan dengan teori Metalotionin. Metalothionein merupakan suatu rantai polipeptida liner tediri
dari 61-68 asam amino, kaya sistein dan memiliki kemampuan untuk mengikat logam. Pada penderita
Autis tampaknya didapatkan adanya gangguan metabolisme metalotionin. Gangguan metabolisme
tersebut dapat mengakibatkan gangguan ekskresi (pengeluaran) logam berat (merkuri dll) dari tubuh
anak autis. Gangguan itu mengakibatkan peningkatan logam berat dalam tubuh yang dapat
mengganggu otak, meskipun anak tersebut menerima merkuri dalam batas yang masih ditoleransi.

Pada anak sehat bila menerima merkuri dalam batas toleransi, tidak mengakibatkan gangguan.
Melalui metabolisme metalotionin pada tubuh anak, logam berat tersebut dapat dikeluarkan oleh
tubuh. Tetapi pada anak Autis terjadi gangguan metabolisme metalotionin.Kejadian itulah yang
menunjukkan bahwa imunisasi yang mengandung thimerosal harus diwaspadai pada anak yang
beresiko Autis, tetapi tidak perlu dikawatirkan pada anak normal lainnya.

Penelitian atau pendapat beberapa kasus yang mendukung keterkaitan Autisme dengan imunisasi,
tidak boleh diabaikan bergitu saja. Sangatlah bijaksana untuk lebih waspada, bila anak sudah mulai
tampak ditemukan penyimpangan perkembangan atau perilaku sejak dini. Dalam kasus tersebut untuk
mendapatkan imunisasi yang mengandung Thimerosal harus berkonsutlasi dahulu dengan dokter
anak. Mungkin harus menunda dahulu imunisasi yang mengandung thimerosal sebelum dipastikan
diagnosis Autis dapat disingkirkan. Dalam hal seperti ini, harus dipahami dengan baik resiko, tanda
dan gejala autis sejak dini.
Bila anak tidak beresiko atau tidak menunjukkan tanda tanda dini terjadinya Autis maka tidak perlu
kawatir untuk mendapatkan imunisasi tersebut. Kekawatiran terhadap imunisasi tanpa didasari
pemahaman yang baik, akan menimbulkan permasalahan kesehatan yang baru pada anak kita. Dengan
menghindari imunisasi, beresiko terjadi akibat berbahaya dan dapat mengancam jiwa. Bila anak
terkena infeksi yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi.
PENYEBAB ANAK MENJADI PENDERITA AUTISME ( ADD, ADHD, ASPERGER)

Suatu fenomena aneh terjadi saat ini, dimana banyak anak-anak jaman sekarang menderita autisme
(add- attention defisit disorder, adhd-attention defisit hyperaktive disorder... bagaimana cara
menanganinya dapat dibaca disini.

Saya lalu berusaha mencari penyebabnya, berdasarkan banyak informasi yang saya peroleh, baik dari
media maupun orangtua penderita langsung, maka saya mencoba memberikan masukan tentang faktor
penyebabnya, memang masih harus dibutuhkan penelitian dari para ahli lebih lanjut tentang sahih atau
tidak sahihnya faktor penyebab ini.

Faktor-Faktor Penyebab Anak menjadi penderita Autisme ( ADD, ADHD, Asperger):

1.Tambalan gigi ibu hamil


KADAR TIMBAL TINGGI

Banyak dari anak penderita add/adhd memiliki kadar timbal yang lebih banyak dari anak-anak lain
yang menyebabkan berubahnya susunan dan fungsi sel otak.

hal itu dipengaruhi karena kandungan timah/ logam yang ada dalam tambalan gigi si ibu, memang
tidak semuanya tambalan gigi memakai unsur logam tapi hal itu perlu ditanyakan kepada dokter gigi
yang bersangkutan.

2. KAndungan Nutrisi dalam SUSU - AHA, DAH, FOLAT dan unsur lain...
Memang sepertinya kita ingin bayi kita pintar dan sehat... tapi ada penelitian yang mengatakan bahwa
kandungan ini malah memicu terjadinya perubahan sel dalam otak anak tersebut. Bukannya anak kita
malah jadi tidak boleh minum susu, tapi diperhatikan dulu apakah memang ada kegunaannya susu-
susu mahal itu.

3. Kandungan CO2 dalam udara


Bagi para ibu hamil dan menyusui disarankan untuk memakai masker atau setidaknya menutup
hidung ketika memasuki kawasan berpolusi, di belakang angkot

4. PRODUK KOSMETIK PEMUTIH WAJAH DAN KULIT segala jenis


Maaf kepada pencinta kulit putih tapi pucat... hehehe.... dalam kosmetik mu pasti ada mercury nya
walaupun itu kadarnya 0,00001 persen, jangan lansung percaya produk, lihat dan teliti.

5. KADAR STRESS Ibu yang mengandung


Hendaknya kadar stress dapat dijaga. Tugas besar para suami untuk SIAGA- Siap Antar Jaga...

6. Pola makan dan kebiasaan makan yang buruk


Bukan saya ingin mengajari, tapi bukankah menjadi ibu adalah dambaan setiap wanita? merasa
beruntunglah dan bersyukur akan kehidupan baru itu...

7. Kesalahan Pola Asuh Anak


Ini bisa dilihat di metro tv tiap minggu apa ya... Nanny 911 ... lihatlah bagaimana kesalahan pola asuh
orangtua menjadikan anak menjadi liarr ( pinjam kata2 jf ) dan suka menentang ( pinjem kata-kata
hai2) orang tua , bagaimana anak akan mendengarkan guru di sekolah jika di rumah saja sudah tidak
bisa diatur, tidak ada disiplin dan semaunya sendiri...

8. Keterlambatan Terapi
Orangtua menganggap anaknya normal-normal saja dan tidak mau mendengar keluhan guru tentang
anaknya. Merasa malu jika anaknya harus diterapi padahal hal itu sangat dibutuhkan oleh si anak.

PENTINGNYA ASAM FOLAT


MONDAY, 04 AUGUST 2008 18:06 PREGNANCY

KEKURANGAN asam folat sangat berpengaruh pada perkembangan sistem saraf utama otak dan
tulang belakang janin. "Asam folat memang berperan penting pada fase awal pembentukan janin,
yaitu pada fase pembentukan sistem saraf pusat." kata Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, SpOG(K) dari
Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Cukupi Sejak Sebelum Hamil

Saat seorang wanita menyadari kehamilannya, maka kehamilan itu sebenarnya sudah berusia 5-6
minggu. Padahal, cacat tabung saraf janin (NTD) bisa terbentuk saat kehamilan berusia 2-4 minggu.
Itu sebabnya, idealnya kebutuhan asam folat sudah tercukupi sejak sebelum terjadinya kehamilan.

Secara umum, kebutuhan wanita usia subur serta ibu hamil akan asam folat adalah sekitar 400-600
mikrogram (0,4-0,6 mg) per hari. Kecukupan ini bisa mencegah 50-70 persen resiko NTD. Artinya,
bila memang ingin hamil, seorang wanita sebaiknya sudah harus mencukupi kebutuhan asam folatnya,
minimal 4 bulan sebelum kehamilan.

Ibu dan Janin

Jika perkembangan sistem saraf utama terganggu, maka akan mempengaruhi perkembangan janin,
yakni pembentukan tulang-tulang kepala, termasuk wajah (menyebabkan sumbing), sistem hormon
(pada anak perempuan, di saat dewasa kelak bisa tidak mengalami menstruasi) dan perkembangan
pusat kecerdasan (gangguan belajar). Selain itu, juga berakibat pada sistem motorik (mengalami
lumpuh, tidak bisa berjalan tegak), tidak ada kontrol untuk buang air besar maupun buang air kecil
serta adanya gangguan jantung.

Pada ibu hamil sendiri, menurut dr. Ovi, asam folat berperan penting dalam pembentukan sel darah
merah. Itu sebabnya, ibu hamil yang mengalami kekurangan asam folat, umumnya juga mengalami
anemia dengan segala konsekuensinya (terlihat pucat dan mudah letih, lesu dan lemas). Bahkan, juga
berisiko mengalami persalinan prematur, plasenta lepas sebelum waktunya (solusio plasentae) dan
keguguran.

Dari Mana Mendapatkan Asam Folat?

Sebagaimana zat gizi lain, kecukupan asam folat yang merupakan turunan dari vitamin B ini, juga
bisa diperoleh dari berbagai makanan sehari-hari. sayuran berwarna hijau, seperti brokoli, bayam serta
asparagus, kaya akan asam folat. Begitu juga dengan buah-buahan berwarna merah atau jinga, seperti
semangka, jeruk, pisang, nanas, juga kiwi. Asam folat juga terdapat pada daging, hati sapi, ikan juga
susu (saat ini banyak susu yang difortifikasi asam folat).

Jika Anda menjalani pola makan sehat, yaitu mengonsumsi makanan bergizi dan seimbang, maka
seluruh zat gizi yang dibutuhkan tubuh Anda bisa dibilang sudah terpenuhi. Khusus untuk memenuhi
kebutuhan asam folat, ibu hamil bisa menambah porsi makanan sumber asam folat. Misalnya, tiga
porsi sayur kaya asam folat, tiga porsi buah dan dua gelas susu dalam sehari, di samping itu tentu saja
sumber protein (sekitar 200 gram setiap kali makan) serta karbohidrat.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah cara mengolah dan memasak makanan kaya asam folat. Bila
dimasak terlalu lama, kandungan asam folat bisa berkurang atau malah hilang. "Mengingat risiko
tersebut, maka ibu hamil perlu mengonsumsi suplemen asam folat secara teratur sesuai rekomendasi
dokter, yaitu sekitar 0,4 hingga 1 mg per hari," ujar dr. Ovy. Ibu hamil tak perlu takut kelebihan asam
folat karena akan dikeluarkan dari tubuh secara alamiah, namun sebaiknya tetap berkonsultasi dengan
dokter.

Tiga Bentuk Cacat Tabung Saraf

1. SPINA BIFIDA - adanya celah pada tulang belakang sehingga tidak bisa tertutup sempurna
akbiat beberapa ruas tulang gagal bertaut. Cacat jenis ini lumayan banyak terjadi di antara ibu
hamil yang mengalami kekurangan asam folat, yakni 65%. Meski bisa bertahan hidup, namun
bayi spina bifida sering disertai kelainan lain seperti kelumpuhan dan tidak ada kontrol untuk
buang air besar dan kecil.
2. ANENSEFALI - tidak sempurnanya pertumbuhan tengkorak kepala dan otak. Jenis yang
sering membawa kematian begitu bayi dilahirkan ini, dialami sekitar 25% dari ibu hamil yang
kekurangan asam folat.
3. ENCEPHALOCELE - adanya tonjolan di belakang kepala. Jenis ini diderita sekitar 10%
dari ibu yang kekurangan asam folat.

Bagaimana Mengetahui Janin Cacat Tabung Saraf

Lewat pemeriksaan USG (ultrasonografi) sekitar kehamilan minggu ke-12 atau ke-13. Untuk kasus
spina bifida program yang lebih diutamakan di Indonesia adalah pencegahan dan deteksi dini.
Umumnya, spina bifida tidak berdiri sendiri, tetapi pada janin tersebut juga terdapat beberapa kelainan
kongenital mayor lain, misal mengalami lumpuh dan tidak memiliki kontrol untuk buang air yang
membuat kehidupannya kelak sangat buruk. Itu sebabnya, dokter kan berusaha untuk memberikan
konseling pada ibu dan keluarga yang bersangkutan tentang kemungkinan pengakhiran kehamilan
sedini mungkin.

Selain itu, cacat tabung saraf pada janin ternyata juga bisa berulang pada kehamilan berikutnya. Hal
ini karena faktor pencetus terjadinya cacat ini bukan hanya kekurangan asam folat, tetapi juga
beberapa faktor lain, seperti keturunan (genetik), penderita obesitas, penderita diabetes yang sudah
sangat bergantung pada insulin atau penderita epilepsi dan mengonsumsi obat-obatan yang
menghambat penyerapan asam folat.

Karena itulah, pada mereka yang pernah dan masih mengalaminya, harus lebih berhati-hati.
Dianjurkan agar sebelum kehamilan berikutnya, mereka mengonsumsi asam folat minimal 0,4 mg per
hari selama kurang lebih 3-4 bulan sebelum merencanakan kehamilan.

Anda mungkin juga menyukai