Anda di halaman 1dari 6

A.

Logika
studi logika adalah studi tentang tata-fikir. Bila dilacak studi ini berangkat dari Yunani kuno
(3SM sampai 2SM), Islam Andalusia 8M sampai 13M), lalu Eropa (15M sampai 18M), dan
akhirnya menjadi sistem logika yang berkembang sampai sekarang (abad 18M sarnpai
sekarang). Logic Systems inilah yang membangun tradisi keilmuan sekarang; dimulai dari
tradisi Yunani yang rasional, diperkuat tradisi Islam Andalusia yang empirik eksperimental
sekaligus teosetris, dilanjutkan tradisi Eropa yang rasional empirik eksperimental sekaligus
berubah menjadi antroposentris. Sosok ilmu dan teknologi sekarang (18M sampai sekarang)
dibangun dari tradisi Eropa yang antroposentris menjadi humanistis. Quadrivium (matematika,
phisika, astronomi, dan musik) produk Islam Andalusia bersama Trivium (bahasa, logika, dan
retorika) produk Eropa renaissans menjadi liberal arts, yang di Barat sekarang menjadi ilmu
budaya klasik dan diajarkan sebagai ilmu dasar Perguruan Tinggi sampai sekarang.
Telaah Bagian Kedua ini penulis sajikan dalam bahasa implementasi penelitian dan
pengembangan ilmu. Agar langsung fungsional dan tidak kering.
Bagian ini dibangun mengikuti sistematisasi A. Tarski dalam bukunya Logic, Semantic,
Metamathematics, 2nd ed. Indianapolis, 1983, dengan beberapa tambahan dari penulis; dan
perkembangan terakhir Mathematic logics : Shelah (1991) tentang set theory, Shoenfield (1993)
tentang recursion theory, Hodges (1988) tentang model theory, yang dilanjutkan dengan
implementasi statistik dengan karya-karya du Toit dkk (2000, 2001) dengan model-model dalam
Program Lisrel, dan implementasi dalam test and measurement dalam Program-program Item
Respons Theory oleh der Linden & Hambleton dkk (1977, dan proof theory dalam Feferman
(1993).
Perkembangan logika materiil atau logika empirik dimulai dari logika positivistik matematik
induktif mulai abad 18M untuk IPA; logika positivistik kualitatif klasik abad 19M dan positivisme
kualitatif modem abad 20M untuk ilmu sosial humaniora, dan logika positivisme modern
matematik induktif abad 20M untuk ilmu sosial humaniora.
Selanjutnya logika abad 20M ini dapat penulis kelompokkan menjadi lima, yaitu positivistic logic,
philosophical logic, mathematic logic, postmodern logic, & pragmatic logic .

B. Positivistic Logic
Positivistic logic adalah logika yang hanya mengakui kebenaran rasional empirik indriawi
obyektif; yang berkembang dominan dalam ilmu pengetahuan alam sejak abad 18M, dan
mungkin sebelumnya. Pada abad. 19M positivistic logic diadopsi oleh ilmu sosial humaniora.
Positivistic logic adalah logika yang membangun pembuktiannya berdasar fakta recieved view,
atau fakta yang diterima pasif oleh pengamatan tanpa intervensi idee manusia. "Diterima pasif"
maksudnya tidak ada intervensi fikiran manusia, tiada interpretasi manusia.

1. Positivisme Logik Kualitatif


Positivisme logik kualitatif ilmu sosial untuk membangun dan mengembangkan teori sosial
tertentu : universalisme, teori konflik, atau lainnya dan menggunakan data rasional empirik
indriawi obyektif untuk pembuktian dan pengembangan teori sosial tertentu. Kebenaran
positivisme kualitatif dibuktikan dengan mencari causal relations rasional antar empiri faktual
satu dengan lainnya. Lebih jauh dibahas dalam philosophical logic dalam point: rational
empiric objective logic.
2. Positivisme Logik Kuantitatif
Positivisme logik kuantitatif membangun dan mengembangkan ilmunya (baik ilmu sosial
maupun ilmu pengetahuan alam) dengan menggunakan data rasional empirik indriawi
obyektif dengan teknik uji mendasarkan teori matematik untuk pembuktian dan
pengembangan ilmunya.

C. Philosophical Logic
Tarski membedakan : a. syntaxtical logic dengan b. semantical logic. Dalam philosophical logic
abad 20M ini penulis menambahkan rational empiric objective logic, d. hermeneutik logic, e.
logika induktif phenomenologik, dan f. logika deduktif phenomenologik.

1. Syntaxtical Logic
Makna syntax sccara harfiah adalah konstruksi kalimat mengikuti penataan berdasar aturan
grammar atau tatabahasa. Suatu kalimat akan diurai kata-katanya sesuai fungsinya dalam
kalimat sebagai subyek, predikat, obyek. Suatu kata dimaknai dengan mencermati akar
katanya dan perubahan kata jadiannya : kata kerja, kata benda abstrak, kata sifat, dan
seterusnya. Memaknai suatu kata dalam kalimat dikaitkan dengan fungsi dan makna kata
jadiannya. Semua argumentasi dikembalikan pada kriteria grammarnya. Telaah syntaxtical
logic berada di kawasan ilmu linguistics.
2. Semantical Logic
Makna semantic secara harfiah adalah makna sirnbolik. Syntaxtical logic berada di kawasan
ilmu linguistics, adapun semantical logic berada di kawasan studi karya sastra.
3. Rational Empiric Objektive Logic
Rational empiric obyective logic mendeskripsikan perkembangan positivisme kualitatif ilmu
sosial. Positivisme kualitatif menggunakan data rasional empirik indriawi obyektif untuk
meneliti dan mengembangkan ilmu berdasar teori tertentu. Pada abad 19M ilmu social
menggunakan teori budaya universalisme atau partikularisme historis. Pada abad 20M ilmu
sosial menggunakan teori konflik, teori fungsional, teori budaya paralelisme, teori sejarah
rekonstruksi sosial, dan teori ilmu sosial lainnya, baik yang merupakan grand theory
maupun teori spesifik.
Logika berdasar teori budaya paralelisme dibangun sebagai counter atas cara perlakuan
Barat yang mendegradasikan Tirnur. Pada era kolonial, Tirnur selalu dilihat primitif,
tertinggal dan sifat-sifat lain yang negatif dengan menggunakan kriteria Barat: rasional,
efisien, sehat, obyektif, dan lainnya. Menurut logika kolonial: yang primitif perlu
dikembangkan secara evolusioner menjadi maju seperti Barat. Evolutionary postcolonial
logic menggunakan logika bahwa setiap satuan sosial dapat berkembang divergen, dengan
kriteria tidak sekedar efisien, bersih, obyektif, masuk akal melainkan kriteria lebih tinggi
seperti kemanusiaan, sehat jiwa-raga, bermoral, dan berkeadilan. Referensi psikologi yang
mendudukkan spiritualitas sebagai bentuk keyakinan primitif (baca Yung dan Freud) perlu
dikoreksi. Referensi filsafat berteori tentang perkembangan dari religious -methaphisik-
positivistik perlu dikoreksi. Referensi teori antropologi perkembangan agama dari dinamisme
ke animisme ke politheisme menjadi monotheisme perlu diganti.
4. Hermeneutic Logic
Ada semacam tumpang-tindih atau interchangable term antara semantik dan hermeneutik,
dan penulis melihat beda antara keduanya, maka pada logika yang disebut Tarski
(syntaxtikal dan semantikal) penulis tambahkan hermeneutic logic. Semantical logic
berpusat pada logosentrisme dan berada di kawasan karya sastra. Adapun hermeneutic
logic berpusat pada the art of understanding, dan berada di kawasan filsafat
phenomenologik.
5. Phenomenological Inductive Logic
Tahun 1970an dunia ilmu menjadi heboh dengan munculnya cara berfikir induktif yang
grounded. Aliran ini menolak adanya prakonsepsi sebelum penelitian. Aliran ini menuntut
menemukan konsep, menemukan teori dari sikap netral atas fakta-fakta yang dihadapi di
lapangan. Sikap netral ini ditegaskan lagi bahwa fungsi peneliti hanya merumuskan apa
yang dikonsepkan oleh masyarakat subyek penelitian. Peneliti membantu merumuskan
yang tepat menurut subyek penelitian.
Phenomenological logic baik yang induktif maupun yang deduktif penulis masukkan sebagai
dua dari enam model analisis logik inferensial filosofik, karena beberapa alasan yang
penulis kemukakan berikut.
Logika ini berangkat dari pandangan filsafati tentang fakta, kebenaran, konfirmasi, dan
sistem inferensi logiknya, yang berbeda dengan sistem logika filsafat lainnya. Fakta (bagi
phenomenologi) merupakan sesuatu yang holistik esensial dan ada intesionalitas
terkandung dalam fakta tersebut. Phenomenon merupakan fakta dasar. Analisis dilakukan
dengan menggunakan phenomenon tersebut untuk membangun kebenaran.
6. PhenomenoIogical Deductive Logic
Logika ini perlu dikembangkan menggantikan ilmu manthiq atau ilmu alat yang
dikembangkan di lingkungan studi Islam, baik pondok pesantren, perguruan tinggi Islam,
dan madrasah, dan lebih luas dalam praktik keseharian kehidupan keagamaan (khususnya
Islam), bahwa apapun penjelasannya, selalu ditutup dengan ayat atau hadits tertentu untuk
kriteria pembenar uraian-uraiannya. Ilmu manthiq yang diajarkan menggunakan logika formil
Aristoteles (abad 35M), yang direkomendasikan oleh Al Gazah (abad 13M) untuk dipakai.
Dalam kuliah-kuliah di PascaSarjana IAIN penulis selalu mengkritik mengapa pakai logika
Aristoteles abad 3SM, bukan memakai logika Rasulullah saw (abad 6M) yang lebih maju?
Phenomenological deductive logic memang dari Karl Popper (abad 20M), dan penulis
contohkan cocoknya dengan logika yang dipakai Rasulullah saw. (Baca lebih lanjut di
Bagian Kesepuluh dan Kesebelas buku ini).
Phenomenological deductive logic dari Karl Popper menggunakan realisme metaphisik.
Dibangun tema teoretik atau tafsir maudhu' sebagai grand-concepts (sebagai teori besar
seperti: teori relativitas Einstein, atau cita ideal: kemanusiaan demokrasi, atau fungsi harta
dalam Islam).
Dibangun tema teoretik, operasionalnya berdasar sejumlah tesis, sejumlah hipotesis,
praduga, dan konsep-konsep lain ditampilkan suatu proposisi teoretik yang perlu diuji
secara empirik. Uji empiriknya menggunakan kasus-kasus untuk diposisikan dalam rentang
probabilitas kurve normal. Jawabannya bukan kategorik benar-salah (hitam-putih) seperti
manthiq, tetapi berada pada kadar nuansif (hitam-abu-abu-putih). Model tersebut penulis
tawarkan untuk menggantikan model manthiq. Dan rentang kebenaran obyektif universal
Popper penulis teruskan menuju ke kebenaran transendental wahyu (sebagai the highest
wisdom of Allah). Tema teoretiknya dibangun dengan mencermati ayat-ayat dan hadits
tasyri’ yang relevan dengan menggunakan prosedur maudhu' Quraish Shihab.

D. Mathematical Logic
1. Dari Logika Matematik Axiomatic Logic ke Logika Deduktif Set Theory
Axiomatic logic merupakan model logika matematik deduktif dengan axioma. Sesuatu
kebenaran dibuktikan berangkat dari pengakuan kebenaran umum deduktif yang disebut
teori. Empiri-empiri diuji dengan cara dicocokkan dengan teorinya. Bangunan teori akan
disebut hipotesis yang belum diuji dengan empiri. Hipotesis yang telah teruji pada empiri
akan disebut sebagai tesis. Dalam pemikiran axiomatik, ada tesis yang tidak perlu
dibuktikan karena pekerjaan akan berkepanjangan bila setiap titik berangkat berfikir
dibuktikan lebih dahulu. Tesis yang dipakai untuk titik berangkat dan tidak perlu dibuktikan,
dan kalau dituntut dibuktikan dapat dibuktikan, dalam matematika disebut axioma.
Pemikiran Cantor, dan selanjutnya Cohen pada tahun 1960 menemukan bahwa axiomatic
logic diragukan atas bukti bahwa keniscayaan benar itu luas sekali, dan kemungkinan benar
itu terbatas sekali, sehingga kebenaran tidak dapat lagi dipayungi oleh aksioma kita,
theoreem kita. Akan selalu saja ada kemungkinan tidak tercakupnya semua keniscayaan,
dan menjadi mungkinnya salah dari aksioma ataupun theoreem kita. Dengan demikian
kebenaran yang kita andalkan pada kebenaran axiomatik ataupun kebenaran theorem perlu
diganti dengan kebenaran deduktif dengan set theory, sesuatu axioma theorem benar
dalam set tertentu saja. Dalam logika matematik ini menjadi memungkinkan terciptanya
axioma atau theoreem baru dalam set lain. Atau lebih tepat dikatakan : "berfikir berangkat
dari axioma atau kebenaran sel evident perlu ditinggalkan".
2. Logika Matematik Induktif Kalkulus Universal Diolah dengan Recursion
Kalkulus universal merupakan model logika matematik induktif. Kalkulus antar jenis menjadi
telaah logika ini. Eksperimen ilmu pengetahuan alam tidak dapat menggunakan kalkulus
formal proposisi dalam jenis yang digunakan pada model logika Aristoteles. Sejak
berkembangnya uji eksperimental dibutuhkan uji antar jenis. Jenis panas diuji relevannya
dengan tingkat didih, dengan berat jenis, dengan tekanan udara, dari zat cair, misalnya,
Model logika Aristoteles uji proposisi dalam jenis tidak dapat digunakan; ditemukan logika
matematik uji relevansi empirik antar jenis, dan inilah yang kemudian disebut kalkulus
universal.
Model logika kalkulus antar jenis ini mendominasi IPA eksperimental positivistik yang
menggunakan uji induktif antar jenis.
Sejak tahun 1960 berkembang teknik uji secara rekursif data-data statistik yang diperoleh
dengan rotasi, iterasi, dengan pengembangan matrikal dan lain-lain cara untuk memperoleh
pembacaan data yang lebih baik.
3. Pengembangan Logika Matematik Deduktif Set Theory ke Model Theory
Berangkat dari set theory dikembangkanlah permodelan dengan menggunakan teknik
statistik yang canggih dan berkembanglah teknik statistik seperti Lisrel dan Item Response
Theory.
Kebenaran yang dijangkau dengan teknik Lisrel ataupun IRT, meskipun canggih sebatas
benar dalam model tersebut lebih mendasar dan elementer berdasar set theory kebenaran
yang dijangkau logika matematik sebatas setting penelitian yang bersangkutan.
4. Pengembangan dari Logika Klasik ke Proof Theory
Logika klasik dengan all are completely infinite, menyulitkan membuat titik berangkat dalam
berilmu pengetahuan. Descartes menampilkan titik berangkat dari cogito ergo sum. Hilbert
menawarkan dua alternatif bagaimana membuat titik pijak yang finite dari yang totally
infinite. Pertama dengan menggunak mathematic consistency system, dan kedua dengan
menggunakan constructive consistency system. Seperti diketahui bahwa mathematic
kesemuanya finite dalam sistemnya. Ruang dengan dimensi tak terhingga pun bersifat
finite.
Theory testing, theory development dapat menggunakan model-model matematik yang
dapat dipilih untuk menguji kebenaran teorinya atau mengembangkan teorinya. Pada era
mu'takhir ini dibutuhkan constructed theory, bukan sekedar teori yang dibangun dari uji
relevansi variabel. Mengkonstruk teori secara deduktif diperlukan konstruk teoretik
konseptual yang kokoh.

E. Postmodern Logic
Istilah nonstandard logic dipakai oleh banyak ahli sebagai model logika postmodern yang
tidak termasuk yang philosophical ataupun mathematical logic. Mengantisipasi
perkembangan masa depan, penulis lebih suka menggunakan istilah postmodern logic,
karena member peluang munculnya model logika lain yang juga kritis, kreatif, dan
dekonstruktif, sekaligus penggunaan istilah nonstandard akan member peluang meluas
pada yang philosopitical dan mathematical yang nonkonvensional. Dengan istilah
postmodern logic akan nampak disamping dua model yang sudah dikenal a. quantum logic
dan b. paraconsistent logic, penulis kenalkan tiga model lainnya, yang sudah penulis
kemukakan juga di Filsafat Ilmu 2001, yaitu : c. postmodern qualitative logic, d. postmodern
quantitative logic, dan e. paradigmatic logic.
1. Teori Quantum dan Quantum logic
Penulis melacak bangunan quantum logic mulai dari pendapat Hans Reichenbach (1891-
1953). Teori yang diverifikasi akan menghasilkan kesimpulan benar-salah. Semua itu dapat
dilakukan bila proposisi-proposisinya memiliki meaning yang sama. Sedangkan
Reichenbach berpendapat Iain. Pertama, konsekuensi observasi menunjukkan adanya
sejumlah proposisi indirek, karena munculnya interphenomena dan juga pencitraan atas
unobservable phenomena. Kedua, proposisi tersebut mempunyai surplus meaning, sebagai
konsekuensi observasi. Dan akhirnya Reichenbach mengetengahkan a probability theory of
meaning, dan menolak a truth theory of meaning. True valued logic (benar-salah) diganti
probabilistic theory. (Catatan: bedakan probabilistic theory matematik deduktif dengan
probabilistic inferences matematik induktif). Lebih lanjut Reichenbach mengetengahkan
interpretasinya tentang phenomena dalam quantum mechanics. Dari berbagai eksperimen
Newton, Planck, dan Einstein masing-masing menemukan fakta-fakta hasil eksperimen
yang mampu membuktikan "kebenaran" teorinya. Penulis sebut kebenaran dengan tanda
petik, karena yang dihasilkan oleh eksperimen masing-masing lebih merupakan
phenomena-phenomena yang relevan dengan teori yang dikemukakan; atau dengan kata
lain: masing-masing mengumpulkan data yang sesuai dengan teorinya, dan menghasilkan
pembuktian sesuai dengan teorinya. Belum dapat menjangkau kebenaran substantif
setidak-tidaknya atas dua alasan. Pertama, alam semesta ini terfahami oleh manusia sesuai
kemampuan manusia mengungkap, dan yang terungkap menjadi teori, yang pada saat lain
akan dicounter dengan teori lain. Kedua, alat pembuktian kebenaran baru sejauh
menjangkau kebenaran epistemologik. Ada interphenomena gelombang dan partikel yang
pertama (gelombang) lebih dapat dijelaskan dengan teori Newton, dan yang kedua (partikel)
lebih dapat dijelaskan dengan teori Einstein. Dengan adanya interphenomena yang belum
dapat diinterpretasikan, Reichenbach menawarkan penggantian a two valued logics: true-
false menjadi a three valued logics: truth-indeterminate-false. A three valued logics akan
menjadi landasan logika quantum yang kuantitatif matematik dalam era postmodern.
2. Paraconsistent Logic
Pada tahun 1960an dan 1970an berkembang banyak model logika yang kreatif karena kritis
dan cerdasnya pemikiran yang bersangkutan; salah satu logika kualitatif yang menonjol
adalah paraconsistent logics yang dikembangkan oleh Jaskowski. Logika ini membuat
inferensi berdasar kasus dalam jenjang yang berbeda, dan dalam substansi telaah yang
berbeda, tetapi kreativitas cerdas postmodern mampu menarik benang merah substantif
baru menjadi kesimpulan logik baru.
Kasus 1 : hasil penelitian Clark di Indonesia : gaji di industri, lulusan STM di Jakarta lebih
rendah dari lulusan SMA. Kasus 2 : hasil penelitian Muchlas : urunan produktivitas pekerja
pabrik accu di Surabaya lulusan SD kalah produktif dari lulusan SLP. Lulusan SLP dan
lulusan SLA sama produktivitasnya. Kasus 3 : laporan World Bank tahun 1960an
menyatakan bahwa di Hongkong gaji lulusan diploma lebih tinggi dari gaji lulusan sarjana.
Kasus 4 : Pasca Perang Dunia II di negeri Belanda gaji tukang lebih besar dari gaji insinyur.
Garis merah yang penulis tarik dari 4 kasus tersebut adalah : adanya hubungan antara gaji
dengan tingkat perkembangan teknologi kerja di industri atau negara pada saat itu. Dari
kasus-kasus tersebut dapat dibangun suatu konseptualisasi lebih abstraktif mencakup
menjadi : besar-kecilnya pendapatan lebih terkait pada tingkat perkembangan lembaga
kerja, teknologi kerja, atau tingkat perkembangan ekonomi suatu negara, daripada tingkat
dan jenis pendidikan.
Pengalaman penulis mengajar epistemologi di Pasca IAIN, selama dua angkatan pada tiga
program studi : aqidah-filsafat, hukum Islam, dan pendidikan Islam. Konsep-konsep penulis
selalu mendapat perlawanan berkelanjutan. Pada angkatan ketiga penulis menyadari
adanya pola bahwa mahasiswa studi agama Islam hanya mengakui otoritas kebenaran
yang dapat diterima adalah otoritas Al Qur'an dan otoritas Rasulullah saw. Dari kesadaran
tersebut, penulis berupaya menghimpun sunnah Rasul pada dataran dataran yang berbeda-
beda, mulai dari “yang kamu lebih tahu duniamu" (kasus teguran Rasulullah tentang
penyerbukan kurma), ke pemikiran strategi perang "pemikiran anda lebih bagus dari
pemikiran saya (Rasulullah)" (kasus membuat oasis tiruan, bukan hanya oasis asli ditimbun,
ke "anjuran yang tidak mesti dipatuhi” (wanita yang telah merdeka minta cerai dari suaminya
yang masih budak), sampai ke "praktik ibadah yang Rasulullah bersikap fleksibel” (jama'
ta'khir sebelum sampai di Bani Khuraidhah – sesuai aturan shalat, dan jama' ta'khir setelah
sampai tujuan -- sesuai pesan Rasulullah). Itu merupakan contoh paraconsistent logic juga.
Paraconsistent logic atau logika dengan kesimpulan dari beragam kasus yang tidak
konsisten substansinya (kasus gaji) atau tingkat epistemology (kasus IAIN) dengan
kecerdasan tinggi dan kritis dapat pula dibangun dengan menggunakan tata fikir kontradiktif,
paradoxal, dan lainnya. (Baca tatafikir klaster L di Bagian Ketigabelas buku ini). Rasionalitas
menjadi landasan berfikir dalam paraconsistent logic, berbeda dengan logika kuatitatif
phenomenologik berikut ini.
3. Logika Kualitatif Phenomenologik Gadamer
Paradigma yang menggunakan filsafat phenomenologi Husserl mulai kokoh dan marak
menjadi alternatif perkembangan ilmu sejak 1970. Dalam pelacakan penulis paradigma
kualitatif yang tepat untuk mencari pemahaman moral adalah paradigma kualitatif
phenomenologik. Obyek materiil filsafat ilmu berupa fakta, kebenaran, konfirmasi, dan
logika inferensi dalam phenomenologi jelas karakteristiknya, yaitu adanya intensionalitas
subyektif interpretif atas fakta dan kebenaran. Karakteristik postmodernnya phenomenologik
Gadamer tampil dalam kritik berkelanjutan atas pemaknaan yang lampau, pemaknaan kini,
dan pemahamannya.
4. Paradigmatic Logics
Paradigma atau wacana atau discourses merupakan forum diskusi yang mengarah ke
rekonseptualisasi konstruk pemikiran banyak orang, banyak idee, dan banyak cara dan
akhirnya menghasilkan suatu constructive system yang digunakan untuk pengembangan
ilmu. Dalam tataran keilmuan, paradigma merupakan wacana pada dataran teori dan
malahan dapat pula merupakan wacana pada dataran filsafat ilmu. Dari sisi materinya,
paradigma dapat menyajikan wacana pemikiran substantif, dan dapat pula menyajikan
wacana pemikiran instrumentatif.
Constructive system sebagai wacana pada dataran filsafat, misalnya menyajikan paradigma
substantif : kebenaran tunggal sekuensial empiri indriawi dan empiri rasional, dikembangkan
menjadi kebenaran tunggal sekuensial empiri indriawi, empiri rasional, empiri etik, dan
empiri transendental.
Constructive system sebagai wacana pada dataran teori, misal-nya pendidikan menuju
kedewasaan dengan paradigma pendidikan formal, non formal, dan informal, menjadi
paradigma pendidikan sepanjang hayat dengan paradigma schooling dan learning society.
Constructive system sebagai wacana filsafat moral, misalnya tentang resiko perilaku
seseorang dilihat dari moral of human rights siapapun bertangungjawab atas semua resiko
perilakunya yang merugikan orang lain), dibanding affirmative moral (siapapun hanya dapat
diminta tanggungjawab atas perilaku yang dia ketahui resikonya). Teori moral pertama
melindungi warga negara; teori moral kedua melindungi para profesi, seperti dokter,
insinyur, guru, dan semacamnya.
Paradigma yang disepakati atau paradigma mana yang dapat dipahami ahli lain dapat
dipakai sebagai discourses pengembangan ilmu atau dapat dipakai sebagai discourses
untuk membangun argumentasi, untuk membuat analisis, untuk membuat kesimpulan, dan
juga untuk menyajikan prospek pengembangannya.
Teori moral of human rights dapat dilagakan di peradilan dengan teori affirmative moral.
Saran penulis : pengadilan perlu mensintesakan kedua teori moral tersebut menjadi moral
of social justice. Pencermatan pengadilan atas tuntutan malpraktik dokter menjadi
mencermati sejauh mana dokter memiliki pengetahuan untuk memahami resiko atas
alternatif tindakannya, sejauh mana dokter menjelaskan alternative treatmentnya telah
diinformasikan kepada keluarga pasien, dan sejauh mana dokter concern atas hak sembuh
dan hak hidup pasien.
F. Pragmatic Logic atau Technological Logic
Pada akhir abad 20M ini telah berkembang filsafat teknologi atau filsafat pragmatisme
menjadi subcabang keempat mendamping tiga subcabang : ontologi epistemologi dan
axiologi. Makna lebih dalam bagi penulis adalah tiga subcabang terdahulu mewadahi
curiousity manusia mengejar kebenaran substantif esensial. Adapun filsafat teknologi
maupun filsafat pragmatisme mewadahi curiousity manusia untuk in action perkelanjutan
mengintegrasikan rasio, empiri, dan tindakan. Basic-advanced sciences mewadahi
curiousity manusia untuk mencari kebenaran substantif-esensial, dan technological
sciences menjadi means bagi kepanjangan idee manusia untuk in action.
Penulis dalam posisi bahwa pragmatic logic dan technological logic itu dua konsep yang
interchangable, meskipun memiliki aksentuasi yang berbeda. Amerika diakui memiliki
karakteristik tersendiri dalam filsafat, yaitu karakteristik pragmatik, baik dalam ilmu, dalam
ekonomi, dalam politik, dan lainnya juga. Pragmatisme menjiwai seluruh kehidupan
Amerika. Pragmatisme dalam ilmu pengetahuan tampil menjadi filsafat teknologi.
Pragmatisme dalam pengembangan ilmu menjadi technological research, dan technological
sciences. Untuk mengembangkan penelitian, pragmatisme lebih menyukai membeli hak
patent hasil basic-advanced research; untuk mengembangkan produk-produk ilmu,
pragmatism lebih menyukai membeli hak patent temuan basic-advanced sciences.
1. Logika Pragmatik atas Technocratic Logic
Dalam membangun dan mengembangkan ilmu, para pragmatic atau para teknokrat
memfokus pada produk ilmu yang fungsional, yang praktis, yang efisien dan yang produktif.
Yang fungsional, yang efisien dan lain-lainnya itu tidak selalu menjamin keadilan dan tidak
selalu manusiawi.
Sejak berkembangnya teknologi yang sangat pesat para ilmuwan lebih terpukau pada
sukses atas temuan-temuan teknologi, dan membuat para ahli lebih sebagai teknokrat dan
membuat beragam pertimbangan bagi percepatan temuan dan pemanfaatan hasil kerja
teknologik; dan mengabaikan eksesnya pada kemanusiaan maupun keadilan. Invention dan
innovation dalam ilmu pengetahuan dan teknologi selalu dijadikan means untuk mencapai
ends yang umumnya lebih ke profit making. Mata rantai means -ends - means - ends di
proses dan diperkembangkan demikian, yang akhirnya manusia menjadi budaknya
teknologi yang diciptakannya.
2. Pragmatik Meta-ethik dan Humanities Engineering
Pada era 1980an penganut pragmatisme dan para teknokrat mulai menyadari pentingnya
mengimplisitkan sekaligus mengeksplisitkan nilai-nilai human. Teknologi berubah fungsinya,
bukan lagi sebagai means untuk mencapai ends, melainkan teknologi menjadi kepanjangan
idee manusia. Menemukan komputer bukan untuk profit making, melainkan karena scientific
curiousity. Terbang ke ruang angkasa tidak untuk profit making, melainkan karena
keingintahuan saja. Terbukti bahwa para ahli belum tergambarkan manfaat apa saja yang
dapat diperoleh dengan computer science, manfaat apa saja yang dapat diperoleh dengan
terbang ke ruang angkasa. Dan baru sesudah itu bermunculan banyak idee memanfaatkan
computer science maupun untuk pergi ke ruang angkasa untuk berbagai eksperimen.

G. Filsafat kebijakan
Sesudah Filsafat Teknologi diakui sebagai subcabang keempat filsafat ilmu, penulis
mengantisipasi bahwa akan muncul filsafat kebijakan sebagai subcabang kelima filsafat
llmu. Curiousity ilmuwan akan berkembang pada upaya mensejahterakan dan
meningkatkan martabat manusia. Filsafat sosial human rights sedang berkembang ke
filsafat sosial social justice, Di masa depan, ketika orang sadar bahwa tidak semua orang
mampu berkompetisi untuk meraih prestasi, terdapat sekelompok orang yang lemah yang
perlu dilindungi. Filsafat sosial social justice perlu dilapisi dengan affirmative action guna
melindungi yang lemah. Yang dhu'afak perlu disantuni, yang masakin perlu dientaskan,
ditingkatkan kemampuan produktifnya sehingga mampu mandiri. Sesudah terangkat dari
oiskemiskinan biarlah orang diberi sesuai prestasinya.

Anda mungkin juga menyukai