Abtrak
Pendidikan Agama Islam di Pondok Pesantren Khusus Waria “Senin-Kamis”
berorientasi pada pemberdayaan mental dan moral dengan menggiatkan
materi ubudiyah dan pemahaman hukum-hukum Islam, terutama yang
berkaitan dengan status waria. Hal ini berdampak pada tiga hal yaitu:
pertama, terhadap perilaku keberagamaan waria berupa; keyakinan
keagamaan, praktek keagamaan, pengalaman keagamaan, penghayatan
kegamaan, dan pengetahuan agama. Kedua, dampak terhadap Perilaku Sosial-
Budaya berupa timbulnya sikap penerimaan terhadap keberadaan waria.
Ketiga, dampak terhadap perilaku Ekonomi berupa adanya kesadaran untuk
beralih dari aktifitas ekonomi (kerja) di dunia malam yang indentik dan dekat
dengan “cebongan”, ke pekerjaan yang lebih baik seperti merias, penjaga toko,
dan LSM.
A. PENDAHULUAN
Menyembah dan mendekatkan diri pada Allah adalah fitrah manusia,
karena pada setiap diri mempunyai kesadaran “ber-Tuhan” yang dilekatkan Allah
dalam proses penciptaannya. Begitu juga dengan waria, makhluk yang sering
dipandang sebagai “setengah manusia” dan “jenis kelamin ketiga” ini
sesungguhnya dalam kesadaran religiusitas-nya sangat merindukan berTuhan,
tegursapa, berdialog, dan belaian mesra TuhanNya melalui berbagai macam
ibadah yang diperintahkanNya. Akan tetapi fitrah keberagamaan waria tidak
sepenuhnya tersalurkan dikarenakan beberapa hal. Pertama, keberadaan waria
kurang dapat diterima oleh masyarakat, sehingga terisolasi dan membentuk
komunitas tersendiri. Kedua, perhatian berbagai pihak seperti; agamawan,
pemerintah, dan lembaga-lembaga social-keagamaan lain terhadap waria kurang,
sehingga semakin menjauhkan waria dari berbagai aspek kehidupan termasuk
fitrah keberagamaannya.
Oleh karena itu, meneliti kehidupan waria terkait dengan perilaku
keagamaannya menjadi sangat menarik dan penting terutama dengan fenomena
dan inisitif pendirian Pondok Pesantren Waria “Senin-Kamis” di Yogyakarta.
Keberadaannya merupakan usaha “rekontruksi” pandangan umum tentang kaum
minoritas (waria). Bukan hanya sisi gelap kaum waria dengan dunia cebongan-
nya, akan tetapi dimensi humanis-religiusitas “manusia waria”.
Pondok Pesantren yang didirikan pada tanggal 28 Juli 2008 ini memiliki
sejumlah santri waria yang meliputi waria transeksual, gay, lesbian, beseksual
atau yang biasa dikenal dengan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender/Transeksual). Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Latar belakang pekerjaan mereka beraneka ragam; mulai dari pengamen, perias
pengantin, penjaga salon kecantikan, pemilik salon, penjaga toko, dan bahkan ada
yang bekerja sebagai pekerja seks (nyebong).
Aktifitas pondok pesantren waria meliputi pengajian, mujahadahan, belajar
baca al Qur’an, tata cara shalat, dan pengetahuan-pengetahuan agama lainnya.
Dilaksanakan setiap hari senin dan kamis karenanya pondok pesantren ini
dinamakan pondok pesantren ”Senin-Kamis”. Dalam praktik ibadahnya, mereka
diberi kebebasan memilih untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Hal ini
disebabkan karena tidak ada kejelasan jenis kelamin waria (transeksual—laki-laki
yang terpenjara dalam tubuh perempuan atau sebaliknya).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka pertanyaan penelitian yang dapat
diajukan adalah: Bagaimana model Pendidikan Agama Islam yang diajarkan
Pesantren Waria “Senin-Kemis”?, Bagaimana implikasi dari Pendidikan Agama
Islam tersebut terhadap prilaku santri Pesantren Waria “Senin-Kemis”?
Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui dan mendeskripsikan model
Pendidikan Agama Islam yang diajarkan Pesantren Waria “Senin-Kemis”. (2)
Mengetahui dan mendiskripsikan implikasi dari Pendidikan Agama Islam tersebut
terhadap prilaku santri Pesantren khusus Waria “Senin-Kemis”.
B. Kerangka Teori
Terdapat banyak istilah untuk menyebutkan pendidikan dalam Islam.
Istilah-istilah tersebut berasal dari terminologi Arab yaitu “al-tarbiyah”, “al-
ta‟dib”, “al-ta‟lim”, “al-tadrib”, dan “al-riyadhoh”. Kelima terminologi
tersebut, yang popular menjadi bahasan pendidikan Islam oleh para pemikir
pendidikan adalah terminologi “al-tarbiyah”, “al-ta‟dib”, dan “al-ta‟lim”
sedangkan yang sering digunakan dalam menyebutkan praktik pendidikan Islam
adalah terminologi “al-tarbiyah” seperti penggunaan istilah “at-Tarbiyah al-
Islamiyah”/ ( (التربية اآلسالميةyang berarti pendidikan Islam.
Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas memberikan pendapat bahwa istilah
“ta‟dib” adalah terminology paling tepat untuk menyebut pendiidkan Islam,
sebab struktur konsep ta‟dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu („ilm), instruksi
(ta‟lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah). Sehingga tidak perlu lagi dikatakan
bahwa makna pendidikan Islam merujuk pada istilah tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib
yang dipakai secara bersamaan.1 Berbeda dengan pendapat Al-Attas, Konferensi
Internasional Islam I di Mekah tahun 1977 mengartikan pendidikan Islam
mencakup tiga pengertian sekali gus yakni tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib.2
Terlepas dari berbagai pendapat tersebut, dalam hal-hal tertentu ketiga
terminologi—tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib—memiliki persamaan dan perbedaan
makna. Persamaan pengertian terletak kepada proses ilmu pengetahuan (process
of knowledge), Sementara perbedaannya—secara semantic—terletak kepada
penekanan pengertian dan penggunaanya. Istilah tarbiyah ( )التربيةdipakai untuk
menunjukkan pendidikan secara berkesinambungan, artinya sesuai dengan
tahapan-tahapan kehidupannya dan hanya mengacu kepada kepemilikan
1
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-
Attas, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 175.
2
King Abdul Aziz University, First Word Conference on Muslim Education,
Recommendation, Jedah and Makkah; King Abdul Aziz University, 1977, hal. 15
pengetauan bukan penanaman.3 Istilah ta‟lim ( )تعليمdigunakan dalam rangka usaha
memberi pengetahuan—mengenalkan—dan tidak mengandung arti pembinaan
kepribadian, sebab sedikit kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang
dibebabkan oleh pemberian pengetahuan.4 Sedangkan istilah ta‟dib ( )تأديبlebih
menekankan kepada usaha pembentukan karakter dan kepribadian yang baik.
3
Abd. Rahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam, Rekonruksi
Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal 33
4
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 26
5
Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 138.
6
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 121.
7
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,.. hal. 33.
C. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif analitik.
Penelitian kualitatif merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang
melibatkan pendekatan interpretatif terhadap setiap pokok persoalan yang
dikajinya. Alasan penggunaan metode ini karena ingin memahami dan
mendiskripsikan Pendidikan Agama Islam yang dipraktikkan komunitas LGBT di
pondok pesantren “Senin-Kamis”, yang meliputi model pembelajaran yang
diajarkan pesantren, implikasi dari pembelajaran agama Islam terhadap prilaku
waria.
Adapun metode deskriptif analitik disini adalah metode yang berusaha
menjelaskan fenomena sosial yang ada serta berusaha mencari gambaran
fenomena yang terjadi seputar pendidikan agama Islam yang dipraktikkan
komunitas LGBT di pondok pesantren “Senin-Kamis”.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisa data terdiri dari tiga alur
kegiatan yang terjadi bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi
data. Triangulasi yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan
trianggulasi sumber yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda.
Triangulasi sumber yang akan dilakukan adalah membandingkan data hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan data hasil wawancara
antar informan yang berasal dari berbagai unsur Pondok Pesantren khusus Waria,
dan membandingkan data hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.
10
Hesti Puspitosari & Sugeng Pujileksono, Waria dan Tekanan sosial, (Malang; UMM,
2005), hal. 9-10
11
Kemala Atmojo, Kami Bukan Lelaki, (Jakarta: Grafiti, 1989), hal. 3-4
tersebut dalam pengertian tidak menunjukkan jenis kelamin tertentu (baik laki-laki
dan perempuan), ia dikategorikan khunsa musykil.12
Mukhannats, adalah seorang laki-laki yang berperilaku, berlagak atau
berpura-pura menjadi seorang perempuan, padahal dari segi fisik ia secara jelas
berjenis kelamin laki-laki. Sebaliknya, Mutarojjil adalah seorang perempuan yang
berperilaku, berlagak atau berpura-pura menjadi seorang laki-laki, padahal dari
segi fisik secara jelas ia berjenis kelamin perempuan.
Sedangkan tasabbuh (menyerupai) adalah seseorang yang menyerupai
lawan jenisnya, jika seseorang secara jelas berjenis kelamin laki-laki akan tetapi
menyerupai perempuan, dan sebaliknya jika seorang secara jelas berjenis kelamin
perempuan akan tetapi menyerupai laki-laki.
Berbagai pengertian tersebut dapat difahami bahwa waria adalah seseorang
yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik, psikis, dan seks. Dalam arti secara
fisik dia adalah laki-laki tetapi secara psikologis perempuan, atau sebaliknya
secara fisik dia adalah perempuan tetapi secara psikologis laki-laki.
Ketidaksesuaian yang terjadi membuat waria tidak senang terhadap alat
kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan tersebut, maka
waria bertingkah laku dan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan.
12
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 2001), jilid 3, hal. 934
13
Al-Imam al-Kabir wa Al-Muhaddits Al-Syahir Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Al-
Thabari, Tafsir Al-Thabari, Jilid VII (Bairut: Dar Al-Fikr), hal. 87-89
14
Al-Imam Al-Qadhi Al-Nashr Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar bin Muhammad
Al-Syirazi Al-Baidhawi, Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta‟wil, Juz IV (Bairut: Dar Al-Fikr, 1996),
hal. 114
Maraghi dalam tafsirnya mengartikan kata () sebagai seseorang yang
lahir serta berkembang menjadi manusia kecil, pendek, panjang, dan berlebih atau
pun berkurang dengan manusia pada umumnya.
Sebagaimana ayat di atas Al-Qur’an menyebutkan bahwa dengan segala
kehendak-Nya manusia diciptakan dengan sempurna dan tidak sempurna, dalam
hal ini baik secara fisik maupun non-fisik. Sempurna dalam arti manusia lahir
secara normal, yaitu jelas identitas kelaminnya dengan sempurna tanpa cacat.
Demikian juga sebaliknya, manusia yang diciptakan secara tidak sempurna yang
berarti cacat, baik secara jasmani, rohani atau kedua-duanya atau pun sukar
dibedakan identitasnya. Dalam konteks inilah kemungkinan keterangan mengenai
waria dalam al Qur’an dapat digali.
“Waria juga manusia, waria juga ciptaan Allah, waria juga ingin belajar
agama, waria juga ingin beribadah kepada Allah. Apakah waria itu penyakit,
saya tidak menghiraukan. Yang penting saya beribadah kepada Allah”16
Beban paling berat bagi kaum waria adalah beban psikologis berupa
gejolak kewariaannya terhadap kenyataan di lingkungan keluarganya.
Perlakuan keras dan kejam oleh keluarga karena malu mempunyai anak
seorang waria kerapkali mereka hadapi. Mereka dipukuli, ditendang, diinjak-
injak bahkan diancam mau ditembak oleh keluarga sendiri. Bahkan ada yang
sudah meninggalpun keluarganya tidak mau mengakui keberadaanya. Fakta
inilah yang dapat ditemukan di Pondok Pesantren Khusus Waria Senen-
Kemis.17
15
Lebih lengkap lihat Zunly Nadia, Waria; Laknat atau Kodrat?, (Yogyakarta: Pustaka
Marwa, 2005), hal. 88-110
16 Pernyataaan Maryani (Pendiri Pesantren Waria) dalam sambutan buka bersama
Pondok Pesantren Waria Senin-Kemis bersama Yatim Piyatu pada tanggal 15 Agustus 2010
17 Dari Opservasi penulis ke Pondok Pesantren Waria Senin-Kemis, ketika salah
seorang santri waria meninggal dunia pada tanggal 19 September 2010, ketika itu
keluarganya masih bersikap keras menolak keberadaanya bahkan sampai jenazahnya pun
Perlakuan-perlakuan buruk terhadap waria tersebut, serta
ketidakbebasan waria mengekspresikan jiwa kewanitaannya, memicu
mereka untuk meninggalkan keluarga dan merasa tidak nyaman dengan
lingkungan, sehingga kebanyakan mereka apatis terhadap segala kegiatan
masyarakat. Kendala sosial ini juga terjadi ketika waria masuk dalam ranah
ritual keagamaan, seperti sholat.
Ekspresi jiwa kewanitaannya, pada umumnya ketika mengerjakan
sholat, mereka cenderung menempatkan dirinya sebagai perempuan,
sehingga mereka menetukan pilihan untuk memakai mukena dan menempati
shaf perempuan. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan. Pasalnya
dalam konteks islam waria masuk kategori laki-laki yang semestinya
memakai sarung atau celana panjang untuk menutupi aurotnya, dan
menempati shaf laki-laki ketika jamaah.
Oleh karena itu, waria seringkali mendapat perlakuan yang cenderung
tidak humanis dari sebagian masyarakat, yaitu pelarangan datang ke masjid,
atau bahkan pengusiran dari masjid. Kondisi ini membuat mereka takut
untuk melakukan ibadah di masjid. Sebagaimana dipaparkan oleh Wulan
Agustuna:
“ Untuk jama’ah sholat di Masjid sekitar sini memang saya belum
pernah, hati saya belum mengizinkan, dan saya juga masih ketakutan.
Kita masuk mesjid, saya takut apa mereka mengizinkan dari barisan
(shof) saya. Itu yang selalu saya pikirkan. Sehingga kalau saya keluar
setelah Dhuhur terus dengar adzan Ashar masih diluar saya bingung
untuk sembahyang..”18
tidak mau menerima, akhirnya pengurus Maryani dan waria lain, berinisiatif untuk merawat
dan mengurus jenazah di pesantren waria senen-kemis.
18 Wawancara dengan Wulan Agustina 25 Agustus 2010
a. Periode I (Juli 2008 sampai September 2009)
Pada awal terbentuknya pesantren ini, kegiatan pembelajaran
dilaksanakan pada setiap hari senin dan kamis. Alasan pemilihan hari senin
dan kamis ini dikarnakan kedua hari tersebut adalah hari yang biasa
digunakan oleh orang jawa dan juga umat Islam bertirakat atau beribadah.19
Pada periode pertama ini para santri waria dibimbing oleh 25 uzstad secara
bergantian sesuai dengan jadwal yang ada. Untuk menghadapi tipikal waria
yang macam-macam, mereka mengajar tidak sendiri maka dibentuk team
teaching yang terdiri dari empat uztad.
Kegiatan pembelajaran yang berlangsung adalah diawali dengan
sholawat Nariyah pada Minggu sore sampai adzan Maghrib, dan dilanjutkan
dengan shalat Maghrib berjama’ah yang dipimpin oleh seorang ustadz. Pada
saat menjalankan ibadah shalat waria diberi kebebasan untuk memilih
menggunakan mukena atau sarung. Atau dengan kata lain membebaskan
wari untuk menjadi laki-laki atau perempuan.
G. SIMPULAN
Pendidikan Agama Islam di Pondok Pesantren Khusus Waria “Senin-
Kamis” pada tahun pertama diorientasikan pada pemberdayaan mental dan
moral dengan menggiatkan materi ubudiyah. Pada tahun kedua,
pembelajaran berorientasi pada pemahaman hukum-hukum Islam, terutama
yang berkaitan dengan status waria. Pendidikan Agama Islam bagi waria
berdampak kepada tiga hal yaitu: pertama, Dampak terhadap perilaku
keberagamaan waria berupa; keyakinan keagamaan, praktek keagamaan,
pengalaman keagamaan, penghayatan kegamaan, dan pengetahuan agama.
Kedua, dampak terhadap Perilaku Sosial-Budaya berupa timbulnya sikap
penerimaan terhadap keberadaan waria. Ketiga, dampak terhadap perilaku
Ekonomi berupa adanya kesadaran untuk beralih dari aktifitas ekonomi
(kerja) di dunia malam yang indentik dan dekat dengan “cebongan”, ke
pekerjaan yang lebih baik seperti merias, penjaga toko, dan LSM.
Rekomendasi penelitian ini adalah bagi pemerintah perlunya
kebijakan dan perhatian yang memihak kepada kaum waria seperti
pemberian lapangan pekerjaan bagi waria, dan pentingnya pendidikan,
pendampingan dan pelatihan-pelatihan bagi waria. Bagi Lembaga agama atau
kaum agamawan penting memikirkan ulang tentang keberadaan waria.
Perlunya tafsir atau penjelasan baru mengenai waria yang memberikan
kesempatan dan ruang yang adil bagi waria; seperti pentingya fiqh waria,
tafsir waria, dan hak-hak bagi waria.