Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI KAUM WARIA DI PONDOK

PESANTREN WARIA “SENIN-KEMIS” NOTOYUDAN, GEDONG


TENGEN, KECAMATAN NGAMPILAN, YOGYAKARTA
Imam Machali, Muslim, Yuni Ma‟rufah

Abtrak
Pendidikan Agama Islam di Pondok Pesantren Khusus Waria “Senin-Kamis”
berorientasi pada pemberdayaan mental dan moral dengan menggiatkan
materi ubudiyah dan pemahaman hukum-hukum Islam, terutama yang
berkaitan dengan status waria. Hal ini berdampak pada tiga hal yaitu:
pertama, terhadap perilaku keberagamaan waria berupa; keyakinan
keagamaan, praktek keagamaan, pengalaman keagamaan, penghayatan
kegamaan, dan pengetahuan agama. Kedua, dampak terhadap Perilaku Sosial-
Budaya berupa timbulnya sikap penerimaan terhadap keberadaan waria.
Ketiga, dampak terhadap perilaku Ekonomi berupa adanya kesadaran untuk
beralih dari aktifitas ekonomi (kerja) di dunia malam yang indentik dan dekat
dengan “cebongan”, ke pekerjaan yang lebih baik seperti merias, penjaga toko,
dan LSM.

Kata Kunci: Pendidikan Agama Islam, Waria.

A. PENDAHULUAN
Menyembah dan mendekatkan diri pada Allah adalah fitrah manusia,
karena pada setiap diri mempunyai kesadaran “ber-Tuhan” yang dilekatkan Allah
dalam proses penciptaannya. Begitu juga dengan waria, makhluk yang sering
dipandang sebagai “setengah manusia” dan “jenis kelamin ketiga” ini
sesungguhnya dalam kesadaran religiusitas-nya sangat merindukan berTuhan,
tegursapa, berdialog, dan belaian mesra TuhanNya melalui berbagai macam
ibadah yang diperintahkanNya. Akan tetapi fitrah keberagamaan waria tidak
sepenuhnya tersalurkan dikarenakan beberapa hal. Pertama, keberadaan waria
kurang dapat diterima oleh masyarakat, sehingga terisolasi dan membentuk
komunitas tersendiri. Kedua, perhatian berbagai pihak seperti; agamawan,
pemerintah, dan lembaga-lembaga social-keagamaan lain terhadap waria kurang,
sehingga semakin menjauhkan waria dari berbagai aspek kehidupan termasuk
fitrah keberagamaannya.
Oleh karena itu, meneliti kehidupan waria terkait dengan perilaku
keagamaannya menjadi sangat menarik dan penting terutama dengan fenomena
dan inisitif pendirian Pondok Pesantren Waria “Senin-Kamis” di Yogyakarta.
Keberadaannya merupakan usaha “rekontruksi” pandangan umum tentang kaum
minoritas (waria). Bukan hanya sisi gelap kaum waria dengan dunia cebongan-
nya, akan tetapi dimensi humanis-religiusitas “manusia waria”.
Pondok Pesantren yang didirikan pada tanggal 28 Juli 2008 ini memiliki
sejumlah santri waria yang meliputi waria transeksual, gay, lesbian, beseksual
atau yang biasa dikenal dengan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender/Transeksual). Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Latar belakang pekerjaan mereka beraneka ragam; mulai dari pengamen, perias
pengantin, penjaga salon kecantikan, pemilik salon, penjaga toko, dan bahkan ada
yang bekerja sebagai pekerja seks (nyebong).
Aktifitas pondok pesantren waria meliputi pengajian, mujahadahan, belajar
baca al Qur’an, tata cara shalat, dan pengetahuan-pengetahuan agama lainnya.
Dilaksanakan setiap hari senin dan kamis karenanya pondok pesantren ini
dinamakan pondok pesantren ”Senin-Kamis”. Dalam praktik ibadahnya, mereka
diberi kebebasan memilih untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Hal ini
disebabkan karena tidak ada kejelasan jenis kelamin waria (transeksual—laki-laki
yang terpenjara dalam tubuh perempuan atau sebaliknya).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka pertanyaan penelitian yang dapat
diajukan adalah: Bagaimana model Pendidikan Agama Islam yang diajarkan
Pesantren Waria “Senin-Kemis”?, Bagaimana implikasi dari Pendidikan Agama
Islam tersebut terhadap prilaku santri Pesantren Waria “Senin-Kemis”?
Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui dan mendeskripsikan model
Pendidikan Agama Islam yang diajarkan Pesantren Waria “Senin-Kemis”. (2)
Mengetahui dan mendiskripsikan implikasi dari Pendidikan Agama Islam tersebut
terhadap prilaku santri Pesantren khusus Waria “Senin-Kemis”.

B. Kerangka Teori
Terdapat banyak istilah untuk menyebutkan pendidikan dalam Islam.
Istilah-istilah tersebut berasal dari terminologi Arab yaitu “al-tarbiyah”, “al-
ta‟dib”, “al-ta‟lim”, “al-tadrib”, dan “al-riyadhoh”. Kelima terminologi
tersebut, yang popular menjadi bahasan pendidikan Islam oleh para pemikir
pendidikan adalah terminologi “al-tarbiyah”, “al-ta‟dib”, dan “al-ta‟lim”
sedangkan yang sering digunakan dalam menyebutkan praktik pendidikan Islam
adalah terminologi “al-tarbiyah” seperti penggunaan istilah “at-Tarbiyah al-
Islamiyah”/ (‫ (التربية اآلسالمية‬yang berarti pendidikan Islam.
Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas memberikan pendapat bahwa istilah
“ta‟dib” adalah terminology paling tepat untuk menyebut pendiidkan Islam,
sebab struktur konsep ta‟dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu („ilm), instruksi
(ta‟lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah). Sehingga tidak perlu lagi dikatakan
bahwa makna pendidikan Islam merujuk pada istilah tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib
yang dipakai secara bersamaan.1 Berbeda dengan pendapat Al-Attas, Konferensi
Internasional Islam I di Mekah tahun 1977 mengartikan pendidikan Islam
mencakup tiga pengertian sekali gus yakni tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib.2
Terlepas dari berbagai pendapat tersebut, dalam hal-hal tertentu ketiga
terminologi—tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib—memiliki persamaan dan perbedaan
makna. Persamaan pengertian terletak kepada proses ilmu pengetahuan (process
of knowledge), Sementara perbedaannya—secara semantic—terletak kepada
penekanan pengertian dan penggunaanya. Istilah tarbiyah (‫ )التربية‬dipakai untuk
menunjukkan pendidikan secara berkesinambungan, artinya sesuai dengan
tahapan-tahapan kehidupannya dan hanya mengacu kepada kepemilikan

1
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-
Attas, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 175.
2
King Abdul Aziz University, First Word Conference on Muslim Education,
Recommendation, Jedah and Makkah; King Abdul Aziz University, 1977, hal. 15
pengetauan bukan penanaman.3 Istilah ta‟lim (‫ )تعليم‬digunakan dalam rangka usaha
memberi pengetahuan—mengenalkan—dan tidak mengandung arti pembinaan
kepribadian, sebab sedikit kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang
dibebabkan oleh pemberian pengetahuan.4 Sedangkan istilah ta‟dib (‫ )تأديب‬lebih
menekankan kepada usaha pembentukan karakter dan kepribadian yang baik.

1. Tugas dan fungsi Pendidikan Agama Islam


Pada hakikatnya, pendidikan agama Islam adalah suatu proses yang
berlangsung secara kontinu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka
tugas dan fungsi yang perlu diemban oleh pendidikan Islam merupakan proses
tanpa akhir sejalan dengan konsensus universal yang ditetapkan oleh Allah Swt
dan Rasul-Nya, dengan istilah “life long education” (Q.S. Al-Hijr: 99).5 Konsep
ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta
didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari
kandungan sampai akhir hayatnya.
Menurut M. Arifin, secara umum tugas pendidikan Islam adalah
membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik
dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuannya optimal.
Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan
tugas pendidikan berjalan dengan lancar.6
Telaah literer dapat dipahami bahwa tugas pendidikan Islam—
setidaknya—dapat dilihat dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu: pertama,
pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi; kedua, pendidikan
dipandang sebagai proses pewarisan budaya; ketiga, pendidikan dipandang
sebagai interaksi antara potensi dan budaya.7
Tugas pendidikan Islam sebagai pewarisan budaya adalah alat transmisi
unsur-unsur pokok budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga
identitas umat tetap terpelihara dan terjamin dalam tantangan zaman. Adapun
sebagai interaksi antara potensi dan budaya, tugas pendidikan Islam adalah
sebagai proses transaksi (memberi dan mengadopsi) antara manusia dan
lingkungannya. Dengan proses ini, peserta didik akan dapat menciptakan dan
mengembangkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengubah
atau memperbaiki kondisi-kondisi kemanusian dan lingkungannya.
Untuk menjamin terlaksananya tugas pendidikan Islam secara baik,
hendaknya terlebih dahulu dipersiapkan situasi kondisi pendidikan yang
bernuansa elastis, dinamis, dan kondusif yang memungkinkan bagi pencapaian
tugas tersebut. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam dituntut untuk dapat
menjalankan fungsinya, baik secara struktural maupun institusional.

3
Abd. Rahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam, Rekonruksi
Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal 33
4
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 26
5
Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 138.
6
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 121.
7
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,.. hal. 33.
C. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif analitik.
Penelitian kualitatif merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang
melibatkan pendekatan interpretatif terhadap setiap pokok persoalan yang
dikajinya. Alasan penggunaan metode ini karena ingin memahami dan
mendiskripsikan Pendidikan Agama Islam yang dipraktikkan komunitas LGBT di
pondok pesantren “Senin-Kamis”, yang meliputi model pembelajaran yang
diajarkan pesantren, implikasi dari pembelajaran agama Islam terhadap prilaku
waria.
Adapun metode deskriptif analitik disini adalah metode yang berusaha
menjelaskan fenomena sosial yang ada serta berusaha mencari gambaran
fenomena yang terjadi seputar pendidikan agama Islam yang dipraktikkan
komunitas LGBT di pondok pesantren “Senin-Kamis”.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisa data terdiri dari tiga alur
kegiatan yang terjadi bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi
data. Triangulasi yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan
trianggulasi sumber yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda.
Triangulasi sumber yang akan dilakukan adalah membandingkan data hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan data hasil wawancara
antar informan yang berasal dari berbagai unsur Pondok Pesantren khusus Waria,
dan membandingkan data hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.

D. Pondok Pesantren Waria dan Perkembangannya


“waria juga manusia, waria juga ciptaan Allah, waria juga ingin belajar agama, waria juga
ingin beribadah kepada Allah”

Pondok pesantren khusus waria Senin-Kamis secara resmi berdiri pada 8


Juli 2008. Gagasan pendiriannya berawal dari keinginan dan kebutuhan kaum
waria untuk belajar agama, dan beribadah kepada Allah SWT.
Maryani (Maryono) adalah seorang yang tidak dapat dipisahkan dari
proses pendirian pondok pesantren waria ini. Ia adalah seorang waria berusia 50
tahun (Agustus 2010) yang merasakan kehampaan spirital. Untuk memenuhi
kebutuhan spiritualnya tersebut, sekitar tahun 2000 Maryani mulai aktif dan
bergabung dalam kegiatan pengajian-mujahadah Al-Fatah asuhan KH Hamroeli
Harun yang pada saat itu bertempat di daerah pathuk. Dari sekian banyak jama’ah
yang hadir—kaum laki-laki dan perempuan—hanya Maryani saja yang berasal
dari kaum waria. Meskipun dari kalangan minoritas, asing dan banyak dari
kalangan masyarakat yang memandang buruk/negatif terhadap waria, Maryani
tetap ikut dan aktif mengikuti pengajian-mujahadahan. Hal yang menyenangkan
Maryani kala itu—saat mengikuti pengajian—adalah jamaah pengajian tidak
mempersoalkan status ke-waria-annya, sehingga ia merasa diterima, nyaman dan
mempunyai tempat yang sama diantara para jamaah.
Setelah lama mengikuti pengajian Maryani berinisiatif menggelar
pengajian di rumahnya—saat itu masih tinggal di Kampung Surakarsan—dengan
harapan agar teman-teman waria yang lain dapat bergabung dan ikut aktif dalam
pengajian tersebut, sekaligus sebagai bukti bahwa waria tidak hanya seperti yang
dipahami kebanyakan masyarakat; hidup menyimpang, hidup di dunia pelacuran
(cebongon), ngamen, joget-joget di jalan, keluar malam dan stigma negatif
lainnya. Waria juga mempunyai kebutuhan keagamaan yang sama dengan
umumnya manusia.
Pada awalnya pengajian dilaksanakan setiap malam Rabu pon yang
diperuntukkan bagi masyarakat umum—tidak hanya bagi waria saja. Jamaah yang
hadir pada pengajian ini rata-rata berjumlah 50-an orang. Akan tetapi dari 50-an
jamaah pengajian yang hadir hanya sebagaian kecil saja (satu-dua) waria yang
bergabung.
Pengajian setiap malam Rabu Pon ini berjalan lancar, sampai kemudian,
terjadi musibah gempa hebat di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 yang
meluluh lantakkan Yogyakarta. Akibatnya kegiatan pengajian Rabu Pon pun
berhenti karena sebagian besar masyarakat Yogyakarta dan anggota jamaah
pengajian mengalami trauma dan duka mendalam; rusaknya bagunan rumahnya,
luka-luka, dan bahkan meninggal dunia. Musibah gempa ini juga menyisakan
duka mendalam bagi para waria yang bermukim di Yogyakarta, rumah tinggal,
kontrakan, kost-kostsan mereka hancur, bahkan ada yang luka-luka dan meninggal
dunia.
Maryani nampaknya banyak mengambil banyak pelajaran dari musibah
gempa yang dialami masyarakat Yogyakarta bahwa:
“tidak ada yang dapat diandalkan, banggakan, dan dimintai pertolongan
dari segala musibah dan kejadian kecuali Allah La Haula Walaquwwata
Illa Billah. Orang kaya, miskin, ganteng, cantik, laki-laki, perempuan,
waria kan juga ada yang mati to mas, maka rugi manusia yang tidak
percaya dan tidak beribadah kepada Allah, waria kan juga manusia lho
mas…….”.8
Maryani berinisiatif mengaktifkan kembali pengajian-mujahadahan malam
Rabu Pon yang sempat berhenti karena gempa. Akan tetapi pengajian-
mujahadahan ini berbeda dari sebelumnya yaitu; pengajian sekarang hanya
dikhususkan bagi para waria saja. Waria yang hadir dalam pengajian tersebut rata-
rata antara 15-20 orang. Mereka berasal dari berbagi kalangan dan profesi, seperti
pekerja salon, pengamen dan 'pekerja malam'.
Melihat minat kaum waria yang ikut pengajian cukup tinggi, Maryani
kemudian mendatangi KH Hamrolie Harun untuk meminta pertimbangan, saran,
dan masukan mengenai keinginannya mendirikan pondok pesantren khusus waria,
dan sekaligus meminta kesediaan KH Hamrolie Harun untuk menjadi
pembimbing dan pengasuhnya. Akhirnya pada tanggal 8 Juli 2008 berdirilah
Pondok Pesantren Waria pertama9 di Yogyakarta dengan nama Pondok Pesantren
Waria Senin-Kamis. Berlokasi di kampung Notoyudan, Kelurahan
Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
8
Wawancara dengan Maryani, 9 Agustus 2010
9
Kemungkinan merupakan pondok pesantren pertama di Indonesia yang secara spesifik
santrinya dikhususkan bagi kaum Waria.
Dinamakan Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis karena pesantren
dikhususkan bagi kaum Waria. “Senin-Kamis” karena kegiatan pesantren
dilakukan setiap hari Senin dan Kamis, Senin dan Kamis juga hari dimana
disunahkan bagi kaum muslimin—umat Muhammad SAW—untuk melakukan
puasa. Selain itu, hari Senin dan kamis dalam keyakinan orang Jawa biasanya
digunakan untuk melakukan tirakat, bertapa atau beribadat.

E. WARIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


1) Pengertian Waria
Kata “Waria” merupakan portmanteau (gabungan dari dua kata) “wanita-
pria” , Dikenal juga istilah “wadam” gabungan dari “Hawa-Adam”. Selain itu
banci, bencong, wandu dan laura (lanang ora, wadon ora) adalah kata sepadan
yang merujuk pada pengertian waria. Waria adalah laki-laki yang lebih suka
berperan sebagai perempuan dan secara psikologis mereka merasa bahwa dirinya
adalah seorang perempuan. Pengertian ini sesungguhya sangat umum karena
hanya merujuk kepada transeksual (seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan
keadaan jiwanya). Artinya istilah waria juga dapat merujuk kepada seseorang
yang secara fisik perempuan akan tetapi berdandan, berperilaku dan berperan
sebagai laki-laki.
Secara sosiologis waria juga dapat didefinisikan sebagai transgender, yaitu
seseorang yang menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat
pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan. Transgender disini mempunyai
pengertian perepuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki10, atau juga
sebaliknya laki-laki yang terperangkap ke dalam tubuh peremnpuan. Dalam
persepktif psikologis waria adalah seseorang yang menderita transeksual yaitu
seseorang yang secara jasmaniah berjenis kelamin laki-laki akan tetapi secara
psikis cenderung berpenampilan wanita.11
Dalam Islam (fiqh) dikenal beberapa istilah terkait dengan waria yaitu;,
Khuntsa, Mukhannats, Mutarojjil dan Tasabbuh. Khuntsa berasal dari akar kata
“al-khans” bentuk jamaknya “khunasa” yang berarti “lembut” atau “pecah”.
Khunsa adalah seseorang yang diragukan jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau
perempuan, karena memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan secara
bersamaan ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin
laki-laki atau perempuan. Khunsa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu;
khunsa ghairu musykil (waria yang tidak sulit ditentukan jenis kelaminnya) dan
khunsa musykil (waria yang sulit ditentukan jenis kelaminnya). Jika seseorang
khunsa mempunyai indikasi yang lebih cenderung lebih menunjukkan jenis
kelelaki-lakian atau jenis keperempuanannya, maka ia disebut Khunsa ghairu
musykil misalnya seseorang yang mempunyai kelamin ganda jika kencing melalui
penis dan berkumis seperti layaknya laki-laki maka dikategorikan sebagai laki-
laki. Sebaliknya, jika ia mempunyai vagina dan payudara serta indikasi lainnya
maka ia dikategorikan sebagai perempuan. Dan jika tidak ada indikasi seperti

10
Hesti Puspitosari & Sugeng Pujileksono, Waria dan Tekanan sosial, (Malang; UMM,
2005), hal. 9-10
11
Kemala Atmojo, Kami Bukan Lelaki, (Jakarta: Grafiti, 1989), hal. 3-4
tersebut dalam pengertian tidak menunjukkan jenis kelamin tertentu (baik laki-laki
dan perempuan), ia dikategorikan khunsa musykil.12
Mukhannats, adalah seorang laki-laki yang berperilaku, berlagak atau
berpura-pura menjadi seorang perempuan, padahal dari segi fisik ia secara jelas
berjenis kelamin laki-laki. Sebaliknya, Mutarojjil adalah seorang perempuan yang
berperilaku, berlagak atau berpura-pura menjadi seorang laki-laki, padahal dari
segi fisik secara jelas ia berjenis kelamin perempuan.
Sedangkan tasabbuh (menyerupai) adalah seseorang yang menyerupai
lawan jenisnya, jika seseorang secara jelas berjenis kelamin laki-laki akan tetapi
menyerupai perempuan, dan sebaliknya jika seorang secara jelas berjenis kelamin
perempuan akan tetapi menyerupai laki-laki.
Berbagai pengertian tersebut dapat difahami bahwa waria adalah seseorang
yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik, psikis, dan seks. Dalam arti secara
fisik dia adalah laki-laki tetapi secara psikologis perempuan, atau sebaliknya
secara fisik dia adalah perempuan tetapi secara psikologis laki-laki.
Ketidaksesuaian yang terjadi membuat waria tidak senang terhadap alat
kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan tersebut, maka
waria bertingkah laku dan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan.

2) Waria dalam Pandangan al-Qur’an


Al-Qur’an hanya menyebutkan dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan
perempuan. Akan tetapi dalam QS. Al Hajj: 5 dapat digali bahwa dalam
penciptaan manusia ada yang diciptakan secara normal dan ada yang diciptakan
secara tidak normal, kalimat:      (segumpal daging yang
Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna)
Terkait dengan kata () Al-Thabari13 menjelaskan bahwa kata tersebut
mempunyai “seseorang yang lahir dalam keadaan sempurna, lengkap dengan
segala anggotanya”. Sedangkan ( ) mempunyai arti “seseorang yang
lahir akan tetapi belum sempurna atau gugur pada masa masih di dalam
kandungan”. Jadi kata tersebut adalah sifat nuthlah yang menjadikan manusia itu
sempurna dan tidak sempurna.
Al-Baidhawi14 dan Al-Qurthubi dalam tafsirnya yang mengutip pendapat
para ulama sebelumnya di antaranya Ibn Zaid dan Al-Fara’, menyatakan bahwa
kata () punya arti “seseorang yang sempurna” artinya mempunyai dua tangan,
dua kaki dengan sempurna tanpa cacat dan begitu juga sebaliknya. Adapun Al-

12
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 2001), jilid 3, hal. 934
13
Al-Imam al-Kabir wa Al-Muhaddits Al-Syahir Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Al-
Thabari, Tafsir Al-Thabari, Jilid VII (Bairut: Dar Al-Fikr), hal. 87-89
14
Al-Imam Al-Qadhi Al-Nashr Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar bin Muhammad
Al-Syirazi Al-Baidhawi, Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta‟wil, Juz IV (Bairut: Dar Al-Fikr, 1996),
hal. 114
Maraghi dalam tafsirnya mengartikan kata () sebagai seseorang yang
lahir serta berkembang menjadi manusia kecil, pendek, panjang, dan berlebih atau
pun berkurang dengan manusia pada umumnya.
Sebagaimana ayat di atas Al-Qur’an menyebutkan bahwa dengan segala
kehendak-Nya manusia diciptakan dengan sempurna dan tidak sempurna, dalam
hal ini baik secara fisik maupun non-fisik. Sempurna dalam arti manusia lahir
secara normal, yaitu jelas identitas kelaminnya dengan sempurna tanpa cacat.
Demikian juga sebaliknya, manusia yang diciptakan secara tidak sempurna yang
berarti cacat, baik secara jasmani, rohani atau kedua-duanya atau pun sukar
dibedakan identitasnya. Dalam konteks inilah kemungkinan keterangan mengenai
waria dalam al Qur’an dapat digali.

3) Waria dalam Pandangan Hadits


Secara garis besar hadits-hadits waria dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori. Pertama, hadis-hadis yang menolak keberadaan waria, dan kedua hadis-
hadis yang menerima keberadaan mereka. Berikut ini adalah beberapa hadits
tersebut.15 Hadist yang menolak keberadaan waria mencakup tentang; (a)
Larangan Memasukkan Waria ke Rumah Istri Nabi SAW, (b) Larangan Menyebut
Seseorang dengan “Banci” (Mukhannats), dan (c) Hadis tentang Laknat bagi
Mukhannats. Sedangkan hadits yang menerima keberadaan waria adalah (a)
hadits Tentang Hak Waris bagi Waria, (b) hadits Larangan Membunuh
Mukhannats.

F. PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PONDOK PESANTREN WARIA “SENIN-


KAMIS”

“Waria juga manusia, waria juga ciptaan Allah, waria juga ingin belajar
agama, waria juga ingin beribadah kepada Allah. Apakah waria itu penyakit,
saya tidak menghiraukan. Yang penting saya beribadah kepada Allah”16

Beban paling berat bagi kaum waria adalah beban psikologis berupa
gejolak kewariaannya terhadap kenyataan di lingkungan keluarganya.
Perlakuan keras dan kejam oleh keluarga karena malu mempunyai anak
seorang waria kerapkali mereka hadapi. Mereka dipukuli, ditendang, diinjak-
injak bahkan diancam mau ditembak oleh keluarga sendiri. Bahkan ada yang
sudah meninggalpun keluarganya tidak mau mengakui keberadaanya. Fakta
inilah yang dapat ditemukan di Pondok Pesantren Khusus Waria Senen-
Kemis.17

15
Lebih lengkap lihat Zunly Nadia, Waria; Laknat atau Kodrat?, (Yogyakarta: Pustaka
Marwa, 2005), hal. 88-110
16 Pernyataaan Maryani (Pendiri Pesantren Waria) dalam sambutan buka bersama

Pondok Pesantren Waria Senin-Kemis bersama Yatim Piyatu pada tanggal 15 Agustus 2010
17 Dari Opservasi penulis ke Pondok Pesantren Waria Senin-Kemis, ketika salah

seorang santri waria meninggal dunia pada tanggal 19 September 2010, ketika itu
keluarganya masih bersikap keras menolak keberadaanya bahkan sampai jenazahnya pun
Perlakuan-perlakuan buruk terhadap waria tersebut, serta
ketidakbebasan waria mengekspresikan jiwa kewanitaannya, memicu
mereka untuk meninggalkan keluarga dan merasa tidak nyaman dengan
lingkungan, sehingga kebanyakan mereka apatis terhadap segala kegiatan
masyarakat. Kendala sosial ini juga terjadi ketika waria masuk dalam ranah
ritual keagamaan, seperti sholat.
Ekspresi jiwa kewanitaannya, pada umumnya ketika mengerjakan
sholat, mereka cenderung menempatkan dirinya sebagai perempuan,
sehingga mereka menetukan pilihan untuk memakai mukena dan menempati
shaf perempuan. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan. Pasalnya
dalam konteks islam waria masuk kategori laki-laki yang semestinya
memakai sarung atau celana panjang untuk menutupi aurotnya, dan
menempati shaf laki-laki ketika jamaah.
Oleh karena itu, waria seringkali mendapat perlakuan yang cenderung
tidak humanis dari sebagian masyarakat, yaitu pelarangan datang ke masjid,
atau bahkan pengusiran dari masjid. Kondisi ini membuat mereka takut
untuk melakukan ibadah di masjid. Sebagaimana dipaparkan oleh Wulan
Agustuna:
“ Untuk jama’ah sholat di Masjid sekitar sini memang saya belum
pernah, hati saya belum mengizinkan, dan saya juga masih ketakutan.
Kita masuk mesjid, saya takut apa mereka mengizinkan dari barisan
(shof) saya. Itu yang selalu saya pikirkan. Sehingga kalau saya keluar
setelah Dhuhur terus dengar adzan Ashar masih diluar saya bingung
untuk sembahyang..”18

Berangkat dari sini, keberadaan Pondok Pesantren Senin-Kamis


begitu penting artinya bagi Maryani dan juga para waria yang menjadi santri
di pesantren ini. Berdasarkan pengakuan komunitas waria sendiri,
berdirinya pesantren ini adalah jawaban dari kesulitan waria untuk
beribadah karena selalu ada penolakan di tempat ibadah manapun bagi kaum
waria. Mereka dipandang tidak pantas beribadah karena menjadi waria
adalah haram. Di sini, mereka tidak hanya dapat beribadah dengan rasa
nyaman sekaligus tenang atau hanya sekadar kumpul-kumpul bersama
teman-teman waria saja, tetapi juga dapat menjembatani pola pikir negatif
masyarakat akan eksistensi kebertubuhan mereka sebagai kaum waria.

1) Materi dan Proses Pembelajaran Agama Islam


Terdapat dua periode dalam melihat perkembangan pondok
peseantren waria ini yaitu, periode pertama yang menekankan pada
pemberdayaan mental dengan menekankan pada aspek ubudiyah, dan
periode kedua yaitu berupa pemahaman seputar hukum-hukum agama,
terutama menyangkut eksistensi waria.

tidak mau menerima, akhirnya pengurus Maryani dan waria lain, berinisiatif untuk merawat
dan mengurus jenazah di pesantren waria senen-kemis.
18 Wawancara dengan Wulan Agustina 25 Agustus 2010
a. Periode I (Juli 2008 sampai September 2009)
Pada awal terbentuknya pesantren ini, kegiatan pembelajaran
dilaksanakan pada setiap hari senin dan kamis. Alasan pemilihan hari senin
dan kamis ini dikarnakan kedua hari tersebut adalah hari yang biasa
digunakan oleh orang jawa dan juga umat Islam bertirakat atau beribadah.19
Pada periode pertama ini para santri waria dibimbing oleh 25 uzstad secara
bergantian sesuai dengan jadwal yang ada. Untuk menghadapi tipikal waria
yang macam-macam, mereka mengajar tidak sendiri maka dibentuk team
teaching yang terdiri dari empat uztad.
Kegiatan pembelajaran yang berlangsung adalah diawali dengan
sholawat Nariyah pada Minggu sore sampai adzan Maghrib, dan dilanjutkan
dengan shalat Maghrib berjama’ah yang dipimpin oleh seorang ustadz. Pada
saat menjalankan ibadah shalat waria diberi kebebasan untuk memilih
menggunakan mukena atau sarung. Atau dengan kata lain membebaskan
wari untuk menjadi laki-laki atau perempuan.

b. Periode II (Oktober 2009 sampai sekarang).


Pembelajaran yang dilakukan pada periode II lebih banyak
berorientasi pada pemahaman mengenai berbagai keagamaan terkait dengan
kewariaan. Pengajar memberikan pemahaman tentang tafsir ayat-ayat atau
hadist-hadist yang berhubungan dengan waria. Tujuannya adalah untuk
membuka kesadaran waria untuk selalu kritis terhadap stereotype
masyarakat terhadap eksistensinya dengan berdasarkan pada pemahaman
agama sekaligus sebagai upaya agar waria dapat mengenal bagaimana
pandangan agama terhadap eksistensinya.
Periode II ini dibimbing oleh dua orang ustadz, yaitu Abdul Muiz
Ghazali dan Isnaini. Kedua ustad ini berbagi tugas sesuai bidang masing-
masing. Ustad Muiz berkonsentrasi pada pembahasan ayat-ayat maupun
hadist yang berkaitan dengan waria seperyi tafsir waria, dan fiqh waria.
Sedangkan, ustadz Isnaini dipercaya sebagai pengajar materi-materi
ubudiyah, shalat Sunnah, dzikir-dzikir, dan doa’-do’a keseharian,
sebagaimana yang telah diberikan oleh Ustadz-ustadz terdahulu.

2) Pendidikan Agama Islam dan Perubahan Perilaku Waria


Dampak Pendidikan Agama Islam yang dilaksanakan di Pesantren
Waria “Senin-Kamis” mempunyai dampak terhadap perubahan kehidupan
dan Perilaku Waria. Perubahan tersebut terjadi pada tiga aspek yaitu (1)
dampak terhadap perilaku keberagamaan waria, (2) dampak terhadap
Perilaku Sosial-Budaya, dan (3) dampak terhadap perilaku Ekonomi.
a. Dampak terhadap Perilaku Keberagamaan Waria
Dampak terhadap perilaku keberagamaan waria dilihat dari sebelum
dan sesudah santri waria bergabung di pondok pesantren waria “Senin-
Kamis”. Keberagamaan waria dapat dilihat dalam lima dimensi yaitu;

19 Wawancara dengan Maryani 26 Sebtember 2010.


pertama Keyakinan Agama (Ideologis). Pada dimensi ini keberadaan
pesantren waria dianggap mempunyai banyak manfaat bagi waria. Selain
sebagai tempat berkumpul, pesantren ini juga mengajarkan berbagai
pengetahuan tentang agama yang sebelumnya tidak dimengerti. Berbagai
pengetahuan agama tersebut dicoba dijalankan sesuai dengan
kemampuannya. Secara kognitif kebanyakan waria mengetahui kewajiban-
kewajiban beribadah bagi umat Islam seperti shalat, puasa, zakat dan haji
bagi yang mampu, akan tetapi secara afektif-psikomotorik mereka tidak
sepenuhnya dapat menjalankan kewajiban-kewajiban ibadah tersebut. Hal
ini disebabkan oleh berbagai alasan seperti tempat (masjid) tidak memadahi
karena umumnya jamaah laki-laki dan perempuan, sedangkan waria bukan
laki-laki dan bukan perempuan (Laura). Kondisi ini menyebabkan
ketidaknyamanan jamaah dan waria itu sendiri. Dengan demikian, dampak
dari keyakinan keagamaan (ideologi) waria yang dipelajari kembali di
pesantren waria dalam aktifitasnya berada pada ranah kognisi dan belum
dapat menjadi alat control terhadap perbuatan-perbuatan mungkar.
Kedua, Praktek Keagamaan (Ritualistik). Pada dasarnya santri
waria pondok pesantren waria “Senin-Kamis” menyadari atas kewajiban-
kewajiban melakukan ibadah-ibadah yang telah ditentukan seperti shalat,
dan puasa, mereka pun telah melakukannya. Dampak nyata dari praktek
keagamaan ini adalah ketenangan dan etos kerja. Dengan melakukan ibadah
sebagaimana yang mereka bisa dan mampu maka akan merasakan
ketenangan. Sedangkan untuk meraih keinginan dan kebahagiaan praktek
peribadahan harus disertai dengan semangat kerja tinggi.
Ketiga, Pengalaman Agama (Konsekuensial). Dampak dari
Pendidikan Agama Islam dilihat dari dimensi pengalaman keagamaan adalah
menjadi pendorong dan pengingat para santri untuk selalu berbuat
kebajikan. Tumbuhnya kesadaran akan kebersamaan, sesama hamba Allah
yang harus saling membantu, berbuat baik, dan member manfaat bagi orang
lain.
Keempat, Penghayatan Keagamaan (eksperensial). Berbagai ritual
keagamaan yang dilakukan membawa kepada pengalaman kegamaan
tersendiri bagi para waria. Pengalaman ini sangat personal. Apa yang
dilakukan oleh seorang waria satu belum tentu dirasakan sama oleh waria
yang lain. sehingga dampak dari penghayatan kegamaan bagi para waria
adalah tercermin dalam kehidupan kesehariannya. Meskipun mereka
mengakui tidak mempu menjalankan semua perintah Allah dan bahkan
masih dengan kesadaran dan kesengajaan melakukan perbuatan “mungkar”,
mereka akan terus berusaha berbuat kebaikan dan berhati-hati dalam
menjalani kehidupan.
Kelima, Pengetahuan Agama (Intelektual). Keberadaan pondok
pesantren “Senin-Kamis” melalui pendidikan agamanya memberikan banyak
pengetahuan agama terhadap para waria, dan kerena waktu dan meteri
pendidikan yang terbatas, maka hal ini berdampak—bagi sebagian waria—
untuk ikut mengikuti pengajian dan kajian-kajian keagamaan majlis-majlis
ta’lim dan tempat-tempat lain.

b. Dampak terhadap Perilaku Sosial-Budaya


Aktivitas sosial waria secara internal menunjukkan bahwa
keberadaan pondok pesantren “Senin-Kamis” semakin mengukuhkan dan
mengeratkan solidaritas sesama waria, menjadi media konsolidasi dan
informasi. Pertemuan-pertemuan yang biasanya dilaksanakan di luar atau
tempat-tempat khusus, dengan adanya pesantren yang ada di tengah-tengah
masyarakat dapat dilaksanakan di tempat tersebut tanpa harus memisahkan
diri atau menjauh dari masyarakat. Hal ini juga berdampak kepada proses
penerimaan masyarakat terhadap keberadaan waria. Masyarakat umum
semakin mengetahui dan memahami aktifitas waria, sehingga kesan dan
anggapan negative terhadap waria lambat lain akan berubah.
Secara internal-individual keberadaan pendidikan agama di pesantren
waria memberi dampak pada sikap percaya diri pada waria, bahwa semua
manusia itu sama di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah tingkat
ketaqwaannya. Hal ini mendorong waria untuk selalu berbuat baik. Lebih-
lebih doktrin pendidikan yang mengajarkan bahwa “Sesungguhnya Allah
tidak melihat wajah dan bentuk fisikmu, akan tetapi Allah melihat pada hati
kamu”. Keberadaan fisik yang tidak sempurna bukan menjadi penghalang
untuk berbuat baik, biarlah semua diserahkan kepada Allah karena Ia lah
yang menciptakan dan mengetahui segala sesuatu.
Dampak lain dari pendidikan agama di pesantren bagi para waria
adalah tumbuhnya sikap berserah diri. Semuanya telah ditentukan dan
digariskan Allah, manusia hanya menjalankan dan berusaha untuk terus
berbuat baik, dan beribadah kepadaNya. “tidak seorang pun yang mau
dilahirkan sebagai waria” waria bukanlah pilihan hidup akan tetapi taqdir-
Nya. Sikap pasrah dan berserah diri ini berbeda dengan sikap “fatalistic” dan
“putus asa”. Para waria tetap semangat dan berusaha dengan kemampuannya
masing-masing untuk bersikap dan menyikapi hidupnya dengan penuh
kesadaran.
Dampak pendidikan agama di pondok pesantren waria bagi hubungan
social-kemasyarakat waria adalah timbulnya sikap penerimaan terhadap
keberadaan waria. Sikap saling memahami bahwa waria juga manusia, juga
ciptaan Allah yang sama dihadapanNya. Hal ini tercermin dari peran dan
partisipasi masyarakat sekitar dalam membantu berbagai kegiatan publik
yang diadakan oleh pesantren seperti acara buka puasa bersama pada bulan
ramadhan.
Pada bulan Ramadhan 1432/2010 ini pendiri pesantren (Maryani)
merayakan hari ulang tahunnya yang ke 50, sebagai rasa syukur ia
mengundang anak yatim, waria, masyarakat sekitar dan koleganya untuk
berbuka bersama di pesantrennya. Pada acara tersebut tidak hanya waria
yang menjadi panitia dan mempersiapkan acara tersebut, akan tetapi banyak
warga atau masyarakat (ibu-ibu) sekitar ikut membantu dan terlibat aktif
dalam rangka mensukseskan acara buka bersama. Hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan pesantren dan waria di dalamnya mulai diterima
masyarakat. Waria—dalam konteks ini—tidak dianggap sebagai sampah atau
penyakit masyarakat yang harus dihindari, dijauhi bahkan diusir dari
masyarakat “normal”, akan tetapi seharusnya hidup bersama, saling
menghormati, membantu dengan penuh kesadaran akan keterbatasan dan
kekuarangan masing-masing.
Sikap penerimaan terhadap keberadaan waria ini juga berdampak
pada aktifitas budaya, kegiatan-kegiatan bersifat kebuadayaan sebagian
waria juga dilibatkan seperti dalam kegiatan kesenian dan karnaval. Pada
acara prosesi pernikahan waria juga menjadi penari penghantar pada acara
tersebut.

c. Dampak terhadap Perilaku Ekonomi.


Dampak pendidikan agama di pondok pesantren waria “Senin-Kamis”
bagi perilaku ekonomi waria dapat dilihat dari kegiatan perekonomian waria.
Pada umumnya waria dihadapkan pada persoalan ekonomi. Keberadaan
waria disuatu tempat adalah pendatang atau pelarian dari masyarakat atau
keluarganya. Karena harus hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
kebanyakan waria bekerja nyebong (melacur), ngamen, diskotik dan lain-lain.
Pekerjaan waria tersebut semakin meneguhkan posisi sosial waria sebagai
kelompok menyimpang, penyakit masyarakat dan lain-lain. Bagi waria,
pekerjaan tersebut merupakan pilihan satu-satunya karena tidak ada pilihan
lain selain itu. Pemerintah, perusahaan, dan pengusaha hampir tidak
membuka peluang kerja (karyawan) bagi waria.
Persoalan sosial dan ekonomi tersebut akhirnya mempengaruhi
terhadap perilaku waria ketika bergabung di pondok pesantren waria. Di
satu sisi waria ingin “bertobat” dan taat beragama, di sisi lain waria
dihadapkan pada persoalan-persoalan sosial-ekonomi. Sementara hampir
tidak ada pilihan lain selain pekerjaan-pekerjaan yang dekat dengan dunia
malam dan kosmetik. Umumnya, kebanyakan waria kurang mempunyai
banyak skill untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain seperti menjahit,
menulis, mendesain dan lain-lain. Pekerjaan yang paling memungkinkan
dalam rangka menjaga jarak dengan dunia “cebongan” adalah membuka
salon, rias pengantin, menjaga toko, dan aktif di Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Intensitas santri waria melakukan aktifitas “nyebong” diakui mulai
berkurang setelah bergabung di pondok pesantren waria. Meskipun tidak
sepenuhnya, paling tidak mereka mempunyai kesadaran bahwa masih
banyak aktifitas dan kegiatan-kegiatan lain selain “nyebong”.
“… ya kadang-kadang masih keluar malam ketemu teman-teman. Kalau
diajak teman ya kalau gak mau ya gimana?. …setelah pulang kerja saya
lebih banyak di kost-an cepek, tapi kalau diajak teman keluar malam ya
kadang susah menolak…”20
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa aktifitas malam yang dekat
dengan pelacuran (cebongan) disadari bukanlah satu-satunya sumber
ekonomi untuk bertahan hidup, akan tetapi melalui berbagai jaringan,
komunikasi dan hubungan yang baik dengan berbagai pihak, seorang waria
dapat melakukan aktifitas ekonomi lain yang lebih baik. Seperti menjaga
toko, salon, aktif di LSM dan lain-lain. Mereka mempunyai kesadaran untuk
mendapatkan penghasilan yang baik dan halal meskipun sedikit.
Akhirnya, dampak nyata dari pendidikan agama di pondok pesantren
waria “Senin-Kamis” terhadap perilaku ekonomi waria adalah adanya
kesadaran untuk beralih dari aktifitas ekonomi (kerja) di dunia malam yang
indentik dan dekat dengan “cebongan”, ke pekerjaan yang lebih baik seperti
merias, penjaga toko, dan LSM.

G. SIMPULAN
Pendidikan Agama Islam di Pondok Pesantren Khusus Waria “Senin-
Kamis” pada tahun pertama diorientasikan pada pemberdayaan mental dan
moral dengan menggiatkan materi ubudiyah. Pada tahun kedua,
pembelajaran berorientasi pada pemahaman hukum-hukum Islam, terutama
yang berkaitan dengan status waria. Pendidikan Agama Islam bagi waria
berdampak kepada tiga hal yaitu: pertama, Dampak terhadap perilaku
keberagamaan waria berupa; keyakinan keagamaan, praktek keagamaan,
pengalaman keagamaan, penghayatan kegamaan, dan pengetahuan agama.
Kedua, dampak terhadap Perilaku Sosial-Budaya berupa timbulnya sikap
penerimaan terhadap keberadaan waria. Ketiga, dampak terhadap perilaku
Ekonomi berupa adanya kesadaran untuk beralih dari aktifitas ekonomi
(kerja) di dunia malam yang indentik dan dekat dengan “cebongan”, ke
pekerjaan yang lebih baik seperti merias, penjaga toko, dan LSM.
Rekomendasi penelitian ini adalah bagi pemerintah perlunya
kebijakan dan perhatian yang memihak kepada kaum waria seperti
pemberian lapangan pekerjaan bagi waria, dan pentingnya pendidikan,
pendampingan dan pelatihan-pelatihan bagi waria. Bagi Lembaga agama atau
kaum agamawan penting memikirkan ulang tentang keberadaan waria.
Perlunya tafsir atau penjelasan baru mengenai waria yang memberikan
kesempatan dan ruang yang adil bagi waria; seperti pentingya fiqh waria,
tafsir waria, dan hak-hak bagi waria.

20 Wawancara Wulan 25 Agustus 2010


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Al-Ma'arif,
1989
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1992
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Fi Tafsir al-Qur’an al-Azim wa Sab al-Mathani,
BairutL: Dar al-Fikr, tt
Al-Imam al-Baidawi, Tafsir Asrar al-Tanzil, Bairut: Dar al-Fikkr, tt
Al-Imam al-Kabir wa Al-Muhaddits Al-Syahir Abi Ja’far Muhammad bin Jarir
Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari, Bairut: Dar Al-Fikr, tt
Al-Imam Al-Qadhi Al-Nashr Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar bin
Muhammad Al-Syirazi Al-Baidhawi, Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-
Ta’wil, Bairut: Dar Al-Fikr, 1996
Ariyanto dan Rido Triawan, kekerasan dan kebijakan diskriminatif terhadap
waria di Indonesia Jakarta; Arus Pelangi dan TIFA, 2008
Bogdan, Robert & Taylor, Steven J. Pengantar Metoda Penelitian kualitatif
(suatu pendekatan Fenomologis terhadap ilmu-ilmu sosial),
Surabaya: Usaha Nasional 1992
Dadang Hawari, Al-Qur’an dan Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kessehatan Jiwa,
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997
Eco, Umberto, Beriman atau Tidak Beriman? Sebuah Konfrrontasi, Surabaya:
Pustaka Promehea, 2001
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Intermasa, 2001
F.X. Rudy Gunawan, Mendobrak Tabu; Seks, Kebudayaan dan Kebejatan
Manusia, Yogyakarta: Galang Press, 2000
Hesti Puspitosari & Sugeng Pujileksono, Waria dan Tekanan sosial, Malang;
UMM, 2005
Ismawan Nur Laksono, Studi Empidemi Penderita Penyakit Menular Seksual
pada Transeksual di Kota semarang”, Skripsi UNDIP, 2001
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal & Abnormalitas Sexual, Bandung : CV.
Mandar Maju, 1989
Kemala Atmojo, Kami Bukan Lelaki, Jakarta: Grafiti, 1989
King Abdul Aziz University, First Word Conference on Muslim Education,
Recommendation, Jedah and Makkah; King Abdul Aziz University,
1977
Koeswinarno, Aspek-Aspek Kritis Dunia Kaum Ketiga, Jurnal Musawa; Vol. 2,
No. 1, Maret 2003
Koeswinarno, Hidup sebagai waria, Yogyakarta: LKiS, 2004
Koeswinarno, Komunikasi Sosial Kaum Minoritas; studi Kasus Kaum Waria di
Yogyakarta, The Toyota Foundation: 1993
Koeswinarno, Waria dan Penyakit Menular Seksual, Makalah diskusi bulanan
Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1996
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 1996
M. Aly Mansyur dan Noer Iskandar Al-Barsany, Waria dan Pengubahan
Kelamin di Tinjau dari Hukum Islam, Yogyakarta : Nurcahaya,1981
Moerthiko, Waria, Gangguan dan Kelainan sex, Solo: Surya Murthi Publishing,
tt
Zunly Nadia, Waria, Laknat atau Kodrat?, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2005

Anda mungkin juga menyukai