Anda di halaman 1dari 4

WACANA IDA PANDITA NABE

SRI BAGAWAN DWIJA WARSA NAWA SANDHI:

PURA BESAKIH SEBAGAI PANGENTEG JAGAD


Oleh Redaksi Newsletter Wahana Brahma Widya

Jalan Mayor Metra 71 Singaraja, Bali


brahmawidya.googlepages.com
brahmawidya@gmail.com
redaksiwbw@yahoo.com

Trihita Karana adalah suatu pedoman hidup yang didasarkan kepada


keharmonisan hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesamanya, serta
manusia dan lingkungannya agar tercapai kehidupan sejahtera lahir dan batin. Konsep
yang kini menjiwa dalam tatanan masyarakat Bali ini dicetuskan kali pertamanya oleh
Mp Kuturan pada abad kesebelas saat beliau menjabat sebagai pendeta kerajaan
(purohita) Bali Aga yang saat itu diperintah oleh Warmadewa. Sumber-sumber sastra
mengenai Trihita Karana dapat dijumpai dalam karya-karya Mpu Kuturan di antaranya
Lontar Tutur Kuturan, Lontar Kusuma Dewa, dan Lontar Dewa Tattwa. Semua lontar
tersebut ditulis oleh Mpu Kuturan pada saat beliau menjabat sebagai purohita.
Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija, seorang pendeta terkemuka di Buleleng
menyatakan bahwa sentral dari Trihita Karana sebenarnya adalah manusia, karena
manusia memiliki kemampuan tri pramana (sabda, bayu, idhep) untuk memegang
peranan penting dalam menjaga kelestarian dan keharmonisan antarsesama dan
lingkungannya. “Jadi di sini sentralnya adalah manusia. Apabila hubungan manusia
dengan Tuhan terjalin dengan baik dan harmonis, apabila hubungan manusia dengan
manusia terjalin dengan harmonis, dan hubungan antara manusia dengan alam baik dan
harmonis, maka terjaminlah kesejahteraan dan kebaikan kehidupan manusia itu sendiri,”
jelas Ida Pandita ketika diwawancarai di kediaman beliau di Griya Taman Sari,
Banyuasri.
Pengembangan pemikiran dari Mpu Kuturan mengenai Trihita Karana dapat kita
baca dari kesimpulan beliau mengenai Trimurti, Tuhan Yang Maha Esa dalam
manifestasiNya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siva. Dari Trimurti inilah berkembang
adanya trikahyangan yang dilangsir oleh beliau di setiap desa pakraman ada Pura Desa,
Pura Puseh, dan Pura Dalem. Kemudian dari sini pula berkembang Trihita karana. Wujud
parahyangan dalam Trimurti (Trikahyangan) adalah hubungan manusia dengan Tuhan itu
diwujudkan dalam adanya Pura Dalem, yaitu hubungan manusia dengan Sang Hyang
Widhi dalam manifestasiNya sebagai Dewi Durga atau sakti Siva. Karena Siva dalam
Agama Hindu di Bali itu adalah Tuhan, dengan kata lain di Bali adalah penganut Hindu
dari sekte Siva Siddhanta, maka dalam pemahaman Siva Siddhanta, Tuhan itu adalah
Siva. Maka, sakti dari Siva berwujud sebagai devi Durga yang distanakan di Pura Dalem.
Hubungan manusia dengan Tuhan terwujud pada Pura Dalem. Kedua, hubungan
manusia sesama manusia terwujud pada stana Bhattara Brahma di Pura Desa. Pura Desa
adalah pura milik desa, di mana di dalam kegiatan pura terjadi interaksi selain kepada
Sang Hyang Widhi juga interaksi kepada sesama krama desa. Jadi di sini perwujudan
hubungan antara manusia dengan manusia. Kemudian, hubungan manusia dengan alam
atau palemahan itu terwujud dalam Pura Puseh, stana Bhattara Wisnu oleh karena Wisnu
adalah dewa yang memberikan kehidupan kepada umat manusia dan salah satu sumber
kehidupan yang terpenting adalah air. Oleh karena itulah Pura Puseh disebut sebagai
manifestasi dari konsep Trihita Karana dalam unsur palemahan.

Berbicara mengenai konsep Trihita karana, utamanya zaman sekarang, berarti


berbicara mengenai relevansi. Trihita karana memang merupakan sebuah konsep yang
luhur yang diteruskan oleh leluhur kita di masa lalu, untuk membangun masyarakat
sejahtera dalam kehidupan sekala maupun niskala. Namun zaman sekarang, konsep
Trihita Karana telah menyimpang dari segi pelaksanaannya. Kita semua mengetahui
kosep yang berpedoman kepada keharmonisan manusia dengan alam, sesama, dan Tuhan
itu, namun dewasa ini, masyarakat sepertinya baru mengenal hanya sebatas teori saja.
Bagaimana penerapannya? Katakanlah belum sempurna. Jangankan peraturan tidak
membuang sampah ke sungai sebagai wujud keharmonisan manusia dengan alamnya,
dalam mengadakan upacara yadnya pun kita sering bertengkar.
“Konsep ini sangat relevan dan berlanjut terus. Bahkan tidak hanya relevan di Bali
saja, tetapi juga di Nusantara bahkan di seluruh dunia, dan ini applicable sepanjang masa,
karena memang itu adalah inti-inti yang diambil dari Rgveda oleh Ida Mpu Kuturan,”
tegas Ida Pandita. Konsep ini sebenarnya telah ada dalam Rgveda, hanya saja di Rgveda
tidak jelas disebutkan kalimat-kalimat Trihita karana, tetapi Mpu Kuturanlah yang
pertama kali mencetuskan istilah Trihita karana itu yang berintisari dari Veda. Jadi kita
mengetahui bahwa Veda itu mengandung kebenaran yang hakiki, kebenaran yang mutak.
Oleh karena itu, apa yang ditulis dalam ayat-ayat Veda berlaku untuk umat manusia di
seluruh dunia dan merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa dibantah.
Beralih ke masalah Trihita Karana dalam kaitannya dengan kasus Pura Besakih
yang kabarnya akan disaingkan dengan lapangan golf. Bagaimana dampak pembangunan
lapangan golf tersebut (jika seandainya jadi) dengan Pura Besakih? “Besakih itu yang
merupakan Pura Pangenteg Jagad, merupakan pura induk yang sangat sakral,” demikian
jawaban Ida Pandita. Beliau juga menuturkan perihal sejarah Gunung Agung yang
dikaitkan dengan keberadaan Pura Besakih sebagai pura Pangenteg Jagad.
Keberadaan Pura Besakih tidak lepas dari Gunung Agung sebagai gunung
tertinggi di Pulau Bali. Ida Pandita menyatakan bahwa Gunung Agung memiliki sejarah
dan mitologi tersendiri yang menyatakan kesuciannya. Sebagai contoh ditemukan dalam
Babad Pasek dan Bendesa, bahwa Gunung Agung pada hakikatnya adalah saudara dari
Gunung Mahameru di Jambudwipa (India), bersama-sama dengan Gunung Rinjani,
Gunung Batur, dan Gunung Semeru.
“Untuk itu kita mengambil sumber dari Babad Pasek dan Bendesa, di mana
pendahuluan Babad Pasek dan Bendesa menceritakan keadaaan Bali yang pada awalnya
hanya mempunyai gunung yaitu di timur Gunung Lempuyang, di selatan Gunung
Andakasa, di barat Gunung Watukaru, dan di utara Gunung Mangu dan Gunung Bratan,”
tutur Ida Pandita. Oleh karena hanya mempunyai gunung seperti itu, maka Bali menjadi
goncang. Bhattara Pasupati (dalam hal ini sebagai wujud Sang Hyang Widhi)
berkeinginan agar Bali ini tidak goncang. Maka, bagian gunung Mahameru dibawa ke
Bali, di mana Bhattara Badhawang Nala diperintahkan untuk bertahan di pangkal
gunung, sedangkan Naga Anantabhoga dan Wasuki menjadi tali pengikat gunung itu.
Naga Taksaka yang menerbangkan puncak gunung Mahameru kemudian diturunkan di
Bali pada Kamis Mrakih, sasih Kadasa, bulan mati, rah 1, tenggek 1, tahun Saka 11 atau
tahun 87 sebelum masehi. Kemudian setelah Mahameru didudukkan di tengah-tengah
pulau Bali sebagai gunung Agung atau Toh Langkir, maka pada hari Selasa Kliwon wuku
Kulantir sasih Kalima pada bulan purnama tahun saka 31, atau 20 tahun setelah
distanakan, Gunung Agung Meletus. Dari letusannya itu terciptalah Gunung Lebah atau
Gunung Batur. Jadi, dalam mitologi ini, Gunung Agung melahirkan gunung Batur. Ini
disebut di dalam prasasti-prasasti lama bahwa Gunung Agung adalah Purusa, Gunung
Lebah (Gunung Batur) adalha Pradhana. Sehingga hukum alam yang dinamakan Rwa
Bhinneda terwujud dalam kedua gunung itu.
Oleh karena itu pula Sang Hyang Pasupati bersabda bahwa Mahameru, Gunung
Agung, dan Gunung Ulun Danu, atau Gunung Lebah itu adalah bersaudara. Sebelumnya
perlu dijelaskan lagi bahwa Gunung Mahameru itu tidak hanya menciptakan Gunung
Agung tetapi juga Gunung Semeru dan Gunung Rinjani. Oleh karena itu sampai sekarang
pemeluk Hindu di Bali sangat yakin bahwa Gunung Semeru, Gunung Agung, dan
Gunung Rinjani itu bersaudara.Dengan demikian maka di gunung-gunung ini pun
diyakini berstana Sang Hyang Pasupati dengan Putra-Putra Beliau yaitu Mahadewa
(Hyang Putrajaya, red.), Hyang Gnijaya, kemudian Dewi Danu.
Sekaligus juga karena di Gunung Agung dibangun Pura Besakih, maka Pura
Besakih itu yang merupakan Pura Pangenteg Jagad, merupakan pura induk yang sangat
sakral.
Mengenai pembangunan lapangan golf di Besakih, Ida pandita menyatakan
bahwa ada beberapa syarat pembangunan di sekitar areal pura agar tidak mengganggu
kesucian pura bersangkutan. Beliau menjelaskan bahwa PHDI Pusat pada tahun 1959
sudah mengeluarkan Bhisama bahwa kawasan suci hendaknya dilindungi. Perlindungan
itu antara lain dengan jarak, sehingga waktu itu timbul istilah jarak dari pura yang kita
sakralkan ke tempat-tempat hunian, perumahan penduduk, apalagi tempat-tempat lain
(hotel, dsb) yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan kegiatan keagamaan
hendaknya mengambil jarak dari pura bersangkutan. Jarak itu tergantung dari besar-
kecilnya pura. “Ada jarak yang dinamakan apanimpug, apaneleng, dan apangambuan,”
papar Ida Pandita. Apanimpug adalah jarak yang dapat dicapai hasil dari lemparan batu
sebesar genggaman tangan dari laki-laki dewasa. Kemudian apangambuan (ambu) artinya
mencium. Jadi tidak boleh ada kegiatan di luar keagamaan yang baunya sampai tercium
ke pura itu, seperti kandang babi. Tidak boleh bau kotoran babi itu sampai tercium ke
pura. Ini tentu jaraknya relatif. Apabila pura itu berada di puncak bukit, maka dengan
sendirinya bau itu akan terbawa oleh angin. Berapa jaraknya ini tidak ditentukan dalam
meter. Yang ketiga, jarak yang disebut apaneleng. Apaneleng ini artinya apabila kita
melihat sesuatu sampai kabur, kita tidak bisa lagi melihat pada jarak tertentu yang tidak
terhalang oleh tembok atau pohon-pohonan. Demikian pula dalam hubungannnya dengan
tempat-tempat suci, maka dalam jarak apaneleng tidak boleh ada kegiatan-kegiatan yang
tidak berhubungan dengan keagamaan.
“Kembali kepada pertanyaan bahwa pembangunan lapangan golf di areal Besakih
apakah itu tidak mengganggu jarak apaneleng?” ujar Ida Pandita, “Keberadaan lapangan
golf mungkin lolos dari satuan apangambuan karena lapangan golf tidak berbau. Kalau
misalnya apanimpug, mungkin lolos, artinya tidak mungkin orang bisa melempar batu
sejauh satu kilometer (misalnya. red), tapi kalau apaneleng, karena jarak apaneleng itu
pada lapangan yang terbuka bisa mencapai tiga, empat, atau lima kilometer. Apabila ini
dilanggar, maka nilai sakral dari pura itu akan tercemar.” Kemudian yang penting adalah
pengaruhnya kepada umat Hindu di Bali. Mereka akan merasa pura yang besar itu akan
tercemar oleh kegiatan lapangan golf itu.
Pura Besakih adalah pura yang sangat disucikan oleh umat Hindu. Pembangunan
di areal pura, terutama yang tidak berkaitan dengan kegiatan keagamaan dapat
mendatangkan ketidaksucian bagi pura tersebut. Sebuah pura memancarkan vibrasi
kesucian dan keharmonisan yang idcari banyak orang. Pura adalah sentral spiritual di
mana dengan kehadiran pura, maka masyarakat yang berdiam di wilayah tersebut akan
merasakan suatu keharmonisan. Apabila keharmonisan itu diganggu, muncullah berbagai
masalah, baik sekala maupun niskala. Pembangunan lapangan golf di Besakih hendaknya
memerhatikan aspek keselarasan dan kesucian. Jangan sampai daerah suci tersebut
tercemar dengan kehadiran pembangunan itu. Proyek tersebut hendaknya dipindahkan ke
daerah lain yang memerlukan pengembangan.

Anda mungkin juga menyukai