Anda di halaman 1dari 8

Perancangan Produk ISSN 1410-9891

Konversi Katalitik Aseton menjadi Hidrokarbon C1-C10 menggunakan katalis


ZSM-5

Setiadi
Research Group of Chemical Reaction Engineering and Catalysis,
Departemen Teknik Kimia,Fakultas Teknik, Universitas Indonesia,
Kampus UI, Depok – 16434, Indonesia, e-mail : setiadi@che.ui.edu

Abstrak

Aseton merupakan senyawa organic polar yang dapat diproduksis secara renewable dari proses
fermentasi maupun dari hasil reaksi katalitik produk turunan biomassa. Akan menjadi suatu skema rute
baru yang prospektif dan sustainable, apabila produk hasil proses berbasis material biomasa tersebut
dapat ditransformasi menjadi berbagai senyawa hidrokarbon. Penelitian ini bermaksud untuk
mengembangkan proses reaksi katalitik untuk memproduksi senyawa hidrokarbon C1-C10 dari aseton
menggunakan ZSM-5. Reaksi dilakukan didalam reaktor pipa suhu 673 K, space velocity 4 h-1,
bertekanan atmosferik. Hasil pengujian memperlihatkan ZSM-5 memiliki kinerja shape selectivity yang
baik terbukti mampu mengarahkan produk hidrokarbon dengan kerangka rantai karbon antara C1-C10
dengan konversi aseton mendekati 100 % selama 17 jam. Kemampuan ZSM-5 mengkatalisis reaksi
aromatisasi sangat tinggi yang ditunjukkan dengan yield sebesar 60 % selama 16 jam uji reaksi. Dapat
disimpulkan bahwa konversi aseton menjadi hidrokarbon secara selektif kearah terbentuknya
hidrokarbon aromatik sudah dapat berhasil dilakukan menggunakan ZSM-5. Dan hal ini akan
memberikan harapan bahwa skema rute proses berbasis material biomasa dapat menjadi sumber
hidrokarbon baru untuk bisa mengiringi minyak bumi.

Abstract

Acetone is a organic polar compound which can be produced renewably from biomass through a
fermentation process or by catalytic process of a biomass-derived liquid. The prospective and
sustainable system from a new schematic route can be established, if this product could be transformed
into hydrocarbons. That’s why this research is intended to develop a catalytic process for aromatic
production from acetone using ZSM-5. The reaction was employed in a reactor tube at 673 K, space
velocity 4 h-1 under atmospheric pressure. The results showed that the catalytic performance of ZSM-5
for shape selective catalyst was high to produce some hydrocarbons in the range of carbon skeleton
between C1-C10 and acetone conversion was obtained close to 100% for 17 h. The high performance of
ZSM-5 for aromatization was also high indicated by the aromatic yield was more than 60 % during 15
h reaction test. It should be concluded that the catalytic process of the acetone conversion aromatic
hydrocarbons can be established well. This finding should contribute a new insight for generating a
new abundant hydrocarbons resources and a new schematic route from many kinds of renewable
biomass. A way for establishing a biomass-based technology should be immediately established, so the
wisely utilization of the fossil resources (Gas and petroleum oil) could be realized without a exhausting
this nonrenewable resource.

1. Pendahuluan
Eksplorasi dan pengembangan suatu proses yang mampu mereduksi kebergantungan pada sumber
hidrokarbon fosil adalah merupakan suatu langkah bijak untuk merealisasikan industri yang langgngeng
keberlangsunganna. Menurut Heminway (1995) bahwasanya hampir 90 % dari jumlah senyawa hidrokarbon hasil
proses penyulingan minyak mentah baik berupa BBM gasoline, diesel maupun minyak tanah, dll. digunakan sebagai
bahan bakar energi untuk mendukung sektor transportasi, industri maupun aktivitas rumah tangga. Mengingat energi
bahan bakar yang dilepaskan seiring dengan terlepasnya gas CO2, maka kebergantungan yang terus menerus pada
sumber energi minyak bumi tersebut jelas menimbulkan semakin tingginya skala permasalahan yakni menaiknya
kadar CO2 yang tak terkendali di dalam atmosfir bumi sehingga menimbulkan pemanasan global (Kojima, 1998;
Metzger & Eissen, 2004). Disisi lain, isu tentang semakin menipisnya cadangan minyak bumi dunia (Marcilly,
2003), maka semakin menuntut suatu taktik dan strategi atas sumber utama hidrokarbon tersebut secara hemat dan
efisien. Mempertimbangkan juga bahwa proses pem-bentukannya dalam ukuran geological time frame memerlukan
ribuan tahun, sumber energi fosil tersebut disebut sebagai sumber yang tak dapat diperbaharui (nonrenewable
resources).

Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia VII 1


Perancangan Produk ISSN 1410-9891

Disi lain, materi biomasa adalah salah satu alternatif yang tepat sebagai starting material untuk sumber
hidrokarbon sumber yang dapat terbarukan (renewable resources). Keberadaan materi tersebut memang salah satu
komponen dari sistem daur ulang karbon secara global (lihat gambar 1). Biomasa juga dapat dipandang sebagai
media/tempat penampungan CO2 (sequestration) melalui proses fotosintesis pada tanaman (Padabed, 2002).

Geological Time Frame

Biomass derived Fossil Resources


liquid ( Crude Oil, Coal, N.G)

Biological time frame


Utilization

Biomass Hidrokarbon For Fuel Energy or


Material Chemical feedstock

Fotosintesis
Asimilasi Fuel Combustion
(biological
activities)
CO2

H2O

Gambar 1 Skema Global Carbon Cycle Route for renewable hydrocarbons fuels & chemicals
(dikembangkan berdasar Kojima, 1998; Metzger & Eissen, 2004 dan Padabed et al.,2002)

Disamping itu berbagai produk biomasa dapat menjadi sumber hidrokarbon potensial dengan rasio
hidrogen/karbon yang cukup tinggi dibanding batubara (Antal dkk., 2000). Gambar 1 merupakan suatu skema daur
ulang karbon secara global. Dari materi biomasa yang terbarukan tersebut dapat diproses menjadi bentuk cairnya
(derived liquid) melalui berbagai cara : proses ekstraksi (mis. minyak sawit), proses biologi fermentasi menghasilkan
aseton, butanol maupun etanol (Badr, 2001; Gibbs 1983; Liu, 2004) maupun melalui proses ter-mal (chemical
pyrolysis, chemical gasification). Pada skema rute proses berikutnya, senyawa organik cair dapat diubah secara
kimiawi menjadi berbagai senyawa hidrokarbon baik sebagai bahan bakar maupun bahan kimia.
Dari berbagai jenis senyawa hidrokarbon C1-C10, maka senyawa hidrokarbon jenis aromatik maupun olefin
merupakan bahan baku utama yang sangat penting dalam berbagai proses industri petrokimia (petrochemical
building block compounds). Saat ini, sumber utama senyawa tersebut masih mengandalkan pada ketersediaan sumber
alam berupa gas dan minyak bumi hasil proses penyulingan.
ZSM-5 dikenal sebagai jenis zeolit sintetik yang mempunyai permukaan inti asam dan struktur jaringan pori
yang luas serta homogen. Struktur kerangka jenis bahan alumino-silikat tersebut terbentuk dari bahan dasar
pembangun berupa tetrahedron atom silikon atau aluminium. Kemampuan ZSM-5 untuk mengakselerasi berbagai
jenis reaksi sangat berkait dengan sifat keasamannya, dan parameter penting ZSM-5 yang bisa bisa dikontrol dengan
rasio Si/Al. Namun beragamnya variasi Si/Al ini sama sekali tidak akan mempengaruhi struktur kerangka ZSM-5
(Bhatia, 1990). Juga telah ditunjuk-kan oleh Xu dkk. bahwa ZSM-5 mampu bersifat sebagai inti aktif asam Bronsted,
Si-O(H)-Al maupun basa Lewis pada kerangka ZSM-5 pada atom oksigen yang dekat atom aluminium
(neighbouring framework oxygen atom).
Disamping itu, kemampuan selektivitas ZSM-5 terhadap terbentuknya senyawa hidrokarbon antara C5-C11
sangat tinggi berdasarkan ukuran dan struktur pori (Weitkamp, 2000). Berbagai hasil penelitan (Chang dkk, 1981;
Lucas dkk,1997; Lucas dkk., 2001; Setiadi dkk, 2003) telah dapat menyimpulkankan bahwa ZSM-5 mempunyai
kemampuan selektivitas yang tinggi berdasar bentuk dan ukuran pori (shape selective catalyst) kearah terbentuknya
berbagai jenis molekul yang berdiamer kinetik maksimal sekitar 0.6 nm, yang mana sangat sesuai dengan
hidrokarbon aromatik (benzene, toluena, xilena, grup senyawa C9 aromatis, dll.).
Namun, umumnya katalis jenis zeolit mudah mengalami deaktivasi, tidak terkecuali untuk ZSM-5.
Tergantung jenis reaksi, jenis zeolit dan kondisi reaksi yang digunakan, maka kemampuan katalis dalam menahan
aktivitas dan selektivitas dalam rentang waktu tertentu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Richardson,
1989). Oleh karenanya, Löffler (2001) menyarankan agar durability test atau time on stream reaction test tetap
Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia VII 2
Perancangan Produk ISSN 1410-9891

diperlukan untuk memilih dan menentukan jenis katalis sesuai dengan reaksi dan kondisi operasinya. Berbagai
informasi tersebut sangatlah penting didapatkan untuk menunjang langkah design, penentuan jenis reaktor maupun
metode operasi regenerasi yang sangat perlu dilakukan (Sie, 2001)
Berdasar uraian diatas, maka lingkup penelitian ini bermaksud untuk mengembangkan proses konversi
katalitik senyawa aseton menjadi hidrokarbon C1-C10 menggunakan katalis ZSM-5.

2. Metodologi
Serbuk halus padatan katalis ZSM-5 komersial (berukuran partikel 3μm) dengan rasio Si/Al masing-masing
adalah 25 digunakan sebagai sampel katalis dalam reaksi konversi aseton fasa gas menjadi hidrokarbon aromatik.
Reaktor yang digunakan adalah reaktor pipa berukuran 6 mm i.d dengan panjang 700 mm terbuat stainless steel (SS
316). Untuk setiap pengujian, digunakan sebanyak satu gram katalis untuk ditempatkan didalam reaktor. Untuk
menghindari terjadinya pressure drop yang berlebihan pada unggun katalis tersebut, maka dilakukan pencampuran
yakni satu gram sampel padatan katalis dengan quartz sand sebanyak 5 gram berukuran partikel 10-15 mesh.
Pada bagian atas susunan unggun tersebut dimana aliran umpan aseton masuk raktor, juga ditambahkan
quartz sand sekitar 7 g untuk menjaga aseton agar secara sempurna berada dalam fasa uapnya. Untuk menahan

6 mm , i.d

Flowmeter Pomp
19 cm Termokope1

Quartz sand Pre-


heater Aseton
Quartz Wool
Quartz Sand
Unggun Katalis
16 cm Electric
Lokasi Pengukuran furnace Katalis
Suhu Unggun Katalis
N2 Reaktor Pipa
Quartz Wool
gas
Batangan Baja SS 316

35 cm
Reaktor Pipa, 10 mm
o.d., SS 316
Gaseous
product

Ice - water

Gambar 2 Penyusunan Katalis dalam Reaktor Gambar 3 Skema susunan sarana uji katalis dalam
reaksi aseton menjadi hidrokarbon aromatik
susunan unggun tetap tersebut pada posisinya, maka pada bagian bawah unggun katalis disematkan batangan baja
serta lapisan quartz wool untuk menjaga katalis dari kemungkinan entrainment akibat umpan gas masuk selama
operasi pengujian. Lebih lengkapnya bisa dilihat gambar 2..
Selanjutnya reaktor pipa ditempatkan pada rangkaian fasilitas uji katalis seperti terlihat pada gambar 3. Sebelum
uji reaksi dijalankan, katalis dilakukan pretreatment pada 673 K dalam aliran nitrogen sebesar 30 ml/min selama
sedikitnya 1 jam untuk menghilangkan kemungkinan adanya kandungan komponen air akibat selama penyimpa
panan maupun penyusunan unggun katalis. Selanjutnya, reaksi katalisis langsung dapat dilakukan dengan
mengumpankan cairan aseton kedalam reaktor dengan tetap menggunakan gas nitrogen sebagai gas pembawanya
(carrier gas). Pengumpanan cairan aseton dilakukan dengan menggunakan micro pump sedemikian rupa sehingga
aliran aseton mempunyai laju SV(space velocity) sebesar 4 h-1 dalam kondisi reaktor pada suhu reaksi (678 K) dan
total tekanan antara 0.13-0.25 MPa.
Gas keluran reaktor dilewatkan dua buah trap penampungan yang disusun secara seri, yang salah satunya
berisi etanol. Keduanya dicelupkan didalam water bath yang diisikan es untuk menyempurnakan penangkapan dan
penampungan sampel produk yang berupa cairan. Sedangkan produk gas (tidak tercairkan maupun terabsorp) ikut
mengalir bersama carrier gas nitrogen, ditampung didalam wadah plastik (gas-bag). Produk cair dianalisa
menggunakan instrumen gas chromatografy jenis FID (Flame Ionization Detector) dari Hewlett Packard GC-5890
dilengkapi dengan kolom kapiler DB-1. Kondisi operasi GC-FID dapat dilihat pada tabel 1. Sedangkan produk gas
dilakukan analisa menggunakan instrumen gas chromatografi jenis TCD (Thermal Conductivity Detector) dari
Shimadzu-14A dan digunakan kolom molekuler sieve untuk mendeteksi komponen senyawa metana dan CO dan
kolom porapaq Q untuk mendeteksi komponen metana, etilena, etana, propelena, propana serta senyawa C4 (butena,
butana maupun, isobutena). Sedang kondisi operasi dapat dilihat pada tabel 2.

Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia VII 3


Perancangan Produk ISSN 1410-9891

Tabel 1 Data FID ANALYSIS (Hewlett Packard) Tabel 2 The condition of GC for gaseous analysis
Column DB-1 60 m x 0.25 mm I.D., 0.25 μ (film) JW : Gas Chromatography GC 1 GC 2
122-1062-JW
Carrier Nitrogen Column Porapaq Q Mol. Sieve

Oven 40 oC for 2 min; 40 - 220 oC with heating rate at Carrier gas Helium Argon
2.5 o C/min
Injector Split 1:100; 260 oC Column Oven 80 oC 60 oC

Detector FID 290 oC Nitrogen make up gas sebesar 30 Injection port 90 oC 80 oC


ml/min
Detector (TCD) 90 oC 80 oC

Konversi aseton dihitung berdasarkan jumlah aseton yang yang diumpankan dalam waktu tertentu dan aseton
masih tersisa dalam produk cair delam rantang waktu tertentu (30-40 menit). Selektivitas maupun yield setiap
komponen produk dinyatakan dalam persen karbon dan dihitung berdasarkan jumlah asetone yang terbentuk.

3. Hasil dan Pembahasan


Secara qualitatif terbentuknya produk senyawa hidrokarbon hasil reaksi merupakan indikator real proses
keberlangsungan reaksi katalitik apakah telah berjalan sesuai yang diharapkan. Salah satu tipikal hasil GC
chromatogram untuk produk cair dan gas bisa dilihat pada gambar 4 dan gambar 5. Terlihat bahwa berbagai puncak
pada masing-masing retention time yang menunjukkan keberadaan berbagai produk hidrokarbon hasil reaksi aseton
menggunakan ZSM-5. Kandungan senyawa di dalam produk cair juga telah dikonfirmasi dengan menggunakan Gas
chromatografi Mass spectrometri (GC-MS) dilengkapi dengan perangkat lunak database seluruh senyawa organik.
Dan dengan kolom kapiler yang sama serta temperatur program yang sama dengan FID, maka didapatkan kepastian
(identifikasi) seluruh senyawa hidrokarbon dalam produk cair sesuai dengan masing-masing retention timenya.
Untuk lebih memastikan kandungan produk cair, maka instrumen GC-FID sendiri juga dilakukan pengecekan
dengan sampel murni ataupun standar dan ringkasan hasilnya bisa dilihat tabel 3. Oleh karena gas chomatografi FID
menggunakan standar nyala api (flame) gas hidrogen, maka kemampuan deteksi terhadap senyawa hidrokarbon
hanya terletak aadanya atom karbon yang terikat. Dan oleh karena hidrokarbon hampir memiliki rasio H/C yang
sangat dekat, maka faktor kalibrasi adalah relatif 1 terhadap lainnya. Kecuali aseton yang punya gugu s karbonil,
membuat faktor kalibrasinya bernilai 2,2. Dengan cara yang sama juga dilakukan untuk kepastian produk gas yang
terbentuk selama reaksi, hasilnya bisa dilihat gambar 5 dan dibuat ringkasa pada tabel 4.
Hasil tersebut tersebut ini merupakan tolok ukur awal bahwa reaksi telah berhasil dilakukan sesuai yang
diharapkan. Perlu dicatat disini bahwa puncak-puncak chromatogram ini sama sekali tidak terlihat baik pada produk
cair maupun gas, saat reaksi dilakukan tanpa adanya katalis ZSM-5 didalam reaktor.

Table 3 Waktu retensi hidrokarbon hasil deteksi Table 4 Waktu retensi hidrokarbon hasil deteksi
menggunakan GC-FID dengan kolom kapier DB-1 menggunakan GC-TCD
Peak Ret.time, Calibration Komponen Retention time, min Calibration
No. Compounds minute factor Factor
1 Acetone ~6.25 2.2 Porpak. Q Mol.Sieve
2 C6+ Aliphatics 6.1-9.3 1 CO2 0.9 0.91659
3 Benzene 7.98 1 C2H4 1.4 0.87553
4 Toluene 9.87 1 C2H6 1.8 0.80699
5 Ethylbenzene - 11.85 1 C3H6 5.2 0.67475
6 m+p-Xylene - 12.1 1 C4 12.8 0.56479
7 o-Xylene - 12.6 1 H2 1.7 0.10501
8 C9-Aromatics* 13.8-15.6 1 CH4 4.1 0.34531
9 C10-Aromatics** 16.6-17.7 1 CO 4.7 1.00367
10 Naphthalene - 18.5 1
11 MMN group- 20.5-21.0 1
12 DMN 22,3 1
13 TMN - 23.3-24 1
C9-Aromatics* terdiri atas
n-Propylbenzene, 1-Methyl-3-Ethylbenzene, 1-
ethyl--Ethylbenzene, 1,3,5-Trimethylbenzene
(Mesytylene), 1-Methyl-2-Ethylbenzene, 1,2,4-
Trimethylbenzene, 1,2,3-Trimethylbenzene
C10-Aromatics** terdiri atas
1,4-Diethylbenzene, n-butylbenzene,
1,2 diethylbenzene, 1,2,4,5-Tetramethylbenzene,
1,2,3,4-Tetramethylbenzene

Untuk mengkuantifikasi tingkat keberlangsungan reaksi, maka salah satu tolok ukur utamanya adalah
parameter konversi, yakni dalam hal ini adalah aseton sebagai umpan tunggal masuk kedalam reaktor. Seperti
terlihat pada gambar 6 yakni tentang konversi aseton disepanjang waktu selama uji reaksi hampir 24 jam dengan

Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia VII 4


Perancangan Produk ISSN 1410-9891

kondisi reaksi SV=4h-1 , T=673K., tekanan atmosferik. Terlihat jelas bahwa ZSM-5 dengan rasio Si/Al=25
konversi aseton adalah konstan mendekati 100 % selama hampir 17 jam. Walaupun, katalis dengan rasio tersebut
mengalami deaktivasi setelah 17 jam, dibanding dengan rasio Si/Al lainnya (75, 100) jauh memiliki catalytic
durability yang lebih tinggi karena 2 rasio tersebut lebih cenderung mudah mengalami proses deaktivasi bahkan
mulai saat awal uji reaksi (Setiadi, 2005).
Untuk melihat distribusi produk distribusi hasil reaksi, maka diambil salah satu sampel saat akumulasi
produk cair maupun gas selama 40 menit awal reaksi (lihat gambar 7). Untuk memperingkas komponen, maka
senyawa produk diklasifikasikan dalam 4 kategori yakni,
1. produk monoaromatik yakni benzene, toluene, Ethylbenzene, m+p-Xylene, o-Xylene, C9- ataupun C10-
Aromatik (lengkapnya lihat tabel 3)
2. Produk diaromatik yakni Naphthalene MonoMethylNaphthalene group(MMN), Dimethyl MethylNaph-
thalene(DMN) maupun TMN (Trimetil Naphthalene).
3. Alifatik serta cabangnya C2H4, C2H6, C3H6, C4 (butane, isobutana, isobutene), CH4 dan C6+ Aliphatics
4. Karbon Oksida (CO dan CO2)
Secara umum bahwa ZSM-5 memiliki kinerja dengan kemampuan shape selectivity yang tinggi, terbukti
selektif terhadap terbentuknya produk hidrokarbon dengan kerangka rantai karbon antara C1-C10 dengan konversi
aseton mendekati 100 % selama 17 jam. Namun terlihat jelas bahwa produk aromatik merupakan produk yang sangat
dominant dianatara hidrokarbon C1-C10 dengan selektivitas > 70 %. Hal ini memperlihatkan kinerja lain dari katalis
ZSM-5 untuk mengkatalisis reaksi aromatisasi sangat tinggi yang sangat terkait dengan ukuran dan struktur porinya
yang mendekati geometri ukuran dimeter molekul aromatik (sekitar 0,6 nm).
Yield juga merupakan parameter ouput yang juga cukup penting untuk melihat dan evaluasi kinerja katalis.
Parameter merupakan ukuran sejumalah produk yang diinginkan dari reaktan yang diumpankan dan dihitung
berdasarkan perkalaian antara konversi dan selektivitas produk. Karena aromatik meupakan produk yang dominan
dalam hidrokarbon C1-C10, maka seperti terlihat pada gambar 8, nampak jelas bahwa selama 15 jam uji reaksi
ZSM-5 rasio Si/Al=25 memberikan yield aromatik diatas nilai 60 %.

Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia VII 5


Perancangan Produk ISSN 1410-9891

Gambar 4 Salah satu tipikal Chromatogram FID Gambar 5 Salah satu tipikal Chromatogram TCD
untuk sampel cair hasil reaksi konversi aseton sampel gas produk samping reaksi konversi aseton

Trimethylnaphthalene 100
Acetone conversion [%]

Dimethylnaphthalene
80
1-Methylnaphthalene Diaromatik
2-Methylnaphthalene 60
Naphthalene

C9-Aromatics 40

o-Xylene
20
m+p-Xylene Monoa-
romatik
Ethylbenzene 0
0 5 10 15 20 25 30
Toluene
Time on stream [h]
Benzene

C5~C6 aliphatics
Gambar 6 Konversi aseton dengan katalis ZSM-5 ( W
C4 aliphatics katalis = 1 g, suhu = 673 K, SV = 4 h-1, tekanan
C3H8 atmosferik)
C3H6 Alifatik

C2H6
100
C2H4

CH4 80
Yield [ %mol carbon]

CO2

CO 60

0 10 20 30 40
40
Selectivity (% carbon)
20

Gambar 7 Distribusi produk hasil konversi aseton


menggunakan katalis ZSM-5 (W katalis = 1 g, suhu = 0
673 K, SV = 4 h-1, tekanan atmosferik) untuk 0 5 10 15 20 25 30
akumulasi sampel cair selama 40 menit pertama
Ti me on stream [h]

Gambar 8 Yield aromatik hasil konversi


aseton menggunakan katalis ZSM-5 ( W katalis
= 1 g, suhu = 673 K, SV = 4 h-1, tekanan
atmosferik)
produk aromatis dibawah 70 % dan malahan mengalami penurunan setelah waktu 5 jam. Setelah rentang waktu
Secara umum, berlangsungnya reaksi konversi aseton adalah melalui mekanisme reaksi kondensasi aldol.
Mekanisme reaksi mekanisme tersebut merupakan gabunagn antara langkah reaksi asam basa dari Bronsted (proton
transfer) dan Lewis step (electron transfer). Reaksi aldol bermula dari pemisahan proton berposisi α (alfa)
membentuk enolat yang beresonansi (Xu, 2002). Anion ini sangat reaktif sebgai nukleofil yang mampu menyerang
gugus karbonil yang miskin elektron dari molekul aseton (Lewis step) dan membentuk produk antara yakni
alkoksida (Xu dkk, 1994). Selanjutnya terprotonasi membentuk produk aldol yakni diaseton alkohol (DAA).
Pada temperatur tinggi, DAA terdehidrasi dengan melepaskan H2O dan terbentuk mesitil oksida (MO). MO
tersebut dapat mengalami langkah kondensasi membentuk di-enon ataupun siklik isophoron. Secara teoritis, reaksi

Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia VII 6


Perancangan Produk ISSN 1410-9891

ini dapat berlanjut terus dengan mengalami reaksi subtitusi pada gugus fungsi metil. Sehingga reaksi kondensasi
lebih lanjut dengan molekul aseton yang teradsorbsi, membentuk spesi dengan berat molekul yang tinggi dan
terakumulasi didalam saluran pori, menghambat akses molekul menuju inti aktif dan akhirnya menurunkan laju
reaksi (Steven, 1999). Pembentukan senyawa aromatik (Frigyes Solymosi and Aleksander Szechenyi, 2004;
Choudhary, 2002; Dehertog dan Fromen, 1999; Liu dkk., 1999) dapat berlangsung melalui reaksi kondensasi dan
dehydrosklisasi molekul isobutelena daripada melalui reaksi siklisasi dienon (Chang, 1981). Sedangkan isobutilena
sendiri berasal dari hasil dekomposisi MSO ataupun DAA pada temperatur tinggi (Zaki, 2000). Reaksi aldol
kondensasi dengan adanya katalis akan lebih mempercepat laju reaksi. Secara prinsip semakin asam permukaan
katalis, semakin tinggi kinerja ZSM-5
Berdasarkan penglihatan secara visual bahwa terjadi perubahan warna katalis yang sangat mencolok dari semula
putih bersih menjadi abu-abu setelah usai reaksi. Hasil ini dapatlah dipastikan bahwa terjadi pembetukan produk
samping yang keberadaannya menutupi permukaan katalis, yang mengakibatkan penurunan luas permukaan serta
kinerja katalis yakni terjadi penurunan aktivitas setelah 17 jam reaksi. Diduga bahwa kokas tersebut terbentuk dari
hasil reaksi aldol kondensasi molekul aseton yang berkelanjutan (multiple condensation) dan semakin lama semakin
terakumulasi pada permukaan katalis menjadi persenyawaan molekul yang besar selama berlangsungnya reaksi
(Steven dkk, 1999)

4. Kesimpulan
Reaksi konversi aseton menjadi hidrokarbon C1-C10 secara pasti telah dapat dilakukan dengan baik pada
suhu 678 K, SV 4 h-1 pada tekanan atmosferik. Konversi aseton yang didapat mendekati 100% selama rentang
waktu uji reaksi 17 jam. Melihat produk utama yang dihasilkan adalah berupa hidrokarbon aromatik, maka hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan ZSM-5 baik dalam mengakalisis reaksi aromatisasi berdasarkan shape selective-
nya maupun kemampuannya menahan terbentuknya senyawa hidrokarbon dengan rantai C lebih tinggi dari C10
adalah sangat tinggi.
Produk yield aromatik diatas 60 % dalam uji kinerja reaksi selama 16 jam. Namun kemungkinan terjadinya
penurunan aktivitas katalis (deactivation) terlihat, terutama setelah 17 jam reaksi. Berdasar uraian mekanisme reaksi
aseton, penyebab utama penurunan kinerja katalis tersebut oleh karena terjadinya penutupan pori oleh kokas yang
pembentukannya diduga berasal dari hasil samping reaksi konversi aseton, yakni reaksi multiple condensation terjadi
pada permukaan external ZSM-5.

Ucapan terima kasih


Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Toshinori Kojima, Seikei University ( Tokyo)
beserta seluruh staff dan anggota laboratorium, dan Prof. Toshio Tsutsui (Kagoshima University) dengan segala
kebaikan hatinya untuk bisa menggunakan sarana dan prasarana penelitian serta segala masukan & diskusi yang
sangat berharga.

Daftar Pustaka
1. Antal, M. J. Jr., S. G. Allen, X. Dai, B. Shimizu, M.S. Tam, and M. GrØnli, (2000), "Attainment of the
Theoretical Yield of Carbon from Biomass”, Ind. Eng. Chem. Res., 39, hal. 4024-4031
2. Badr, H.R., R. Toledo, M.K. Hamdy , (2001), “Continuous Acetone-Ethanol-Butanol Fermentation By
Immobilized Cells Of Clostridium Acetobutylicum”, Biomass And Bioenergy 20, hal.119-132
3. Chang, C. D.,Lang, W. H., dan Bell W.K., (1981), “Molecular Shape-Selective Catalysis in Zeolite, in Catalysis
of Organic Reactions”,edited by William R. Moser, Marcel Dekker Inc., hal. 73-94
4. Frigyes Solymosi and Aleksander Szechenyi, Aromatization of n-butane and 1-butene over supported Mo2C
catalyst, Journal of Catalysis 223 (2004) 221-231
5. Gibbs, D.F. (1983), " The rise and fall (... and rise ?) of acetone/butanol fermentations" ,Trends in Biotech-
nology, VoL I, No. 1, hal 12.
6. Jens Weitkamp, (2000), “Zeolites and Catalysis”, Solid State Ionics 131, hal. 175-188
7. Jürgen O. Metzger, Marco Eissen, (2004), “Concepts on the contribution of chemistry to a sustainable
development. Renewable raw materials”, C. R. Chimie, in press
8. Kojima, T., (1998), “The Carbon Dioxide Problem: integrated energy and environmental policies for the 21 st
century”, Gordon and Breach, Tokyo
9. Lena Ha_Ggstrom, (1985), “Acetone-Butanol Fermentation And Its Variants”, Biotech Advs Vol.3, hal. 13-28
10. Liu Fangfang, Li Liu, Xianshe Feng , (2004), "Separation of acetone–butanol–ethanol (ABE) from dilute
aqueous solutions by pervaporation " , Separation and Purification Technology, in press
11. Löffler, D., (2001), “Which Catalyst”, Chem. Eng. Prog., 98(12), hal. 47
12. Lucas, A., Canizares, P., Duran, A., (2001), ”Improving deactivation behaviour of HZSM-5 catalysts”,
App.Catal. A : General, 206, hal. 87-93
13. Lucas, A., Canizares, P., Duran, A., and Carrero, A., (1997), “Coke Formation, Location, nature and
regeneration on Dealuminated HZSM-5 type Zeolites”, Applied Catalysis A : General,156 , hal. 299-317
14. Marcilly, C., (2003), “Present status and future trends in Catalysis for refining and Petrochemicals”, Journal of
Catalysis 216, hal. 47–62
15. Natasha Padabed, Irina Tudorache, Jean-Pierre Moussally, Simona Negro and Tenley Dalstrom, (2002), “The
Role of Biomass in Carbon Flows Between Eastern and Western Europe: Potential and Perspectives”, Report
for CFEWE project of the International Human Dimension Programme Industrial Transformation IHDP-IT.
16. Richardson, James T., (1989), “Principles of Catalyst Development”, Plenum Press, New York (1989)
17. S.T. Sie, (2001), “Consequences of catalyst deactivation for process design and operation “, Applied Catalysis
A: General 212, hal.129–151
18. Seth Heminway, (1995), “Profile of the Petroleum Refining Industry”, EPA Office of Compliance Sector
Notebook Project, U.S.Environmental Protection Agency, Washington.
Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia VII 7
Perancangan Produk ISSN 1410-9891

19. Setiadi, (2005), “Uji Kinerja Katalis ZSM-5 dalam Konversi Aseton menjadi Hidrokarbon Aromatik”, Prosiding
Simposium dan Kongres Masyarakat Katalisis Indonesia, Gedung Widya Bhakti , Serpong
20. Setiadi, S., Tsutsui, T., Kojima, T., (2003),”Conversion of Acetone to Aromatic Compound with HZSM-5”, The
journal of Japan Institute of Energy, 82 (12), hal. 926-932
21. Stevens, Mark G., Denise Chen dan Henry C. F., (1999), “ Solid-base catalysts with highly dispersed active
sites”, Chemical Commun., hal. 275-276
22. Vacant R. Choudhary, Devadas Panjala, Subhabrata Banerjee, Aromatization of propene over H-
galloalumininosilicate (ZSM-5 type) zeolite, Applied Catalysis A General 231 (2002) 243-251
23. W.J.H. Dehertog, G.F. Fromen, A catalytic route for aromatics production from LPG, Applied Catalysis A
General 189 (1999) 53-75
24. Wei-Qiau Liu, Lin Zhao, Gui-Da Sun, En-Ze Min, Saturation of aromatics and aromatization of C3 and C4
hydrocarbons over metal loaded pillared clay catalysts, Catalysis Today 51 (1999) 135-140
25. Xu, Teng, Munson, Eric J., and Haw, James F.,(1994), ”Toward a Systematic Chemistry of Organic Reactions in
Zeolites: In Situ NMR Studies of Ketones”, J. Am. Chem. Soc., 116, hal. 1962-1972
26. Zaki, M.I., Hasan, M.A.,Al-Sagheer dan Pasupulety, (2000),’ Surface chemistry of acetone on metal oxides: IR
observation of acetone adsorption and consequent surface reaction on Silica-Alumina vs. Silica and Alumina”,
Langmuir 16, 430-436

------------------------oOo------------------------

Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia VII 8

Anda mungkin juga menyukai