Anda di halaman 1dari 12

Dinamika Pesantren

masa Reformasi
Pertemuan ke-7
Dari Akomodasi ke Oposisi
 Tahun 1997, bisa dikatakansebagai start
point bagi kalangan akademis dan civitas
dalam menunjukkan kekuatannya di mata
publik di masa orde baru, dengan desakan
reformasi-nya yang mahadahsyat telah
berhasil menumbangkan rezim tirani
Soeharto, melalui reformasi ini juga
sebenarnya komunitas kaum sarungan
(santri) turut bersemi menunjukkan potensi
dan eksistensinya di tengah masyarakat luas. 
 Peran pesantren pada awal kemerdekaan
sangat terasa khususnya dalam kancah
perpolitikan Indonesia. Namun kini peran
tersebut mulai susut dan cenderung habis.
FSI menilai ada beberapa faktor yang
menyebabkan susutnya peran élan pesantren
pada masa kini, yang kdapat dikategorikan ke
dalam faktor internal dan eksternal.
 Adapun faktor internal adalah sebagai berikut:
pertama: pemahaman yang keliru tentang
pesantren dan kurikulum yang diajarkan di
dalamnya. Di mana pesantren hanya
dikhususkan untuk mempelajari ilmu-ilmu
agama, dan mengeyampingkan ilmu-ilmu
sains, seperti matematika, biologi, geografi,
fisikia, ekonomi dan lain-lain. Mempelajari ilmu
–ilmu sains tersebut merupakan lahan sekolah
yang didirikan oleh pemerintah, sehingga
terjadi dikotomis ilmu agama dan ilmu sains
secara “suka rela”. Padahal para ulama secara
konseptual menentang pandangan sekuralistik
(memisahkan perkara dunia dengan agama).
 Kedua: Banyak pesantren yang menutup diri
(mengambil jarak) dari lingkungan sekitar
(masyarakatnya), dan hanya terfokus pada
pembinaan santri an sich. Pembinaan
masyarakat yang boleh jadi lebih banyak
terabaikan, bahkan ada pula pesantren yang
bermusuhan dengan masyarakatnya. Pesantren
yang pada awalnya berdiri untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat sekitarnya, beralih
menjadi masyarakat yang harus melayani
pesantren tersebut. Sedang keberadaan
pesantren di suatu lokasi masyarakat ibarat
dinding kerajaan yang sangat sulit ditembus
oleh masyarakat setempat, lebih-lebih mereka
akan mendapatkan pelayanan darinya.
 Ketiga: telah mulai banyaknya para kiayi atau
pesantren yang telah menceburkan diri ke
dalam politik praktis, sehingga alih-alih
pesantren akan dapat menjadi tempat
penenang masyarakat dari carut marutnya
politik di tanah air, malah keterlibatan
pesantren terhadap politik justru makin
mempersulit masyarakat untuk mendapatkan
pencerahan/penentram, akibat tidak netralnya
pesantren dalam arus politik yang berlangsung.
Dan hal ini pula yang menjadikan akses
pelayanan pesantren menjadi terbatas kepada
sekedar konstituens yang sehaluan dengan
pesantren tersebut.
 Keempat: telah mulai pudarnya pondasi
utama pesantren sebagai lembaga yang
mampu mencetak generasi yang sederhana.
Dengan mulai diterapkannya metode modern
yang “ekstrim”, ke dalam sistem pesantren, di
mana kemodernan ini lebih diartikan sebatas
fasilitas pesantren yang diwujudkan,
mengikis jiwa-jiwa santri menjadi tidak
mandiri, berbudaya instans, tidak tahan
banting dan materialistik.
 Kelima: Berubahnya pesantren dari lembaga
pendidikan agama yang khas, dan kurikulumnya
yang indefenden, menjadi sekedar lembaga
pendidikan yang bercirikan agama. Di mana
semua kurikulumnya seratus persen adalah
program pemerintah, sementara sisanya adalah
kreasi lokal pesantren tersebut. Upaya
menggabungkan seperti sistem kurikulum
seperti ini, mengakibatkan pesantren kehilangan
identitasnya. Mengingat akan banyaknya muatan
materi yang diajarkan kepada santri sementara
ketersediaan waktu dan energi sangat terbatas,
yang akhirnya hanya akan mencetak generasi
yang setengah-setengah dalam semua bidang.
 Keenam: Masih banyaknya pesantran yang
hanya memusatkan pembangunan fisiknya
dari sumbangan masyarakat, dan belum
mampu memberikan terobosan baru berupa
pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren.
Sehingga keberlangsungan pesantren sangat
bergantung kepada kucuran dana dari para
donatur.
Peran Politik Pesantren
 Terkait dengan peran politik pesantren, FSI menilai
politik harus dimaknai secara luas, paling tidak
terdapat tiga makna politik, pertama: politik
kebangsaan, kedua: politik kerakyatan, dan ketiga:
politik kekuasaan.
 Pesantren sudah dapat dianggap memerankan fungsi

politiknya ketika ia telah berhasil memberikan


pendidikan atau pengabdian sebatas politik
kerakyatan dan kebangsaan. Seperti;
memberdayakan ekonomi masyarakat, memberikan
pembinaan wawasan kebangsaan dan pembelaan
hak-hak kebangsaan masyarakat (umat), melakukan
diplomasi pendidikan, menjalin kerjasama dunia
pensatren secara internasional, dan lain-lain.
 Sedang peran politik kekuasaan, FSI menilai
pesantren tidak dituntut untuk memasuki
ranah politik yang satu ini. Mengingat
garapan pesantren secara misi awal dan
perjuangannya tidak diarahkan untuk meraih
kekuasaan. Bahkan sepatutnya pesantren
harus mampu mengambil jarak yang
proporsional terhadap politik praktis
(kekuasaan) ini.
 Maka FSI menyimpulkan, mulai menurunnya pamor
dan kharisma pesantren, di tengah besarnya harapan
masyarakat terhadap adanya pengawal moral
meraka, diakibatkan kurang difahaminya pembagian
politik yang disebut di atas. Bahwa politik hanya
difahami sebatas politik praktis (kekuasaan) yang
identik dengan upaya dukung-mendukung yang
akhirnya mnyeret pesantren tidak lagi menjadi abdi
masyarakat akan tetapi abdi “warna jaket” yang sama
dengannya. Maka di tengah pergolakan identitas ini,
sudah saatnya pesntren berbenah diri melakukan re-
orientasi sebagaimana misi awal pesantren itu
didirikan, namun tidak melupakan aspek
penyesuaian terhadap perkembangan yang ada
tanpa harus merubah identitas yang menjadi
kekhasan pesantren tersebut.

Anda mungkin juga menyukai