Anda di halaman 1dari 5

Kondisi Hutan Mangrove di wilayah Kerja BPDAS Palu Poso

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu Poso merupakan Unit
Pelaksana Teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Departemen Kehutanan. Wilayah kerja
BPDAS Palu Poso meliputi Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten di Provinsi
Sulawesi Tengah yang memiliki ekosistem hutan mangrove yaitu Kabupaten
Buol, Tolitoli, Donggala, Parigi Moutong, Poso, tojo Una-una, Morowali,
Banggai, dan Banggai Kepulauan.

A. Karakter Biofisik Lahan Mangrove

Habitat atau tempat tumbuh mangrove di Provinsi Sulawesi Tengah


umumnya dapat dijumpai pada relief bergelombang, cekungan muara
sungai, dataran aluvial dan sebagainya. Dari hasil survei lapangan
diketahui bahwa mangrove dominan tumbuh dan menyebar pada relief
dataran aluvial tergenang, dan cekungan muara sungai.
Dari hasil analisis citra Landsat 7 ETM Band 542 diketahui tempat tumbuh
mangrove terdapat pada kelas geomorfologi lahan marine (M) yaitu kelas
M2 (Beting pantai gisik/bura), M9 (Rataan pasang surut), dan M13
(Dataran aluvial pantai tergenang).
Dari hasil analisis peta Land System diketahui bahwa ekosistem mangrove
Provinsi Sulawesi Tengah masih dominan tumbuh pada tanah-tanah peka
erosi (lempung berpasir) dengan sistem lahan KJP/Kajapah (dataran
lumpur antar pasang surut dibawah halofit), disusul sistem lahan
PTG/Puting (beting pantai dan cekungan antar benting pantai), dan
KHY/Kahayan (dataran gabungan endapan muara dan endapan sungai).
Disamping sistem lahan tersebut, mangrove di wilayah Sulawesi Tengah
dijumpai pula tumbuh pada sistem lahan yang tidak lazim ditumbuhi
mangrove yaitu sistem lahan PLU/Palu (Kipas aluvial non-vulkanik yang
melereng landai pada daerah kering), dan LBS/Lubuk sikaping (kipas
aluvial non-vulkanik yang melereng landai) dengan hamparan yang tidak
luas.
Sistem lahan PLU terdapat di wilayah Tinombo sampai Sipayo, sedangkan
LBS terdapat di wilayah Banawa (Kabonga Kecil-Kabonga Besar). Untuk
sistem lahan KHY umumnya dijumpai pada muara-muara sungai besar
seperti muara S. Buol dengan hamparan yang cukup luas dan dominan
ditumbuhi Nipah. Untuk sistem lahan KJP dijumpai hampir pada seluruh
ekosistem mangrove dengan hamparan yang cukup luas yang umumnya
ditumbuhi jenis dari famili Rhizophoraceae, sedang sistem lahan PTG
umumnya ditumbuhi jenis dari famili Sonneratiaceae dan Avicenniaceae.
Dari hasil analisis peta rupa bumi skala 1:50.000 dan peta land system
dapat diketahui tempat tumbuh mangrove yakni umumnya berada pada
kelas kemiringan lereng datar (<2%) dengan ketinggian tempat 0-10 m
dpl.
B. Tanah dan Geologi

Keadaan geologi wilayah pantai bervegetasi mangrove di wilayah


Sulawesi Tengah umumnya terdiri atas endapan pantai dan aluvial baru
yang berasal dari sedimen yang lebih tua.
Dari hasil penelitian Minarni (2005) di wilayah hutan mangrove
Pangalaseang Kabupaten Donggala menunjukkan bahwa ternyata setiap
jenis mangrove memiliki tekstur tanah yang berbeda. Untuk jenis
Sonneratia alba dan Avicennia eucaliptipolia tumbuh baik pada kondisi
tekstur (pasir 45,35%; liat 4,87%; debu 49,78%), dengan pH tanah
berkisar 5,65 – 6,3. Untuk jenis Rhizophora stylosa tumbuh baik pada
kondisi tekstur (pasir 21%; liat 74%; debu 62,11%), dengan pH tanah
berkisar 5,52 – 6,25. Untuk jenis Rhizophora mucronata tumbuh baik
pada kondisi tekstur kondisi tekstur (pasir 35,42%; liat 2,73%; debu
61,85%), dengan pH tanah berkisar 5,43 – 6,21. Selanjutnya dari hasil
penelitian Eti Fitriaty Butudoka (2006) di wilayah hutan mangrove Desa
Siney Kabupaten Parigi Moutong menunjukkan bahwa jenis Bruguiera
tumbuh baik pada kondisi tanah bertekstur pasir 59,3%, liat 6,1% dan
debu 34,6% dengan pH tanah 5,5 – 4,5 dan salinitas 7,43%. Sedangkan
jenis Sonneratia tumbuh baik pada kondisi tekstur tanah pasir 71,7%, liat
4,1% dan debu 24,2% dengan pH tanah 5,8 – 5,6 dan salinitas 10,54%.

C. Hidrologi/Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk
dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut.
DAS dalam fungsinya adalah untuk menampung air yang berasal dari air
hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanan dan
pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam
sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut, daerah sekitar sungai,
meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan tempat sumber
air dan semua curahan air hujan yang mengalir ke sungai, sampai daerah
daratan dan muara sungai.
Di Sulawesi Tengah terdapat beberapa DAS utama yang memiliki pantai
berhutan mangrove yang tersebar di wilayah kabupaten/kota sbb.:
a. DAS Buol-Lambunu: DAS ini memiliki sungai-sungai utama seperti S.
Palasa, S. Taipa, S. Maraja, S. Taudalangi, S. Lambunu. DAS ini
mencakup wilayah Kabupaten Parigi Moutong, sebahagian wilayah
Kabupaten Buol dan Tolitoli.
b. DAS Bongka-Malik: DAS ini memiliki sungai-sungai utama seperti
S.Bunta, S. Malik, S. Bualemo, S. Balingara dan S. Bongka. DAS ini
mencakup wilayah Kabupaten Banggai dan Kabupaten Tojo Una-una.
c. DAS Laa Tambalako: DAS ini memiliki sungai-sungai utama seperti S.
Solato, S. Morowali, S. Bahumbela, S. Bahudopi, S. Sumara, dan S.
Tambalako. DAS ini mencakup wilayah Kabupaten Morowali, dan
sebahagian wilayah Kabupaten Banggai.
d. DAS Palu Lariang: DAS ini memiliki sungai –sungai utama seperti
S.Woku, S. Pasangkayu, S. Menanga, S. Surumana, S. Lariang, dan
S. Palu. DAS ini mencakup wilayah Kota Palu, sebahagian Kabupaten
Poso, dan sebahagian Kabupaten Donggala.
e. DAS Dolago Torue: DAS ini memiliki sungai-sungai utama seperti S.
Poso, S. Puna, S. Tambarana, S. Sausu, dan S. Parigi. DAS ini
mencakup sebahagian wilayah Kabupaten Parigi Moutong dan
sebahagian Kabupaten Poso.
f. DAS Lombok Mentawa: DAS ini memiliki sungai-sungai utama seperti
S. Balantak, S. Batui, S. Lombok, dan S. Mentawa. DAS ini mencakup
wilayah Kabupaten Banggai.

D. Unit Lahan Ekosistem Mangrove

Dari hasil analisis data citra landsat 7 ETM band 542, peta rupa bumi
skala 1:50.000 dan peta land system skala 1:250.000 diperoleh sebanyak
sembilan jenis unit lahan. Untuk wilayah pantai Provinsi Sulawesi Tengah
hanya dijumpai tiga jenis geomorfologi pantai yaitu Marine Beting Pantai
Gisik/Bura (M2), Marine Rataan Pasang Surut (M9), dan Marine Dataran
Aluvial Pantai Tergenang (M13). Selanjutnya tipe penggunaan lahan
(liputan lahan) yang ada sbb.; (a) hutan (kawasan berhutan), (b) tambak
tumpangsari, perkebunan, dan mangrove pematang tambak, (c)
pemukiman, industri, tambak non-tumpangsari, sawah dan tanah
kosong. Sedangkan kelas lereng lapangan yang ditumbuhi mangrove
umumnya berkelas lereng datar dengan kemiringan <2%.

E. Tipe Penutupan dan Penggunaan Lahan

Tipe penutupan dan penggunaan lahan mangrove yang tersebar di


seluruh wilayah kecamatan dalam kabupaten Provinsi Sulawesi Tengah
terdiri atas; kawasan berhutan atau hutan mangrove murni, tanah
kosong atau areal tidak bervegetasi, tambak, pemukiman dan fasilitas
umum (jalan raya, terminal, pelabuhan dsb.). Dari hasil analisis diketahui
pula adanya tipe penggunaan lahan tambak tumpangsari. Lahan tambak
tumpangsari yang dimaksudkan adalah lahan tambak yang ditumbuhi
mangrove pada pematangnya dan tertata cukup baik.
Dari areal lahan mangrove seluas ± 29.621,46 ha, diketahui bahwa
kawasan lahan mangrove yang masih berhutan seluas ± 15.972,07 ha
(53,92%) dan lahan mangrove non-hutan seluas ± 13.649,49 ha
(46,08%). Kawasan non-hutan diantaranya berupa lahan tambak, tanah
kosong atau areal tidak bervegetasi, pemukiman, dan fasilitas umum.

F. Potensi Tegakan, Kerapatan Tajuk dan Fauna

Sesuai pendapat Kusmana (2002) yang mengelompokkan jenis


mangrove di Indonesia kedalam tiga kelompok yaitu kelompok jenis flora
mangrove mayor, flora mangrove minor dan asosiasinya, maka dalam
pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi jenis flora mangrove di wilayah
Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2006 dibatasi pada dua kelompok jenis
yaitu kelompok jenis flora mayor (flora mangrove sebenarnya atau
mangrove sejati) dan mangrove minor (mangrove ikutan).
Dari hasil survei lapangan tahun 2006 diketahui bahwa jenis flora
mangrove sejati yang terdapat di wilayah Sulawesi Tengah adalah jenis
Api-api (Avicennia spp.), Bakau (Rhizophora spp.), Tancang (Bruguiera
spp.), Prapat (Sonneratia spp.), Tengar (Ceriops spp.), Nyirih (Xylocarpus
spp.), Lumnitzera spp. dan Nipah (Nypa fructicans). Jenis flora mangrove
ini menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan
membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur
komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus
(bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan
mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengrontrol garam. Selanjutnya
jenis flora mangrove ikutan meliputi jenis Excoecaria spp., Kandelia spp.,
Herriteria spp., Aegiceras sp., Aegialitis sp., Aerostichum sp.,
Comptostemon sp., Scyphiphora sp., Pemphis sp., Pandanus sp., dan
lain-lain. Flora mangrove ikutan ini tidak mampu membentuk tegakan
murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam
struktur komunitas.
Berdasarkan hasil pengamatan pada sebanyak 15 lokasi sampel, untuk
pengamatan jenis dan potensi mangrove menggunakan metode line plot
sampling IS 1% yang dipadukan dengan pengamatan secara spot (spot
chek) pada beberapa lokasi di wilayah Sulawesi Tengah diperoleh hasil
bahwa wilayah mangrove Provinsi Sulawesi Tengah masih didominasi
oleh jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba,
Sonneratia caseolaris, Avicennia alba, Avicennia officinalis, Bruguiera
gymnorhiza, Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, dan Xylocarpus
moluccensis.
Kerapatan tajuk mangrove diketahui melalui analisis nilai NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index). Kerapatan tajuk ini
dikelasifikasi kedalam kelas tajuk lebat, tajuk sedang, dan tajuk jarang.
Dari hasil analisis citra Landsat 7 ETM band 3 dan band 4 yaitu saluran
merah dan saluran inframerah menggunakan perangkat lunak pengolah
data citra (Integrated Land Watershed Information System/ILWIS Versi
3.2) diketahui bahwa kerapatan tajuk mangrove di wilayah Sulawesi
Tengah berada pada kerapatan tajuk sedang (nilai NDVI 0,33 - 0,42 atau
kerapatan 50-69%), dan kerapatan tajuk jarang (nilai NDVI < 0,33 atau
kerapatan <50%).
Selanjutnya jenis fauna mangrove yang dijumpai dan dari hasil
wawancara mansyarakat diantaranya adalah Burung alo, Burung maleo
dan burung air lainnya dari kelompok Aves; Ular dan Biawak dari
kelompok reptilia; serta Kelelawar, berbagai jenis ikan dan biota air
lainnya.

G. Lebar Jalur Hijau Mangrove


Keadaan lebar jalur hijau mangrove berada pada lebar jalur dari <80 m
sampai dengan 200 m atau <40% sampai dengan <100%. Lebar jalur
160 – 200 m umumnya dijumpai pada kawasan mangrove yang belum
terganggu vegetasinya seperti di kawasan pantai wilayah Kecamatan
Bungku Utara (Tg. Omeamatubu/CA. Morowali dan sekitarnya), di
wilayah Kecamatan Soyo Jaya (Tameanusi – Tondoyondo), beberapa
wilayah pantai di Kabupaten Banggai Kepulauan. Umumnya kawasan
mangrove di wilayah Sulawesi Tengah yang masih baik kondisi jalur
hijaunya adalah kawasan yang belum tersentuh pembangunan tambak,
pengembangan wilayah pemukiman dan perkotaan. Selanjutnya
kawasan pantai yang memiliki lebar jalur hijau mangrove <80 m atau
<40% adalah daerah pantai yang aktivitas pembangunan tambak,
pemukiman dan pengembangan wilayah cukup tinggi.
Terlepas dari aktivitas pembangunan seperti dijelaskan di atas, di wilayah
Sulawesi Tengah terdapat beberapa kawasan pantai dengan dataran
aluvial sempit. Kawasan seperti ini umumnya hanya ditumbuhi mangrove
secara alami dengan lebar <80 m. Kawasan pantai seperti ini dapat
dijumpai di wilayah Kecamatan petasia, Bumi Raya-Witaponda sampai
Bungku Tengah Kabupaten Morowali. Di wilayah Kabupaten Tolitoli dapat
dijumpai di sepanjang wilayah pantai Kecamatan Dakopamean, Dondo,
Dampal Utara sampai Dampal Selatan. Di wilayah Kabupaten Buol dapat
dijumpai di wilayah Kecamatan Biau. Di wilayah Kabupaten Banggai
dapat dijumpai di wilayah Kecamatan Nuhon, Bunta, Masama dan
Balantak.

H. Ketahanan Tanah Terhadap Abrasi dan Tingkat Abrasi


Tingkat abrasi yang terjadi di kawasan pantai berhutan mangrove selama
ini umumnya masih dapat ditolerir karena berada dibawah 3 m/tahun,
kecuali di kawasan pantai Tg. Dongkala (Desa Umpanga dan sekitarnya)
Kecamatan Bumi Raya Kabupaten Morowali. Proses abrasi di wilayah ini
dalam lima tahun terakhir tergolong cepat karena dari hasil survei
lapangan diketahui bahwa telah terjadi abrasi selebar ± 1 km ke arah
darat. Cepatnya proses abrasi di wilayah ini antara lain disebabkan oleh
kondisi tanah yang peka erosi (dominan bertekstur pasir) serta daya
gempur ombak yang besar.
I. Kegiatan Pemanfaatan Lahan Ekosistem Mangrove
Kegiatan pemanfaatan lahan ekosistem mangrove di wilayah Provinsi
Sulawesi Tengah terdiri atas lima jenis pemanfaatan yaitu: (a)
Pemanfaatan untuk mangrove seluas 29.621,56 ha, (b) pemanfaatan
untuk tambak seluas 14.687,30 ha, (c) Pemanfaatan untuk pemukiman
seluas 790 ha, (d) Pemanfaatan untuk sawah seluas 79,45 ha, dan (e)
Pemanfaatan untuk lain-lain seluas 77 ha. Pemanfaatan lahan mangrove
untuk tujuan lain meliputi; pemanfaatan untuk sarana jalan raya, sarana
olah raga, terminal, pasar, pelabuhan, dan sebagainya.

J. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat


Kondisi ekosistem mangrove di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah saat ini
cukup memperihatinkan keberadaannya. Hal ini antara lain disebabkan
oleh masih kurangnya perhatian masyarakat untuk melestarikannya,
yang diakibatkan oleh terbatasnya pengetahuan mereka akan pentingnya
keberadaan ekosistem mangrove.
Dari sebanyak 161 orang responden untuk wilayah Provinsi Sulawesi
Tengah terdapat sebanyak 13,66% responden memberikan persepsi
bahwa mangrove adalah penghasil kayu bakar dan bahan bangunan,
sebanyak 0,62% berpendapat bahwa mangrove adalah sumber bahan
obat-obatan, sebanyak 29,19% berpendapat bahwa mangrove untuk
perlindungan pantai dari abrasi dan tsunami, serta sebanyak 5,59%
berpendapat bahwa mangrove adalah tempat perkembangbiakan satwa
dan biota air. Namun demikian terdapat sebanyak 50,93% responden
belum memahami arti penting dari mangrove.
Selanjutnya dilihat dari tingkat partisipasi mereka, sebanyak 43,48%
responden bersedia menjaga dan memelihara mangrove di wilayahnya,
dan sebanyak 56,52% responden tidak tahu dan tidak memberikan
jawaban untuk ikut berpatisipasi dalam menjaga dan memelihara
mangrove.
Dari kenyataan di atas, jelas bahwa pengelolaan mangrove di wilayah
Provinsi Sulawesi Tengah, selain pembinaan fisik berupa rehabilitasi
mangrove, juga tidak kalah pentingnya memperhatikan pembinaan sosial
ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar wilayah mangrove. Hal ini
perlu diprioritaskan karena masih besarnya jumlah masyarakat pesisir
yang belum memahami arti penting mangrove serta masih besarnya
jumlah masyarakat yang belum bersedia berpartisipasi dalam pelestarian
ekosistem mangrove.

Anda mungkin juga menyukai