Anda di halaman 1dari 22

nurbaiti ekasari

Komunitas Blogger Universitas Sriwijaya


Home About Me

Landasan Pengembangan Kurikulum


Kategori: Pengembangan Kurikulum Diposting oleh nurbaitiekasari pada Minggu, 29 Mei 2011 [379 Dibaca] [0 Komentar] LANDASAN FILOSOFIS, PSIKOLOGIS, DAN SOSIAL BUDAYA DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM A. Pendahuluan a. Latar Belakang Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia. Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi. Landasan yang paling utama dalam pengembangan kurikulum ini adalah landasan filosofis. Filsafat sangat penting, khususnya dalam pengambilan keputusan pada setiap aspek kurikulum, dimana setiap keputusan harus ada dasarnya (landasan filosofisnya). Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi. Filsafat yang kabur akan menimbulkan kurikulum yang tidak tentu arah. Kurikulum sebagai rancangan dari pendidikan, mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pendidikan karena kurikulum menentukan proses pelaksanaan dan hasil daripada pendidikan. Mengingat begitu pentingnya peranan kurikulum dalam pendidikan dan perkembangan kehidupan manusia, maka pengembangan kurikulum tidak dapat dirancang sembarangan. Kurikulum sebagai suatu program dan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, mempunyai hubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Dalam hal ini

kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku peserta didik (peserta didik) ke arah yang diharapkan oleh pendidikan. Oleh sebab itu, proses pengembangan kurikulum perlu memperhatikan asumsi-asumsi yang bersumber dalam bidang kajian psikologi. Pengembangan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Salah satu landasan yang berkaitan dengan peranan anak dalam pengembangan kurikulum adalah landasan psikologis. Landasan psikologis pengembangan kurikulum menuntut kurikulum untuk

memperhatikan dan mempertimbangkan aspek peserta didik dalam pelaksanaan kurikulum sehingga nantinya pada saat pelaksanaan kurikulum apa yang menjadi tujuan kurikulum akan tercapai secara optimal. Sehingga unsur psikologis dalam pengembangan kurikulum mutlak perlu diperhatikan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis tertarik memaparkan landasan psikologis dalam pengembangan suatu kurikulum. Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur sosial dan budaya karena sebagian besar kegiatan manusia dilakukan secara berkelompok. Sejalan dengan lahirnya pemikiran tentang pendidikan kemasyarakatan, maka pada abad ke-20 sosiologi memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Aliran liberalisme dan positivisme yang membuat manusia tidak pernah merasa hidup damai menyebabkan munculnya aliran kemasyarakatan dalam pendidikan. Aliran ini berusaha membuat manusia bisa merasa tenang melalui pendidikan. Ini berarti proses pendidikan harus diubah. Pendidikan yang diinginkan oleh aliran kemasyarakatan tersebut adalah proses pendidikan yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut pendidikan butuh bantuan ilmu sosiologi. Begitu pula dengan kebudayaan yang berisi norma-norma, kebiasaan, adat dan tradisi (Hasan, 1983) mempunyai pengaruh dalam dunia pendidikan bahkan pengaruh timbal balik. Bila kebudayaan berubah maka pendidikan juga berubah dan bila pendidikan berubah maka akan dapat mengubah kebudayaan. Disini tampak bahwa peranan pendidikan dalam mengembangkan kebudayaan sangat besar karena pendidikan adalah tempat manusia dibina, ditumbuhkan dan dikembangkan potensinya. b. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang muncul adalah: Apakah yang dimaksud dengan landasan filosofis, psikologis, dan sosial budaya?

Aliran filsafat apa saja yang memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum pendidikan?

Cabang psikologis apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum dan bagaimana implikasinya pada proses pengembangan kurikulum?

Bagaimana merancang kurikulum yang berbasis nilai-nilai sosial budaya yang terpuji? c. Tujuan Mengerti tentang landasan filosofis, psikologis, dan sosial budaya. Mengerti tentang aliran filsafat apa saja yang memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum pendidikan. Mengerti cabang psikologis apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum dan bagaimana implikasinya pada proses pengembangan kurikulum

Mengerti bagaimana cara merancang kurikulum yang berbasis nilai-nilai sosial budaya yang terpuji. B. Pembahasan a. Pengertian Tentang Landasan-landasan Pengembangan Kurikulum a.1. Pengertian Landasan Filosofis Landasan bisa bermakna dasar, asas, basis atau pijakan. Sedangkan filosofis/ filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu berasal dari kata Philos dan Shopia. Philos berarti cinta yang mendalam, shopia berarti kearifan atau kebijakan. Jadi filsafat secara harfiah berarti cinta yang sangat mendalam terhadap kearifan atau kebijakan (Sadulloh, 2010). Filsafat dapat diartikan sebagai pegangan atau pandangan hidup. Filsafat juga berarti sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam yang biasa diterima secara kritis. Atau suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang kita junjung tinggi, usaha untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan, analisa logis dari bahasan, serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Ada pula yang berpendapat bahwa filsafat merupakan sekumpulan problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia, dan dicari jawabannya, suatu cara hidup yang konkret, suatu pandangan hidup yang total tentang manusia dan alam, atau merupakan perenungan terhadap hakikat sesuatu secara universal, radikal, dan spekulatif dengan menggunakan kemampuan optimal akal manusia. Telaah filsafat tentang hakikat ilmu terdiri dari (1) Apa yang dikaji ( ontologi ) yaitu hakikat ilmu yang obyektif dan bebas nilai : Obyek apa yang ditelaah ilmu,

bagaimana wujud hakiki obyek itu, dan bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan daya tangkap manusia (pikir, rasa, indera ) yang menghasilkan ilmu itu. (2) Bagaimana cara mendapatkannya (epistemology) yaitu Bagaimana proses yang memungkinkan diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimana prosedurnya, hal-hal apa yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara, tehnik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu. (3) Untuk apa ilmu itu digunakan ( aksiologi ) yaitu nilai guna, sarat-sarat nilai/ alat untuk diamalkan bagi kebaikan. Untuk apa ilmu itu digunakan, bagaimana keterkaitannya dengan moral, bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pertimbangan moral, bagaimana hubungan antara tehnik prosedural atau profesionalisasi metode ilmiah dengan norma moral atau professional. Dapat disimpulkan bahwa landasan filsafat merupakan dasar atau pijakan dalam melihat segala sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya dengan fakta sebagaimana adanya sehingga bisa menjadi bahan masukan bagi manusia untuk membantu memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan. a.2. Pengertian Landasan Psikologis Psikologi berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata psychology yang berakar dari dua kata dari bahasa Yunani: psyche (jiwa) dan logos (ilmu). Psikologi berbeda dengan ilmu jiwa. Pada awalnya, psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala jiwa. Namun setelah mengalami perkembangan maka psikologi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia. Psikologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan (Sukarman, 2007: 20). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:901) dalam http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/09/landasan-pengembangan-kurikulum. html. Psikologi merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Dengan menerapkan landasan psikologi dalam proses pengembangan kurikulum diharapkan dapat diupayakan pendidikan yang dilaksanakan relevan dengan hakikat peserta didik, baik penyesuaian dari segi materi/bahan yang harus diberikan/dipelajari peserta didik, maupun dari segi penyampaian dan proses belajar serta penyesuaian dari unsurunsur upaya pendidikan lainnya.

Menurut Sukmadinata

(2006:

50)

kondisi

psikologis

adalah

kondisi

karakteristik psikofisik manusia sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksinya dengan lingkungan. Perilaku-perilaku tersebut merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang nampak maupun yang tidak nampak; baik perilaku kognitif, afektif maupun psikomotor. Interaksi yang tercipta didalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis dari anak didik dan pendidik. Interaksi pendidikan di rumah berbeda dengan di sekolah. Interaksi antara anak dengan guru pada tingkat sekolah dasar berbeda dengan pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas. a.3. Pengertian Landasan Sosial Budaya Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis? Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun non formal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan. Jika dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah proses mempersiapkan individu agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi, dan berdasarkan pandangan antrofologi, pendidikan adalah enkulturasi atau pembudayaan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang lain dan asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997:58). Untuk menjadikan peserta didik agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan maka pendidikan memiliki peranan penting, karena itu kurikulum harus mampu memfasilitasi peserta didik agar mereka mampu bekerja sama, berinteraksi, menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat dan mampu meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai mahluk yang berbudaya. Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia.

b. Hubungan antara Filsafat dengan Filsafat Pendidikan

Menurut Donald Butler (1957), filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sedangkan praktek pendidikan memberikan bahan bagi pertimbangan filsafat. Sedangkan Brubacher (1950) mengemukakan bahwa ada 4 pandangan tentang hubungan ini : (1) Filsafat merupakan dasar utama dalam filsafat pendidikan, (2) Filsafat merupakan bunga, bukan akar pendidikan, (3) Filsafat pendidikan berdiri sendiri sebagai disiplin yang mungkin memberi keuntungan dari kontak dengan filsafat, tetapi kontak tersebut tidak penting, (4) Filsafat dan teori pendidikan menjadi satu. Bahkan menurut John Dewey, filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama, seperti pendidikan sama dengan kehidupan. Artinya pandangan filosofis menekankan pada proses berpikir, dimana proses berpikir bersifat tentatif yaitu pengalaman yang merupakan dasar yang mencakup segala aspek kegiatan individu dan merupakan sumber dari nilai. Filsafat berarti upaya untuk menggambarkan atau menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia di dalamnya. Merupakan jawaban esensial/mendasar (jawaban filosofis) atas pertanyaan apa yang menjadi tujuan pendidikan? Siapa pendidik dan terdidik? Apa isi pendidikan? Bagaimana proses interaksi pendidikan?

Aliran-aliran Filsafat dalam pengembangan kurikulum Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti: perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliranaliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum. b.1. Perenialisme Aliran ini lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat

pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu. Perenialisme bukan merupakan aliran baru dalam filsafat, konsep perenialisme dilatarbelakangi oleh filsafatfilsafat: Plato sebagai Bapak idealisme klasik, Aristoteles sebagai Bapak realism klasik, dan Thomas Aquina yang memadukan filsafat Aristoteles dengan ajaran gereja katolik yang tumbuh pada zamannya. Menurut pemikir perenialis, tujuan dari pendidikan adalah memastikan siswa memperoleh pengetahuan tentang prinsisp-prinsip atau gagasan besar yang tidak berubah. Mereka percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia tidak akan berubah selama berabad-abad, gagasan besar memiliki potensi besar untuk memecahkan permasalahan di setiap zamannya. Lebih jauh mereka menekankan kemampuan berpikir rasional manusia. Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk menjadi terpelajar dan kultural, para siswa harus berhadapan dengan bidang-bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan manusia. Beberapa prinsip pendidikan perenialisme secara umum: Hakikat manusia adalah sama, tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup yaitu mencapai kebijakan dan kebajikan. Pendidikan dalam hal ini pengembangan kurikulum yang dirancang harus sama bagi semua orang. Begitupula dengan tujuan pendidikan harus sama yaitu untuk memperbaiki manusia sebagai manusia. Manusia harus menggunakan sifat bawaannya sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas namun mereka harus memperhalus pikiran dan mengontrol seleranya. Kurikulum yang dirancang seyogyanya melakukan pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswanya. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti. Kurikulum diorganisasi dan ditentukan terlebih dahulu oleh orang dewasa dan ditujukan untuk melatih aktifitas akal untuk mengembangkan akal. Siswa tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tampak penting suatu saat saja, dan tidak pula memberi pelajaran yang menarik pada saat tertentu saja. Yang dipentingkan dalam kurikulum ini adalah general education. Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup, melainkan persiapan untuk hidup. Sekolah tidak pernah menjadi situasi nyata tetapi merupakan peraturan-peraturan semu. Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam literature yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, sosial, politik, dan ekonomi. Karena dari literature tersebut manusia sepanjang sejarah telah melahirkan hasil karya yang maha besar.

b.2. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu. Gerakan essensialisme muncul pada awal tahun 1930 dengan pelopornya: William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isaac L. Kandell. Bagley dan rekan-rekannya memiliki kesamaan pemikiran yaitu sangat kritis terhadap praktek pendidikan progresif yang telah merusak standar intelektual dan moral diantara kaum muda. Essensialisme menyajikan hasil karya mereka untuk: penyajian kembali materi kurikulum secara tegas, membedakan program-program di sekolah secara esensial, mengangkat kembali wibawa guru dalam kelas yang telah hilang oleh progresivisme. Seperti halnya perenialisme, essensisialisme membantu untuk mengembalikan subject matter ke dalam pusat proses pendidikan, namun tidak mendukung bahwa subject matter yang benar adalah realitas abadi. Konsep pendidikan, menekankan sekolahsekolah melatih/mendidik siswa untuk berkomunikasi dengan jelas dan logis. Keterampilan-keterampilan dalam kurikulum haruslah berupa menulis, membaca, berhitung, berbicara dan memiliki tanggung jawab. Guru tidak memandang siswa sebagai orang jahat dan tidak pula sebagai orang yang baik. Anak-anak tidak tidak akan menjadi anggota masyarakat yang berguna bila tidak diajarkan disiplin, kerja keras, dan rasa hormat. Peran guru membentuk para siswa menangani insting alamiah dan nonproduktif mereka (seperti agresi, kepuasan indera tanpa nalar, dll.), memberi pengajaran logis. Kritik terhadap essensialisme mendakwa bahwa oerintasi yang terikat pada tradisi pendidikan akan mengindoktrinasi siswa dan mengesampingkan kemungkinan perubahan. Tujuan pendidikannya adalah meneruskan warisan budaya dan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan bertahan dalam kurun waktu yang lama dan teruji dalam kehidupan semua orang. Pengetahuan tersebut berupa skill, sikap dan nilai-nilai yang memadai akan mewujudkan elemen pendidikan yang essensial. Selain itu tujuaan pendidikan essensialisme adalah mempersiapkan manusia untuk hidup. Prinsip-prinsip pendidikannya: pendidikan harus dilakukan melalui usaha keras, inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru bukan pada siswa.

Guru disiapkan untuk melaksanakan tugas di atas sehingga guru lebih berhak untuk membimbing pertumbuhan siswa-siswanya.

Inti proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan. Sekolah harus memperyahankan metode-metode tradisional yang berkaitan dengan disiplin mental.

Tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum yang merupakan tuntutan demokrasi nyata.

Persamaan perenialisme dengan essensialisme: Memiliki tujuan umum dan akhir pendidikan Kurikulum ditentukan oleh orang dewasa Mengakui adanya disiplin yang keras dari orang dewasa dalam membawa anak didik untuk mencapai tujuan akhir Perbedaan perenialisme dengan essensialisme: Essensialisme kurang menunjukkan pendidikan intelektual sedangkan perenialisme memandang pendidikan intelektual merupakan inti dari proses pendidikan Essensialisme banyak menyerap sumbangan positif dari pragmatism yang menghasilkan metode-metode pendidikan sedangkan perenialisme menolaknya Perenialisme mencari hasil karya yang besar dari masa lampau sedangkan essensialisme menggunakan karya besar sebagai sumber pengetahuan yang berhubungan dengan masalah-masalah dewasa ini.

b.3. Eksistensialisme Menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan: bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu? Sekolah yang berdasarkan eksistensialisme mendidik anak agar mereka menentukan pilihan dan keputusan mereka sendiri dengan menolak otoritas orang lain dan bertanggung jawab atas keputusannya. Anak harus mencari identitas dirinya sendiri,

menentukan standarnya sendiri dan kurikulumnya sendiri. Mereka tidak dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional. Dari semua pelajaran, ilmu sosial yang paling menarik. Pendidikan moral tidak diajarkan, juga tidak ditentukan aturan-aturan yang harus dipatuhi. Bimbingan yang diberikan srring bersifat non directive, dimana guru banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan apa yang harus dilakukan anak.

b.4. Progresivisme Menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.

b.5. Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.

Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional. Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.

c.

Cabang-cabang Psikologis yang Perlu Diperhatikan dalam Pengembangan Kurikulum dan Implikasinya pada Proses Pengembangan Kurikulum Karakteristik perilaku tiap individu pada tiap tingkat perkembangan merupakan kajian yang terdapat dalam cabang psikologi perkembangan. Oleh sebab itu, dalam pengembangan kurikulum yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses pengembangan kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru sebagai pendidik harus mengupayakan cara/metode yang lebih baik untuk melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi belajar. Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Peserta didik merupakan individu yang sedang berada dalam proses perkembangan (fisik, intelektual, sosial emosional, moral, dan sebagainya). Tugas utama seorang guru sebagai pendidik adalah membantu untuk mengoptimalkan perkembangan peserta didiknya berdasarkan tugastugas perkembangannya. Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam hal penentuan isi kurikulum yang diberikan/dipelajari peserta didik, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan kelayakannya serta manfaatnya yang disesuaikan dengan tahap dan tugas perkembangan peserta didik. Psikologi belajar memberikan sumbangan terhadap pengembangan kurikulum terutama berkenaan dengan bagaimana kurikulum itu diberikan kepada peserta didik dan bagaimana peserta didik harus mempelajarinya, berarti berkenaan dengan strategi pelaksanaan kurikulum. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang psikologi perkembangan dan psikologi belajar. c.1. Psikologi Perkembangan dan Kurikulum Anak sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikan-keunikan yang berbeda satu sama lainnya, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan dan gerakan-gerakan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang

berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Di dalam psikologi perkembangan terdapat banyak pandangan ahli berkenaan dengan perkembangan individu pada tiaptiap fase perkembangan. Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan di samping persamaannya. Implikasi terhadap pengembangan kurikulum menurut Susilana dkk. (2006 : 22) yaitu: a. Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhannya. b. Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (Program inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan pula pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak. c. Kurikulum di samping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak yang berbakat dibidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan selanjutnya. d. Kurikulum memuat tujuantujuan yang mengandung pengetahuan, nilai atau sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan bathin. Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak terhadap pelaksanaan pembelajaran (actual curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut: a. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat pada perubahan tingkah laku peserta didik. b. Bahan atau materi yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima oleh anak. c. Strategi belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan taraf perkembangan anak. d. Media yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak. e. Sistem menerus. evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan

berkesinambungan dari satu tahap ke tahap yang lainnya dan dijalankan secara terus

c.2. Psikologi Belajar dan Kurikulum Psikologi belajar merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana individu belajar. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia belajar berasal dari kata ajar yang berarti suatu petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui/diturut. Segala perubahan perilaku yang terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Perubahan yang terjadi secara insting/terjadi karena secara kebetulan bukan termasuk belajar. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi tiga kelas, antara lain: Teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory) Menurut teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masingmasing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya. Potensipotensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara optimal, daya berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran berhitung misalnya, daya mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu. Daya yang telah terlatih dipindahkan ke dalam pembentukan lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian pembelajaran dalam konteks ini melatih anak didik dalam daya-daya itu, cara pembelajaran pada umumnya melalui hafalan dan latihan-latihan. Behaviorisme Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat tiga rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme/asosiasi, teori kondisioning, dan teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme muncul dari adanya pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat. Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat dilihat dan diamati.

Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hukum S R (stimulus respon) atau aksi-reaksi. Menurut teori ini, pada dasarnya belajar merupakan hubungan responstimulus. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga teori belajar yaitu: a) Hukum Kesiapan (law of readiness): hubungan antara stimulus dengan respon akan terbentuk bila ada kesiapan pada system syaraf individu. b) Hukum Latihan/pengulangan (law of exercise/ repetition): stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang-ulang. c) Hukum akibat (law of effect) : hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.

Organismic/Cognitive Gestalt Field Menurut teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian (bersifat sinergistik). Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya terusmenerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran. Dalam hal ini guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan sumber informasi sebagaimana diungkapkan dalam pandangan koneksionisme, peserta didik lebih berperan dalam hal proses pembelajaran, belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara individu dengan lingkungannya. Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari. Prinsip-prinsip maupun penerapan dari organismic/cognitive gestalt field, antara lain : a). Belajar berdasarkan keseluruhan

Prinsip ini mempunyai pandangan sebagaimana proses pembelajaran terpadu. Pelajaran yang yang diberikan kepada peserta didik bersumber pada suatu masalah atau pkok yang luas yang harus dipecahkan oleh peserta didik, peserta didik mengolah bahan pembelajaran dengan reaksi seluruh pelajaran oleh keseluruhan jiwanya.

b). Belajar adalah pembentukan kepribadian Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak diimbing untuk mendapat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya. Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui program pembelajaran yang terpadu. c). Belajar berkat pemahaman Belajar merupakan proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan pengetahuan, dapat menyelaraskan sikap dan ketrampilannya. Ketrampilan menghubungkan bagian-bagian pengetahuan untuk diperoleh sesuatu kesimpulan merupakan wujud pemahaman. d). Belajar berdasarkan pengalaman Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam proses pembelajaran peserta didik harus aktif dengan pengolahan bahan pembelajaran melalui diskusi, Tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, dan sejenisnya. e). Belajar adalah suatu proses perkembangan Ada tiga teori yang perlu diketahui guru, yaitu: perkembangan anak merupakan hasil dari pembawaan, perkembangan anak merupakan hasil lingkungan, dan perkembangan anak merupakan hasil keduannya. f). Belajar adalah proses berkelanjutan Belajar adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah berhenti untuk belajar, hal ini dilakukan karena faktor kebutuhan. Dalam pelaksanaannnya dianjurkan dalam pengembangannya kurikulum tidak hanya terpaku pada proses pembelajaran yang ada tetapi mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat ekstra untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Keberhasilan belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan anak didik tetapi menyangkut minat, perhatian, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini motivasi sangat menentukan dan diperlukan.

d. Perubahan nilai-nilai sosial budaya Masyarakat Indonesia dikenal sejak dulu sebagai masyarakat yang hidup rukun, damai, bergotong royong, ramah, santun dan hidup secara harmonis. Perubahan terjadi ketika para penjajah barat yaitu Portugis, Belanda dan Inggris mulai menancapkan kekuasaan dan mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat kita. Masyarakat mulai hidup saling bermusuhan karena politik para penjajah adalah devide et impera (pecah belah dan dikuasai). Selama 350 tahun, masa penjajahan budaya barat yang negatif seperti individualisme, hedonisme dan jauh dari nilai-nilai agama telah mempengaruhi bahkan mengubah budaya kita yang sebelumnya rukun, damai, santun dan religius. Sehingga pada masa-masa awal kemerdekaan terlihat jelas bahwa sebagian tokoh masyarakat atau pemimpin bangsa kita masih berpegang teguh kepada keluhuran budaya negeri ini sementara sebagian lainnya telah menjadi agen atau corong budaya barat. Kurikulum pendidikan pada masa penjajahan berisi nilai-nilai budaya barat yang negatif yang menempatkan bangsa pribumi sebagai bangsa kelas tiga. Hingga saat ini masih terlihat dari pendidikan ini yaitu kita merasa bangga bila mampu mendidik ala barat sementara budaya lokal yang santun dilupakan. Selanjutnya perubahan pada era globalisasi yang menjadikan dunia seperti tanpa batas. Apa yang terjadi di Amerika hari ini dapat secara langsung disaksikan oleh kita di sini. Kemajuan dalam bidang teknologi seperti internet, telepon dan siaran televisi seolah meleburkan berbagai bangsa dalam budaya global. Celakanya budaya global ini dipimpin oleh negara-negara yang kuat seperti Amerika sehingga mereka dengan leluasa memasukkan ide-ide serta kebiasaan buruk pada budaya global tersebut termasuk dalam bidang pendidikan. Sebagai ilustrasi siswa kita tidak lagi mampu berbahasa daerah dengan baik dan mampu membaca Al quran melainkan berganti dengan bahasa Inggris yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh sebagaian besar para siswa. d.1. Kurikulum pendidikan berbasis sosial budaya Kurikulum mutlak diperlukan dalam proses pendidikan karena tujuan dalam kurikulum itulah yang akan menghasilkan lulusan dengan kompetensinya. Oleh karena itu diperlukan kurikulum yang benar-benar menggali nilai sosial budaya serta mampu menyiapkan peserta didik untuk menghadapi perubahan zaman. Menurut undang-undang SISDIKNAS no. 21 tahun 2003 tujuan pendidikan di Indonesia adalah melahirkan generasi yang bertaqwa, cerdas dan memiliki keterampilan hidup. Ketaqwaan dibangun dari nilai-nilai agama serta budaya yang santun. Kecerdasan dan keterampilan hidup ditumbuhkan dengan berbagai bacaan, eksperimen dan pelatihan. Jika dirunut kualitas atau keunggulan suatu generasi ternyata terletak pada karakter yang kokoh dan baik.

Disinilah pentingnya memasukkan kurikulum untuk membangun karakter tersebut. Kurikulum karakter bersumber pada nilai agama dan nilai sosial budaya yang terpuji. Bangsa kita yang mayoritas muslim dan secara turun temurun hidup dalam budaya yang harmonis serta gotong royong hendaknya menjadi acuan dalam penyusunan kurikulum sehingga kurikulum kita semestinya berisi tentang pengamalan agama yang benar, membudayakan kebiasaan gotong royong dan santun pada setiap jenjang pendidikan. d.2. Kearifan lokal Setiap bangsa memiliki kearifan lokal sesuai kondisi alam dan sosial budayanya. Kearifan lokal ini bersifat unik karena menjadi ciri khas dari bangsa tersebut. Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang memiliki semangat juang yang tinggi (Bushido) karena ditempa oleh alam yang rawan gempa dan minim kekayaan alam, demikian pula yang terjadi pada bangsa Korea. Indonesia sebagai bangsa yang besar, beragam suku, bahasa, budaya dan hidup di alam yang subur dan kaya memiliki berbagai keunikan pada setiap daerahnya. Keunikan inilah yang semestinya dijadikan sebagai pendekatan dalam pendidikan. Mendidik siswa dengan potensi kearifan lokal disebut In Situ Development. d.3. Guru sebagai Role Model Kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar yang mentransfer ilmu pengetahuan melainkan juga sebagai sosok yang mengajarkan karakter yang baik. Setiap tutur kata, sikap dan perilaku guru akan menjadi inspirasi dan contoh bagi siswanya. Guru menjadi role model atau teladan bagi para siswa. Oleh karena itu guru hendaknya memiliki bekal ilmu yang mumpuni dan memiliki sikap serta perilaku terpuji. Diperlukan proses pendidikan guru yang benarbenar mampu melahirkan guru dengan karakteristik tersebut. Pada kenyataannya sekarang ini guru tidak banyak yang memiliki kualitas sebagai role model. Berbagai faktor yang mendasarinya seperti tuntutan ekonomi, budaya gelar dan gengsi serta potensi yang tidak sesuai (relevansi). Banyak orang ingin menjadi guru karena konon profesi guru menghasilkan income yang besar. Budaya gelar dan mengejar gengsi telah mendorong para siswa untuk kuliah dengan tujuan sekedar mendapat gelar kesarjanaan meskipun selama proses pendidikannya melakukan plagiatisme dan pada saat lulus memilki kompetensi dan kemandirian yang rendah. Banyak guru yang menjadi guru karena terpaksa atau ikut-ikutan karena potensi dasar sebagai seorang guru yaitu senang dan semangat untuk mengajar memang tidak dimilikinya. Guru yang mampu menjadi role model akan efektif mengajar nilai-nilai sosial budaya bagi para siswanya. Dengan demikian para siswa akan menjadi lulusan yang mampu mengarahkan kehidupan sosial dan budaya yang baik di masyarakat karena

mereka menjadi role model di masyarakat. Pelajar saat ini adalah iron stocks (sumber daya manusia) yang akan mewarnai kehidupan sosial budaya di masa mendatang. Apapun profesinya, mereka akan memimpin dan mewarnai lingkungannya dengan karakter yang diperoleh semasa pendidikan.

d.4. Bahan bacaan atau referensi Bahan bacaan atau buku adalah gerbang ilmu sekaligus rujukan. Buku-buku yang berkualitas mutlak diperlukan agar proses pemelajaran berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan. Saat ini kita masih sangat kekurangan bahan bacaan yang berkualitas terlebih lagi bahan bacaan yang memuat nilai sosial budaya sebagai landasan pendidikan. Buku-buku yang ada saat ini dominan berupa buku motivasi, kisah pesohor, kiat-kiat praktis dan komik-komik yang jauh dari nilai kebaikan. Buku-buku yang membahas tentang kehidupan sosial yang baik, kekayaan bahasa, budaya dan potensi unik setiap daerah masih sangat minim. Sehingga wajar jika nilai sosial budaya belum dimasukkan dalam proses pemelajaran.

C. Kesimpulan Landasan filsafat merupakan dasar atau pijakan dalam melihat segala sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya dengan fakta sebagaimana adanya sehingga bisa menjadi bahan masukan bagi manusia untuk membantu memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan. filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama, seperti pendidikan sama dengan kehidupan. Artinya pandangan filosofis menekankan pada proses berpikir, dimana proses berpikir bersifat tentatif yaitu pengalaman yang merupakan dasar yang mencakup segala aspek kegiatan individu dan merupakan sumber dari nilai. Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti: perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliranaliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Banyak hal yang dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum di suatu negara termasuk Indonesia. Di antara landasan pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan yaitu landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum. Dalam

pengembangan kurikulum aspek psikologi patut dipertimbangkan, pada proses pelaksanaan kurikulum faktor psikologi dari pebelajar perlu diperhatikan. Psikologi yang dimaksud di sini, terdapat dua aspek psikologi antara lain; psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan memandang aspek kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan kurikulum, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum perlu memandang dan memperhatikan faktor psikologi perkembangan dari tiap-tiap peserta didik. Psikologi belajar merupakan bagian dari psikologi, yang mengkaji bagaimana seseorang melakukan kegiatan belajar, cara dia menerima suatu rangsang/informasi sehingga terjadi suatu proses belajar. Terdapat tiga bagian dari psikologi belajar, antara lain; teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory), behaviorisme, dan organismic/cognitive gestalt field. Kondisi sosial budaya mempengaruhi proses pemelajaran dan lulusannya. Pendidikan akan melahirkan lulusan yang akan menjadi insan yang mempengaruhi kondisi sosial budaya di masa mendatang. Diperlukan kurikulum yang memuat nilai-nilai sosial budaya termasuk kearifan lokal. Pendidikan berbasis sosial budaya mutlak membutuhkan guru sebagai role model dan bahan bacaan yang berkualitas.

D. Daftar Pustaka

Dakir, H. 2010. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Departemen Pendidikan Nasional RI, 2003. Undang-undang Republik Indoneseia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pidarta made, 1997. Landasan Kependidikan, Rineka Cipta Jakarta http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/09/landasan-pengembangan-kurikulum. html http://vhajrie27.wordpress.com/2009/10/08/landasan-psikologis-pengembangankurikulum-revisi/ http://zularman.wordpress.com/2007/08/04/psikologi-belajar

Nasution, S. 2006. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: PT. Bumi Aksara Sadulloh, Uyoh. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta Suhartono, Suparlan. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogyakarta: A Ruzz Media Sukarman. (2007). Pengembangan Kurikulum-electronic book Kurikulum dan Tekhnologi Pendidikan-UPI. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI Sukmadinata. (1997). Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Susilana, R. Dkk. (2006), Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UPI.

PDF | DOC

Komentar:

belum ada komentar...

Kirim Komentar Anda:


Top of Form

Nama:

Nama Anda (wajib diisi) E-Mail: Website, Blog,

E-Mail (tidak dipublikasikan) URL: http://

Facebook, dll Komentar:

(wajib diisi)

<-- isi kode di atas (wajib diisi)


Bottom of Form

Search Box
Top of Form Bottom of Form

Halaman

About Me

Kategori

Welcome (1) Pendidikan Komparatif (1) Pengembangan Sistem Instruksional (1) Pengembangan Kurikulum (1)

Perencanaan Pendidikan (1) Ilmu Komputer (1)

Posting Terbaru

Implementasi Kurikulum TIK SD 1-6 di Sekolahalam Palembang (0 Komentar) Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan (0 Komentar) Pendidikan Komparatif Standar Isi Tingkat SMP di Iran dan di Indonesia (0 Komentar) Landasan Pengembangan Kurikulum (0 Komentar) Strategi Instruksional (0 Komentar) Selamat Datang di Komunitas Blogger Universitas Sriwijaya (0 Komentar)

Komentar Terakhir
Belum ada komentar

Links

Universitas Sriwijaya Portal Komunitas Blogger dea shinta ludfy messy NUNIK NOSALI layanan seo jasaseo siluthfie fadhillah luthfie Afian Martin James Lumbanraja Randi Saputra Adin Darmawan Yoga P Hendar Novra Gawarizky Amuruddin

Blog Roll (See All)


Copyright 2009 by Universitas Sriwijaya | Powered by SriwijayaCMS

Anda mungkin juga menyukai