Anda di halaman 1dari 21

KOMPONEN PENGEMBANGAN KURIKULUM

Disusun oleh:

1. Hermawan (2323012014)
2. Meily Rosmayanti (2323012002)
3. Rafika Indah (2323012010)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU


PENDIDIKAN MAGISTER ADMINISTRASI
PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pengembangan kurikulum merupakan sebuah kebutuhan dan kewajiban.
Pernyataan tersebut didasarkan pada perubahan masyarakat yang pasti terjadi
dan terus menerus mengalami dinamisasi, sehingga kebutuhan masyarakat juga
berubah. Oleh karena itu kurikulum juga harus dikembangkan untuk menjawab
tantangan zaman yang semakin berkembang. Jika tidak diadakan pengembangan
maka kurikulum tersebut tidak lagi relevan dan ketinggalan jaman, sehingga
tidak memberikan dampak berkemajuan terhadap masyarakat.

Kurikulum bisa diibaratkan seperti sebuah organisme, salah satu


alasannya adalah karena keduanya sama-sama merupakan sistem yang
memiliki tujuan. Sistem tersebut bisa saja terbangun dari organ-organ yang
bekerja baik secara sadar maupun tidak sadar. Maka komponen kurikulum bisa
diartikan bagian dari keseluruhan yang ada, atau berarti unsur dari sesuatu
yang utuh. Seperti organisme, maka kurikulum juga perlu mengadakan
pengembangan diri untuk menjaga eksistensinya agar bisa tetap berguna dan
bisa mendapat legitimasi dari lingkungan. Dalam mengembangkan kurikulum
perlu memperhatikan komponen-komponen pengembangan kurikulum. Hal
ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendiagnosis dari sudut mana dan ke
arah mana pengembangan tersebut dilakukan.
Selain menekankan pada komponen, dalam mengembangkan kurikulum
juga perlu mengkaji tentang model atau pola pengembangan kurikulum. Model
pengembangan kurikulum merupakan cara untuk mendeskripsikan,
menganalisis, dan membuat skema dari sebuah kurikulum. Dengan demikian,
maka penggunaan model-model pengembangan kurikulum di setiap tingkat
satuan pendidikan juga harus berbeda karena setiap sekolah tersebut memiliki
ciri khas, kurikulum, tantangan, dan sumber daya yang berbeda.
Mengacu dari uraian di atas, untuk lebih fokusnya pembahasan penulis
akan memaparkan komponen-komponen kurikulum yang meliputi: landasan
filosofis, model pengembangan, implementasi, dan evaluasi kurikulum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, kami merumuskan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa saja komponen-komponen pengembangan kurikulum?
2. Apa saja landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum?
3. Apa yang dimaksud dengan model pengembangan kurikulum?
4. Bagaimana implementasi kurikulum?
5. Seperti apa evaluasi kurikulum dijalankan?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini kami susun dengan
tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Komponen-komponen pengembangan kurikulum
2. Landasan filosofis pengembangan kurikulum
3. Model pengembangan kurikulum
4. Implementasi kurikulum
5. Evaluasi kurikulum

D. Manfaat Penulisan Makalah


Makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna untuk
mengetahui tentang komponen-komponen pengembangan kurikulum. Secara
praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan
khususnya tentang komponen-komponen dalam pengembangan kurikulum
2. Pembaca, sebagai media informasi tentang komponen-komponen
dalam pengembangan kurikulum
BAB II
PEMBAHASA
N

Komponen kurikulum secara umum dalam dunia pendidikan yang luas


menurut Syaodih Sukmadinata (1997) terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut
yaitu; tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, dan
evaluasi, yang mana keempatnya berkaitan erat satu dengan lainnya. Sedang
dalam bab pembahasan kali ini, penulis akan mengemukakan komponen-
komponen pengembangan kurikulum dilihat dari landasan filosofis
pengembangan kurikulum, model pengembangan kurikulum, implementasi, dan
evaluasi kurikulum.
1. Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum
Sebagai rangkaian cara untuk memahami filosofi sebagai landasan
pengembangan kurikulum kita perlu memahami kajian mengenai filosofi itu
sendiri dan penerapan filosofi dalam pengembangan kurikulum. Menurut Kneller
(2000: 46), filosofi adalah upaya berpikir dalam tataran paling umum dengan
cara sistematik mengenai semua hal di alam semesta, atau mengenai semua
realitas. Upaya tersebut disebabkan oleh adanya rasa ingin tahu pada manusia.
Filsuf memang berbeda dengan ilmuwan, karena ilmuwan mempelajari bagian-
bagian alam semesta sedangkan filsuf sebaliknya. Ini dikarenakan para filsuf
cenderung menemukan beberapa pola yang membuatnya mampu memahami
kesimpulan tentang sesuatu. Kesimpulan tersebut juga mengisyaratkan bahwa
manusia hanyalah salah satu bagian dari terjadinya sesuatu. dan tanpa pola-pola
tertentu, pengalaman manusia tidaklah bermakna. Kneller (2000:46) juga
menyebutkan bahwa filosofi membantu manusia dalam mengorganisasikan
gagasannya dan menemukan makna dalam pikiran maupun tindakan.
Pemikiran yang dituangkan Kneller (2000:49) juga menyatakan Filosofi
tidak hanya sebagian dari pengetahuan kita atas seni, ilmu alam, dan agama.
Filosofi bahkan menggenggam semua disiplin tersebut dalam tingkat teoritis dan
menemukan serta menjelaskan dan membangun hubungan diantara mereka.
Sekali lagi, filosofi berusaha untuk membangun makna logis diantara semua area
pemikiran. Fillosofi sebagaimana disebutkan Kneller, turut melibatkan tentang
cara berpikir dan berfilosofi merupakan hal paling penting dalam filosofi (2000:
47)
Amstrong (2003: 107) menegaskan bahwa filosofi sangatlah sesuai
dengan dunia nyata. Keberadaan cara pandang filosofi anda akan menentukan
jawaban anda atas pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
a. Bagaimana menentukan sifat baik dan buruk?
b. Bagaimana menentukan mana yang salah dan yang benar?
c. Bagaimana caranya menyampaikan suatu kebenaran?
d. Pengetahuan macam apa yang memang sangat patut diketahui?
e. Bagaimana saya seharusnya memperlakukan orang lain, dan bagaimana
seharusnya orang lain memperlakukan saya?
Singkatnya, filosofi berperan membantu kita dalam mengetahui sisi
normatif, moral, estetika, dan melakukan kritik. Kita akan semakin terbantu untuk
menguak berbagai sisi tersebut manakala kita mampu mengenali keragaman
tradisi berpikir secara filosofis. Menurut Redja Mudyahardjo (1989), menjelaskan
tentang adanya tiga aliran dalam filosofi, yakni idealisme, realisme, dan
pragmatisme.
a. Landasan Filosofis Pendidikan Idealisme
Menurut filsafat idealisme bahwa kenyataan atau realitas pada hakikat nya
adalah bersifat spiritual daripada bersifat fisik, bersifat mental daripada
material. Dengan demikian menurut filsafat idealisme bahwa manusia adalah
mahluk spiritual, mahluk yang cerdas dan bertujuan. Pikiran manusia
diberikan kemampuan rasional sehingga dapat menentukan pilihan mana yang
harus diikutinya. Berdasarkan pemikiran filsafat idealisme bahwa tujuan
pendidikan harus dikembangkan pada upaya pembentukan karakter,
pembentukan bakat insani dan kebajikan sosial sesuai dengan hakikat
kemanusiaannya. Dengan demikian tujuan pendidikan dari mulai tingkat pusat
(ideal) sampai pada rumusan tujuan yang lebih operasional (pembelajaran)
harus merefleksikan pembentukan karakter, pengembangan bakat dan
kebajikan sosial sesuai dengan fitrah kemanusiannya.
Isi kurikulum atau sumber pengetahuan dirancang untuk mengembangkan
kema puan berpikir manusia, menyiapkan keterampilan bekerja yang
dilakukan melalui program dan proses pendidikan secara praktis. Implikasi
bagi para pendidik, yaitu bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi terselenggaranya pendidikan. Pendidik harus memiliki
keunggulan kompetitif baik dalam segi intelektual maupun moral, sehingga
dapat dijadikan panutan bagi peserta didik.
b. Landasan Filosofis Pendidikan Realisme
Filsafat realisme boleh dikatakan kebalikan dari filsafat idealisme, dimana
menurut filsafat realisme memandang bahwa dunia atau realitas adalah
bersifat materi. Dunia terbentuk dari kesatuan yang nyata, substansial dan
material, sementara menurut filsafat idealisme memandang bahwa realitas
atau dunia bersifat mental, spiritual. Menurut realisme bahwa manusia pada
hakikat nya terletak pada apa yang dikerjakannya. Mengingat segala sesuatu
bersifat materi maka tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan terutama
diarahkan untuk melakukan penyesusian diri dalam hidup dan melaksanakan
tanggung jawab sosial.
Oleh karena itu kurikulum kalau didasarkan pada filsafat realisme harus
dikembangkan secara komprehensif meliputi pengetahuan yang bersifat sains,
sosial, maupun muatan nilai-nilai. Isi kurikulum lebih efektif diorganisasikan
dalam bentuk mata pelajaran karena memiliki kecenderungan berorientasi
pada mata pelajaran (subject centered). Implikasi bagi para pendidik terutama
bahwa peran pendidik diposisikan sebagai pengelola pendidikan atau
pembelajaran. Untuk itu pendidik harus menguasai tugas-tugas yang terkait
dengan Pendidikan khususnya dengan pembelajaran, seperti penguasaan
terhadap metode, media, dan strategi serta teknik pembelajaran. Secara
metodologis unsur pembiasaan memiliki arti yang sangat penting dan
diutamakan dalam mengimplementasikan program pendidikan atau
pembelajaran filsafat realisme.
c. Landasan Filosofis Pendidikan Fragmatisme
Filsafat fragmatisme memandang bahwa kenyataan tidaklah mungkin dan
tidak perlu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik, plural dan
berubah (becoming). Manusia menurut fragmatisme adalah hasil evolusi
biologis, psikologis dan sosial. Manusia lahir tanpa dibekali oleh kemampuan
bahasa, keyakinan, gagasan atau norma-norma. Nilai baik dan buruk
ditentukan secara ekseperimental dalam pengalaman hidup, jika hasilnya
berguna maka tingkah laku tersebut dipandang baik. Oleh karena itu tujuan
pendidikan tidak ada batas akhirnya, sebab pendidikan adalah pertumbuhan
sepanjang hayat, proses rekonstruksi yang berlangsung secara terus menerus.
Tujuan pendidikan lebih diarahkan pada upaya untuk memperoleh
pengalaman yang berguna untuk memecahkan masalah baru dalam kehidupan
individu maupun sosial.
Implikasi terhadap pengembangan isi atau bahan dalam kurikulum ialah
harus memuat pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan
minat dan kebutuhan siswa. Warisan-warisan sosial dan masa lalu tidak
menjadi masalah, karena focus pendidikan menurut faham fragmatisme adalah
menyongsong kehidupan yang lebih baik pada saat ini maupun di masa yang
akan datang. Oleh karena itu proses pendidikan dan pembelajaran secara
metodologis harus diarahkan pada upaya pemecahan masalah, penyelidikan
dan penemuan. Peran pendidik adalah memimpin dan membimbing peserta
didik untuk belajar tanpa harus terlampau jauh mendikte para siswa.

2. Model Pengembangan Kurikulum


Kata model secara etimologi memiliki arti pola (acuan dan contoh dari sesuatu
yang dibuat). Menurut Mohamad Bisri (2020) model pengembangan kurikulum
bisa juga diartikan sebagai sebuah pendekatan atau pola ‘apa’ yang digunakan
untuk mengembangkan kurikulum. Sehingga dalam proses pengembangan
kurikulum bisa terlaksana secara tepat guna, tepat sasaran, dan tepat
pembiayaanya.
Pemilihan salah satu dari model pengembangan kurikulum bukan hanya
didasarkan pada kelebihan, kebaikan, atau tingkat pencapaian optimal. Tetapi
juga harus disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolalan
pendidikan serta model konsep pendidikan yang digunakan. Model-model
pengembangan kurikulum diantaranya adalah:
a. Model Top-Down
Model ini disebut juga model administratif atau garis-komando
(line-Staff) merupakan pola pengembangan kurikulum yang paling awal
dan mungkin yang paling dikenal. Model pengembangan kurikulum ini
berdasarkan pada cara kerja atasan-bawahan (top-down) yang dipandang
efektif dalam pelaksanaan perubahan kurikulum. Model administrasi/garis
komando memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
1) Administrator Pedidikan / Top Administrative Officers (pemimpin)
membentuk komisi pengarah.
2) Komisi Pengarah (Steering Comittee) bertugas merumuskan rencana
umum, mengembangkan prinsip-prinsip sebagai pedoman, dan
menyiapkan suatu pernyataan filosofi dan tujuan-tujuan untuk seluruh
wilayah sekolah.
3) Membentuk komisi kerja pengembangan kurikilum yang bertugas
mengembangkan kurikulum secara operasional mencakup keseluruhan
komponen kurikulum dengan mempertimbangkan landasan dan
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
4) Komisi pengarah memeriksa hasil kerja dari komisi kerja dan
menyempurnakan bagian-bagian tertentu bila dianggap tidak perlu.
Karena pengembangan kurikulum model administratif ini
berdasarkan konsep, inisiatif, dan arahan dari atas kebawah, maka akan
membutuhkan waktu bertahun-tahun agar dapat berjalan dengan baik. Hal
ini disebabkan adanya tunututan untuk mempersiapkan para pelaksana
kurikulum tersebut. Dari uraian mengenai model pengembangan
kurikulum administrative kita dapat menandai adanya dua kegiatan
didalamnya:
a) Menyiapkan seperangkat dokumen kurikulum baru, dan
b) Menyiapkan instalasi dan implementasi dokumen.
Dengan kata lain, model administratif/garis-komando
membutuhkan kegiatan penyiapan para pelaksana kurikulum melalui
berbagai bentuk pelatihan agar dapat melaksanakan kurikulum dengan
baik.

b. Model Grass-Roots
Pendekatan Grass Roots merupakan kebalikan dari pendekatan
Administratif. Pendekatan grass roots yang disebut juga dengan istilah
pendekatan bottom-up, yaitu suatu proses pengembangan kurikulum yang
diawali dari keinginan yang muncul dari tingkat bawah (sekolah atau
guru).
Keinginan ini biasanya didorong oleh hasil pengalaman yang dirasakan
pihak sekolah atau guru, dimana kurikulum yang sedang berjalan
dirasakan terdapat beberapa masalah atau ketidaksesuaian dengan
kebutuhan dan potensi yang tersedia di lapangan.
Untuk terlaksananya pengembangan kurikulum model grass roots
ini diperlukan kepedulian dan profesionalisme yang tinggi dari pihak
sekolah antara lain yaitu.
1) Sekolah atau guru bersifat kritis untuk menyikapi terhadap kurikulum
yang sedang berjalan
2) Sekolah atau guru memiliki ide-ide inovatif dan bertanggung jawab
untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan
potensi yang dimiliki
3) Sekolah atau guru secara terus menerus terlibat dalam proses
pengembangan kurikulum
4) Sekolah atau guru bersikap terbuka dan akomodatif untuk menerima
masukan-masukan dalam rangka pengembangan kurikulum.
Pengembangan kurikulum model grass roots ini secara teknis
operasional bisa dilakukan dalam pengembangan kurikulum secara
menyeluruh (kurikulum utuh), maupun pengembangan hanya terhadap
aspek-aspek tertentu saja. Misalnya pengembangan untuk satu mata
pelajaran atau kelompok mata pelajaran tertentu, pengembangan terhadap
metode dan strategi pembelajaran, pengembangan visi dan misi serta
tujuan, dan lain sebagainya.

c. Model Ralph Tyler


Ralph Tayler pada tahun 1949 menciptakan suatu mata pelajaran
baru dengan judul prinsip prinsip kurikulum pengajaran. Kemudian beliau
mengidentifikasi 4 pertanyaan fundamental yang memerlukan jawaban
dan pengembangan untuk setiap kurikulum dan perencanaan pengajaran.
Pertanyaan pertanyaan tersebut adalah:
1) Tujuan tujuan pendidikan apakah yang harus dicapai oleh sekolah
lembaga pendidikan?
2) Pengalaman pendidikan apakah yang sangat perlu disediakan?
3) Bagaimanakah pengalaman pendidikan dapat diorganisasikan?
4) Bagaimana dapat diketahui dan ditentukan bahwa tujuan tujuan
tersebut telah dicapai?

d. Model Hilda Taba


Model pengembangan kurikulum ini dikembangkan oleh Hilda
Taba atas dasar data induktif yang disebut model terbalik, karena biasanya
pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang secara
deduktif. Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak
merangsang timbulnya inovasi-inovasi, menurutnya pengembangan
kurikulum yang lebih mendorong inovasi dan kreatifitas guru adalah yang
bersifat induktif, yang merupakan investasi atau arahan terbalik dari
model tradisional.
Pengembangan model ini diawali dengan melakukan pencarian
data serta percobaan dan penyusunan teori serta diikuti dengan tahapan
implementasi, hal ini dilakukan guna mempertemukan teori dan praktek,
adapun langkah –langkah nya adalah sebagai berikut :
1) Mendiagnosis kebutuhan merumuskan tujuan menentukan materi,
penilaan, memperhatikan antara luas dan dalamnya bahan, kemudian
disusunlah suatu unit kurikulum.
2) Mengadakan try out
3) Mengadakan revisi atas try out
4) Menyusun kerangka kerja teori
5) Penerapan kurikulum

e. Model DK Wheeler
Dalam bukunya yang cukup berpengaruh, curriculum process,
Wheler (1967) mempunyai argumen tersendiri agar pengembang
kurikulum (curriculum developers) dapat menggunakan suatu proses
melingkar (a cycle process), yang mana setiap elemen saling berhubungan
dan saling bergantung. Pendekatan yang digunakan Wheeler dalam
pengembangan kurikulum pada dasarnya memiliki bentuk rasional. Setiap
langkahnya merupakan pengembangan secara logis terhadap model
sebelumnya, di mana secara umum suatu langkah tidak dapat dilakukan
sebelum langkah-langkah sebelumnya telah diselesaikan.

f. Model Beauchamp
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan metode
beauchamp dikembangkan oleh Beauchamp ahli dibidang kurikulum hal
ini memiliki 5 bagian pembuat keputusan. Lima tahap tersebut adalah:
1) Memutuskan arena atau lingkup wilayah pengembangan kurikulum,
suatu keputusan yang menjabarkan ruang lingkup upaya
pengembangan. (suatu gagasan pengembangan kurikulum yang telah
dilaksanakan di kelas diperluas di sekolah-sekolah di daerah tertentu
baik berskala regional atau nasional yang disebut arena)
2) Menetapkan personalia atau tim para ahli kurikulum, yaitu siapa-siapa
saja yang ikut terlibat dalam pengembangan kurikulum.
3) Tim menyusun tujuan pengajaran kurikulum dan pelaksanaan proses
belajar mengajar, untuk tugas tersebut perlu dibentuk dewan kurikulum
sebagai koordinator yang bertugas juga sebagai penilai pelaksanaan
kurikulum, memilih materi pelajaran baru, menentukan berbagai
kriteria untuk memilih kurikulum mana yang akan dipakai dan menulis
secara menyeluruh mengenai kurikulum yang akan dikembangkan.
4) Implementasi kurikulum, yakni kegiatan untuk menerapkan kurikulum
seperti yang sudah diputuskan dalam ruang lingkup pengembangan
kurikulum.
5) Evaluasi Kurikulum

3. Implementasi Kurikulum
Browne dan Wildavsky dalam Usman (2004) mengemukakan makna
implementasi sebagai perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan. Senada
dengan pernyataan di atas, Setiawan (2004) menyatakan bahwa implementasi
adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan
dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi
yang efektif. Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan, bahwa implementasi
merupakan pelaksanaan atau tindakan dari sebuah rencana yang sudah disusun
secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah
perencanaan sudah dianggap benar. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa
implementasi bermuara pada aktivitas, aksi/tindakan, mekanisme atau sistem.
Implementasi kurikulum adalah pelaksanaan kurikulum yang mencakup
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan dalam penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Implementasi
kurikulum merupakan terjemahan kurikulum dokumen menjadi kurikulum sebagai
aktivitas atau kenyataan. Implementasi kurikulum diwujudkan dalam bentuk
pengalaman belajar dengan prinsip-prinsip yang menjadikannya lebih mudah dan
lebih efektif untuk dikomunikasikan ke berbagai pihak seperti pimpinan sekolah,
pendidik, pengawas sekolah, dan staf pendukung lainnya. Setiap kurikulum
termasuk kurikulum baru memiliki gagasan dan ide yang tercermin dalam tujuan,
program, dan pendekatan dalam proses pembelajaran maupun dalam sistem
evaluasinya.

a. Prinsip Implementasi Kurikulum


Dalam pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan terdapat
prinsip-prinsip yang menunjang tercapainya implementasi kurikulum,
sebagaimana yang dikemukakan Hamalik (2013) berikut:
1) Perolehan kesempatan yang sama
Prinsip ini mengutamakan penyediaan tempat yang memberdayakan
semua peserta didik secara demokratis dan berkeadilan untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
2) Berpusat pada anak
Adanya upaya memandirikan peserta didik untuk belajar, bekerja
sama, dan menilai diri sendiri. Hal ini penting, agar peserta didik
mampu membangun kemauan, pemahaman, dan pengetahuannya.
Karenannya harus ada upaya pembelajaran yang disampaikan secara
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan serta dengan penilaian yang
komprehensif dan berkelanjutan.
3) Pendekatan dan kemitraan
Seluruh pengalaman belajar dirancang secara berkesinambungan,
mulai dari Taman Kanak-kanak, kelas I hingga kelas XII. Pendekatan
yang digunakan dalam pengalaman belajar difokuskan pada kebutuhan
peserta didik yang bervariasi dan mengintegrasikan berbagai disiplin
ilmu. Hal ini menuntut kemitraan dan menjadi tanggung jawab
bersama antara peserta didik, pendidik, satuan pendidikan, dunia kerja
dan industri serta orang tua dan masyarakat.
4) Kesatuan dalam kebijakan dan keberagaman dalam pelaksanaan
Standar kompetensi disusun oleh pusat, namun cara pelaksanaannya
disesuaikan dengan kebutuhan dan kemaMpuan masing-masing daerah
atau sekolah.
b. Tahapan-Tahapan Implementasi Kurikulum
Menurut Mulyasa, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
implementasi kurikulum adalah perencanaan kurikulum, pelaksanaan
kurikulum, dan penilaian terhadap pelaksanaan kurikulum (Mulyasa, 2003).
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Oemar Hamalik, secara garis
besar tahapan implementasi kurikulum meliputi tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi (Hamalik, 2007).
1) Tahap perencanaan
Menetapkan tujuan tertulis dalam visi dan misi satuan pendidikan.
Usaha ini guna menetapkan setrategi, kebijakan, program, prosedur,
metode, sistem, anggaran, dan standar yang dibutuhkan untuk
mencapaiNtujuan yang telah ditetapkan.
2) Tahap pelaksanaan
Pelaksanaan sebagai usaha menjadikan perencanaan menjadi
kenyataan dengan berbagai teknik atau alat yang digunakan, waktu
pencapaian, pihak yang terlibat dalam pelaksanaan dengan berbagai
pengarahan dan motivasi agar setiap yang terlibat dapat melaksanakan
kegiatan secara optimal sesuai peran, tugas, dan tanggung jawab
masing-masing.
3) Tahap evaluasi
Evaluasi adalah proses penilaian sesuatu berdasarkan kriteria tertentu
yang akan menghasilkan kumpulan data atau informasi yang
dibutuhkan. Dengan hasil dan informasi yang diperoleh, maka akan
memudahkan dalam menentukan nilai yang selanjutnya dapat
dijadikan acuan penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya
maupun pengambilan keputusan.

c. Faktor-faktor yang Memengaruhi Implementasi Kurikulum


Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi implementasi kurikulum
adalah sebagai berikut:
1) Faktor Perencanaan
Implementasi kurikulum harus direncanakan dan
dipersiapkan agar berhasil dengan baik. Perencanaan implementasi
penting sebagai kerangka acuan sehingga terjadi efisiensi dalam
pendayagunaan semua sumber daya, baik sarana prasarana maupun
sumber daya manusia. Implementasi kurikulum juga membutuhkan
perencanaan yang baik dan jelas mengenai bagaimana organisasi
dan mekanisme implementasi, tahapan-tahapanimplementasi,
kegiatan apa yang harus dilakukan dalam setiap tahapan itu, kapan
waktu pelaksanaannya, siapa yang harus bertanggung jawab setiap
tahapan dan setiap kegiatan, kebutuhan logistik apa yang
diperlukan, serta berapa sumber daya dan biaya yang diperlukan.
2) Faktor Substansi (isi) Kurikulum
Faktor isi kurikulum merupakan faktor yang berpengaruh
terhadapimplementasi kurikulum itu sendiri. Faktor-faktor tersebut
dapat mencakup karaketeristik kurikulum seperti berikut: (a)
Apakah memiliki kejelasan, baik tujuan, pendekatan, dan ataupun
tata kelolanya. Kejelasan ini menjadi sangat penting agar tidak
terjadi multi tafsir mengenai tujuan, struktur, isi,pendekatan, dan
sistem penilaian kurikulum itu sendiri. (b) Realistik dan relevan
sehingga memperkuat kontekstualitas implementasinya. Kurikulum
yang realistik dan relevan memberi ruang bagi guru-guru untuk
mengembangkan bahan ajar yang relevan dan kontekstual dengan
kehidupan anak dan lingkungannya. (c) Kerangka konseptual yang
mendasari pengembangan kerangka isi konseptual bahan ajar.
Newstead (1999) mengemukakan beberapa faktor kurikulum
seperti (a) errors in the construction of the document; (b) content
errors, and (c) in appropriate content. Faktor pertama adalah
kelemahan dalam konstruksi kurikulum, baikperencanaan maupun
pengembangannya. Faktor kedua adalah kesalahandalam hal isi
kurikulum. Kesalahan pada isi kurikulum dapat menyebabkan anak
menerima materi yang tidak standar dan akan berimplikasi
padakemampuan anak untuk kompetitif. Faktor ketiga adalah
kesesuaian isi kurikulum, terutama dilihat dari aspek psikologis,
yaitu kesesuaian dengan tingkat perkembangan inteligensi, sosial,
dan moral anak.

4. Evaluasi Kurikulum
Secara etimologi "evaluasi" berasal dan bahasa Inggris yaitu evaluation
dari akar kata value yang berarti nilai atau harga. Nilai dalam bahasa Arab disebut
al-qiamah atau al-taqdir’ yang bermakna penilaian (evaluasi). Sedangkan secara
harfiah, evaluasi pendidikan dalam bahasa Arab sering disebut dengan al-taqdir al-
tarbiyah yang diartikan sebagai penilaian dalam bidang pendidikan atau penilaian
mengenai hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan. (B., 2017). Beberapa
para ahli berpendapat bahwa, yang dimaksud dengan evaluasi adalah sebagai
berikut:
a. Hamid Hasan, mengartikan evaluasi sebagai usaha sistematis mengumpulkan
informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan
mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu. (Hasan,
2008)
b. Tyler menyatakan bahwa evaluasi adalah proses untuk mengetahui apakah
tujuan pendidikan sudah tercapai atau terealisasikan. (Zaini, 2009)
c. Arikunto, menilai adalah sebuah proses pengambilan keputusan terhadap
sesuatu dengan ukuran baik buruk, sehingga dapat dikatakan bersifat kualitatif.
Arikunto juga menambahkan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses
pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian
mana tujuan pendidikan sudah tercapai, yang kemudian dipakai sebagai tolak
ukur dalam pengambilan keputusan. (Suharsimi Arikunto, 2009)
Dengan demikian, evaluasi kurikulum adalah penerapan prosedur ilmiah
untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan
tentang kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan. Atau, evaluasi
kurikulum adalah suatu tindakan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu
kurikulum, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk
akuntabilitas pengembang kurikulum dalam rangka menentukan keefektifan
kurikulum.
1) Fungsi Evaluasi
Fungsi evaluasi kurikulum telah banyak disebutkan oleh ahli-ahli
terkemuka seperti Tyler, Cornbach, dan Scriven. Ketiga ahli tersebut
secara berurutan memberikan pandangan mereka mengenai fungsi dari
evaluasi kurikulum. Fungsi evaluasi kurikulum yang pertama
dikemukakan oleh Tyler (1949). Ia menyebutkan bahwa hasil evaluasi
adalah untuk memperbaiki kurikulum. Dalam pendapat tersebut belum
terlihat jelas suatu konsepsi fungsi evaluasi yang bulat. Kemudian
Cronbach (1963) dalam tulisannya yang berjudul “Course Improvement
through Evaluation” menyebutkan ada dua fungsi evaluasi kurikulum
yang berbeda yaitu memberikan bantuan untuk memperbaiki kurikulum
dan untuk memberikan penghargaan.
Tetapi sebagaimana tertera dalam judul tulisan tersebut, bagi
Cronbach pada waktu itu yang lebih penting ialah fungsi evaluasi dalam
menentukan aspek-aspek kurikulum yang harus diperbaiki. Sedangkan
fungsi evaluasi untuk memberikan penghargaan kepada program yang
sudah ada di lapangan hanya sebagai fungsi dampak bawaan. (Arofah,
2021)
Dari ketiga pendapat ahli tersebut tidak ada yang salah melainkan
hanya berbeda penekanan. Tyler lebih meneknakan pada evaluasi produk,
Cronbach menekankan pada evaluasi proses sedangkan dampaknya hanya
sebagai bawaan, dan Scriven menekankan pada keduanya yaitu evaluasi
proses dan hasil. (Arofah, 2021)

2) Instrumen Evaluasi
a. Tes
Instrumen evaluasi yang berbentuk tes adalah berupa tes pilihan
ganda, tes benar salah, tes jawaban pendek, tes pencocokan, cloze test,
peta konsep, pertanyaan esai, tes subjektif, dan asesmen diri. (Ansyar,
2017)
b. Non-Tes
Instrumen evaluasi yang berbentuk non tes adalah berupa
kuesioner, interview, diari dan log, skala peringkat, daftar cek,
observasi, analisis karya siswa, diskusi, asesmen performa, assessment
autentik, potofolio, dan proyek. (Ansyar, 2017)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Komponen-komponen dalam pengembangan kurikulum meliputi:
landasan filosofi pengembangan kurikulum, model pengembangan kurikulum,
implementasi, dan evaluasi kurikulum. Komponen landasan filosofis dalam
pengembangan kurikulum ialah asumsi-asumsi atau rumusan yang didapatkan
dari hasil berpikir secara mendalam, analitis, logis dan sistematis (filosofis) dalam
merencanakan, melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum.
Komponen model pengembangan kurikulum merupakan sebuah pendekatan atau
pola yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum. Komponen implementasi
kurikulum merupakan pelaksanaan kurikulum yang mencakup tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan dalam penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedang, evaluasi
kurikulum merupakan suatu tindakan pengendalian, penjaminan dan penetapan
mutu kurikulum, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk
akuntabilitas pengembang kurikulum dalam rangka menentukan keefektifan
kurikulum.
B. Saran

Komponen pengembangan kurikulum yang merupakan salah satu bagian


penting untuk menyusun dan menjalankan kurikulum hendaknya kita pahami
dengan mendalam agar kita bisa melaksanakan tujuan kurikulum secara utuh.

DAFTAR PUSTAKA

Ansyar, M. (2017). Kurikulum Hakikat, Fondasi, Desain dan Pengembangan.


Jakarta: KENCANA. Arofah, E. F. (2021). Evaluasi Kurikulum Pendidikan. Jurnal
Tawadhu, 221-222.
Suharsimi Arikunto, d. (2009). Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Zaini, M. (2009). Pengembangan Kurikulum . Yogyakarta: TERAS.

Altrichter, H. (2005). Curriculum Implementation–Limiting and Facilitating Factors. In


Dimba, F. M. (2001). The Role of Principals in Managing Curriculum Change,
Department of Educational Planning and Administration University of Zululand (pp.
60–62).

J.P. Miller dan W. Seller. (1985). Curriculum Perspectives and Practice (Longman
(ed.)).

Labane, N. (2009). Planning and Managing Curriculum Implementation in Rural


Schools: an Investigation (p. 4). Nelson Mandela Metropolitan University.

Larson, F. W. E. and R. L. (2018). Curriculum Management for Education and Social


Service Organization (p. 1).

Bisri, M. (2020). Komponen-komponen dan model pengembangan kurikulum.


Prosiding Nasional, 3, 99-110.

Salabi, Agus Salim. (2020). Efektifitas Dalam Implementasi Kurikulum Sekolah.


http://www.jurnalonline.org/index.php/fadf
Putri Rahayu, Vina., Noer Aly, Hery. Evaluasi Kurikulum.
http://jonedu.org/index.php/joe

Syaodih Sukmadinata, N. (1997). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.


Bandung, Remaja Rosdakarya.

Sukirman, D. (2007). Landasan Pengembangan Kurikulum. Bandung: UPI. Edu.

Anda mungkin juga menyukai