Anda di halaman 1dari 7

.Tulisan ini merupakan suatu analisa kasus.

Bermula dari gugatan perkara perdata antara Para Penggugat, Jeffry Binalay dkk melawan Tergugat I Kepala Staff TNI-AL (KASAL) dkk yang telah terdaftar pada register perkara perdata di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No.319/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Ut. Duduk atau ringkasan perkaranya kurang lebih sebagai berikut Jeffry Binalay dkk adalah penghuni dari rumah dinas TNI-AL. Almarhum orang tua Jeffry Binalay dkk adalah purnawirawan TNI-AL. Mereka menghuni rumah dinas TNI-AL berdasarkan Surat Izin Perumahan (SIP) yang dikeluarkan oleh Dinas TNI-AL.Pada tahun 1992 KASAL mengeluarkan Surat Keputusannya Nomor : 1212/III/1992 tanggal 23 Maret 1992 yang menetapkan bahwa rumah Dinas TNI-AL Di Wilayah Jakarta Sebagai Rumah Dinas TNI-AL Non Strategis. Pertimbangan KASAL mengeluarkan surat keputusan Nomor : 1212 tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota TNI AL dan umumnya rumah dinas tersebut sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun dan ditempati sebagian besar oleh para Purnawirawan/Warakawuri. Surat keputusan KASAL diatas kemudian dijadikan dasar hukum untuk surat-surat keputusan dan surat-surat serta kebijakan-kebijakan yang lain sebagai pedoman pelaksanaan proses pelepasan/jual beli rumah dinas. Atas surat keputusan diatas, TNI-AL mengeluarkan kebijakan untuk melepaskan rumah-rumah dinas tersebut kepada para anggota yang menghuni rumah dinas tersebut. Selanjutnya kebijakan ini telah diteruskan kepada Menhankam/Pangab. Kakanwil Dirjen Anggaran Jakarta menunjuk suratnya telah menyetujui dan Kepala BPN Jakarta Utara menunjuk suratnya, menyatakan bahwa proses pelepasan rumah dinas tersebut dapat dilaksanakan. Atas kebijakan tersebut, anggota yang menghuni rumah dinas tersebut menyambutnya dengan suka cita dan menindak lanjuti dengan menyiapkan serta melengkapi berkas-berkas yang disyaratkan oleh TNI-AL, diantaranya adalah mengajukan permohonan secara tertulis kepada TNI-AL hingga melakukan pengukuran atas tanah yang dihuninya, yang dilakukan oleh TNI-AL bekerjasama dengan BPN Jakarta Utara dll. Namun hingga diawal tahun 2003 proses pelepasan rumah dinas tersebut belum juga dapat terealisasikan, bahkan dengan surat keputusannya Nomor : Skep/344/II/2003 tanggal 24 Pebruari 2003, Tentang Peraturan Pokok Perumahan Dinas TNI Angkatan Laut, KASAL mengeluarkan kebijakan, bagi anggota yang telah pensiun, selambat-lambatnya tanggal 24 Pebruari 2007 harus sudah meninggalkan rumah dinas yang dihuninya. Dengan surat keputusan diatas, maka perihal proses pelepasan rumah dinas yang sudah dilakukan menjadi tidak jelas. Atas hal-hal diataslah Para Penggugat, Jeffry Binalay dkk menggugat KASAL dkk ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dalam putusannya tanggal 8 Oktober 2007 yang diucapkan tanggal 9 Oktober 2007, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara "Menolak gugatan para Penggugat untuk seluruhnya", dimana pada salah satu pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan ... akan tetapi

berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan telah ternyata bahwa antara para Penggugat dengan para Tergugat tidak ada kesepakatan atau perjanjian jual beli rumah dinas, maka menurut Majelis Hakim para Tergugat .... Dari judul tulisan diatas "Dampak Hukum Dari Janji-Janji Pra Kontrak", dimana kami akan mencoba memberikan sebuah analisa atas perkara diatas dan selanjutnya dibawah ini kami akan memberikan analisa kasus sebagai berikut. Sebagaimana bunyinya Pasal 1320 KUHPerdata, bahwa syahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat, yakni : kata sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal. Dengan terpenuhinya 4 (empat) syarat diatas, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya. Melihat dari uraian kasus diatas, dapat dipastikan bahwa karena belum terjadi (ada) kesepakatan dan perjanjian jual belinya, maka "Perjanjiannya Belum Sah Dan Belum Mengikat". Apalagi jika kita merujuk pada pertimbangan Hakim sebagaimana tersebut diatas ... akan tetapi berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan telah ternyata bahwa antara para Penggugat dengan para Tergugat tidak ada kesepakatan atau perjanjian jual beli rumah dinas, maka menurut Majelis Hakim para Tergugat .... Hal diatas sering sekali terjadi, sebagaimana contoh uraian kasus diatas, dapat dilihat bahwa para pihak masing-masing telah melakukan perbuatan hukum yaitu berupa proses pelepasan rumah dinas, yakni antara lain dari pihak TNI-AL telah melakukan perbuatan hukum antara lain sebagai berikut : 1. Mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1212/III/1992 tanggal 23 Maret 1992 yang menetapkan bahwa rumah Dinas TNI-AL Di Wilayah Jakarta Sebagai Rumah Dinas TNI-AL Non Strategis. 2. Mengeluarkan kebijakan-kebijakan lain yang berhubungan dengan proses pelepasan rumah dinas. 3. Proses tersebut telah diteruskan ke Menhankam/Pangab. 4. Telah mendapat persetujuan dari Kakanwil Dirjen Anggaran Jakarta. 5. Telah mendapat kepastian dari Kepala BPN Jakarta Utara bahwa proses pelepasan rumah dinas dapat dilaksanakan. 6. Telah menyetujui permohonan tertulis dari anggota/penghuni rumah dinas. 7. Telah menerima lampiran berkas permohonan yang disampaikan oleh anggota/para peghuni rumah dinas, sebagai kelengkapan berkas administrasi persyaratan membeli rumah dinas. 8. Bersama-sama BPN Jakarta Utara telah melakukan pengukuran atas bidang tanah. 9. Mengeluarkan surat keputusan Nomor : Skep/344/II/2003 tanggal 24 Pebruari 2003, Tentang Peraturan Pokok Perumahan Dinas TNI Angkatan Laut, KASAL mengeluarkan kebijakan, bagi anggota yang telah pensiun, selambat-lambatnya tanggal 24 Pebruari 2007 harus sudah meninggalkan rumah dinas yang dihuninya. 10. Dengan surat keputusan diatas maka perihal proses pelepasan rumah dinas yang sudah dilakukan menjadi tidak jelas. 11. Dan lain-lain.

Sedangkan perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh pihak anggota/penghuni rumah dinas, antara lain sebagai berikut : 1. Telah mengajukan permohonan secara tertulis kepada TNI-AL untuk dapat membeli rumah dinas, permohonan mana telah disetujui oleh TNI-AL. 2. Telah menyerahkan lampiran berkas permohonan kepada TNI-AL berupa kelengkapan adminstrasi persyaratan membeli rumah dinas. 3. Mengeluarkan biaya untuk pengukuran tanah dan biaya-biaya yang lain sesuai yang disyaratkan. 4. Dan lain-lain. Perbuatan-perbuatan hukum diatas dapat terjadi karena kedua belah pihak saling percaya dan mempunyai itikad baik untuk bersama-sama melakukan proses pelepasan rumah dinas, dimana di satu sisi TNI-AL yang akan melepaskan/menjual rumah dinas dan sedangkan disisi lain, para anggota/penghuni yang akan menerima pelepasan/membeli rumah dinas tersebut. Perbuatan-perbuatan hukum proses pelepasan rumah dinas tersebut yang telah dimulai dari sejak tahun 1992, akhirnya pada tahun 2003 semakin tidak jelas (bahkan terhenti) dengan dikeluarkannya surat keputusan KASAL Nomor : Skep/344/II/2003 tanggal 24 Pebruari 2003, Tentang Peraturan Pokok Perumahan Dinas TNI Angkatan Laut, KASAL mengeluarkan kebijakan, bagi anggota yang telah pensiun, selambat-lambatnya tanggal 24 Pebruari 2007 harus sudah meninggalkan rumah dinas yang dihuninya. Dari kasus diatas, apabila kita uji dengan teori hukum perjanjian dimana mengingat kasus diatas belum terjadi kesepakatan atau belum tercantum dalam pengikatan/perjanjian jual beli antara TNI-AL dengan anggota/penghuni rumah dinas, karena janji-janji tersebut hanyalah merupakan janji-janji pra perjanjian, maka dengan demikian TNI-AL tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. Penilaian hukum perjanjian seperti diatas masih banyak dianut oleh Hakim-Hakim di Indonesia, sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim perkara aquo diatas, bahwa ... akan tetapi berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan telah ternyata bahwa antara para Penggugat dengan para Tergugat tidak ada kesepakatan atau perjanjian jual beli rumah dinas, maka menurut Majelis Hakim para Tergugat .... Pertimbangan Majelis Hakim perkara aquo diatas telah membuktikan bahwa Majelis Hakim perkara aquo masih menganut teori hukum perjanjian pada umumnya, dan masih banyak HakimHakim di Indonesia yang masih menerapkan teori hukum perjanjian sebagaimana diatas.Dengan pertimbangan Majelis Hakim perkara aquo diatas, maka dengan demikian menurut teori hukum perjanjian tersebut bahwa para anggota/penghuni rumah dinas tidak dapat meminta/menuntut TNI-AL untuk memenuhi janji-janjinya atau bahkan dimintakan ganti rugi. Dari pertimbangan dan putusan Majelis Hakim sebagaimana perkara aquo diatas dan putusanputusan perkara pada umumnya yang pertimbangannya hanya didasarkan pada penekanan pentingnya adanya suatu kepastian hukum dimana fungsi utamanya suatu perjanjian adalah untuk memberikan kepastian tentang mengikatnya suatu perjanjian antara para pihak yang

membuatnya.Dengan kata lain bahwa sepanjang belum ditandatanganinya kesepakatan/perjanjian (termasuk juga adanya pembatalan), maka janji-janji pra kontrak sama sekali tidak berdampak hukum. Menurut pandangan kami, pertimbangan hukum Majelis Hakim sebagaimana perkara aquo diatas, untuk saat ini sudah tidak tepat lagi untuk diterapkan, karena tidak mencerminkan rasa keadilan dan asas itikad baik. Dilihat dari pertimbangan Majelis Hakim perkara aquo diatas, menurut Jack Beatson and Daniel Friedman 1995 dalam bukunya yang berjudul Good Faith and Fault in Contract Law, Oxford: Clarendon Press 1995 (Suharnoko, SH., MLI dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus", 2004, edisi pertama, cetakan ke-3, halaman 2), berpendapat bahwa pandangan hukum perjanjian sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim perkara aquo diatas adalah "teori hukum perjanjian yang klasik" dan pada saat sekarang ini sudah tidak cocok lagi untuk diterapkan karena sudah tidak lagi mencerminkan terpenuhinya rasa keadilan. Menurut "teori hukum perjanjian yang modern" bahwa "asas itikad baik" bukan baru mulai dilaksanakan setelah ditandatangani perjanjian dan pelaksanaan perjanjian, akan tetapi harus sudah dilaksanakan (ada) sejak tahap perundingan (pra perjanjian/kontrak), jadi janji-janji pra perjanjian/kontrak selayaknya mempunyai dampak (akibat) hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut dilanggar/diingkari. Dan teori hukum perjanjian modern lebih cenderung untuk menghapus syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan kepada tercerminnya/terpenuhinya rasa keadilan. Teori hukum perjanjian yang modern yang mengedepankan asas itikad baik bahwa pelaksanaan asas itikad baik bukan baru mulai dilaksanakan setelah ditandatangani perjanjian dan pelaksanaan perjanjian, akan tetapi harus sudah dilaksanakan (ada) sejak tahap perundingan (pra perjanjian/kontrak). Teori hukum perjanjian yang modern ini sudah diberlakukan di negara-negara yang menganut sistim hukum "Civil Law" seperti Perancis, Belanda dan juga Jerman.Kita ketahui bersama bahwa Code Civil Perancis mempengaruhi Burgelijk Wetboek Belanda dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi maka Burgelijk Wetboek Belanda diadopsi dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia. Pada asas hukum "kebebasan berkontrak" yang tercantum didalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut : "Semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". dan pada ayat (3) nya mensyaratkan bahwa : "Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik". Menurut teori perjanjian yang klasik sebagaimana juga contoh kasus diatas dan jika Pasal 1338

ayat (3) KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata, bahwa "asas itikad baik" dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi "syarat hal tertentu", maka dengan demikian sebagaimana kasus diatas, mengingat perjanjiannya belum memenuhi syarat hal tertentu, oleh karenanya janji-janji pra kontrak sama sekali tidak berdampak hukum. Akibatnya teori perjanjian yang klasik ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra perjanjian/kontrak atau pada tahap perundingan. Sebaliknya menurut teori perjanjian yang modern bahwa pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra perjanjian/kontrak atau pada tahap perundingan, hak-haknya juga patut untuk dilindungi, sehingga janji-janji pra perjanjian/kontrak akan berdampak hukum bagi yang melanggarnya. Dalam perkembangan teori hukum perjanjian yang modern ini, dimana asas itikad baik harus sudah ada sejak pada tahap pra perjanjian/kontrak atau tahap perundingan, Negeri Belanda sudah mengakui dan memberlakukan teori hukum perjanjian yang modern ini sejak tahun 1982 (Vide Arrest Hoge Raad Tanggal 18 Juni 1982). Indonesia sendiri pada dasarnya telah memberlakukan teori modern ini, yakni dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana secara implisit menurut Pasal 9 ayat (1) bahwa : "Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, ...". dan selanjutnya pada Pasal 62 ayat (1) disebutkan bahwa :\ "... yang melanggar ketentuan ..., Pasal 9, ... dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah)". Dari Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen ini, dapat disimpulkan bahwa asas itikad baik harus sudah ada sejak pra perjanjian/kontrak dan janji-janji pra kontrak/perjanjian akan berdampak hukum. Dengan demikian asas itikad baik yang baru diterapkan setelah perjanjian ditandatangani sebagaimana ketentuan yang tercantum didalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3) , untuk saat ini penerapannya sudah tidak sesuai lagi karena seharusnya asas itikad baik sudah harus diterapkan sejak saat perundingan atau pra kontrak. Pada negara-negara yang menganut sistim hukum "Common Law" seperti Amerika dan Inggris, juga telah melakukan pencegahan agar seseorang tidak menarik kembali janjinya, dengan teori hukum yang dikenal dengan istilah hukum "doktrin promissory estoppel". Menurut Paul Latimer dalam bukunya yang berjudul Australian Business Law, Sydney, CCH Australian Limited, 1998 (Suharnoko, SH., MLI dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus", 2004, edisi pertama, cetakan ke-3, halaman 11), bahwa teori hukum "doktrin promissory estoppel" adalah suatu doktrin hukum yang mencegah seseorang (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji (promisee) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan

atau tidak berbuat sesuatu, sehingga dia (promisee) akan menderita kerugian jika (promisor) yaitu pihak yang memberi janji diperkenankan untuk menarik janjinya. Dari apa yang telah diuraikan diatas, karena di Indonesia, selain Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, belum ada pengaturan yang khusus mengenai "dampak hukum dari janji-janji pra kontrak", sehingga kekosongan hukum ini diharapkan dapat diisi dari pertimbangan-pertimbangan dan putusan-putusan pengadilan, Pengadilan/Hakim didalam memeriksa perkara dapat menggunakan metode penafsiran untuk dapat mengisi kekosongan hukum. Rekan Najib menurut saya asas itikad baik hanya bisa dilaksanakan kalau perjanjian sudah terjadi, jika pra kontrak/pra perjanjian, belumlah dapat seseorang dibebani tanggung jawab untuk melaksanakan itikad baik. Saya lebih cenderung untuk menggunakan kepatutan untuk hal-hal yang terjadi sebelum adanya/terjadinya kontrak. Disini akan tampak benang merah antara itikad baik dan kepatutan. Selamat merenungkan. Saya sangat menghargai dan menghormati pendapat rekan Jusuf Patrick, terima kasih. Kesepakatan menurut saya sudah tidak dapat lagi menjadi pedoman, karena pada dasarnya secara filosofis manusia dipegang omongannya. Bagaimana di Indonesia? Menurut saya, sepakat tersebut harus dilihat dari "Sejauh mana ada perbuatan yang dilakukan hingga dianggap telah setuju untuk melaksanakan isi kesepakatan/perjanjian" sehingga secara langsung dapat dilihat bahwa dia setuju. Lupa dengan teori lahirnya kesepakatan? Coba dilihat lagi. Mengenai UU Perlindungan konsumen saya tidak setuju itu dianggap acuan, karena personelnya adalah pelaku usaha dan konsumen akhir yang kedudukannya tidak seimbang, lagipula pembuat UU memang memiliki tujuan untuk membela konsumen. Sedangkan dalam kasus diatas, kedudukannya seimbang, dan bukan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi harus dilihat lagi filosofis pembuatan UU dalam Legal drafting, termasuk rancangan akademik UU sebelum dibahas di DPR. Kasus diatas, kenapa tidak dimasukkan dalam PTUN????? tanggungjawab seorang pejabat dalam mengamankan aset negara, dan berusaha memberikan keadilan kepada bawahannya yang bertugas mengapdikan diri kepada negara harus berbuat 100% dengan menerima apa adanya. seseorang memutuskan menjadi apdi negara semisal TNI atau aparatur negara. seharusnya sudah sadar betul apa yang harus dilakukannya nanti. termasuk nyawa mereka adalah milik negara, ini sudah menjadi kontrak hidup matinya orang yang telah memilih menjadi abdi negara.

sebaiknyalah urusan aset negara dikembalikan kepada negara, dan dapat diestafetkan kepada generasi abdi negara yang lainnya. bukan untuk berusaha memiliki, walupun dengan dalih sejarah perjuangan dan sebagainya. kita tahu betapa besar perjuangan Jendral Sudirman waktu itu, dan sekarang tidak ada penguasaan tanah atau harta benda seperti permintaan kasus sekarang ini. jadilah manusia yang bijak, tidak plin plan, dan mau berkorban bagi negara. bukannya mengambil kesempatan yang sebenarnya bukan hak miliknya. maknya kita kaum muda, berusaha menabung dan berfikir mewujudkan impian, baik ingin punya rumah, mobil dan kekayaan lainnya dari sekarang.., jangan terpikir dikala kita pensiun.. akan susah kita gapai.. Terima kasih atas tanggapan Mas Izuko, sepertinya pendapat kita hampir sama mengenai kesepakatan. Bisa saja sih di PTUN kan, bukan ke PTUN lo (karena memang bukan wewenangnya), tapi maksudnya diajukan ke Pengadilan Militer (Gugatan Mengenai Tata Usaha Militer). Terima kasih Mas Arif telah berkunjung ke Blog Saya dan telah memberikan pendapatnya. Tulisan disini merupakan sebuah analisa hukum dari Saya, mudahmudahan bisa jadi bahan materi hukum untuk didiskusikan.

Anda mungkin juga menyukai