Anda di halaman 1dari 6

TRAGEDI MINAMATA

Tragedi Minamata adalah salah satu pencemaran lingkungan yang terbesar yang pernah terjadi di dunia. Kasus ini bahkan telah memakan banyak korban jiwa. Peristiwa ini disebut tragedi Minamata karena semuanya terjadi di daerah Teluk Minamata. Teluk ini merupakan teluk terkecil dengan luas hanya 2.092.000 m2 di Laut Shiranui di pantai barat Pulau Kyushu. Desa Minamata sendiri resmi dikenal pada tahu 1889. Desa ini terletak di selatan Kumamoto prefektur dan berbatasan langsung dengan Kagoshima prefektur. Seiring dengan berjalannya waktu akhirnya desa ini berkembang menjadi sebuah kota. Pada pertengahan tahun 1908, perusahan Sogi Electric dan Nippom Carbide bergabung membentuk Nippon Nitrogen Fertilizer (cikal bakal PT Chisso) dan beroperasi pertama kali pada tahun 1932 dengan menggunakan asetaldehid dan di tahun 1941 memproduksi vinyl chloride. Pencemaran ini terjadi akibat adanya limbah logam berat Hg dari PT Chisso yang memproduksi bahan pewarna kuku hingga bahan peledak. PT Chisso sendiri telah berdiri tahun 1908 dengan motto mendahulukan keuntungan dan dengan dukungan militer industri merekapun dengan mudah merajai industri kimia dan membuang limbahnya sebanyak kurang lebih 200-600 ton Hg dari tahun 1932-1968, bahkan limbah yang mereka hasilkan juga berupa mangan, thalium, dan selenium. Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir Minamata, yaitu propinsi Kumamoto dan Kagoshima menjadi korban merkuripun yang paling banyak menjadi korban setelah mengkonsumsi hasil tangkapan ikan yang telah terkontaminasi Methyl-Hg. Penyakit yang timbul kemudian dinamakan penyakit Minamata sesuai tempat asalnya oleh Dr. Hosokawa. Penyakit Minamata pertama kali ditemukan di Kumamoto pada tahun 1956 saat ada laporan kasus gadis berusia 5 tahun yang menderita kerusakan otak, gangguan bicara dan hilang keseimbangannya yang mengakibatkan kelumpuhan. Dari peristiwa ini sekitar 17.000 lebih penduduk di sekitar teluk Minamatapun mengalami keracunan. Dari 2.262 penderita mengalami keracunan, ada 1.246 yang telah meninggal dunia. Namun jumlah korban ini tidak bisa ditentukan lebih pasti, sebab keracunan seperti ini akan terjadi turun temurun. Pemerintah Jepang saat itu mengklaim bahwa penderita keracunan logam Hg ini sebanyak 12.615 orang dan 10.353 orang telah mendapat santunan dari PT Chisso.

Terjadinya perubahan lingkungan di sekitar Teluk Minamata tentunya menimbulakan berbagai dampak pada daerah teluk Minamata, seperti aspek kesehatan, estetika, dan makhluk hidup lain yang ada di sana. Berikut adalah penjelasan yang lebih lanjut : 1. Dampak terhadap kesehatan manusia Adapun gejala-gejala keracunan logam berat Hg ini adalah kesulitan tidur dan alat geraknyapun terasa dingin. Kemudian akan terjadi gangguan penciuman, keracunan, gagap bicara dan hilang kesadarannya.

Efek merkuri ini tentunya berkaitan dengan sistem saraf yang sangat sensitif pada semua bentuk merkuri. Gejala yang ditimbulkannya sebagai berikut :
o

Gangguan

saraf

sensoris:

Paraesthesia,

kepekaan

menurun

dan

sulit

menggerakkan jari tangan dan kaki, penglihatan menyempit, daya pendengaran menurun, serta rasa nyeri pada lengan dan paha.
o

Gangguan saraf motorik: lemah, sulit berdiri, mudah jatuh, ataksia, tremor, gerakan lambat, dan sulit berbicara.

Gangguan lain: gangguan mental, sakit kepala. Tremor pada otot merupakan gejala awal dari toksisitas merkuri tersebut.

Uap logam merkuri itu sendiri lebih berbahaya daripada bentuk merkuri yang lain sebab dalam keadaan tersebut jumlah yang bisa masuk ke otakpun lebih banyak. Metil merkuri yang masuk tubuh manusia akan menyerang sistem saraf pusat, akibatnya terjadi degenerasi sel-sel syaraf pada otak kecil, sarung selaput syaraf dan bagian otak yang mengatur penglihatan. Penderitanya mengalami kesemutan (paresthesia), gangguan bicara, hilang daya ingat, ataxia dan kelainan syaraf lainnya. Bahkan jika ada wanita hamil yang terkontaminasi, akan membahayakan bayinya juga (janinnya). Bisa dilihat kalau bayi-bayi yang lahir di era tersebut rata-rata mengalami penurunan intelegensia, cacat fisik, atau mutasi genetik.

Menurut WHO, batasan aman kadar merkurinya hanya antara lima sampai 10 mikrogram per liter darah, sedangkan para korban keracunan itu sendiri memiliki kadar merkuri antara 200 sampai 500 mikrogram per liter darahnya. Bahkan yang lebih menarik lagi, menurut dr. Masazumi Harada pada tahun 1968, timbunan logam merkuri pada ibu hamil diturunkan melalui plasenta ke bayinya dan kasus diturunkannya kadar merkuri dari ibu ke anak, ternyata hanya terjadi di kawasan Minamata.

2. Dampak terhadap makhluk hidup sekitar Dengan tercemarnya air di teluk Minamata akan merusak biota yang ada di sana. Bencana ini mulai terlihat sejak tahun 1949 ketika hasil tangkapan yang semakin berkurang dan ditandai dengan punahnya jenis karang yang menjadi habitat ikan andalan nelayan Minamata.

Selain itu juga pada tahun 1953 beberapa ekor kucing dan hewan lain yang memakan ikan dari teluk Minamata mengalami kejang-kejang dan beberapa saat kemudian mati.

Setelah Mei 1956 ada laporan resmi tentang dyskinesia (kesulitan bergerak) dan kejangkejang yang dialami seorang gadis di sekitar Minamata, akhirnya diadakan penelitian untuk mencari penyebabnya. Hasilnya adalah penyakit aneh ini disebabkan oleh ikan dan moluska yang berasal dari teluk Minamata. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh tim kementrian Jepang pada tahun 1957 untuk memperkuat hasil penelitian ini, tetapi belum ada langkah untuk mengatasinya. Pada tahun 1957, Koperasi Perikanan Minamatapun meminta PT Chisso untuk menghentikan pembuangan limbahnya. Namun hal ini tidak digubris karena memang pemerintah Kumamoto dan Kementrian Perdagangan dan Industri tetap mengizinkan mereka untuk beroperasi dan membuang limbah ke teluk Minamata. Pada tahun 1958, Chisso mengalihakan limbahnya ke Laut Shiranui melewati kolam sedimentasi sungai Minamata dan akibatnya bukan hanya penduduk di Minamata yang mengalami gejala aneh tetapi semua masyarakat yang tinggal di pesisir Laut Shiranui. Pada tahun 1959, tim peneliti dari Universitas Kumamoto melaporkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Kumamoto akhirnya diketahuilah kalau penyebab penyakit Minamata adalah merkuri organik. Namun saat mengetahui hasil ini, Kementrian Perdagangan dan Industri dan PT Chisso berusaha menutup-nutupinya secara politik. Pada tahun 1965, penyakit yang sama muncul lagi di prefektur Niigata. Pemerintahpun kembali dikritik karena telah mengabaikan bukti pencemaran yang ada. Akhirnya di tahun 1968 PT Chisso menghentikan produksinya karena teknologinya tidak sesuai dengan zaman lagi. Asetaldehidpun diganti dengan teknologi petroleum (minyak), namun limbah Hg masih tetap dibuang ke laut. Pada saat itu Sungai Agano yang ada di Niigata dicemari oleh perusahaan Showa Denko. Akhirnya bertambah banyaklah kasus pencemaran yang terjadi di Jepang saat itu.

Barulah di tahun 1968, pemerintah Jepang melalui Kementrian Kesehatannya mengakui kalau metil merkuri yang mencemari teluk Minamata disebabkan oleh perusahaan Chisso dari teknologi produksi asetaldehid. Hal ini tidak menyenangkan orang banyak, sebab pemerintah mengeluarkan statement ini saat teknologi Chisso sudah diganti. Pada tahun 1969, setelah produksi perusahaannya ditutup, pemerintahpun menjadikan Minamata sebagai Perlindungan Laut (Marine Protected Area). Limbah memang tidak dibuang lagi ke sana, tetapi penelitian untuk di daerah tersebut dipersulit. Pro kontrapun terus terjadi bahkan sampai penduduk di sanapun menuntut pemerintahnya sendiri ke pengadilan. Usaha-usahapun mulai dilakukan untuk mencegah penyebaran bahan berbahaya ini pada tahun 1970. Usaha yang dilakukan mencakup 5 kategori, yaitu : 1. Kegiatan penelitian 2. Peraturan dan administrasi 3. Pengobatan terhadap korban 4. Pemantauan merkuri dan zat berbahaya lainnya 5. Usaha perbaikan lingkungan Selain itu juga terdapat larangan untuk menangkap ikan di teluk tersebut. Program pembersihan sedimen dengan teknik remediasi dilakukan pada tahun 1974-1990. Saat itu jumlah limbah merkurinya mencapai 70-150 ton. Hasil sedimentasinya dikeruk dan diletakkan pada lokasi reklamasi dengan pompa khusus untuk mencegah kekeruhan saat dilakukan pengerukan. Dari sini sedimentasinya diisolasi dengan ditutup kembali dengan tanah yang tidak terkontaminasi. Walaupun teknik ini mahal, namun teknik ini dinilai sangat efektif menurunkan kontaminasi dari 25 ppm pada tahun 1977 menjadi 4,6 ppm pada tahun 1990. Teknik lain yang dilakukan adalah fitoremediasi, yakni dengan menggunakan tumbuhan penyerap metil-merkuri. Harganya tentu saja lebih murah dan polutannya mudah dikumpulkan kembali, tetapi prosesnya relatf lambat, belum cukup teruji, dan menyebabkan gangguan pada ekosistem Usaha berikutnya adalah melakukan pemasangan jaring sebagai batas mengelilingi mulut teluk untuk menangkap ikan. Teknik ini juga cukup efektif namun masih bisa mengganggu ekologi pada ekosistem. Akhirnya pemerintah membuka kembali teluk Minamata pada tahun 1997 setelah dinyatakan tingkat merkuri sudah mencapai batas aman. Promosi besar-besaran telah dilakukan, namun tetap saja masyarakat Jepang sudah tidak mau lagi mengkonsumsi ikan yang berasal dari Minamata.

Sekarang standar yang ditetapkan badan-badan internasional untuk merkuri adalah sebagai berikut: di air minum 2 ppb (2 gr dalam 1.000.000.000 (satu milyar gr air atau kira-kira satu juta liter)). Di makanan laut 1 ppm (1 gram tiap 1 juta gram) atau satu gram dalam 10 ton makanan. Di udara 0,1 mg (miligram) metilmerkuri setiap 1 m3, 0,05 mg/m3 logam merkuri untuk orang-orang yang bekerja 40 jam seminggu (8 jam sehari). Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikanlah museum dan memorial sebagai sarana untuk mengingatkan manusia bagaimana bencana tersebut bisa terjadi. Monitoringpun dilakukan setiap tahunnya oleh universitas di Jepang terutama di sekitar laut Shiranui. Penelitian tahun 2003 menyebutkan bahwa masih terdapat merkuri dalam rantai makanan biota laut di teluk Minamata, walaupun berada dibawah ambang batas namun masih mengkhawatirkan. Jadi, ancaman Minamata memang belumlah berakhir. Adapun sisi baik dari peristiwa ini adalah masyarakat Minamata dan kalangan industri Jepang dapat memetik hikmah dari pencemaran lingkungan. Peraturanpun disusun secara konsisten dan pemulihan lingkungan masih terus dilakukan. Segala jenis limbahpun diolah secara sungguh-sugguh. Kini masyarakat kota Minamata sangat terkenal dengan kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan. Para stakeholder kota Minamata, tidak mau mengulang sejarah buruk yang pernah terjadi. Kota ini secara terus menerus meningkatkan upaya pengelolaan lingkungan. Salah satu keberhasilan kota Minamata adalah dalam pengelolaan sampah yang melibatkan ibu rumahtangga. Yang luar biasa adalah bahwa saat ini masyarakat Minamata telah berhasil melakukan pemilahan sampah menjadi 22 jenis dengan kualitas yang baik. Masing-masing jenis sampah dikelola sesuai dengan pengolahan lanjutan mulai dari pengomposan, daur ulang dan pengolahan lainnya. Pemilahan menjadi sejumlah itu, termasuk prestasi yang luar biasa. Selain itu, kota Minamata saat ini mengkampanyekan pengurangan pemakaian kantong plastik dengan melibatkan ibu-ibu rumahtangga. Para ibu rumah tangga mendatangi supermarket untuk melakukan kampanye pengurangan kantong plastik. Para ibu rumah tangga membentuk kelompok-kelompok dan mereka melakukan diskusi dan seminar untuk mengurangi kantong plastik. Untuk meningkatkan upaya penglolaan lingkungan di kota Minamata berbagai upaya dilakukan. Masyarakat dan pemerintah memberikan penghargaan kepada sejumlah orang yang secara nyata melakukan upaya pengelolaan lingkungan. Sebanyak 28 orang (dari 28.400 total penduduk kota) diberi penghargaan sebagai Environmental Master, mereka adalah pribadi-

pribadi yang secara sungguh-sungguh mendedikasikan dirinya untuk melakukan tindakan nyata meningkatkan kualitas lingkungan dan mengajak masyarakat ikut bersama mereka menjadi kader lingkungan. Sejarah kemudian mencatat, bahwa Minamata yang semula tercemar berat, kini menjadi kota kualitas lingungannya baik, kota yang nyaman dan aman untuk ditinggali.

bagian komentar aku belum buat ya

Sumber
1. http://lovesunset90.blogspot.com/2010/02/merkuri-dan-tragedi-minamata_5980.html pada tanggal 17 September pukul 08.30 2. http://ilmatuhyaien.blogdetik.com/2010/10/30/paper-ilmu-lingkungan/ pada tanggal 17 September pukul 08.30 3. http://pkmsungaiayak.wordpress.com/2009/06/21/tragedi-minamata/ pada tanggal 17 September pukul 08.30 4. http://www.togarsilaban.com/2009/02/20/pelajaran-dari-minamata/ pada tanggal 17 September pukul 08.30

Anda mungkin juga menyukai