Anda di halaman 1dari 3

A. Definisi Tarjih. Secara etimologi tarjih berarti menguatkan.

Secara difinisi adalah : adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa qorinah yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila dua dalil yang bertentangan sulit dilacak sejarahnya oleh seorang mujtahid, maka mujtahid tersebut harus me-rajih-kan salah satu dalil ketika memungkinkan. B. Cara Penarjihan. 1) Tarjih baina al-nushush a. Untuk tarjih yang dilihat dari sisi sanad, maka ada beberapa perkara yang harus diperhatikan, antara lain: Kembali kepada perawi, yaitu perawi yang langsung mendengar dari Rasulullah lebih diunggulkan dari perawi yang tidak langsung mendengar dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam. Contoh : Hadits yang diriwayatkan oleh Aby Rafi' "Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam menikahi Mainmunah dalam kondisi halal ( tidak berihram), sedangkan saya bermusafir mengikuti mereka berdua." (HR. Ahmad dan Tirmidzi) Hadits dari Ibnu 'Abbas, ia berkata : "Sesungguhnya Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wasalam menikahi Maimunah dalam kondisi berihram." (HR. Bukhori, Muslim dan Ashabus Sunan) Dari dua hadits tersebut diatas terjadi ta'arudl, maka harus ditarjih. Dan sesuai cara yang telah disebutkan, maka hadits Rafi' lebih dikuatkan daripada hadits riwayat Ibnu 'Abbas, karena Rafi' ketika meriwayatkan hadits itu bersama-sama dengan Rasulullah dan Maimunah. Kembali pada perawi yang lebih faqih dan lebih masyhur daripada perawi yang kefaqihannya/kedlobitannya masih diperselisihkan. Kembali pada hakekat periwayatan, yaitu periwayatan hadits mutawatir lebih didahulukan daripada hadits ahad, dan hadits musnad lebih didahulukan daripada hadits mursal, dan seterusnya. Kembali pada waktu periwayatan, maka didahulukan perawi yang meriwayatkan pada waktu baligh dari perawi yang meriwayatkan hadits pada waktu belum baligh. b. Tarjih dari sisi matan Yang dimaksud matan disini adalah isi atau kandungan dari hadits, Al Qur'an atau Ijma', baik yang berupa amr (perintah), larangan, 'am dan khosh serta yang lainnya. Larangan lebih didahulukan daripada perintah, karena menolak mafsadah lebih diutamakan daripada mendatangkan mashlahah, berdasarkan kaidah : "Menolak mafsadah lebih diutamakan daripada menarik mashlahah." Jika dalil satunya memerintahkan dan yang lain memubahkan maka didahulukan yang dalil yang memerintahkan untuk bisa lebih berhati-hati. Dan jika dalil satunya mengandung lafadh hakiki, dan yang lain mengandung lafadh majazy (arti kiasan) maka didahulukan dalil yang mengandung lafadh hakiki, karena lafadh hakiki tidak memerlukan qorinah (indikasi) nash yang lain. Bila ada dalil yang mengandung lafadh larangan dan yang lain mengandung pembolehan, maka didahulukan dalil yang mengandung larangan supaya bisa lebih berhati-hati. Ucapan lebih didahulukan dari pekerjaan. "Ucapan lebih didahulukan atas aktivitas." c. Tarjih dari sisi hukum atau Kandungan Teks. Adapun cara untuk mentarjih dari sisi hukum ini ada beberapa macam, antara lain :

Mendahulukan dalil yang menunjukkan hukum yang meringankan daripada dalil yang menunjukkan hukum yang memberatkan. Berdasarkan firman Allah, dalam QS. Al Baqarah ayat 185 : "Allah menghendaki atas kalian kemudahan, dan tidak menghendaki atas kalian kesusahan." Demikian juga dalam QS. Al Hajj : 78 "Dan tidak dijadikan pada diri kalian dalam agama (Islam) suatu beban." Mendahulukan dalil yang menunjukkan hukum haram daripada dalil yang menunjukkan hukum mubah, berdasarkan hadits Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam. "Tidak berkumpul halal dan haram kecuali yang haram mengalahkan yang halal." Mendahulukan dalil yang menunjukkan hukum wajib daripada dalil yang menunjukkan hukum mubah, karena meninggalkan yang wajib adalah dosa, sedangkan meninggalkan yang mubah adalah tidak apa-apa, maka menjauhi dosa lebih diutamakan daripada aktivitas yang tidak menyebabkan dosa. d. Penarjihan dengan Menggunakan Faktor (Dalil) Luar Nash. Mendahulukan salah satu dalil yang mnedapatkan dukungan dalil lain, al-Quran, sunnah, ijma, qiyas maupun logika. Mendahulukan salah satu dalil yang sesuai dengan amalan penduduk Madinah. Karena mereka lebih tahu persoalan nash naqli turun dan penafsirannya. Dikuatkan nash yang menyebutkan illat hukumnya dari nash yang tidak menyebutkan illatnya. Menguatkan dalil yang kandungannya menuntut sikap waspada. Mendahulukan nash yang disertai dengan perkataan atau perbuatan dari perawinya. 2) Tarjih baina al-Aqyisah. Imam al-Syaukani mengemukakan 17 pendapat pentarjiaha berkaitan dengan hal ini. a. Dari Segi Hukum Asal. Menguatkan qiyas karena bersifat qathi daripada yang zhanni. Dikuatkan qiyas yang illatnya didukung oleh dalil khusus. Dikuatkan qiyas yang sesuai dengna kaidah-kaidah qiyas. b. Dari Segi Hukum furu (cabang). Dikuatkan hukum furu yang illatnya diketahui secara qathi. Dikuatakan hukum furu yang datang kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum furunya lebih dahulu dari hukum asalnya. Dikuatkan hukum furu yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum furu yang hanya didasarkan kepada logika secara tafshili (rinci). c. Dari Segi Illat. Dari segi cara penetapan Illat. Menguatkan illat yang ditetapakan melalui pengujian, analisis dan pemilihan illat yang dilakukan mujtahid. Menguatkan illat yang disyaratkan oleh nash dari illat yang ditetapkan melalui munasaba. Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau illat yang disepakati dari illat yang tidak disebutkan dalam nash. Dari Sifat Illat. Menguatkan illat yang dapat diukur. Menguatkan yang sifatnya berkembang. Menguatkan yang berkaitan dengan kemaslahatan.

Menguatkan illat yang secara jelas melatarbelakangi suatu hukum.

Anda mungkin juga menyukai