Anda di halaman 1dari 6

Analisis Cairan Serebrospinal Oleh Davrina Rianda, 0906507936 Cairan serebrospinal dapat digunakan untuk diagnosis berbagai penyakit.

Untuk melakukan analisis cairan serebrospinal, biasanya digunakan pungsi lumbal. Evaluasi cairan serebrospinal yang baik bergantung pada:1 y Uji yang tepat y Rentang hasil yang sesuai untuk umur pasien y Limitasi tes. Kadar protein, tekanan pembukaan, dan rasio glukosa CSF ke serum bervariasi bergantung usia. Xantokromia umumnya disebabkan karena terdapatnya darah. Terdapatnya darah dapat menjadi faktor prediksi untuk pendarahan subaraknoid. Metode tiga-tabung, yang umumnya digunakan untuk mengeksklusi pendarahan sistem saraf pusat akibat trauma tekanan, tidak disarankan. Sel darah merah pada cairan serebrospinal yang disebabkan karena trauma atau pendarahan subaraknoid dapat meningkatkan jumlah sel darah putih dan kadar protein, sehingga dapat menjadi bias dalam diagnosis. Ketidakpastian diagnosis dapat dikurangi dengan menggunakan formula yang tepat. Hitung jenis sel darah putih dapat meragukan pada awal perjalanan meningitis, karena lebih dari 10 persen kasus dengan infeksi bakteri akan memiliki predominansi limfositik inisial dan meningitis viral didominasi oleh neutrofil. Kultur adalah gold standar untuk menentukan organisme kausatif pada meningitis. Akan tetapi, reaksi polimerisasi merupakan uji yang lebih sensitif dan cepat pada beberapa kondisi. Aglutinasi lateks, dengan sensitivitas yang lebih tinggi namun spesifisitas lebih rendah, dapat berperan dalam mengatasi meningitis. Untuk membuktikan infeksi herpetik, kriptokokkal, dan tuberkular, teknik pewarnaan mungkin dapat dibutuhkan. Pungsi lumbal umum dilakukan karena cairan serebrospinal merupakan suatu nilai diagnostik untuk sistem saraf pusat. Umumnya, tes ini dilakukan dengan memasukkan unsur kadar protein dan glukosa, hitung jenis dan sel, pemeriksaan mikroskopik, dan kultur. Tes tambahan berupa tekanan pembukaan, warna supernatan, aglutinasi lateks, dan PCR (polymerase chain reaction). Tekanan Pembukaan1,2 Untuk menghitung tekanan pembukaan cairan serebrospinal, pasien harus berada dalam posisi dekubitus lateral, dengan tungkai dan leher berada dalam posisi netral. Meniskus akan berfluktuasi antara 2 hingga 5 mm dengan denyut pasien dan antara 4 hingga 10 mm dengan respirasi. Pasien disarankan agar tidak meregang, karena regangan dapat meningkatkan tekanan pembukaan dan diingarkan agar tidak hiperventilasi karena hiperventilasi dapat menurunkan tekanan pembukaan. Tekanan pembukaan yang normal berkisar antara 10 hingga 100 mm H2O pada anak-anak, 60 hingga 200 mm H2O setelah menginjak usia 8 tahun, dan mencapai 250 mm H2O pada pasien yang obesitas. Hipotensi intrakranial didefinisikan sebagai tekanan pembukaan di bawah 60 mm H2O. Hal ini jarang ditemukan kecuali pada pasien dengan riwatar trauma yang menyebabkan adanya kebocoran cairan serebrospinal atau pada pasien yang baru saja menjalani pungsi lumbal. Tekanan pembukaan di atas 250 mm H2O merupakan diagnosis dari hipertensi intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial muncul pada berbagai keadaan patologis, sepertimeningitis, pendarahan intrakranial, dan tumor. Hipertensi intrakranial idiopatik merupakan kondisi yang sering ditemukan pada wanita obesitas pada usia subur mereka.

Ketika ditemukan peningkatan tekanan pembukaan, cairan serebrospinal sebaiknya dibuang secara perlahan dan tekanannya dimonitor selama prosedur tersebut. Ketika tekanannnya mencapai 50% dari tekanan pembukaan, maka pembuangan cairan serebrospinal harus dihentikan. Warna Supernatan1,2 Normalnya, warna cairan serebrospinal jernih. Akan tetapi, jika jumlah sel darah putih mencapai 200 per mm3 atau sel darah merah mencapai 400 per mm3 akan menyebabkan cairan serebrospinal keruh. Xantokromia adalah keadaan cairan serebrospinal menjadi kuning, jingga, atau merah muda akibat lisisnya eritrosit, yang menyebabkan pecahnya hemoglobin menjadi oksihemoglobin, methemoglobin, dan bilirubin. Perubahan warna ini mulai tampak saat sel darah merah terdapat pada cairan spinal dalam jangka waktu 2 jam dan akan tampak hingga 2 sampai 4 minggu. Xantokromia muncul pada lebih dari 90 persen pasien pendarahan subaraknoid dalam waktu 12 jam. Keadaan ini muncul pula pada pasien dengan kadar bilirubin antara 10 hingga 15 mg per dL. Kadar protein cairan serebrospinal minimal 150 mg per dL biasa ditemukan pada kondisi inflamasi dan infeksi, atau sebagai hasil trauma yang mengandung lebih dari 100.000 sel darah merah per mm3 juga akan menghasilkan xantokromia. Cairan serebrospinal pada bayi yang baru lahir sering xantokromik akibat peningkatan bilirubin dan kadar protein pada kelompok usia ini. Tabel 1 Warna Supernatan Cairan Serebrospinal dan Kondisi yang Diasosiasikan1 Color of CSF supernatant Yellow

Orange Pink Green Brown

Conditions or causes Blood breakdown products Hyperbilirubinemia CSF protein 150 mg per dL (1.5 g per L) >100,000 red blood cells per mm3 Blood breakdown products High carotenoid ingestion Blood breakdown products Hyperbilirubinemia Purulent CSF Meningeal melanomatosis

Hitung Sel1,3 Cairan serebrospinal yang normal dapat mengandung hingga 5 sel darah putih per mm3 pada dewasa dan 20 sel darah putih per mm3 pada bayi. Delapan puluh tujuh persen pasien dengan meningitis bakterial memiliki jumlah sel darah putih lebih dari 1000 per mm3, dengan 99 persen lebih dari 100 mm3. Jumlah sel darah putih kurang dari 100 sel per mm3 biasa ditemukan pada pasien dengan meningitis viral. Jumlah hitung sel darah putih yang meningkat juga muncul setelah terjadinya kejang, pada pendarahan intraserebral dengan malignansi, dan pada berbagai kondisi inflamasi. Tabel 2 Temuan Cairan Serebrospinal Tipikal pada Berbagai Tipe Meningitis1

Test Opening pressure White blood cell count Cell differential Protein CSF-to-serum glucose ratio

Bacterial Elevated 1,000 per mm3 Predominance of PMNs* Mild to marked elevation Normal to marked decrease

Viral Usually normal <100 per mm3 Predominance of lymphocytes Normal to elevated Usually normal

Fungal Variable Variable Predominance of lymphocytes Elevated Low

Tubercular Variable Variable Predominance of lymphocytes Elevated Low

CSF = cerebrospinal fluid; PMNs = polymorphonucleocytes. *Lymphocytosis present 10 percent of the time. PMNs may predominate early in the course. Darah perifer pada cairan serebrospinal paskatrauma akan menyebabkan peningkatan sel darah putih dengan perbandingan satu sel darah putih untuk setiap 500-1000 sel darah merah pada cairan serebrospinal. Faktor koreksi ini akurat selama hitung sel darah putih perifer tidak terlalu tinggi atau rendah. Lesi traumatik umumnya muncul pada 20 persen pungsi lumbal. Umumnya, dilakukan penghitungan sel tiga kali berturut-turut pada tiga tabung cairan serebrospinal. Jika jumlah sel darah merah cenderung konstan, maka dapat diasumsikan bahwa darah yang ditemukan berasal dari pendarahan intrakranial. Jumlah yang semakin menurun diasosiasikan dengan trauma. Akan tetapi, metode tiga tabung ini dapat memunculkan banyak bias sehingga tidak disarankan. Xantokromia merupakan prediktor yang lebih baik untuk pendarahan. Jika trauma muncul dalam 12 jam dari seseorang yang diduga mengalami pendarahan subaraknod, maka dapat dilakukan pengulangan pungsi lumbal agar mendapatkan cairan serebrospinal yang lebih jelas. Hitung Jenis Sel1,3 Jumlah sel darah putih pada cairan serebrospinal dewasa normal mengandung sekitar 70 persen limfosit dan 30 persen monosit. Terkadang, eosinofil atau sel polimorfonuklear soliter ditemukan pada cairan serebrospinal normal. Beberapa sel polimorfonuklear yang ditemukan pada cairan serebrospinal pasien neonatal merupakan hasil normal ditemukan. Mayoritas pasien dengan sindrom Guillain-Barre dapat memiliki 10 atau kurang monosit per mm3 dan minoritas pasien memiliki 11 hingga 50 monosit per mm3. Jumlah yang mencapai 50 monosit per mm3 ditemukan pada 25 persen pasien dengan sklerosis multipel. Hitung jenis sel saja tidak dapat membedakan antara meningitis bakterial dan nonbakterial. Limfositosis terlihat pada infeksi virus, fungi, dan tuberkulosis pada sistem saraf pusat, walaupun predominansi sel polimorfonuklear tampak pada tahap awal infeksi. Cairan serebrospinal pada meningitis bakterial umumnya didominasi oleh kehadiran sel polimorfonuklear. Akan tetapi, lebih dari 10 persen kasus bakterial meningitis akan menunjukkan predominansi limfositik, terutama pada masa awal manifestasi klinis dan saat terdapat jumlah sel darah putih yang lebih rendah dari 1000 sel per mm3. Meningitis eosinofilik didefinisikan sebagai ditemukannya lebih dari 10 eosinofil per mm3

atau ditemukannya lebih dari 10 persen eosinofil pada hitung sel cairan serebrospinal total. Infeksi parasit akan menjadi dugaan yang kuat untuk kondisi ini. Pemeriksaan Mikroskopik1,3 Pewarnaan gram tampak positif pada 60-80 persen kasus bakterial meningitis yang tidak tertangani dan pada 40-60 persen kasus yang tertangani sebagian. Sensitivitas pemeriksaan berkisar dari 90 persen pada meningitis pneumokokkal atau stafilokokkal, hingga kurang dari 50 persen pada meningitis Listeria. Hifa dapat pula ditemukan pada kasus meningitis fungal. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi sensitivitas dari pewarnaan Gram. Teknik laboratorium yang digunakan untuk mengkonsentrasikan dan mewarnai cairan serebrospinal dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan untuk pemeriksaan. Sitosentrifugasi meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi bakteri. Jumlah colony-forming units (CFU) yang besar per mm3 meningkatkan kemunkinan hasil positif. Pewarnaan dapat bernilai positif pada 25 persen kasus jika ditemukan kurang dari 100.000 CFU per mm3, dan pada 75 persen kasus jika ditemukan lebih dari 100.000 CFU per mm3. Pengalaman dari petugas laboratorium juga menentukan. Hampir 10 persen pewarnaan Gram inisial mengalami kesalahan pembacaan. Pewarnaan tahan asam dilakukan jika secara klinis, pasien diduga mengalami tuberkulosis. Hanya 37 persen dari pewarnaan inisial yang menghasilkan nilai positif untuk basil tahan asam. Hasl ini dapat meningkat hingga 87 persen jika 4 pewarnaan telah dilakukan. Sensitivitas juga meningkat dengan memeriksa sedimen pada cairan serebrospinal. Pewarnaan lain dapat dilakukan jika terdapat indikasi lainnnya. Kriptokokkus teridentifikasi hampir pada 50% pemeriksaan dengan preparat tinta India. Toksoplasmosis didiagnosis dengan pewarnaan Wright atau Giemsa. Preparat cairan serebrospinal basah sederhana dapat menunjukkan hasil positif pada berbagai infeksi protozoa dan cacing. Kadar Protein1,4 Konsentrasi protein cairan serebrospinal merupakan salah satu indikator paling sensitif terhadap patologi dari sistem saraf pusat. Bayi yang baru lahir dapat memiliki hampir 150 mg per dL protein. Kisaran dewasa adalah 18 hingga 58 mg per dL, yang dicapai pada usia antara 6 sampai 12 bulan. Peningkatan kadar protein cairan serebrospinal ditemukan pada kondisi infeksi, pendarahan intrakranial, sklerosis multipel, sindrom Guillain Barre, keganasan, abnormalitas endokrin, beberapa pengobatan, dan berbagai kondisi inflamasi. Konsentasi protein dapat meningkat palsu dengan kehadiran sel darah merah pada kondisi paskatrauma pembuluh darah kecil. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan substratsi 1 mg per dL protein untuk setiap 1.000 sel darah merah per mm3. Koreksi tersebut hanya akurat jika digunakan tabung yang sama untuk hitung protein dan sel. Tabel 3 Rerata dan Kisaran Protein Cairan Serebrospinal1 Condition Bacterial meningitis Brain tumor Brain abscess Aseptic meningitis Multiple sclerosis Average: mg per dL (g per L) 418 (4.18) 115 (1.15) 69 (0.69) 77 (0.77) 43 (0.43) Range: mg per dL (g per L) 21 to 2220 (0.21 to 22.2) 15 to 1920 (0.15 to 19.2) 16 to 288 (0.16 to 2.88) 11 to 400 (0.11 to 4.0) 13 to 133 (0.13 to 1.33)

Cerebral hemorrhage Epilepsy Acute alcoholism Neurosyphilis

270 (2.7) 31 (0.31) 32 (0.32) 68 (0.68)

19 to 2110 (0.19 to 21.1) 7 to 200 (0.07 to 2.0) 13 to 88 (0.13 to 0.88) 15 to 4200 (0.15 to 42.0)

Kadar protein yang rendah dapat muncul pada kondisi pungsi lumbal berulang atau kebocoran kronik, yaitu keadaan dimana cairan serebrospinal berkurang dalam jumlah yang lebih dari normal. Rendahnya kadar protein juga ditemukan pada anak-anak pada usia antara 6 bulan hingga 2 tahun, pada intoksikasi air akut, dan minoritas pasien dengan hipertensi intrakranial idiopatik. Kadar protein cairan serebrospinal tidak akan turun pada kondisi hipoproteinemia. Kadar Glukosa1,5 Kisaran normal yang benar-benar pasti tidak dapat ditentukan untuk perhitungan glukosa. Sebagai mekanisme umum, glukosa cairan serebrospinal berjumlah dua pertiga dari glukosa serum yang dihitung pada 2 hingga 4 jam sebelumnya pada dewasa. Rasio ini akan menurun seiring dengan meningkatnya kadar glukosa serum. Kadar glukosa pada cairan serebrospinal umumnya tidak berjumlah lebih dari 300 mg per dL. Glukosa pada cairan serebrospinal neonatus sangat bervariasi, dan rasio cairan serebrospinal dibanding serum lebih tinggi dibandingkan pada dewasa. Infeksi sistem sarah pusat dapat menyebabkan penurunan kadar glukosa cairan serebrospinal, walaupun kadar glukosa umumnya normal pada infeksi virus. Kadar glukosa normal tidak mengeksklusi terjadinya infeksi, karena pada 50 persen pasien dengan meningitis bakterial memiliki kadar glukosa yang normal. Meningitis kimiawi, kondisi inflamasi, pendarahan subaraknoid, dan hipoglikemia juga menyebabkan hipoglukorakia (rendahnya kadar glukosa pada cairan serebrospinal). Peningkatan kadar glukosa di darah merupakan satu-satunya penyebab dari meningkatnya kadar glukosa cairan serebrospinal. Tidak terdapat proses patologis yang meyebabkan kadar glukosa cairan serebrospinal meningkat. Kultur1,5 Kultur yang dilakukan pada 5 persen agar darah domba dan agar kaya cokelat merupakan gold standard untuk diagnosis meningitis bakterial. Pengobatan antibiotik sebelum pungsi lumbal dapat menurunkan sensitivitas kultur, terutama jika diberikan secara intravena atau intramuskular. Enterovirus, penyebab utama dari meningitis viral, dapat ditemukan pada 40 hingga 80 persen kasus. Kultur untuk herpes simplex virus sensitif pada 80 hingga 90 persen, tetapi membutuhkan 5 hingga 7 hari untuk hasil positif. Hasil dari kultur virus jarang mempengaruhi tatalaksana awal dari meningitis. Mycobacterium tuberculosis sebaiknya dikultur dengan sampel cairan serebrospinal dalam volume yang sangat banyak. Paling tidak, dibutuhkan 15 mL dan disarankan 40 sampai 50 mL cairan serebrospinal. Kultur bernilai positif pada sampel awal 56 persen kasus dan 83 persen setelah 4 sampel telah diambil. Identifikasi positif umumnya membutuhkan 6 minggu. Kultur fungi positif pada lebih dari 95 persen kasus Cryptococcus neoformans dan 66 persen kasus meningitis kandidal. Fungi lainnya jarang untuk menghasilkan kultur yang positif. Serupa dengan meningitis tuberkulosa, hasil kultur pada meningitis fungal dapat ditingkatkan dengan menggunakan cairan serebrospinal dalam jumlah banyak, melalui pungsi

berulang. Aglutinasi Lateks1,6 Pemeriksaan ini digunakan untuk deteksi cepat dari antigen bakteri pada cairan serebrospinal. Sensitivitas bervariasi di antara bakteri. Aglutinasi lateks pada Haemophilus infulenzae memiliki sensitivitas 60 hingga 100 persen, tetapi sangat rendah pada bakteri lainnya. Spesifisitas aglutinasi lateks sangat rendah. Akan tetapi, aglutinasi lateks berguna pada kasus meningitis yang tertangani sebagian, ketika tidak berhasil ditemukan organisme pada kultur. Karena hasil false positive dapat berujung pada tatalaksana yang kurang diperlukan, aglutinasi lateks tidak dilakukan secara rutin. Beberapa ahli menyarankan penggunaan aglutinasi lateks pada kasus terduga meningitis bakterial, jika pewarnaan Gram dan kultur bakteri negatif setelah 48 jam. Polymerase Chain Reaction (PCR)1,7 PCR memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada berbagai infeksi sistem saraf pusat. Pemeriksaan ini cukup cepat dan dapat dilakukan dengan jumlah cairan serebrospinal yang sedikit. PCR terutama digunakan untuk mendiagnosis meningitis viral. PCR untuk cairan serebrospinal memiliki sensitivitas 95 hingga 100 persen, dan 100 persen untuk Herpes simplex virus tipe 1, Epstein-Barr virus, serta Enterovirus. PCR lebih cepat dan sensitif dibandingkan kultur untuk meningitis enterovirus. PCR merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk infeksi Cytomegalovirus pada sistem saraf pusat dan telah disarankan untuk menggantikan biopsi otak sebagai gold standard ensefalitis herpes. PCR memiliki sensitivitas 54 hingga 100 persen dan spesifisitas 94 hingga 100 persen pada meningitis tuberkulosa. Pemeriksaan ini dapat menggantikan pewarnaan tahan asam dan kultur sebagai pilihan pemeriksaan. PCR juga sensitif untuk neurosifilis akut dan sedang dipelajari untuk mendiagnosis meningitis bakterial dan infeksi saraf sistem pusat lainnya. Daftar Pustaka: 1. Seehusen DA, Reeves MM, Fomin DA. Cerebrospinal Fluid Analysis. Am Fam Physician. 2003 Sep 15;68(6):1103-1109. 2. Lyons MK, Meyer FB. Cerebrospinal fluid physiology and the management of increased intracranial pressure. Mayo Clin Proc. 1990;65:684707. 3. Conly JM, Ronald AR. Cerebrospinal fluid as a diagnostic body fluid. Am J Med. 1983;751B:1028. 4. Ahmed A, Hickey SM, Ehrett S, Trujillo M, Brito F, Goto C, et al. Cerebrospinal fluid values in the term neonate. Pediatr Infect Dis J. 1996;15:298303. 5. Pruitt AA. Infections of the nervous system. Neurol Clin. 1998;16:41947. 6. Zunt JR, Marra CM. Cerebrospinal fluid testing for the diagnosis of central nervous system infection. Neurol Clin. 1999;17:67589. 7. Ramers C, Billman G, Hartin M, Ho S, Sawyer MH. Impact of a diagnostic cerebrospinal fluid enterovirus polymerase chain reaction test on patient management. JAMA. 2000;283:26805.

Anda mungkin juga menyukai