Anda di halaman 1dari 48

Laporan Problem Based Learning IV

Blok Neuro-Behaviour and Specific Sense System

SPONDILITIS TUBERKULOSA

Tutor : dr. Aditiyono, Sp.OG Disusun Oleh Kelompok XIII Sheila AR Dimas Rendhyka I Gede KASN Adityo Nugroho Yogi Permana Nur Rakhman P Manggala Sariputri Rhatri Aktaria P Ajeng Tri Laksono Rois Hasyim G1A007032 G1A007059 G1A007060 G1A007083 G1A007084 G1A007094 G1A007095 G1A007116 G1A007117 K1A006118

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER PURWOKERTO 2010

BAB I PENDAHULUAN Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu metode pengajaran yang melatih keaktifan mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, sehingga dapat memperluas wawasan dan pengetahuan mahasiswa. Tujuan dari kegiatan Problem Based Learning ini adalah agar mahasiswa tidak monoton terpaku dalam materi kuliah yang diberikan oleh dosen pada saat kuliah, tetapi lebih aktif dalam mencari sumber-sumber lain yang relevan dengan materi kuliah. Sehingga nantinya mahasiswa akan dapat malatih untuk berpikir kritis, berusaha mencari apa yang masih kurang jelas, dan tentunya dapat melatih keterampilan berkomunikasi di forum dengan peraturan-peraturan yang sudah ditentukan. Problem Based Learnig (PBL) kasus IV blok NBSS merupakan suatu wadah diskusi yang digunakan oleh mahasiswa untuk mencapai tujuan pembelajaran sebagai bekal menjadi dokter umum. Dalam PBL kali ini membahas tentang kasus spondilitis tuberkulosa, dimana kasus spondilitis tuberkulosa masih dapat dijumpai di masyarakat. Mengingat tingginya kasus tuberkulosa yang ada di Indonesia. Dalam diskusi ini kami sedikit mengalami hambatan disebabkan oleh materi kuliah yang belum dipahami dan masih sedikit ilmu yang kita dapatkan. Oleh karena itu, disinilah perlu adanya PBL kita lakukan agar kita dapat saling menukar ilmu dan informasi antara satu dengan yang lain. Akan tetapi di dalam berdiskusi, informasinya harus didasari referensi yang diakui kebenarannya, misalnya text book atau jurnal. Mahasiswa diberikan sebuah skenario tentang sebuah masalah yang tejadi di masyarakat. Mahasiswa diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut dengan menggunakan langkahlangkah yang ada. Dengan adanya sistem pembelajaran seperti ini mahasiswa diharapkan dapat menjadi lebih aktif dalam mengikuti kegiatan perkuliahan. Setelah PBL mahasiswa diharapkan dapat menguasai outline yang diberikan dalam bentuk skenario, dan menganalisa permasalahanpermasalahan yang timbul dengan pendekatan yang komprehensif, terintegrasi, dan sistematis. Adapun skenario PBL kasus 1, yaitu : Informasi I Tn. Sw berusia sekitar 26 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri punggung bagian bawah. Nyeri dimulai dirasakan sekitar 3 bulang yang lalu. Ia juga merasakan kelemahan pada kedua tungkai yang semakin lama semakin memberat.

Informasi II Riwayat penyakit: 3 bulan yang lalu : Tn. Sw mulai merasa nyeri pada punggung. Nyeri mulai dirasakan setelah ia jatuh terduduk. Setelah itu mulai merasa baal pada kedua tungkai, mulai sulit berjalan, apabila memakai sandal mudah terlepas. 1 bulan yang lalu : keluhan nyeri punggung menetap, tidak menjalar. Pasien semakin sulit berjalan, sehingga harus dipapah. Sejak 1 minggu yang lalu hingga saaat ini, Tn. Sw tidak mampu berjalan dan tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Rasa baal menjalar sampai ke perut. Informasi III Pemeriksaan Fisik : KU GCS TB/BB Tekanan darah Denyut nadi Respirasi Suhu Tubuh Mata : Sadar : E4M6V5 : 169 cm / 50 kg : 100/80 mmHg : 80x/menit : 20x/menit : 37 C : conjungtiva palpebra tak anemis Sclera tak ikterik Isokor, reflek cahaya +/+ Status internus Status Neurologis Nervus cranialis Fungsi Motorik Gerak Kekuatan Refleks fisiologis Refleks patologis Tonus Trofi Klonus : dalam batas normal : : dalam batas normal Superior (D/S) N/N 5/ 5 N/N -/N/N Eutrofi Inferior (D/S) Menurun/ menurun 1/ 1 / +/+ / Eutrofi +/+

Sensorik

: hipestesia dari ujung jari kaki sampai umbilikus

Vegetatif Status lokalis Informasi IV

: retensio urin et alvi : gibus (+) regio lumbal

Hasil laboratorium Hb Leukosit Hct Trombosit LED Hitung jenis Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit Kimia darah GDS SGOT SGPT Ureum Creatinin Rongten Thoraks Pungsi Lumbal MRI Informasi V Diagnosis Diagnosis Klinis Diagnosis topis Diagnosis etiologis Informasi VI : paraparese inferior spastik, NPB : Medulla spinalis segmen V. Th. X : spondilitis TB : tampak gambaran fibroinfiltrat pada apex paru : blok parsial aliran LCS : kesan spondilitis TB Vertebra thoracolumbal : fraktur kompresi korpus vertebra th X kesan spondilitis TB : 90 g/dl : 13 IU : 15 IU : 40 mg/dl : 0,8 mg/dl :3 :0 :1 : 42 : 54 :6 : 10 gr/dl : 13.500/mm3 : 39 % : 204.000 mmk : 36 mm/jam

Penatalaksanaan : Terapi farmakologi : OAT Kortikosteroid : methylprednisolon 2 x 125 mg (tapering off) Terapi operatif : stabilisasi interna corpus vertebra th X : membersihkan perkejuan/ debris yang ada.

BAB II

PEMBAHASAN 2. 1. Informasi Kasus Tutorial I Informasi I Tn. Sw berusia sekitar 26 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri punggung bagian bawah. Nyeri dimulai dirasakan sekitar 3 bulang yang lalu. Ia juga merasakan kelemahan pada kedua tungkai yang semakin lama semakin memberat. 2.2. Klarifikasi Istilah Nyeri punggung bagian bawah adalah nyeri yang dirasakan didaerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri berasal dari punggung bawah dapat menuju ke daerah lain atau sebaliknya, nyeri yang berasal dari daerah lain dapat dirasakan di daerah punggung bawah (reffered pain/ nyeri menjalar). 2.3. Identifikasi Masalah Identitas pasien Nama Usia Keluhan utama RPS Onset : 3 bulan yang lalu Progresi : memberat Kualitas : mengganggu aktivitas Gejala penyerta : kelemahan kedua tungkai 2.4. Analisis Masalah Untuk menyingkirkan beberapa kelainan patologik yang menyebabkan paraparese inferior (keluhan utama) tersebut maka diperlukan anamnesis tambahan tentang: 1. Kapan nyeri timbul? Apakah timbul mendadak atau bertahap? Apa yang sedang dilakukan pasien? 2. Dimana nyeri terasa? Apakah diperberat ketika bergerak? 3. Apakah nyeri di malam hari? (bila nyeri punggung karena infeksi atau kanker, nyeri tidak berkurang ketika istirahat) : Tn. Sw : 26 tahun : nyeri punggung

4. Frekuensi: kambuh-kambuhan? 5. gejala penyerta: apakah terdapat nyeri? Kesemutan? Demam? Mual? Muntah? Gangguan sensibilitas? Gejala penekanan susmsum tulang belakang, gangguan fungsi buang air besar atau buang air kecil, kelemahan, gangguan sensoris 6. RPD : penyakit yang sama sebelumnya? Diabetes melitus? Hipertensi? Infeksi? Tumor? kecelakaan? Alergi obat? 7. RPK : Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan pasien? Diabetes melitus? Hipertensi? Infeksi? Tumor? 8. Riwayat sosial dan ekonomi: pembayaran ditanggung siapa? Asuransi? Sudah berkeluarga? Anak berapa? Umur berapa? Pekerjaan? Tanda bahaya (bendera merah) pada nyeri punggung 1. Kanker sebagai penyebab nyeri punggung: Ada riwayat kanker Penurunan berat badan tanpa sebab jelas Usia > 50 tahun atau < 20 tahun Tidak mengalami perbaikan dengan terapi Nyeri menetap selama lebih dari 4 bulan Nyeri di malam hari atau saat istirahat 2. Infeksi sebagai penyebab nyeri punggung Demam Riwayat penyalahgunaan obat intravena Infeksi bakteri yang baru terjadi Riwayat tuberkulosis Immunocompromised 3. Sindrom kauda equina sebagai penyebab nyeri punggung (akibat protrusi diskus sentral yang besar atau penyebab lain yaitu stenosis kanalis lumbalis): Inkontinensia atau retensi urin Anestesia saddle Tonus sfingter ani menurun atau inkntinensia feses Kelemahan atau baal tungkai bilateral Defisit neurologis progresif 4. Herniasi diskus yang signifikan sebagai penyebab nyeri punggung Kelemahan otot besar (kekuatan tiga perlima atau kurang) Foot drop

5. Aneurisma aorta abdominalis sebagai penyebab nyeri punggung Massa berdenyut dalam perut Penyakit vaskular aterosklerotik Nyeri pada saat istirahat atau nyeri nokturnal Usia > 55 tahun Informasi II Riwayat penyakit: 3 bulan yang lalu : Tn. Sw mulai merasa nyeri pada punggung. Nyeri mulai dirasakan setelah ia jatuh terduduk. Setelah itu mulai merasa baal pada kedua tungkai, mulai sulit berjalan, apabila memakai sandal mudah terlepas. 1 bulan yang lalu : keluhan nyeri punggung menetap, tidak menjalar. Pasien semakin sulit berjalan, sehingga harus dipapah. Sejak 1 minggu yang lalu hingga saaat ini, Tn. Sw tidak mampu berjalan dan tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Rasa baal menjalar sampai ke perut. SASBEL : 1. Struktur Punggung dan Organ lain yang berdekatan Garis besar struktur punggung bawah adalah sebagai berikut: a. Kolumna vertebralis dengan jaringan ikatnya, termasuk diskus intervertebralis dan nukleus pulposus b. Jaringan saraf yang meliputi konus medularis, filum terminalis, duramater, arakhnoidmater, radiks dengan saraf spinalnya c. Pembuluh darah
d. Otot (musculi) (Harsono dan Soeharso, 2005)

Kolumna vertebralis terbentuk oleh unit-unit fungsional yang terdiri dari segmen anterior dan segmen posterior. a. Segmen anterior Sebagian besar fungsi segmen ini adalah sebagai penyangga badan. Segmen ini meliputi korpus vertebra dan diskus intervertebralis yang diperkuat oleh ligamentum longituinale anterior dan ligamentum longitudinale posterior. Ligamentum longitudinale posterior membentang dari oksiput sampai sakrum. Pada daerah setinggi vertebra lumbal kesatu, ligamentum ini menyempit sehingga di bagian akhir tinggal sebagian atas. Hal ini mungkin untuk mempermudah gerakan vertebra di daerah lumbal, tetapi hal ini juga menyebabkan tidak terlindungnya daerah posterolateral diskus intervertebralis sehingga

diskus ini lebih mudah mendesak ke dalam kanalis spinalis, yang dalam kenyataannya banyak dijumpai (Harsono dan Soeharso, 2005). b. Segmen posterior

Segmen ini dibentuk oleh arkus, prosesus transversus, dan prosesus spinosus. Satu sama lain dihubungkan dengan sepasang artikulasi dan beberapa ligamentum serta otot. Gerakan tubuh yang terbanyak ialah fleksi dan ekstensi, dan gerakan ini paling banyak dilakukan oleh sendi L5-S1, yang dimungkinkan oleh bentuk artikulasinya yang tidak datar tetapi membentuk sudut 30 derajat dengan garis datar. Titik tumpu berat badan terletak kira-kira 2,5 cm di depan S2. Titik ini penting karena setiap pemindahan titik tersebut akan memaksa tubuh untuk mengadakan kompensasi dengan jalan mengubah sikap (Harsono dan Soeharso, 2005). c. Diskus intervertebralis

Diskus intervertebralis terdiri dari anulus fibrosus dan nukleus pulposus. Anulus fibrosus terdiri dari beberapa anyaman serabut fibro-elastik yang tersusun sedemikian rupa sehingga tahan untuk mengikuti gerakan vertebra atau tubuh. Tepi atas dan tepi bawahnya melekat pada korpus vertebra (Harsono dan Soeharso, 2005). Di tengah-tengah anulus fibrosus, terdapat suatu bahan kental dari mukopolisakarida yang banyak mengandung air. Mulai usia dekade kedua, anulus dan nukleus tersebut mengalami perubahan. Serabut fibroelastik mulai putus, yang sebagian diganti jaringan dan sebagian lagi rusak. Hal ini berlangsung terus menerus sehingga terbentuk ronggarongga dalam anulus yang kemudian diisi bahan dari nukleus pulposus. Nukleus pulposus juga mengalami perubahan, yaitu kadar airnya berkurang. Dengan demikian, terjadui penyusutan nukleus dan bertambahnya ruangan dalam anulus sehingga terjadi penurunan intradiskus. Hai ini akan menyebabkan beberapa kelainan, misalnya hernia nukleusus pulposus (HNP) (Harsono dan Soeharso, 2005).

Gambar . Collumna Vertebrae (Martini, 2005)

Gambar. Struktur Penyusun Collumna Vertebtrae (Martini, 2005) 2. Medulla Spinalis Medulla spinalis secara kasar berbentuk silindris. Di superior, medulla spinalis dimulai di foramen magnum dalam tengkorak, yaitu tempat medulla spinalis bersambung dengan medulla oblongata, sedangkan di inferior pada orang dewasa berakhir setinggi tepi bawah vertebra lumbalis I. Pada anak kecil, medulla spinalis relatif lebih panjang dan biasanya

berakhir ditepi atas vertebra lumbalis III. Jadi, medulla spinalis menempati dua pertiga atas canalis vertebralis pada columna vertebralis dan dibungkus oleh tiga meninges, yaitu dura mater, arakhnoid mater, dan pia mater. Pelindung lainnya adalah cairan serebrospinal yang mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarakhnoid (Snell, 2007). Di daerah servikal di mana pleksus brachialis berasal, dan di daerah torakal bawah dan lumbal di mana pleksus lumbosakral berasal, medulla spinalis membesar secara fusiformis. Pembesaran ini disebut pembesaran servikal dan pembesaran lumbal. Ke arah inferior, medulla spinalis mengecil membentuk konus medularis. Dari apeks terdapat pemanjangan pia mater-filum terminale-yang berjalan turun dan menempel pada permukaan posterior os coccygeus. Di garis tengah pada bagian anterior medulla spinalis terdapat sebuah celah yang dalam-fissura mediana anterior-dan pada permukaan posterior terdapat suatu alur dangkal yang disebut sulcus mediana posterior (Snell, 2007). Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui radix anterior (radix mototrik)dan radix posterior (radix sensorik). Masing-masing radix dilekatkan pada medulla spinalis oleh fila radicularia yang membentang di sepanjang segmen medulla spinalis yang sesuaai. Setiap radix posterior memiliki sebuah ganglion radix posterior yang sel-selnya membentuk serabut saraf tepi dan pusat (Snell, 2007). Tabel. Perbandingan Struktur di Berbagai Regio Medulla Spinalis (Snell, 2007) Substansia Grisea Cornu Anterior Cornu Posterior Cornu Lateralis Tidak ada

Regio

Bentuk

Substansia Alba Terdapat fasciculus gracilis

Servikal Oval

Kelompok medial Terdapat sel saraf untuk substansia leher; gelatinosa, oleh nervus V nucleus Sp. N kelompok sentral dilanjutkan untuk dan acessorius (C1-5) cranialis

cuneatus dan otot-otot

nucleus setinggi C2; ada dorsalis Clark)

phrenicus (C3-5); nucleus proprius; kelompok lateral nukleus untuk otot-otot (columna

ekstremitas superior Torakal Bulat Terdapat fasciculus cuneatus (T1-6) gracilis dan

tidak ada

Kelompok medial Terdapat sel saraf untuk substansia otot-otot badan gelatinosa; nukleus dan

Ada; membentuk serabut saraf dorsalis preganglionik nukleus

nucleus proprius; simpatik (columna Clark); aferen viseral

Lumbal

Bulat sampai

Terdapat fasciculus tidak

Kelompok medial Terdapat sel saraf untuk substansia otot-otot ada ekstremitas gelatinosa; nukleus

Ada 2(3));

(L1-

lonjong cuneatus

membentuk dorsalis simpatik Clark) preganglionik aferen

nucleus proprius; serabut saraf

dan terdapat inferior; fasciculus gracilis untuk

kelompok sentral (columna lumbosakralis nukleus viseral

nervus pada L1-4; dan

Sakralis

Bulat

Sedikit; tidak fasciculus gracilis

Kelompok medial Terdapat ada sel saraf untuk substansia otot-otot inferior perineum dan gelatinosa nucleus proprius

Tidak

ada;

kelompokdan kelompok sel saraf terdapat pada S2-4 untuk outflow parasimpatis

cuneatus dan ekstremitas

Gambar . Segmen Medulla Spinalis (Martini, 2005)

Gambar. Struktur Penyusun Medulla Spinalis (Martini, 2005)

Gambar. Inervasi dari Medulla Spinalis (Martini, 2005)

Gambar . Dermatom Tubuh Manusia (Martini, 2005) Dermatom adalah suatu area kulit yang dipersarafi oleh sebuah saraf spinal dan merupakan satu segmen medulla spinalis. Di badan, dermatom membentang mengelilingi tubuh dari

bidang medianaanterior sampai posterior. Dermatom yang bersebelahan saling tumpang tindih sehingga untuk membuat suatu daerah anestesi total dibutuhkan kerusakan paling tidak tiga saraf spinal yang berdekatan. Area yang kehilangan rasa taktil selalu lebih besar daripada area yang kehilangan sensasi nyeri dan suhu. Alasan perbedaan ini adalah derajat tumpang tindih serabut-serabut yang membawa sensasi nyeri dan suhu jauh lebih luas daripada tumpang tindih serabut-serabut yang membawa sensasi taktil. (Snell,2007) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Segmen Medula Spinalis C2 C3 C4 C5 C6 C5, C6, C7 C8, T1 C6, C7, C8 T4 T5 T6/T7 T10 T12 L1, L2, L3, L4 L4, L5, S1 L4 S1, S2, L5 S1 S2, S3, S4 Area Dermatom Setengah posterior kepala Leher atas Leher (kerah) Clavicula Ibu jari Bagian lateral ekstrimitas atas, jari kedua dan ketiga (C7) Bagian medial ekstrimitas atas, jari keempat dan kelima (C8) Tangan Papilla mammae Lipatan inframamae Processus xhipoideus Umbilicus Area os pubis (area inguinal) Permukaan anterior dan dalam ekstrimitas inferior Kaki Sisi medial ibu jari kaki Permukaan posterior dan lateral ekstrimitas inferior Margin lateral kaki dan jari kelima Perineum Tabel. Dermatom Tubuh Manusia 3. MEKANISME BERKEMIH Sistem saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari serabut saraf aferen yang berasal dari buli-buli dan uretra serta serabut saraf eferen berupa sistem parasimpatik, simpatik, dan somatik. Serabut aferen dari dinding buli-buli menerima impuls stretch receptor (reseptor regangan) dari dinding buli-buli yang dibawa oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S2-4 dan diteruskan sampai ke otak melalui traktus spinotalamikus. Signal ini akan memberikan informasi kepada otak tentang volume urin di dalam buli-buli. Jalur aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra mengenal sensasi nyeri, suhu, dan adanya

aliran urin dalam uretra. Impuls ini dibawa oleh nervus pudendus menuju korda spinalis S24 (Purnomo, 2009). Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S2-4 dibawa oleh nervus pelvikus dan memberikan inervasi pada otot detrusor. Asetilkolin adalah neurotransmiter yang berperan dalam penghantaran signal saraf kolinergik, yang setelah berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan kontraksi otot detrusor. Reseptor muskarinik yang banyak berperan di dalam kontraksi buli-buli adalah M2 dan M3. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa kontraksi detrusor dan terbukanya sfingter uretra (Purnomo, 2009). Serabut saraf simpatik berasal dari korda spinalis segmen torakolumbal (T10-L2) yang dibawa oleh nervus hipogastrikus menuju buli-buli dan uretra. Terdapat dua jenis reseptor adrenergik yang letaknya berbeda di dalam buli-buli dan uretra, yaitu reseptor adrenergik yang banyak terdapat pada leher buli-buli (sfingter interna) dan uretra posterior, serta reseptor adrenergik yang banyak terdapat pada fundus buli-buli. Rangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan kontraksi, sedangkan pada menyebabkan relaksasi . Sistem simpatis ini berperan pada fase pengisian yaitu menyebabkan terjadinya: 1) Relaksasi otot detrusor karena stimulasi adrenergik
2) Kontraksi sfingter interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik yang

bertujuan untuk mempertahankan resistensi uretra agas selama fase pengisian urin tidak bocor (keluar) dari buli-buli (Purnomo, 2009). Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di kornu anterior korda spinalis S2-4 yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot bergaris sfingter eksterna dan otot-otot dasar panggul. Perintah dari korteks serebri (secara disadari) menyebabkan terbukanya sfingter eksterna pada saat miksi (Purnomo, 2009). Pada saat buli-buli terisi oleh urin dari kedua ureter, volume buli-buli bertambah besar karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu menyebkan stimulasi pada stretch receptor yang berada di dinding buli-buli yang kemudian memberikan signal kepada otak tentang jumlah urin yang mengisi buli-buli. Setelah kurang lebih terisi separuh dari kapasitasnya, mulai dirasakan oleh otak adanya urin yang mengisi buli-buli. Pada saat bulibuli terisi, terjadi stimulasi pada sistem simpatik yang mengakibtakn kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher buli-buli), dan inhibisi sistem parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor. Kemudian pada saat buli-buli terisi penuh dan timbul keinginan

untuk miksi, timbul stimulasi sistem parasimpatik dan menyebabkan kontraksi otot detrusor, serta inhibisi sistem simpatilk yang menyebabkan relaksasi sfingter interna (terbukanya leher buli-buli). Miksi kemudian terjadi jika terdapat relaksasi sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi tekanan intrauretra (Purnomo, 2009).

Gambar. Neurofisiologi Buli-Buli dan Uretra (Saladin, 2003)

4. Proses fisiologi buang air kecil (Miksi) Miksi merupakan suatu kerja refleks yang pada orang dewasa normal dikendalikan oleh pusat yang lebih tinggi di otak. (Snell, 2006) Volume urin 300 cc Reseptor regangan di dinding vesica urinara terangsang Impuls aferen Impuls n.splanchnici pelvici medulla spinalis segmen sacralis 2,3 dan 4 Impuls berjalan bersama dengan saraf simpatis yang membentuk plexus hypogastric medulla spinalis segmen lumbalis 1 dan 2

susunan saraf pusat impuls eferen saraf parasimpatis meninggalkan medulla spinalis segmen sacralis 2,3, 4 serabut preganglionik parasimpatis perantaraan nervi splanchnici pelvici dan plexus hypogastricus inferior dinding vesika urinaria (tempat saraf bersinaps dengan neuron postganglionik)

n. pudendus

m. detrusor kontraksi

m. sphincter vesicae relaksasi

m.sphincter urethrae relaksasi

5. Proses fisiologi buang air besar (defekasi) Biasanya defekasi ditimbulkan oleh refleks defekasi. Refleks defekasi dipengaruhi oleh refleks intrinsik dan refleks parasimpatis. a. Refleks intrinsik Feses rektum peregangan dinding rektum menimbulkan sinyal aferen sinyal menyebar melalui pleksus mienterikus menimbulkan gelombang peristaltik di dalam kolon desenden, sigmoid, dan rektum mendorong feses ke arah anus sfingter ani internus relaksasi (voluntar) karena sinyal-sinyal penghambat dari pleksus mienterikus defekasi b. Refleks parasimpatis Refleks defekasi yang ditimbulkan oleh refleks intrinsik bersifat relatif lemah. Agar menjadi efektif dalam menimbulkan defekasi, refleks biasanya diperkuat oleh refleks parasimpatis. Refleks ini melibatkan segmen sakral medula spinalis. Perangsangan ujung-ujung saraf rektum sinyal dihantarkan medula spinalis serat-serat saraf parasimpatis dalam nervus pelvikus secara refleks kembali ke kolon desenden, sigmoid, rektum, dan anus memperkuat gelombang peristaltik dan

merelaksasi sfingter ani internus proses defekasi yang kuat. Sinyal-sinyal aferen yang masuk ke dalam medula spinalis menimbulkan efek-efek lain seperti mengambil nafas dalam, penutupan glotis, dan kontraksi otot-otot dinding perut untuk mendorong feses dari kolon turun ke bawah dan pada saat yang bersamaan menyebabkan dasar pelvis terdorong ke bawah dan menarik keluar cincin anus untuk mengeluarkan feses. Pada manusia yang sudah dilatih untuk defekasi di toilet, relaksasi sfingter internus dan gerakan feses maju ke depan menuju anus secara normal menimbulkan kontraksi sfinger eksternus seketika itu juga, yang masih mencegah terjadinya defekasi untuk sementara. Pada bayi dan orang-orang dengan gangguan mental, pikiran sadar kemudian mengambil alihkontrol volunter sfingter eksternus dan merelaksasikan untuk menimbulkan defekasi atua mengkontraksikan lebih lanjut jika keadaan tidak memungkinkan untuk defekasi. Bila sfingter eksternus tetap dikontrasikan, refleks-refleks defekasi akan hilang setelah beberapa menit dan tetap hilang selama beberapa jam atau sampai sejumlah feses tambahan memasuki rektum. (Guyton, 1997) 6. Disfungsi Vesica Urinaria setelah Cedera Medula Spinalis Cedera pada medula spinalis menimbulkan gangguan kontrol saraf untuk proses miksi. Vesika urinaria normal mendapat persarafan sebagai berikut.

Persarafan simpatis berasal dari segmen lumbalis I dan II medulla spinalis. Persarafan parasimpatis berasal dari segmen sakralis II, III, dan IV medula spinalis (Richard S. Snell. 2007). Serabut saraf sensorik memasuki medulla spinalis pada segmen-segmen atas. Vesika urinaria atonik terjadi selama fase syok spinal segera setelah cedera dan dapat berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu. Otot dinding vesica urinari relaksasi, muskulus sphincter vesicae berkontraksi dengan kuat (hilangnya inhibisi dari tingkat yang lebih tinggi), dan musculus sphincter urethtrae relaksasi. Vesica urinaria menjadi sangat terdistensi dan akhirnya mengalirkan isinya keluar. Bergantung pada tingkat cederanya, pasien dapat atau tidak menyadari kandung kemihnya penuh ; tidak ada kontrol volunter (Richard S. Snell. 2007). Vesica urinaria autonom adalah keadaan yang terjadi jika segmen sakralis medulla spinalis rusak atau jika cauda equina terganggu berat. Vesica urinaria tidak mempunyai refleks kontrol atau kontrol voluntar. Dinding vesica flaksid dan kapasitas vesica urinaria sangat meningkat. Vesica terisi sesuai dengan kapasitasnya dan kemudian isinya mengalir keluar, akibatnya urin terus menerus keluar. Vesica urinaria dapat dikosongkan sebagian dengan cara menekan bagian bawah dinding anterior abdomen secara manual, tetapi infeksi urin dan efek tekanan kembali pada ureter dan ginjal tidak dapat di hindari (Richard S. Snell. 2007). 7. Defekasi Setelah Cedera Medula Spinalis Defekasi melibatkan koordinasi reflek yang menghasilkan pengosongan kolon desenden, kolon sigmoid, rektum, dan canalis analis. Proses ini di bantu oleh peningkatan tekanan intra abdomenyang ditimbulkan oleh kontraksi otot-otot dinding abdomen anterior. Musculus sphincter ani internusyang involuntar normalnya dipersarafi oleh serabut postganglionik simpatik dari plexus nervosus hypogastricus dan musculus sphincter ani externus yang bersifat voluntar dipersarafi oleh nervus rectalis inferior. Keinginan untuk dfekasi diawali oleh rangsangan reseptor regang di dinding rektum (Richard S. Snell. 2007). Akibat cedera medula spinalis yang berat (cedera cauda ekuina), pasien tidak menyadari adanya distensi rektum. Selain itu, pengaruh parasimpatis terhadap aktivitas peristaltik kolon descenden, kolon sigmoid, dan rektum hilang. Ditambah lagi, terjadi gangguan hebat pada kontrol otot abdomen dan sphincter ani. Akibatnya, rektum menjadi struktur yang terisolasi dan berkontraksi jika tekanan di dalam lumen meningkat. Respon refleks lokal lebih efisien jika segmen sakralis medulla spinalis dan cauda equina tetap utuh. Akan

tetapi, kekuatan kontraksi dinding rektum kecil sehingga umumnya terjadi konstipasi dan impaksi. Pengobatan pada pasien dengan cedera medulla spinalis adalah mengosongkan rektum dengan melakukan enema dua kali seminggu; penggunaan supositoria juga dapat membantu (Richard S. Snell. 2007). 8. Patofisoilogi paraparese dan monoparese Lesi di medula spinalis segmen lumbal Lesi di radix (nervus) medulaspinalis

Paraparese

Monoparese

Nervus yang dapat terkena lesi Segmen cervikal dan thoracii (C5-T1) Pleksus brachialis Truncus superior C5-C6 N. medianus N musculocutaneus Regio antebrachii N. Radialis truncus medius C7 N. Axilaris truncus inferior C8-T1 N. Ulnaris

N. illiohipogastricus N. Illioinguinalis Cab. Plexus lumbalis N. Genitofemoralis N. Femoralis N. Obturatorius N. cutaneus femoralis lateralis Pleksus sacralis N. gluteus superior N. gluteus inferior N. pudendus N. ischiadicus N. cutaneus femoralis posterior hiatus saphenus N. saphenus

N. fibularis Communis N. cutaneus surae lateral N. Fibularis superfisial N. Fibularis profunda

N. tibialis

N. Cutaneus surae medial dan lateral

N. Plantaris

N. cutaneus N. cutaneus N. cutaneus dorsalis medialdorsalis dorsalis Intermedia lateralis N. digitalis dorsum pedis Informasi III Pemeriksaan Fisik : KU GCS TB/BB Tekanan darah Denyut nadi Respirasi Suhu Tubuh Mata : Sadar : E4M6V5 : 169 cm / 50 kg : 100/80 mmHg : 80x/menit : 20x/menit : 37 C

N. Plantaris N. Plantaris medialis lateralis

: conjungtiva palpebra tak anemis Sclera tak ikterik Isokor, reflek cahaya +/+

Status internus Status Neurologis Nervus cranialis Fungsi Motorik Gerak Kekuatan Refleks fisiologis Refleks patologis Tonus Trofi Klonus

: dalam batas normal : : dalam batas normal Superior (D/S) N/N 5/ 5 N/N -/N/N Eutrofi Inferior (D/S) Menurun/ menurun 1/ 1 / +/+ / Eutrofi +/+

Sensorik Vegetatif Status lokalis Klonus

: hipestesia dari ujung jari kaki sampai umbilikus : retensio urin et alvi : gibus (+) regio lumbal

Klonus berarti kontraksi dan relaksasi otot bergantian dengan cepat. Kontraksi ritmik sebagai jawaban dari regangan yang dikerjakan secara cepat dan kuat. Klonus merupakan refleks regang otot (muscle strech refleks) yang meninggi dan dapat dijumpai pada lesi supranuklir (upper motor neuron, piramidal). Ada orang normal yang memiliki hiperefleksia fisiologis, pada mereka dapat terjadi klonus tetapi klonusnya berlangsung singkat dan disebut klonus abortif. Bila klonus berlangsung lama (terus berlangsung selama rangsang diberikan) hal ini dianggap patologis. Klonus dapat dianggap rentetan refleks regang otot yang meninggi. Hal ini menunjukkan adanya hiperefleksia yang patologis yang dapat disebabkan lesi piramidal. Klonus merupakan tanda dari kondisi neurologik yang biasanya dihubungkan dengan lesi UMN seperti stroke dan sklerosis multiple. Klonus bisa dilihat pada dorsofleksi kaki (ankle clonus), patella (patella clonus), dorsofleksi pergelangan tangan (wrist clonus). a. Klonus kaki Klonus kaki dibangkitkan dengan jalan meregangkan otot trisep surae betis. Pemeriksa menempatkan tangannya di telapak kaki penderita, kemudian telapak kaki didorong dengan cepat (dikejutkan) sehingga terjadi dorsofleksi sambil seterusnya diberikan tahanan enteng. Hal ini mengakibatkan teregangnya otot betis. Apabila ada klonus maka terlihat gerakan ritmik (bolak-balik) dari kaki, yaitu berupa plantarfleksi dan dorsofleksi secara bergantian. b. Klonus patela Klonus ini dibangkitkan dengan jalan meregangkan otot kuadrisep femoris. Pemeriksa memegang patela penderita kemudian didorong dengan kejutan (dengan cpat) ke arah distal sambil diberikan tahanan enteng. Apabila terdapat klonus akan terlihat kontraksi ritmik otot kuadrisep femoris yang mengakibatkan gerakan bolak-balik dari patela. Pada pemeriksaan ini tungkai harus diekstensikan serta dilemaskan. Parestesia dan hipesesia Parestesia : perasaan abnormal yang timbul spontan dan biasanya berbentuk rasa dingin, panas, kesemutan, ditusuk-tusuk, rasa berat, rasa ditekan, atau rasa gatal. Hipestesia : suatu disestesia mencakup sensitivitas yang menurun secara abnormal, terutama pada perabaan.

Informasi IV Hasil laboratorium Hb Leukosit Hct Trombosit LED Hitung jenis Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit Kimia darah GDS SGOT SGPT Ureum Creatinin Rongten Thoraks Pungsi Lumbal MRI Laboratorium Studi
a. Tes kulit tuberkulin (protein murni derivatif/purified protein derivative [PPD]) hasilnya

: 10 gr/dl : 13.500/mm3 : 39 % : 204.000 mmk : 36 mm/jam :3 :0 :1 : 42 : 54 :6 : 90 g/dl : 13 IU : 15 IU : 40 mg/dl : 0,8 mg/dl : tampak gambaran fibroinfiltrat pada apex paru : blok parsial aliran LCS : kesan spondilitis TB

Vertebra thoracolumbal : fraktur kompresi korpus vertebra th X kesan spondilitis TB

positif dalam 84-95% pasien dengan penyakit Pott yang tidak terinfeksi HIV. Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 12 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan umur

612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.

b. Tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) dapat meningkat pesat (> 100 mm / h). c. Studi Mikrobiologi digunakan untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Jaringan tulang atau

sampel abses diperoleh untuk noda untuk bakteri tahan asam (BTA), dan organisme diisolasi untuk dikultur dan kerentanan. Prosedur CT-dibimbing dapat digunakan untuk memandu pengambilan sampel perkutan tulang terpengaruh atau struktur jaringan lunak. Temuan-temuan penelitian adalah positif dalam hanya sekitar 50% dari kasus. Studi Imaging
1. Radiografi A. Perubahan radiografi yang terkait dengan penyakit Pott saat ini relatif lambat. Berikut

ini adalah perubahan radiografi karakteristik tuberkulosis tulang belakang pada radiografi polos:
1) Litik perusakan bagian depan badan vertebral 2) Peningkatan wedging anterior 3) Runtuhnya badan vertebral 4) Reaktif sklerosis pada proses litik progresif 5) Pembesaran bayangan psoas dengan atau tanpa kalsifikasi B. Temuan radiografi tambahan mungkin termasuk yang berikut:

1) Vertebral end plate mengalami osteoporosis. 2) Diskus intervertebral dapat menyusut atau hancur. 3) badan vertebra menunjukkan variabel derajat kerusakan. 4) bayangan Fusiform paravertebral ke arah pembentukan abses. 5) lesi tulang dapat terjadi lebih dari satu tingkat. 2. CT scanning

CT scan menyediakan detail yang jauh lebih baik dari lesi litik tidak teratur, sklerosis, diskus kolaps, dan gangguan dari lingkar tulang. Resolusi kontras rendah memberikan penilaian yang lebih baik dari jaringan lunak, terutama di daerah epidural dan paraspinal. CT scan menunjukkan lesi awal dan lebih efektif untuk menentukan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Berbeda dengan penyakit piogenik, kalsifikasi umum pada lesi TB.
3. MRI

MRI merupakan kriteria standar untuk mengevaluasi infeksi ruang diskus dan osteomielitis tulang belakang dan yang paling efektif untuk menunjukkan perluasan penyakit ke dalam jaringan lunak dan penyebaran debris TB di bawah ligamen longitudinal anterior dan posterior. MRI juga merupakan studi pencitraan yang paling efektif untuk menunjukkan kompresi saraf. Temuan MRI yang berguna untuk membedakan spondilitis TB dari spondilitis piogenik meliputi peningkatan tipis dan halus dari dinding abses dan didefinisikan dengan baik tanda abnormal paraspinal, sedangkan peningkatan tebal dan tidak teratur dinding abses dan sakit-didefinisikan tanda abnormal paraspinal menyarankan spondilitis piogenik. Jadi, kontras yang ditingkatkan MRI tampaknya penting dalam diferensiasi kedua jenis spondylitis. 4. Tes Lainnya Temuan pemindaian radionuklida tidak spesifik untuk penyakit Pott. Gallium dan Tcbone scan hasil negatif palsu tingkat tinggi (70% dan sampai dengan 35%, masing). 5. Prosedur. Gunakan biopsi jarum perkutan dipandu CT-lesi tulang untuk mendapatkan sampel jaringan. Ini merupakan prosedur yang aman yang juga memungkinkan drainase abses terapeutik paraspinal besar. Mendapatkan sampel jaringan untuk mikrobiologi dan studi

patologi untuk mengkonfirmasikan diagnosis dan untuk mengisolasi organisme untuk budaya dan kerentanan. Beberapa kasus penyakit Pott didiagnosis mengikuti prosedur drainase terbuka (misalnya, berikut presentasi dengan kerusakan neurologis akut). 6. Temuan histologis Karena penelitian mikrobiologis mungkin nondiagnostic penyakit Pott, patologi anatomis dapat signifikan. Temuan patologis kotor termasuk jaringan granulasi exudative diselingi dengan abses. Koalesensi hasil abses di bidang caseating nekrosis. 7. Lumbal pungsi Pengambilann cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Punksi, Sisternal Punksi atau Lateral Cervical Punksi. Lumbal Punksi merupakan prosedure neuro diagnostik yang paling sering dilakukan, sedangkan sisternal punksi dan lateral hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli. Indikasi Lumbal Punksi: a. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksan sel, kimia dan bakteriologi b. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotika, anti tumor dan spinal anastesi c. Untuk membantu diagnosa dengan penyuntikan udara pada pneumoencephalografi, dan zat kontras pada myelografi Kontra Indikasi Lumbal Punski: a. Adanya peninggian tekanan intra kranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan papil edema b. Penyakit kardiopulmonal yang berat c. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi Persiapan Lumbal Punksi: aa aa Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan LP Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasen/keluarga

terutama pada LP dengan resiko tinggi Teknik Lumbal Punksi: a. Pasien diletakkan pada pinggir tempat tidur, dalam posisi lateral decubitus dengan leher, punggung, pinggul dan tumit lemas. Boleh diberikan bantal tipis dibawah kepala atau lutut.

b. Tempat melakukan pungsi adalah pada kolumna vetebralis setinggi L 3-4, yaitu setinggi crista iliaca. Bila tidak berhasil dapat dicoba lagi intervertebrale ke atas atau ke bawah. Pada bayi dan anak setinggi intervertebrale L4-5 c. Bersihkan dengan yodium dan alkohol daerah yang akan dipungsi d. Dapat diberikan anasthesi lokal lidocain HCL e. Gunakan sarung tangan steril dan lakukan punksi, masukkan jarum tegak lurus dengan ujung jarum yang mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan menembus jaringan meningen penusukan dihentikan, kemudian jarum diputar dengan bagian pinggir yang miring menghadap ke kepala. f. Dilakukan pemeriksaan tekanan dengan manometer dan test Queckenstedt bila diperlukan. Kemudian ambil sampel untuk pemeriksaan jumlah dan jenis sel, kadar gula, protein, kultur baktri dan sebagainya. Informasi V Diagnosis Diagnosis Klinis Diagnosis topis Diagnosis etiologis 1. Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi kronik pada manusia yang disebabkan oleh basil TB (Mycobacterium tuberculosis humanis). M.tuberculosis termasuk famili Mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai genus, satu diantaranya adalah Mycobacterium, yang salah satu spesiesnya adalah M. tuberculosi, dimana yang paling berbahaya bagi manusia adalah type humanis. Basil TB mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam (Basil Tahan Asam). Mycobacterium merupakan bakteri aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai, bakteri ini tahan terhadap peluntur warna (dekolarisasi) asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan bakteri tahan asam atau basil tahan asam. Mycobacterium tuberculosis dapat tahan hidup di udara kering maupun dalam keadaan dingin, atau dapat hidup bertahun-tahun dalam lemari es. lni dapat terjadi apabila kuman berada dalam sifat dormant (tidur). Pada sifat dormant ini kuman tuberkulosis suatu saat dimana keadaan kemungkinkan untuk dia berkembang, kuman ini dapat bangkit kembali. Morfologi dan identifikasi Mycobacterium tuberculosis : : paraparese inferior spastik, NPB : Medulla spinalis segmen V. Th. X : spondilitis TB

1. Bentuk Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok dengan ukuran 0,2 - 0,4 x 1 - 4 um. Pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan untuk identifikasi bakteri tahan asam. 2. Penanaman. Mycobacterium tuberculosis tumbuh lambat, koloni tampak setelah kurang lebih dua minggu, bahkan kadang-kadang setelah 6-8 minggu. Suhu maksimal 37C, tidak tumbuh pada suhu 25C atau lebih dari 40C. Medium padat yang biasa dipergunakan adalah Lowenstein-Jensen. PH maksimal adalah 6,4- 7,0. 3. Sifat-sifat. Mycobacterium tidak tahan panas, akan mati pada 6C selama 15-20 menit. Biakan dapat mati jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam. Dalam dahak dapat bertahan 20-30 jam. Basil yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8 10 hari. Biakan basil ini dalam suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat disimpan dalam lemari dengan suhu 20oC selama 2 tahun. Myko bakteri tahan terhadap berbagai khemikalia dan disinfektan antara lain phenol 5% asam sulfat 15%, asam sitrat 3% dan NaOH 4%. Basil ini dihancurkan oleh jodium tinetur dalam 5 menit, dengan alkohol 80 % akan hancur dalam 2-10 menit. A. Cara Penularan: Penyakit TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang daya tahannya luar biasa, dan infeksinya dapat terjadi melalui penderita TB yang menular. Penderita TB yang menular adalah penderita dengan basil-basil TB di dalam dahaknya, dan bila mengadakan ekspirasi paksa berupa batuk-batuk, bersin, tertawa keras, dan sebagainya akan menghembuskan keluar percikan-percikan dahak halus (droplet nuclei), yang berukuran kurang dari 5 mikron dan yang akan melayang-layang di udara. Jika droplet nuclei hinggap di saluran pernapasan yang agak besar, misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei dapat segera dikeluarkan oleh gerakan cilia selaput lender saluran pernapasan. Tetapi jika berhasil masuk ke alveolus atau menempel pada mukosa bronkeolus, droplet nuclei akan menetap dan basil-basil TB akan mendapat kesempatan untuk berkembang biak. Ada beberapa factor yang mempengaruhi transmisi ini, yakni jumlah basil dan virulensinya, cara batuk, dan factor cahaya matahari serta ventilasi udara. B. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS 1. Berdasar hasil pemeriksan dahak (BTA) TB paru dibagi atas:

a.

Tuberkulosis paru BTA positif (+) adalah: Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambarab tuberkulosis aktif Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif

b.

Tuberkulosis BTA negatif adalah: Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan kuman TB positif 2.Berdasarkan tipe pasien a. b. Kasus baru: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan Kasus kambuh (relaps) : adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya demham OAT atau sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari 1 bulan pernah mendapatkan pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, tapi kemudian kembali berobat lagi dengan sputum BTA atau biakan kuman positif c. Kasus defaulted atau drop out: adalah pasien yang telah menjalani pengobatan TB lebih dari 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatanya selesai. d. e. Kasus gagal: adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau Kasus kronik: adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih kembali menjadi positif pada akhir bulan ke lima atau akhir pengobatan positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik. f. Kasus bekas TB: Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan TB yang adekuat akan semakin mendukung.

Pada kasus dengan gambaran radiologi yang meragukan dan telah mendapatkan pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto torax ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi. 3. Pembagian secara patologis a. Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis) b. Tuberkulosis post-primer (adult tuberculosis)

C. PATOGENESIS Penularan tuberculosis paru dapat terjadi setelah kuman tersebut dibatukkan atau dibersinkan dari seseorang yang menderita TB paru dan akan keluar sebagai droplet nuclei. Kuman TB ini dapat bertahan diudara bebas sekitar 1-2 jam tergantung dari adatidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, serta suasana yang lembab. Partikel yang mengandung kuman mikobakterium TB ini akan masuk melalui jalur inhalasi. Partikel ini dapat terus masuk ke dalam alveoli jika ukuranya kurang dari 5 mikrometer. Dalam sistem saluran nafas, kuman yang masuk ini pertama kali akan dihadapi oleh neutrofil dan makrofag. Mikobakterium TB setelah dihadapi oleh neutrofil dan makrofag ini bisa mati dan kemudian dikeluarkan melalui silia dan sekretnya atau bisa menetap dalam jaringan paru dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Hal ini dikarenakan bahwa makrofag banyak mengandung lipid yang disukai oleh mikobakterium tuberkulosis. Interleukin 12 merupakan salah satu kunci pertahanan imunitas melawan Mycobacterium tuberculosis, disekresikan activated makrofag, berfungsi menginduksi sekresi IFN- oleh sel NK dan sel T, serta merangsang differensiasi Th0 menjadi Thl. IFN- meningkatkan kemampuan mikrobisidal makrofag sehingga mampu membunuh Mycobacterium tuberculosis. Kuman yang bersarang dijaringan parenkim paru ini akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau disebut fokus Ghon. Sarang primer ini bisa menjalar ke pleura dan menyebabkan terjadinya efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, sehingga terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan dapat menjalar ke otak, tulang, ginjal, dan paru sisi yang lainnya. Sarang primer akan menimbulkan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional) yang

mana kesemuanya ini disebut kompleks primer (Ranke). Keseluruhan proses ini memakan waktu sekitar 3-8 minggu. Kompleks primer yang terjadi selanjutnya dapat menjadi: 1. 2. Sembuh tanpa cacat Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas garis-garis fibrotik, klasifikasi di hilus, dimana keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5mm dan kurang lebih 10% diantaranya bisa terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. 3. a. b. c. d. Kompleks primer menjadi berkomplikasi dan menyebar secara: Per kontinuitatum (menyebar kesekitarnya) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang disebelahnya. Kuman dapat tertelan dan masuk ke saluran gastrointestinal Menyebar secara limfogen dan hematogen ke organ tubuh lainnya. Perjalanan penyakit diatas adalah termasuk proses tuberkulosis primer, sedangkan proses tuberkulosis sekunder dimulai dari adanya kuman yang yang berada dalam fase dormant pada tuberkulosis primer yang aktif lagi. Hal ini dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi pada tuberkulosis primer. Reinfeksi mikobakterium tuberkulosis ini dapat terjadi oleh karena disebabkan oleh beberapa hal, antara lain oleh karena malnutrisi, adanya penyakit sistemik maupun keganasan, mengkonsumsi alkohol atau rokok, mengkonsumsi obat-obatan imunosupresan, stress, diabetes, gagal ginjal, dan AIDS yang mana kesemuanya itu bisa menurunkan daya tahan tubuh penderita. Tuberkulosis pasca-primer ini pertama kali akan membentuk sarang dini yang bertempat di bagian atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior) yang mana akan menginvasi parenkim paru. Selama kurun waktu sekitar 3 minggu, sarang ini akan menjadi tuberkel, yaitu suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia langerhans yang dikelilingi oleh limfosit dan jaringan ikat. Granuloma kemudian akn berkembang dan menghancurkan jaringan ikat disekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek dan membentuk jaringan keju. Jaringan keju ini apabila dibatukkan maka akan membentuk kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Perkejuan atau kavitas ini terjadi oleh karena adanya hidrolisis lipid protein dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag dan proses yang berlebihan sitokin dengan Tumor Nekrosis Faktornya .Kavitas yang terjadi dapat:

1. 2.

Meluas kembali dan menjadi sarang pneumonia baru. Bila masuk keperedaran darah maka akan terjadi TB Millier, bila masuk ke usus jadi TB usus Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma, dimana tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif lagi menjadi cair dan menjadi kavitas lagi.

3.

bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity atau berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbentuk seperti bintang yang disebut stellate shaped.

D. PATOFISIOLOGI Port de entri kuman microbaterium tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit, kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara (air borne), yaitu melalui inhalasi droppet yang mengandung kumankuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi terdiri dari satu sampai tiga gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus biasanya di bagian bawah lobus atau paru-paru, atau di bagian atas lobus bawah. Basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bacteria namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi mcajadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit, yang dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari. E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau bahkan banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan terbanyak adalah : a. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam hilang timbul, sehingga pasien tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. b. Batuk atau batuk darah Batuk mungkin saja terjadi setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan semula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah Karen aterdapat pembuluh darah yang pecah. c. Sesak napas Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. d. Nyeri dada Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. e. Malaise Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum : konjungtiva anemis, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan turun. 2. Pemeriksaan thoraks : Inspeksi : Pada TB paru kronik dengan fibrosis yang luas, dapat dijumpai atrofi dan retraksi otot-otot intercostalis. Bagian paru yang sakit menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Palpasi : Dengan pemeriksaan fremitus taktil ditemukan adanya fremitus yang melemah pada paru yang sakit. Perkusi dan auskultasi : terdapat infiltrat yang agak luas perkusi : redup, auskultasi : didapatkan suara tambahan ronki basah, kasar dan nyaring. jika infiltrat diliputi penebalan pleura vesikular melemah

jika ada kavitas yang cukup besar perkusi : hipersonor / timpani, auskultasi : amforik. Uji Tuberkulin ( Mantoux ) Uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm ( pada gizi baik ), atau >5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji tuberkulin dapat negatif pada anak TBC dengan anergi ( malnutrisi , penyakit sangat berat pemberian imunosupresif, dll ). Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji ulang. Reaksi Cepat BcG Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat ( dalam 3-7 hari ) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tubercolosis. Foto Rontgen dada Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar kelenjar hilu atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TBC adalah: a. Milier b. Atelektasis /kolaps konsolidasi c. Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal d. Konsolidasi ( lobus ) e. Reaksi pleura dan atau efusi pleura f. Kalsifikasi g. Bronkiektasis h. Kavitas i. Destroyed lung Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen harus dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA ( postero- Anterior ) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja. Karakteristik radiology yang menunjang diagnostik antara lain : a. Bayangan lesi radiology yang terletak di lapangan atas paru. b. Bayangan yang berawan (patchy) atau berbercak (noduler) c. Kelainan yang bilateral, terutama bila terdapat di lapangan atas paru

d. Bayang yang menetap atau relatif menetap setelah beberapa minggu e. Bayangan bilier Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA secara biakan ( kultur ) memerlukan waktu yang lama cara baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan cara PCR ( Polymery chain Reaction ) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot dan lain-lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis. F. KOMPLIKASI Komplikasi yang serimg dialami oleh penderita TBC adalah Sbb: 1 2 3 Hemoptitis adalah peredaran dari saluran nafas yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas Kolaps dari lobu akibat retraksi bronchial, sehingga terjadi ketidak mampuan menampung atau menyimpan oksigen dari lobus. Pneumotorak adalh adanya udara dalam rongga pleura. Penyebabnya adalah tekanan pneumotorak udara dalam membran berada dalam tekanan yang lebih tinggi dari udara dalam paru-paru yang berdampingan dan pembuluh darah, sehingga kapasitas oksigen yang dihirup hanya sebagian. .4 Efusi Pleura adalah adanya cairan abnormal dslsm rongga pleura yang disebabkan oleh tekanan yang tidak seimbang pada kapiler yang utuh dan menyebabkan kapasitas paru-paru tidak berkembang. 5 Bronkietctaksis adalah endapan nanah ada bronkus setempat karena terdapat infeksi pada bronkus. Penyebabnya yaitu kerusaka yang berulang pada dinding bronchial dan keadaan abnormal dari jaringan penghail mucus mengakibatkan rusaknya jaringan pendukung menuju saluran nafas. .6 fibrosis adalah pembentukan jaringan ikat pada roses pemulihan atau pnyembuhan. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti Otak,tulang, persendian, ginjal, dan yang lain. Insufisiensi kardio pulmonal atau penurunan fungsi jantung dan paruparu sehingga kadar oksigen dalam darah rendah. 2. Spondilitis TB

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa. Spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit Pott, paraplegi Pott. Nama Pott itu merupakan penghargaan bagi Pervical Pott seorang ahli bedah berkebangsaan Inggris yang pada tahun 1879 menulis dengan tepat tentang penyakit tersebut. Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma, dan banyak dijumpai di Negara berkembang. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2. .A EPIDEMIOLOGI Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Di Ujung Pandang spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah. .B ETIOLOGI Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. .C GAMBARAN KLINIS Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis di malam hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus,, hiper-refleksia dan refleks Babinski bilateral. Pada stadium awal ini

belum ditemukan deformitas tulang vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas. Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat. Jalan masuk kuman mikobakterium tuberculosis kedalam tubuh melalui: 1. Inhalasi 2. Meminum susu sapi yang tidak dipasteurisasi yang mengandung M. bovis, . 3. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam 4. Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau jika ada kerusakan kulit (luka kecil, kuku terbuka) 5. Janin bisa tertular dari ibunya sebelum atau selama proses persalinan karena menghirup atau menelan cairan ketuban yang terkontaminasi. Secara umun Gejala klinis yang timbul berupa:
1. 2. 3. 4. 5.

nyeri pinggang atau punggung nyeri tekan lokal disertai spasme otot abses paravertebra dan abses psoas yang merupakan abses dingin gibbus bila ada kompresi vertebra parestesi dan kelemahan pada ekstremitas inferior .D Port de entry Mikobakterium tuberculosis ke tulang: TB sekunder eksudatnya menginfiltrasi lewat hematogen, limfogen ke korpus vertebra menyebabkan osteoporosis dan kiphosis. Kerusakan medulla spinalis akibat: 1. Penekanan oleh abses dingin 2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis 3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya

4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu : 1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anakanak umumnya pada daerah sentral vertebra. 2. Stadium destruksi awal. Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu. 3. Stadium destruksi lanjut Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus. 4. Stadium gangguan neurologis Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu : Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris. Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya. Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia. Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi. uberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung

sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. 5. Stadium deformitas residual Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan. .E GAMBARAN KLINIS Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks Babinski bilateral. Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas. Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat. Secara umun Gejala klinis yang timbul berupa:
1. 2.

nyeri pinggang atau punggung nyeri tekan lokal disertai spasme otot

3. 4. 5.

abses paravertebra dan abses psoas yang merupakan abses dingin gibbus bila ada kompresi vertebra parestesi dan kelemahan pada ekstremitas inferior DIAGNOSIS KLINIS Nyeri punggung yang terlokalisir Bengkak pada daerah paravertebral Tanda dan gejala sistemik dari TB Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis Uji Mantoux positif Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati ,karena jarum dapat menembus masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku. Pemeriksaan Radiologis:

.F 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejalanya dapat berupa :

Pemeriksaan Laboratorium:

1. 2.

Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (birds net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.

3.

Foto Roentgen suatu spondilitis tuberkulosa akan memperlihatkan : a. Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut suatu fraktur patologis. Dengan

demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu. b. Dekplate korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur. c. Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit. d. Abses dingin Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan (Spindle). 1. Pemeriksaan CT scan CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang. Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif untuk menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih) 2. Pemeriksaan MRI Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang. Menunjukkan adanya penekanan saraf. Informasi VI Penatalaksanaan : Terapi farmakologi : OAT Kortikosteroid : methylprednisolon 2 x 125 mg (tapering off) Terapi operatif : stabilisasi interna corpus vertebra th X : membersihkan perkejuan/ debris yang ada. .G Penatalaksanaan Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia Prinsip pengobatan paraplegia Pott : 1. Pemberian obat antituberkulosis 2. Dekompresi medulla spinalis 3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi

4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) Pengobatan terdiri atas 1. Terapi konservatif berupa a. b. c. d. Tirah baring (bed rest) Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra Memperbaiki keadaan umum penderita Pengobatan antituberkulosa

Standar pengobatan berdasarkan pedoman diagnosa dan penataksanaan di Indonesia perhimpunan dokter paru Indonesia adalah : Kategori I II Kasus TB paru BTA+, BTA-, lesi luas Kambuh Panduan obat yang dianjurkan 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE atau 2RHZE/4R3H3 RHZES/1RHZE/sesuai hasil uji restensi atau 2RHZES/1RHZE/5RHE 3-6 kanamisin,ofloksasin,etionamid, sikloserin/15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES/1RHZE/5RHE Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi, radiology, saat ini atau III TB paru BTA negaf lesi IV minimal Kronik 2RHZES/1RHZE/5R3H3E3 2RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3 RHZES/ sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + abat lini 2 IV MDR TB ( pengobatan minimal 18 bulan) Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup keterangan

Bila streptomisin alergi, dapat diganti kanamisin

Gagal pengobatan II TB paru putus berobat

Jenis dan dosis OAT Obat Dosis (mg/kg BB/hari) 8-12 4-6 20-30 15-20 15-18 Dosis yang dianjurkan Harian (mg/kg BB/hari) 10 5 25 15 15 Intermitten (mg/kgB/hari) 10 10 35 30 15 Dosis maks (mg) 600 300 1000 Dosis (mg)/berat badan (kg) <40 40>60 60 300 150 750 750 Sesuai BB 450 300 1000 1000 750 600 450 1500 1500 1000

R H Z E S

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra. 2. a. Terapi operatif Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah Indikasi operasi yaitu: semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik. b. c. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pesekaligus debrideman serta bone graft. meriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis. Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis. Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu: 1. 2. 3. Debrideman fokal Kosto-transveresektomi Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata Laminektomi Kosto-transveresektomi Operasi radikal Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang Operasi kifosis. Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas

yang hebat,. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal. .H KOMPLIKASI Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah Potts paraplegia yang apabila muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester, atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan bila muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis. Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan penyebab paraplegi ini. Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan ekstradural oleh pus ataupun sequester membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulla spinalis dan saraf. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abscess. PROGNOSIS Prognosis spondilitis tuberkulosis tergantung pada cepatnya dilakukan terapi, sensitivitas kuman tuberkulosis terhadap obat anti tuberkulosis dan ada tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosisnya kurang baik. Diagnosis sedini mungkin, dan dengan pengobatan yang tepat, Prognosisnya baik meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat, yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap pengobatan.

BAB III KESIMPULAN Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan dengan mempertimbangkan diferential diagnosis yang lain maka pasien dalam kasus ini di diagnosis sebagai berikut: Diagnosis Klinis Diagnosis topis Diagnosis etiologis : paraparese inferior spastik, NPB : Medulla spinalis segmen V. Th. X : spondilitis TB

DAFTAR PUSTAKA Depkes. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Available from http://www.depkes.go.id/downloads/Pedoman%20nasional.pdf. Diakses tanggal: 1 april 2010 Deyo, A. Richard and weinstein, N. James. Low Back Pain. Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/344/5/363. diakses tanggal 1 April 2010 Duus, Peter. 1996. Diagnosis Topik Neurologi. Jakarta: EGC. Harsono dan Soeharso. 2005. Nyeri Punggung Bawah: Kapita Selekta Neurologi. Edisi Kedua. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Hauser. Harrisons Neurology in Clinical Medicine. United States : Mc Graw Hill. 2006. Hidalgo, Jose A. 2008. Pott Disease (Tubeculous Spondylitis). Universidad de San Marcos Medical School; Attending Physician, Department of Internal Medicine, Division of Infectious Diseases, Guillermo Almenara Hospital. Available from: URL : http://emedicine.medscape.com/article/226141-diagnosis. Accessed : 3 April 2010 Japardi, Iskandar. 2002. Cairan Serebrospinal. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara. Available from: URL: http://library.usu.ac.id/download/fk/bedahiskandar%20japardi5.pdf. Accessed on : 1 April 2010. Katzung, Bertram G. Farmakologi: Dasar dan Klinik Edisi 8. Jakarta: Salemba Medika. 2002 Lumbantobing, S.M. 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI. Mansjoer, Arif; Suprohaita; Wardhani, W. I; Setiowulan, Wiwiek. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius. 2000. Mardjono dan Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. Jakarta: Dian Rakyat. Martini, Frederic H. 2005. Fundamental of Anatomy and Physiology. 5th Edition. USA : Person Benjamin Cummings. Purnomo, B.B. 2009. Inkontinensia Urin: Dasar-Dasar Urologi. Edisi II. Jakarta: Sagung Seto. Putz, R. dan Pabst, R. 2000. Sobota Anatomi. Jakarta: EGC Saladin. 2003. The Urinary System: Anatomy and Physiology: The Unity of Form and Function. Third Edition. USA: McGraw Hill. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Susunan syaraf pusat. Jakarta : EGC. Hal . Sidharta, M. Priguna .2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat.

Sidharta, Priguna, M.D., Ph.D. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologis. Jakarta: Dian Rakyat. 1999 Snell, R.S. 2007. Medulla Spinalis serta Tractus Ascendens dan Descendens: Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi V. Jakarta: EGC. Tim Penerjemah EGC. Kamus Kedokteran Dorland. 2005. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai