Anda di halaman 1dari 9

Hakikat Fitrah Manusia

Oleh : Husnul Amal Masud Tanpa terasa, 10 hari sudah Ramadan berlalu. Bulan tempat menempa diri, menguji kesungguhan untuk menggapai surga dengan segala kemudahan dan keistimewaan di dalamnya. Mudah karena sepanjang Ramadan, pintu-pintu surga dan rahmat dibuka oleh Allah seluas-luasnya, sehingga terasa ringan badan dan jiwa menjalankan segala macam ibadah. Istimewa karena begitu besar perhatian Allah terhadap segala amalan hambanya di bulan tersebut; amalan yang sunah diberikan pahala seperti amalan wajib, dan amalan yang wajib dilipatgandakan pahalanya oleh Allah. Pintu-pintu ampunan dibuka sedangkan pintupintu neraka ditutup, bahkan setan pun dibelenggu untuk mengurangi potensinya menyesatkan manusia. Pada bulan Syawal ini manusia telah kembali berada pada fitrahnya, asal kejadiannya yang masih suci dan murni. Bulan fitrah yang selalu di awali dengan perayaan Idul Fitri setelah menjalankan ritual puasa dan amalan-amalan yang disyariatkan oleh Allah selama Ramadan, Sayyid Qutb membagi fitrah kepada dua macam: Pertama, fitrah manusia, yaitu bahwa potensi dasar yang ada pada manusia adalah untuk menuhankan Allah dan selalu condong kepada kebenaran. Kedua, fitrah agama, yaitu wahyu Allah yang disampaikan lewat para rasulnya untuk menguatkan dan menjaga fitrah manusia itu. Kedua macam fitrah ini adalah diciptakan dan bersumber dari Allah SWT. Oleh karenanya, antara fitrah manusia dan fitrah agama tidaklah akan pernah terjadi pertentangan karena keduanya mengarah kepada tujuan yang satu, kebenaran dan kesucian jiwa yang menjadikan manusia kembali dan dekat kepada sang penciptanya, Allah SWT. Allah SWT berfirman : (dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Araf : 19) Perhatikan dialog Allah SWT dan Adam AS pada ayat tersebut. Allah SWT berbicara kepada Adam dengan menggunakan perkataan pohon ini yang mengisyaratkan kepada kedekatan jarak antara Adam dan Rabbnya. Itulah nuansa kedekatan yang dihadirkan ketika Adam dan Hawa patuh kepada ketetapan Tuhan, ketika Adam dan Hawa masih dalam fitrah asal kejadiannya. Namun perhatikan bagaimana Allah menegur Adam AS dan Hawa ketika keduanya terlanjur terbujuk rayuan setan untuk menjamah pohon larangan : Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (QS. Al-Araf : 22)

Ya, ketika Adam memilih menyalahi fitrah, tidak patuh (maksiat) terhadap perintah Allah, terciptalah jarak yang menyebabkan Adam jauh dari Rabbnnya sehingga Allah memilih kata pohon itu pada dialog ayat tersebut. Inilah hakikat fitrah manusia. Apabila mereka taat dan patuh pada perintah Allah, mereka akan selalu dekat dengan-Nya. Apabila ia dekat dengan Tuhannya, ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan setiap saat. Ia akan merasa bahwa setiap perilakunya, gerak geriknya berada dalam pengawasan Allah. Seumpama seorang bintang film yang sedang berada di depan kamera, segala gaya dan mimiknya akan direkam dan hasilnya akan dipertontonkan nanti. Oleh karenanya si bintang film akan berusaha semaksimal mungkin menjalankan perannya, berakting dengan penuh penghayatan dan berupaya untuk tidak menyalahi skenario yang telah digariskan. Jika fitrah manusia telah kembali dan terjaga, timbullah sifat Ihsan dalam dirinya; serasa ia berada dalam perhatian Allah, sehingga menjadikannya tertib dan berhati-hati dalam setiap sikap dan perbuatan. Karena ia sadar bahwa setiap perilakunya sedang direkam dan bakal dipertontonkan di Mahkamah Mahsyar nanti. Inilah kesan dekatnya hamba kepada Tuhannya ketika telah kembali kepada fitrahnya setelah menjalani penempaan selama Ramadan. Karena itulah, ketika Allah menjelaskan tentang perintah, hakikat, tujuan dan syariatsyariat yang berkaitan dengan puasa Ramadan, di tengah ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan betapa dekatnya Dia dengan hamba-hambaNya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah : 186). Inilah hakikat dan tujuan puasa Ramadan yang telah kita lalui kemarin. Ramadan mengajak manusia untuk kembali kepada fitrah asal kejadian mereka, yaitu dekat dengan Allah SWT. Dengan suasana kedekatan ini, manusia selalu akan merasa sadar akan keberadaan Rabbnya. Dan ini pula yang dimaksudkan juga dengan taqwa yang menjadi tujuan inti ibadah puasa. Sebuah kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap perilaku dan gerak geriknya karena tempaan Ramadan telah membangkitkan kembali hakikat fitrahnya, yaitu bahwa ia dekat dengan Rabbnya Maka pada bulan Syawal ini di mana puasa Ramadan baru saja beberapa hari berlalu, renungkanlah di mana posisi kita telah berada saat ini? Apakah kita sudah semakin dekat kepada Allah, ataukah keadaan kita tidak jauh berbeda ketika sebelum memasuki madrasah puasa Ramadan? Adakah kesan Ramadan dan segala ritual ibadah yang telah kita lakukan dalam Ramadan masih membekas dalam diri pada bulan Syawal ini ataukah nuansa Ramadan malah telah berbalik seratus delapan puluh derajat? Adakah Ramadan tetap membekasi kita di bulan syawal ini, bulan idul fitri, ketika kita kembali kepada fitrah, untuk kemudian senantiasa berbuat dan bersikap penuh kesadaran bahwa Allah selalu

mengawasi kita karena jarak kita telah kembali begitu dekat dengan-Nya ataukah sebaliknya kita kembali kepada rutinitas kehidupan yang semakin menjauhkan kita dariNya? Seandainya kita merasa termasuk kelompok yang pertama, maka kita adalah orang yang sebenar-benarnya telah aidin wal faizin pada bulan syawal ini, yaitu golongan yang telah kembali kepada Allah, kembali kepada fitrah kesucian, berada dekat kepada Rabbnya. Dan kita lah orang yang sebenar-benarnya telah mencapai kemenangan di dunia dan akhirat. Wallahu Alam.

Islam, Hiburan dan Fitrah Manusia


Wed, 2007-01-17 14:15 firman

Islam adalah agama fitrah. Artinya, perkara apa saja yang ada di dalam Islam sesuai dengan fitrah manusia. Misalnya, manusia cenderung menghambakan diri kepada apa yang dicintainya. Oleh karena itu Islam memberi petunjuk, kepada siapakah seharusnya kita menghambakan diri. Sebagai contoh, walaupun manusia menyukai harta dan kekuasaan. Anehnya, kita tidak suka jika disebut hamba harta atau hamba kekuasaan, meskipun sikap kita memang seperti itu. Tapi kita redha dan suka jika disebut-sebut sebagai hamba ALLAH. Artinya, fitrah manusia memang ingin menjadi hamba kepada ALLAH, Tuhan Semesta Alam. Manusia suka kepada ilmu dan kepandaian agar kehidupannya maju dan tidak beku (jumud). Memang ALLAH menjadikan jiwa manusia begitu keadaannya. Setiap orang juga suka kepada makanan yang lezat, suka kepada lawan jenis, suka kepada badan dan akal yang sehat. Oleh karena itu Tuhan datangkan agama Islam yang mengajar manusia untuk memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Sabda Rasulullah, Menuntut ilmu wajib bagi lelaki dan perempuan (HR. Ibnu Abdi Al Barri). Kemudian jika mengikut Rasulullah SAW, maka sunnat hukumnya makan daging seminggu sekali. Islam juga mendorong pernikahan dan melarang zina sebab zina hanya akan menganiaya kaum perempuan. Sudah tentu tidak ada orang yang mau teraniaya.

Begitulah Islam agama fitrah. Apabila sesuatu disukai oleh fitrah, maka Islam akan membenarkan dan mendorongnya. ALLAH yang menciptakan fitrah manusia, maka ALLAH pula yang menunjukkan cara bagaimana keinginan fitrah itu dipenuhi karena begitulah keinginan fitrah manusia. Jika keinginan fitrah ini tidak tercapai maka manusia akan merasa susah, duka cita dan gelisah. Namun tanpa petunjuk dari ALLAH, nafsulah yang akan memimpin manusia untuk melaksanakan kehendak fitrah itu secara liar tak terkendali. Maka, hasilnya akan buruk sekali. Sebagai contoh adalah keinginan fitrah manusia untuk berhibur. Batin manusia butuh untuk berhibur sebagaimana jasad lahir manusia perlu beristirahat. Jika tidak dipenuhi maka akan letihlah batin manusia dalam menjalani kehidupan ini. Untuk memenuhi keinginan itulah dapat kita lihat betapa majunya teknologi entertainment saat ini. Jika dulu manusia berhibur dengan karya-karya sastera, pertunjukan cerita dan alat-alat musik, maka manusia jaman sekarang berhibur dengan film, musik, teknologi animasi, efek-efek visual yang memanjakan imajinasi, musik dengan istrumen yang semakin kompleks, game interaktif, synthesizer, virtual reality dsb. Semuanya bertujuan untuk memuaskan keinginan batin manusia. Namun, sebenarnya batin manusia yang manakah yang hendak dihibur? Di samping memiliki jasad lahir, manusia juga memiliki unsur batin yaitu akal, nafsu dan hati. Dengan melihat kesan hiburan-hiburan tersebut pada diri manusia maka dapat kita pilah menjadi hiburan akal, nafsu atau hati. Sebagai contoh, berhibur akal misalnya mempelajari hal-hal baru, meneliti, berdiskusi dsb. Islam mendorong keinginan fitrah untuk berhibur tersebut selama mengikuti petunjuk ALLAH yang menciptakan manusia. Misalnya, jika yang dipelajari adalah ilmu sihir maka Islam melarangnya karena hanya akan membawa kerusakan. Jangankan ilmu sihir, ilmu agama pun akan membawa keburukan jika tidak dikaitkan dengan tauhid dan akhlak. Ilmu tersebut hanya akan menjadikan manusia sombong, merasa mulia, bermegah-megah, hasad dengki, ego dsb. Apalagi ilmu-ilmu yang lain jika tidak dikaitkan juga dengan Tuhan. Begitu juga berhibur nafsu. Misalnya, keinginan manusia kepada lawan jenis, ALLAH telah tunjukkan caranya melalui pernikahan. Jika tanpa cara yang telah ALLAH tunjukkan yaitu pernikahan, hasilnya hanya akan rusak dan merusakkan. Sudahlah tidak mendidik dan mendisiplinkan nafsu agar tunduk kepada fitrah kita yang ingin menghamba kepada ALLAH, malah

menjadikannya semakin liar tidak terkendali. Sedangkan Al Quran telah mengajarkan kepada kita, Sesungguhnya nafsu itu sangat mengajak kepada kejahatan ( Yusuf:53 ) Sebenarnya, hakikat berhibur adalah terhiburnya hati dengan mengingat ALLAH. FirmanNya dalam Al Quran, Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram (Ar Raad: 28) Dengan demikian hiburan akal dan nafsu hanya akan menghibur hati jika selalu dihubungkaitkan dengan ALLAH. Sehingga melalui hiburan-hiburan tersebut kita akan terasa KebesaranNya, Maha KuasaNya, Maha PemurahNya, Maha PengasihNya, Maha AdilNya. Semakin kita berhibur semakin kita merendah diri, tawadhuk, hilang kesombongan dan kemegahan diri, semakin bersyukur dan merasa hina di hadapanNya, semakin takut kepada dosa-dosa dan terkikis rasa cinta dunia yang melemahkan jiwa. Itulah berhibur yang sesungguhnya. Semakin dekat diri kita kepada Tuhan, terpimpin akal, nafsu dan hati kita untuk cinta dan takut kepadaNya. Itulah kebahagiaan sebenarnya yang dicari-cari manusia dari hiburan. Jika kita berhibur namun tidak tampak dan tidak terasa sifat Kemuliaan Tuhan, justru nafsulah yang akan semakin liar tak terkendali. Maka, sebenarnya hiburan seperti itu bukan hiburan melainkan jebakan nafsu dan syaitan. Inilah yang sering luput dari para penghibur dan para pencari hiburan. Berapa banyak penghibur yang sibuk memikirkan bagaimana menghibur manusia dengan berbagai macam media, bentuk dan gayanya. Namun rupa-rupanya diri mereka sendiripun tidak terhibur. Resah, gelisah, jiwa mereka menderita, hilang kebahagiaan, narkoba menjadi pelarian, semakin jauh dari Tuhan, bahkan bunuh diri karena tidak tahan dengan cobaan. Jika para penghibur gagal menghibur dirinya lalu bagaimanakah nasib kita yang ingin mencari hiburan? Jangan-jangan tanpa sadar sebenarnya kita telah masuk ke dalam tipuan yang menyesatkan. Naudzubillahi min dzalik.

Halaqah

[2223 Reads]

Antara Fitrah Manusia dengan Allah sebagai Sang Pencipta


Posted by: hendra on Friday, May 09, 2003 - 10:03
Hudzaifah Trisakti online - Jakarta, Sebagai seorang muslim, kita memiliki keimanan yang harus terpatri dalam diri kita. Salah satu keimanan yang harus dipahami dan direalisasikan dalam keseharian adalah keimanan kita kepada Allah sebagai Sang Pencipta. Dari segi bahasa, keimanan ini dikenal dengan Tauhid Rububiyyah, yang berarti mengimani Allah sebagai Rabb atau Pencipta dan Penguasa terhadap segala sesuatu.

Hal ini juga berarti mengimani bahwa tidak ada saingan dalam kekuasaan-Nya, dalam pemerintahan-Nya. Hanyalah Allah yang memberikan segala-galanya dan tiada sesuatu-pun yang dapat melakukan kebaikan dan keburukan kecuali dengan se-izin-Nya. Allah berfirman: "Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Yunus: 107) - (hdn, 8/5/2003) Dengan keimanan ini berarti kita beritikad bahwa Allah ialah Tuhan yang menciptakan alam, memeliharanya, memberi rizki, segala-galanya di bawah pengetahuan-Nya, kehendak-Nya, dan Kebijaksanaan-Nya yang tidak terhingga. Hakikat tauhid ini terdapat pada Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 258-260. Sebagaimana yang kita ketahui, setiap manusia itu memiliki fitrah atau semacam naluri dasar yang dijadikan oleh Allah pada diri setiap manusia. Di mana pada fitrah manusia itu pada dasarnya memiliki kecondongan membutuhkan adanya Tuhan Sang Pencipta. Sebagaimana yang Allah firmankan: "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Luqman: 25) Dengan kecenderungan fitrah inilah manusia - bagaimanapun ingkarnya dia - ketika ia dalam keadaan terjepit, maka tetap akan mengakui keberadaan Allah. Allah berfirman: "Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus." (QS. Luqman: 32). Fitrah manusia yang demikian ini akan selalu tetap kondisinya seperti ini. Bagaimanapun keadaan manusia, pada dasarnya ia akan tetap mempercayai keberadaan Allah sebagai sang Pencipta. Allah berfirman: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Ar Rum: 30)

Halaqah

[9180 Reads]

Mengenal Islam (I), Makna Secara Istilah


Posted by: abusafar on Wednesday, April 12, 2006 - 07:47
Hudzaifah.org - Sobat muslim, mari kita lanjutkan kembali pembahasan kita mengenai Islam. Setelah kita sudah mengenal Islam dari segi bahasa, kini kita akan bahas makna Islam dari segi istilah. Secara istilah, Islam berarti wahyu Allah, diin para nabi dan rasul, pedoman hidup manusia, hukum-hukum Allah yang ada di dalam Al Qur'an dan As Sunnah, dan dia merupakan jalan yang lurus,

Related links More about Aqidah

News by abusafar

Most-read story in Aqidah: Mengenal Islam (VI), Makna Secara Bahasa

Pesan Singkat

untuk keselamatan dunia dan akhirat. Agar memudahkan pembahasan, insya Allah akan saya bagi pembahasan kita kali ini menjadi sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Islam Islam Islam Islam Islam Islam adalah adalah adalah adalah adalah adalah Wahyu Illahi (Wahyu Allah) diin para Nabi dan Rasul pedoman hidup manusia Hukum-hukum Allah jalan yang lurus keselamatan dunia dan akhirat

Hanya yang sudah login yang dapat mengisi pesan singkat

Agar tidak terlalu panjang, semua pembahasan itu insya Allah akan saya bagi menjadi beberapa artikel bersambung. Baiklah, mari kita kaji bagian yang pertama. I. Islam adalah Wahyu Illahi (Wahyu Allah). Makna pertama, Islam adalah wahyu Illahi. Sebagaimana yang kita ketahui, Islam memiliki pedoman utama yaitu Al Qur'an dan As Sunnah. Al Qur'an adalah wahyu Allah, sehingga ajaran Islam sepenuhnya adalah dari Allah SWT, bukan dari ciptaan manusia. Atau dengan kata lain, Islam adalah dari firman Allah, bukan buatan manusia. Sedangkan As Sunnah hukum kedua setelah Al Qur'an, dia merupakan apa-apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Rasul sendiri merupakan manusia pilihan Allah SWT yang menyampaikan firman-firman Allah melalui perantara malaikat Jibril AS. Yang Rasul katakan tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam ayat berikut ini: "...dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (QS. An Najm: 3-4) Karena sumbernya yang jelas dan hakiki, yaitu wahyu Illahi, dengan demikian Islam tidak dapat disamakan dengan agama, kepercayaan, atau isme/paham lainnya. Selain itu, Islam tidak mungkin kurang, tidak lengkap, atau tidak sesuai dengan manusia. Akan tetapi Islam sangat sesuai dengan manusia, karena sumber Islam dan yang menciptakan manusia adalah sama, yaitu Allah SWT. Allah yang menciptakan manusia pasti tahu dan mengenal siapa itu manusia, dan mengetahui apa yang dia butuhkan, termasuk tahu apa tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan manusia, belum tentu mengenal secara sempurna manusia itu sendiri. Sehingga pedoman hidup, agama, atau paham buatan manusia (misalnya kapitalisme, komunisme, dll) tidak akan sesuai dengan manusia, bahkan akan membawa kehancuran bagi seluruh manusia. Selain itu, karena sumber Islam adalah dari Allah SWT, maka tidak ada keragu-raguan dalam Islam. Tidak ada ketimpangan di dalamnya, sehingga tidak membuat kita bingung sebagaimana dalam agama atau paham lainnya. Karena wahyu merupakan simbol keterarahan dan keteraturan. Islam bukan pula sebuah tradisi, apalagi kalau dikatakan tradisi bangsa Arab. Islam adalah rahmatan lil'alamin (rahmat bagi seluru semesta alam), karena bersumber dari yang menciptakan

alam semesta. Berbeda dengan agama dan isme lainnya yang bisa jadi merupakan tradisi atau pemikiran tertentu, karena diciptakan oleh manusia. Jika Islam (wahyu Allah) dapat ditegakkan maka kezaliman akan hilang/kalah. Dan bila tidak mengikuti wahyu Allah, maka manusia akan ditimpa kemiskinan, bencana, dan kemurkaan dari Allah SWT. Sebagaimana dalam surat Al Anbiyaa ayat 1 - 15. Dengan demikian, maka sudah seharusnya seorang muslim memiliki ketundukan kepada wahyu Allah SWT. Segala yang Allah perintahkan harus dilaksanakan, dan segala yang Allah larang harus dijauhi. Termasuk di dalamnya adalah mengikuti apa -apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Sobat muslim, insya Allah akan kita sambung ke bagian ke-2. [] (by abusafar :: serial Tarbiyah Islamiyah: ma'rifatul dinul Islam) Hudzaifah.org

Halaqah

[6847 Reads]

Mengenal Islam (V), Makna Secara Bahasa


Posted by: abusafar on Saturday, February 19, 2005 - 11:18
Hudzaifah.org - Sobat-sobat semua, kini kita lanjutkan pembahasan mengenal Islam ke bagian ke-5. Makna Islam secara bahasa berikutnya adalah ?As-Silmu?. ?As-silmu? As-Silmu bermakna perdamaian. Lafaz As-silmu ini tersirat dalam Al Qur?an pada surat Muhammad (47) ayat 35 yang berbunyi: ?Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu.? (QS. Muhammad: 35) Pada ayat di atas, istilah ?damai? tertera di Al Qur?an dengan ucapan ?as-salmi?. Ayat ini menjelaskan tentang Rasulullah SAW yang diminta oleh Allah SWT agar tidak meminta perdamaian hanya karena ketakutan. Karena pada dasarnya mereka (orang kafir) adalah lemah dan selalu menghalangi umat dari agama Islam. Sedangkan Allah sudah memberikan motivasi kepada umat Islam dengan firman-Nya, ?padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu?. Apalagi Allah sudah menjamin dengan firman-Nya, ?Dia sekalikali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu.? Oleh karenanya, janganlah kita merasa lemah, takut, dan meminta perdamaian. Lalu, apakah semua ini berarti Islam anti perdamaian? Tentu tidak, Islam adalah dien yang penuh kedamaian. Ayat di atas pada dasarnya menyiratkan suatu kondisi ketika umat Islam dalam keadaan ?terserang? dan merasa takut. Artinya, pada saat Islam sedang dalam kondisi diserang, maka sikap yang harus diambil oleh umat Islam adalah tidak akan menyerah dan minta damai hanya karena takut (dengan kata lain, menyerah untuk dijajah). Sekali lagi, karena Allah sudah mengatakan bahwa kitalah yang berada di atas dan Allah bersama kita. Dan ini juga berarti, kondisi tidak damai itu pada dasarnya bukan umat Islam penyebabnya, tapi merekalah (orang-orang kafir) itu yang menjadikan adanya kondisi tidak damai karena keonaran mereka.

Namun ketika umat Islam berada di atas angin, penuh kemenangan dari orang-orang kafir, maka yang terjadi biasanya adalah orang-orang kafir itu memohon perdamaian kepada kita. Jika mereka condong kepada kedamaian, maka Islam pun akan menerimanya dengan syarat. Allah SWT berfirman, ?Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.? (QS. Al Anfal: 61). Beberapa pendapat mengatakan, ketika Islam menerima tawaran perdamaian dari orangorang kafir, maka kita menerimanya dengan syarat - salah satunya - orang-orang kafir itu harus membayar jizyah (semacam pajak) kepada umat Islam. Dan mereka dijamin akan hidup damai berdampingan dengan umat Islam selama tidak mengkhianati perjanjian. Sobat semua, kini posisinya sudah jelas bahwa Islam adalah agama perdamaian. Mari kita perhatikan ke sudut-sudut dunia. Jika umat Islam menjadi golongan yang terjajah, maka di sana biasanya tidak ada kedamaian, yang ada hanyalah peperangan, penyiksaan, penculikan, pembunuhan, dan sebagainya, terhadap umat Islam. Dan di tempat itu pasti ada perlawanan dari umat Islam yang tetap ingin menjaga izzahnya (kemuliaan dan kehormatannya). Tapi ketika Islam menjadi pemimpinnya, Islam menjadi pedoman hidup warganya, tuntunan ibadah Islam menjadi kebutuhan sehari-harinya, dan seterusnya, maka di sana Insya Allah kedamaian yang terjadi. Bersambung... [-- by abusafar :: serial Tarbiyah Islamiyah: ma'rifatul dinul Islam --]

Anda mungkin juga menyukai