Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Karsinoma sel skuamosa adalah neoplasma maligna yang berasal dari keratinosit suprabasal epidermis. Neoplasma ini merupakan jenis neoplasma non melanoma kedua terbanyak setelah karsinoma sel basal. Karsinoma ini meningkat insidensinya di daerah yang lebih banyak paparan sinar matahari bahkan mencapai 200-300 kasus tiap 100.000 penduduk di Australia. Ulkus marjolin adalah salah satu faktor predisposisi untuk terjasinya karsinoma sel skuamosa Ulkus marjolin adalah lesi maligna yang berasal dari jaringan parut akibat trauma bakar, osteomielitis kronik, inflamasi kronik atau fistula kronik. Tipe ulkus ini jarang terjadi, biasanya tumbuh progresif pada luka yang tidak sembuh, disertai trauma kronik dan terutama parut luka bakar. Ulkus marjolin sering berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa meskipun memerlukan waktu yang cukup lama (Kowel, DKK., 2005). Secara lokasi geografis, ulkus marjolin pada umumnya lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan (Hahn, DKK., 1990). Di Nigeria, rasio laki-laki banding perempuan 1.4: 1 (Achebe & akpuaka, 1987). Di korea dan india 3:1 (Hahn, DKK., 1990). Penyakit tumor kulit dewasa ini cenderung mengalami peningkatan jumlahnya terutama di Amerika, Australia dan Inggris. Berdasarkan beberapa penelitian, orang kulit putih yang lebih banyak menderita kanker kulit. Hal tersebut diprediksikan sebagai akibat seringnya terkena (banyak terpajan) cahaya matahari. Di Indonesia penderita kanker kulit terbilang sangat sedikit dibandingkan ke-3 negara tersebut, namun demikian kanker kulit perlu dipahami karena selain menyebabkan kecacatan (merusak penampilan) juga pada stadium lanjut dapat berakibat fatal.

B. Tujuan penulisan Tujuan penulisan laporan ini adalah selain memenuhi tugas referat kepaniteraan klinik, juga untuk menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai tumor kulit khususnya ulkus marjolin.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Karsinoma sel skuamosa adalah neoplasma maligna yang berasal dari keratinosit suprabasal epidermis. Neoplasma ini merupakan jenis neoplasma non melanoma kedua terbanyak setelah karsinoma sel basal. Karsinoma ini meningkat insidensinya di daerah yang lebih banyak paparan sinar matahari bahkan mencapai 200-300 kasus tiap 100.000 penduduk di Australia. Ulkus marjolin adalah salah satu faktor predisposisi untuk terjasinya karsinoma sel skuamosa (Kowel, DKK., 2005). Ulkus marjolin adalah lesi maligna yang berasal dari jaringan parut akibat trauma bakar, osteomielitis kronik, inflamasi kronik atau fistula kronik. Tipe ulkus ini jarang terjadi, biasanya tumbuh progresif pada luka yang tidak sembuh, disertai trauma kronik dan terutama parut luka bakar. Ulkus marjolin sering berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa meskipun memerlukan waktu yang cukup lama (Kowel, DKK., 2005).

B. Epidemiologi Secara lokasi geografis, ulkus marjolin pada umumnya lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Di Nigeria, rasio laki-laki banding perempuan 1.4: 1. Di korea dan india 3:1 (Hahn, DKK., 1990). Ulkus Marjolin mempengaruhi pasien dengan usia yang lebih muda. Hal ini juga muncul pada masa transisi semakin lebih pendek. Semakin muda usia, semakin pendek masa transisi. Telah tencatat bahwa ulkus Marjolin mempengaruhi orang Nigeria dari kelompok usia yang lebih muda dan menunjukkan waktu transisi pendek (Achebe & akpuaka, 1987).

Waktu transisi cukup bervariasi, berkisar antara empat minggu untuk satu tahun dengan rata-rata empat bulan (Aydogdu, DKK., 2005). Perawatan yang tidak tepat bisa mengiritasi ulkus dimana bisa mempersingkat waktu transisi.

C. Etiologi Etiologi penyakit ini tidak cukup jelas, namun diyakini karena multifaktorial. Iritasi kronis dan induksi unit epidermal terus berproliferasu mengikuti penyembuhan yang lambat dan ketidakstabilan bekas luka (Treves & Pack, 1930). Meskipun pola yang biasa diulang siklus penyembuhan dan pemecahannya, transformasi ganas juga terjadi pada luka yang tidak pernah sembuh (Lawrance, 1952). Faktor lain adalah mengurangi vaskularisasi dan depigmentasi bekas luka. Jaringan parut yang relatif avascular dapat bertindak sebagai situs imunologis istimewa yang memungkinkan tumor untuk melawan pertahanan tubuh terhadap sel asing (Simmons & Erwars, 2000). Kulit yang kaya vaskularisasi bertanggung jawab terhadap insidensi yang relatif rendah pada ulkus marjolin. Ulkus Marjolin cukup agresif pada pasien dengan human immunodeficiency virus (Rahimizadeh, DKK., 1997). Sinar ultraviolet juga berperan dalam etiologi kanker sel skuamosa. Ulkus Marjolin banyak ditemukan pada bagian yang sering terkena sinar matahari (Aydogdu, DKK., 2005). Penyebab utama dari kerusakan akibat sinar matahari adalah radiasi ultraviolet pada panjang gelombang antara 320 nm dan 290 nm (UVB). Pada pemeriksaan histologis ditemukan kulit yang rusak, keratinosit dan vacuola dikenal sebagai sel kulit yang terbakar. Juga ditemukan penurunan jumlah sel Langerhans dan efek imunosupresif umum (Scarlet, 2003). Sel Langerhans memegang peranan penting dalam penyajian antigen tumor terkait dan dalam imunosurveilans kulit terhadap neoplasma baru (Grabbe, 1992). Perubahan pada gen supresor tumor p53 berperan dalam etiologi tersebut. Gen tersebut berfungsi terutama untuk menjaga terhadap kerusakan DNA dapat diperbaiki oleh sinyal untuk apoptosis kritis bermutasi, sel-sel prakanker pada berbagai jaringan dan organ, terutama sel endotel (Kerr,

DKK., 1994). Jika bermutasi atau hilang, perbaikan DNA yang sesuai atau apoptosis tidak terjadi sebagai siklus sel, dan sel anak bermutasi selanjutnya dipilih untuk ekspansi klonal. Mutasi gen telah banyak ditemukan dalam berbagai sel kanker manusia. Secara khusus, studi terbaru menunjukkan bahwa p53 kelainan gen ada dalam persentase yang besar dari karsinoma sel skuamosa kulit manusia. Kelainan diinduksi oleh radiasi ultraviolet (Brash, DKK., 1991). Sebagian besar kelainan gen p53, mungkin 90%, adalah mutasi missense yang menghasilkan sebuah produk protein abnormal atau dipotong dari gen yang biasanya menghasilkan lebih dari ekspresi protein p53 non fungsional. 30 Studi kasus, ditemukan gen dalam tumor pasien dengan ulkus Marjolin. 31 Hal ini mungkin menjadi alasan untuk agresinya. Telah dicatat sebelumnya bahwa luka bakar karena sinar matahari menyebabkan penurunan populasi sel Langerhans dari kulit yang terkena (Scarlet, 2003).

D. Patogenesis Ulkus marjolin muncul karena pasca luka bakar atau luka trauma yang tidak sembuh-sembuh. Luka yang tidak sembuh-sembuh > 3 bln patut dicurigai, terlebih jika luka menebal. Terlihatnya dasar tulang dan sedikitnya jaringan lunak secara klinis, ada dua jenis ulkus Marjolin, yaitu : (1) flat, indurated, infiltrasi karsinoma, colitis (2) bentuk papiler exophytic yang jarang dan umumnya kurang parah (Aydogdu, DKK., 2005). Lesi exophytic memiliki prognosis yang lebih baik dari diferensiasi buruk, ulserasi dan infiltrasi. Biasanya tepi lesi ulserasi yang membalik keluar dan memiliki sedikit jaringan granulasi. Ulkus Marjolin sering disertai rasa sakit (Nancarrow, 1893). Terkadang tidak adanya tanda-tanda klinis peradangan lainnya seperti rasa panas dan eritema, meningkatnya rasa sakit dan perdarahan mungkin menunjukkan tumor telah lolos dari batas-batas bekas luka. Pendarahan dari lesi primer berhubungan dengan penyakit berulang (Aydogdu, DKK., 2005).

Adenopati juga dapat hadir, mengikuti infeksi pada ulkus atau metastasis kelenjar getah bening. Pada tahap akhir bisa melibatkan gangguan tulang dengan fraktur patologis. (Achebe & akpuaka, 1987).

Theory Toxin theory Chronic irritation theory Traumatic epithelial elements implantation theory Co-carcinogen theory Initiation and promotion theory

Proposed mechanism Toxins released from damaged tissues later lead to cellular mutations. Chronic irritation with repeated attempts at re-epithelialization contributes to neoplastic initiation. Epithelial elements implanted into the dermis, lead to a foreign body response reaction and a disordered regenerative process. Chemical or trauma such as burn injury acts to 'stir' pre-existing but dormant neoplastic cells into proliferation. A two-step process that converts normal cells into malignant cells. In the initiation phase, normal cells become dormant neoplastic cells that may then be subsequently stimulated into neoplastic cells by a co-carcinogen such as infection, in the promotion phase. This theory overlaps with the co-carcinogen theory. Burn scarring effectively obliterates lymphatics to injured area, preventing normal immunosurveillance and thus permitting neoplastic growth. These tumors initially grow slowly, but quickly overwhelm the immune system, metastasize and are rapidly fatal, once they break through the scar barrier. HLA DR4 is associated with cancer development and p53 gene abnormalities have been demonstrated in patients with Marjolin's ulcers. Further, Fas mutations in the apoptosis function region that predispose to malignant degeneration of scars have been demonstrated in burn scar Marjolin's ulcers. Ultraviolet rays theory - UV rays cause a reduction in Langerhans cell population leading to a reduction in cutaneous immunosurveillance against developing malignancy and also cause p53 tumor suppressor gene alterations. Attempts to explain the occurrence of 'Acute' Marjolin's ulcers.

Immunologic privileged site theory Heredity theory

Ultraviolet rays theory Environmental and genetic interaction theory

Nthumba World Journal of Surgical Oncology 2010 8:108 doi:10.1186/1477-7819-8-108

E. Stadium klinis Klasifikasi TNM T Tumor Primer Tx T0 Tis T1 T2 T3 T4 Tumor primer tidak dapat diperiksa Tidak ditemukan tumor primer Karsinoma in situ Tumor dengan ukuran terbesar <2 cm Tumor dengan ukuran terbesar >2 s/d <5 cm Tumor dengan ukuran terbesar >5 cm Tumor menginvasi struktur ekstradermal dalam, seperti kartilago, oto skelet atau tulang N Kelenjar getah bening regional Nx N0 N1 Kelenjar getah bening regional tidak dapat diperiksa Tidak ditemukan metastasis kelenjar getah bening Terdapat metastasis kelenjar getah bening regional

M Metastasis jauh Mx Metastasis jauh tidak dapat diperiksa

M0 M1

Tidak ada metastasis jauh Terdapat metastasis jauh

Stadium Stadium 0 Stadium I Stadium II Stadium III Tis T1 T2,T3 T4 Tiap T Stadium IV Tiap T N0 N0 N0 N0 N1 Tiap N M0 M0 M0 M0 M0 M1

F. Diagnosis 1. Anamnesis Penderita mengeluh adanya riwayat luka bakar, lesi di kulit yang tumbuh menonjol, mudah berdarah, bagian atasnya terdapat borok seperti gambaran bunga kol.

2. Pemeriksaan Fisik Didapatkan suatu lesi yang tumbuh eksofitik, endofitik, infiltratif, tumbuh progresif, mudah berdarah dan pada bagian akral terdapat ulkus dengan bau yang khas. Selain

pemeriksaan pada lesi primer, perlu diperiksa ada tidaknya metastasis regional dan tanda tanda metastasis jauh ke paru-paru, hati, dll. 3.Pemeriksaan penunjang a) Radiologi: X-foto toraks, X-foto tulang di daerah lesi, dan CTScan/ MRI atas indikasi b) Biopsi untuk pemeriksaan histopatologi: 1) Lesi <2 cm dilakukan biopsi eksisional 2) lesi > 2 cm dilakukan biopsi insisional

G. Penatalaksanaan Saat ini belum ada konsensus tentang protokol pengelolaan Marjolin ulcers. Hal ini cukup sulit karena tumor bersifat agresif, kesempatan terbaik untuk penyembuhan adalah eksisi lokal yang luas sedini mungkin dengan harapan bisa bersifat kuratif (Aydogdu, DKK., 2005). Jenis tindakan tergantung dari ukuran lesi, lokasi anatomi, kedalaman invasi, gradasi histopatologi dan riwayat terapi. Prinsip terapi yaitu eksisi radikal untuk lesi primer dan rekonstruksi penutupan defek dengan baik. Penutupan defek dapat dengan cara penutupan primer, tandur kulit atau pembuatan flap. Untuk lesi operabel dianjurkan untuk eksisi luas dengan safety margin 1 2 cm. Bila radikalitas tidak tercapai, diberikan radioterapi adjuvant. Untuk lesi di daerah cantus, nasolabial fold, peri orbital dan peri aurikular, dianjurkan untuk Mohs micrographic surgery (MMS), bila tidak memungkinkan maka dilakukan eksisi luas. Untuk lesi di kepala dan leher yang menginfiltrasi tulang atau kartilago dan belum bermetastasis jauh, dapat diberikan radioterapi. Untuk lesi di penis, vulva dan anus, tindakan utama adalah eksisi luas, radioterapi tidak memberikan respon yang baik. Untuk kasus inoperabel dapat diberikan radioterapi

preoperatif dilanjutkan dengan eksisi luas atau MMS. Untuk kasus rekurens sebaiknya dilakukan MMS atau eksisi luas. Bila terdapat metastasis ke kgb regional, dilakukan diseksi kgb, yaitu diseksi inguinal superfisial, diseksi aksila sampai level II atau diseksi leher modifikasi radikal. Biopsi kelenjar getah bening telah terbukti memberikan hasil 83% dan dianjurkan untuk mendeteksi enyebaran sistemik. Pada lesi akhir, dianjurkan terapi dengan menggabungkan operasi, kemoterapi dan radioterapi yang dianjurkan (Aydogdu, DKK., 2005). Hal ini mungkin dalam bentuk adjuvant ataupun neo adjuvant dengan kemoterapi agen therapy termasuk 5-fluorouracil, Metotreksat, Bleomycin dan Cisplatinum. Terapi agresif diperlukan terutama pada lesi di kulit kepala (Chintamani,2004). Radioterapi dan kemoterapi juga dianjurkan sebagai terapi ajuvan dengan kombinasi Metotreksat, Bleomycin dan Cisplatinum (chintamani, 2004). Radioterapi dan kemoterapi menggunakan 5 - fluorouracil juga telah dicoba untuk pasien yang menolak dilakukan operasi (Aydogdu, DKK., 2005). Indikasi untuk terapi radiasi diantaranya : (1) pasien dengan metastasis kelenjar getah bening yang bisa dioperasi (2) pasien dengan lesi kelas tinggi dengan kelenjar getah bening positif setelah diseksi kelenjar getah bening regional (3) pasien dengan diameter tumor lebih besar dari 10 cm, dengan kelenjar getah bening positif setelah diseksi kelenjar getah bening regional, (4) pasien dengan lesi kelas tinggi, dengan diameter tumor lebih besar dari 10 cm dan tidak ada kelenjar getah bening positif setelah diseksi getah bening regional, (5) pasien dengan lesi pada kepala dan leher, dengan kelenjar getah bening positif setelah diseksi kelenjar getah bening regional (Ozek, DKK., 2001). Kombinasi gen p53 terapi sistemik dan radiasi menghasilkan regresi tumor lengkap dan penghambatan kekambuhan bahkan 6 bulan setelah akhir semua pengobatan. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi gen p53, bila digunakan dengan radioterapi konvensional, dapat memberikan cara baru dan lebih efektif untuk pengobatan kanker. Amputasi diperlukan

untuk kasus-kasus yang terlambat dengan keterlibatan tulang terutama dengan adanya fraktur patologis (Hahn, DKK., 1990). H. Pencegahan Pencegahan utama adalah perawatan yang memadai dari bekas luka, terutama yang rentan terhadap trauma dan ketidakstabilan. Seringkali eksisi dan cangkok kulit adalah andalan pengobatan untuk bekas luka tapi kasus transformasi ganas pada luka sebelumnya dipotong dan dicangkokkan. Pengobatan yang digunakan dalam isolasi terutama di ulkus terbentuk di kontraktur sendi lebih mobile, yang rentan terhadap tekanan berulang. Luka lambung cenderung mengembangkan di kulit depigmented tentang daerah ketegangan maksimum dalam kontraktur, juga dianjurkan pada semua jenis luka yang tidak sembuhsembuh sampai 12 minggu, harus dipotong sampai batas jaringan sehat dan diperiksa secara mikroskopis (Wong , DKK., 2003).

I. Prognosis Tumor pada awalnya terbatas pada bekas luka. Pada tahap ini pertumbuhan lambat dan dapat disembuhkan secara total. Setelah fase istirahat dari bekas luka, metastasises terjadi dengan cepat melalui kelenjar regional (Bostwick & Pendergrast, 1976). Karsinoma sel skuamosa akibat ulkus Marjolin memiliki kecenderungan lebih besar untuk metastasis dari pada karsinoma sel skuamosa yang timbul karena kulit rusak terpapar matahari setelah fase istirahat dari bekas luka. Tingkat metastasis mencapai 60% dimana lesi predisposisi adalah ulkus tekanan, dan 34 % karena luka bakar. Meskipun kelenjar getah bening regional adalah situs yang paling sering metastasis , hati, paru, otak, ginjal dan metastasis jauh lainnya juga terjadi (Aydogdu, DKK., 2005).
Variable Latency to malignancy Tumor location Tumor source Tumor diameter Tumor type Better Less than 5 years Head, neck, upper extremeties Post-burn, chronic osteomyelitis Smaller than 2 cm Exophytic Poorer More than 5 years Lower limbs, trunk Pressure sore carcinomas 2 cm or more Infiltrative

Clinical

Histological

Metastases Tumor recurrence Degree of differentiation Peritumoral T lymphocyte infiltration Depth of dermal invasion Vertical tumor thickness

None None Well differentiated Heavy Superficial to reticular dermis Less than 4 mm thick

Present Present Moderately-well and poorly differentiated Scarce or absent Reticular dermis or deeper 4 mm thick or more

Anda mungkin juga menyukai