Anda di halaman 1dari 9

Membangun Kepribadian Muslim A.

Pendahuluan Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan paling utama disbanding dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Hal ini disebabkan manusia memiliki kelebihan yaitu akal, budi, dan amanah dalam menjalankan syariat sebagai bentuk pengabdian (ibadah) kepada Allah SWT Misalnya dalam Qs. Al-isra (17) ayat 70, Allah SWT berfirman:

Artinya: dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.

Dan dalam Qs. Az-dzariyaat (51) ayat 56:

Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.

Kemuliaan seseorang dikarenakan keagungan kepribadiannya. Memiliki kepribadian muslim merupakan satu hal yang sangat urgen dalam agama islam. Karena Islam bukan ajaran normative yang hanya diyakini dan dipahami dalam pikiran saja tanpa diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Namun, Islam adalah agama harmonis dalam merelasikan antara keimanan dan amal shaleh, antara norma, nilai dan perilaku, antara keyakinan dan karya nyata. Dengan demikian ajaran Islam harus tercermin dalam setiap tingkah laku, perbuatan dan sikap-sikap pribadi muslim. Namun, dalam realitanya ternyata masih ada umat islam yang sering berlebihlebihan dalam beberapa hal tetapi mengabaikan beberapa hal lainnya. Misalnya, ada seorang muslim yang sangat taat menjalankan ibadah shalat, bahkan menjadi teladan dalam masalah ini, tetapi tidak memperdulikan ikatan silaturahim. Dengan keluarga sering tidak akur, dengan tetangga jarang saling menyapa, sudah berkelar haji melakukan tindakan korupsi dan sebagainya. Dan yang lebih parahnya lagi ada orang yang melakukan tindakan

biadab berupa meledakkan bom bunuh diri di tengah-tengah umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah shalat jumat atas nama keyakinan umat Islam. Dan masih banyak lagi perbuatan yang mencerminkan kepribadian Islam yang tidak utuh, yang tidak sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam. Betapa lebarnya jurang antara apa yang ada dalam ajaran Islam dengan apa yang dilakukan oleh umat Islam. Sebenarnya jika kita memahami dengan baik ajaran agama, Islam telah memberikan solusi yang tepat dalam pembentukkan dan pengembangan kepribadian muslim yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para salaf al-shaleh. Dengan demikian pembinaan menuju kepribadian Islam seharusnya meneladani perilaku Rasulullah SAW dan mentransfermasikan ke dalam sisi kehidupan manusia.

B. Hubungan Manusia dengan Tuhan

Islam memerintahkan kepada penganutnya agar benar-benar beriman dan selalu taat kepada Allah, dekat dengan-Nya, mengingat-Nya, dan bertawakal kepada-Nya. Beriman dan taat kepada Allah merupakan bentuk kesediaan hamba untuk menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Dengan keimanan dan ketaatan kepada Allah, dia selalu berusaha menjaga keshalehan sosialnya. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW; Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka ia hendaknya berkata yang baik atau diam, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah memuliakan tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah memuliakan tamunya (HR. Bukhari Muslim)

Setiap muslim yang ikhlas dalam beribadah senantiasa mengedepankan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah dalam kondisi apapun. Walau kenyataannya kadang-kadang bertentangan dengan nafsu atau keinginan yang ada pada dirinya. Dan kondisi seperti ini menjadi ujian keimanan seorang muslim, apakah tetap istiqamah atau kemudian lengah dari ketaatan kepada Allah.

Kesabaran juga menjadi unsur yang sangat penting dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman dalam Qs. Maryam (19) : 65 ;

Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? Yusuf Qorodhowy (1989: 50) mengomentari ayat di atas, dimana Al-Quran menggunakan kata ishthabir sebagai ganti kata yang biasa (ishbir), karena kata ini manunjukkan arti sangat dalam melakukan suatu perbuatan. Hal ini tidak lain disebabkan kataatan kepada Allah past dipenuhi dengan berbagai macam rintangan atau hambatan yang mengganggunya baik dari dalam diri (internal) ataupun dari luar (eksternal). Selain itu, ada makna spiritual sangat dalam yang menjadikan taat kepada Allah dan beribadah kepada-Nya itu sangat susah dan berat bagi jiwa manusia. Imam al-Ghazali mengingatkan makna ini dalam ihyanya: shabar terhadap ketaatan itu amat berat, sebab tabiat jiwa manusia itu cenderung menghindar dari ubudiyah (penghambaan), sebaliknya mengingkan rububiyah (ketuhanan). Yusuf Qorodhowy (1989: 51-52) menyebutkan, bahwa orang yang taat memerlukan kesabarannya dalam tiga tahapan, yaitu: Pertama, sebelum melaksanakan ketaatan, yaitu dalam bentuk meluruskan niat, ikhlas dan menjauhkan perbuatan riya perbuatan ingin dilihat orang lain (pamer), dan sumah perbuatannya ingin didengar oleh orang lain-dari dirinya. Sabar ini termasuk ujian yang bert bagi orang yang mengetahui hakekat niat, keikhlasan, dan penyakit-penyakit hati. Kedua, dalam melaksanakan ketaatan, yaitu mengerjakan ketaatan dengan ketentuan dan syarat yang telah ditetapkan dalam ajaran agama, agar tidak melupakan Allah ketika melaksanakannya dan tidak mengabaikan adab dan sunah-sunah Rasul-Nya. Ketiga, setelah selesei pelaksanaan, yaitu dengan cara menahan diri dari sikap berlebihlebihan, misalnya sabar untuk tidak memamerkan perbuatannya dalam rangka mencari popularitas atau ujub (membanggakan diri yang berlebih-lebihan) dalan nelihat hasilnya, dan sabar dari segala sesuatu yang dapat membatalkan amalnya. Bentuk ketaatan lainnya adalah dengan cara mensyukuri kenikmatan yang diperoleh dari Allah SWT. Rasa syukur dapat diwujudkan dengan lisan berupa pujian kepada-Nya dan dengan anggota badan berupa ketaatan dan menggunakan segala kenikmatan tersebut untuk semakin dekat

kepada Allah SWT. Mengingkari dan tidak mensyukuri nikmat Allah termasuk perbuatan yang tidak etis, Allah SWT berfirman,

Sebagai muslim yang berkepribadian mulia seyogyanya selalu optimis dalam menghadapi permasalahan hidup. Allah melarang hamba yang berputus asa dari rahmat-Nya (Qs. Yusuf 12:87), karena orang mudah putus asa dalam menghadapi problem kehidupan, merupakan dampak dari ketidaktaatan kepada Allah SWT. Abu Bakar Jabir al-Jazairi (200: 110) mengatakan, tidak etis merasa putus asa dari mendapatkan tambahan rahmat yang meliputi segala hal, putus asa dari kebaikan yang mencakup semua makhluk, dan putus asa dari kebaikan Yang Mengatur alam raya. C. Hubungan Manusia dengan Makhluk Tuhan Manusia sebagai homo socius secara naluriah tidak akan mampu hidup tanpa adanya bantuan dari makhluk lain. Manusia juga membutuhkan hubungan social dan berkomunikasi untuk menampilkan eksistensi dan jati dirinya sebagai manusia. Setidaknya ada tiga hal yang mendasari usaha manusia mempertahankan hidup terletak pada orientasinya ke arah tiga hubungan (M. arifin: 1996); Pertama, hubungan manusia dengan Yang Maha Pencipta yaitu Allah Tuhan sekalian alam. Kedua, hubungan dengan sesame manusia. Ketiga, hubungan dengan alam sekitar yang terdiri dari berbagai unsure kehidupan, seperti tumbuhan, binatang, dan sumberdaya alamiyah yang ada. Poin kedua dan ketiga orientasi hubungan manusia merupakan tema kajian berikut ini. 1. Hubungan dengan sesama manusia Hubungan dengan sesama manusia atau hablun min alnas adalah interaksi manusia dengan sesamanya untuk mencapai keharmonisan dan saling ketergantungan dalam kehidupan. Manusia yang beragama harus membangun hubungan baik antar sesamanya dan sejalan dengan aktivitas ibadah yang benar kepada Tuhannya. Namun kenyataanya seringkali hubungan vertical dan horizontal tidak berjalan beriringan. Terkadang ada seseorang yang dapat beribadah dengan baik kepada Tuhannya, tetapi bermasalah bersosialisasi dengan sesamanya, atau sebaliknya. Tentu saja kedua hal ini tidak benar. Yang seharusnya berjalan adalah membangun dua bentuk hubungan itu dengan baik, sehingga terjadi keselarasan dalam dirinya. Berkaitan dengan hubungan sesama manusia ini setidaknya ada tiga kajian pokok yang harus dipahami oleh setiap muslim. Pertama, menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah SWT, dan memahami bagaimana cara untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Kemuliaan ini dapat diraih oleh manusia dengan senantiasa melakukan pembinaan, perbaikan, dan penyucian dirinya. Sebaliknya kehinaan manusia didapat karena mengotori dan merusak siri sendiri (Qs. Asy-Syams (92): 9-10).

Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi (2000: 123-130), ada empat langkah melakukan pembinaan, perbaikan, dan penyucian diri.
a. Taubat. Yaitu melepaskan diri dari semua dosa dan kemaksiatan, menyesali semua

dosa-dosa masa lalunya, dan bertekad tidak kembali kepada dosa di sisa-sisa umurnya. Apalagi di jaman yang serba hedonis, permisif, dan serba relative sekarang ini, orang begitu mudah melakukan kemaksiatan kepada Tuhan dengan melanggar larangan-Nya dan meninggalkan perintah-Nya. Termasuk perbuatan dosa dengan melakukan perusakan hutan, pencemaran lingkungan, dan debagainya yang berakibat kepada global warming dan menimbulkan malapetaka bagi manusia. Maka untuk melakukan perbaikan diri dan lingkungannya secara spiritulan harus bertaubat dengan sungguhsungguh (taubatan nasuha).
b. Muraqabah, yaitu kita senantiasa mengkondisikan diri merasa diawasi Allah SWT

disetiap waktu kehidupan hingga akhir kehidupannya, bahwa Allah melihatnya, mengetahui rahasia-rahasianya,memperhatikan semua amal perbuatannya,mengamatinya, dan mengamati apa saja yang dikerjakan oleh semua jiwa. Jika semua muslim memiliki pengawasan melekat (muraqabah) Allah SWT niscaya akan selalu merasakan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tenteram ketika ingat nama-Nya, selalu ingin dekat dengan-Nya. Dampak dari semua itu, dia akan selalu menjaga dirinya dari perbuatan dosa.
c. Muhasabah, yaitu melakukan evaluasi diri (self evaluation) terhadap dirinya atas amal

perbuatan yang dijalani sepanjang harinya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah dirinya selama seharian dominan melakukan amal shaleh atau sebaliknya lebih banyak melakukan amal thaleh (keburukan). Dengan mengetahui kebaikan atau keburukan pada dirinya akan mempermudah merencanakan kehidupan berikutnya dengan meningkatkan kebajikan atau segera melakukan perbaikan karena perbuatan tercela.
d. Mujahadah, adalah bersungguh-sungguh melakukan amal kebajikan. Karena pada

dirinya ada musuh besar yang harus dilawannya yaitu hawa nafsu yang secara paradoks selalu mengajak kita untuk berbuat keburukan, lari dari kebaikan, dan memerintahkan untuk melanggar syariat Allah, serta meniupkan kemalasan dalam menjalankan perintah-Nya. Jika setiap orang memahami semua ini, maka hendaknya setiap diri melakukan mobilisasi untuk berjuang melawan hawa nafsunya, dan bertekad mengatasi seluruh haw nafsu dan syahwatnya. Banyak orang yang terjerumus dalam perbuatan dosa dan maksiat karena tidak mempunyai kesungguhan dalam melawan hawa nafsunya. Mereka membiarkan dirinya tercebur ke dalam kubangan kemaksiatan padahal menyadarinya. Mereka ketika ditanya menyadari tidakuntuk segera memperbaiki diri, selalu saja yang terlontar dari lisan mereka karena belum mendapat hidayah, padahal yang sebenarnya adalah karena tidak ada kemauan yang sungguhsungguh untuk mengentaskan diri dari kerusakan moralnya.

Kedua, menjalin baik dengan lingkungan keluarga, dimana keluarga merupakan lembaga untuk menjalintali persaudaraan yang didasarkan ikatan keturunan, perkawinan, atau pergaulan dan menjadi lingkungan terkecil dalam masyarakat. Jalinan hubungan yang harmonis di dalam lingkungan keluarga misalnya birr al-walidain berbuat baik atau berbakti kepada orang tua, menyayangi dan mendidik anak-anak oleh orang tuanya. Saling mencintai, bahu-membahu, dan saling menutupi aurat antara suami dan istri. Menghormati saudara yang lebih tua, mengasihi saudara yang lebih muda, memegang teguh silaturahim antar saudara, dengan kerabat dan temanteman orang tua kita sesuai dengan ajaran Islam, termasuk menjagasilaturahim dengan keluarga yang non-muslim. Ketiga, hubungan dengan masyarakat disekitarnya yaitu dengan menjalin hubungan yang tidak hanya ditujukan pada pergaulan antar manusia secara personal, tetapi lebih pada tindakan kita dalam berbagai macam situasi dan kondisi untuk menciptakan suasana harmonis dalam tata laku bermasyarakat. Misalnya sopan dan santun dalam berkendaraan, bertamu dan menerima tamu, bertetangga, bergaul dengan yang bukan mahram, saat makan dan minum, berpakaian dan lainlain. Perilaku yang sangat penting dan harus ada pada diri setiap muslim adalah sikap menghormati dan menghargai orang lain, yaitu orang yang bukan termasuk keluarganny a, bisa teman, tetannga, atau orang lain yang bukan dari keduanya. Dalam konteks beragama, orang lain bisa juga diartikan orang yang tidak sekelompok dengan kelompoknya, dan orang yang tidak seiman dengan kita, atau orang yang tidakmemeluk agama Islam. Perilaku positif terhadap sesama muslim, sikap yang harus dikedepankan adalah merangkai tali silaturahim dan memenuhi hak-haknya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya, menyebutkan bahwa ada lima hak seorang muslim terhadap muslim lainnya, 1) memberi salam ketika bertemu, 2) menjenguk ketika sedang sakit, 3) mengantarka jenazahnya ketika meninggal dunia, 4) memenuhi undangannya, dan 5) mendoakanya ketika bersin (HR. Bukhari Muslim). Kepada tetangga dan tamu yang datang, harus selalu berbuat baik dan memuliakannya (HR. Bukhari Muslim). Terhadap tokoh agama atau alim ulama dan cendekiawan, harus menghormati keluasan ilmunya dan berusaha selalu bergaul dan mendekatinya untuk mendapatkan ilmu dari mereka. Terhadap para pemimpin, harus menaati mereka selama tidak berseberangan dengan ajaran agama, jika terjadi penyimpangan, pemimpin boleh dikritik dengan cara yang santun dan konstruktif. Adapun terhadap orabg-orang yang lemah, seperti fakir miskin dan anak yatim, kepada mereka harus berbuat baik dengan menyantuninya, memberi makanan dan pakaian, dan melindungi dari gangguan yang membahayakan. Terhadap yang tidak seiman, Islam memberikan beberapa batasan khusus seperti tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan dengan mereka, tidak memberi salam kepada mereka, dan tidak meniru cara-cara mereka. Ukuran hubungan dengan mereka yang tidak seiman adalah

selama tidak masuk pada ranah akidah dan syariah. Di luar itu, Islam tidak melarang untuk berhubungan dengan mereka. Dan nilai-nilai toleransi juga harus senantiasa dikembangkan untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan kehidupan keberagamaan, berbangsa dan bernegara.

2. Hubungan dengan alam sekitar Islam telah menetapkan tujuan manusia diciptakan oleh Allah SWT yaitu sebagai hamba Allah yang harus beribadah kepada-Nya (Qs. Adz-Dzariyaat (51): 56). Danmisi kemanusiaannya adalah sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi (Qs. Al-Baqarah (2): 30) dengan tugas pokok memakmurkan bumi (Qs. Hud (11): 51) dan menjaga kelestarian alam (Qs. Al-Qashash (28): 77). Jadi menurut pandangan Islam, keberadaan manusiadi dunia ini adalah sebagai wakil Allah yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya alam (memakmurkan bumi) dan melestarikannya. Islam sebagai agama yang memiliki ajaran komprehensif, juga memberikan arahan yang jelas tentang bagaimana memakmurkan dan melestarikan alam. Yang agak berbeda denga pandangan yang lainnya, Islam senantiasa memperhatikan relasi antara Allah SWT, manusia dan alam dalam hubungan yang harmonis dan seimbang. Dalam hubungan yang harmonis dan seimbang ini, Allah SWT menempati posisi sentral selaku Pencipta, sedangkan manusia selaku wakil-Nya diserahi tugas untuk memakmurkan alam secara bertanggung jawab. Agama, menurut Mary Evelyn Tucker, mempunyai lima tugas untuk menyelamatkan lingkungan, yaitu dengan: (1) Reference, keyakinan agama yang memerintahkan untuk mengelola alam dengan benar; (2) Respect, menghargai keberadaan semua makhluk hidup; (3) Restrain, penggunaan sumber daya alam untuk kepentingan manusia secara maksimal tanpa merusaknya; (4) Redistribution, semua makhluk mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pemanfaatannya; (5) Responsibility, bertanggung jawab untuk memelihara dan merawat keberlangsungan ekosistem di bumi. 3. Kepribadian Sempurna Membangun kepribadian Islam merupakan sesuatu yang urgen dealam agama Islam. Karena Islam menjadi ajaran yang selalu mengedepankan keseimbangan dan keterpaduan, misalnya memadukan dua hal antara keyakinan dan aplikasi, antara norma dan perbuatan, antara keimanan dan amal saleh. Oleh sebab itulah dalam berislam harus tercermin dalam sikap tingkah laku, perbuatan dan sikap sebagai pribadi muslim. Dalam Kamus Al-Munawir halaman 700-701, kata kepribadian memiliki padanan dari bahasa Arab syakhshiyah, yang berasal dari kata syakhshun berarti mengenai perseorangan atau al-dzali (diri sendiri). Kata ini kemudian mendapatkan nisbat sama dengan al-dzatiyah yaitu kepribadian. Kepribadian jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris adalah personality. Kata personality berasal dari bahasa Latin persona yang berarti topeng

yang digunakan para actor dalam suatu permainan atau pertunjukan, dimana mereka menyembunyikan wajah aslinya dengan topeng sesuai dengan perannya masing-masing (Elizabeth B. Hurlock, 1974:6) Menurut Gordon W. Allport (idem, 7 ), personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his characteristic behavior and thought. Abdul Mujib (1999: 133) menjelaskan, kepribadian adalah integrasi system kalbu, akal, dan nafsu manusia menimbulkan tingkah laku. Dari pengertian di atas dalam membina kepribadian Islam setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Ruhiyah (Manawiyah), merupakan aspek yang harus mendapatkan perhatian

khusus oleh setiap muslim. Sebab ruhiyah menjadi penggerak perilaku seseorang (Qs. Asy Syams (91): 7-10) dan (Qs. Al-Hadid:16). Ayat-ayat tersebut memberikan arahan kepada kita akan pentingnya untuk menjaga ruhiyah, karana sangat merugi bagi orang yang mengotorinya dan peringatan keras agar kita meninggalkan amalan yang bisa mengeraskan hati. Aspek-aspek yang terkait dengan manawiyah sesorang adalah: pertama, aspek akidah. Ruhiyah yang baik akan melahirkan akidah yang lurus dan kokoh, dan sebaliknya ruhiyah yang lemah bisa menyebabkan lemahnya akidah. Kedua , aspek akhlaq, dimana akhlak merupakan bagian penting dari keimanan. Akhlak juga salah satu tolak ukur kesempurnaan iman seseorang. Terawatnya ruhiyah akan membuahkan bagusnya akhlaq seseorang. Rasulallah SAW ketikan ditanya tentang siapa yang paling baik imannya, maka jawab rasulallah SAW adalah yang baik akhlaqnya. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai)
2. Fikriyah/akal. Kepribadian Islami juga ditentukan oleh sejauh mana kokoh dan

tidaknya aspek fikriyah. Kejernihan berpikir, kekuatan akal sesorang akan memunculkan amalan, kreativitas dan akal lebih dirasa daya manfaat orang untuk orang lain. FIkrah yang dimaksud meliputi : pertama, wawasan keislaman (tsaqafah Islamiyah). Sebagai seorang muslim menjadi keniscayaan bagi dia untuk memperluas wawasan keislaman akan memperkokoh keimanan dan daya manfaat diri untuk orang lain. Kedua, Pola pikir Islami (fikrah islami). Pola pikir Islami juga harus dibangun dalam diri seorang muslim. Semua alur berpikir seorang muslim harus mengarah dan bersumber pada kebenaran dari Allah SWT dan petunjuk Nabi SAW. Ketiga, disiplin dan tetap (tsabat) dalam berIslam. Sungguh kehidupan ini tidak terlepas dari ujian rintangan dan tantangan serta hambatan. Ujian tersebut tidak akan berakhir sebelum nafasanya berakhir. Oleh sebab itu untuk menghadapinya perlu tsabat dalam berpegang pada ajaran Allah SWT. 3. Amaliyah/ bekerja. Di antara sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sisi perbuatanya. Beramal saleh akan merubah kehidupan seorang mukmin karena

laksana air. Semakin banyak air yang bergerak dan mengalir semakin muslim semakin banyak amal baiknya, akan semakin banyak daya yang membersihkan dirinya, sebab amalan bisa menjadi penghapus dosa. Ada sedikitnya tiga alas an kenapa seseorang harus beramal: pertama kewajiban diri pribadi. Sebagai hamba Allah tentunya harus menyadari bahwa dirinya diciptakan bukan untuk hal yang sia-sia. Manusia Allah ciptakan untuk tujuan yang amat mulia yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Kedua, Kewajiban terhadap keluarga. Keluarga adalah lapisan kedua setelah individu dalam pembentukan masyarakat. Lapisan ini memiliki pengaruh yang kuat baik dan rusaknya sebuah masyarakat. Oleh sebab itulah seseorang dituntut untuk beramal karena terkait dengan kewajiban dia membentuk keluarga yang Islami, sebab tidak akan terbentuk masyarakat yang baik tanpa melalui pembentukan keluarga yang baik dan berkhidmat untuk Islam, seluruh anggota keluarga terlibat dalam amal Islami di seluruh bidang kehidupan. Ketiga, Kewajiban terhadap dakwah. Beramal Bagi seseorang muslim bukan hanya atas tuntutan kerwajiban diri dan keluarganya saja, akan tetapi juga karena tuntutan dakwah. Islam tidak hanya menuntut seseorang saleh secara social. Dimana dalam amal dakwah seseorang muslim harus mampu mempraktekan keyakinan dan pemahaman agamanya. Ketiga aspek itulah yang menjadi unsur-unsur pembentukan kepribadian muslim secara sempurna tersebut diharapkan seorang muslim mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia.

Anda mungkin juga menyukai