Anda di halaman 1dari 13

Menurut FDA, bahan tambahan pangan (BTP) adalah zat yang secara sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk

menghasilkan sifat fungsional tertentu pada makanan baik secara langsung atau tidak langsung dan menjadi bagian dari makanan tersebut (termasuk zat yang digunakan selama produksi, pengemasan, pengolahan, transportasi, penyimpanan). Kegunaan BTP adalah untuk meningkatkan nilai nutrisi, nilai sensori, dan umur simpan makanan (Belitz dan Grosch 1999). BTP tidak boleh digunakan bila bertujuan untuk menyembunyikan kerusakan atau kebusukan makanan atau untuk menipu konsumen (Fennema 1996). Salah satu golongan BTP adalah bahan pengawet. Sejak dahulu, bahan kimia telah ditambahkan untuk mengawetkan pangan segar. Beberapa bahan pengawet kimia seperti gula, garam, nitrit, dan sulfit telah digunakan selama bertahun-tahun. Salah satu alasan meningkatnya penggunaan bahan pengawet kimia adalah perubahan dalam cara produksi dan pemasaran makanan. Sekarang ini, konsumen mengharapkan makanan yang selalu tersedia, bebas dari mikroba patogen, dan memiliki umur simpan yang panjang. Walaupun telah dikembangkan sistem pengolahan dan pengemasan untuk mengawetkan makanan tanpa bahan kimia, namun bahan pengawet tetap memiliki peranan yang penting dalam melindungi suplai makanan. Hal ini disebabkan perubahan pemasaran makanan menjadi sistem yang lebih global sehingga makanan jarang dipasarkan secara lokal seperti zaman dahulu. Makanan yang diproduksi di satu wilayah, dikirim ke wilayah lain untuk diolah maupun untuk didistribusikan. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun dari sejak makanan diproduksi hingga dikonsumsi. Untuk mencapai kebutuhan umur simpan yang panjang, beberapa cara pengawetan sering diperlukan. U.S. Food and Drug Administration (FDA; 21CFR 101.22(a)(5)) mendefinisikan bahan pengawet kimia sebagai any chemical that, when added to food, tends to prevent or retard deterioration thereof, but does not include common salt, sugars, vinegars, spices, or oils extracted from spices, substances added to food by direct exposure thereof to wood smoke, or chemicals applied for their insecticidal or herbicidal properties. Bahan pengawet digunakan untuk mencegah atau memperlambat kerusakan baik kerusakan kimia maupun kerusakan biologis. Bahan pengawet yang digunakan untuk mencegah kerusakan kimia di antaranya antioksidan, untuk mencegah autoksidasi pigmen, flavor, lipid, dan vitamin; antibrowning, untuk mencegah pencoklatan enzimatik dan nonenzimatik; dan antistaling untuk mencegah perubahan tekstur. Bahan pengawet yang digunakan untuk mencegah kerusakan biologis disebut dengan antimicrobial agents (Davidson dan Branen 2005). FDA mendefinisikan antimicrobial agents (21CFR 170.3(o)(2)) sebagai substances used to preserve food by preventing growth of microorganism and subsequent spoilage, including fungistats, mold, and rope inhibitors. Fungsi utama bahan antimikroba adalah untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kualitas makanan melalui penghambatan mikroba pembusuk (Davidson dan Branen 2005). Mekanisme penghambatan

bahan antimikroba pada umumnya adalah reaksi dengan membran sel mikroba yang menyebabkan perubahan permeabilitas atau gangguan pada pengambilan dan transpor, inaktivasi enzim-enzim yang penting, gangguan pada mekanisme genetik, atau penghambatan sintesis protein (Davidson dan Branen 2005). Bahan antimikroba juga telah banyak digunakan untuk penghambatan atau inaktivasi mikroorganisme patogen di dalam makanan. Beberapa bahan antimikroba telah digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen tertentu. Misalnya, nitrit dapat menghambat Clostridium botulinum pada cured meats; asam organik bertindak sebagai sanitizer terhadap patogen pada karkas sapi; nisin dan lysozyme menghambat Clostridium botulinum dalam keju pasteurisasi; laktat dan diacetate dapat menginaktivasi Listeria monocytogenes dalam daging olahan (Davidson dan Branen 2005). Menurut Winarno (1992), bahan pengawet terdiri dari senyawa organik dan anorganik dalam bentuk asam atau garamnya. Bahan pengawet organic lebih banyak dipakai daripada bahan pengawet anorganik karena bahan pengawet organik lebih mudah dibuat. Bahan pengawet organik yang sering dipakai yaitu asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida. Sementara bahan pengawet anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, nitrit, dan nitrat. Dalam memilih bahan antimikroba, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan (Branen 1983). Pertama, spektrum bahan antimikroba dari komponen yang digunakan. Hal ini bertujuan agar penggunaan bahan antimikroba sesuai dengan target mikroba yang dituju. Bahan pengawet ini memiliki daya kerja yang berbeda-beda, ada yang khusus menghambat bakteri atau khamir atau kapang. Bahan pengawet yang baik adalah bahan yang memiliki spektrum antimikroba yang luas sehingga untuk menghambat beberapa jenis mikroba cukup menggunakan satu jenis bahan pengawet. Kedua, sifat fisik dan kimia bahan antimikroba dan produk pangan. Faktorfaktor seperti pKa, kelarutan bahan antimikroba dan pH dari makanan akan mempengaruhi efisiensi penggunaan bahan antimikroba. Bahan antimikroba

seperti asam-asam organik mempunyai efektivitas hanya pada makanan berasam tinggi dengan pH kurang dari pH 4.5 (Davidson dan Branen 2005). Faktor ketiga adalah kondisi penyimpanan produk dan interaksi produk dengan proses yang lain. Hal ini untuk memastikan bahan antimikroba tetap berfungsi selama penyimpanan produk. Proses pengawetan tertentu akan berpengaruh pada jenis dan kadar bahan antimikroba yang dibutuhkan. Sebagai contoh, penurunan Aw akan menyebabkan tumbuhnya kapang dan khamir, sehingga membutuhkan bahan antimikroba yang berbeda (Davidson dan Branen 2005). Keempat, keadaan mikroba awal bahan pangan sebelum ditambahkan bahan pengawet. Bahan pangan harus memiliki kualitas awal mikrobiologi yang tinggi yang berarti bahwa jumlah mikroba awal pada bahan pangan tersebut berada pada level yang rendah. Oleh karena itu, bahan pengawet dilarang digunakan jika tujuannya untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan. Pertimbangan lain dalam memilih bahan antimikroba adalah keamanan dan legalitas komponen bahan antimikroba.

Bahan

pengawet makanan adalah bahan ( senyawa ) yang ditambahkan kedalam

makanan dan minuman yang bertujuan untuk mencegah atau menghambat terjadinya kerusakan makanan oleh kehadiran organisme ( Endrrikat, dkk., 2010; Davletshina, dkk., 2003 ). Tujuan umum pemberian bahan pengawet kedalam makanan dan minuman adalah untuk memelihara kesegaran dan mencegah kerusakan makanan atau bahan makanan. Beberapa pengawet makanan dan minuman yang diizinkan berdasarkan Permenkes No. 722/ 1988 adalah berupa senyawa kimia seperti asam benzoate, kalium bisulfit, kalium meta bisulfit, kalkum nitrat, kalium nitrit, belerang dioksida, asam sorbat, asam propionate, kalium propionate, kalium sorbat, kalium sulfite, kalsium benzoit, kalsium propionate, kalsium sorbat, natrium benzoate, metal-p-hidroksi benzoit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium nitrit, natrium propionate, natrium sulfite, nisin, dan propel-p-hidroksibenzoat. Senyawa pengawet lain yang dipergunakan sebagai bahan pengawet makanan dan minuman dan diduga memiliki efek terhadap kesehatan apabila terdapat didalam makanan dan minuman dalam jumlah ambang batas. Penambahan bahan pengawet makanan perlu menjadi

perhatian karena informasi ilmiah yang diperoleh dari pengaruh senyawa pengawet makanan ini masih ada yang diragukan keamanannya. Beberapa bahan pengawet dan zat tambahan yang dimasukkan kedalam makanan yang sudah digolongkan sebagai senyawa yang dapat mengurangi kesehatan manusia dan sebaiknya dihindari dari makanan. Ada juga bahan pengawet yang tidak diperbolehkan ditambahkan kedalam makanan dan minuman, namun masih dipergunakan secara illegal seperti formalin dan boraks yang sering digunakan untuk mengawetkan tahu dan mie basah.

Natrium Benzoat Natrium benzoat adalah garam sodium dari asam benzoat dan ada dalam bentuk garam ketika dilarutkan dalam air. Hal ini dapat diproduksi dengan mereaksikan sodium hidroksida dengan asam benzoat. Pengawet ini banyak dijual dipasaran dan digunakan untuk mengawetkan barbagai bahan makanan Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap dan lain-lain (Cahyadi, 2008). Rumus kimia natrium benzoat yaitu C6H5COONa. Asam benzoat juga disebut sebagaiasam fenilformat atau asam benzenkarboksilat (Chipley 2005). Kelarutan asam benzoat dalam air sangat rendah (0.18, 0.27, dan 2.2 g larut dalam 100 ml air pada 4 oC , 18 oC , dan 75 oC ). Asam benzoat termasuk asam lemah (konstanta disosiasi pada 25oC adalah 6.335 x 10-5 dan pKa 4.19), sangat larut dalam etanol dan sangat sedikit larut dalam benzene dan aceton (WHO 2000). Bentuk aslinya asam benzoat terjadi secara alami dalam bahan gum benzoin. Natrium benzoat berupa bubuk kristalin yang stabil, tidak berbau,berwarna putih dengan rasa menyengat (astringent) yang manis.Natrium benzoat sangat larut dalam air (62.8, 66.0, dan 74.2 gram larut dalam 100 ml air pada 0oC, 20oC, dan 100 oC), higroskopik pada RH di atas 50 %, memiliki pH sekitar 7.5 pada konsentrasi 10 g/liter air, larut dalam etanol, metanol, dan etilen glikol (WHO 2000; Chipley 2005). Meskipun asam benzoat adalah pengawet yang lebih efektif, natrium benzoat lebih sering digunakan sebagai bahan tambahan makanan karena natrium benzoat 200 kali lebih larut dalam air dibandingkan asam benzoat yang tidak larut dalam air. Asam benzoat terdapat secara alami dalam buah-buahan dan rempahrempah

seperti cranberies, prunes, buah plum, kayu manis, dan cengkeh yang tua atau masak (Fardiaz et al. 1988). Asam benzoat juga terdapat secara alami pada produk-produk fermentasi seperti bir, dairy products, teh, dan anggur (Chipley 2005).

Gambar 1. Struktur Kimia Natrium Benzoat Gambar 2. Struktur Kimia As.Benzoat Asam benzoat sangat sedikit larut dalam air dingin tetapi larut dalam air panas, dimana ia akan mengkristal setelah didinginkan; asam benzoat larut dalam alkohol dan eter dan jika direaksikan dengan larutan besi (III) klorida akan membentuk endapan besi (III) benzoat basa berwarna jingga kekuningan dari larutan-larutan netral (Vogel, 1985). Asam benzoat aktif bersifat sebagai antimikroba pada pH rendah yaitu dalam keadaan tidak terdisosiasi (Fardiaz et al. 1988). Semakin tinggi pH, persentase asam tidak terdisosiasi makin kecil sehingga daya kerja benzoate akan semakin rendah. Karena jumlah asam yang tidak terdisosiasi menurun dengan meningkatnya pH, penggunaan asam benzoat atau natrium benzoat sebagai pengawet makanan terbatas pada makanan yang asam atau memiliki pH rendah. Benzoat paling efektif pada pH 2.54.0 dan kurang efektif di atas pH 4.5 (Davidson dan Juneja 1990). Tabel 1. Pengaruh pH pada Persentase Asam Tak Terdisosiasi

Sumber: Chipley (2005)

Natrium benzoat dikenal sebagai pengawet sintesis, ia juga merupakan bakteriostatik dan fungistatik di bawah kondisi asam. Natrium benzoat digunakan paling lazim berupa asam dalam makanan seperti cuka, minuman bersoda (asam karbonat), selai dan jus buah (asam sitrat), acar (cuka), dan bumbu. Mekanisme kerja natrium benzoat sebagai bahan pengawet adalah berdasarkan permeabilitas membran sel mikroba terhadap molekul-molekul asam benzoat. Penggunaan bahan pengawet natrium benzoat tidak selalu aman terutama jika digunakan dalam jumlah yang berlebihan. Asam benzoat 100 kali efektif dalam larutan asam dan hanya asam yang tidak terdisosiasi yang mempunyai aktivitas antimikroba.Toksisitas natrium benzoat dalam larutan adalah hasil dari molekul asam benzoat yang tidak terdisosiasi (Chipley 2005). Sebagai contoh, pada keadaan netral, kurang lebih 4% natrium benzoat diperlukan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme fermentatif; pada pH 2.3-2.4 hanya diperlukan konsentrasi 0.020.03% dan pada pH 3.5-4.0 (rentang pH sebagian besar jus buah)diperlukan konsentrasi 0.060.1% (Aurand et al. 1987). Fungsi utama dari asam benzoat dan natrium benzoat adalah sebagai antimycotic agents. Kebanyakan kapang dan khamir dihambat pada konsentrasi 0.05% sampai 0.1 % asam tidak terdisosiasi (Chipley 2005). Bakteri penghasil racun dan bakteri pembentuk spora secara umum dapat dihambat pada konsentrasi 0.01% sampai 0.02% asam tidak terdisosiasi, tetapi bakteri pembusuk jauh lebih resisten. Mekanisme penghambatan mikroba dari asam yang tidak terdisosiasi disebabkan bentuk yang tidak terdisosiasi tidak memiliki muatan. Oleh karena itu, asam yang tidak terdisosiasi dapat larut dalam bagian lipid dari membrane sel. Menurut Fardiaz et al. (1988), di dalam sel, asam benzoat akan terdisosiasi menjadi ion H+ dan radikal asam-. Ion H+ tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ion di dalam sel mikroba dan mikroba akan berusaha mengeluarkannya. Untuk mengeluarkan ion H+ tersebut, diperlukan energi dalam jumlah yang besar sehingga mikroba akan kekurangan energy untuk pertumbuhannya. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Lopez et al. seperti dikutip oleh Saragih (2007) bahwa mekanisme kerja bahan pengawet yang terdiri dari asam organik adalah berdasarkan permeabilitas dari membran sel mikroba terhadap molekul-molekul asam yang tidak terdisosiasi. Isi sel mikroba mempunyai pH yang selalu netral. Bila sitoplasma mempunyai pH lebih asam atau basa maka akan terjadi gangguan pada organ-organ sel sehingga metabolisme dalam sel menjadi terhambat. Menurut Chipley (2005), asam benzoat menghambat atau membunuh

mikroba dengan mengganggu permeabilitas membran sel mikroba dan menyebabkan gangguan pada system transpor elektron.

Aplikasi Sebagai bahan pengawet makanan, kelebihan asam benzoat dan natrium benzoat antara lain harganya yang murah, mudah diaplikasikan ke produk, dan tidak berwarna. Sementara rentang pH yang sempit, terjadinya off flavor pada produk, dan sifat toksikologi dibandingkan dengan bahan pengawet yang lain telah berkontribusi pada usaha untuk mengganti asam benzoat dan natrium benzoat dengan bahan pengawet lain yang memiliki karakteristik lebih baik. Benzoat tidak dapat mengontrol pertumbuhan mikroorganisme pada level yang tinggi dan karenanya tidak dapat digunakan. Natrium benzoat telah digunakan secara luas pada berbagai produk pangan seperti minuman, produk bakeri, dan makanan lain (Tabel 2). Asam benzoat juga digunakan sebagai pengawet dalam industri kosmetik dan farmasi. Umumnya, natrium benzoat dengan konsentrasi 0.1%-0.5 % digunakan pada kosmetik, sedangkan dalam industri farmasi digunakan konsentrasi 0.05%-0.1% (Chipley 2005). Asam benzoat juga dapat digunakan untuk mengontrol penyakit pascapanen pada berbagai buah dan sayur. Asam benzoat dan turunannya telah disarankan untuk digunakan sebagai fungisida, khususnya terhadap A. flavus pada kacang.

Tabel 2. Konsentrasi Natrium Benzoat pada Berbagai Produk

Sumber : Davidson dan Juneja (1990) Menurut FDA, benzoat hingga konsentrasi 0.1 % digolongkan sebagai generally recognized as safe (GRAS). Di negara-negara selain Amerika Serikat, natrium benzoat digunakan hingga konsentrasi 0.15% dan 0.25%. Batas European Commision untuk asam benzoat dan natrium benzoat adalah 0.015-0.5%. Di Indonesia, penggunaan asam benzoat dan natrium benzoate telah diatur dalam SNI 01-0222-1995 tentang Bahan Tambahan Makanan yang kadarnya berkisar dari 0.06 %-0.1 %. Batas maksimum penggunaan asam benzoat dan natrium benzoat pada berbagai jenis makanan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Batas Maksimum Penggunaan Asam Benzoat dan Natrium Benzoat di Indonesia

Sumber : SNI 01-0222-1995

Mekanisme Detoksifikasi Benzoat memiliki toksisitas yang rendah terhadap manusia dan hewan karena manusia dan hewan memiliki mekanisme detoksifikasi. Benzoat diabsorbsi dari usus halus dan diaktivasi melalui ikatan dengan CoA untuk menghasilkan benzoyl coenzyme A. Selanjutnya benzoyl coenzyme A berkonjugasi dengan glisin dalam hati untuk membentuk asam hipurat yang kemudian dikeluarkan melalui urin (White et al. 1964 diacu dalam Chipley 2005). Metabolisme asam benzoat didalam tubuh meliputi dua tahap reaksi, pertama dikatalisis oleh enzim syntetase dan pada reaksi kedua dikatalisis oleh enzim acytransferase (Cahyadi, 2008). Keseluruhan reaksi dapat dilihat pada Gambar 2. Mekanisme ini mampu mengeluarkan sekitar 66-95 % asam benzoat. Sisa benzoat yang tidak dikeluarkan sebagai asam hipurat dapat didetoksifikasi melalui konjugasi dengan asam glukuronat dan dapat dikeluarkan melalui urine.

Gambar 2. Proses Detoksifikasi Asam Benzoat (White et al. 1964 diacu dalam Chipley 2005) Faktor pembatas dalam biosintesis asam hipurat adalah ketersediaan glisin. Penggunaan glisin dalam detoksifikasi benzoat menyebabkan penurunan kadar glisin dalam tubuh. Oleh karena itu, konsumsi asam benzoate atau garamnya mempengaruhi fungsi tubuh atau proses metabolik yang melibatkan glisin, sebagai contoh penurunan kreatinin, glutamin, urea, dan asam urat (WHO 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Hauschildt et al. (1983), menunjukkan bahwa pemberian benzoat pada tikus menyebabkan peningkatan sintesis dan dekarboksilasi glisin. Pengkonsumsian natrium benzoat secara berlebihan dapat menyebabkan keram perut, rasa kebas dimulut bagi orang yang lelah. Pengawet ini memperburuk keadaan juga bersifat akumulatif

yang dapat menimbulkan penyakit kanker dalam jangka waktu panjang dan ada juga laporan yang menunjukkan bahwa pengawet ini dapat merusak sistem syaraf ( Awang, 2003). Pada penderita asma dan orang yang menderita urticaria sangat sensitif terhadap asam benzoat, jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung (Depkes, 2012).

Riset yang dilakukan oleh Sheffield University di Inggris terhadap bahan pengawet makanan dan minuman yang umum digunakan, menyatakan bahwa sodium benzoate diperkirakan dapat merusak DNA. Sodium benzoate, penghambat jamur yang biasa ditemukan pada Pepsi, Coke, Sprite, maupun minuman-minuman ringan lainnya, juga pada asinan dan saus, dianggap patut diwaspadai. Pete Piper, professor bidang biologi molekuler dan bioteknologi, yang telah meneliti sodium benzoate sejak 1999, pernah menguji sodium benzoate pada sel ragi yang hidup. Ia terkejut menemukan substansi tersebut dapat merusak DNA mitochondria pada ragi. Bahan kimia ini memiliki kemampuan untuk menyebabkan kerusakan yang serius pada DNA di dalam mitochondria, sedemikian rupa hingga dibuat sepenuhnya tidak aktif mereka merusak seluruhnya. Mitochondria menyerap oksigen untuk menghasilkan energi, dan bila dirusak seperti terjadi pada sejumlah kondisi pada saat sakit maka sel mulai mengalami kegagalan fungsi yang sangat serius. Dan ada sejumlah penyakit dimana yang sekarang dikaitkan dengan kerusakan DNA ini penyakit Parkinson dan beberapa penyakit akibat degenerasi saraf, namun terutama sekali, keseluruhan dari proses penuaan. Vitamin C (ascorbic acid) ditambahkan pada minuman ringan akan bereaksi dengan sodium benzoate menghasilkan benzene, dikenal sebagai polutan udara dan penyebab kanker (WHO, 2000). Ester asam benzoat (metil-p-hidroksi benzoat dan propil-p-hidroksi benzoat) memberikan gangguan berupa reaksi yang spesifik. Metil-p-hidroksi benzoat dan garam natriumnya, memberikan efek terhadap kesehatan dengan timbulnya reaksi alergi pada mulut dan kulit. Sedangkan propil-p-hidroksi benzoate dan garamnya, terutama pada orang penderita asma, urticaria, dan yang sensitive terhadap aspirin akan memberikan reaksi alergi pada kulit dan mulut.

Acceptable Daily Intake ( ADI ) Natrium benzoat Acceptable Daily Intake ( ADI ) adalah suatu batasan berapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan yang dapat diterima dan dicerna setiap hari seumur hidup tanpa mengalami

resiko kesehatan. ADI dihitung berdasarkan berat badan konsumen. ADI dinyatakan dalam satuan mg bahan tambahan makanan per kg berat badan. ADI untuk natrium benzoat adalah 1 g/kg berat badan (Winarno,1994).

2.2.1 Tujuan Penggunaan Bahan Pengawet Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut: 1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen. 2. Memperpanjang umur simpan pangan 3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan. 4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah. 5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan. 6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Cahyadi, 2008).

Aurand, L. W., A. E. Woods, dan M. R. Wells. 1987. Food Composition and Analysis. Van Nostrand Reinhold, New York.

Awang, Rahmat., (2003), Kesan Pengawet Dalam Makanan, diambil dari http://www.prn2.usm.my

Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia untuk Bahan Tambahan Makanan. SNI 01-0222-1995. BSN, Jakarta.

Cahyadi, W., (2008), Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hal. 5-9.

Chipley, J. R. 2005. Sodium Benzoate and Benzoic Acid. Di dalam P. M. Davidson, J. N. Sofos, dan A. L. Branen (eds.). Antimicrobials in Food 3rd ed. CRC Press Taylor&Francis Group, Boca Raton.

Davidson, P. M. dan V. K. Juneja. 1990. Antimicrobial Agents. Di dalam Branen A. L., P. M. Davidson dan S. Salminen (eds.). Food Additives. Marcel Dekker, New York

Davletshina, T.A., Shulgina, L.V., Lazhentseva, L.Y., Blinov, Y.G. dan Pivnentoko, T.N., (2003), Inhibitory Effect of an Antimicrobial Preparation from Lipids Of Marine Fishes on Tissue and Microbial Enzimes, Applied Biochemistry and Microbiology, 39 ( 6 ): 596-598.

Depkes., ( 2012 ), http://www.depkes.go.id , GNU Free Documentation Licennse Wikipedia Foundation, Inc. waktu Download 28 Febuari 2012 pukul 20.04 WIB.

Department Kesehatan RI, (1988), Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesai No, 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Batas Penggunaan

BahanTambahan Makanan, Jakarta,Department Kesehatan RI

Endrikat, S., Gallagher, G., Pouillot, R. G., Quesenberry, H.H., Labarre, D., Schroeder, C.M., dan Kause, J., (2010), A Comparative Risk Assesment for Listeria monocytogenes in Prepackaged versus Retail- Sliced Deli Meat, Journal of Food Protection, 73 ( 4 ): 612- 619. Fardiaz, S., Suliantari dan R. Dewanti. 1988. Bahan Pengajaran : Senyawa Antimikroba. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hauschildt, S., H. Roschlau dan K. Brand. 1983. Effect of Benzoate in Glycine Metabolism in Rats Fed Branched-Chain -Ketoacids. Journal of Nutrition, Vol 113: 1956-1962.

Saragih, M. A. 2007. Kombinasi Metode Spektrofotometri dan Kalibrasi Multivariat Untuk Penentuan Simultan Na-Benzoat dan K-Sorbat. Skripsi. Departemen Kimia-FMIPA. IPB, Bogor.

WHO, (2000), Benzoic Acid and Sodium Benzoate, Geneva, World Health Organization. Winarno F.G., (1994), Bahan Tambahan Makanan dan Kontaminan, Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan, hal 7. Vogel, (1985), Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Edisi Lima, PT. Kalma Media Pustaka, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai