Anda di halaman 1dari 38

HUBUNGAN ANTARA GEJALA KLINIS DAN LATENSI DISTAL SARAF

MEDIANUS DALAM MENENTUKAN DERAJAT KEPARAHAN


PENYAKIT CARPAL TUNNEL SYNDROME DI RUMAH SAKIT SAIFUL
ANWAR MALANG

TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Umum

Oleh:

NADIYA ELFIRA BILQIS


125070100111035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Carpal tunnel syndrome (CTS) atau yang dikenal di Indonesia dengan
sebutan sindroma terowongan karpal merupakan kumpulan gejala dan tanda
penyakit yang disebabkan oleh terjepitnya saraf medianus di daerah pergelangan
tangan, atau lebih tepatnya pada terowongan karpal. CTS merupakan salah satu
jenis neuropati yang paling sering terjadi (Preston dan Shapiro, 2013).
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan
kesimpulan bahwa CTS merupakan jenis penyakit neuropati yang sering terjadi
dan memiliki kaitan erat dengan pekerjaan, terutama pekerjaan yang
mengakibatkan paparan tekanan biomekanik berulang dan kontinyu pada
pergelangan tangan (Tana et al, 2004).
Angka kejadian CTS di Amerika Serikat telah diperkirakan sekitar 1-3
kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan prevalensi sekitar 50 kasus dari
1.000 orang pada populasi umum. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh
National Health interview Study (NIHS) pada tahun 1994, dilaporkan bahwa
prevalensi CTS di antara populasi dewasa yang bekerja di Amerika Serikat
adalah sebesar 1,55% atau sekitar 2,6 juta jiwa (Tanaka et al, 1994). Pada studi
epidemiologi yang dilakukan di India, didapatkan prevalensi kejadian CTS ini
adalah sebesar 557 dari 100.000 jiwa (Bharucha, 1991). Pada survei lain yang
dilakukan oleh British GP Survey di Inggris, didapatkan prevalensi CTS yang
lebih tinggi, yaitu dengan estimasi tinggi sebesar 16.000 dari 100.000 jiwa (Ferry,
1998).
Prevalensi kejadian CTS dalam masalah kerja di Indonesia sendiri belum
diketahui karena belum adanya survei yang dilakukan, yang diakibatkan oleh
faktor masih sulitnya penegakan diagnosis sehingga hanya didapatkan sedikit
data mengenai penyakit ini (Yanri, 2001). Namun, pada penelitian yang dilakukan
pada populasi dengan pekerjaan beresiko tinggi pada pergelangan tangan dan
tangan, didapatkan prevalensi CTS sebesar 5,6% sampai dengan 15% (Harsono,
1995). Sementara untuk di daerah Kota Malang, belum pernah dilakukan
penelitiaan mengenai seberapa besar angka kejadian penyakit CTS ini.
Penegakan diagnosis dan penentuan derajat keparahan penyakit pada
pasien CTS semakin banyak ditentukan dengan studi elektrodiagnostik

menggunakan nerve conduction study (NCS) karena didapatkan sensitivitas dan


spesifitas yang tinggi. Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya, didapatkan
sensitivitas dari pemeriksaan menggunakan NCS adalah sebesar 56% sampai
dengan 85% dan spesifitasnya sebesar 94% sampai dengan 99% (Jablecky et al,
2002).
Elektroneuromiografi merupakan pemeriksaan yang mengkombinasikan
antara elektroneurografi (NCS) dan elektromiografi (EMG) yang mana berfungsi
dalam menegakkan diagnosis penyakit saraf perifer, termasuk CTS. Salah satu
parameter penting dalam mendiagnosis CTS pada studi elektroneuromiografi ini
adalah latensi dari saraf medianus. Terdapat dua macam latensi yang diperiksa,
yaitu: latensi distal motorik dan latensi distal sensorik. Kedua parameter tersebut
akan mengalami perlambatan pada penyakit CTS (Poernomo et al, 2003).
Derajat keparahan penyakit CTS merupakan hal yang sangat penting
terutama dalam menentukan prognosis dan keputusan terapi yang akan
diberikan kepada pasien. Namun, hingga saat ini belum didapatkan adanya
sistem klasifikasi derajat keparahan penyakit CTS yang dapat diterima secara
umum (Robinton, 2004). Walaupun terdapat berbagai macam sistem klasifikasi
derajat keparahan CTS dari berbagai penelitian sebelumnya, tidak ada yang
diakui sebagai standar klasifikasi derajat keparahan CTS di seluruh dunia
(AANEM,

2007).

The

American

Association

of

Neuromuscular

&

Electrodiagnostic Medicine (AANEM) pernah mengeluarkan sebuah guideline


mengenai derajat keparahan penyakit CTS berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, namun hasilnya pun kurang aplikatif untuk digunakan sebagai
pedoman klasifikasi derajat keparahan CTS sehingga perlu dilakukan studi lebih
lanjut mengenai hal ini (Robinton et al, 2004).
Berdasarkan hal itulah, penulis ingin melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai derajat keparahan penyakit CTS yang terdapat di Rumah Sakit Saiful
Anwar Malang. Penelitian ini diharapkan dapat membandingkan antara derajat
gejala

klinis

yang

dialami

oleh

pasien

dengan

hasil

pemeriksaan

elektrodiagnostik, terutama latensi distal dari saraf medianus (sensorik dan


motorik) pada pasien dengan CTS ini. Selanjutnya, diharapkan dari hasil
penelitian tersebut akan dapat digunakan sebagai dasar teori dalam menyusun
dan melengkapi klasifikasi derajat keparahan penyakit CTS di Rumah Sakit Saiful
Anwar Malang.

1.2. Perumusan Masalah


1.2.1. Bagaimanakah hubungan antara gejala klinis pasien Carpal Tunnel
Syndrome dengan hasil pemeriksaan elektrodiagnostik latensi distal saraf
medianus sensorik dan motorik di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang?
1.2.2. Bagaimanakah klasifikasi derajat keparahan penyakit Carpal Tunnel
Syndrome dengan berdasarkan gejala klinis dan hasil elektrodiagnostik
latensi distal saraf medianus sensorik dan motorik di Rumah Sakit Saiful
Anwar Malang?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
1.3.1.1.

Mengetahui klasifikasi derajat keparahan penyakit Carpal Tunnel


Syndrome

dengan

berdasarkan

gejala

klinis

dan

hasil

elektrodiagnostik latensi distal saraf medianus sensorik dan motorik di


Rumah Sakit Saiful Anwar Malang.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1.

Mengetahui hubungan antara gejala klinis pasien Carpal Tunnel


Syndrome dengan hasil pemeriksaan elektrodiagnostik latensi distal
saraf medianus sensorik dan motorik di Rumah Sakit Saiful Anwar
Malang.

1.3.2.2.

Mengetahui perbedaan antara klasifikasi derajat keparahan penyakit


Carpal Tunnel Syndrome berdasarkan gejala klinis ringan, sedang,
dan berat dengan latensi distal saraf saraf medianus sensorik di
RSSA Malang.

1.3.2.3.

Mengetahui perbedaan antara klasifikasi derajat keparahan penyakit


Carpal Tunnel Syndrome berdasarkan gejala klinis ringan, sedang,
dan berat dengan latensi distal saraf saraf medianus motorik di RSSA
Malang.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Akademis
1.4.1.1.

Mengetahui hubungan antara gejala klinis pasien Carpal Tunnel


Syndrome dengan hasil pemeriksaan elektrodiagnostik latensi distal

saraf medianus sensorik dan motorik di Rumah Sakit Saiful Anwar


Malang.
1.4.1.2.

Sebagai dasar teori yang mendukung penyusunan dan kelengkapan


informasi mengenai klasifikasi derajat keparahan penyakit Carpal
Tunnel Syndrome.

1.4.1.3.

Sebagai salah satu acuan yang berperan dalam menentukan


prognosis dan keputusan terapi pada pasien dengan Carpal Tunnel
Syndrome.

1.4.1.4.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk


melakukan penelitian lebih lanjut tentang Carpal Tunnel Syndrome.

1.4.2. Manfaat Praktis


1.4.2.1.

Diharapkan dengan klasifikasi derajat keparahan yang lebih lengkap


dan sederhana, maka akan mempermudah dalam menentukan
rujukan penatalaksanaan Carpal Tunnel Syndrome selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Carpal Tunnel Syndrome

2.1.1. Anatomi Nervus Medianus dan Terowongan Karpal


Pemahaman mengenai anatomi nervus medianus dan terowongan karpal
sangat penting dalam memahami penyakit CTS terutama untuk membedakannya
dengan lesi serupa yang memiliki topis lebih proksimal. Nervus medianus sendiri
dibentuk dari kombinasi antara korda medial dan korda lateral pleksus brakhialis.
Korda lateral berasal dari serabut saraf spinal C6-C7 dan korda medial berasal
dari serabut saraf spinal C8-T1 (Preston dan Shapiro, 2013).

Gambar 2.1. Anatomi Nervus Medianus (Diambil dari Preston dan


Shapiro, 2013)
Selanjutnya, nervus medianus berjalan di bawah lasertus fibrosus menuju
ke daerah antebrakii dan kemudian berada di antara 2 kaput m.pronator teres
dan menginervasi otot tersebut. Setelah itu nervus medianus akan memberikan
cabang motoris murni yaitu nervus interosseus anterior. Sesampai di

pergelangan tangan, n.medianus akan melewati terowongan karpal untuk


memberikan persarafan motoris ke daerah thenar dan persarafan sensoris
palmar manus untuk jari I, II, III, dan sisi medial jari IV. Pada daerah thenar,
inervasi sensoris diberikan oleh n.kutaneus palmaris yang berjalan di luar
terowongan karpal (Poernomo et al, 2003).

Gambar 2.2. Daerah inervasi sensoris saraf medianus oleh cabang


sensoris palmar digitalis (1) dan cabang sensoris palmar kutaneus (2).Pada CTS,
nervus sensoris yang terkena adalah cabang sensoris palmar digitalis
(Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013).
Terowongan karpal adalah suatu terowongan fibro-osseus yang kaku dan
tidak elastis. Terowongan karpal dibentuk oleh komponen tulang yang terdiri dari
tulang pisiformis, scaphoid, hamatum, dan trapezoid serta komponen jaringan
ikat yaitu flexor retinaculum (Luchetti et al, 2007).

Gambar 2.3. Anatomi terowongan karpal. (1)Jalan masuk proksimal terowongan


karpal yang dibentuk oleh tendon flexor carpi ulnaris dan flexor carpi radialis
(2)Bagian paling tebal dari flexor retinaculum (3)Bagian paling tipis dari flexor
retinaculum (Diambil dari Luchetti et al, 2007).

2.1.2. Definisi Carpal Tunnel Syndrome


Carpal Tunnel Syndrome adalah suatu kelainan saraf (neuropati) yang
paling sering terjadi yang diakibatkan oleh terjepitnya saraf medianus di
terowongan karpal pada pergelangan tangan. Terjepitnya saraf medianus
tersebut akan memunculkan kumpulan gejala dan tanda yang disebut dengan
sindroma terowongan karpal (Preston dan Shapiro, 2013).
Berdasarkan American Academy of Orthopaedic Surgeons Clinical
Guideline, Carpal Tunnel Syndrome didefinisikan sebagai gejala neuropati
kompresi dari saraf medianus di tingkat pergelangan tangan, ditandai dengan
bukti peningkatan tekanan dalam terowongan karpal dan penurunan fungsi saraf
di tingkat itu. Carpal Tunnel Syndrome dapat disebabkan oleh berbagai penyakit,
kondisi dan peristiwa. Hal ini ditandai dengan keluhan mati rasa, kesemutan,
nyeri tangan dan lengan dan disfungsi otot. Kelainan ini tidak dibatasi oleh usia,
jenis kelamin, etnis, atau pekerjaan dan disebabkan karena penyakit sistemik,
faktor mekanis dan penyakit lokal (AAOS, 2007).

2.1.3. Etiologi
Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga
dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin

mempersempit terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada


nervus medianus sehingga dapat memunculkan gejala Carpal Tunnel Syndrome
(Rambe, 2004). Selain itu, gerakan fleksi berulang dengan sudut sebesar 90
derajat dapat mengecilkan ukuran dari terowongan karpal (Huldani, 2013).
Terdapat berbagai macam penyebab dari Carpal Tunnel Syndrome.
Namun, penyebab paling sering adalah idiopatik (Preston dan Shapiro, 2013).
Beberapa etiologi lain dipaparkan dalam Tabel 2.1.
Kondisi yang Berkaitan dengan Kejadian CTS
Idiopatik
Stress berulang
Pekerjaan
Kelainan endokrin
Hipotiroid
Akromegali
Diabetes
Penyakit jaringan ikat
Rheumatoid Arthritis
Tumor
Ganglia
Lipoma
Schwannoma
Neurofibroma
Hemangioma
Kelainan kongenital
Arteri median persisten
Terowongan karpal kecil kongenital
Anomali otot
Infeksi / Inflamasi
Sarcoid
Histoplasmosis
Septic arthritis
Lyme
Tuberculosis
Trauma
Fraktur (terutama fraktur Colles)
Pendarahan (e.g: antikoagulasi)
Lain-lain
Spastisitas (fleksi pergelangan tangan persisten)
Hemodialisis
Amyloidosis
Kehamilan
Keadaan yang menyebabkan edema dan peningkatan cairan
tubuh
Tabel 2.1. Etiologi Carpal Tunnel Syndrome (Diadaptasi dari Preston dan
Shapiro, 2013).

2.1.4. Epidemiologi dan Faktor Resiko Carpal Tunnel Syndrome


Angka kejadian Carpal Tunnel Syndrome di Amerika Serikat telah
diperkirakan sekitar 1-3 kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan
prevalensi sekitar 50 kasus dari 1.000 orang pada populasi umum. Orang tua
setengah baya lebih mungkin beresiko dibandingkan orang yang lebih muda, dan
wanita tiga kali lebih sering daripada pria (AAOS, 2008).
National Health Interview Study (NIHS) mencatat bahwa CTS lebih sering
mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25 - 64 tahun, prevalensi
tertinggi pada wanita usia > 55 tahun, biasanya antara 40 60 tahun. Prevalensi
CTS dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk
laki-laki. Gejala CTS dapat berupa gejala unilateral maupun bilateral. NIHS
menemukan gejala unilateral pada 42% kasus ( 29% kanan,13% kiri ) dan gejala
bilateral pada 58% kasus (Tanaka et al, 1995).

2.1.5. Patogenesis dan Patofisiologi Carpal Tunnel Syndrome


Patogenesis terjadinya Carpal Tunnel Syndrome masih belum jelas.
Terdapat beberapa macam teori. Namun, teori yang paling populer dalam
terjadinya CTS ini adalah teori mengenai kompresi mekanik, insufisiensi
mikrovaskular, dan teori getaran (Huldani, 2013).
Berdasarkan teori kompresi mekanik, gejala Carpal Tunnel Syndrome
diakibatkan oleh karena kompresi dari nervus medianus di terowongan karpal.
Kelemahan utama dari teori ini adalah bahwa ia menjelaskan konsekuensi dari
kompresi saraf tetapi tidak menjelaskan etiologi yang mendasari kompresi
mekanik. Kompresi yang terjadi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, antara
lain: ketegangan, tenaga berlebihan, pemakaian yang berlebihan, dan ekstensi
pergelangan tangan yang berkepanjangan atau berulang (Huldani, 2013).
Sementara berdasarkan teori insufisiensi mikro vaskular, Carpal Tunnel
Syndrome dapat terjadi akibat kurangnya pasokan darah yang menyebabkan
penurunan suplai nutrisi dan oksigen ke saraf sehingga perlahan-lahan saraf
akan kehilangan kemampuan untuk mengirimkan impuls saraf. Pada akhirnya,
akan terbentuk jaringan fibrotik di dalam saraf. Munculnya gejala pada CTS
berupa kesemutan, mati rasa dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan
konduksi saraf akut dan reversibel dianggap sebagai gejala untuk iskemia. Seiler
et al menunjukkan (dengan Doppler laser flowmetry ) bahwa normalnya aliran
darah berdenyut di dalam saraf median dipulihkan dalam 1 menit dari saat

10

ligamentum karpal transversal dilepaskan. Sejumlah penelitian eksperimental


mendukung teori iskemia akibat kompresi diterapkan secara eksternal dan
karena peningkatan tekanan di karpal tunnel. Gejala akan bervariasi sesuai
dengan integritas suplai darah dari saraf dan tekanan darah sistolik . Kiernan dkk
menemukan bahwa konduksi melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh
kompresi iskemik saja dan mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang
terganggu (Huldani, 2013).
Teori yang ketiga adalah teori getaran. Gejala CTS dapat disebabkan
oleh efek dari penggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf
medianus di terowongan karpal. Lundborg et al mencatat edema epineural pada
saraf medianus dalam beberapa hari berikut paparan alat getar genggam.
Selanjutnya, terjadi perubahan serupa mengikuti mekanik, iskemik, dan trauma
kimia (Huldani, 2013).

2.1.6. Diagnosis Carpal Tunnel Syndrome


Diagnosis Carpal Tunnel Syndrome dapat ditegakkan melalui anamnesa
gejala klinis pasien, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2.1.6.1.

Gejala Klinis

Pasien dengan CTS dapat muncul dengan berbagai macam gejala.


Gejala yang muncul dapat unilateral maupun bilateral. Walaupun begitu,
kebanyakan CTS bermanifestasi pada tangan yang dominan (Preston dan
Shapiro, 2013). Pada tahap awal penyakit, gejala yang muncul umumnya berupa
gangguan sensorik saja. Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang
berat (Rambe, 2004).
Tanda dan Gejala Carpal Tunnel Syndrome
Sensoris
Motoris
Tanda
Hipoestesia
Hipotrofi
Trophic Ulcer
Kaku
Kelemahan Otot Edema
Nyeri
Atrofi
Nocturnal
Hiperestesia
Numbness
Burning
Tabel 2.2. Tanda dan Gejala Carpal Tunnel Syndrome (Diadaptasi dari Huldani,
2013).

11

Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau


rasa seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1,2,3 dan setengah sisi radial
jari 4 walaupun terkadang dapat dirasakan pada seluruh jari-jari. Keluhan
parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lainnya adalah nyeri di
tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga sering
membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak berkurang
bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau dengan
meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang
bila penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya. Bila penyakit berlanjut,
rasa nyeri dapat bertambah berat dengan frekuensi serangan yang semakin
sering bahkan dapat menetap. Kadang-kadang rasa nyeri dapat terasa sampai
ke lengan atas dan leher, sedangkan parestesia umumnya terbatas di daerah
distal pergelangan tangan (Rambe, 2004).
Terdapat dua macam bentuk Carpal Tunnel Syndrome berdasarkan
Komar dan Ford, yaitu: akut dan kronis. CTS akut ditandai dengan gejala nyeri
yang parah, bengkak pergelangan tangan atau tangan, tangan dingin, dan gerak
jari menurun. Kehilangan gerak jari disebabkan oleh kombinasi dari rasa sakit
dan paresis. Sementara CTS kronis memiliki gejala baik kelainan sensorik yang
mendominasi maupun kelainan motorik dengan perubahan atrofi dari otot-otot
thenar (Huldani, 2013).
Pemeriksaan terhadap saraf sensorik terutama dilakukan melihat
distribusi hipoestesia pada tangan yang diinervasi oleh saraf medianus. Selain
itu, membandingkan antara sensasi sensorik pada bagian medial yang diinervasi
oleh nervus ulnaris dan bagian lateral yang diinervasi oleh nervus medianus dari
jari 4 juga dapat membantu dalam mengidentifikasi kelainan sensorik akibat CTS.
Pemeriksaan terhadap saraf motorik terdiri dari inspeksi pada tangan untuk
melihat ada tidaknya kelemahan atau atrofi dari otot thenar yang diinervasi oleh
cabang motoris nervus medianus (Preston dan Shapiro, 2013).

12

Tabel 2.3. Jenis gejala dan tanda pada pasien CTS ((Diambil dari Preston dan
Shapiro, 2013).
2.1.6.2.

Pemeriksaan Fisi
Fisik

Berikut ini beberapa pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan (Huldani, 2013):
a. Flick's sign. Penderita diminta mengibas
mengibas-ibaskan
ibaskan tangan atau menggerak
menggerakgerakkan jari-jarinya.
jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang
menghilang akan
menyokong diagnosa CTS.
CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat
dijumpai pada penyakit Ray
Raynaud.
b. Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi
otot-otot thenar.
c. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual
maupun dengan alat dinamometer
dinamometer.. Penderita diminta untuk melakukan
abduksi maksimal palmar lalu
lalu ujung jari 1 dipertemukan dengan ujung jari
lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung jari-jari
jari jari tersebut.
Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta penderita melakukan gerakan
yang rumit seperti menulis atau menyulam.

13

Gambar 2.4. Tes kekuatan otot thenar. (A) Abduksi jari jempol dan (B) Oposisi
jari jempol. Pada pasien dengan CTS, terutama pada tingkat lanjut, akan
didapatkan kelemahan pada otot thenar pasien (Diambil dari Preston dan
Shapiro, 2013).
d. Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara
maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat
dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes
ini menyokong diagnosa CTS.
e. Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila
dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk
menegakkan diagnosa CTS.

14

Gambar 2.5. Tes provokatif untuk CTS: Phalens Test (atas) dan Reversed
Phalens Test (bawah). Pada pasien dengan positif CTS, pada saat dilakukan tes
ini pasien akan mengalami parestesi terutama di daerah jari-jari yang diinervasi
oleh n.medianus (Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013).

f.

Torniquet test. Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan


tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila
dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.

g. Tinel's sign. Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada
terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.

15

Gambar 2.6. Tinels sign (Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013).
h. Pressure test. Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala
seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
i.

Luthy's sign (bottle's sign). Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari
telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat
menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung
diagnosa.

j.

Pemeriksaan sensibilitas. Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik


(two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosa.

k. Pemeriksaan fungsi otonom. Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat,


kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus
medianus. Bila ada akan mendukung diagnosa CTS.
2.1.6.3.

Pemeriksaan Penunjang

2.1.6.3.1. Pemeriksaan Neurofisiologis


a) Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik,
gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar.
Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa
normal pada 31 % kasus CTS (Rambe, 2004).
b) Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal.
Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency)
memanjang,

menunjukkan

adanya

gangguan

pada

konduksi

safar

di

pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik
(Rambe, 2004).

16

2.1.6.3.2. Pemeriksaan Radiologis


Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu
melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto palos leher
berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan
dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi
(Rambe, 2004).
2.1.6.3.3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada CTS yang etiologinya masih belum jelas, misalnya pada penderita
usia muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, maka dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan laboratorium seperti kadar gula darah, kadar hormon
tiroid, atau pemeriksaan darah lengkap untuk melihat apakah terdapat penyebab
sekunder dari CTS tersebut (Rambe, 2004).

2.1.7. Diagnosis Banding Carpal Tunnel Syndrome


Berikut ini beberapa diagnosis banding dari penyakit Carpal Tunnel
Syndrome berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Rambe, 2004):
2.1.7.1.

Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang hila leher


diistirahatkan dan bertambah hila leher bergerak. Oistribusi gangguan
sensorik sesuai dermatomnya.

2.1.7.2.

lnoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya


selain otot-otot thenar. Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris
dari tangan dan lengan bawah.

2.1.7.3.

Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa


nyeri di telapak tangan daripada CTS karena cabang nervus
medianus ke kulit telapak tangan tidak melalui terowongan karpal.

2.1.7.4.

de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus


abduktor pollicis longus dan ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat
gerakan tangan yang repetitif. Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri
tekan pada pergelangan tangan di dekat ibu jari. Pemeriksaan NCS
normal. Finkelstein's test : palpasi otot abduktor ibu jari pada saat
abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri bertambah.

17

2.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap penyakit CTS dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu penatalaksaan langsung terhadap CTS dan penatalaksanaan terhadap
penyakit yang mendasari penyakit CTS tersebut (Rambe, 2004).
2.1.8.1.

Penatalaksanaan Langsung Carpal Tunnel Syndrome

2.1.8.1.1. Terapi konservatif

Istirahatkan pergelangan tangan

Berikan OAINS (obat anti inflamasi non steroid)

Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat


dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.

lnjeksi steroid. Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg 8 atau


metilprednisolon 20 mg 14 atau 40 mg 12 diinjeksikan ke dalam terowongan
karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke arah
proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon musculus
palmaris longus. Bila belum berhasil, suntikan dapat diulangi setelah 2
minggu atau lebih. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila hasil terapi
belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.

Kontrol cairan, misalnya dengan pemberian diuretika.

Vitamin B6 (piridoksin). Pada kasus defisiensi piridoksin makan perlu


diberikan piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Namun hal ini masih
kontroversial dikarenakan beberapa penelitian menyatakan pemberian
piridoksin malah akan mengakibatkan neuropati.

Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan.

2.1.8.1.2. Terapi operatif.


Terapi operatif dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan
dengan terapi konservatif, jika terjadi gangguan sensorik yang berat, atau adanya
atrofi otot-otot thenar. Tindakan operasi ini disebut dengan neurolisis nervus
medianus (Rambe, 2004).
2.1.8.2.

Penatalaksanaan terhadap Penyakit yang Mendasari CTS

Apabila terdapat penyakit lain yang mendasari CTS, maka penyakit tersebut
harus ditangani terlebih dahulu (Rambe, 2004).

18

Gambar 2.7. Algoritma diagnosis dan terapi CTS (Diambil


(
dari Huldani, 2013).

2.2.

Derajat Keparahan Penyakit Carpal Tunnel Syndrome

2.2.1. Berdasarkan AANEM


Berikut ini merupakan klasifikasi derajat keparahan penyakit CTS yang
didefinisikan oleh AANEM (Werner
(
dan Andary, 2011):
a. CTS Ringan
Terdapat pemanjangan (relatif maupun absolut) pada latensi sensoris saraf
medianus. Pemeriksaan motoris dalam batas normal. Tidak ada tanda dari
kerusakan akson.
b. CTS Sedang
Terdapat hasil pemeriksaan abnormal pada latensi sensoris saraf medianus
sebagaimana CTS ringan. Terdapat pemanjangan (relatif maupun absolut)
pada latensi distal motoris saraf medianus. Tidak ada tanda kerusakan
akson.
c. CTS Berat
Terdapat kelainan NCS sebagiamana yang disebutkan pada CTS ringan dan
sedang, ditambah dengan
dengan adanya kerusakan akson yang ditandai dengan:
SNAP (Sensory Nerve Action Potential) atau NAP campuran dengan nilai
amplitudo yang sangat rendah atau bahkan tidak ada.
CMAP (Compound Muscle Action Potential) dengan nilai amplitudo yang
sangat rendah atau bahkan tidak ada.

19

Elektromiografi (EMG) dengan potensial fibrilasi atau perubahan potensial


dari unit motoris.
2.2.2. Berdasarkan Gejala Klinis (Italian CTS Study Group)
Berdasarkan penelitian multicenter yang dilakukan oleh kelompok studi
neurologi di Italia (Padua et al, 1999), terdapat klasifikasi derajat keparahan
Carpal Tunnel Syndrome berdasarkan gejala klinis, sebagaimana berikut:
STAGE / GRADE

HISTORY AND OBJECTIVE FINDINGS

Asymptomatic

Nocturnal paraesthesias only

II

Nocturnal and diurnal paraesthesias

III

Sensory loss

IV

Atrophy and/or weakness of median


innervated thenar muscles

Tabel 2.4. Klasifikasi derajat keparahan CTS berdasarkan gejala klinis


(Diadaptasi dari Padua et al, 1999).

2.2.3. Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Elektrodiagnostik (Bland, 2000)


Berikut ini merupakan klasifikasi derajat keparahan CTS berdasarkan
hasil pemeriksaan elektrodiagnostik:

Tabel 2.5. Klasifikasi derajat keparahan CTS berdasarkan studi elektrodiagnostik


(Diadaptasi dari Bland, 2000).

20

2.3.

Elektroneuromiografi

2.3.1. Definisi
Pemeriksaan Elektroneuromiografi (ENMG) merupakan kombinasi dari
pemeriksaan

elektroneurografi

(ENG)

dan

elektromiografi

(EMG).

Elektroneurografi disebut juga sebagai pemeriksaan konduksi saraf (KHS/ Nerve


Conduction Study / NCS) yang terdiri dari KHS motoris, sensoris, dan respon
lambat. Sementara elektromiografi merupakan pemeriksaan aktivitas listrik otot.
Kombinasi dari kedua pemeriksaan ini sangat berguna dalam penegakan
diagnosis penyakit saraf perifer (Poernomo et al, 2003).
2.3.2. Indikasi dan Kegunaan
Pemeriksaan ENMG terutama berguna dalam menentukan diagnosis
pada penyakit saraf perifer dan kelainan neuromuskular. Pada prinsipnya,
pemeriksaan ENMG digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis setelah
dilakukan pemeriksaan klinis yang baik, sehingga dapat mempersempit diagnosis
banding, membantu penegakan diagnosis topis, diagnosis patologis, dan
penentuan prognosis (Poernomo et al, 2003).
Hasil pemeriksaan ENMG berguna dalam menentukan letak lesi
(diagnosis topis), apakah lesi tersebut berada pada tingkat saraf motoris, radiks
saraf spinalis, pleksus, saraf perifer, neuromuscular junction, ataukah otot. Untuk
medapatkan

diagnosis

yang

tepat,

pemeriksaan

ENMG

harus

selalu

dikorelasikan dengan gejala fisik yang ada. Selain itu, pemeriksaan ENMG dapat
menentukan diagnosis patologis, yaitu apakah lesi tersebut terdapat pada sistem
motorik, sensorik, atau keduanya, dan apakah jenis lesi tersebut merupakan
proses aksonal atau proses demielinating (Poernomo et al, 2003).
2.3.3. Parameter dalam Studi Kecepatan Hantar Saraf (KHS)
Dalam studi kecepatan hantar saraf, terdapat banyak sekali parameter
yang dapat digunakan yang dikelompokkan dalam KHS sensoris dan motoris, Fwave, H-reflex, dan sebagainya. Namun, demi kepentingan praktis penelitian,
yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini hanyalah yang berkaitan dengan
penelitian yaitu KHS sensoris dan motoris.
2.3.3.1.

Studi Kecepatan Hantar Saraf (KHS) Sensoris

Stimulasi pada serabut saraf sensoris akan menimbulkan suatu potensial


aksi

yang

disebut

Sensory

Nerve

21

Action

Potential

(SNAP).

SNAP

menggambarkan fungsi integritas ganglion dorsalis (neuron sensoris) beserta


seluruh akson sensoris (Poernomo et al, 2003). KHS sensoris diperiksa dengan
cara menempatkan sepasang elektroda perekam (G1 dan G2) dengan jarak
antar elektroda sebesar 2.5 cm sampai 4 cm. Pemeriksaan ini membutuhkan
daya yang lebih kecil daripada KHS motoris dikarenakan KHS sensoris tidak
perlu melewati penghantaran impuls melalui neuromuscular junction dan serabut
otot (Preston dan Shapiro, 2013).

Gambar 2.8. Sensory Nerve Action Potential (SNAP).


(Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013)
Terdapat dua macam cara pemeriksaan KHS sensoris, yaitu secara
antidromik dan ortodromik. Antidromik dilakukan apabila stimulasi dilakukan di
daerah proksimal dan elektroda pencatat berada di daerah distal. Sementara
pada pemeriksaan ortodromik stimulasi dikerjakan di daerah distal dan elektroda
pencatat berada di daerah proksimal. Pemeriksaan secara antidromik memiliki
beberapa kelebihan, antara lain amplitudo SNAP yang dihasilkan akan lebih
besar sehingga lebih mudah untuk diamati (Werner dan Andary, 2011).

22

Gambar 2.9. Perbedaan antara pemeriksaan KHS sensoris secara antidromik


(atas) dan secara ortodromik (bawah). (Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013).
Pemeriksaan SNAP sangat berguna dalam menentukan lesi radikulopati
karena nilai SNAP akan bernilai normal pada pasien dengan keluhan gangguan
sensibilitas yang memiliki lesi sentral dan radikulopati (lesi pada pre-ganglion
atau daerah proksimal dari ganglion dorsalis). Pemeriksaan SNAP akan bernilai
abnormal pada ganglionopati, pelksopati, dan atau neuropati aksonal (Poernomo
et al, 2003).
Beberapa parameter penting yang dapat diamati dari studi KHS sensoris
antara lain latensi sensoris puncak (peak sensory latency) yang mana lebih
mudah untuk diamati daripada amplitudo. Selain itu, membandingkan antara
latensi distal sensoris saraf medianus dan ulnaris akan menambah sensitivitas
dan spesifitas pemeriksaan KHS sensoris dalam mendiagnosis CTS. Sehingga
median-ulnar comparison ini digunakan sebagai rekomendasi dalam penegakan
diagnosis CTS (Werner dan Andary, 2011).
Berikut daftar dan penjelasan parameter yang dapat diperiksa dari studi
KHS sensoris (Preston dan Shapiro, 2013):
2.3.3.1.1. Onset Latency
Latensi mula / onset latency merupakan waktu antara diberikannya
stimulus ke awal dari defleksi negatif yang diukur dari dasar untuk SNAP bifasik
atau ke awal dari puncak defleksi positif pada SNAP trifasik. Latensi mula ini
menunjukkan waktu konduksi dari stimulus ke elektroda pencatat oleh serabut
saraf sensoris kutaneus terbesar dari saraf yang diperiksa.
2.3.3.1.2. Peak Latency
Latensi puncak / peak latency dihitung dari titik tengah dari puncak
defleksi negatif pertama dari garis dasar. Latensi puncak memiliki beberapa
keuntungan daripada latensi mula, yaitu latensi puncak tidak terlalu dipengaruhi
oleh artefak dan gangguan lainnya sebagaimana latensi mula, sehingga
mempermudah dalam menentukan ketepatan pengukuran. Oleh karena itu, tidak
didapatkan adanya variasi nilai latensi antar individu.
2.3.3.1.3. Amplitudo SNAP
Amplitudo diukur dari garis dasar ke puncak dari defleksi negatif atau
dapat juga diukur dari puncak defleksi negatif pertama ke puncak defleksi positif
berikutnya. Amplitudo ini meepresentasikan jumlah dari serabut saraf sensoris
yang terdepolarisasi.

23

2.3.3.1.4. Durasi SNAP


Durasi SNAP diukur dalam milidetik dan dihitung dari awal mula potensial
aksi terjadi (defleksi pertama) hingga titik dimana garis tersebut memotong garis
dasar kembali.
2.3.3.1.5. Kecepatan Hantar Saraf (KHS) Sensoris / Conduction Velocity
KHS sensoris merepresentasikan kecepatan hantar saraf pada serabut
saraf sensoris kutaneus bermielin tercepat dari saraf yang diperiksa. KHS
sensoris dapat diukur hanya dengan satu stimulasi (tidak seperti KHS motoris)
dan hanya dapat diukur dengan nilai latensi mula, tidak bisa dengan latensi
puncak.

Gambar 2.10. Sensory Conduction Studies nervus medianus secara antidromik


(Diambil dari Katirji, 2013).
2.3.3.2.

Studi Kecepatan Hantar Saraf (KHS) Motoris

Studi KHS motoris dilakukan dengan melakukan stimulasi pada saraf


motoris dan menghasilkan suatu sumasi potensial serabut otot yang disebut
dengan Compund Muscle Action Potentials (CMAP). CMAP berbentuk

24

gelombang bifasik yang diawali dengan suatu defleksi negatif (Poernomo et al,
2003).

Gambar 2.11. Compund Muscle Action Potentials (CMAP).


(Diambil dari Preston dan Shapiro, 2013)
Berikut ini merupakan parameter penting dalam studi KHS motoris:
2.3.3.2.1. Amplitudo CMAP
Amplitudo motoris menggambarkan sumasi dari potensial aksi masingmasing serabut otot dalam otot tersebut dan berhubungan kuat dengan jumlah
akson yang terstimulasi. Amplitudo motoris diukur dalam milivolt dan diukur dari
garis dasar sampai defleksi negatif pertama dan menggambarkan berapa banyak
akson yang terstimulasi (Albers, 1978). Besar kecilnya amplitudo CMAP
menunjukkan keadaan akson sepanjang perjalanan dari neuron motoris kornu
anterior sampai dengan saraf motoris perifer. Amplitudo CMAP yang menurun
dapat ditemui pada lesi motor neuron, lesi radiks, lesi pleksus, dan lesi saraf
perifer (Poernomo et al, 2003).
2.3.3.2.2. Durasi CMAP
Durasi CMAP diukur dalam milidetik dan menunjukkan kemampuan suatu
serabut saraf dalam menghantarkan impuls dalam waktu yang relatif bersamaan
(sinkron). Durasi CMAP diukur dari defleksi pertama sampai dengan titik dimana
gelombang tersebut memotong garis dasar kembali (Poernomo et al, 2003).
2.3.3.2.3. Latensi CMAP
Latensi yaitu waktu yang diperlukan antara awal mulanya diberikan
stimulus hingga onset / munculnya respon. Latensi merepresentasikan tiga
proses yang terpisah, yaitu: aliran impuls sepanjang serabut saraf, transmisi

25

pada end-plate, dan depolarisasi pada serabut otot. Latensi diukur dalam
milidetik dan diukur dari awal mula stimulus hingga defleksi negatif pertama dari
garis dasar. Latensi tersebut hanya mempresentasikan serabut saraf motoris
yang tercepat (Preston dan Shapiro, 2013). Latensi yang timbul oleh karena
stimulasi pada tempat yang paling distal dari ekstremitas (seperti: pergelangan
tangan atau pergelangan kaki) disebut dengan latensi distal. Terdapat 3
komponen latensi distal, yaitu: (1) waktu konduksi impuls serabut saraf dari
stimulus ke neuromuscular junction, (2) waktu transmisi pada neuromuscular
junction, dan (3) waktu yang dibutuhkan untuk konduksi impuls di sepanjang
membran otot sampai ke elektrode pencatat (Poernomo et al, 2003). Latensi
yang timbul karena stimulasi yang lebih proksimal disebut sebagai latensi
proksimal. Latensi proksimal memiliki nilai yang lebih panjang daripada latensi
distal dikarenakan waktu dan jarak lebih besar yang harus ditempuh oleh aksi
potensial. Latensi proksimal merepresentasikan 4 macam proses yang terpisah,
yaitu: (1) waktu konduksi impuls serabut saraf antara stimulus proksimal dan
stimulus distal, (2) waktu konduksi impuls serabut saraf antara stimulus distal ke
neuromuscular junction, (3) waktu transmisi pada neuromuscular junction, dan
(4) waktu yang dibutuhkan untuk konduksi impuls di sepanjang membran otot
sampai ke elektrode pencatat (Preston dan Shapiro, 2013).

Gambar 2.12. Motor Conduction Studies (Diambil dari Katirji, 2013)

26

2.3.3.2.4. Kecepatan Hantar Saraf (KHS) Motoris / Conduction Velocity


KHS motoris dihitung dengan menstimulasi saraf pada 2 titik yang
berbeda ( 10 cm) dan menetapkan interval waktu antara stimulus terhadap
masing-masing respon (Poernomo et al, 2003). Rumus untuk menghitung KHS
motoris yaitu:
=

)
)

Sebagaimana latensi saraf, kecepatan konduksi saraf juga didapatkan dari


serabut saraf motoris tercepat saja (Preston dan Shapiro, 2013).
Studi saraf motoris dapat menentukan jenis lesi pada saraf tersebut dengan
memperhatikan nilai latensi distal, amplitudo, dan KHS.
Latensi Distal

Amplitudo

KHS

Lesi aksonal

Lesi demielinating

Lesi campuran

Tabel 2.6. Gambaran konduksi saraf pada berbagai jenis neuropati (Diadaptasi
dari Poernomo et al, 2003)

2.3.4. Nilai Normal dalam Studi Kecepatan Hantar Saraf (KHS)


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Herjanto P dan Djoenaidi W
pada tahun 1996 di Surabaya, didapatkan harga normal KHS sebagai berikut:
MOTORIS
N. Medianus (6,5 cm)
N. Ulnaris (6 cm)
N. Peroneus (6 cm)
N. Tibialis Posterior (8 cm)
SENSORIS
N. Medianus (12 cm)
N. Ulnaris (11 cm)
N. Suralis

KHS
59 4,77
60 3,95
51 3,94
49 4,76
KHS

DISTAL LATENSI
3,1 0,48
2,5 0,33
3,7 0,52
3,6 0,49
DISTAL LATENSI
2,4 0,35
2,0 0,23
2,0 0,35

AMPLITUDO
6,2 2,67
7,4 2,11
3,6 2,01
14,6 4,70
AMPLITUDO
22,9 10,29
20,7 7,59
5,0 0,00

Tabel 2.7. Harga Normal KHS (Diambil dari Herjanto dan Djoenaidi, 1996)

27

Berdasarkan Preston dan Shapiro pada tahun 2013 maupun berdasarkan


penelitian oleh Albers pada tahun 1987 tidak didapatkan adanya perbedaan
berarti dalam rentang nilai normal untuk studi kecepatan hantar saraf ini, yang
mana dapat dirangkum dalam tabel berikut:

28

Tabel 2.8. Nilai Normal pada Studi KHS Motoris dan Sensoris Saraf Perifer (Diambil dari Albers, 1987)

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Ketegangan
Pemakaian yang berlebihan
Tenaga yang berlebihan
Ekstensi pergelangan yang
berkepanjangan/berulang

Kompresi mekanik
saraf medianus

Kurangnya pasokan
darah dan oksigen

Edema epineural saraf


medianus

kemampuan saraf dalam


mengirimkan impuls

Gejala Klinis:
Derajat Keparahan

Penggunaan jangka panjang


alat yang bergetar

- Parestesia
- Sensory Loss
- Atrofi thenar

Kelainan Elektrodiagnostik
KHS Motoris

KHS Sensoris

Parameter lain:
F-wave
H-reflex
RNS

Amplitudo

Amplitudo

Conduction Velocity

Conduction Velocity

Sedang

Durasi

Durasi

Berat

Latensi

Latensi

Ringan

Latensi distal saraf sensorik

Latensi distal saraf motorik

CARPAL TUNNEL SYNDROME


Keterangan:
Variabel yang dibandingkan
Menyebabkan
Berhubungan / saling mempengaruhi
Satu komponen
Gambar 3.1. Skema Kerangka Konsep Penelitian

30

Terdapat banyak faktor yang berpengaruh pada terjadinya Carpal Tunnel


Syndrome. Beban mekanis yang disebabkan oleh ketegangan, pemakaian yang
berlebihan, dan ekstensi pergelangan tangan yang berlebih dan berulang dapat
menyebabkan adanya kompresi mekanik dari saraf medianus. Mekanisme
kurangnya pasokan darah dan oksigen dapat berakibat pada penurunan
kemampuan saraf medianus dalam mengirimkan impuls. Selain itu, penggunaan
jangka panjang alat yang bergetar ternyata juga dapat menyebabkan edema
epineural saraf medianus. Ketiga hal ini selanjutnya akan berkontribusi dalam
munculnya kelainan pada hasil pemeriksaan elektrodiagnostik (ENMG) dan
munculnya gejala klinis yang menjadi keluhan pasien. Salah satu parameter
dalam pemeriksaan elektrodiagnostik adalah latensi distal yang akan memanjang
pada abnormalitas saraf. Sementara gejala klinis pasien sendiri dapat
dikelompokkan dalam beberapa tingkatan.
3.2. Hipotesis Penelitian
Dari kerangka konsep diatas maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan antara gejala klinis pasien CTS dengan besar latensi
saraf medianus sensorik dan motorik di Rumah Sakit Saiful Anwar
Malang.
2. Latensi saraf medianus sensorik dan motorik dapat digunakan sebagai
dasar dalam penentuan derajat keparahan penyakit CTS di Rumah Sakit
Saiful Anwar Malang.

31

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan


pendekatan desain kontrol kasus dari data rekam medis pasien untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan antara gejala klinis dan hasil
pemeriksaan elektrodiagnostik CTS pada pasien di RSSA Malang.
4.2.

Populasi dan Sampel

4.2.1. Populasi
Populasi penelitian adalah pasien terdiagnosis Carpal Tunnel Syndrome yang
berobat ke Poliklinik Saraf di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang. Data pasien
diambil pada periode Juli 2009 Juni 2014.
4.2.2. Sampel
4.2.3. Kriteria Sampel
4.2.3.1.

Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

Pasien yang telah didiagnosis sebagai penderita CTS dengan penyebab


idiopatik yang diketahui dari data rekam medis pasien.

Data rekam medis pasien CTS yang memenuhi kelengkapan data yaitu:
a. Hasil Anamnesa yang mencakup minimal salah satu dari 3 macam
gejala klinis yang digunakan sebagai parameter, yaitu: parestesia /
kesemutan, rasa tebal / hipoestesia, atau kelemahan otot dan/atau atrofi
otot thenar.
b. Hasil Pemeriksaan Penunjang Elektrodiagnostik, yang mencakup:
i. Rekam SNAP Nervus Medianus
ii. Rekam CMAP Nervus Medianus

4.2.3.2.

Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

Pasien CTS dengan polineuropati

Pasien CTS dengan CRS atau lesi pleksus brachialis

Pasien CTS dengan gambaran gejala bilateral

Pasien CTS dengan penyebab non-idiopatik lainnya

Semua informasi mengenai kriteria eksklusi pada penelitian ini didapatkan dari
data rekam medis pasien.

32

4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel


Sampel pada penelitian ini diambil dari data rekam medis pasien CTS di
Poliklinik Saraf Rumah Sakit Saiful Anwar Malang yang telah memenuhi
kriteria eksklusi dan inklusi. Sampel diambil dengan metode simple
stratified random sampling dari masing-masing kelompok yang telah
digolongkan berdasarkan derajat keparahan penyakit dengan parameter
gejala klinis.
4.2.5. Perhitungan Besar Sampel
Perhitungan besar sampel ditentukan berdasarkan jenis pertanyaan
penelitian yang merupakan analitik numerik tidak berpasangan. Maka
dapat ditemukan besar sampel dengan rumus:

Keterangan:

+
1

= 2

n = jumlah sampel yang dibutuhkan


Z = deviat baku alfa
Z = deviat baku beta
S = simpang baku gabungan
X1 X2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan
besar simpang baku gabungan (S) adalah sebesar 0.8.
Apabila kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis satu arah,
sehingga Z = 1,64, dan kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10%, maka
Z = 1,28. Selisih minimal rerata yang dianggap bermakna (X1 X2)
adalah 0.5. Maka didapatkan besar sampel minimal adalah 44.
= 2

( ,64 + ,28)0.8
0.5
= 43.65
= 44

4.3.

Tempat dan Waktu Penelitian

33

Penelitian dilakukan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Saiful Anwar Malang.


Pelaksanaan penelitian dilakukan pada minggu ketiga bulan Februari
2015 sampai dengan minggu keempat bulan April 2015.
4.4.

Variabel Penelitian
Variabel bebas: Derajat keparahan CTS berdasarkan gejala klinis
Variabel tergantung: Nilai latensi saraf medianus sensorik dan motorik

4.5.

Definisi Operasional
Carpal Tunnel Syndrome didefinisikan berdasarkan
didapatkan

beberapa

komponen

yang

dievaluasi,

AANEM dan
yaitu:

derajat

keparahan penyakit berdasarkan gejala klinis yang diadaptasi dari Italian


CTS Study Group dengan sedikit modifikasi demi kepentingan praktis
penelitian dan nilai latensi distal saraf motoris dan sensoris. Definisi
operasional dijabarkan sebagai berikut:

Gejala klinis ringan yaitu apabila didapatkan data anamnesa


pasien berupa kesemutan atau nyeri (baik nocturnal saja maupun
diurnal) tanpa adanya rasa tebal / sensory loss dan kelemahan
pada saat menggenggam dan atau atrofi otot thenar.

Gejala klinis sedang yaitu apabila didapatkan data anamnesa


pasien berupa kesemutan atau nyeri (baik nocturnal saja maupun
diurnal) dan rasa tebal / sensory loss tanpa adanya kelemahan
pada saat menggenggam tangan dan atau atrofi otot thenar; atau
apabila didapatkan rasa tebal / sensory loss saja tanpa disertai
dua gejala lainnya.

Gejala klinis berat yaitu apabila didapatkan data anamnesa pasien


berupa kesemutan atau nyeri (baik nocturnal saja maupun
diurnal), rasa tebal / sensory loss, dan kelemahan pada saat
menggenggam dan atau atrofi otot thenar; atau kelemahan pada
saat menggenggam dan atau atrofi otot thenar saja dengan
disertai salah satu dari dua gejala lain atau tanpa disertai dengan
dua gejala lainnya.

Pemanjangan nilai latensi distal motoris saraf medianus apabila


didapatkan data nilai pada rekam medis sebesar > 3.58 milidetik
(berdasarkan penelitian oleh Herjanto dan Djoenaidi pada 1996).

34

Pemanjangan nilai latensi distal sensorik saraf medianus apabila


didapatkan data nilai pada rekam medis sebesar > 2.75 milidetik
(berdasarkan penelitian oleh Herjanto dan Djoenaidi pada 1996).

4.6.

Bahan dan Alat / Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian yang digunakan adalah rekam medis pasien CTS di
Poliklinik Saraf Rumah Sakit Saiful Anwar Malang pada tahun 2009-2014.

4.7.

Metode Pengumpulan Data


Data dikumpulkan dengan melakukan rekap data yang dibutuhkan dari
rekam medis pasien CTS yang telah memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Data direkap dalam format Microsoft Excel sehingga lebih
mudah untuk dilakukan pengolahan data.

4.8.

Pengolahan Data
Data dari hasil penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode OneWay ANOVA (uji parametrik) setelah sebelumnya dilakukan uji normalitas
data dan uji varians. Apabila data telah memenuhi syarat, maka hasil
analisis data akan dilanjutkan dengan analisis Post Hoc untuk
mengetahui pada kelompok mana terdapat perbedaan yang bermakna.

4.9.

Jadwal Kegiatan
Bulan

No.

Kegiatan

1.

Pengumpulan Data

2.

Tabulasi dan Analisis Data

3.

Analisis Data dan Finalisasi

35

II

III

IV

DAFTAR PUSTAKA
Albers, James W. 1987. Nerve Conduction Manual. Michigan: Department of
Physical Medicine and Rehabilitation University of Michigan Hospital.
Ali, Zafar, Adnan Khan, Syed Muhammad Anwar Shah, Ayesha Zafar. 2012.
Clinical and Electro-Diagnostic Quantification of the Severity of Carpal
Tunnel Syndrome. Ann.Pak.Inst.Med.Sci.2012; 8(4):207-212.
American Academy of Orthophaedic Surgeons (AAOS). 2007. Clinical Practice
Guideline on the Diagnosis of Carpal Tunnel Syndrome.
Bachrodin, Moch. Carpal Tunnel Syndrome. Malang: FK UMM. 2011. Vol.7 No.
14.
Bland, Jeremy D.P. 2000. A Neurophysiological Grading Scale for Carpal Tunnel
Syndrome. Muscle Nerve 23:1280-1283.
Dahlan, M.Sopiyudin. 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel.
Jakarta: Salemba Medika.
Dahlan, M.Sopiyudin. 2013. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika.
DeJong RN. The Neurologic Examination revised by AF.Haerer, 5th ed, JB
Lippincott, Philadelphia, 1992; 557-559.
East Kent Hospital University. Epidemiology. http://www.carpal-tunnel.net/aboutcts/epidemiology. Diakses: 23 Desember 2014 pukul 04.45 WIB.
Hassan, Marwa Mohammed, Mona Mokhtar El Bardawil, et al. 2013. A Study of
Retrograde Degeneration of Median Nerve Forearm Segment in Carpal
Tunnel Syndrome of Variable Severities. Alexandria Journal of Medicine
(2014) 50: 323-331.
Herjanto P, Djoenaidi W. 1996. Hargal Normal NCV. Surabaya.
Huldani. 2013. Carpal Tunnel Syndrome. Referat oleh Universitas Lambung
Mangkurat.
Jablecki CK, Andary MT, Floeter MK, Miller RG, Quartly CA, Vennix MJ, et al.
Practice parameter: Electrodiagnostic studies in carpal tunnel syndrome.
Report of the American Association of Electrodiagnostic Medicine,
American Academy of Neurology, and the American Academy of Physical
Medicine and Rehabilitation. Neurology 2002; 58:1589.
Jeffrey n. Katz, et al. Carpal Tunnel Syndrome. N Engl J Med, 2002. Vol. 346,
No. 23.

36

Jordan R, Carter T, Cummins C. A systematic review of the utility of


electrodiagnostic testing in carpal tunnel syndrome. Br J Gen Pract 2002;
52:670-3.
Katirji, Bashar. 2013. Nerve Conduction Studies: Basic Principles. Neurological
Institute of University Hospital.
Kommalage, Mahinda. 2011. Association between Severity of Carpal Tunnel
Syndrome and Pain in Wrist or Hand. Galle Medical Journal, Vol 16: No 1,
March 2011.
Luchetti, Riccardo, Peter Amadio. 2007. Carpal Tunnel Syndrome. Springer.
Germany.
Mohammadi, Afshin, Ahmadreza Afshar, Ardeshir Etemadi, Sima Masoudi, Atieh
Baghizadeh. 2010. Diagnostic Value of Cross Sectional Are of Median
Nerve in Grading Severity of Carpal Tunnel Syndrome. Archieves of
Iranian Medicine, Vol 13, No 6, November 2010: 516-521.
Padua L., Padua R, LoMonaco M, Aprile I, Tonali P. Multiperspective
assessment of carpal tunnel syndrome. A multicenter study. Neurology
1999; 53:1654-1659.
Pecina, Marko M. Markiewitz, Andrew D. 2001. Tunnel Syndromes: Peripheral
Nerve Compression Syndromes Third Edition. New York: CRC PRESS.
Poernomo, Herjanto, Mudjiani Basuki, Djoenaidi Widjaja. 2003. Petunjuk Praktis
Elektrodiagnostik. Surabaya: Airlangga University Press.
Preston,

David

C,

Neuromuscular

Barbara

E.Shapiro.

Disorders:

2013.

Electromyography

ClinicalElectrophysiologic

3rd

and

edition.

Elsevier Inc. China.


Rambe, Aldi S. 2004. Sindroma Terowongan Karpal. Repository Universitas
Sumatera Utara.
Tana, Lusianawaty, Suharyanto Halim, Delima, Woro Ryadina. 2004. Carpal
Tunnel Syndrome pada Pekerja Garmen di Jakarta. Bul.Panel.Kesehatan,
Vol 32, No 2, 2004:73-82.
Tanaka S, Deanna K W, Seligman PJ. Prevalence and Work-relatedness of Self
Reported Carpal Tunnel Syndrome Among U.S. Workers: Analysis of The
Occupational Health Supplement Data of 1988 National Health Interview
Survey. Am J Ind Med 1995; 27: 45 1-470.

37

The American Association of Neuromuscular & Electrodiagnostic Medicine


(AANEM). 2007. Clinical Practice Guideline on the Diagnosis of Carpal
Tunnel Syndrome.
Weir, A I, A Malik. 2005. Nerve Conduction Studies: Essentials and Pitfalls in
Practice. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2005;76(Suppl II):ii23-ii31.
Werner, Robert A, Michael Andary. 2011. Electrodiagnostic Evaluation of Carpal
Tunnel Syndrome. Muscle Nerve 44:597-607.

38

Anda mungkin juga menyukai