Kata Pengantar..............................................................................................................
Daftar Isi.......................................................................................................................
Daftar Tabel...................................................................................................................
Daftar Gambar..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
BAB II
Definisi.........................................................................................
2.2.
Klasifikasi....................................................................................
2.3.
Batasan.........................................................................................
2.4.
Patofisiologi.................................................................................
2.5.
Manifestasi Klinis......................................................................10
2.6.
Pemeriksaan Penunjang.............................................................12
2.7.
Komplikasi.................................................................................12
2.8.
Penatalaksanaan umum..............................................................13
2.9.
KESIMPULAN.....................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................23
DAFTAR TABEL
1
DAFTAR GAMBAR
2
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan proteinuria masif,
hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Umumnya, sindrom nefrotik disebabkan oleh
adanya kelainan glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer dan sekunder.
Istilah sindroma nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik, karena
penyebab terjadinya gejala yang tidak diketahui secara pasti. Selain idiopatik, sindrom
nefrotik dapat juga disebabkan oleh gangguan sistemik lain yang menyebabkan kerusakan
ginjal atau yang disebut juga dengan sindrom nefrotik sekunder.(1)
Prevalensi sindrom nefrotik pada anak berkisar antara 2-5 kasus per 100.000 anak dan
paling sering terjadi pada anak-anak dengan usia 3 hingga 5 tahun. Pada anak, 90% kasus
sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik primer dan sisanya merupakan sindrom nefrotik
sekunder. Kebanyakan sindrom nefrotik terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan
anak perempuan dengan perbandingan 2:1.(1,2)
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak lebih sering jika dibanding dengan angka
kejadian sindrom nefrotik pada dewasa, dan kebanyakan sindrom nefrotik pada anak adalah
sindrom nefrotik primer. Sindrom nefrotik primer dapat dibagi menjadi beberapa jenis sesuai
dengan histopatologinya.(3)
Pada referat ini, akan dibahas mengenai sindrom nefrotik pada anak dan
tatalakasananya. Sehinggi diharapkan dapat membantu pembaca untuk mengerti dan
mengetahui manifestasi serta tatalaksana dari sindrom nefrotik.
Sesuai dengan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, makan penulis ingin
mengangkat suatu masalah, yaitu :
- Cara penegakan diagnosis dan tatalaksana pada pasien sindrom nefrotik.
1.2 Tujuan penulisan
1.3.1. Tujuan umum
Mengetahui cara mendiagnosis dan tatalaksana pada pasien Sindrom Nefrotik.
1.3.2. Tujuan khusus
Mengetahui apa saja faktor resiko terjadinya Sindrom Nefrotik pada anak.
Mengetahui komplikasi yang dapat terjadai pada pasien dengan Sindrom Nefrotik.
1.3 Manfaat penulisan
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :
1. Bidang akademik atau ilmiah
Menambah pengetahuan akademis mengenai penanganan pasien dengan Sindrom
Nefrotik.
2. Bagi masyarakat
a. Mengetahui bentuk penyakit dan mengetahui gejala-gejala yang timbul pada
pasien Sindrom Nefrotik.
b. Menginformasikan cara mendiagnosis dan tatalaksana apa saja yang dapat
dilakukan.
3. Bagi penulis
Sebagai sarana pengembangan mengumpulkan informasi dan meningkatkan
kemampuan dalam membuat tulisan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi4
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
5
1. Proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
> 2 mg/mg atau dipstik 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.
2.2 Klasifikasi5
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik terdiri dari:
2.3 Batasan6
Batasan yang digunakan pada sindrom nefrotik :
Tabel 1. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindroma nefrotik4
2.4 Patofisiologi
Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Sindrom nefrotik
idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang
dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma,
diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan
permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, -actinin 4)
6
dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi kunci gen koding protein
podosit antara lain inter alia NPHS1, NPHS2, CD2AP, TRCP6 dan ACTN4.7
1) Edema6
Edema merupakan manifestasi klinik yang pertama kali muncul pada pasien-pasien dengan
sindrom nefrotik. Biasanya, muncul edema ringan dan muncul di tempat-tempat tertentu
seperti di daerah periorbital pada pagi hari yang menjadi lebih luas jika pasien beraktivitas.
Edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan
intravaskular berpindah ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler
glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia.
Sebagai akibatnya, volume cairan intravaskular berkurang sehingga menurunkan jumlah
aliran darah ke renal. Ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi reninangiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang
menyebabkan retensi natrium dan air dan terjadinya edema. Pada tingkat yang lebih parah,
edema dapat menyebabkan berbagai gejala yang berhubungan dengan asites, efusi pleura, dan
edema scrotal atau vulva.
2) Hipoalbuminemia6
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah
hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi
hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada keadaan normal,
produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi
sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada
ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi
albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan
manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme
albumin. Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%,
sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia menunjukan
bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan normal meskipun
diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis terhadap
albumin oleh hepar tidak adekuat.
3) Proteinuria
7
Protenuria sebagia besar berasal dari kebocoran glomerulus dan hanya sebagian kecil dari
sekresi tubulus. Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan albumin. Derajat
proteinuria tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase
protein plasma yang lebih besar dari 70kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya
dibatasi oleh charge selective barrier ( suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size
selective barrier.7
4) Hiperkolesterolemia6
Tingkat kolesterol dalam darah pada pasien steroid-responsive NS dapat ditemukan dalam
kadar yang tinggi (kolesterol level serum 300-500 mg/dL). Peningkatan kolestrol serum,
very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL),trigliserida meningkat
sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer.
Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan
perubahan tekanan onkotik.
2.5 Manifestasi klinik
Manifestasi klinis yang menyertai sindroma nefrotik antara lain:
1. Proteinuria
2. Edema
3. Edema dapat bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak
dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan
berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstremitas bawah
4. Asites atau efusi pleura
5. Anoreksia
6. Iritabel
7. Nyeri perut ,diare
Tabel 2. Ringkasan penyakit ginjal primer pada sindrom nefrotik idiopatik
Frekuensi
Anak-anak
Orang dewasa
Manifestasi Klinis
Usia
Perubahan minimal
Fokal segmental
Membranous
sindrom nefrotik
glomerulosklerosis
nefropathy
75%
15%
10%
15%
<5%
50%
10%
10%
10%
10%
40-50 tahun
5-15 tahun
5-15 tahun
Membranoproliferatif
Glomerulosklerosis
Tipe I
Tipe II
dewasa
2:1 pria
100%
0
dewasa
1,3:1 pria
90%
proteinuria
Hematuria
Hipertensi
Progresi menuju gagal
10-20%
10%
Tidak progress
ginjal
Kondisi yang berkaitan
Alergi? Hodgkin
Jenis kelamin
Sindrom nefrotik
Asimptomatik
Temuan
2:1 pria
80%
20%
Pria-wanita
60%
60%
Pria-wanita
60%
40%
60-80%
20% awal
10 tahun
60%
Jarang
50% dalam
80%
35%
10-20 tahun
80%
35%
5-15 tahun
Tidak ada
10-20 tahun
Thrombosis
Partial
disease, biasanya
vena renal,
tidak
kanker, SLE,
BUN 15-30%
BUN 20-40%
laboratorium
Imunogenetik
HLA-B8, B12
Mutasi podocin, -
lipodystrophy
hepatitis B
Manifestasi
C1,C4,C3-
C1,C4 normal
sindrom
C9 rendah
dan C3-C9
nefrotik
HLA-DRw3
rendah
Faktor nefrtik C3
Penebalan
Penebalan
Lobulasi
GBM, spikes
GBM,
aktin4
Patologi renal
Mikroskop cahaya
Immunoflorensen
Normal
Negative
Fine granular
proliferasi
Granular
Hanya C3
Foot process
IgG,C3
Deposit
IgG,C3
Deposit
Deposit padat
fusion
subepitelial
mesangial
Mikroskop elektron
dan
Respon terhadap
90%
15-20%
steroid
Progresi
subendotel
-
lambat
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah6
Albumin
Protein serum biasanya menurun dan lipid serum dapat meningkat. Proteinemia
<50g/L terjadi pada 80% pasien dan <40g/L pada 40% pasien. Konsentrasi albumin
menurun <20g/L hingga 10g/L.
Kolestrol serum
Hiperlipidemia akibat dari peningkatan sintesis kolestrol, trigliserida dan lipoprotein,
menurunnya katabolisme lipoprotein karena menurunnya akitivitas lipase lipoprotein.
Elektrolit serum
Kadar natrium yang rendah berkaitan dengan dilusi yang disebabkan hipovolemia dan
sekresi hormon antidiuretik yang terganggu. Kalium dapat meningkat pada pasien
oliguria.
Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz. Rumus
Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).
eLFG = k x L/Scr
eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)
L
Scr
2.7 Komplikasi4,7
10
Komplikasi pada sindrom nefrotik dapat berasal dari penyakitnya sendiri ataupun sekunder
dari pengobatannya. Lima komplikasi utama yang berhubungan dengan sindrom nefrotik
idiopatik pada anak adalah infeksi, tromboembolisme, gangguan ginjal, anasarka,
hipovolemia dan retardasi pertumbuhan. Anak dengan sindrom nefrotik yang relaps
mempunyai kerentanan lebih tinggi untuk menderita infeksi bakteri karena hilangnya
imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi imunitas,
terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau asites. Spontaneus bacterial peritonitis
adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi traktus
urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia merupakan organisme
tersering penyebab peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, mungkin juga
ditemukan sebagai penyebab.
2.8 Penatalaksanaan umum4
1) Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2) Pengukuran tekanan darah
3) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch-Schonlein.
4) Pencarian fokus infeksi
Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada setiap
erapi dengan predinison pada dosis 60mg/m2/hari dalam beberapa dosis (dosis maksimal 80mg/hari)
selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
diarik untuk melakukan biopsy ginjal dan menetapkan terapi yang sesuai dengan temuan biopsy. Opsi terapi berupa kortikosteroid pu
Respon inisial yang baik tetapi pasien serin relaps atau delayed resistance
terhadap steroid
Opsi #1
nefrologis yang akan melakukan biopsy ginjal (opsi 1) atau mulai dengan pengobatan lini kedua tanpa biopsy (opsi 2)
11
Opsi #2
12
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0
mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan
levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA).
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan dengan dosis
2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah
mual, muntah, hepatotoksik, vasculitis rash, dan neutropenia yang reversibel.
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid
(CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal , maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total
durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi
sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu
kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit
<3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara
dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit
>100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai
200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180
mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg
bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek
toksik berupa kejang dan infeksi
14
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan
untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis
tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada
SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan
remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA
dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.
15
16
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20%
pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga
bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
o Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
o Kadar kreatinin darah berkala.
o Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
3. Metilprednisolon puls
Pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum
1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.
Tabel 3: Protokol metilprednisolon dosis tinggi
Mingg
u ke 12
3 10
11 18
Metilprednisolon
Jumlah
Prednison oral
30mg/kgbb, 3 x seminggu
30mg/kgbb, 1 x seminggu
30mg/kgbb, 2 minggu sekali
6
8
4
8
4
Tidak diberikan
2mg/kgbb, dosis tunggal
Dengan atau tanpataper
off
Taper off pelan-pelan
Taper off pelan-pelan
itu, dapat juga diberi diet rendah garam (1-2g/hari) tetapi hanya diperlukan selama anak
menderita edema.
B) Diuretik(4)
Restriksi cairan dianjurkan selama edema berat. Biasanya diberikan furosemid 1-3
mg/KgBB/hari, bila perlu kombinasi dengan spironolakton 2-4 mg/KgBB/hari.
Jika pemberian diuretik tidak berhasil, maka dapat deberikan infus albumin 20-25% dengan
dosis 1 g/KgBB selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid IV 1-2 mg/KgBB.
18
2.11 Prognosis(10)
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik tergantung dari tipe histopatologinya. Pasien
dengan Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS) memiliki resiko lebih tinggi untuk
terjadinya End Stage Renal Disease (58,6%) dibanding dengan pasien dengan Diffuse
Mesangial Proliferasion (DMP) sebanyak 50% dan Minimal Change Disease (MCD)
sebanyak 4,9%.
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom nefrotik adalah kumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria
masif >3,5 gram/hari, hipoalbuminemia <3,5gram/dl, edema, hiperkolesterolemia, lipiduria
dan hiperkoagubilitas. Angka kejadian SN berkisar 3 hingga 5 tahun. Berdasarkan kelainan
histopatologis, sindrom nefrotik yang paling sering ditemukan adalah perubahan minimal
19
changes nephrotic syndrome dan focal segmental glomerulosclerosing. Gejala dan tanda
klinis yang sering ditemukan yaitu pitting edema, proteinuria masif, hiperkolesterolemia dan
hipoalbuminemia. Pendekatan diagnosis sindrom nefrotik berdasarkan amnesa, pemeriksaan
fisik yang didapat, pemeriksaan laboratorium dan dikonfrimasi dengan biopsi renal untuk
pemeriksaan histopatologis. Pengobatan pada sindroma nefrotik dapat berupa pengobatan
medikamentosa dan pengobatan suportif. Pengobatan medikamentosa dapat berupa
pemberian kortikosteroid dalam terapi inisial, pemberian levamisol, pengobatan dengan
sitostatik dan siklosporin pada sindroma nefrotik yang relaps atau resisten steroid. Sedangkan
terapi suportif dapat berupa pembatasan diet (sesuai dengan recommended daily allowances
yaitu 1,5-2g/KgBB/hari), pemberian diuretik dan pembatasan intake cairan oral. Terapi
medikamentosa dan suportif harus diberikan secara kombinasi. Komplikasi dari sindrom
nefrotik berupa infeksi, tromboemboli, gagal ginjal akut, anasarka, hipovolemia dan
gangguan pertumbuhan.
20