PENDAHULUAN
Degradasi kualitas air terjadi akibat adanya perubahan parameter kualitas air.
Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh adanya aktivitas pembuangan limbah, baik
limbah pabrik, pertanian maupun limbah domestik ke dalam badan perairan. Perairan
merupakan satu kesatuan (perpaduan) antara komponen fisika, kimia, dan biologi
dalam suatu media air pada wilayah tertentu. Ketiga komponen tersebut saling
berinteraksi, jika terjadi perubahan pada salah satu komponen maka akan berpengaruh
pula terhadap komponen yang lainnya (Basmi, 2000). Contoh pengaruhnya adalah
masuknya berbagai limbah yang dapat dikatakan pula sebagai sampah yang memiliki
potensi mencemari lingkungan perairan, salah satunya yaitu sungai (Rusdiyanti, 2009).
Sungai merupakan suatu ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting
dalam siklus hidrologi yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (Catchment Water)
bagi daerah sekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh
karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan dan sekitarnya. Sebagai suatu ekosistem,
perairan sungai mempunyai berbagai komponen abiotik dan biotik yang saling
berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi (Setiawan,
2009). Komponen abiotik tersebut antara lain arus air, substrat, suhu dan pH air.
Sedangkan komponen biotik terdiri dari plankton, bentos, dan berbagai macam
organisme mikro dan makro lainnya yang bisa dijadikan sebagai bioindikator perairan.
Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran
yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif),
maka penyebarannya juga sempit. Sebagai contoh, makrozoobentos yang memiliki
toleran lebih tinggi, tingkat kelangsungan hidupnya akan semakin tinggi. Oleh karena
itu, tingkat pencemaran suatu perairan dapat dilihat dengan keanekaragaman dan
kelimpahan makrozoobenthos yang terdapat di wilayah tersebut (Purnomo, 2013).
Larva serangga bangsa Ephemeroptera atau Lalat Capung adalah salah satu
ragam bentos yang menempati berbagai macam perairan air tawar yang berarus cukup
deras (Merrit dan Cummunis, 2002). Sensitivitas bangsa ini menjadi kandidat utama
yang sering digunakan untuk penelitian kualitas suatu perairan (Lenat, 1988 ; Metcalfe,
1989 ; Kerrans dan Karr , 1994). Pengetahuan mengenai keanekaragaman jenis larva
serangga bangsa Ephemeroptera dari pola distribusinya adalah langkah pertama yang
dimasukkan ke dalam bioassasement. Keanekaragaman jenis bangsa ini diwakili oleh
lebih dari 42 suku, 400 Marga dan 3000 spesies (Barber-James et al, 2008). Suku
Baetidae merupakan satu dari sekian suku dalam bangsa Ephemeroptera yang menjadi
salah satu fokus bahasan ilmiah dalam 10 tahun terakhir di Amerika.
Suku Baetidae sering digunakan dalam penelitian bioindikator perairan untuk
mengukur
dampak
antropogenik,
karena
suku
ini
merupakan
kelompok
BAB II
BIOLOGI LARVA SERANGGA SUKU BAETIDAE
A. Morfologi
Pada umumnya, morfologi serangga terdiri dari 3 bagian yaitu caput (kepala),
toraks (dada), abdomen (perut) dan 3 pasang kaki (Pedigdo, 1998). Suku Baetidae
tubuhnya memiliki 2 antena; toraks yang terdiri dari protoraks, mesotoraks dan
metatoraks; beberapa marga darinya memiliki wing-bud; abdomen yang bersegmen;
insang dan ekor (Gambar 1).
toraks
abdomen
sepasang
antenna,
sepasang mata majemuk, mulut, dan setae. Serangga ini memiliki tipe kepala
Hypognathus, yaitu bentuk kepala dengan posisi organ mulut menghadap ke bawah.
Antenna pada hewan ini memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan panjang
dan lebar kepalanya denagn kedudukan berada di marjin distolateral kepalanya. Selain
itu, hewan ini memiliki tipe mulut menggigit dan mengunyah yang terdiri dari Labrum
atau bibir atas yang berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut, Epifaring
atau lidah yang berfungsi sebagai alat pengecap, Mandibulla atau rahang bagian atas
untuk mengunyah, memotong dan melunakkan makanan, Maksilla atau rahang bagian
bawah untuk mengambil makanan, Hipofaring atau hampir sama dengan Epifaring, dan
Labium atau bibir bawah yang berfungsi untuk membuka dan menutup mulut. Sebagian
besar bagian kepalaseranga ini terdapat setae atau bulu halus (Nieto, 2010)
Sama seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada bagian toraks terdiri dari 3
segmen yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks yang dimana masing-masing
bagian tersebut terdapat sepasang tungkai (Borror e al, 1996). Tungkai serangga pada
umumnya terdiri dari coxa (pangkal paha), femur (paha), tibia (betis), dan tarsal (ruasruas jari). Pada larva suku Baetidae, femur terdapat 6 setae di bagian punggung femur
yang berbentuk runcing, berjarak dan panjang di bagian distal (Ohio EPA, 2013).
B. Klasifikasi
Klasifikasi Baetidae menurut Kluge (1995) dalam Mc. Cafferty & Edmunds
(2008) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animal
Phylum
: Arthropode
Class
: Insect
Order
: Ephemeroptera
Superfamily
: Baetoidae
Family
: Baetidae
C. Siklus Hidup
Suku Baetidae merupakan serangga yang memiliki siklus hidup tipe
Hemimetabola. Dimana, seluruh individu pada saat fase larva berada di dalam dasar
perairan kemudian pada fase dewasa bermetamorfosis memiliki sayap sehingga
hidupnya berada di atas permukaan perairan dan terbang. Saat kawin, suku Baetidae
melakukannya saat terbang. Setelah siap untuk bertelur, individu betina dewasa
memerlukan media air untuk mengeluarkan telurnya dengan membenamkan sebagian
posteriornya.
Studi mengenai siklus hidup Baetidae memang masih jarang dilakukan atau
dikaji secara terperinci (Sroka et al., 2012). Namun, sebuah penelitian yang dilakukan
oleh A. V. Martynov di Ukraina dapat memberikan penjelasan dan gambaran mengenai
siklus hidup serangga Baetidae. Dasi hasil yang ia dapat dinyatakan bahwa populasi
serangga tersebut tidak mampu bertahan di musim dingim. Larva tidak mengalami
pertumbuhan dan perkembangan dalam suhu di musim dingin. Pada saat bertelur,
individu betina berjalan mencari persinggahan seperti bebatuan atau benda lain
disekitarnya untuk membantu saat betina benamkan sebagian tubuhnya dan
mengeluarkan telur. Dalam sekali bertelur, individu betina dapat menghasilkan sekitar
3000 hingga 3500 telur. Setelah bertelur individu tersebut mati (Martynov, 2013).
Menurut Raddum dan Fjellheim (1993); Brittain (1991), informasi mengenai
siklus hidup dicatat untuk berbagai jenis studi ekologi invertebrata air tawar. Perubahan
dalam deskripsi siklus hidup (kelangsungan hidup atau kematian, fekunditas, tingkat
pertumbuhan, tahap perkembangan, ukuran dan umur) dari berbagai spesies semakin
digunakan dalam penilaian ekologi sebagai indikator terhadap stress lingkungan.
Informasi mengenai siklus hidup dapat sangat berguna untuk menilai dampak
perubahan terhadap suhu air dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan
(Buffagni et al., 2002). Kedua komponen tersebut dianggap sebagai faktor penting
terhadap siklus hidup invertebrate air (Vannote dan Sweeny, 1980).
BAB III
EKOLOGI LARVA SERANGGA SUKU BAETIDAE
A. Makanan
Pada umumnya, larva serangga yang tergolong di dalam bangsa Ephemeroptera
merupakan tipe kolektif, grazer, yang memakan berbagai macam alga (macrophyta)
serta hewan (Nieto, 2010). Menurut sebuah penelitian oleh Hadisusanto dan Kristanto
(2009), terdapat tiga perilaku makan pada bangsa Ephemeroptera yaitu Detritivore,
Gatherer, dan Scrapper (Table 1). Pada penelitian tersebut mereka mengklaim bahwa
Suku Baetidae masuk ke dalam kelompok makan detritivor atau pemakan detritus,
yaitu bahan organik bebas dari sisa-sisa makhluk hidup. Sedangkan menurut Hart dan
fuller (1974), Suku Baetidae memiliki sifat makan yang tergolong scaper atau tipe
hewan pemakan organisme yang menempel pada substrat perairan, berada wilayah
perifiton. Biasanya pada golongan ini akan mengalami penurunan kelimpahan jika
terdapat sedimen serta polusi organik.
Tabel 1. Kelompok makan semua anggota Ephemeroptera berdasarkan penelitian (ICBS
2009 BIO-UGM Hadisusanto dan Kristanto, 2009)
Feeding Group
Family
Genera
Detritivore
1. Baetidae
a. Centropilum
b. Baetis
Gatherer
Scrapper
Detritivore, Gatherer and Scrapper
2. Tricorythidae
3. Leptophlebidae
c. Leptohyphea
d. Atalophlebia
4. Siplonuridae
e. Genus A
f. Siplonurus
5. Heptagenidae
6. Caenidae
g. Heptagenia
h. Caenis
yang ditempati oleh banyak organisme, sedangkan substrat berupa lumpur dan tanah
liat berpasir ditempati sedikit organisme (Hawkes, 1979). Tipe substrat dasar suatu
perairan dipengaruhi oleh letak geografik dan dari partikel organik dan non-organik
yang dapat tersebar oleh arus air. Partikel-partikel dapat berpindah tempat atau terikat
kuat di dasar, akibatnya penyebaran sedimen terjadi pada daerah yang mengalir. Dasar
perairan yang menggenang (lentic) bersifat lunak seperti pasir atau lumpur, sedangkan
pada perairan yang mengalir (lotic) bersifat keras seperti bebatuan. Tipe substrat
perairan akan mempengaruhi keanekaragaman komposisi hewan bentos (Dordevic at
al., 2015). Menurut Merrit dan Communis (2002), larva serangga suku Baetidae senang
berada atau hidup di bebatuan sungai dasar perairan.
Berdasarkan sebuah studi distribusi dari fauna Ephemeroptera di Republic
Cekko
(Zahradkova
et
al,
2009),
ia
mengklaim
bahwa
ketika
spesies
10
polusi organik atau limbah organik. Karena sifat yang dimilikinya, Baetidae dapat
digunakan sebagai indikator biologis suatu perairan.
BAB IV
BIOINDIKATOR
A. Suku Baetidae Dalam Indeks EPT
Dalam menentukan indeks kualitas air, suatu perairan dibutuhkan beberapa
faktor pendukung yang dapat menggambarkan kondisi perairan tersebut secara
keseluruhan. Indeks penentuan kualitas air secara fisik dan kimia merupakan indeks
yang paling banyak digunakan oleh para peneliti. Namun, untuk menentukan kualitas
secara keseluruhan diperlukan pula indeks biologi yang ada di perairan.
Di Kanada telah diterapkan metode Survey Invertebrata Sungai (SIS) yang
digunakan untuk memantau kondisi sungai yang ada di Negara tersebut. Metode ini
merupakan monitoring yang mencakup hewan makrobentos dari golongan intoleran,
11
fakultatif, dan toleran terhadap polusi (Departemen Perikanan dan Kelautan Kanada,
2000).
Berbeda dengan Negara Kanada, Indonesia juga memiliki cara dalam
menentukan kualitas dari suatu perairan berdasarkan keberadaan benthos yang disebut
dengan BIOTILIK. Biotilik berasal dari kata bio atau makhluk hidup dan tilik atau
menilik/memantau, yang berarti pemanfaatan makhluk hidup untuk memantau suatu
kondisi lingkungan yang menjadi dua golongan indeks yaitu EPT dan non EPT (Kemen
LH, 2013). EPT merupakan bangsa dari hewan bentos yang intoleran atau tidak dapat
beradaptasi dengan lingkungan air tercemar sedangkan Non EPT merupakan golongan
hewan bentos yang toleran atau mampu menerima kondisi tercemar sekalipun.
Bangsa-bangsa dari taksa hewan yang tergolong peka (intoleran) terhadap
perubahan kondisi lingkungan perairan merupakan ordo hewan invertebrata yang
termasuk ke dalam kelas Insekta yaitu Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera
(EPT) (USEPA, 1998). Keberadaan suku Baetidae dalam suatu ekosistem sungai
memiliki kontribusi dalam menghitung indeks kekayaan EPT karena berdasarkan
taksonominya suku tersebut merupakan anggota dari bangsa Ephemeroptera. Seperti
yang tertera pada gambar bahwa terdapat beberapa jenis dari suku Baetidae yang biasa
ditemukan di perairan sungai (Gambar 5). Jika dalam suatu pelaksanaan biotilik
menemukan kehadiran individu dari suku tersebut, kemudian dijumlah, maka jumlah
individu itulah yang akan dimasukkan ke dalam kolom indeks EPT guna membantu
dalam perhitungan menentukan kualitas air di sungai tersebut.
Tabel 2 Kriteria kualitas air berdasarkan jumlah EPT (NCDEHNR, 1997)
Rating
Excellent
Good
Good Fair
Fair
Poor
Jumlah EPT
> 27
21-27
14-20
7-14
0-6
12
5.
Suku
Baetidae
dalam
Lembar
Panduan
Identifikasi
Biotilik
(http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2013/05/PANDUAN-BIOTILIKPEMANTAUAN-KESEHATAN-SUNGAI-11.pdf)
merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi,
dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang
didomansi hutan gambut/bakau.
Karakteristik alami jenis sungai di dataran rendah (tipe substrat, kecepatan
aliran, keragaman mikrohabitat, fitur fisikokimia air, sedimen, dll) merupakan
konsekuensi dari adanya faktor stress lingkungan (Simic, 2003). Sungai yang berada di
daerah pegunungan ataupun perbukitan masih memiliki kepadatan manusia dan
industrialisasi yang cukup rendah sehingga kecilnya dampak antropogenik terhadap
perairan tersebut. Dengan demikian, ekosistem perairan tersebut tidak berada di bawah
pengaruh stress lingkungan yang timbul dari aktivitas manusia. Dibandingkan dengan
daerah perbukitan maupun pegunungan (hulu), dataran rendah (hilir) berada dalam
tekanan antropogenik yang lebih tinggi (ICPDR WFD Roof Report 2004 ; SCG ICPDR
Laporan Nasional, 2004), karena kegiatan populasi manusia terutama kegiatan
industrial berlokasi di daerah dataran rendah dalam suatu Negara (CORINE Lan Cover,
2006).
Dari perbedaan kedua bagian sungai di atas, dapat dibedakan kualitas pada
masing-masing bagian tersebut dengan melakukan Biotilik atau metode biomonitoring
lainnya. Pada hal ini, Baetidae memiliki kontribusi dalam membantu menentukan
kualitas perairan yang ada dengan memasukan total individu pada sampel yang didapat
kedalam tabel indeks EPT yang kemudian dilakukan perhitungan untuk menentukan
kuaalitas perairan tersebut.
Selain menggunakan Indeks EPT, dengan menghitung parameter fisika dan
kimia perairan yang ada dapat membantu dalam studi ekologi larva serangga akuatik
suku Baetidae. Menurut Thani dan Phalaraksh (2008), parameter tersebut yang perlu
diukur terdiri dari:
1. Suhu
Suhu menjadi faktor pembatas dalam ekosistem perairan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Suhu perairan berasal dari radiasi matahari yang mengalami
perubahan transformasi energi cahaya dari matahari berubah menjadi energi panas
14
15
pH yang cenderung netral (pH = 7). Semakin ke arah hilir nilai pH akan semakin
berfluktuasi. Hal ini disebabkan karena adanya pertambahan bahan-bahan organik yang
dapat membebaskan karbondioksida sehingga terjadi peningkatan dan penurunan
bilangan pH akibat terbentuknya garam karbonat dari ikatan antara CO2 dengan
molekul air (Barus, 2003).
5. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)
Uji BOD merupakan uji biokimia yang bertujuan mengukur jumlah zat organik
yang mungkin dioksidasi oleh bakteri-bakteri aerobik, yang biasanya diukur pada
jangka waktu lima hari pada suhu 200C. Hasil uji BOD dapat diterjemahkan sebagai
jumlah oksigen yang digunakan selama oksidasinya karena terdapat hubungan
kuantitatif di antara jumlah oksigen yang perlu untuk mengubah sejumlah campuran
organik menjadi karbondioksida dan air (Ghazali, 2013).
Dalam uji BOD, hilangnya oksigen terlarut yang utama adalah disebabkan oleh
penguraian dengan melihat perbandingan tingkat oksigen terlarut dalam sampel air
tawar dengan air yang sama setelah disimpan selama beberapa waktu pada ruang gelap.
Penurunan oksigen terlarut yang terukur membantu untuk menduga penurunan tingkat
oksigen terlarut di air alam (Michael, 1996).
6. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
Uji COD digunakan secara luas sebagai suatu ukuran kekuatan pencemaran dari
air limbah domestik maupun industri. Uji ini digunakan untuk mengukur oksigen yang
dibutuhkan pada saat mengoksidasi bahan-bahan organik. Bahan oksidasi yang
digunakan adalah potasium dikromat (K2Cr2O7) yang dapat diperoleh dalam keadaan
yang sangat murni. Kondisi sampel yang diuji harus dalam keadaan asam yang sangat
kuat sehingga potasium dikromat dapat mengoksidasi berbagai macam bahan organik
secara hampir keseluruhan menjadi karbondioksida dan air. Uji ini cocok digunakan
dalam analisis tentang air limbah, selokan-selokan serta air yang tercemar. Uji ini
secara khusus bernilai apabila BOD tidak dapat ditentukan karena terdapat bahan-bahan
beracun (Azizah dan Rahmawati, 2005).
16
17
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Larva serangga suku Baetidae merupakan hewan yang hidup dan banyak
ditemukan di perairan air tawar dengan arus yang cukup deras.
2. Kriteria habitat suku Baetidae mendeskripsikan bahwa kelompok organisme
tersebut hidup pada perairan yang memiliki kualitas yang baik.
3. Suku Baetidae memiliki peran dalam indeks EPT sebagai bagian dari alat
ukur (parameter biologi) untuk menentukan kualitas perairan sungai.
4. Perhitungan pada parameter fisika-kimia perairan juga dapat digunakan
dalam studi bioekologi larva serangga akuatik suku Baetidae
B. Saran
18
Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai studi ekologi larva serangga
Baetidae, karena masih sedikit literatur yang membahas hal tersebut agar
informasi dapat disajikan lebih terbaru dan terkini.
DAFTAR PUSTAKA
American Public Health Association (APHA). 1989. Standar Methods For The
Examination of Water an Waste Water. L-S. Clesceri, A.E. Greenberg, R.R
Trussel (Eds): 17th Edition. Washington D.C.
Armitage PD., Pardo I., 1995. Impact assesment of regulation at the reach level using
macroinvertebrate information from mesohabitats. Reguler. Rivers: Res. Mgmt.,
10: 147-158.
Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Azizah R, Rahmawati RAA. 2005. Perbedaan Kadar BOD, COD, TSS dan MPN
Coliform pada Air Limbah, Sbelum dan Sesudah Pengolahan di RSUD
Nganjuk. Vol 2, No. 1: 97-100
Baptista DF, Buss DF, Dias LG, Nessimian JL, Da Silva ER, De Moraes Neto AHA., et
19
20
Gufhran dkk. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta :
Jakarta
Hadisusanto, S dan Kristanto, A. 2009. Feeding Group Zonation of Ephemeroptera
(Insecta) at Plarar-Gunung Sewu River, Gunung Kidul, Yogyakarta. ICBS 2009
BIO-UGM: 290-294.
Hawkes HA. 1979. Invertebarate as Indicator of Water Quality. John Walley and Sons,
Toronto: 185.
Humpesch UH. 1984. Egg Development of Nondiapausing Exopterygote Aquatic
Insects
Occurring in Europe. In Kommission bei Springer-Verlag, Wien / New York:
329-341.
iCLEAN, 2007. pH.http://www.mysaltz.net. 2016; Maret
International Commission for the Protection of the Danube River (ICPDR) WFD Roof
Report. 2004. The Danube River Basin. Part A Basin-wide overview in
Cooperation with The Countries of The Danube River Basin District.
Jana et al. 2007. Diversity and community structure of aquatic insects in a pond in
Midnapore town, West Bengal, India. 30(2), hlm. 283-287.
Kerans, BL, Karr JR . 1994. A benthic index of biotic integrity (B-IBI) for rivers of the
Tennessee Valley. Ecol Appl 4: 768785.
Kementrian Lingkungan Hidup RI. 2013. Pelatihan Pemantauan Kesehatan DAS
CILIWUNG dengan Metode Biotilik. http://www.menlh.go.id/pelatihanpemantauan-kesehatan-das-ciliwung-dengan-metode-biotilik/. 2016; 12 Januari.
Kriska. 2009. Freshwater Invertebrate in Central Europe : Field Guide.
https://books.google.co.id/books?id=baetidae.
+Freshwater+invertebrate+in+central+Europe&hl=onepage&q=baetidae.
%20Freshwater%20invertebrate%20in%20central%20Europe&f=false. 2016;
27 Januari.
Kukula, K. 1997. The life cycles of three species of Ephemeroptera in two stream in
Poland. Hydrobiologia 353: 193 - 198.
Lenat DR 1988. Water Quality Assessment Of Streams Using A Qualitative Collection
Method For Benthic Macroinvertebrates. J N AM Benthol Soc 12: 222233.
Martynov AV. 2013. THE LIFE CYCLES OF MAYFLIES OF THE EASTERN
UKRAINE SUBFAMILY BAETINAE (EPHEMEROPTERA, BAETIDAE).
Schmalhausen Institute of Zoology, NAS of Ukraine. Vol. 1: 36-44
21
McCafferty, W.P and G.F Edmunds, Jr. 1979. The Higher Classification of The
Ephemeroptera and Its Evolutionary Basis. Ann. Entomol. Soc. Amer. 72 : 5-12.
Merritt, R.W., Cummins, K.W. & Berg, M.B. 2002. An introduction to the aquatic
insects
of North America. Dubuque, Kendall/Hunt Publishing Company, 1214 p.
Metcalfe JL .1989. Biological Water Quality Assessment Of Running Waters Based on
Macroinvertebrate Communities: History and Present Status in Europe. Environ
Pollut 60: 101139.
Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang Dan Laboratorium.
Diterjemahkan Oleh : Sahati Suharto, Penerbit Universitas Indonesia.
North Carolina Department of Environment, Health, and Natural Resources
(NCDEHNR). 1997. Standard Operating Procedures For Biological Monitoring.
Environmental Sciences Branch Biological Assessment Group. Division of
Water. Water Quality Section.
Nieto,Carolina. 2010. Cladistic analysis of the family Baetidae(Insecta:
Ephemeroptera)
in South America. Systematic Entomology Vol. 35: 512525
Ohio EPA. 2013. Larval Key for the two-tailed Baetidae of Ohio.
www.epa.ohio.gov/Portals/35/documents/Baetid_key_2013.pdf. 2016; Februari
Popoola and A. Otalekor. 2011. Analysis of Aquatic Insects Communities of Awba
Reservoir and its Physico-Chemical Properties. Department of Zoology,
University of Ibadan, Oyo State, Nigeria
Purnomo, Tarzan, 2013. Kualitas Perairan Estuari Porong Sidoarjo Jawa Timur
Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos. LenteraBio. 2(1). 81
85. LIPI, Bogor.
Riadi, M. 2012. Suhu dan Kekeruhan. http://www.kajianpustaka.com/2012/11/suhudankekeruhan-air.html. 2016; Maret
Rudiyanti SE, Ekasari DA. 2009. Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan Mas (Cyprinus
carpio) Pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 G. Jurnal Saintek
Perikanan. Vol. 5, No. 1: 39-42.
Setiawan, D. 2009. Studi Komunitas Makrozoobentos di perairan Hilir Sungai
Lematang
Sekitar Daerah Pasar Bawah Kabupaten Lahat Dalam Mushtofa, A.
Muskananfola, MR. 2014. Analisis Struktur Komunitas Makrozoobentos
22
23
24
25
26
27
28
29