Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasien yang mengalami trauma mempunyai peluang besar selamat jika
perawatan definitive dilakukan dalam 1 jam setelah terjadinya cedera (Morton,
dkk, 2008). Jika tindakan dilakukan dalam 1 jam pertama setelah cedera, maka
angka kematian dan kesakitan dapat diminimalkan (Stiver, dkk, 2008 dalam
Susilawati). Perawatan dimulai di lingkup sebelum dibawa kerumah sakit dan
dilanjutkan selama dirawat di rumah sakit. Pada panduan bantuan hidup trauma
lanjutan (ATLS, advanced trauma life support) disebutkan bahwa perlunya
pengkajian dan penatalaksanaan di fase sebelum di bawa ke rumah sakit harus
diberlakukan dalam memelihara jalan nafas, memastikan ventilasi yang adekuat,
mengendalikan perdarahan eksterna, mencegah terjadinya syok, memelihara
imobilisasi tulang belakang, dan memindahkan pasien dengan segera ke fasilitas
terdekat yang tepat (Morton, dkk, 2008).
Manajemen sistem perawatan trauma pre-hospital sangat penting, karena
untuk memastikan penderita yang trauma dapat sampai di instalasi gawat darurat
dengan selamat. Keselamatan penderita yang mengalami cedera parah sangat
tergantung pada intervensi awal, cara transportasi dengan segala fasilitasnya
serta waktu yang diperlukan untuk sampai di rumah sakit yang dituju. Tanpa
memandang mekanisme trauma, intervensi harus sudah dilakukan pada tempat
kejadian kecelakaan atau dalam perjalanan ke rumah sakit (Soemarko, 2004).
WHO (2013),
mengatakan bahwa cedera atau trauma merupakan
kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak
dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya. Cedera merupakan
kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang mengakibatkan aktivitas

sehari-hari terganggu (Riskesdas, 2013). Trauma merupakan luka, khususnya


yang disebabkan oleh cedera fisik yang tiba-tiba (Morton, dkk, 2008).
Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri,
serta mengakibatkan gangguan neurologis (Manarisip, dkk, 2013).
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama kalangan
usia produktif khususnya di negara berkembang (Soetomo, 2002).

distribusi

kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44
tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Di Amerika Serikat pada tahun 1990 dilaporkan kejadian cedera kepala
200/100.000 penduduk pertahun. Insiden cedera kepala di Eropa pada tahun
2010 adalah 500 per 100.000 populasi. Insiden cedera kepala di Inggris pada
tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per tahun. Gururaj et al pada tahun
2004 mendapatkan bahwa insiden cedera kepala di India setiap tahunnya adalah
160 per 100.000 populasi.
Menurut WHO (2013), kecelakaan lalu lintas di dunia tahun 2004 telah
merenggut satu juta orang setiap tahunnya sampai sekarang dan dari 50 juta
orang mengalami luka dengan sebagian besar korbannya adalah pemakai jalan
yang rentan seperti pejalan kaki, pengendara sepeda motor, anak-anak, dan
penumpang. Di Indonesia sendiri angka kecelakaan lalu lintas masih cukup
tinggi. Pada tahun 2003 kasus cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
sebanyak 13.399 kejadian. Dari jumlah yang ada sebanyak 9.865 orang
meninggal dunia, 6.142 orang cedera berat dan 8.694 cedera ringan. Di negara
berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan
dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat, dan merupakan
salah satu kasus yang paling sering dijumpai di ruang gawat darurat rumah sakit
(Manarisip, 2013).

Berdasarkan beratnya, cedera kepala dibagi atas ringan, sedang dan berat.
Pembagian ringan, sedang dan berat ini dinilai melalui Glasgow Coma Scale
(GCS). GCS merupakan instrument standar yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat kesadaran pasien trauma kepala. Yang dinilai dari pemeriksaan
ini adalah tingkat penurunan terbukanya mata, respon verbal, dan respon motorik
dari penderita cedera kepala. Cedera kepala dikatakan ringan bila derajat GCS
total adalah 14-15, sedang bila derajat GCS total adalah 9-13, dan berat bila
derajat GCS total 3-8 (Manarisip 2013).
Pasien dengan cedera kepala ringan pada umumnya dapat mengikuti
semua perintah dalam penilaian GCS. Bahkan pasien dengan cedera kepala
ringan bisa dikatakan sadar penuh atau tidak mengalami penurunan kesadaran.
Keadaan yang seperti ini sering dianggap remeh sehingga terkadang
pemeriksaan lebih lanjut sering terlewatkan dan bahkan tidak dilakukan. Hal ini
membuat pasien dengan cedera kepala ringan kadang-kadang terjun ke keadaan
yang lebih buruk, jika terdapat lesi intrakranial (Manarisip 2013).
Keberadaan pre-hospital stage (tahap pra rumah sakit) di Indonesia tidak
mendapatkan perhatian yang utama dalam strategi kebijakan kesehatan di
Indonesia.Penanganan tahap pra rumah sakit di Indonesia masih sangat lemah,
baik dari sisi infrastruktur maupun sumber daya manusianya.Ambulan sebagai
elemen penting dalam tahap ini.Selama ini ambulanhanya dianggap sebagai alat
angkut pasien ke rumah sakit. Alih-alih menempatkan sebagai bagian dari pre
hospitalstage. Di Indonesia, ambulan menjadi bagian dari penanganan in
hospital stage (Wirawan & Putra, 2013).
Ambulan merupakan alat transportasi yang digunakan untuk memindahkan
pasien trauma ataupun nontrauma ke rumah sakit, baik dalam keadaan
emergency ataupun non emergency, yang dilengkapi dengan peralatan medis
yang memadai (Sevani & Emanuel, 2013). Menurut Demirkan,dkk tahun 2013,
Ambulan sangat berperan penting dalam memberikan pertolongan pertama,

sebab dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien. Pasien yang diantar


menuju ke rumah sakit dengan menggunakan transportasi pribadi sangatlah
berbahaya dibandingkan dengan menggunakan ambulan.
Di Indonesia kebanyakan pasien menggunakan segala jenis kendaraan
umum maupun pribadi untuk sampai ke rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena
terbatasnya jumlah ambulan, dan persepsi orang awam yang beranggapan
menggunakan mobil pribadi menuju ke rumah sakit lebih cepat dibandingkan
dengan menggunakan ambulan (Pitt & Pusponegoro, 2005). Namun meskipun
kendaraan pribadi lebih cepat, perawatan definitive lebih cepat diperoleh dengan
menggunakan ambulan (Song & Hu, 2010).
Tujuh negara di kawasan Asia Tenggara seperti Timor Leste, Thailand,
Srilanka, Nepal, Myanmar, Maladewa, Indonesia, India, Korea Utara, Bhutan,
Bangladesh

10% korban yang cidera berat (mengalami cidera yang cukup

serius sehingga perlu dibawa ke rumah sakit) dibawa ke rumah sakit tidak
menggunakan ambulan. Hanya tiga negara yaitu Bhutan, Korea Utara dan
Thailand yang 50% korban dibawa menggunakan ambulan (WHO, 2013).
Sarana transportasi yang digunakan untuk membawa pasien kerumah sakit
lebih cepat menggunakan mobil pribadi dibandingkan dengan menggunakan
ambulan. Akan tetapi hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat keparahan
pasien, meningkatkan angka kematian dan kecacatan. Sebab pertolongan
pertama dan perawatan definitive lebih cepat menggunakan ambulan dari pada
menggunakan sarana transportasi lainnya (Song, dkk, 2010).
Humardani (2013), mengatakan bahwa Tingkat keparahan merupakan
salah satu penyebab tingginya angka kematian dan kecacatan akibat
kegawatdaruratan. Revised Trauma Score (RTS) adalah salah satu sistem
penilaian tingkat keparahan pasien trauma. Menurut Ruan (2012), RTS
menggunakan parameter fisiologis, sehingga secara prinsip dapat dilakukan di
ruang gawat darurat bahkan di dalam ambulan. Skor RTS dari 0 sampai dengan
12, yang berarti skor 12 ringan, 11 sedang, dan 10-3 parah (Gwaram, dkk, 2013).
4

Nilai Revised Trauma Score (RTS) tingkat keparan pasien trauma kurang dari 11
maka pasien harus diprioritaskan ke pusat-pusat trauma dengan menggunakan
ambulan (champin,2002). Dengan demikian angka kematian dan kesakitan dapat
diminimalkan (Stiver, dkk, 2008 dalam Susilawati).
Peneliti melihat bahwa di Indonesia masih cukup banyak pasien yang
mengalami trauma kepala yang disebabkan oleh berbagai penyebab. Sebagian
besar transportasi yang digunakan masyarakat untuk mengantar pasien menuju
ke rumah sakit ialah pick-up, becak, mobil pribadi, dan hanya beberapa saja
yang menggunakan ambulan. Padahal, menggunakan ambulan dapat lebih cepat
memperoleh perawatan definitive dibandingkan dengan menggunakan pick-up,
becak, mobil pribadi.
Dari hasil studi pendahuluan diketahui bahwa prevalensi trauma kepala di
RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojokerto pada tahun 2014 sebanyak 444 jiwa, tahun
2015 sebanyak 380 jiwa dan pada tahun 2016 sampai dengan bulan april
sebanyak 146 jiwa. Dari pengalaman peneliti, pasien trauma kepala yang dibawa
ke IGD RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojokerto banyak yang menggunakan jenis
transportasi pick-up dan mobil pribadi. Uraian tersebut peneliti tertarik melakukan
penelitian tentang Hubungan Sarana transportasi Pre Hospital Dengan Tingkat
Keparahan Pasien Trauma kepala di IGD RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojokerto.

1.2 Rumusan Masalah


Adakah hubungan sarana transportasi pre-hospital dengan tingkat
keparahan pasien trauma kepala?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan sarana transportasi prehospital dengan tingkat


keparahan pada pasien trauma kepala.
1.3.2 Tujuan Khusus
1

Mengidentifikasi karakteristik responden yang diantar dengan sarana

transportasi pre hospital.


Mengidentifikasi tingkat keparahan pasien trauma kepala yang diantar

menggunakan transportasi publik.


Mengidentifikasi tingkat keparahan

menggunakan ambulance.
Menganalisa hubungan sarana transportasi pre hospital dengan tingkat

pasien

trauma

yang

diantar

keparahan pada pasien trauma kepala.


1.4 Manfaat Penelitian
1

Bagi Praktik keperawatan


Memberikan informasi mengenai

pentingnya

sarana

transportasi

prehospital terhadap pasien trauma kepala.


Bagi Pendidikan Keperawatan
Diharapkan dapat menambah wacana pembelajaran dalam ilmu
keperawatan gawat darurat khususnya mengenai pentingnya sarana

transportasi pre hospital terhadap pasien trauma kepala.


Bagi Tempat Penelitian
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan
untuk meningkatkan sistim pelayanan khususnya prehospital terhadap

pasien trauma kepala.


Bagi STIKES Widyagama Husada
Dapat memberikan masukan kepada STIKES Widyagama Husada

terutama dalam bidang keperawatan kegawatdaruratan.


Bagi Peneliti
Sebagai pembelajaran dan pengalaman dalam melakukan penelitian
yang terkait dengan sarana transportasi prehospital dengan tingkat
keparahan pasien trauma serta media pengembangan kompetensi diri
sesuai dengan keilmuan yang diperoleh dari perkuliahan dalam meneliti
masalah yang berkaitan dengan keperawatan kegawat daruratan pasien

trauma kepala.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dan data
yang dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya atau
penelitian sejenis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu
Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu adalah suatu jejaring sumber
daya yang saling berhubungan untuk memberikan pelayanan gawat darurat dan
transportasi kepada penderita yang mengalami kecelakaan atau penyakit
mendadak. Pelayanan gawat darurat moderen di mulai dari tempat kejadian,

berlanjut selama transportasi dan di sempurnakan di fasilitas kesehatan.


(Dahyat, 2011).
Dalam penatalaksanaan Sistem penanggulangan pasien gawat darurat
(SPGDT) meliputi Sistem koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor), didukung
berbagai

kegiatan

profesi

(multi

disiplin

dan

multi

profesi)

untuk

menyelenggarakan pelayanan terpadu pada pasien gawat-darurat, dalam


keadaan bencana maupun sehari-hari (Saanin, kemenkes 2009).
Sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur prehospital, in-hospital dan antar hospital. Berpedoman pada respon cepat yang
menekankan time saving is life and limb saving yang melibatkan masyarakat
awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat
dan komunikasi (Saanin, 2009).
2.1.1 Komunikasi
Pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal
kegawatdaruratan, termasuk pelayanan medis yang dapat dihubungi dalam
waktu singkat dan dimanapun berada (gabungan dari AGD 118, SAR/PK 113,
Polisi 110). Merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan, yang bertujuan
untuk mendapatkan respons cepat (quick response) terutama pelayanan prehospital (Saanin, 2009).
Masalah yang sering terjadi dalam pemilihan perangkat keras komunikasi
ialah fasilitas tidak memadai atau merata dan tidak dijamin bebas gangguan dan
toleransi minimal kasus gawat darurat bila ada hambatan komunikasi. Alat yang
dapat digunakan adalah fasilitas telekomunikasi umum, radiodigunakan

jika

fasilitas umum gagal. Prosedur komunikasi radio: mengenal perangkat, mampu


menyiapkan perangkat, pedoman berbicara serta tatacara berkomunikasi
(Saanin, 2009).
2.1.2 Penatalaksanaan di lokasi Pre-hospital

Tindakan penanganan pertama pre-hospital yang harus dilakukan di lokasi


ialah berupa pemeriksaan ABC (Airway, Breathing dan Circulation) oleh petugas
ambulan. Petugas ambulan yang melayani pasien trauma haruslah petugas yang
sudah mengikuti pelatihan ATLS (Advanced trauma life support) atau ALS
(Advanced life support) atau BLS (basic life support) (Barnes dan Elliot dalam
Mediatrik & Haripi, 2012). Penanganan tersebut meliputi :
2.1.2.1 Airway (Jalan Napas)
Penilaian jalan napas merupakan langkah pertama pada penanganan
pasien trauma. Penilaian jalan napas dilakukan bersama dengan menstabilkan
leher dengan menggunakan servical collar (Kartikawati, 2011).
2.1.2.2 Breathing (Pernapasan)
Munculnya masalah pernafasan pada pasien trauma terjadi karena
kegagalan pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat dari kondisi serius
pada status neurologis pasien. Untuk menilai pernafasan, perhatikan proses
respirasi spontan dan catat kecepatan, kedalaman, serta usaha melakukannya.
Periksa dada untuk mengetahui penggunaan otot bantu pernafasan dan gerakan
naik turunnya dinding dada secara simetris saat bernafas (Kartikawati, 2011).
2.1.2.3 Circulation (Sirkulasi)
Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup
evaluasi adanya perdarahan, denyut nadi, dan perfusi (Kartikawati, 2011).Dan
apabila ternyata didapatkan henti jantung harus segera dilakukan dekompresi
pada saat itu juga (Soemarko, 2004).
2.2 Sarana Transportasi Pre-hospital

Transportasi berasal dari kata latin, yaitu transportare dimana trans berarti
seberang atau sebelah lain dan portare berarti mengangkut atau membawa.
Jadi, transportasi berarti mengangkut atau membawa (sesuatu) kesebelah lain
atau suatu tempat ketempat lainnya. Transportasi dapat didefinisikan sebagai
usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan membawa
penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya (Kadir, 2006).
Ahmad (2005) mendefinisikan transportasi sebagai kegiatan pemindahan
penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk setiap
bentuk

transportasi

terdapat

empat

unsur

pokok

penting

yaitu

penumpang/barang yang dipindahkan, kendaraan/alat angkut sebagai sarana,


jalan sebagai prasarana angkut, terminal dan organisasi sebagai pengelola
angkut.

Pengangkutan

atau

pemindahan

penumpang/barang

dengan

transportasi adalah untuk dapat mencapai tempat tujuan dengan mudah dan
cepat.
2.2.1 Ambulans
Ambulans adalah alat transportasi pre-hospital untuk membawa orang
yang sakit ataupun terluka menuju rumah sakit. Kata ambulan digunakan untuk
mendeskripsikan alat transportasi yang memiliki peralatan medis untuk pasien
yang ada diluar rumah sakit atau untuk membawa pasien ke Rumah sakit dan
mendapatkan perawatan lebih lanjut. Jadi ambulans adalah alat transportasi
yang digunakan untuk memindahkan orang sakit, baik dalam keadaan
emergency ataupun non emergency, yang dilengkapi dengan peralatan medis
yang memadai (Sevani & Emanuel, 2013).
Ambulans adalah unit transportasi medis yang didesain khusus dan
berbeda dengan model transportasi lainnya. Ambulans didesain agar dapat
menangani pasien gawat darurat, memberikan pertolongan pertama, dan
melakukan perawatan intensif selama dalam perjalanan menuju rumah sakit
(Stevani & Emanuel, 2013). Selain itu ambulans dilengkapi dengan peralatan
10

medis untuk menangani pasien gawat darurat. Peralatan tersebut antara lain
oksigen, defibrillator, ventilator, spinal board, splint, dan dijaga oleh 2 tim medis
(Pitt & Pusponegoro, 2005).
Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik
Indonesia No 143/Menkes-Kesos/SK/II/2001 Tentang Standarisasi Kendaraan
Pelayanan Medik, terdapat beberapa jenis Kendaraan Pelayanan Medik
meliputi :
1. Ambulans Transportasi
Ambulans Transportasi

merupakan

ambulans

dengan

tujuan

penggunaan untuk penderita yang tidak memerlukan perawatan khusus atau


tindakan darurat untuk menyelamatkan nyawa dan diperkirakan tidak akan
timbul kegawatan selama dalam perjalanan. Standar dalam ambulans
transport ini adalah adanya stretcher (tandu), tabung oksigen, lemari
peralatan, lampu dalam, jok perawat, dll. Tabung oksigen dengan
peralatannya, alat penghisap 12 Volt DC. Peralatan Medis PPGD (seperti
pengukur tekanan darah dengan manset untuk anak-anak dan dewasa).
Obat-obatan sederhana, cairan infus secukupnya. Karena fungsinya yang
hanya sebatas untuk mengangkut pasien maka mobil yang digunakan untuk
jenis ini pun tidak memerlukan mobil dengan space yang besar. Pengemudi
1 orang dengan kemapuan Bantuan Hidup Besar (BHD) dan komunikasi
serta 1 perawat dengan kemampuan PPGD.
2. Ambulans Gawat Darurat
Ambulans Gawat Darurat merupakan ambulans yang digunakan
untuk pertolongan gawat darurat pre-hospital, pengangkutan penderita
gawat darurat yang sudah stabil dari lokasi kejadian ke tempat tindakan
definitif atau rumah sakit. Ambulans ini sebagai kendaraan transport rujukan.
Persyaratan dari ambulans gawat darurat adalah tabung oksigen
dengan peralatan bagi 2 orang, peralatan medis PPGD ,alat resusitasi

11

manual atau automatik lengkap bagi dewasa, anak dan bayi, suction pump
manual dan listrik 12 V DC, peralatan monitor jantung dan nafas, alat
monitor dan diagnostic, peralatan defibrilator untuk anak dan dewasa, minor
surgery set , obat-obatan gawat darurat dan cairan infus secukupnya,
kantung mayat , sarung tangan disposable, sepatu boot. Petugas satu
pengemudi berkemampuan PPGD dan berkomunikasi, satu perawat
berkemampuan PPGD, satu dokter berkemampuan PPGD atau ATLS atau
ACLS (Dinkes Jakarta, 2013).
3. Ambulans Rumah Sakit Lapangan
Ambulans rumah sakit lapangan merupakan gabungan beberapa
ambulans gawat darurat dan ambulans pelayanan medik bergerak. Biasanya
sehari-hari difungsikan sebagai ambulans gawat darurat. Syarat dari
ambulans ini sama dengan ambulan gawat darurat.
4. Ambulans Pelayanan Medik Bergerak
Tujuan penggunaan ambulan pelayanan medik ialah melaksanakan
salah satu upaya pelayanan medik di lapangan dan digunakan sebagai
ambulans transport. Persyaratan dari ambulan ini adalah tabung oksigen,
peralatan medis PPGD, alat resusitasi manual atau automatik lengkap bagi
dewasa dan anak dan bayi, suction pump manual dan listrik 12 V DC, obatobatan gawat darurat dan cairan infus secukupnya, sarung tangan
disposable, sepatu boot.
Petugas yang ada di dalam ambulans pelayanan medik satu
pengemudi

berkemampuan

PPGD

dan

berkomunikasi,

perawat

berkemampuan PPGD dengan jumlah sesuai kebutuhan, paramedis lain


sesuai kebutuhan dan dokter berkemampuan PPGD, ATLS atau ACLS
(Dinkes Jakarta, 2013).
5. Ambulans Pengangkat Jenazah
Ambulans pengangkat jenazah adalah untuk kendaraan yang
digunakan khusus untuk mengangkut jenazah. Persyaratan kereta jenazah
antara lain, dapat mengangkut sekurangnya satu peti jenazah, dan ada

12

sabuk pengaman peti jenazah, ruang jenazah terpisah dari ruang kemudi,
tempat duduk atau duduk lipat bagi sekurang-kurangnya empat orang di
samping jenazah, penyimpan air bersih 20 liter, wastafel dan penampungan
air limbah, tanda pengenal kereta jenazah dari bahan pemantul sinar,
gantungan karangan bunga di depan, samping kiri dan kanan. Petugas satu
pengemudi yang dapat berkomunikasi, satu pengawal jenazah atau lebih.
2.2.2 Transportasi Publik
Transportasi

publik

merupakan

transportasi

yang

bertujuan

untuk

pemindahan penumpang dan barang dari suatu tempat ke tempat lain.


Transportasi non ambulan antara lain andong, sepeda motor, becak, bus, truk,
taksi, angkutan umum, mobil pribadi, dan pick-up (Kadir, 2006).
2.3 Tingkat Keparahan Pasien Trauma
Pengukuran dan tabulasi keparahan trauma merupakan persyaratan
penting untuk penatalaksanaan trauma maupun untuk penelitian.Beberapa skala
keparahan trauma digunakan untuk mengukur tingkat keparahan cedera dan
menggambarkan tingkat keparahan pasien (Champion, 2002).
2.3.1 Pengertian Trauma
Trauma atau cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang
diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga
sebelumnya (WHO, 2013). Cedera adalah kejadian atau peristiwa yang
mengalami

cedera

yang

menyebabkan

aktivitas

sehari-hari

terganggu

(Riskesdas, 2013). Trauma adalah luka, khususnya yang disebabkan oleh cedera
fisik yang tiba-tiba (American Heritage Dictinory dalam Morton, dkk, 2008).
Trauma adalah perpindahan energi yang terjadi dari lingkungan ke tubuh
manusia (Kartikawati, 2011).

13

2.3.2 Macam-macam Trauma


1) Trauma kepala
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala
adalah salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif antara
15-44 tahun. Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam
terutama

karena

peningkatan

penggunaan

kendaraan

bermotor.

WHOmemperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan


menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia (Nurfaise,
2012). Cederakepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak (Morton, 2012 dalam Nurarif & Kusuma, 2013)
2) Trauma torak atau dada
Trauma torak menyebabkan 25% kematian dari semua kematian yang
berhubungan dengan trauma dan menduduki urutan kedua setelah cedera
system saraf pusat (SSP) sebagai penyebab semua kematian akibat
trauma.MCV menyebabkan sekitar 70% cedera toraks.Jumlah kematian yang
signifikan ini disebabkan oleh luka tembus akibat tembakan senjata atau luka
tikam di dada.Trauma torak meliputi trauma trakeobronkial, fraktur tulang dada,
cedera di ruang pleura, kontusio paru, cedera tumpul dan tembus dijantung,
cedera aorta (Morton, dkk, 2008).
3) Trauma maksillofasial
Trauma maksilofasial merupakan suatu ruda paksa yang mengenai wajah
dan jaringan sekitarnya.Trauma pada maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi
dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak
wajah.Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan yang
menutupi jaringan keras wajah, sedangkan jaringan keras wajah adalah tulang
yang terdapat di wajah, yang diantaranya terdiri dari tulang hidung, tulang
zigoma, tulang mandibula, dan tulang maksila (Susilawati, dkk, 2014).

14

Penyebab trauma maksilofasial berbeda dari satu Negara dengan Negara


lainnya bahkan antar daerah di dalam satu Negara.Semua itu dipengaruhi oleh
perbedaan

sosial

ekonomi,

lokasi

geografis,

dan

budaya

di

daerah

tersebut.Beberapa penyebab dari trauma maksilofasial adalah kecelakaan lalu


lintas, kekerasan rumah tangga, terjatuh, cedera saat olahraga, dan lain-lain
(Susilawati, dkk, 2014).

4) Trauma abdomen
Cedera abdomen menduduki urutan ketiga penyebab kematian akibat
trauma.Cedera ini dilaporkan 13 hingga 15% kematian akibat trauma, terutama
disebabkan oleh perdarahan.Kematian yang terjadi lebih dari 48jam setelah
cedera abdomen yang disebabkan oleh sepsis dan komplikasinya.Pada trauma
intra abdomen, jarang sekali terjadi hanya cedera satu organ saja atau satu
system saja.Trauma tersebut ialah trauma lambung, trauma duodenum dan
pannkreas, trauma kolon, trauma hati, trauma limpa, trauma ginjal, dan trauma
kandung kemih (Morton, dkk, 2008)
5) Trauma servikal
Cedera servikal adalah cedera tulang belakang yang paling sering dapat
menimbulkan kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian ternyata
terdapat korelasi tingkat cedera servikal dengan morbiditas dan mortalitas,
artinya semakin tinggi tingkat cedera servikal maka semakin tinggi pula
morbiditas dan mortalitasnya (Arifin & Henky, 2013).

15

Sebanyak 10% penderita dengan penurunan kesadaran yang dikirim ke


IGD (Instalasi Gawat Darurat) oleh karena kecelakaan lalu lintas selalu mendapat
cedera servikal, baik cederanya pada tulang servikal, jaringan penunjang, dan
cedera pada cervical spine. Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh adalah penyebab
sebagian besar fraktur tulang servikal.Trauma pada servikal subaksis (C37)
lebih umum terjadi dibandingkan dengan C1 dan C2, dan potensial menjadi
trauma yang perlu banyak perhatian. Hampir selalu dipikirkan bahwa akan terjadi
trauma servikal pada penderita dengan riwayat kecelakaan kendaraan bermotor
kecepatan tinggi, trauma pada wajah dan kepala yang signifikan, terdapat defisit
neurologis, nyeri pada leher, dan trauma multiple (Arifin & Henky, 2013).
6) Multipel trauma
Multipel trauma atau trauma ganda adalah apabila terdapat 2 atau lebih
cedera secara fisikal pada ragio atau organ tertentu dimana salah satunya bisa
menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional.Multipel trauma merupakan istilah
medis yang digunakan untuk menggambarkan kondisi pasien yang mengalami
beberapa luka traumatis (Payal, dkk, 2013).
2.3.3 Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma atau cedera amatlah penting sebab mekanisme cedera
dapat membantu menjelaskan tipe cedera, memperkirakan hasil akhirnya, dan
mengidentifikasi kombinasi cedera yang umum terjadi.Selain itu, cedera dapat
terjadi pada pasien yang trauma tanpa tanda klasik. Mekanisme cedera dapat
menunjukkan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium tambahan dan
pengkajian ulang (Morton, dkk, 2008).

16

Mekanisme cedera terkait dengan tipe gaya cedera dan kemudian respon
jaringan. Cedera terjadi jika gaya menghancurkan jaringan melebihi batas
kerusakannya. Luka yang terjadi berbeda-beda bergantung pada agen yang
menimbulkan cedera tersebut. Efek cedera juga bergantung pada faktor pribadi
dan lingkungan, seperti usia dan jenis kelamin seseorang, ada atau tidak adanya
proses penyakit yang mendasari, dan wilayah geografis (Morton, dkk, 2008).
Gaya bisa menembus atau mungkin juga tidak. Cedera yang ditimbulkan
akibat gaya bergantung pada energi yang dihantarkan dan area kontak. Pada
cedera tembus, titik tumpu gaya berada di area yang kecil. Pada cedera tumpul
dan tidak tembus, energi disebarkan di area yang luas. Gambaran yang
mencolok menurut Morton, dkk, (2008) yang mempengaruhi dampaknya adalah
kecepatan atau aselerasi:

Gaya = massa x percepatan

2.3.3.1 Trauma Tumpul


Mekanisme cedera tumpul mencakup MCV (Mean Corpuscular Volume),
jatuh, penyerangan, dan olahraga yang bersentuhan fisik.Cedera multiple umum
terjadi pada trauma tumpul dan cedera ini sering kali lebih mengancam hidup
dibandingkan cedera tembus karena luasnya cedera kurang jelas dan
menegakan diagnosis menjadi lebih sulit dilakukan (Morton, dkk, 2008).
Cedera tumpul disebabkan oleh gabungan gaya. Gaya ini mencakup
aselerasi, robekan, remuk, dan tahanan kompresif:

Akselerasi (percepatan) adalah peningkatan kecepatan benda yang

bergerak.
Deselerasi adalah penurunan kecepatan benda yang bergerak.
Robekan terjadi melintas sebuah bidang jika beberapa struktur saling
bergeser.

17

Tahanan kompresif adalah kemampuan sebuah benda atau struktur


untuk menolak gaya menekan atau tekanan ke arah dalam (Morton,

dkk, 2008).
Pada trauma tumpul, trauma tersebut adalah dampak langsung yang
menyebabkan cedera terbesar.Cedera terjadi jika terdapat kontak langsung
antara permukaan tubuh dan agen yang menimbulkan cedera.Gaya tidak
langsung dihantarkan secara internal. Luasnya cedera akibat gaya tidak
langsung bergantung pada pemindahan energi dari sebuah benda ke tubuh.
Cedera terjadi sebagai akibat pelepasan energi dan kecendurangan jaringan
bergeser pada tubrukan.Cedera akibat aselerasi-deselerasi adalah penyebab
terbanyak trauma tumpul (Morton, dkk, 2008).
Pada MVC, ukuran dan desain kendaraan mengubah pola cedera.
Kendaraan ukuran dan desain kendaraan mengubah pola cedera. Kendaraan
ukuran kecil menyebabkan lebih banyak tabrakan per mil dan menyebabkan
lebih banyak kematian dari pada kendaraan ukuran besar. Sebelum tabarakan,
penumpang dan mobil berjalan dengan kecepatan yang sama. Selama
tabarakan, baik penumpang dan mobil berkurang kecepatannya hingga nol,
namun tidak selalu pada laju yang sama. Sebenarnya terdapat tiga benturan
yang terlibat dalam sebuah tabrakan.Yang pertama adalah mobil dengan benda
lainnya, yang kedua adalah tubuh penumpang dengan bagian dalam mobil, yang
ketiga adalah jaringan internal yang berbenturan dengan struktur permukaan
tubuh yang kaku. Sebagaia contoh,deselerasi cepat pada suatu MVC dapat
menyebabkan cedera langsung pada jaringan. Selanjutnya, cedera terjadi saat
organ interna berbenturan dengan struktur interna tulang dan menyebabkan
pembuluh darah besar mengalami peregangan dan pelengkungan (Morton, dkk,
2008).
Dengan menggunakan tali pengaman bahu dan pangkuan dapat
mengurangi insiden dan keparahan cedera dengan cara mengurangi gaya yang

18

menyebabkan

seseorang

menghantam

permukaan,

sehingga

mencegah

penumpang menghantam berbagai permukaan dan terlempar keluar dari


kendaraan. Posisi penumpang di kendaraan juga membuat suatu perbedaan
pada cedera tumpul yang dialami.Jika sebuah kendaraan menabrak seorang
pejalan kaki maka penting untuk melihat ukuran kendaraan dan ukuran tubuh
pejalan kaki tersebut (Morton, dkk, 2008).
2.3.3.2 Trauma Tembus
Cedera tembus adalah suatu cedera yang disebabkan oleh benda asing
yang

menembus

jaringan.Keparahan

cedera

terkait

dengan

kerusakan

struktur.Mekanisme cedera disebabkan oleh energi yang dihasilkan dan


dihamburkan oleh benda yang menembus menuju area disekitarnya.Misalnya
cedera yang diakibatkan oleh tembakan, jumlah kerusakan jaringan yang
ditumbulkan oleh sebuah peluru ditentukan berdasarkan jumlah energi yang
dipindahkan ke jaringan bersamaan dengan jangka waktu yang diperlukan untuk
terjadinya perpindahan tersebut.Permukaan tempat penyebaran perpindahan
energy juga berperan pada kerusakan jaringan (Morton, dkk, 2008).
Kecepatan menentukan luasnya rongga yang terbentuk dan kerusakan
jaringan.Peluru dengan kecepatan rendah menyebabkan cedera dengan radius
kecil dari pusat tembakan dan mempunyai efek gangguan yang kecil.Peluru
tersebut menimbulkan rongga dengan efek ledakan yang kecil, terutama hanya
mendorong jaringan ke samping (Morton, dkk, 2008).
Peluru dengan kecepatan tinggi dapat menyebabkan cedera yang lebih
serius karena jumlah energi rongga yang dihasilkan. Kerusakan bergantung pada
tiga faktor: kepadatan dan daya tekan jaringan yang cedera, kecepatan peluru,
dan pecahan peluru. Peluru dengan kecepatan tinggi menekan dan menjauhkan
jaringan dari peluru, yang menyebabkan rongga terbentuk disekitar peluru dan
jejak keseluruhan peluru (Morton, dkk, 2008).
2.3.3.3 Luka Tikam dan Tusuk

19

Luka tikam atau tusuk adalah cedera dengan kecepatan rendah.Penenentu


utama cedera adalah panjang, luas, dan lintasan benda yang menembus dan
adanya organ vital di area luka.Meskipun cedera terlokalisasi, namun banyak
organ dalam dan banyak rongga tubuh dapat ditembus (Morton, dkk, 2008).
2.4 Macam-macam Penilaian Trauma
1. Penilaian Anatomi
a. Abbreviated injury scale (AIS)
Abbreviated injury scale (AIS) adalah sistem pengklasifikasian tingkat
kegawatan pada pasien trauma berdasarkan kondisi anatomy tubuh.AIS
dinyatakan dengan scoring 1-6 dimana skor 1 ringan, 4 dan 5 parah.AIS pertama
kali dikenalkan pada tahun 1969 dan terakhir diperbarui pada tahun 1990 (Brohi,
2007).
Table 2.1 Tingkat keparahan Abbreviated injuryscale

AIS Score
1
2
3
4
5
6

Keparahan
Ringan
Sedang
Serius
Parah
Kritis
Unsurvivable

Sumber: Brohi, 2007

b. Injury Severity Score (ISS)


Injury Severity Score (ISS) adalah sistem scoring secara anatomi yang
menyediakan keseluruhan skor pada pasien dengan multi trauma. Tiap-tiap
trauma ditandai dengan AIS dinilai pada 6 regio (kepala, leher, wajah, dada,
perut, ekstremitas, dan bagian tubuh luar).3 ragio yang paling parah
dikuadratkan

dan

ditambahkan

untuk

mendapatkan

skor

ISS.

Contoh

perhitungan ISS: skor ISS berkisar dari 0-75. Jika cedera yang ditandai pada AIS

20

adalah 6 (unsurvivable injury), maka secara otomatis dinilai 75.Skor ISS


berkolerasi dengan mortalitas, morbiditas, lama tinggal di RS dan tingkat
keparahan (Sunaryanto, 2010).
2. Penilaian Fisiologis
a. Glagow coma scale (Skala Koma Glasgow atau GCS)
Skala koma glasgow adalah ukuran untuk mengetahui tingkat kesadaran
pasien. Skala ini bukan berupa pemeriksaan neurologis secara utuh. Skala koma
glasgow meliputi respons tiga area khusus yang terdiri atas: membuka mata,
respon verbal, dan respon motorik. Dimana rentang skor dari 3 sampai 15, skor
13-15 ringan, 9-12 sedang, kurang dari 8 berarti berat (Kartikawati, 2011).
Namun skala ini sulit untuk memprediksi tingkat keparahan pasien dengan
pengaruh alkohol (Chawda, dkk, 2004).Perawat unit gawat darurat harus
mengingat bahwa pasien yang lumpuh secara kimia tidak dapat dievaluasi
dengan menggunakan skala ini (Kartikawati, 2011).
Glasgow coma scale merupakan salah satu komponen yang digunakan
sebagai acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk
pasien.Selain mudah dilakukan, GCS juga memiliki peranan penting dalam
memprediksi risiko kematian di awal trauma. Dari GCS dapat diperoleh informasi
yang efektif mengenai pasien trauma, kemampuan GCS dalam menentukan
kondisi yang membahayakan jiwa adalah 74,8%.5 Suatu penelitian yang
mengevaluasi penggunaan GCS untuk menilai prognosis jangka panjang
menunjukkan validitas prediksi yang baik dengan sensitivitas 79-97% dan
spesifisitas 84-97% (Irawan, dkk, 2010).

21

Tabel 2.2 Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)

Kategori
Respon membuka mata

Instruksi
4 = spontan
3 = dengan perintah verbal
2 = dengan nyeri
1 = tidak ada respons
6 = menurut perintah
5 = dapat melokalisasi nyeri
4 = fleksi terhadap nyeri
3 = fleksi abnormal
2 = ekstensi
1 = tidak ada respons
5 = orientasi baik dan berbicara
4 = disorientasi dan berbicara
3 = kata-kata yang tidak tepat, menangis
2 = suara yang tidak berarti
1 = tidak ada respons

Respon motorik

Respon verbal

Sumber: Irawan,dkk, 2010

b. Revised trauma score (RTS)


Revised

trauma

score

menilai

sistem

fisiologis

manusia

secara

keseluruhan, instrumen RTS merupakan hasil dari penyempurnaan instrumen


GCS untuk menilai kondisi awal pasien trauma. Penilaian RTS dilakukan segera
setelah pasien cedera, umumnya saat sebelum masuk rumah sakit atau ketika
berada di unit gawat darurat.Revised trauma score telah divalidasi sebagai
metode penilaian untuk membedakan pasien yang memiliki prognosis baik atau
buruk. Penilaian RTS dapat mengidentifikasi lebih dari 97% orang yang akan
meninggal jika tidak mendapat perawatan (Irawan,dkk, 2010).
Penilaian anatomi lebih sering di terapkan dalam studi epidemiologi.Dan
jika dikombinasikan dengan penilaian fisiologis, hasil dari penilaian anatomi lebih
rendah.Selain itu penilaian fisiologis lebih dinamis dibandingkan dengan
penilaian anatomi.Saat ini penilaian fisiologis sering digunakan di prehospital
maupun inhospital (Brohi, 2007).

22

Penilaian fisiologis terdapat beberapa macam penilaian (GCS dan


RTS).GCS digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien sedangkan RTS
dinyatakan lebih akurat untuk memperkirakan prognosis pasien trauma
dibandingkan dengan alat ukur trauma lainnya.Kemampuan RTS dalam
menentukan kondisi yang membahayakan jiwa adalah 76,9% (Irawan,dkk,
2010).
Tabel 2.3 Penilaian Revised Trauma Score (RTS)
Glasgow Coma
Scale (GCS)
13-15
9-12
6-8
4-5
3

Systolic Blood
Pressure (SBP)
>89
76-89
50-75
1-49
0

Respiratory Rate
(RR)
10-29
>29
6-9
1-5
0

Coded Value
4
3
2
1
0

Sumber: kartikawati, 2011

RTS = 0.9368GCS + 0.7326 SBP + 0.2908


RR(0=mati 7.8408=normal).
Nilai RTS memiliki rentang 0 - 7.8408
Table 2.4 ScoringRevised trauma score
Ukuran
Tekanan darah sistolik (mmHg)
>89
76-89
50-75
1-49
0
Laju pernapasan (inspirasi
spontan per menit)
10-29
>29
6-9
1-5
0
Pasien memulai bernapas
sendiri, tidak menggunakan
ventilasi mekanis
Skor skala koma Glasgow
13-15
9-12
6-8
4-5
3
Sumber: Kartikawati, 2011

Skor
numerik
4
3
2
1
0
4
3
2
1
0

4
3
2
1
0

Kemungkinan selamat
Persentase
Total skor
pasien selamat
12

99.5

11

96,9

10

87,9

76,6

66,7

63,6

63

45,5

3 atau 4

33,3

28,6

25

3,7

23

Table 2.5 Tingkat keparahan Revised trauma score

RTS skor
12
11
10

Tingkat keparahan
Ringan
Sedang
Berat

Sumber: Irawan, 2010

2.5 Penanganan Pada Pasien Trauma kepala


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian terkait
trauma dan kecacatan di seluruh dunia. Oleh karen itu, The Amerika Association
of Neurological Surgeons (AANS) telah mengembangkan sebuah pedoman
tentang pengelolaan cedera otak traumatik yang parah. Penilaian status
neurologis termasuk penentuan tingkat kesadaran menggunakan skala koma
Glasgow (GCS), Revised trauma score (RTS), pengukuran tanda-tanda
lateralisasi dan penentuan ukuran pupil dan refleks (WHO, 2014).
Survey Primer (Primary Survey)
Penilaian awal pasien trauma terdiri atas primary survey dan secondary
survey.Pendekatan ini ditunjukan untuk mempersiapkan dan menyediakan
metode perawatan individu yang mengalami multiple trauma secara konsisten
dan menjaga agar tetap terfokus pada prioritas perawatan. Masalah-maslah yang
mengancam nyawa seperti pneumothoraks, hemothoraks, flail Chest, dan
perdarahan dapat di deteksi melalui survey primer. Ketika kondisi yang
mengancam nyawa telah diketahui, maka dapat segera dilakukan intervensi yang
sesuai dengan masalah atau kondisi pasien (Kartikawati, 2011).

A: Airway (Jalan Napas)

24

Penilaian jalan napas merupakan langkah pertama pada penanganan


pasien trauma.Penilaian jalan napas dilakukan bersama dengan menstabilkan
leher. Tahan kepala dan leher pada posisi netral dengan tetap mempertahankan
leher dengan menggunakan servical collar dan meletakkan pasien pada long
spine board (Kartikawati, 2011).
Dengarkan suara spontan yang menandakan pergerakan udara melalui
pita suara. Jika tidak ada suara, buka jalan nafas pasien dengan carachin lift
atau maneuver modified jaw trust.Periksa orofaring, jalan nafas mungkin
terhalang sebagian atau sepenuhnya oleh cairan (darah, saliva, muntahan) atau
serpihan kecil seperti gigi, makanan atau benda asing.Intevensi sesuai dengan
kebutuhan (suctioning, reposisi) dan kemudian evaluasi kepatenan jalan
nafas.Alat-alat untuk mempertahankan jalan nafas seperti nasofaring, orofaring,
LMA, pipa trakea, combitube atau cricothyrotomy mungkin dibutuhkan untuk
membuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas (Kartikawati, 2011).
B: Breathing (Pernapasan)
Munculnya masalah pernafasan pada pasien trauma terjadi karena
kegagalan pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat dari kondisi serius
pada status neurologis pasien. Untuk menilai pernafasan, perhatikan proses
respirasi spontan dan catat kecepatan, kedalaman, serta usaha melakukannya.
Periksa dada untuk mengetahui penggunaan otot bantu pernafasan dan gerakan
naik turunnya dinding dada secara simetris saat respiraasi (Kartikawati, 2011).
Selain itu, periksa juga toraks.Pada kasus cedera tertentu misalnya luka
terbuka, Flail chest dapat dilihat dengan mudah.Lakukan auskultasi suara
pernafasan bila didapatkan kondisi yang serius dari pasien. Selalu diasumsikan

25

bahwa pasien yang tidak tenang atau tidak bisa bekerja sama berada dalam
kondisi hipoksia sampai terbukti sebaliknya (Kartikawati, 2011).
Intervensi selama proses perawatan meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Oksigen tambahan untuk semua pasien. Bagi pasien dengan volume tidal
yang cukup, gunakan non rebrething mask dengan reservoir 10-12
l/menit.
2. Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan. Gunakan bag
valve mask untuk mendorong tekanan positif oksigen pada pasien saat
kondisi respirasi tidak efektif. Pertahankan jalan nafas efektif dengan
intubasi trakea jika diperlukan dan siapkan ventilator mekanis.
3. Pertahankan posisi pipa trakea. Begitu pasien terintubasi, pastikan posisi
pipa benar, verifiksasi ulang bila dibutuhkan. Perhatikan gerakan simetris
naik turunnya dinding dada, auskultasi daerah perut kemudian paru-paru
dan perhatikan saturasi oksigen melalui pulseoximeter.
4. Bila didapatkan trauma torak, maka perlu tindakan yang serius. Tutup
luka dada selama proses persiapan, turunkan tekanan pneumotorak,
stabilisasi bagian-bagian yang flail, dan masukan pipa dada.
5. Perlu dialakukan penilaian ulang status pernafasan pasien yang meliputi
pengukuran saturasi oksigen dan udara dalam darah (arterial blood
gase).
C: Circulation (Sirkulasi)
Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup
evaluasi adanya perdarahan, denyut nadi, dan perfusi (Kartikawati, 2011).
1. Perdarahan
Lihat tanda-tanda perdarahan eksternal yang massif dan tekan langsung
daerah tersebut.Jika memungkinkan,

naikkan daerah yang mengalami

perdarahan sampai diatas ketinggian jantung.Kehilangan darah dalam jumlah


besar dapat terjadi didalam tubuh (Kartikawati, 2011).
2. Denyut Nadi
Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada tidaknya nadi, kualitas,
kecepatan, dan ritme.Denyut nadi mungkin tidak dapat dilihat secara langsung

26

sesudah terjadi trauma, hipotermi, hipovolemia, dan vasokonstriksi pembuluh


darah yang disebabkan respons sistem saraf simpatik yang sangat intens.Raba
nadi carotis, radialis, dan femolar.Sirkulasi dievaluasi melalui evaluasi apical.
Cari suara degupan jantung yang menandakan adanya penyumbatan
pericardial. Mulai dari tindakan pertolongan dasar sampai dengan lanjut untuk
pasien yang mengalami trauma cardiopulmonary memiliki prognosis yang jelek,
terutama setelah terjadi trauma tumpul.Pada populasi pasien trauma, selalu
pertimbangkan tekanan pneumotoraks dan adanya sumbatan pada jantung
sebagai penyebab hilangnya denyut nadi.Kondisi ini dapat kembali normal
apabila dilakukan needle thoracentesis dan pericardiocentesis (Kartikawati,
2011).
3. Perfusi Kulit
Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit basah, pucat,
sianosis,

atau

hipovolemik.Cek

bintik-bintik
warna,

suhu

mungkin
kulit,

menandakan
adanya

keringat,

keadaan
dan

syok

capillary

refill.Namun, semua tanda-tanda syok tersebut belum tentu akurat dan


tergantung pengkajian.Selain kulit, tanda-tanda hipoperfusi juga tampak pada
orang lain, misalnya oliguria, perubahan tingkat kesadaran, takikaridi dan
disritmia.Selain itu, perlu diperhatikan juga adanya penggelembungan atau
pengempisan pembuluh darah dileher yang tidak normal.Mengembalikan
sirkulasi darah merupakan tindakan yang penting untuk dilakukan dengan
segera. Pasang IV line dua jalur dan infuse dengan cairan hangat. Gunakaan
blood set dan bukan infuse set karena blood set mempunyai diameter yang
lebih lebar dari infuse set sehingga memungkinkan tetesannya lebih cepat
dan apabila membutuhkan transfusi darah maka langsung diguanakan tanpa
harus mengganti (Kartikawati, 2011).
Berikan 1-2 cairan isotonic crystalloid solution (0,9% normal saline atau
ringer lactate). Pada anak-anak, pemberiannya berdasarkan berat badan

27

yaitu 20 ml/kgBB.Dalam pemberian cairan perlu diperhatikan respons pasien


dan setiap 1 ml darah yang hilang dibutuhkan 3ml cairan crystalloid
(Kartikawati, 2011).
Pada kondisi multiple trauma sering terjadi perdarahan akibat kehilangan
akut volume darah.Secara umum volume darah orang dewasa adalah 7%
dari berat badan ideal (BBI) sementara volume darah anak-anak berkisar
antara 8-9% BBI. Misalnya orang dewasa dengan berat badan 70 kg
diperkirakan memiliki volume darah sekitar 5 l.
Klasifikasi menurut Kartikawati, (2011) perdarahan meliputi sebagai halhal berikut:
1. Perdarahan kelas 1 (kehilangan darah sampai 15%)
Gejala minimal, takikardi ringan, tidak ada perubahan yang berarti dari
tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernafasan.Pada penderita yang
sebelumnya sehat tidak perlu dilakukan tranfusi. Pengisian kapiler dan
mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24
jam.
2. Perdarahan kelas 2 (kehilangan darah 15-30%)
Gejala klinis meliputi takikardi, takipnea, dan penurunan tekanan
nadi.Penurunan

tekanan

nadi

peningkatan

komponen

ini

terutama

diastolik

berhubungan
karena

dengan

pelepasan

katekolamin.Katekolamin bersifat inotropik yang menyebabkan tekanan


tonus dan resistensi pembuluh darah perifer.Tekanan sistolik hanya
sedikit berubah sehingga lebih tepat mendeteksi perubahan tekanan
nadi.Perubahan system saraf sentral berupa cemas, ketakutan, dan sikap
bermusuhan.Produksi urine sedikit terpengaruh yaitu antara 20-30 ml/jam
padaorang dewasa. Ada penderita yang terkadang memerlukan transfuse
darah, tetapi kebanyakan masih bisa distabilkan dengan larutan kristaloid.
3. Perdarahan kelas 3 (kehilangan darah 30-40%)
Gejala klinis klasik akibat perfusi inadekuat hampir selalu ada yaitu
takikardi, takipnea, penurunan status mental dan penururnan darah
sisitolik. Penderita ini sebagian besar memerlukan transfusi darah.
28

4. Perdarahan kelas 4 (kehilangan darah >40%)


Gejala klinis jelas yaitu takikardi, penururnan tekanan darah sistolik dan
nadi yang tidak teraba, produksi urine hampir tidak ada, kesadaran jelas
menurun, kulit dingin, dan pucat.Transfusi sering kali harus diberikan
secepatnya. Bila kehilanagan darah lebih dari 50% volume darah, maka
akan menyebabkan penururnan tingkat kesadaran, kehilangan denyut
nadi, dan tekanan darah.
Penggunaan klasifikasi ini diperlukan untuk mendeteksi jumlah cairan
kristaloid yang harus diberikan.Berdasarkan hukum 3 for 1 rule yang artinya
jika terjadi perdarahan sekitar 1.000 ml, maka perlu diberikan cairan kristaloid
3x1.000 ml yaitu 3.000 ml cairan kritaloid.Beberapa hasil penelitian
menunjukan bahwa pemberian cairan IV secara agresif pada pasien trauma
dapat memperburuk kondisi perdarahan pasien. Hal ini terjadi karena dapat
menurunkan

hemostatic

plugs

yang

terbentuk

untuk

menghentikan

perdarahan, tetapi kondisi ini terjadi pada beberapa kelompok saja. Secara
umum, apabila seorang pasien didapatkan dalam kondisi yang tidak stabil
secara hemodinamis sesudah pemberian infus crystalloid 2-3 l, sebaiknya
pasien diberikan transfuse darah. Pemberian transfusi darah disesuaikan
dengan jenis dan golongan darah pasien (Kartikawati, 2011).
D: Disability (Status Kesadaran)
Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunakan mnemonik
AVPU.Sebagai tambahan cek kondisi pupil, ukuran, kesamaan, dan reaksi
terhadap cahaya.Pada saat primeri survey, penilaian neurologis hanya dilakukan
secara singkat.Pasien yang memiliki resiko hipoglikemi berat, maka bisa
diberikan dekstrose 50%. Adanya tingakat penurunan tingkat kesadaran akan
dilakukan pengkajian lebih lanjut pada secondary survey. GCS dapat dihitung
segera setelah pemeriksaan primery survey. Mnemonik AVPU meliputi: awake

29

(sadar), verbal (berespon terhadap suara atau verbal), pain (berespon terhadap
rangsang nyeri), dan unresponsive (tidak berespons) (Kartikawati, 2011).
E:

Exsposure

and

Enviromental

Control

(Pemaparan

dan

Kontrol

Lingkungan)
1. Pernapasan (exposure)
Lepas semua pakaian pasien secara cepat, untuk memeriksa cedera,
perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi pasien secara umum,
catat kondisi tubuh atau adanya bau zat kimia seperti alcohol, bahan bakar,
atau urine (Kartikawati, 2011).
2. Kontrol Lingkungan (Enviromental Control)
Pasien harus dilindungi dari hipotermia.hipotermia penting karena ada
kaitannya

dengan

vasokonstriksi

pembuluh

darah

dan

koagulopati.

Pertahankan atau kembalikan suhu normal tubuh dengan cara mengeringkan


pasien, dan gunakan lampu pemanas, selimut, pelindung kepala, sistem
penghangat udara, dan berikan cairan IV hangat.
3. Survey Sekunder (Secondary Survey)
Setelah dialkukan primeri survey dan masalah yang terkait dengan jalan
nafas, pernafasan, sirkulasi, dan status kesadaran telah selesai dilakukan
tindakan, maka tahapan selanjutnya adalah secondary survey. Pada
secondary survey pemeriksaan lengkap head to toe.Berbeda dengan primery
survey, dalam pemeriksaan secondary survey ini apabila didapatkan
masalah, maka tidak diberikan tindakan dengan segera.Hal-hal tersebut
dicatat dan di prioritaskan untuk tindakan selanjutnya.Jika pada saat tertentu,
pasien tiba-tiba mengalami masalah jalan nafas, pernafasan atau sirkulasi,
maka segera lakukan primary survey dan intervensi sesuai dengan indikasi
(Kartikawati, 2011).

30

F: Full of Vital Sign, Five Interventions, and Facilitation of Family Presence


(Tanda-tanda vital, 5 intervensi, dan memfailitasi kehadiran keluarga)
1. Full Set of Vital Sign (TTV)
Tanda-tanda vital ini menjadi menjadi dasar penilaian selanjutnya.Pasien
yang kemungkinan mengalami trauma dada harus dicatat denyut nadi radial
dan brakial, nilai tekanan darah pada kedua lengan.Termasuk suhu, dan
saturasi oksigen sebaiknya dilengkapi pada tahap ini, jika belum dilakukan
(Kartikawati, 2011).
2. Five Interventions (5intervensi)
Lima intervensi ini meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Pemasangana monitor jantung.
2. Pasang nasogastrik tube atau orogastrik tube (jika ada indikasinya)
3. Pasang folley kateter (jika ada indikasinya)
4. Pemeriksaan laboratorium meliputi: darah lengkap, kimia darah,
urinalysis, urine, kadar ethanol, toxicologic screens (urine, serum), clotting
studies (protrombin timr, activated partial thromboplastin time, fibrinogen,
Dimer) untuk pasien yang mengalami gangguan koagulopati.
5. Pasang oksimetri (Kartikawati, 2011).
3. Facilitation of Family Presence (memfasilitasi kehadiran keluarga)
Memfasilitasi kehadiran keluarga berarti memberikan kesempatan untuk
bersama pasien meskipun berada dalam situasi yang mengancam nyawa,
tetapi hal ini masih menjadi hal yang controversial sampai sekarang.
Berdasarkan kesepakatan Emergency Nurses Association (ENA), keluarga
diberikan untuk bersama dengan pasien selama proses invasive dan
resusitasi. Rumah sakit atau klinik yang mengizinkan kehadiran keluarga
pasien

harus

memiliki

standar

prosedur

tentang

bagaimana

caramenenangkan, mendukung dan memberikan informasi pada anggota


keluarga (Kartikawati, 2011).
G: Give Comfort Measures (Memberikan Kenyamanan)
Korban trauma sering mengalami masalah yang terkait dengan kondisi
fisik dan psikologis.Metode farmakologi dan non farmakologi banyak
digunkan untuk menurunkan rasa nyeri dan kecemasan. Dokter dan perawat

31

yang terlibat dalam tim trauma harus bisa mengenali keluhan dan melakukan
intervensi bila dibutuhkan (Kartikawati, 2011).
H: History and Head To Toe Examination
1. Riwayat pasien (history)
Jika sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada pasien untuk
memperoleh informasi tentang pengobatan, alergi, dan riwayat penyakit yang
bersangkutan.Anggota keluarga pasien juga bisa menjadi sumber untuk
memperoleh data ini.Informasi penting tentang kondisi sebelum sampai
dirumah sakit seperti tempat kejadian, proses cedera, penilaian pasien dan
intervensi didapatkan dari petugas EMS. Untuk mempermudah dalam
melakukan pengkajian yang berkaitan dengan riwayat kejadian pasien, maka
dapat digunakan mnemonic MIVT yaitu mechsnism (mekanisme), injuries
suspected (dugaan adanya cedera), vital sign on scene (TTV ditempat
kejadian),

dan

treatment

received

(perawatan

yang

telah

diterima)

(Kartikawati, 2011).
Head to toe Examination (pemeriksaan mulai dari kepala sampai kaki)
1. Kepala (head)
Lakukan inspeksi secara simetris dan dinilai adanya luka-luka yang
tampak, perubahan bentuk, dan kondisi kepala yang tidak simetris.Raba
tengkorak untuk mencari fragmen tulang yang tertekan, hematoma, laserasi,
ataupun nyeri.Perhatikan area ekimosis atau perubahan warna.Ekimosis
dibelakang telinga atau di daerah periorbital adalah adanya indikasi adanya
fraktur tengkorak basilar (fraktur basis cranii). Intervensi yang dapat dilakukan
menurut Kartikawati, (2011) adalah:
1. Jaga kondisi pasien agar tidak terjadi hipotensi atau hipoksia.
2. Manitol dapat diberikan secara IV untuk menurunkan tekanan intracranial.
3. Pasien cedera kepala yang kondisinya terus memburuk, harus
diperitimbangkan pemberian terapi

hiperventilasi untu menurunkan

PaCO2 dari 30-35 mmHg.


4. Observasi tanda-tanda peningkatan TIK dan persiapkan pasien jika
diperlukan tindakan bedah.
2. Muka (face)

32

Periksa dan perhatikan apakah terdapat luka pada wajah pasien dan
kondisi wajah yang tidak simetris.Perhatikan adanya cairan yang keluar dari
telinga, mata, hidung, dan mulut.Cairan jernih yang berasal dari hidung dan
telinga,

diasumsikan

sebagai

cairan

serebrospinal

sampai

diketahui

sebaliknya.Evaluasi kembali pupil yang meliputi kesimetrisan, respon cahaya,


dan akomodasi mata, serta periksa juga fungsi ketajaman penglihatan.Minta
pasien untuk membuka dan menutup mulut untuk mengetahui adanya
malocclusion, laserasi, gigi hilang atau goyah, dan atau benda asing. Tindakan
yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah scan noncntrast
computerized axial tomographic dan panoramic radiographic. Intervensi yang
dapat dilakukan adalah memberikan perawatan luka (Kartikawati, 2011).
3. Leher (neck)
Periksa kondisi leher pasien dan pastikan pada saat melakukan pengkajian
posisi leher tidak bergerak.Lakukan palpasi dan inspeksi terhadap adanya luka,
jejas, ekimosis, distensi pembuluh darah leher, udara dibawah kulit, dan deviasi
trakea.Arteri

carotid

juga

dapat

diauskultasi

untuk

mencari

suara

abnormal.Lakukan palpasi untuk mengetahui perubahan bentuk, lebam, jejas,


ditulang

belakang.Meski

begitu

kerusakan

tulang

belakang

sebaiknya

dipertimbangkan sampai dibuktikan sebaliknya dengan penilaian klinis atau


radiografis.Empat pengamatan radigrafis yang dibutuhkan untuk mendapatkan
gambaran tulang belakang secara utuh ialah cross table lateral (harus tampak
C1-T1), anterior-posterior, lateral, open mounth odontoid (Kartikawati, 2011).
4. Dada (chest)
Periksa dada untuk mengetahui adanya ketidak simetrisan, perubahan
bentuk trauma, penetrasi atau luka lain, lakukan auskultasi jantung dan paru-

33

paru.Palpasi dada untuk mencari perubahan bentuk, udara dibawah kulit dan
area lebam atau jejas. Diagnosis yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:
1. Ambil portable chest radiograph jika pasien tidak dapat duduk tegak untuk
sudut posterior, anterior, dan lateral.
2. Lakukan perekaman ECG 12 lead pada pasien yang diduga atau memiliki
trauma tumpul pada dada.
3. Pertimbangkan untuk melakukan

pemeriksaan

BGA

jika

pasien

menunjukan distress napas atau telah menggunkan ventilator maknik


(Kartikawati, 2011).
5. Abdomen (perut)
Periksa perut untuk mengetahui adanya memar, massa, pulsasi, atau objek
yang menancap. Perhatikan adanya pengeluaran isi perut, auskultasi suara perut
di semua empat kuadran, dan secara lembut palpasi dinding perut untuk
memeriksa adanya kekakuan, nyeri, rebound pain atau guarding (Kartikawati,
2011). Tindakan yang dapat dialakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut.
1. Periksa FAST (focused abdominal sonography for trauma) yaitu proses
pemeriksaan sonografi pada empat wilayah perut (pericardial, perihepatik,
perisplenik,

dan

pelvis)

digunakan

untuk

mengidentifikasi

cairan

intraperitonealpada pasien dengan trauma tumpul pada perut.


2. Diagnosis peritoneal lavage (jarang digunakan karena sudah tersedia CTscan).
3. CT-scan bagian perut (dilakukan dengan kontras medium).
4. Urutan pemeriksaan radiografis perut atau ginjal uretra kandung kemih
(Kartikawati, 2011).
6. Pelvis (panggul)
Periksa panggul untuk mengetahui adanya perdarahan, lebam, jejas,
perubahan bentuk, atau trauma penetrasi.Pada laki-laki periksa adanya priapism,
sedangkan pada wanita periksa adanya perdarahan. Inspeksi daerah perineum
34

terhadap adanya darah, feses, atau cedera lain. Pemeriksaan rektum dilakukan
untuk mengukur sphincter ani, adanya darah, dan untuk mengetahui posisi
prostat. Letak prostat pada posisi high riding, darah berada pada urinary meatus,
atau adanya scrotal hematoma adalah kontra indikasi untuk dilakukan
pemasangan kateter sampai retrograde dapat dilakukan. Untuk mengetahui
stabilitas panggul lakukan penekanan secara halus kearah dalam (menuju
midline) pada iliac crests. Lekukan palpasi pada daerah simpisis pubis jika
pasien mengeluh nyeri atau adanya gerakan, hentikan pemeriksaan dan lakukan
pemeriksaan X-ray (Kartikawati, 2011).
7. Ekstremitas (extremity)
Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan bentuk,
dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka lain. Periksa sensorik
motorik dan kondisi neurovascular pada masing-masing ekstermitas.Lakukan
palpasi untuk mengetahui adanya jejas, lebam, krepitasi, dan ketidak normalan
suhu.Jika ditemukan adanya cedera, periksa ulang status neurovascular distal
secara teratur dan sistematis.Tindakan yang dapat dialkukan untuk menegakkan
diagnosis adalah pemeriksaan X-ray pada ekstermitas yang mengalami
gangguan.Intervensi yang dapat dialkukan adalah balut bidai dan perawatan luka
(Kartikawati, 2011).
I: inspect the Posterior Surfaces (Periksa Permukaan Bagian Belakang)
Dengan tetap mempertahankan posisi tulang belakang dalam kondisi
netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini membutuhkan beberapa orang
atau anggota tim. Pemimpin tim menilai keadaan posterior pasien dengan
mencari tanda-tanda jejas, lebam, perubahan warna, atau luka terbuka. Palpasi
tulang belakang untuk mencari tonjolan, perubahan bentuk, pergeseran, atau

35

nyeri.Pemeriksaan rektal dapat dilakukan dalam tahap ini apabila belum


dilakukan pada saat pemeriksaan panggul dan pada kesempatan ini juga bisa
digunakan untuk mengambil baju pasien yang berada dibawah tubuh
pasien.Apabila pada pemeriksaan tulang belakang tidak didapatkan adanya
kelaianan atau gangguan dan pasien dapat telentang, maka backboard dapat
diambil (dengan mengikuti protocol institusi). Tindakan yang dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis adalah sebagi berikut:
1. Pemeriksaan X-ray pada tulang belakang (leher, toraks, pinggang).
2. CT scan tulang belakang.
Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai beikut
1. Jaga tulang belakang agar tidak tergeser, sampai pasien sudah normal.
2. Pertimbangkan memberikan lapisan atau mengambil papan. Lihat tandatanda kerusakan kulit (Kartikawati, 2011).
Monitoring dan evaluasi ulang
Setelah secondary survey selesai dilakukan, perioritaskan pasien dan
rawat cedera sesuai dengan waktunya.Beberapa cedera tertentu yang ditemukan
pada

saat

secondary

survey

dapat

dinilai

dengan

mendetail

dan

terfokus.Lakukan perbaikan dan jahit luka terbuka jika dibutuhkan (Kartikawati,


2011).
Pasien yang mengalami multiple trauma harus diperiksa secara teratur
dengan pemeriksaan X-ray (dada, panggul, tulang belakang).Jika pemeriksaan
darah tidak atau belum diambil setelah pemasangan IV line, maka sampel darah
dapat

diambil

setelah

pemasangan

IV

line

dan

segera

dikirim

ke

laboratorium.Pemberian profilaksis tetanus perlu untuk dikaji, apabila diperlukan


maka pasien bisa langsung diberikan injeksi profilaksis.Lakukan konsultasi
dengan dokter spesialis apabila diperlukan dan persiapkan pasien, keluarga
untuk kemungkinan rawat ianap, pindah ruang atau operasi (Kartikawati, 2011).

36

Pada saat pasien trauma berada di unit gawat darurat, nilai ulang pasien
secara regulae dan teratur untuk mengetahui penurunan kondisi atau cedera
yang tidak terdeteksi sebelumnya.Selain itu pasien trauma mungkin memiliki
kondisi medis yang belum yang belum terindentifikasi pada saat resusitasi.Perlu
dilakukan

observasi

pengeluaran

urine

dan

berikan

intervensi

jika

diperlukan.Pemberikan analgesic narkotik dapat mengaburkan tanda-tanda


penurunan kondisi neurologis sehingga pada saat ini perlu untuk dialkukan
monitoring evaluasi secara ketat (Kartikawati, 2011).
2.6 Kerangka Teori
kerangka teori hubungan sarana transportasi prehospital dengan tingkat
keparahan pada pasien trauma kepala.

Factor-faktor yang
mempengaruhi tingkat
keparahan trauma
kepala

Pasien trauma
Macam-macam trauma:

Trauma servikal
Trauma abdomen
Trauma maksillofasial
Trauma thorak atau
dada
Trauma kepal
Trauma ekstremitas
Multiple trauma

Transportasi
publik

Tidak
mendapatkan
penanganan

Penanganan atau
pertolongan pertama
Mekanisme trauma
Penyakit penyerta
Tingkat keparahan trauma
Sarana transportasi
kepala dengan penilaian
RTS pre hospitalBAB III

ambula
n

Terdapat
peralatan
dan SDM

Penangan
an
trauma:
primary
survey

Rendah: 12
Sedang: 11
Berat: 10

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
Kerangka Konsep
Trauma kepala

37

Trauma Kepala Tertutup

Trauma kepala terbuka

Transportasi publik
Ambulans
Transportasi

Ambulans
Gawat
Darurat

Mekanisme
trauma

Ambulans
Ambulans
Pelayanan
Medik

Ambulans
Rumah Sakit
Lapangan
Penilaian
Trauma :

Ambulans
Pengankat
Jenazah

Abbreviated
injury
Injury Severity Score
Glagow coma scale

Keterangan :
:Diteliti
: Tidak diteliti
: Memiliki hubungan
Dari kerangka konsep diatas

dapat

dijelaskan

bahwa

sarana

transportasi publik dan ambulans gawat darurat dapat mempengaruhi tingkat


keparahan pasien trauma kepala dari ringan hingga berat.
3.2 Hipotesis
H1 : terdapat hubungan antara sarana transportasi pre hospital dengan tingkat
keparahan pada pasien trauma kepala.

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah analitik komparatif dengan pendekatan
potong silang (Cross Sectional). Desain Cross Sectional ini digunakan untuk
mengetahui

hubungan

sarana

transportasi

pre-hospital

dengan

tingkat

keparahan pada pasien trauma kepala di RSUD Prof Dr Soekandar Mojokerto


dalam 1 kali pengukuran.
4.2 Variable Penelitian
4.1.1 Variable Dependen
Variabel dependen dari penelitian ini adalah tingkat keparahan pasien
trauma kepala.
38

4.1.2 Variable independen


Variabel independen dari penelitian ini adalah sarana transportasi prehospital.
4.3 Populasi, Sampling Penelitian dan Sample
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien trauma kepala yang
diantar dengan transportasi ambulans dan non ambulan ke IGD RSUD Prof Dr
Soekandar Mojokerto yang berjumlah 970 orang.
4.3.2 Metode Sampling
Dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling aksidental, dimana
teknik aksidental ini dilakukan untuk pengambilan kasus atau responden yang
bersedia atau ada di suatu tempat dengan konteks kasus yang penelitian dan
yang akan di lakuakan penelitian selama 3 minggu.

3. Sampel
Jumlah sampel yang akan di pakai dalam penelitian ini adalah pasien yang
mengalami

trauma kepala di IGD RSU Prof, Dr. Soekandar Mojokerto.

Pengambilan sampel di lakukan dengan menggunakan rumus minimal


sampelsize.
2

N .Z . .q
n=
2
d ( N1 ) + Z . . q
n=

970(1,96)2 . 0,5 . 0,5


0,05 ( 9701 ) +(1,96)2 .0,5 .0,5

n=

970 ( 3,8416 ) .0,25


0,05 ( 969 ) + ( 3,8416 ) .0,25

n=

931,588
48,45+0,9604

39

n=

931,588
49,4104

n=19

(sampel minimal)

Keterangan
n : Perkiraan jumlah sampel
N : Perkiraan besar populasi
Z : Nilai standar normal 0,05 (1,96)
: Perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%
q : 1- (100% - )
d : tingkat kesalahan yang dipilih (d= 0,05)
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1 Kriteria Inklusi
a. Pasien trauma kepala yang diantar menggunakan alat transportasi
ambulans maupun transportasi publik ke IGD RSUD Prof.Dr. Soekandar
Mojokerto.
b. Semua pasien trauma kepala yang datang ke IGD RSU Prof, Dr.
Soekandar Mojokerto.
4.4.2 Kritria Eksklusi
a. Pasien yang mengalami multipel trauma.
b. Pasien trauma kepala yang tidak bersedia menjadi responden.
4.5 Tempat dan Waktu Penelitian
4.5.1 Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof.Dr. Soekandar
Mojokerto .
4.5.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan juli sampai agustus 2016
4.6 Definisi Operasional
Tabel 4.1 Definisi operasional

40

No
1.

2.

Variabel
Sarana

Definisi oprasional
Kendaraan yang

transportasi

digunakan pasien

prehospital

menuju rumah

Tingkat

sakit.
Batasan ukur

keparahan

penilaian cedera

trauma

untuk mengetahui

kepala

kategori cedera,

Alat ukur
Kuesioner

skala
nomi

kriteria
1. Ambulan gawat

nal

darurat
2. Transportasi publik

Kuesioner

ordin

GCS

al

1. Ringan: 12
2. Sedang: 11
3. Berat: 10

ringan sedang atau


berat

4.7 Instrument Penelitian


Alat pengukuran data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
menggunakan GCS (Glascow Trauma Scor),.Dalam penelitian Kartikawati (2011)
GCS adalah alat ukur yang di gunakan untuk mengukur tingkat kesadaran
pasien, skala ini berupa pemeriksaan neurologis secara utuh., Skala koma
glasgow meliputi respons tiga area khusus yang terdiri atas: membuka mata,
respon verbal, dan respon motorik. Dimana rentang skor dari 3 sampai 15, skor
13-15 ringan, 9-12 sedang, kurang dari 8 berarti berat.
4.7.1 Prosedur Pengumpulan Data
1. Prosedur Penelitian
Skema 4.1 prosedur penelitian
Populasi
Sampel sesuai dengan kriteria inklusi

Teknik sampling aksidental sampling

41

Variable independen:
sarana transportasi
prehospital

Variable dependen:
tingkat keparahan
pasien trauma kepala

Tabulasi data
Analisa data menggunakan Chi
Square

2. Data Primer
Dalam penelitian ini data primer diambil dari pasien trauma yang memenuhi
kriteria inklusi yang dijadikan sebagai responden. Pengumpulan data didapatkan
dengan cara responden yang mengalami trauma diobservasi sarana transportasi
yang digunakan dan pengukuran tingkat keparahan traumanya.
3. Data Sekunder
Data sekunder di dapat dari rekam medik RSUD Bangil.
4.7.2 Teknik Pengolahan Data
1. Editing
Melakukan pendataan ulang terhadap pemeriksaan tingkat keparahan
trauma.
2. Coding
Pada penelitian ini untuk memudahkan dalam pengolahan data maka hasil
dari pemeriksaan tingkat keparahan trauma kepala dikategorikan ringan,
sedang, dan berat.
3. Scoring

42

Kriteria yang digunakan yaitu berdasarkan standar alat ukur tingkat


keparahan trauma kepala. Dimana skor RTS 12 adalah ringan, 11 sedang,
dan 10 berat.
4. Tabulating
Menyusun data dalam bentuk tabel-tabel untuk memudahkan peneliti
melakukan penelitian.

4.8 Analisa Data


4.8.1 Analisa Univariat
Analisa

univariat

yang

bertujuan

untuk

menjelaskan

atau

mendeskripsikan karakteristik pasien trauma kepala (umur dan jenis


kelamin), tingkat keparahan dan sarana transportasi pre hospital. Pada
umumnya analisa ini hanya menghasilkan tabel distribusi frekuensi dari tiap
variabel.
4.8.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan dengan tujuan mencari
adanya

hubungan

antara

dua

variable

dependen

dan

independen

(Notoatmodjo, 2012).Analisa bivariat menggunakan uji Chi Square.Dimana


syarat uji Chi Square adalah apabila jenis tabel BxK 2x2 maka tidak boleh 1
cell yang mempunyai nilai expected (Fh) kurang dari 5 dan jika jenis tabel
lebih dari 2x2, misalnya 2x3 maka jumlah cell dengan expected kurang dari 5
tidak boleh lebih dari 20% dari jumlah sel yang ada. Apabila syarat uji Chi
Square tidak terpenuhi maka peneliti dapat menggunakan uji alternative yaitu
uji Fisher atau uji Kolmogorov- Smirnov (Dahlan,2010).
4.9 Etika Penelitian

43

Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti meminta ijin kepada institusi


pendidikan, dan RSU Prof, Dr. Soekandar Mojokerto. Setelah mendapatkan
persetujuan baru peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan etika
sebagai berikut:
4.9.1 Lembar persetujuan (Informed Consent)
Lembarpersetujuan menjadi responden diberikan sebelum dilakukan
penilaian tingkat keparahannya.Jika responden bersedia, diminta tanda tangan di
lembar persetujuan, tetapi jika tidak bersedia peneliti harus menghormati hak
pasien untuk menolak menjadi responden.
4.9.2 Tanpa nama (Anonimity)
Nama-nama responden yang bersedia diteliti tidak perlu ditulis nama asli
melainkan dengan inisial saja.
4.9.3 Kerahasiaan (Confidentialy)
Semua

informasi

yang

didapatkan

dari

responden

akan

dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti. Adapun data tersebut disajikan atau dilaporkan


yang berhubungan dengan peneliti, dan tidak dipublikasikan.
4.10 Jadwal Penelitian

44

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M.Z and Henky Jefri. 2013. Fuctional Independence Measure Penderita
Cedera Servikal. MKB.Vol 45. No 3.
Brohi,

Karim.

2007.

Abbreviated

Injury

Scale

(AIS)

Score,

(Online),

(http://www.trauma.org/index.php/main/article/510/, Diakses Tanggal 23 April


2016).
Champion, H. R. 2002. Trauma Skoring. Scandinavian Journal of Surgery.
University of the Health Sciences.
Chawda, M.N., Hildebrand, F., Pape., Giannoundis. 2004. Predicting Outcome
After Multiple Trauma: Which Scoring System. Journal Care Injured 35, 347358.
Dahsyat Sassu. 2011. Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu- SPGDT.
(http://www.ksr-stiki.org/2011/06/first-aid-sistem-pelayanan-gawat.html,
Diakses Tanggal 6 Juni 2016).
Demirkan, B., Meltem Refiker E., Pinar D., Esra G., Umit G, et all . 2013. Factors
Influencing The Use of Ambulance Among Patients With Acute Coronary
Syndrome : Results of Two Centers in Turkey, 13: 516-22.
Dinas Kesehatan Jakarta. 2013. Standar Fisik, Perlengkapan Ambulans Gawat
Darurat

Medik.

Emergency

Ambulance

Service,

(http://agddinkes.jakarta.go.id/news-read/29/standar-fisik-perlengkapanambulans-gawat-darurat-medik, Diakses Tanggal 7 April 2016).

Gwaram, Usman D., Chikwe Henry., Icha Inalegwu. 2013. Assessing the Severity
of Injury Using The Revised Trauma Score in a Tertiary Institution in NorthCentral Nigeria. Nigerian Journal of Basic and Clinical Sciences. 10: (1).
Irawan, H., Felicia S., Dewi., Georgius D. 2010. Perbandingan Glasgow Coma
Scale dan Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien
Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Jurnal Kedokteran. 60 : (10).
Kadir, Abdul. 2006. Transportasi : Peran Dan Dampaknya Dalam Pertumbuhan
Ekonomi Nasional. Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilaya, 1 : (3).
Kartikawati, N. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Malang :
Salemba Medika.
Mediatrix., Lea and Haripi Siti. 2012. Bussines Process Reengineering Rumah
Sakit J. Adm. Kebijak. Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, 10 : (2).
Mortomo, Patricia G., Doriie, F., Carolyn M. Hudak., arbara M.G. 2008.
Keperawatan Kritis, Edisi 8. Jakarta : ECG.
Nurarif, A and Kusuma Hardi. 2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC, Jilid 1. Yogyakarta.
Nurfaise, Zainudin M., Arif W. 2012. Hubungan Derajat Cedera Kepala Dan
Gambaran CT Scan Pada Penderita Cedera Kepala Di RSU DR. Soedarso.
Naskah Publikasi.
Payal. Putri, Goel Sonu, Guptu Anil, Verma Prachi. 2013. Management of
Polytrauma Patients in Emergency Department : An Experience of a Tertiary
Care Health Institution of Northern India. World Journal of Emergency
Medicine, 4 : (1).

Pitt, E and Pusponegoro A. 2005. Prehospital Care In Indonesia. Emergency


Medicine Journal, Vol 22.
Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Saanin, Syaiful. 2009. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). BSB Dinas Kesehatan Propinsi Sumatra Barat.
Sevani, Nina and Emmanuel T. 2013. Sistem Permintaan Layanan Ambulans
Dengan Sms Gateway Pada Rumah Sakit. Jurnal Teknik dan Ilmu Komputer,
02 : (07).
Soemarko. M.

2004.

Evaluasi

Hasil

Pelatihan Dan Pendidikan Untuk

Penanganan Pra Rumah Sakit Terhadap Penderita Cedera, Jurnal Kedokteran


Brawijaya, 20 : (2).
Susilawati., Kuswan Ambar P., Laode B. 2014. Gambaran Dan Tingkat
Keparahan

Cedera

Jaringan

Lunak

Pada

Pasien

Dengan

Trauma

Maksilofasial Yang Dirawat Di Bangsal Bedah RSUD Arifin Achmad


Pekanbaru. JOM Fakultas Kedokteran, 1 : (2).
Song, L and Hu.D, 2010. Patients With Acute Myocardial Infarction Using
Ambulance or Private Transport to Reach Definitive Care: Which Mode is
Quicker?. International Medicine Journal.
Sunaryanto, Andik. 2010. Stering Wheel Injury. Fakultas Kedokteran UNUD/RS
Sanglah Denpasar.
Susilawati, Desi. 2010. Hubungan Waktu Pre Hospital Dan Nilai Tekanan Darah
Dengan Survival Dalam 6 Jam Pertama Pada Pasien Cedera Kepala Berat.
Penelitian Keperawatan Gawat Darurat. Padang.

Wirawan, N and Putra Ida Bagus K. 2013. Manajemen Prehospital Pada Stroke
Akut. Jurnal Kedokteran Universitas Udayana.
Word Health Organization, 2013. Status Keselamatan Jalan di WHO Regional
Asia Tenggara Tahun 2013.

Anda mungkin juga menyukai