PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasien yang mengalami trauma mempunyai peluang besar selamat jika
perawatan definitive dilakukan dalam 1 jam setelah terjadinya cedera (Morton,
dkk, 2008). Jika tindakan dilakukan dalam 1 jam pertama setelah cedera, maka
angka kematian dan kesakitan dapat diminimalkan (Stiver, dkk, 2008 dalam
Susilawati). Perawatan dimulai di lingkup sebelum dibawa kerumah sakit dan
dilanjutkan selama dirawat di rumah sakit. Pada panduan bantuan hidup trauma
lanjutan (ATLS, advanced trauma life support) disebutkan bahwa perlunya
pengkajian dan penatalaksanaan di fase sebelum di bawa ke rumah sakit harus
diberlakukan dalam memelihara jalan nafas, memastikan ventilasi yang adekuat,
mengendalikan perdarahan eksterna, mencegah terjadinya syok, memelihara
imobilisasi tulang belakang, dan memindahkan pasien dengan segera ke fasilitas
terdekat yang tepat (Morton, dkk, 2008).
Manajemen sistem perawatan trauma pre-hospital sangat penting, karena
untuk memastikan penderita yang trauma dapat sampai di instalasi gawat darurat
dengan selamat. Keselamatan penderita yang mengalami cedera parah sangat
tergantung pada intervensi awal, cara transportasi dengan segala fasilitasnya
serta waktu yang diperlukan untuk sampai di rumah sakit yang dituju. Tanpa
memandang mekanisme trauma, intervensi harus sudah dilakukan pada tempat
kejadian kecelakaan atau dalam perjalanan ke rumah sakit (Soemarko, 2004).
WHO (2013),
mengatakan bahwa cedera atau trauma merupakan
kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak
dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya. Cedera merupakan
kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang mengakibatkan aktivitas
distribusi
kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44
tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Di Amerika Serikat pada tahun 1990 dilaporkan kejadian cedera kepala
200/100.000 penduduk pertahun. Insiden cedera kepala di Eropa pada tahun
2010 adalah 500 per 100.000 populasi. Insiden cedera kepala di Inggris pada
tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per tahun. Gururaj et al pada tahun
2004 mendapatkan bahwa insiden cedera kepala di India setiap tahunnya adalah
160 per 100.000 populasi.
Menurut WHO (2013), kecelakaan lalu lintas di dunia tahun 2004 telah
merenggut satu juta orang setiap tahunnya sampai sekarang dan dari 50 juta
orang mengalami luka dengan sebagian besar korbannya adalah pemakai jalan
yang rentan seperti pejalan kaki, pengendara sepeda motor, anak-anak, dan
penumpang. Di Indonesia sendiri angka kecelakaan lalu lintas masih cukup
tinggi. Pada tahun 2003 kasus cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
sebanyak 13.399 kejadian. Dari jumlah yang ada sebanyak 9.865 orang
meninggal dunia, 6.142 orang cedera berat dan 8.694 cedera ringan. Di negara
berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan
dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat, dan merupakan
salah satu kasus yang paling sering dijumpai di ruang gawat darurat rumah sakit
(Manarisip, 2013).
Berdasarkan beratnya, cedera kepala dibagi atas ringan, sedang dan berat.
Pembagian ringan, sedang dan berat ini dinilai melalui Glasgow Coma Scale
(GCS). GCS merupakan instrument standar yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat kesadaran pasien trauma kepala. Yang dinilai dari pemeriksaan
ini adalah tingkat penurunan terbukanya mata, respon verbal, dan respon motorik
dari penderita cedera kepala. Cedera kepala dikatakan ringan bila derajat GCS
total adalah 14-15, sedang bila derajat GCS total adalah 9-13, dan berat bila
derajat GCS total 3-8 (Manarisip 2013).
Pasien dengan cedera kepala ringan pada umumnya dapat mengikuti
semua perintah dalam penilaian GCS. Bahkan pasien dengan cedera kepala
ringan bisa dikatakan sadar penuh atau tidak mengalami penurunan kesadaran.
Keadaan yang seperti ini sering dianggap remeh sehingga terkadang
pemeriksaan lebih lanjut sering terlewatkan dan bahkan tidak dilakukan. Hal ini
membuat pasien dengan cedera kepala ringan kadang-kadang terjun ke keadaan
yang lebih buruk, jika terdapat lesi intrakranial (Manarisip 2013).
Keberadaan pre-hospital stage (tahap pra rumah sakit) di Indonesia tidak
mendapatkan perhatian yang utama dalam strategi kebijakan kesehatan di
Indonesia.Penanganan tahap pra rumah sakit di Indonesia masih sangat lemah,
baik dari sisi infrastruktur maupun sumber daya manusianya.Ambulan sebagai
elemen penting dalam tahap ini.Selama ini ambulanhanya dianggap sebagai alat
angkut pasien ke rumah sakit. Alih-alih menempatkan sebagai bagian dari pre
hospitalstage. Di Indonesia, ambulan menjadi bagian dari penanganan in
hospital stage (Wirawan & Putra, 2013).
Ambulan merupakan alat transportasi yang digunakan untuk memindahkan
pasien trauma ataupun nontrauma ke rumah sakit, baik dalam keadaan
emergency ataupun non emergency, yang dilengkapi dengan peralatan medis
yang memadai (Sevani & Emanuel, 2013). Menurut Demirkan,dkk tahun 2013,
Ambulan sangat berperan penting dalam memberikan pertolongan pertama,
serius sehingga perlu dibawa ke rumah sakit) dibawa ke rumah sakit tidak
menggunakan ambulan. Hanya tiga negara yaitu Bhutan, Korea Utara dan
Thailand yang 50% korban dibawa menggunakan ambulan (WHO, 2013).
Sarana transportasi yang digunakan untuk membawa pasien kerumah sakit
lebih cepat menggunakan mobil pribadi dibandingkan dengan menggunakan
ambulan. Akan tetapi hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat keparahan
pasien, meningkatkan angka kematian dan kecacatan. Sebab pertolongan
pertama dan perawatan definitive lebih cepat menggunakan ambulan dari pada
menggunakan sarana transportasi lainnya (Song, dkk, 2010).
Humardani (2013), mengatakan bahwa Tingkat keparahan merupakan
salah satu penyebab tingginya angka kematian dan kecacatan akibat
kegawatdaruratan. Revised Trauma Score (RTS) adalah salah satu sistem
penilaian tingkat keparahan pasien trauma. Menurut Ruan (2012), RTS
menggunakan parameter fisiologis, sehingga secara prinsip dapat dilakukan di
ruang gawat darurat bahkan di dalam ambulan. Skor RTS dari 0 sampai dengan
12, yang berarti skor 12 ringan, 11 sedang, dan 10-3 parah (Gwaram, dkk, 2013).
4
Nilai Revised Trauma Score (RTS) tingkat keparan pasien trauma kurang dari 11
maka pasien harus diprioritaskan ke pusat-pusat trauma dengan menggunakan
ambulan (champin,2002). Dengan demikian angka kematian dan kesakitan dapat
diminimalkan (Stiver, dkk, 2008 dalam Susilawati).
Peneliti melihat bahwa di Indonesia masih cukup banyak pasien yang
mengalami trauma kepala yang disebabkan oleh berbagai penyebab. Sebagian
besar transportasi yang digunakan masyarakat untuk mengantar pasien menuju
ke rumah sakit ialah pick-up, becak, mobil pribadi, dan hanya beberapa saja
yang menggunakan ambulan. Padahal, menggunakan ambulan dapat lebih cepat
memperoleh perawatan definitive dibandingkan dengan menggunakan pick-up,
becak, mobil pribadi.
Dari hasil studi pendahuluan diketahui bahwa prevalensi trauma kepala di
RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojokerto pada tahun 2014 sebanyak 444 jiwa, tahun
2015 sebanyak 380 jiwa dan pada tahun 2016 sampai dengan bulan april
sebanyak 146 jiwa. Dari pengalaman peneliti, pasien trauma kepala yang dibawa
ke IGD RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojokerto banyak yang menggunakan jenis
transportasi pick-up dan mobil pribadi. Uraian tersebut peneliti tertarik melakukan
penelitian tentang Hubungan Sarana transportasi Pre Hospital Dengan Tingkat
Keparahan Pasien Trauma kepala di IGD RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojokerto.
menggunakan ambulance.
Menganalisa hubungan sarana transportasi pre hospital dengan tingkat
pasien
trauma
yang
diantar
pentingnya
sarana
transportasi
trauma kepala.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dan data
yang dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya atau
penelitian sejenis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu
Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu adalah suatu jejaring sumber
daya yang saling berhubungan untuk memberikan pelayanan gawat darurat dan
transportasi kepada penderita yang mengalami kecelakaan atau penyakit
mendadak. Pelayanan gawat darurat moderen di mulai dari tempat kejadian,
kegiatan
profesi
(multi
disiplin
dan
multi
profesi)
untuk
jika
Transportasi berasal dari kata latin, yaitu transportare dimana trans berarti
seberang atau sebelah lain dan portare berarti mengangkut atau membawa.
Jadi, transportasi berarti mengangkut atau membawa (sesuatu) kesebelah lain
atau suatu tempat ketempat lainnya. Transportasi dapat didefinisikan sebagai
usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan membawa
penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya (Kadir, 2006).
Ahmad (2005) mendefinisikan transportasi sebagai kegiatan pemindahan
penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk setiap
bentuk
transportasi
terdapat
empat
unsur
pokok
penting
yaitu
Pengangkutan
atau
pemindahan
penumpang/barang
dengan
transportasi adalah untuk dapat mencapai tempat tujuan dengan mudah dan
cepat.
2.2.1 Ambulans
Ambulans adalah alat transportasi pre-hospital untuk membawa orang
yang sakit ataupun terluka menuju rumah sakit. Kata ambulan digunakan untuk
mendeskripsikan alat transportasi yang memiliki peralatan medis untuk pasien
yang ada diluar rumah sakit atau untuk membawa pasien ke Rumah sakit dan
mendapatkan perawatan lebih lanjut. Jadi ambulans adalah alat transportasi
yang digunakan untuk memindahkan orang sakit, baik dalam keadaan
emergency ataupun non emergency, yang dilengkapi dengan peralatan medis
yang memadai (Sevani & Emanuel, 2013).
Ambulans adalah unit transportasi medis yang didesain khusus dan
berbeda dengan model transportasi lainnya. Ambulans didesain agar dapat
menangani pasien gawat darurat, memberikan pertolongan pertama, dan
melakukan perawatan intensif selama dalam perjalanan menuju rumah sakit
(Stevani & Emanuel, 2013). Selain itu ambulans dilengkapi dengan peralatan
10
medis untuk menangani pasien gawat darurat. Peralatan tersebut antara lain
oksigen, defibrillator, ventilator, spinal board, splint, dan dijaga oleh 2 tim medis
(Pitt & Pusponegoro, 2005).
Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik
Indonesia No 143/Menkes-Kesos/SK/II/2001 Tentang Standarisasi Kendaraan
Pelayanan Medik, terdapat beberapa jenis Kendaraan Pelayanan Medik
meliputi :
1. Ambulans Transportasi
Ambulans Transportasi
merupakan
ambulans
dengan
tujuan
11
manual atau automatik lengkap bagi dewasa, anak dan bayi, suction pump
manual dan listrik 12 V DC, peralatan monitor jantung dan nafas, alat
monitor dan diagnostic, peralatan defibrilator untuk anak dan dewasa, minor
surgery set , obat-obatan gawat darurat dan cairan infus secukupnya,
kantung mayat , sarung tangan disposable, sepatu boot. Petugas satu
pengemudi berkemampuan PPGD dan berkomunikasi, satu perawat
berkemampuan PPGD, satu dokter berkemampuan PPGD atau ATLS atau
ACLS (Dinkes Jakarta, 2013).
3. Ambulans Rumah Sakit Lapangan
Ambulans rumah sakit lapangan merupakan gabungan beberapa
ambulans gawat darurat dan ambulans pelayanan medik bergerak. Biasanya
sehari-hari difungsikan sebagai ambulans gawat darurat. Syarat dari
ambulans ini sama dengan ambulan gawat darurat.
4. Ambulans Pelayanan Medik Bergerak
Tujuan penggunaan ambulan pelayanan medik ialah melaksanakan
salah satu upaya pelayanan medik di lapangan dan digunakan sebagai
ambulans transport. Persyaratan dari ambulan ini adalah tabung oksigen,
peralatan medis PPGD, alat resusitasi manual atau automatik lengkap bagi
dewasa dan anak dan bayi, suction pump manual dan listrik 12 V DC, obatobatan gawat darurat dan cairan infus secukupnya, sarung tangan
disposable, sepatu boot.
Petugas yang ada di dalam ambulans pelayanan medik satu
pengemudi
berkemampuan
PPGD
dan
berkomunikasi,
perawat
12
sabuk pengaman peti jenazah, ruang jenazah terpisah dari ruang kemudi,
tempat duduk atau duduk lipat bagi sekurang-kurangnya empat orang di
samping jenazah, penyimpan air bersih 20 liter, wastafel dan penampungan
air limbah, tanda pengenal kereta jenazah dari bahan pemantul sinar,
gantungan karangan bunga di depan, samping kiri dan kanan. Petugas satu
pengemudi yang dapat berkomunikasi, satu pengawal jenazah atau lebih.
2.2.2 Transportasi Publik
Transportasi
publik
merupakan
transportasi
yang
bertujuan
untuk
cedera
yang
menyebabkan
aktivitas
sehari-hari
terganggu
(Riskesdas, 2013). Trauma adalah luka, khususnya yang disebabkan oleh cedera
fisik yang tiba-tiba (American Heritage Dictinory dalam Morton, dkk, 2008).
Trauma adalah perpindahan energi yang terjadi dari lingkungan ke tubuh
manusia (Kartikawati, 2011).
13
karena
peningkatan
penggunaan
kendaraan
bermotor.
14
sosial
ekonomi,
lokasi
geografis,
dan
budaya
di
daerah
4) Trauma abdomen
Cedera abdomen menduduki urutan ketiga penyebab kematian akibat
trauma.Cedera ini dilaporkan 13 hingga 15% kematian akibat trauma, terutama
disebabkan oleh perdarahan.Kematian yang terjadi lebih dari 48jam setelah
cedera abdomen yang disebabkan oleh sepsis dan komplikasinya.Pada trauma
intra abdomen, jarang sekali terjadi hanya cedera satu organ saja atau satu
system saja.Trauma tersebut ialah trauma lambung, trauma duodenum dan
pannkreas, trauma kolon, trauma hati, trauma limpa, trauma ginjal, dan trauma
kandung kemih (Morton, dkk, 2008)
5) Trauma servikal
Cedera servikal adalah cedera tulang belakang yang paling sering dapat
menimbulkan kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian ternyata
terdapat korelasi tingkat cedera servikal dengan morbiditas dan mortalitas,
artinya semakin tinggi tingkat cedera servikal maka semakin tinggi pula
morbiditas dan mortalitasnya (Arifin & Henky, 2013).
15
16
Mekanisme cedera terkait dengan tipe gaya cedera dan kemudian respon
jaringan. Cedera terjadi jika gaya menghancurkan jaringan melebihi batas
kerusakannya. Luka yang terjadi berbeda-beda bergantung pada agen yang
menimbulkan cedera tersebut. Efek cedera juga bergantung pada faktor pribadi
dan lingkungan, seperti usia dan jenis kelamin seseorang, ada atau tidak adanya
proses penyakit yang mendasari, dan wilayah geografis (Morton, dkk, 2008).
Gaya bisa menembus atau mungkin juga tidak. Cedera yang ditimbulkan
akibat gaya bergantung pada energi yang dihantarkan dan area kontak. Pada
cedera tembus, titik tumpu gaya berada di area yang kecil. Pada cedera tumpul
dan tidak tembus, energi disebarkan di area yang luas. Gambaran yang
mencolok menurut Morton, dkk, (2008) yang mempengaruhi dampaknya adalah
kecepatan atau aselerasi:
bergerak.
Deselerasi adalah penurunan kecepatan benda yang bergerak.
Robekan terjadi melintas sebuah bidang jika beberapa struktur saling
bergeser.
17
dkk, 2008).
Pada trauma tumpul, trauma tersebut adalah dampak langsung yang
menyebabkan cedera terbesar.Cedera terjadi jika terdapat kontak langsung
antara permukaan tubuh dan agen yang menimbulkan cedera.Gaya tidak
langsung dihantarkan secara internal. Luasnya cedera akibat gaya tidak
langsung bergantung pada pemindahan energi dari sebuah benda ke tubuh.
Cedera terjadi sebagai akibat pelepasan energi dan kecendurangan jaringan
bergeser pada tubrukan.Cedera akibat aselerasi-deselerasi adalah penyebab
terbanyak trauma tumpul (Morton, dkk, 2008).
Pada MVC, ukuran dan desain kendaraan mengubah pola cedera.
Kendaraan ukuran dan desain kendaraan mengubah pola cedera. Kendaraan
ukuran kecil menyebabkan lebih banyak tabrakan per mil dan menyebabkan
lebih banyak kematian dari pada kendaraan ukuran besar. Sebelum tabarakan,
penumpang dan mobil berjalan dengan kecepatan yang sama. Selama
tabarakan, baik penumpang dan mobil berkurang kecepatannya hingga nol,
namun tidak selalu pada laju yang sama. Sebenarnya terdapat tiga benturan
yang terlibat dalam sebuah tabrakan.Yang pertama adalah mobil dengan benda
lainnya, yang kedua adalah tubuh penumpang dengan bagian dalam mobil, yang
ketiga adalah jaringan internal yang berbenturan dengan struktur permukaan
tubuh yang kaku. Sebagaia contoh,deselerasi cepat pada suatu MVC dapat
menyebabkan cedera langsung pada jaringan. Selanjutnya, cedera terjadi saat
organ interna berbenturan dengan struktur interna tulang dan menyebabkan
pembuluh darah besar mengalami peregangan dan pelengkungan (Morton, dkk,
2008).
Dengan menggunakan tali pengaman bahu dan pangkuan dapat
mengurangi insiden dan keparahan cedera dengan cara mengurangi gaya yang
18
menyebabkan
seseorang
menghantam
permukaan,
sehingga
mencegah
menembus
jaringan.Keparahan
cedera
terkait
dengan
kerusakan
19
AIS Score
1
2
3
4
5
6
Keparahan
Ringan
Sedang
Serius
Parah
Kritis
Unsurvivable
dan
ditambahkan
untuk
mendapatkan
skor
ISS.
Contoh
perhitungan ISS: skor ISS berkisar dari 0-75. Jika cedera yang ditandai pada AIS
20
21
Kategori
Respon membuka mata
Instruksi
4 = spontan
3 = dengan perintah verbal
2 = dengan nyeri
1 = tidak ada respons
6 = menurut perintah
5 = dapat melokalisasi nyeri
4 = fleksi terhadap nyeri
3 = fleksi abnormal
2 = ekstensi
1 = tidak ada respons
5 = orientasi baik dan berbicara
4 = disorientasi dan berbicara
3 = kata-kata yang tidak tepat, menangis
2 = suara yang tidak berarti
1 = tidak ada respons
Respon motorik
Respon verbal
trauma
score
menilai
sistem
fisiologis
manusia
secara
22
Systolic Blood
Pressure (SBP)
>89
76-89
50-75
1-49
0
Respiratory Rate
(RR)
10-29
>29
6-9
1-5
0
Coded Value
4
3
2
1
0
Skor
numerik
4
3
2
1
0
4
3
2
1
0
4
3
2
1
0
Kemungkinan selamat
Persentase
Total skor
pasien selamat
12
99.5
11
96,9
10
87,9
76,6
66,7
63,6
63
45,5
3 atau 4
33,3
28,6
25
3,7
23
RTS skor
12
11
10
Tingkat keparahan
Ringan
Sedang
Berat
24
25
bahwa pasien yang tidak tenang atau tidak bisa bekerja sama berada dalam
kondisi hipoksia sampai terbukti sebaliknya (Kartikawati, 2011).
Intervensi selama proses perawatan meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Oksigen tambahan untuk semua pasien. Bagi pasien dengan volume tidal
yang cukup, gunakan non rebrething mask dengan reservoir 10-12
l/menit.
2. Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan. Gunakan bag
valve mask untuk mendorong tekanan positif oksigen pada pasien saat
kondisi respirasi tidak efektif. Pertahankan jalan nafas efektif dengan
intubasi trakea jika diperlukan dan siapkan ventilator mekanis.
3. Pertahankan posisi pipa trakea. Begitu pasien terintubasi, pastikan posisi
pipa benar, verifiksasi ulang bila dibutuhkan. Perhatikan gerakan simetris
naik turunnya dinding dada, auskultasi daerah perut kemudian paru-paru
dan perhatikan saturasi oksigen melalui pulseoximeter.
4. Bila didapatkan trauma torak, maka perlu tindakan yang serius. Tutup
luka dada selama proses persiapan, turunkan tekanan pneumotorak,
stabilisasi bagian-bagian yang flail, dan masukan pipa dada.
5. Perlu dialakukan penilaian ulang status pernafasan pasien yang meliputi
pengukuran saturasi oksigen dan udara dalam darah (arterial blood
gase).
C: Circulation (Sirkulasi)
Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup
evaluasi adanya perdarahan, denyut nadi, dan perfusi (Kartikawati, 2011).
1. Perdarahan
Lihat tanda-tanda perdarahan eksternal yang massif dan tekan langsung
daerah tersebut.Jika memungkinkan,
26
atau
hipovolemik.Cek
bintik-bintik
warna,
suhu
mungkin
kulit,
menandakan
adanya
keringat,
keadaan
dan
syok
capillary
27
tekanan
nadi
peningkatan
komponen
ini
terutama
diastolik
berhubungan
karena
dengan
pelepasan
hemostatic
plugs
yang
terbentuk
untuk
menghentikan
perdarahan, tetapi kondisi ini terjadi pada beberapa kelompok saja. Secara
umum, apabila seorang pasien didapatkan dalam kondisi yang tidak stabil
secara hemodinamis sesudah pemberian infus crystalloid 2-3 l, sebaiknya
pasien diberikan transfuse darah. Pemberian transfusi darah disesuaikan
dengan jenis dan golongan darah pasien (Kartikawati, 2011).
D: Disability (Status Kesadaran)
Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunakan mnemonik
AVPU.Sebagai tambahan cek kondisi pupil, ukuran, kesamaan, dan reaksi
terhadap cahaya.Pada saat primeri survey, penilaian neurologis hanya dilakukan
secara singkat.Pasien yang memiliki resiko hipoglikemi berat, maka bisa
diberikan dekstrose 50%. Adanya tingakat penurunan tingkat kesadaran akan
dilakukan pengkajian lebih lanjut pada secondary survey. GCS dapat dihitung
segera setelah pemeriksaan primery survey. Mnemonik AVPU meliputi: awake
29
(sadar), verbal (berespon terhadap suara atau verbal), pain (berespon terhadap
rangsang nyeri), dan unresponsive (tidak berespons) (Kartikawati, 2011).
E:
Exsposure
and
Enviromental
Control
(Pemaparan
dan
Kontrol
Lingkungan)
1. Pernapasan (exposure)
Lepas semua pakaian pasien secara cepat, untuk memeriksa cedera,
perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi pasien secara umum,
catat kondisi tubuh atau adanya bau zat kimia seperti alcohol, bahan bakar,
atau urine (Kartikawati, 2011).
2. Kontrol Lingkungan (Enviromental Control)
Pasien harus dilindungi dari hipotermia.hipotermia penting karena ada
kaitannya
dengan
vasokonstriksi
pembuluh
darah
dan
koagulopati.
30
harus
memiliki
standar
prosedur
tentang
bagaimana
31
yang terlibat dalam tim trauma harus bisa mengenali keluhan dan melakukan
intervensi bila dibutuhkan (Kartikawati, 2011).
H: History and Head To Toe Examination
1. Riwayat pasien (history)
Jika sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada pasien untuk
memperoleh informasi tentang pengobatan, alergi, dan riwayat penyakit yang
bersangkutan.Anggota keluarga pasien juga bisa menjadi sumber untuk
memperoleh data ini.Informasi penting tentang kondisi sebelum sampai
dirumah sakit seperti tempat kejadian, proses cedera, penilaian pasien dan
intervensi didapatkan dari petugas EMS. Untuk mempermudah dalam
melakukan pengkajian yang berkaitan dengan riwayat kejadian pasien, maka
dapat digunakan mnemonic MIVT yaitu mechsnism (mekanisme), injuries
suspected (dugaan adanya cedera), vital sign on scene (TTV ditempat
kejadian),
dan
treatment
received
(perawatan
yang
telah
diterima)
(Kartikawati, 2011).
Head to toe Examination (pemeriksaan mulai dari kepala sampai kaki)
1. Kepala (head)
Lakukan inspeksi secara simetris dan dinilai adanya luka-luka yang
tampak, perubahan bentuk, dan kondisi kepala yang tidak simetris.Raba
tengkorak untuk mencari fragmen tulang yang tertekan, hematoma, laserasi,
ataupun nyeri.Perhatikan area ekimosis atau perubahan warna.Ekimosis
dibelakang telinga atau di daerah periorbital adalah adanya indikasi adanya
fraktur tengkorak basilar (fraktur basis cranii). Intervensi yang dapat dilakukan
menurut Kartikawati, (2011) adalah:
1. Jaga kondisi pasien agar tidak terjadi hipotensi atau hipoksia.
2. Manitol dapat diberikan secara IV untuk menurunkan tekanan intracranial.
3. Pasien cedera kepala yang kondisinya terus memburuk, harus
diperitimbangkan pemberian terapi
32
Periksa dan perhatikan apakah terdapat luka pada wajah pasien dan
kondisi wajah yang tidak simetris.Perhatikan adanya cairan yang keluar dari
telinga, mata, hidung, dan mulut.Cairan jernih yang berasal dari hidung dan
telinga,
diasumsikan
sebagai
cairan
serebrospinal
sampai
diketahui
carotid
juga
dapat
diauskultasi
untuk
mencari
suara
belakang.Meski
begitu
kerusakan
tulang
belakang
sebaiknya
33
paru.Palpasi dada untuk mencari perubahan bentuk, udara dibawah kulit dan
area lebam atau jejas. Diagnosis yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:
1. Ambil portable chest radiograph jika pasien tidak dapat duduk tegak untuk
sudut posterior, anterior, dan lateral.
2. Lakukan perekaman ECG 12 lead pada pasien yang diduga atau memiliki
trauma tumpul pada dada.
3. Pertimbangkan untuk melakukan
pemeriksaan
BGA
jika
pasien
dan
pelvis)
digunakan
untuk
mengidentifikasi
cairan
terhadap adanya darah, feses, atau cedera lain. Pemeriksaan rektum dilakukan
untuk mengukur sphincter ani, adanya darah, dan untuk mengetahui posisi
prostat. Letak prostat pada posisi high riding, darah berada pada urinary meatus,
atau adanya scrotal hematoma adalah kontra indikasi untuk dilakukan
pemasangan kateter sampai retrograde dapat dilakukan. Untuk mengetahui
stabilitas panggul lakukan penekanan secara halus kearah dalam (menuju
midline) pada iliac crests. Lekukan palpasi pada daerah simpisis pubis jika
pasien mengeluh nyeri atau adanya gerakan, hentikan pemeriksaan dan lakukan
pemeriksaan X-ray (Kartikawati, 2011).
7. Ekstremitas (extremity)
Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan bentuk,
dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka lain. Periksa sensorik
motorik dan kondisi neurovascular pada masing-masing ekstermitas.Lakukan
palpasi untuk mengetahui adanya jejas, lebam, krepitasi, dan ketidak normalan
suhu.Jika ditemukan adanya cedera, periksa ulang status neurovascular distal
secara teratur dan sistematis.Tindakan yang dapat dialkukan untuk menegakkan
diagnosis adalah pemeriksaan X-ray pada ekstermitas yang mengalami
gangguan.Intervensi yang dapat dialkukan adalah balut bidai dan perawatan luka
(Kartikawati, 2011).
I: inspect the Posterior Surfaces (Periksa Permukaan Bagian Belakang)
Dengan tetap mempertahankan posisi tulang belakang dalam kondisi
netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini membutuhkan beberapa orang
atau anggota tim. Pemimpin tim menilai keadaan posterior pasien dengan
mencari tanda-tanda jejas, lebam, perubahan warna, atau luka terbuka. Palpasi
tulang belakang untuk mencari tonjolan, perubahan bentuk, pergeseran, atau
35
saat
secondary
survey
dapat
dinilai
dengan
mendetail
dan
diambil
setelah
pemasangan
IV
line
dan
segera
dikirim
ke
36
Pada saat pasien trauma berada di unit gawat darurat, nilai ulang pasien
secara regulae dan teratur untuk mengetahui penurunan kondisi atau cedera
yang tidak terdeteksi sebelumnya.Selain itu pasien trauma mungkin memiliki
kondisi medis yang belum yang belum terindentifikasi pada saat resusitasi.Perlu
dilakukan
observasi
pengeluaran
urine
dan
berikan
intervensi
jika
Factor-faktor yang
mempengaruhi tingkat
keparahan trauma
kepala
Pasien trauma
Macam-macam trauma:
Trauma servikal
Trauma abdomen
Trauma maksillofasial
Trauma thorak atau
dada
Trauma kepal
Trauma ekstremitas
Multiple trauma
Transportasi
publik
Tidak
mendapatkan
penanganan
Penanganan atau
pertolongan pertama
Mekanisme trauma
Penyakit penyerta
Tingkat keparahan trauma
Sarana transportasi
kepala dengan penilaian
RTS pre hospitalBAB III
ambula
n
Terdapat
peralatan
dan SDM
Penangan
an
trauma:
primary
survey
Rendah: 12
Sedang: 11
Berat: 10
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
Kerangka Konsep
Trauma kepala
37
Transportasi publik
Ambulans
Transportasi
Ambulans
Gawat
Darurat
Mekanisme
trauma
Ambulans
Ambulans
Pelayanan
Medik
Ambulans
Rumah Sakit
Lapangan
Penilaian
Trauma :
Ambulans
Pengankat
Jenazah
Abbreviated
injury
Injury Severity Score
Glagow coma scale
Keterangan :
:Diteliti
: Tidak diteliti
: Memiliki hubungan
Dari kerangka konsep diatas
dapat
dijelaskan
bahwa
sarana
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah analitik komparatif dengan pendekatan
potong silang (Cross Sectional). Desain Cross Sectional ini digunakan untuk
mengetahui
hubungan
sarana
transportasi
pre-hospital
dengan
tingkat
3. Sampel
Jumlah sampel yang akan di pakai dalam penelitian ini adalah pasien yang
mengalami
N .Z . .q
n=
2
d ( N1 ) + Z . . q
n=
n=
n=
931,588
48,45+0,9604
39
n=
931,588
49,4104
n=19
(sampel minimal)
Keterangan
n : Perkiraan jumlah sampel
N : Perkiraan besar populasi
Z : Nilai standar normal 0,05 (1,96)
: Perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%
q : 1- (100% - )
d : tingkat kesalahan yang dipilih (d= 0,05)
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1 Kriteria Inklusi
a. Pasien trauma kepala yang diantar menggunakan alat transportasi
ambulans maupun transportasi publik ke IGD RSUD Prof.Dr. Soekandar
Mojokerto.
b. Semua pasien trauma kepala yang datang ke IGD RSU Prof, Dr.
Soekandar Mojokerto.
4.4.2 Kritria Eksklusi
a. Pasien yang mengalami multipel trauma.
b. Pasien trauma kepala yang tidak bersedia menjadi responden.
4.5 Tempat dan Waktu Penelitian
4.5.1 Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof.Dr. Soekandar
Mojokerto .
4.5.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan juli sampai agustus 2016
4.6 Definisi Operasional
Tabel 4.1 Definisi operasional
40
No
1.
2.
Variabel
Sarana
Definisi oprasional
Kendaraan yang
transportasi
digunakan pasien
prehospital
menuju rumah
Tingkat
sakit.
Batasan ukur
keparahan
penilaian cedera
trauma
untuk mengetahui
kepala
kategori cedera,
Alat ukur
Kuesioner
skala
nomi
kriteria
1. Ambulan gawat
nal
darurat
2. Transportasi publik
Kuesioner
ordin
GCS
al
1. Ringan: 12
2. Sedang: 11
3. Berat: 10
41
Variable independen:
sarana transportasi
prehospital
Variable dependen:
tingkat keparahan
pasien trauma kepala
Tabulasi data
Analisa data menggunakan Chi
Square
2. Data Primer
Dalam penelitian ini data primer diambil dari pasien trauma yang memenuhi
kriteria inklusi yang dijadikan sebagai responden. Pengumpulan data didapatkan
dengan cara responden yang mengalami trauma diobservasi sarana transportasi
yang digunakan dan pengukuran tingkat keparahan traumanya.
3. Data Sekunder
Data sekunder di dapat dari rekam medik RSUD Bangil.
4.7.2 Teknik Pengolahan Data
1. Editing
Melakukan pendataan ulang terhadap pemeriksaan tingkat keparahan
trauma.
2. Coding
Pada penelitian ini untuk memudahkan dalam pengolahan data maka hasil
dari pemeriksaan tingkat keparahan trauma kepala dikategorikan ringan,
sedang, dan berat.
3. Scoring
42
univariat
yang
bertujuan
untuk
menjelaskan
atau
hubungan
antara
dua
variable
dependen
dan
independen
43
informasi
yang
didapatkan
dari
responden
akan
dijamin
44
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M.Z and Henky Jefri. 2013. Fuctional Independence Measure Penderita
Cedera Servikal. MKB.Vol 45. No 3.
Brohi,
Karim.
2007.
Abbreviated
Injury
Scale
(AIS)
Score,
(Online),
Medik.
Emergency
Ambulance
Service,
Gwaram, Usman D., Chikwe Henry., Icha Inalegwu. 2013. Assessing the Severity
of Injury Using The Revised Trauma Score in a Tertiary Institution in NorthCentral Nigeria. Nigerian Journal of Basic and Clinical Sciences. 10: (1).
Irawan, H., Felicia S., Dewi., Georgius D. 2010. Perbandingan Glasgow Coma
Scale dan Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien
Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Jurnal Kedokteran. 60 : (10).
Kadir, Abdul. 2006. Transportasi : Peran Dan Dampaknya Dalam Pertumbuhan
Ekonomi Nasional. Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilaya, 1 : (3).
Kartikawati, N. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Malang :
Salemba Medika.
Mediatrix., Lea and Haripi Siti. 2012. Bussines Process Reengineering Rumah
Sakit J. Adm. Kebijak. Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, 10 : (2).
Mortomo, Patricia G., Doriie, F., Carolyn M. Hudak., arbara M.G. 2008.
Keperawatan Kritis, Edisi 8. Jakarta : ECG.
Nurarif, A and Kusuma Hardi. 2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC, Jilid 1. Yogyakarta.
Nurfaise, Zainudin M., Arif W. 2012. Hubungan Derajat Cedera Kepala Dan
Gambaran CT Scan Pada Penderita Cedera Kepala Di RSU DR. Soedarso.
Naskah Publikasi.
Payal. Putri, Goel Sonu, Guptu Anil, Verma Prachi. 2013. Management of
Polytrauma Patients in Emergency Department : An Experience of a Tertiary
Care Health Institution of Northern India. World Journal of Emergency
Medicine, 4 : (1).
2004.
Evaluasi
Hasil
Cedera
Jaringan
Lunak
Pada
Pasien
Dengan
Trauma
Wirawan, N and Putra Ida Bagus K. 2013. Manajemen Prehospital Pada Stroke
Akut. Jurnal Kedokteran Universitas Udayana.
Word Health Organization, 2013. Status Keselamatan Jalan di WHO Regional
Asia Tenggara Tahun 2013.