Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN FIELD TRIP SISTEM NEUROBEHAVIOUR

DI RS Banyumas
Tanggal 22 Juni 2015

NAMA : AAN JULIANTO


NIM : 131420129530001

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2015

LEMBAR PENGESAHAN

Telah melakukan Field Trip Sistem Neurobehaviour


Pada,
Hari/Tanggal : 22 Juni 2015

Pembimbing

(................................)

Tempat

: RS Banyumas

Ruang

: Bima

Mahasiswa

(..................................)

LAPORAN FIELD TRIP

A. PENDAHULUAN
Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional
didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia
sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang maladaptif
yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan
diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa ( komunikasi terapeutik dan terapi
modalitas keperawatan kesehatan jiwa ) melalui pendekatan proses
keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan
memulihkan masalah kesehatan jiwa klien (individu, keluarga, kelompok
komunitas ).
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha
untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat
berfungsi utuh sebagai manusia.
Prinsip keperawatan jiwa terdiri dari empat komponen yaitu
manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan.

Manusia
Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi
dan bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu
mempunyai kebutuhan dasar yang sama dan penting. Setiap individu
mempunyai harga diri dan martabat. Tujuan individu adalah untuk
tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai aktualisasi diri. Setiap individu
mempunyai kemampuan untuk berubah dan keinginan untuk mengejar
tujuan personal. Setiap individu mempunyai kapasitas koping yang
bervariasi. Setiap individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam

pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu bermakna dimana


perilaku tersebut meliputi persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.

Lingkungan
Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam
dirinya dan lingkungan luar, baik keluarga, kelompok, komunitas. Dalam
berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan
strategi

koping

yang

efektif

agar

dapat

beradaptasi.

Hubungan

interpersonal yang dikembangkan dapat menghasilkan perubahan diri


individu.

Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
menunjukkan salah satu segi kualitas hidup manusia, oleh karena itu,
setiap individu mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan yang sama
melalui perawatan yang adekuat.

Keperawatan
Proses

Keperawatan

Kesehatan

Jiwa

Pemberian

asuhan

keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan


kerja sama antara perawat dengan klien, dan masyarakat untuk mencapai
tingkat kesehatan yang optimal ( Carpenito, 1989 dikutip oleh
Keliat,1991).
Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses
terapeutik tersebut, yaitu proses keperawatan. Penggunaan proses
keperawatan membantu perawat dalam melakukan praktik keperawatan,
menyelesaikan masalah keperawatan klien, atau memenuhi kebutuhan
klien secara ilmiah, logis, sistematis, dan terorganisasi. Pada dasarnya,
proses keperawatan merupakan salah satu teknik penyelesaian masalah
(Problem solving).
Tahap demi tahap merupakan siklus dan saling bergantung. Diagnosis

keperawatan tidak mungkin dapat dirumuskan jika data pengkajian belum


ada. Proses keperawatan merupakan sarana / wahana kerja sama
perawat dan klien. Umumnya, pada tahap awal peran perawat lebih besar
dari peran klien, namun pada proses sampai akhir diharapkan sebaliknya
peran klien lebih besar daripada perawat sehingga kemandirian klien
dapat tercapai. Kemandirian klien merawat diri dapat pula digunakan
sebagai kriteria kebutuhan terpenuhi dan / atau masalah teratasi.
Dengan meningkatnya angka gangguan jiwa dimasyarakat ,
khususnya karsidenan Banyumas maka sangat penting diadakan
kegiatan field trip seperti ini.
Tujuan diadakan field trip adalah agar mahasiswa mengetahui cara
berkomunikasi yang baik dengan pasien gangguan jiawa , mengetahui
cara membangun hubungan saling percaya kepada pasien gangguan jiwa
dan mengetahui cara pengkajian yang baik terhadap pasien gangguan
jiwa.

B. ISI
1. Cara perawat melakukan pengkajian
Perawat membawa pasien dari ruangan untuk menemui
mahasiswa , perawat mempersilahkan pasien untuk bersalaman
dengan mahasiswa .
Perawan duduk 45 dari pasien . Perawat mengawali percakapan
dengan salam , perawat menyampaikan tujuan , kontrak waktu
dan membina hubungan yang terapeutik dengan pasien .
Selama percakapan perawat bersikap terbuka tetapi
perawat tidak memperhatikan kontak mata pasien yang tidak fokus
dalam pembicaraan .
Hasil pengkajian yang bisa didapat dari percakapan perawat dan
pasien I

A. Identitas Klien
Nama

: Tn . I

Umur

:23 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Tgl masuk

: 12 Juni 2015

Identitas penanggungjawab :
Nama

: Ny.D

Umur

: 48 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

B. Alasan masuk
Mengamuk
C. Faktor Presipitasi

Kakak pasien mempunyai banyak hutang dan pasien ikut stress dan tertekan
memikirkan masalah keluarganya . pasein merasa mendengar suara
gunjingan dari masyarakat tentang kakaknya yang punya banyak hutang
D. Faktor predisposisi
1.

Pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu?


(

) Ya

2.

) Tidak
Pengobatan sebelumnya :

( ) Berhasil
3.

( ) kurang berhasil

( ) Tidak berhasil

Trauma :
Tidak di kaji oleh perawat

4.

Anggota keluarga yang gangguan jiwa : (

) Ada

( ) Tidak
5.

Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan?

Paseien adalah orang yang semangat bekerja, pasien pernah bekerja di


sebuah pabrik tetapi pasien berhenti bekerja karena sering sakit-sakitan .
akhirnya pasien jenuh karena dirumah tidak mempunyai kegiatan
E. Pemeriksaan Fisik
1.

Tanda Vital

: TD: 130/80 mmHg

S:36C

HR:90 x/menit

RR:24 x/menit
2.

Keluhan fisik
Pasien kesulitan berjalan karena terdapat kelainan pada kakinya sejak
kecil.

F. Psikososial
1.

Genogram

Keterangan :
: perempuan
:laki-laki
:meninggal

:pasien
//

: bercerai

Jelaskan (deskripsi) :
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara , pasien tinggal
dengan keluarga dan kakaknya . kakak pertama sudah meninggal dunia ,
kakak kedua sudah menikah dan mempunyai anak tetapi bercerai .
pasien tinggal serumah dengan kakak dan bapak ibunya .
Konsepsi diri :

a)

Citra tubuh

pasien mengatakan tubuh paling disuka adalah Hidung tetapi tidak


punya alaasan , bagian tubuh yang paling disukai adalah kaki karena
pasien tidak bisa berjalan dengan normal akibat lahir prematur
b)

Identitas

Pasien seorang laki-laki , pasien merupakan seorang anak


c)

Peran

Ideal diri

d)

Mencari uang untuk membantu perekonomian keluarga


e)

Harga diri

Pasien tidak merasa malu dengan kakinya yang tidak normal karena
pasien menganggap masyarakat sekitar sudah memaklumi kakinya
yang tidak normal sejak lahir
2.

Hubungan sosial
a)

Orang yang berarti : Ibu

b)

Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat :


Pasien jarang mengikuti kegiatan didesa karena temannya banyak
yang merantau dan tidak ada teman sebayanya yang mengikuti
kegiatan didesa

3.

Spiritual
a)

Nilai dan keyakinan :


Pasien beragama islam , pasien mengatakan berdoa saat merasa
stress dan tertekan

b)

Kegiatan ibadah :
Sebelum di Rs , pasien kadang tidak menjalankan sholat dikarenakan
lupa dan ketiduran. Selama di Rs pasien tidak menjalankan sholat
dengan alesan dingin.

G. Status Mental
1.

Penampilan
Penampilan pasien cukup rapi ,

2.

Interaksi selama wawancara


( ) Bermusuhan

( ) Tidak kooperatif ( ) Mudah tersinggung

( ) Kontak mata kurang


3.

( ) Curiga

Persepsi
Halusinasi/ilusi
( ) Pendengar

( ) Penglihat ( ) Perabaan ( ) Pengecap (

Penghidu
Pasien mengalami halusinasi pendengaran , pasien mendengar suara
gunjingan masyarakat tentang hutang kakaknya .
2. Pemberian psikofarmaka
1. HALOPERIDOL
- Jenis obat : Obat antipsikotik
- Manfaat : Meredakan gejala skizofrenia dan
masalah
-

perilaku,

atau

emosional,

masalah kejiwaan lainnya


Bentuk : Kapsul, tablet, dan obat cair

serta

Obat haloperidol yang diberikan di RS adala tablet 2


mg 3x1 warna kuning
2. Respiredon
- Jenis obat : anti psikotik
- Manfaat : Menangani skizofrenia dan gangguan
psikosis lain, Mengurangi perilaku agresif dan
disruptif

3. Clozapin

4.

25 mg 3x1
Heximer
2 mg 3x1 ( warna kuning )

3. Pemberian Terapi
Pasien dijadwalkan terapi ECT 6x , baru dilaksanakan 3x
ELEKTRO CONVULSIF THERAPIE (ECT)
ELEKTRO CONVULSIF THERAPIE (ECT)
1. Pengertian

ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini
adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda
yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall.
2. Indikasi
Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik
depresi, klien schizofrenia stupor katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT
lebih efektif dari antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham,
paranoid, dan gejala vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-300
mg/hari selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan
tindakan ECT. Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan ECT,
terutama jika litium karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan
waktu 6-12x terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania dan
katatonik membutuhkan waktu lebih lama yaitu 10-20x terapi secara rutin. Terapi
ini dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika efektif, perubahan perilaku
mulai kelihatan setelah 2-6 terapi.
3. Kontraindikasi
ECT merupakan prosedur yang hanya digunakan pada keadaan yang
direkomendasikan. Sedangkan kontraindikasi dan komplikasi dari tindakan ECT,
adalah sebagai berikut:
a. Kontraindikasi
1) Peningkatan tekanan intra kranial (karena tumor otak, infeksi SSP).
2) Keguguran pada kehamilan, gangguan sistem muskuloskeletal (osteoartritis
berat, osteoporosis, fraktur karena kejang grandmal).
3) Gangguan kardiovaskuler: infark miokardium, angina, hipertensi, aritmia dan
aneurisma.
4) Gangguan sistem pernafasan, asma bronkial.

5) Keadaan lemah.
b. Komplikasi
1) Luksasio dan dislokasi sendi
2) Fraktur vetebra
3) Robekan otot rahang
4) Apnoe
5) Sakit kepala, mual dan nyeri otot
6) Amnesia
7) Bingung, agresif, distruktif
8) Demensia
4. Peran Perawat
Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat dan
mengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan
dilakukan.
5. Persiapan Alat
Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah
sebagai berikut:
a. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)
b. Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain
c. Kain kasa
d. Cairan Nacl secukupnya

e. Spuit disposibel
f. Obat SA injeksi 1 ampul
g. Tensimeter
h. Stetoskop
i. Slim suiger
j. Set konvulsator
6. Persiapan klien
a. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang
akan dilakukan.
b. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya
kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT
c. Siapkan surat persetujuan
d. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT
e. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin
dipakai klien
f. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi
g. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum
ECT
h. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan
antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan
beberapa hari sebelumnya karena berisiko organik.

i. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam


sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan
menurunkan sekresi gastrointestinal.
7. Pelaksanaan.
a. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan
rata dan cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian
dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala.
b. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai
untuk menghasilkan koma ringan.
c. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk
menghindari kemungkinan kejang umum.
d. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat
elektrode menempel.
e. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi
caira Nacl.
f. Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang
dibungkus kain dimasukkan dan klien diminta menggigit
g. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang
dengan dilapisi kain
h. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan
mengikuti gerak kejang
i. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai
timer berhenti dan dilepas
j. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan
kejang (menahan tidak boleh dengan kuat).

k. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan


diafragma
l. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger
m. Kepala dimiringkan
n. Observasi sampai klien sadar
o. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan
8. Setelah ECT
a. Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil
b. Jaga keamanan
c. Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan,
biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.

4. Cara melakukan komunikasi terapeutik


a. Mendengarkan dengan penuh perhatian
Dalam hal ini perawat berusaha mengerti klien dengan cara
mendengarkan apa yang disampaikan klien. Dengan mendengar perawat
mengetahui perasaan klien. memberi kesempatan lebih banyak pada klien
untuk berbicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif.
b.

Mengulangi ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri

Melalui pengulangan kembali kata-kata klien, perawat memberikan umpan


balik bahwa perawat mengerti pesan klien dan berharap komunikasi
dilanjutkan.
c. Mengklasifikasi
mengklarifikasi perkataan pasien yang tidak jelas

d.

Memfokuskan
memfokuskan pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih spesifik
dan dimengerti.

e. Memberi penghargaan
memberikan pujian kepada pasien
f.

Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan


Perawat memberi kesempatan kepada klien untuk berinisiatif
dalam memilih topik pembicaraan.
i.Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
perawat memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan
hampir seluruh pembicaraan.
j. Perawat berbicara dengan sikap terbuka
k. Perawat mempertahankan kontak mata
C. Pembahasan
Pada pasien yang dikaji , diagnosa yang muncul adalah
Halusinasi . Dalam teori, untuk memulai tindakan dengan pasien
gangguan

jiwa

harus

menjalin

hubungan

saling

percaya

sehinggan pasien kooperatif dan itu dilakukan oleh perawat yang


ada di Rs Banyumas. Pasien yang mengalami halusinasi
pendengaran diajarkan untuk menghardik suara yang didengarnya
tetapi dari hasil observasi , perawat mengatakan pasien hanya
diberikan terapi ECT dikarenakan saat masuk rumah sakit pasien
cenderung melakukan perilaku kekerasan tidak disebutkan terapi
yang diberikan selain ECT .
Tanda dan gejala yang muncul sesuai dengan teori adalah
pasien mendengarkan bisikan / gunjingan orang , kontak mata
kurang , ingin cepat mengakhiri percakapan .

D. Penutup
Dari field trip yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa untuk
melakukan tindakan kepada pasien gangguan jiwa harus menjalin
hubungan saling percaya terhadap pasien

sehingga pasien

kooperatif saat dilakukan asuhan keperawatan . Selain itu , dalam

berkomunikasi dengan pasienn harus menjalin hubungan yang


terapeutik , sikap terbuka dan memberikan kesan yang baik dan
jangan membuat kesan perawat yang membutuhkan pasien
sehingga pasiem pamrih saat dilakukan tindakan.
Lampiran materi Halusinasi

LAMPIRAN MATERI HALUSINASI

A.

DEFINISI

Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus)


misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak
ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera
(Isaacs, 2002).
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa
adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan
dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya
rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari
luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap
rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat
dibuktikan (Nasution, 2003).

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien


mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis,
2005).
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa
melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada
sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart,
2007).
Kesimpulannya bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera
terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata.
B.

MACAM-MACAM HALUSINASI

1.

Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk
kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang
klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang
mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat
membahayakan.

2.

Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,gambar
kartun,bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan atau
menakutkan seperti melihat monster.

3.

Penghidu
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya baubauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke,
tumor, kejang, atau dimensia.

4.

Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

5.

Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa
tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

6.

Cenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan
makan atau pembentukan urine

7.

Kinisthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

C.

FAKTOR PREDIPOSISI
Menurut Stuart (2007), faktor predisposisi terjadinya halusinasi adalah:

1.

Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian-penelitian yang berikut:

a.

Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih


luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan
limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.

b.

Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan


dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.

c.

Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya


atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian
depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut
didukung oleh otopsi (post-mortem).

2.

Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi

psikologis

klien.

Salah

satu sikap

atau

keadaan

yang

dapat

mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan


kekerasan dalam rentang hidup klien.
3.

Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.

D.

FAKTOR PRESIPITASI

Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah


adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,
putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah
koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1.

Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

2.

Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3.

Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

E.

MANIFESTASI KLINIK

1.

Fase Pertama / comforting / menyenangkan


Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian.
Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang menyenangkan
untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk
sementara. Klien

masih

mampu

mengotrol

kesadarnnya

dan

mengenal

pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.


Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir
tanpa bersuara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang
asyik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.
2.

Fase Kedua / comdemming


Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan
eksternal, klien berada pada tingkat listening pada halusinasi. Pemikiran
internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa
bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan klien
merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan
halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang
lain.

Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti


peningkatan

denyut

jantung

dan

tekanan

darah.

Klien

asyik

dengan

halusinasinya dan tidak bisa membedakan dengan realitas.


3.

Fase Ketiga / controlling


Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan
tak berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan
mengontrol

klien.

Klien

menjadi

terbiasa

dan

tidak

berdaya

terhadap

halusinasinya.
Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya
beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan
tidak mampu mematuhi perintah.
4.

Fase Keempat / conquering/ panik


Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya.
Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam,
memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain
karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada dalam dunia yang
menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini
menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah
kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk
terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau
berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang oranglain, gelisah,
melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari
klien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya ( apa yangdilihat, didengar atau
dirasakan). Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna
Keliat, 1999) :
1.

Tahap I : halusinasi bersifat menyenangkan

Gejala klinis :
a.

Menyeringai/ tertawa tidak sesuai

b.

Menggerakkan bibir tanpa bicara

c.

Gerakan mata cepat

d.

Bicara lambat

e.

Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan


2.

Tahap 2 : halusinasi bersifat menjijikkan

Gejala klinis :
a.

Cemas

b.

Konsentrasi menurun

c.

Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata


3.

Tahap 3 : halusinasi yang bersifat mengendalikan

Gejala klinis :
a.

Cenderung mengikuti halusinasi

b.

Kesulitan berhubungan dengan orang lain

c.

Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah

d.

Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk)


4.

Tahap 4 : halusinasi bersifat menaklukkan

Gejala klinis :
a.

Pasien mengikuti halusinasi

b.

Tidak mampu mengendalikan diri

c.

Tidak mampu mengikuti perintah nyata

d.

Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

F.

AKIBAT YANG DITIMBULKAN


Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai
merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan
diri, orang lain dan lingkungan.
Tanda dan Gejala :

1.

Memperlihatkan permusuhan

2.

Mendekati orang lain dengan ancaman

3.

Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai

4.

Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan

5.

Mempunyai rencana untuk melukai

Klien yang mengalami halusinasi dapat kehilangan control dirinya sehingga bisa
membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan (resiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan). Hal ini terjadi jika halusinasi
sudah sampai fase ke IV, dimana klien mengalami panic dan perilakunya
dikendalikan oleh isi halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan
penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan
bunuh diri, membunuh orang lain bahkan merusak lingkungan. Tanda dan
gejalanya adalah muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi,
berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas
makanan, memukul jika tidak senang
G.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1.

Menciptakan lingkungan yang terapeutik

Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dna ketakutan klien akibat


halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual
dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien disentuh atau
dipegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap
perawat masuk ke kamar atau mendekati klien, bicaralah dengan klien. Begitu
juga bila akan meninggalkannya hendaknya klien diberitahu. Klien diberitahu
tindakan yang akan dilakukan. Di ruangan itu hendaknya disediakan sarana yang
dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan
realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan
permainan.
2.

Melaksanakan program terapi dokter

Sering kali klien menolak obat yang diberikan sehubungan dengan rangsangan
halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi
instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang diberikan betul ditelannya,
serta reaksi obat yang diberikan.
3.

Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi masalah yang ada

Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali


masalah klien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu
mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui
keterangan keluarga klien atau orang lain yang dekat dengan klien.

4.

Memberi aktivitas pada klien

Klien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah
raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu
mengarahkan klien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang
lain. Klien diajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5.

Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan

Keluarga klien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data klien agar
ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan,
misalnya dari percakapan dengan klien diketahui bila sedang sendirian ia sering
mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suarasuara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar klien jangan
menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada.
Percakapan ini hendaknya diberitahukan pada keluarga klien dan petugas lain
agar tidak membiarkan klien sendirian dan saran yang diberikan tidak
bertentangan.
Farmako:
1.

Anti psikotik:

a.

Chlorpromazine (Promactile, Largactile)

b.

Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)

c.

Stelazine

d.

Clozapine (Clozaril)

e.

Risperidone (Risperdal)

2.

Anti parkinson:

a.

Trihexyphenidile

b.

Arthan

Anda mungkin juga menyukai