Anda di halaman 1dari 24

DRUG ERUPTION

Pendahuluan
Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi atau mengubah keadaan
fisiologik atau patologik dengan tujuan mendatangkan keuntungan bagi si pemakai obat untuk
diagnosis, terapi, maupun profilaksis.
Efek samping obat (ESO) adalah reaksi yang bersifat merugikan pemakai obat atau reaksi yang
tidak diinginkan,yang timbul pada saat penggunaan obat dengan dosis yang bisa digunakan
untuk diagnosis, terapi maupun profilaksis. Setiap obat dapat menyebabkan efek samping,
mungkin hanya berbeda dalam kualitas dan kuantitas kejadiannya. Reaksi ESO adalah reaksi
yang tidak dapat dicegah tapi dapat diusahakan agar reaksi yang timbul seminimal mungkin.
ESO dapat bermanifestasi pada organ-organ dalam, kulit maupun mukosa. ESO yang
bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi obat (drug eruption).
Definisi
Erupsi obat alergik atau allergik drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.
Patogenesis
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik maupun non imunologik.
Reaksi erupsi obat adalah imunologik, hal ini disebabkan adanya hipersensitivitas pada pasien
terhadap obat tersebut. Disebabkan oleh berat molekul yang rendah, biasanya obat berperan pada
mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten, obat atau metabolitnya berupa hapten
harus berkombinasi dulu dengan protein, misalnya jaringan, serum, atau protein dari membran
sel, untuk membentuk kompleks antigen yaitu komplek hapten-protein. Pengecualiannya ialah
obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi langsung sebagai antigen yang
lengkap.
Pembagian reaksi alergik berdasarkan 4 tipe menurut Gells & Comb (1962) yaitu:
1. Tipe I (reaksi anafilaktif)
Pajanan yang berulangkali dapat menyebabkan antigen akan melepaskan histamin, serotinin,
bradikinin, heparin, SRSA, dll. Ini semua menyebabkan urtikaria atau yang lebih berat edema
angioneurotik. Yang paling bahaya ialah terjadi syok anafilaktik
2. Tipe II (reaksi sitotoksik)

Disini terjadi reaksi penggabungan antara ig G dan ig M dengan antigen yang melekat pada sel.
Jika sistem komplemen teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
3. Tipe III (tipe komplek imun)
Antibodi bereaksi dengan antigen membentuk komplek antigen antibodi yang kemudian
mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh dan menimbulkan reaksi radang.
Dengan adanya reaksi komplemen terjadi pelepasan anafilatosin yang merangsang pelepasan
berbagai mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen akan terjadi kerusakan
jaringan.
4. Tipe IV (reaksi alergik selular tipe lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit T yang tersensitisasi dan bereaksi dengan antigen. Reaksi ini
timbul 12-24 jam setelah pajanan terhadap antigen. Terbagi atas reaksi tipe tuberkulin dan reaksi
tipe kontak.
Gambaran klinis
Gambaran klinis erupsi obat dapat bermacam-macam, tergantung pada tipe reaksi, Antara lain :
morbiliformis, eritem multiforme, eksantem fikstum, erupsi akneiformis, urtikaria, purpura,
dermatitis eksfoliativa, nekrosis epidermal toksik, Sindrom Steven-Johnson.
Diagnosis
Dasar diagnosis ialah :
1. Anamnesa mengenai :
-Obat-obat yang didapat
-Kelainan timbul secara akut dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat.
-Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebrik
2. Kelainan kulit
-Distribusi menyeluruh dan sistemik
-Bentuk kelainan yang timbul
Bentuk kelainan dapat bermacam macam. Alergi terhadap satu macam obat dapat memberi
gambaran klinis yang beraneka ragam. Sebaliknya, gambaran klinis yang sama dapat disebabkan
oleh alergi pelbagai obat.

Menurut pengalaman kami di bagian Ilmu Penyakit Kulit Kelamin RSCM/FKUI, obat-obatan
yang sering menyebabkan alergi ialah penisillin dan derivatnya ( ampisillin, amoksisilin,
kloksasillin), sulfonamid, golongan analgetik dan antipiretik, misalnya asam salisilat, metamizol,
metampiron, parasetamol, fenilbutazon, piramidon, dan tetrasiklin.
Pengobatan
v

Sistemik

Kortikosteroid

Pada erupsi obat yang berat diberikan Dexamethason intravena. Dosis dewasa bervariasi
tergantung pada derajat penyakit, umumnya 4-6 x 5 mg/hari intravena (20-30 mg/hari). Penderita
dimonitor setiap hari, bila respon baik, dosis diturunkan perlahan-lahan dan bila telah
memungkinkan diganti dengan preparat oral sesuai dengan dosis ekuivalennya.
Bila dipilih Triamsinolon, dosis awal diberikan sebesar 24-36 mg/hari. Bila digunakan Prednison
oral dosis awal bervariasi antara 140-210 mg/hari. Pada anak-anak, pemberian awal
Dexamethason 1 mg/KgBB/hari intravena selama 3 hari, dilanjutkan dengan 0,2-0,5 mg/KgBB/6
jam secara intravena. Bila respon baik, dosis diturunkan perlahan-lahan dan diganti dengan
preparat oral sesuai dosis ekuivalennya.
Pada erupsi obat ringan, bila dipilih Prednison dosis yang digunakan 1 mg/KgBB/hari atau 20-40
mg/hari.

Anthistamin

Antihistamin bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat gatal, kecuali pada urtikaria,
efeknya kurang kalau dibandingkan dengan kortikosteroid.
v

Topikal

Pengobatan topikal tergantung pada kelainan kulit, apakah kering atau basah, kalau kering
seperti pada eritema dan urtikaria dapat diberikan bedak, contohnya bedak salisilat 2% ditambah
obat antipruritus misalnya menthol 1/2-1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan basah
seperti dermatitis perlu digunakan kompres larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan
eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan
membasah dapat diberikan kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid 1% atau 2
%. Pada eritroderma pada kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi dapat diberi
salep Lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.
Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebab dapat diketahui dan
segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk misalnya eritroderma dan kelainan-

kelainan berupa Sindrom Steven-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk tergantung pada luas
kulit yang terkena.
http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/08/drug-eruption/

Patofisiologi Terkini Alergi Obat


Posted on April 18, 2012

Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya
melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama
atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang
obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi,
intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan
kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang
timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah
reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat
dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui.
Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena
proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau
metabolitnya melalui reaksi imunologi.
Patofisiologi

Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan kompleks obat dan protein yang
disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang
bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan dipresentasikan
kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.
Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera, ekstrak organ)
dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh. Tetapi ada
beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang bersifat imunogenik tanpa
bergabung dengan karier. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer
rantai panjang.
Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan antibodi dan
aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan
berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem
imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori (reaksi anamnestik) .

Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut
Gell dan Coombs (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas). Alergi obat dapat terjadi melalui
mekanisme ke-4 tipe tersebut (Tabel 26-2). Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada
penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi
yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang
terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons
imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun
yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgE-mediated).Perlu diingat
bahwa dapat saja terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam
obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV.
Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari
kelainan hematologik atau penyakit autoimun.
Mekanisme reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs
Reaksi imun

Mekanisme

Klinis

Waktu
reaksi

Tipe I
(diperantarai
IgE)

Kompleks IgE-obat
berikatan dengan sel
mast melepaskan
histamin dan mediator
lain

Urtikaria, angioedema,
bronkospasme, muntah,
diare, anafilaksis

Menit
sampai jam
setelah
paparan

Tipe II
(sitotoksik)

Antibodi IgM atau IgG


spesifik terhadap sel
hapten-obat

Anemia hemolitik,
neutropenia,
trombositopenia

Variasi

Deposit jaringan dari


Tipe III
kompleks antibodi-obat
(kompleks imun) dengan aktivasi
komplemen
Presentasi molekul obat
Tipe IV (lambat,
oleh MHC kepada sel T
diperantarai
dengan pelepasan
oleh selular)
sitokin

Serum sickness, demam,


1-3 minggu
ruam, artralgia,
setelah
limfadenopati, vaskulitis,
paparan
urtikaria

Dermatitis kontak alergi

2-7 hari
setelah
paparan

Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan Coomb, yaitu :

Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau


metabolitnya berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan
berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel basofil di sirkulasi. Reaksi tipe
I merupakan hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan

menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat


berupa urtikaria, edema laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius.
Penyebab umum adalah molekul biologis dan beberapa obat, seperti penisilin
dan insulin.

Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM
yang mengenali antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen
serum, maka sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan
oleh sistem monosit-makrofag. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik
yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau
IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah
membran permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang
disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang
disebabkan oleh kuinidin. Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini
antara lain sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.

Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari
obat atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Pada reaksi tipe III
terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode
yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi
komplemen. Reaksi terkadang baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi
tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal sebagai reaksi
Arthus. Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat
antigen berada, misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh
karena penderita telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga
terjadi presipitasi pada tempat masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2
sampai 5 jam setelah pemberian. Manifestasi utama berupa demam, ruam,
urtikaria, limfadenopati dan artralgia. Contoh obat tersebut antara lain
penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin antilimfositik
dan fenitoin.

Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity


reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang
spesifik obat. Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi
langsung dengan antigen, misalnya pada dermatitis kontak. Obat topikal
yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila berikatan dengan
protein jaringan kulit yang bersifat sebagai karier dapat merangsang sel
limfosit T yang akan tersensitisasi dan berproliferasi. Pada pajanan
berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan teraktivasi dan
mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat antigen berada
sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering menimbulkan
reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri, neomisin, nikel,
antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi lokal, serta
beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti parabens
atau lanolin.

Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu obat,namun yang
tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut
waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat tersering

penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu
asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian yang paling
sering dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi
pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan tenggang waktu
beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.
Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak
dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk bersifat
sebagai allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan
protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses didalam
makrofag dan dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat molekul
besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ bersifat sangat imunogenik dapat langsung
merangsang sistem imun tubuh.
Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan protein lain.
Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang. Setelah
paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam
masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.
Ikatan obat dengan protein jaringan dapat mengubah struktur dan sifat jaringan sebagai antigen
diri menjadi antigen yang tidak dikenal oleh sistem imun tubuh, sehingga dapat terjadi reaksi
autoimun. Contoh obatnya antara lain klorpromazin, isoniazid, penisilamin, fenitoin dan
sulfasalazin. Bila sel sasaran ini adalah endotel pembuluh darah, maka dapat terjadi vaskulitis
akibat aktivasi komplemen oleh kompleks imun pada permukaan sel endotel (misalnya pada
serum sickness). Aktivasi komplemen ini mengakibatkan akumulasi sel polimorfonuklear dan
pelepasan lisozim sehingga terjadi reaksi inflamasi dan kerusakan dinding pembuluh darah. Obat
yang dapat menimbulkan reaksi seperti ini antara lain penisilin, sulfonamid, eritromisin, salisilat,
isoniazid, dan lain-lain.
Reaksi alergi
Karena bentuk makromolekul beberapa obat, seperti hormon peptida, secara intrinsik
imunogenik. Banyak obat, memiliki massa molekul kurang dari 1000 dalton dan tidak mampu
menginduksi respon imun di negara asal mereka. Untuk agen-agen untuk menjadi immunogens
efektif, mereka tidak hanya harus mengikat secara kovalen ke tinggi-molekul protein berat badan
tetapi juga harus menjalani pengolahan antigen sukses dan presentasi.
Pemahaman kita tentang respon imun terhadap antigen obat didasarkan terutama pada hipotesa
hapten. Beberapa obat, seperti penisilin, dapat langsung terjadi reaksi kimia sebagai akibat dari
ketidakstabilan struktur molekul. Namun, yang lain harus dimetabolisme, atau bioactivated,
menjadi bentuk reaktif sebelum respon imun dapat dimulai. Meskipun bioactivation biasanya

dimediasi oleh enzim sitokrom P450 di hepatosit hati, mungkin juga terjadi di lokasi lain, seperti
keratinosit kulit.
Bioactivation biasanya diikuti dengan proses bioinactivating. Dalam beberapa kasus, faktor
genetik atau lingkungan dapat mengganggu keseimbangan antara kedua proses, yang
menyebabkan terbentuknya ditambah atau dikurangi eliminasi metabolit obat reaktif. Setelah
terbentuk, spesies reaktif dapat melakukan salah satu dari beberapa hal. Mereka mungkin
mengikat makromolekul dan menyebabkan kerusakan sel langsung. Mereka mungkin mengikat
asam nukleat untuk menghasilkan produk gen yang berubah. Mereka mungkin mengikat secara
kovalen dengan target makromolekul yang lebih besar, membentuk sebuah kompleks
imunogenik, dan merangsang respon kekebalan tubuh.
Penisilin dan -laktam
Alergi terhadap -laktam obat umumnya dilaporkan, terutama penisilin alergi. The -laktam
yang disebabkan reaksi obat yang paling umum adalah erupsi makulopapular atau morbilliform
dan urtikaria. Namun, reaksi anafilaksis parah dapat dan memang terjadi pada kesempatan
langka. Sebuah tinjauan penisilin yang disebabkan anafilaksis yang dilakukan pada akhir tahun
1960 dievaluasi data dari kedua laporan dipublikasikan dan tidak dipublikasikan dan menemukan
tingkat kejadian 1,5 sampai 4 kasus per 10.000 diperlakukan patients.10 Selanjutnya, studi
internasional prospektif dilakukan untuk menentukan kejadian reaksi alergi terhadap bulanan
benzatin intramuskular suntikan penisilin yang diberikan untuk mencegah kambuhnya demam
rematik. Seribu sembilan puluh pasien dari 11 negara yang terdaftar. Setelah 32.430 suntikan
selama 2736 pasien-tahun pengamatan, 57 tahun 1790 pasien (3,2%) mengalami reaksi alergi,
dan 4 dari reaksi ini adalah anafilaksis (kejadian 0,2%, 1,2 cases/10, 000 suntikan) . Terlepas dari
kenyataan bahwa penisilin- disebabkan anafilaksis jarang terjadi, obat ini terus menjadi
penyebab paling umum dari anafilaksis pada manusia, terhitung sekitar 75% kasus anafilaksis
yang fatal di Amerika Serikat setiap tahun.
Penisilin telah menjadi keluarga antibiotik yang paling banyak dipelajari, dan untuk alasan ini
banyak yang diketahui tentang Immunochemistry mereka. Semua penisilin mengandung cincin
-laktam dan cincin tiazolidin. Selain itu, setiap dapat dibedakan oleh sifat kelompok samping
rantai R
Sedangkan sebagian besar obat haptenic lain, seperti sulfonamid, harus dimetabolisme sebelum
mereka bereaksi dengan protein untuk membentuk kompleks imunogenik,. Penisilin secara
intrinsik reaktif karena -laktam cincin. Karena ketidakstabilan, ini struktur cincin mudah
membuka, memungkinkan gugus karbonil amida untuk membentuk hubungan dengan kelompok
amino dari residu lisin pada proteins.14 terdekat Karena sekitar 95% dari molekul penisilin
mengikat protein dengan cara ini, penentu antigenik terbentuk, benzil penicilloyl, telah disebut
penentu utama penisilin. Setelah identifikasi, penentu penicilloyl yang digabungkan dengan

pembawa polylysine lemah imunogenik untuk membentuk penicilloyl polylysine (PPL), yang
sekarang tersedia secara komersial.
Selain penentu penicilloyl, beberapa lainnya kecil penisilin penentu terbentuk, dan ini juga telah
ditunjukkan untuk menimbulkan IgE-mediated tanggapan pada manusia. Karena pentingnya,
tidak hanya harus PPL digunakan sebagai pereaksi pengujian ketika mengevaluasi pasien untuk
kehadiran penisilin antibodi spesifik IgE, tetapi campuran penentu kecil juga harus digunakan.
Campuran penentu asli kecil yang dikembangkan dan dianalisis terdiri dari benzilpenisilin,
alkalin hidrolisis produknya (benzylpenicilloate), dan asam hidrolisis produknya
(benzylpenilloate) .
Telah didokumentasikan bahwa pasien dengan riwayat positif tetapi hasil tes negatif kulit dengan
PPL dan campuran penentu kecil jarang memiliki IgE-mediated reaksi pada penicillin
readministration. Jika reaksi seperti itu memang terjadi, mereka ringan dan diri terbatas, dan
anafilaksis belum pernah dilaporkan dalam diri seseorang dengan kulit penisilin negatif test.
PPL (Pra-Pen) adalah penisilin hanya tersedia secara komersial kulit reagen tes. Sayangnya,
penggunaan reagen ini saja bisa menyebabkan sebanyak 25% dari semua reaksi tes kulit positif
potensi untuk menjadi missed.18 Jika segar (bukan usia) benzilpenisilin G digunakan (pada
konsentrasi 10.000 U / mL) sebagai satu-satunya penentu kecil (bersama dengan PPL), 5%
sampai 10% dari potensi reaksi tes kulit positif akan missed. Beberapa orang tidak terjawab
mungkin berisiko untuk pengembangan anafilaksis jika penisilin adalah readministered.
Selain faktor penentu antigenik yang terbentuk dari struktur cincin -laktam, kelompok rantai
samping yang membedakan penisilin yang berbeda juga dapat menimbulkan produksi antibodi
IgE yang signifikan secara klinis. Dengan demikian, tes khusus untuk penisilin individu mungkin
diperlukan, dibandingkan dengan hanya menggunakan persiapan penentu besar dan kecil yang
terbuat dari benzilpenisilin. Pentingnya sisi-rantai-antibodi spesifik baru-baru ini ditunjukkan
dalam sebuah studi oleh Baldo23 di mana kekhususan IgE mengikat dievaluasi pada pasien yang
bereaksi terhadap flukloksasilin. Kuantitatif hapten studi menunjukkan bahwa penghambatan
dicloxacillinYang saja, kloksasilin, dan oksasilin (penisilin yang memiliki gugus R mirip dengan
yang di flukloksasilin) mampu sangat menghambat IgE mengikat. Penisilin yang tidak memiliki
metil-fenil-isoxazolyl samping rantai penentu adalah inhibitor miskin. Hasil ini menunjukkan
bahwa, setidaknya untuk beberapa -laktam-orang alergi, antibodi IgE yang terbentuk dapat
diarahkan pada kelompok R obat -laktam dan tidak untuk penentu dibentuk oleh laktam-atau
cincin tiazolidin . Temuan ini menunjukkan bahwa penisilin berbeda mungkin cross-reaktif, tidak
hanya berdasarkan cincin bersama mereka -laktam dan tiazolidin tetapi juga berdasarkan
bersama atau sama sisi-rantai penentu. Karena kita tidak memiliki reagen tes kulit untuk penisilin
semisintetik di negara ini dan dengan demikian tidak memiliki sisi-rantai-reagen tertentu, akan
sangat membantu untuk memiliki pengetahuan dari rantai samping. Gambar 2 memuat daftar
penisilin semisintetik berbagai dan persamaan struktural mereka.

Berbeda dengan penisilin, pemahaman kita tentang Immunochemistry dari sefalosporin bahkan
lebih terbatas. Dengan demikian, pengetahuan kita tentang determinan antigenik yang relevan
sefalosporin adalah jarang, dan untuk alasan ini derajat mereka reaktivitas silang tidak diketahui.
Juga, kita masih tidak dapat menjawab pertanyaan kuno penting: Dapatkah penisilin-alergi
pasien dengan aman menerima sefalosporin? Meskipun kedua golongan obat berbagi cincin laktam (sefalosporin juga memiliki cincin dihydrothiazine unik), secara klinis relevan reaktivitas
silang tidak umum. Lin24 ditemukan dalam tinjauan literatur bahwa dari 15.987 pasien yang
diobati dengan cephaloridine, sefaleksin, sefalotin, cefaxolin, atau sefamandol, 8,1% dari mereka
yang memiliki riwayat alergi penisilin memiliki reaksi, dibandingkan 1,9% dari orang yang tidak
punya sejarah. Baru-baru ini, Kelkar dan Li25 diringkas semua penelitian yang diterbitkan yang
mengevaluasi risiko pemberian sefalosporin pada pasien alergi penisilin. Di 8 dari studi
dievaluasi, uji kulit penisilin dilakukan. Dalam 3 dari studi ini, baik orang-orang yang memiliki
hasil uji kulit yang positif dan mereka yang memiliki hasil uji kulit negatif menjalani tantangan,
dalam 4, hanya mereka dengan hasil tes kulit positif menjalani tantangan, dan dalam 1, hanya
mereka dengan hasil tes kulit negatif menjalani menantang. Dari 135 pasien dengan hasil tes
kulit positif yang menjalani tantangan, 6 mengalami reaksi (reaksi laju 4,4%), sedangkan hanya 2
dari 351 (reaksi laju 1,3%) pasien dengan hasil tes kulit negatif bereaksi. Meskipun data ini
menunjukkan bahwa pasien yang telah dikenal penisilin antibodi spesifik IgE mungkin pada
peningkatan risiko untuk reaksi terhadap sefalosporin, penelitian lain menunjukkan bahwa risiko
ini sebenarnya minimal.26, 27
Seperti penisilin, sefalosporin juga dapat menginduksi respon kekebalan tubuh. Side-rantaiantibodi spesifik dapat dibentuk, serta antibodi diarahkan pada struktur cincin. Dengan demikian,
prinsip-reaksi alergi silang antara sefalosporin adalah sama dengan yang yang berhubungan
dengan penisilin. Jika antibodi IgE diarahkan pada struktur inti cincin, reaktivitas silang mungkin
ada di antara semua sefalosporin. Jika antibodi ada untuk kelompok samping rantai R1 atau R2,
bagaimanapun, situasi menjadi jauh lebih kompleks. Cross-reaksi dapat terjadi melalui
pengakuan R1 identik (cefaclor, sefaleksin, cephaloglycin) atau mirip (cefaclor dan sefadroksil)
sisi-rantai, atau mereka mungkin terjadi melalui pengakuan R2 (sefalotin dan sefotaksim) .23
Rekomendasi untuk pasien dengan sefalosporin menunjukkan sensitivitas adalah sebagai berikut.
Jika seorang pasien yang memiliki sejarah alergi sefalosporin membutuhkan lain sefalosporin,
satu dari dua pendekatan dapat dipertimbangkan. Lakukan tantangan dinilai dengan sefalosporin
yang tidak berbagi sisi-rantai penentu dengan sefalosporin asli. Melakukan uji kulit sefalosporin,
meskipun pengujian kulit seperti tidak standar dan nilai prediktif negatif adalah unknown
mencantumkan berbagai sefalosporin dan sisi-rantai mereka persamaan struktural.
Selain IgE-mediated reaksi, satu sefalosporin, cefaclor, telah terbukti menyebabkan sindrom
penyakit seperti serum. Karena kompleks imun beredar belum ditemukan, reaksi-reaksi ini tidak
dianggap mewakili penyakit serum benar atau reaksi komplek imun. Meskipun mekanisme
reaksi ini tidak diketahui dengan jelas, Kearns et al29 telah menunjukkan bahwa mereka dapat
dihasilkan dari biotransformasi hati dari obat induk.
Pasien yang telah diketahui atau diduga antibodi IgE terhadap obat -laktam dapat mengalami

desensitisasi jika obat yang diperlukan untuk pengobatan. Desensitisasi obat akut melibatkan
pemberian dosis tambahan obat selama periode jam untuk hari dan merupakan proses dimana
seseorang obat alergi diubah dari negara yang sensitif terhadap obat untuk keadaan di mana obat
ini ditoleransi. Tidak hanya negara tertentu peka antigen, juga adalah antigen tergantung,
membutuhkan kehadiran terus-menerus antigen.
Penisilin desensitisasi yang biasa dilakukan, dan baik oral atau rute intravena dapat digunakan.
Setelah dosis awal telah ditentukan, 30 dosis obat dua kali lipat setiap 15 menit. Tanda-tanda
vital, pemeriksaan fisik, dan nilai-nilai peak flow dimonitor seluruh prosedur. Meskipun sebagian
besar pengalaman kami dengan desensitisasi obat telah diturunkan dari penisilin, prinsip ini telah
berhasil diterapkan untuk obat lain banyak sebagai well.
Prosedur Induksi Intoleransi obat
jenis toleransi
dosis
lama
obat
awal

Mekanisme

obat

Antigen-specific mediator
depletion, downregulation
of receptors

Penicillin
Carboplatin,
cisplatin,
oxaliplatin

jam
Immunologic nonhingga
IgE
hari

mg

Unknown

TMP-SMX

Pharmacologic

jam
hingga
hari

mg

Metabolic shift,
Aspirin
internalization of receptors

Nonimmunologic
mast cell
activation

jam

Unknown

Paclitaxel

Undefined

minggu

gmg

Unknown

Allopurinol

Immunologic IgE
(drug
desensitization)

jam

Reaksi non imunologi


Reaksi non imun yang tidak dapat diprediksi diklasifikasikan dalam pseudoalergi, idiosinkrasi
atau intoleransi. Reaksi pseudoalergi merupakan hasil aktivasi sel mast secara langsung, tidak
melibatkan IgE spesifik dan degranulasi oleh agen seperti opiat, koloid ekspander, polipeptida,
antiinflamasi non-steroid dan media radiokontras. Reaksi yang bersifat non imunologi ini dapat
terjadi saat pertama kali paparan. Reaksi idiosinkrasi hanya terjadi pada sebagian kecil populasi,
seperti hemolisis yang diinduksi obat pada orang dengan defisiensi glucose-6-phosphate

dehydrogenase (G6PD). Intoleransi obat merupakan ambang batas yang lebih rendah terhadap
aksi farmakologi obat, seperti terjadinya tinitus setelah pemberian aspirin
Reaksi Nonimmunologically dimediasi dapat diklasifikasikan menurut beberapa fitur berikut:
akumulasi, efek samping, siaran langsung dari mediator sel mast, reaksi idiosinkratik, intoleransi,
Jarisch-Herxheimer fenomena, overdosis, atau dermatitis fototoksik. (Gejala Jarisch-Herxheimer
reaksi menghilang dengan terapi lanjutan Terapi obat harus dilanjutkan sampai infeksi
sepenuhnya diberantas..)

Contoh akumulasi adalah Argyria (biru-abu-abu perubahan warna kulit dan


kuku) diamati dengan penggunaan perak nitrat semprotan hidung.

Efek samping adalah efek normal tetapi tidak diinginkan dari obat. Sebagai
contoh, agen kemoterapi antimetabolit, seperti siklofosfamid, yang
berhubungan dengan kerontokan rambut.

Pelepasan langsung mediator sel mast adalah fenomena tergantung dosis


yang tidak melibatkan antibodi. Sebagai contoh, aspirin dan NSAID lainnya
menimbulkan pergeseran produksi leukotriene, yang memicu pelepasan
histamin dan tiang-sel mediator. Bahan kontras radiografi, alkohol, sitokin,
opiat, cimetidine, kina, hydralazine, atropin, vankomisin, dan tubocurarine
juga dapat menyebabkan pelepasan sel mast mediator.

Reaksi idiosinkratik yang tidak terduga dan tidak dijelaskan oleh sifat
farmakologi obat. Contohnya adalah individu dengan infeksi mononukleosis
yang mengembangkan ruam jika diberikan ampisilin.

Ketidakseimbangan flora endogen dapat terjadi ketika agen antimikroba


secara istimewa menekan pertumbuhan satu spesies mikroba, yang
memungkinkan spesies lain untuk tumbuh penuh semangat. Misalnya,
kandidiasis sering terjadi dengan terapi antibiotik.

Intoleransi dapat terjadi pada pasien dengan metabolisme berubah. Sebagai


contoh, individu yang asetilator lambat dari enzim N-asetiltransferase lebih
mungkin daripada yang lain untuk mengembangkan obat-induced lupus
dalam menanggapi prokainamid.

Jarisch-Herxheimer fenomena adalah reaksi karena endotoksin bakteri dan


antigen mikroba yang dibebaskan oleh penghancuran mikroorganisme.
Reaksi ini ditandai dengan demam, limfadenopati tender, arthralgias, makula
sementara atau letusan urtikaria, dan eksaserbasi yang sudah ada
sebelumnya lesi kulit. Reaksi ini bukan merupakan indikasi untuk
menghentikan pengobatan karena gejala menyelesaikan dengan terapi
lanjutan. Reaksi ini dapat dilihat dengan terapi penisilin untuk sifilis, terapi
griseofulvin atau ketoconazole untuk infeksi dermatofit, dan terapi
diethylcarbamazine untuk oncocerciasis.

Overdosis adalah respon berlebihan terhadap jumlah yang meningkat dari


obat. Sebagai contoh, peningkatan dosis antikoagulan dapat menyebabkan
purpura.

Dermatitis fototoksik adalah respon terbakar sinar matahari berlebihan yang


disebabkan oleh pembentukan photoproducts beracun, seperti radikal bebas
atau spesies oksigen reaktif

Mekanisme reaksi alergi non imunologi


Tipe reaksi non

imunologi

Dapat diprediksiEfek samping


farmakologiEfek samping farmakologi
sekunderToksisitas obat

Interaksi obat
Overdosis obat

Contoh

Mulut kering oleh antihistaminThrush


oleh antibiotikHepatotoksik oleh
metroteksatSeizure oleh kombinasi
teofilin dan eritromisin

Seizure oleh kelebihan lidokain

Reaksi anafilaktoid setelah media


Tidak dapat
radiokontrasAnemia hemolitik pada
diprediksiPseudoalergiIdiosinkrasiIntoleran pasien G6PD oleh primakuinTinitus
si
oleh aspirin dengan dosis kecil,
tunggal

Daftar Pustaka
o

Iannini P, Mandell L, Felmingham J, Patou G, Tillotson GS. Adverse


cutaneous reactions and drugs: a focus on antimicrobials. J Chemother.
Apr 2006;18(2):127-39.

Green JJ, Manders SM. Pseudoporphyria. J Am Acad Dermatol. Jan


2001;44(1):100-8.

Bork K. Adverse drug reactions. In: Demis DJ, ed. Clinical Dermatology.
Vol 3. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven; 1998.

Breathnach SM, Hintner H. Adverse Drug Reactions and the Skin.


London, England: Blackwell Scientific; 1992.

Campos-Fernandez Mdel M, Ponce-De-Leon-Rosales S, Archer-Dubon C,


Orozco-Topete R. Incidence and risk factors for cutaneous adverse drug

reactions in an intensive care unit. Rev Invest Clin. Nov-Dec


2005;57(6):770-4.
o

Coombs RRA, Gell PGH. Classification of allergic reactions responsible


for clinical hypersensitivity and disease. Clin Aspects Immunol.
1968;575-96.

Daoud MS, Schanbacher CF, Dicken CH. Recognizing cutaneous drug


eruptions. Reaction patterns provide clues to causes. Postgrad Med. Jul
1998;104(1):101-4, 107-8, 114-5.

Fitzpatrick JE. New histopathologic findings in drug eruptions. Dermatol


Clin. Jan 1992;10(1):19-36.

Gendernalik SB, Galeckas KJ. Fixed drug eruptions: a case report and
review of the literature. Cutis. Oct 2009;84(4):215-9.

Greenberger PA. 8. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol. Feb


2006;117(2 Suppl Mini-Primer):S464-70.

http://allergyclinic.wordpress.com/2012/04/18/patofisiologi-terkini-alergi-obat/

FIXED DRUG ERUPTION


Fixed drug eruption adalah suatu reaksi pada kulit yang memiliki karakteristik
adanya keterlibatan lokasi kulit yang sama pada pengulangan penggunaan obatobatan yang sama. Daerah kulit yang mengalami kelainan dapat meluas. Fixed drug
eruption merupakan suatu reaksi alergi di dalam tubuh, dan biasanya hanya satu
macam obat yang menjadi penyebab, namun dapat juga oleh beberapa obat. Ada
beberapa variasi FDE yang diklasifikasikan berdasar bentuk klinis dan penyebaran
lesi, diantaranya: pigmenting FDE, generalized FDE, linear FDE, wandering FDE,
non-pigmenting FDE, bullous FDE, eczematous FDE, dan urticarial FDE.
Fixed drug eruption dapat terjadi pada segala usia, mulai dari usia 1,5 tahun hingga
87 tahun. Insidensi pada wanita sebanding dengan pria. Penyakit ini tidak memiliki
predileksi ras manapun. Frekuensi fixed drug eruption sekitar 16-21% dari semua
penyakit kulit yang disebabkan oleh erupsi obat. Adapula penelitian yang
menyebutkan bahwa dari 200 pasien dengan erupsi obat, didapatkan 61 pasien
(30%) mengalami fixed drug eruption, dengan cotrimoxazol menjadi penyebab
terseringnya. Hingga saat ini belum pernah ada kematian yang disebabkan oleh
fixed drug eruption.
Mekanisme patofisiologi fixed drug eruption belum diketahui secara pasti. Namun
penelitian terakhir menyebutkan adanya peran sel mediator yang mengawali

munculnya lesi yang aktif. Proses ini meliputi suatu antibodi-dependent dan reaksi
sel mediator sitotoksik. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, defisiensi enzim, dan
hipersensitivitas terhadap zat, dapat menjadi bagian dari proses patofisiologi fixed
drug eruption.
Obat-obat yang masuk dianggap sebagai hapten yang berikatan dengan sel basal
keratinosit atau dengan melanosit pada lapisan basal epidermis, yang
menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi. Melalui pelepasan sitokin, seperti tumor
necrosis factor-alpha, keratinosit mengekspresikan intercellular adhesion molecule1 (ICAM-1). Pengaturan ICAM-1 akan mendorong sel T (CD4 dan CD8) berpindah ke
lokasi lesi. Datangnya sel CD8 dan bertahan di lokasi lesi akan menyebabkan
kerusakan jaringan yang terus-menerus akibat produk inflamasi, seperti sitokin
interferon gamma dan TNF-. Sel yang diisolasi pada lesi aktif juga
mengekspresikan alpha E beta 7, suatu molekul permukaan, seperti CLA/alpha 4
beta 1/CD4a, yang mengikat ICAM-1, yang membantu menarik sel CD8 ke lokasi
lesi.
Sel CD4 memproduksi IL-10, yang menekan sistem imun, yang menyebabkan lesi
yang terus aktif. Jika respon inflamasinya sudah hilang, IL-15 yang diekspresikan
keratinosit akan membantu mempertahankan sel CD8, yang akan memberikan
memori fenotipe. Sehingga ketika paparan obat berulang, respon akan berkembang
lebih cepat pada lokasi yang sama.
Penyebab terjadinya fixed drug eruption meliputi antibiotik, antiepileptik, AINS, dan
fenotiazin, meskipun zat lain dan makanan tertentu juga dapat menjadi penyebab.
Obat-obat AINS, seperti paracetamol, asam mefenamat, naproxen, oxicam, dan
derivat pirazolon memiliki predileksi di bibir. Sedangkan sulfonamide dan
trimethoprim (cotrimoxazole), penyebab tersering munculnya fixed drug eruption.
Masuknya zat ke dalam tubuh dapat melalui berbagai cara, diantaranya melalui
oral, rectal, atau intravena.
Keluhan disekitar lesi yang disertai rasa terbakar, demam, malaise, dan gejala
abdomen. Adapula gejala lainnya yaitu nyeri, rasa tidak nyaman, dan kadang gatal.
Gejala sistemik dapat berupa demam, malaise, mual, diare, anorexia, dan disuria.
Lesi paling sering ditemukan di ekstremitas atas, ekstremitas bawah, genital, serta
perianal. Namun dapat juga ditemukan pada daerah peroral dan periorbita.
Lesi soliter, makula eritema, plak yang disertai edema, dan bula yang kadang dapat
ditemui. Pada awalnya berupa lesi soliter, namun dengan paparan obat yang
berulang memunculkan lesi pada lokasi yang sama, dan dapat pula pada lokasi
lainnya, dengan ukuran lebih besar atau sama. Lesi bulat/oval, diameter 1cm atau
lebih, plakat eritema, hiperpigmentasi, dan dapat disertai edema. Lesi muncul
dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah penggunaan obat, dan mulai memudar
dalam 1-2 minggu, namun meninggalkan bekas berwarna coklat, biru tua, atau
hitam.

Pemeriksaan histologi pada lesi inflamasi akut menunjukkan terjadinya dermatitis


yang berhubungan dengan perubahan vakuola. Pola keseluruhan mirip dengan
eritema multiforme. Dyskeratosis dan nekrosis keratinosit pada lapisan epidermis
merupakan karakteristik yang khas. Infiltrasi limfosit cukup banyak terdapat pada
dermoepidermal junction. Spongiosis, edema dermis, eosinofil, dan netrofil mungkin
dapat tampak. Inkontinensia pigmen pada papilla dermis merupakan pola yang khas
dan hanya ditemukan pada bentuk lesi non inflamasi pada pasien dewasa. Lesi
kronik atau tidak aktif dapat menunjukkan akanthosis mild, dan beberapa sel
inflamasi.(Ami Misbah)
http://majalah-hilalahmarsolo.blogspot.com/2010/06/fixed-drug-eruption.html

DRUG ERUPTION

Setiap keadaan yang menunjukkan kelainan multi sistem dengan penyeban


yang tidak jelas harus dicurigai kemungkinan keracunan. Meskipun semua
kelompok umur dapat terkena namun anak-anak mencapai 59 %dari kecelakaan
keracunan, sisinya sebanyak 41 % termasuk remaja an orangtua (Hudak,Gallo,
1997).

I.

Pengertian.
Setiap keadaan yang menunjukkan kelainan multi sistem dengan sebab yang tidak
jelas harus dicuarigai kemungkinan sebagai keracunan.

II. Patofisiologi.
Insektisida bekerja dengan menghambat dan menginaktifasikan enzim asetilkolin
nesterase. Enzim ini secara normal menghancurkan asetilkolin yang dilepaskan oleh
susunan syaraf pusat, ganglion autonom, ujung-ujung syaraf parasimpatis dan
ujung-ujung syaraf motorik. Hambatan asetilkolin nesterase menyebabkan
tertumpuknya sejumlah besar asetilkolin pada tempat-tempat tersebut.

Baca Selengkapnya....

Pathways

Insektisida golongan organofosfat

Mengahambat aktifitas enzim asetilkolin nesterase

Tertumpuknya asetilkolin

Ganglion autonom

Ujung-ujung syaraf simpatis

SSP

Sambungan

neuromuskuler

Konstriksi

Kontraksi pupil Penurunan

Otot-otot

Penglihatan kabur

bronkhial

Muntah,

Tremor

kesadaran

diare

Kejang
Paralise

flacide
Penekanan

Renore, salivasi Penurunan

aktifitas cardiac banyak keringat

persepsi

Resiko aspirasi
sensori

Penurunan curah

Gangguan nutrisi

jantung

kurang dari kebutuhan tubuh

Pola nafas tidak


efektif.

III. Manifestasi Klinis.


Gejala keracunan dapat dibagi dalam dua golongan yaitu :
1. Gejala muskarinik .
Hypersekresi kelanjar keringat, air mata, air liur, saluran pernapasan, dan saluran
pencernaan. Dapat juga ditemukan gejala nause, nyeri perut, diare, muntah,
inkontinensia alvi dan urin, bronkokontriksi, miosis, bradikardi, dan hypotensi. Pada
keracunan paration tidak selalu ditemukan miosis dan hypotensi.
2. Gejala nikotinik.
Twiching dan fasikulasi otot lurik dan kelemahan otot. Ditemukan pula gejala sentral
seperti ketakutan, gelisah, gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi, tremor dan
kejang.

IV. Pemeriksaan Penunjang.


Kadar kolinesterase plasma berkurang sampai 30% normal terutama pada pasien
yang

kontak

dengan

keracunan akut.

insektisida

organofosfat

secara

kronik

dengan

gejala

V.

Penatalaksanaan Medis.
a.

Penatalaksanaan kegawatan
Setiap keracunan dapat mengancam nyawa. Walaupun tidak dijumpai
kegawatansetiap kasus keracunan harus diberlakukan seperti keadaan kegawatan
yang mengancam nyawa. Penilaian terhadap tanda vital seperti jalan
nafas/pernafasan, sirkulasi da penurunan kesadaran harus dilakukan secara tepat
dan seksama sehingga tindakan resusitasi yang meliputi ABC
( airway,breathing,circulatory) tidak terlambat dimulai

b.

Penilaian klinis
Penatalaksanaan keracunan harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil
penapisan toksikologi. Walaupun dalam sebagian kasus diagnosa etiologi sulit
ditegakkan dengan penilaian dan pemeriksaan klinis yang cermat dapat ditemukan
beberapa kelompok yang memberi arah ke diagnosa etiologi. Oleh karena itu pada
kasus keracunan bukan hasil laboratorium yang harus diperhatikan tetapi standar
pemeriksaan kasus di tiap rumah sakit juga perlu dibuat untuk memudahkan
penanganan yang tepat guna. Beberapa keadaan klinis yang perlu mendapat
perhatian karena dapat mengancam nyawa ialah koma, henti jantung, henti nafas
dan syok. Upaya yang paling penting adalah ananmesis atau aloanamnesis yang
rinci.

c.

Dekontaminasi

1.

Bila pelarut organofosfat terminum ialah minyak tanah, tindakan untuk


memuntahkan atau cuci lambung sebaiknya dihindari untuk mencegah timbulnya
pneumonia aspirasi. Bila pelarut golongan organofosfat adalah air seperti halnya
digunakan dipertanian tindakan cuci lambung atau membuat pasien muntah dapat
dibenarkan.

2.

Dilakukan pernapasan buatan bila terjadi depresi pernapasan dan bebaskan jalan
napas dari sumbatan.

3.

Bila racun mengenai kulit atau mukosa mata bersihkan dengan air.

4.

Atropin dapat diberikan dengan dosis 0,015 - 0,05 mg /kg bb secara intravena
dan dapat diulangi setiap 5 10 menit sampai timbul gejala antropinisasi seperti
muka merah, mulut kering, takikardi dan midriasis. Kemudian diberikan dosis rumat
untuk mempertahankan atropinisasi ringan selama 24 jam. Protopan dapat
diberikan pada anak dengan dosis 0,25 g secara intravena sangat perlahan-lahan
atau melalui ivfd.

5.

Pengobatan simtomatik dan suportif.

http://ners-blog.blogspot.com/2011/04/drug-eruption.html

fiata-medica
Diposkan oleh Beta Wahyudi, S.Ked
undefined undefined,
undefined

Patogenesis
Fixed Drug Eruption (FDE)
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologi dan non
imunologi. Erupsi obat alergi terjadi melalui mekanisme imunologik, Secara klinis
erupsi alergi obat dapat menampakkan berbagai bentuk, alergi terhadap satu
macam obat dapat memberi gambaran klinis yang beraneka ragam, sebaliknya
gambaran klinis yang sama dapat disebabkan oleh alergi berbagai macam obat.
Berbagai bentuk alergi obat antara lain:

1. tipe urtikaria atau biduran yang ditandai dengan kemerahan dan edema pada kulit
yang disertai rasa gatal dan panas.
2. tipe makulopapular yang ditandai dengan kemerahan pada kulit yang tersebar pada
seluruh badan dengan berbagai ukuran
3. tipe fixed drug eruption dengan kelainan kulit berupa kulit kemerahan, vesikel atau
bula yang terjadi pada tempat yang sama bila terjadi alergi obat. Bila sembuh akan
meninggalkan bercak hitam/hiperpigmentasi yang sering menetap/ sulit hilang.
4. eritroderma yang ditandai dengan kemerahan seluruh badan disertai pengelupasan
kulit berbentuk sisik.
5. Sindrom Steven Johson
6. Toksik epidermal nekrolisis.
Sindrom Steven Johnson dan Toksik epidermal nekrolisis merupakan bentuk alergi obat
yang berat dan dapat menimbulkan kematian. Pada sindrom diatas terdapat trias
kelainan yaitu kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium dan kelainan mata.
Pada kelainan kulit ini terdapat bula dan erosi serta pengelupasan kulit pada hampir
seluruh tubuh.
Fixed drug eruption merupakan salah satu tipe reaksi alergi terhadap obat. Patogenesis
dari Fixed drug eruption belum diketahui. fixed drug eruption dengan kelainan kulit
berupa kulit kemerahan, vesikel atau bula, dengan ciri khas yaitu adanya riwayat
minum jenis obat tertentu yang menyebabkan alergi, selalu muncul di tempat yang
sama, dan bila sembuh meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang sulit hilang.
Erupsi terlihat sekitar 30 menit sampai 8 jam setelah terpapar obat. Berbagai obat
yang dapat menyebabkan alergi obat tipe FDE antara lain: obat-obat golongan
barbiturat, sulfonamid, tetrasiklin, salisilat dan NSAID (berbagai obat analgesik dan
anti inflamasi).
Reaksi imunologik dibagi 4 tipe oleh Coombs and Gell, yaitu sebagai berikut:
Tipe I adalah immunoglobulin E (IgE)dependendent reaction , yang menyebabkan
urtikaria, angioedem, dan anafilaksis. Reaksi ini penting dan sering dijumpai.
Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan.

Tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Yang berperan ialah Ig E


yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil.
Tipe II adalah reaksi sitotoksik, menyebabkan hemolisis dan purpura. Reaksi tipe ini
dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan antara Ig G dan Ig M
dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem komplemen dipacu sejumlah
reaksi yang berakhir dengan lisis.
Tipe III adalah reaksi komplek imun, yang hasilnya pada vasculitis, serum sickness,
dan urtikaria. Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk komplek
antigen antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistem
komplemen terjadi pelepasan anafilatoksin yang merangsang pelepasan berbagai
mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen, akan terjadi
kerusakan jaringan.
Tipe IV adalah reaksi alekgik seluler tipe lambat, menyebabkan pada dermatitis
kontak, reaksi eksantema, dan reaksi fotoalergik. Reaksi ini melibatkan limfosit.
Limfosit T yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut
reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.
Terdapat 2 macam bentuk reaksi : reaksi tipe tuberkulin dan reaksi tipe kontak.
Insulin dan protein yang lain yang berhubungan dengan reaksi tipe I. Penicillin,
cephalosporins, sulfonamides, dan rifampin diketahui dapat menyebabkan reaksi
tipe II. Quinin, salisilat, chlorpromasin, and sulfonamid dapat menyebabkan reaksi
tipe III. Reaksi Tipe IV, mekanisme yang biasanya paling sering dari drug eruptions,
sering dijumpai pada kasus contact hypersensitivity sampai pengobatan topikal,
seperti neomycin. Sulfonamides yang paling sering berhubungan dengan toxic
epidermal necrolysis (TEN).

DAFTAR PUSTAKA

- Arierna. 2006. Skin Rash. http://fkuii.orgtiki-index.phppage=Skin+Rash5.htm

-Department of Dermatology, Health Waikato. 2008. Fixed Drug Eruption.


http://dermnetnz.orgreactionsfixed-drug-eruption.html

-Jonathan E Blume, MD. 2007. Drug Eruption.


http://www.emedicine.comdermtopic104.htm

-Kooken, Cs. Drug Eruption.


http://www.clevelandclinicmeded.commedicalpubsdiseasemanagementdermatology
drug_eruptionsdrug_eruptions.htm

- Mustikaningsih, Retno. 2002. Alergi Obat Fixed Drug Eruption. Pontianak post

- M Mukhyaprana Prabhu MD, Smitha Prabhu MD DVD, Pranay Mishra, and Subeesh
Palaian. 2005. Cellulitis-like fixed drug eruption attributed to paracetamol
(acetaminophen). Dermatology Online Journal
http://fiata-medica.blogspot.com/2008/06/patogenesis-fixed-drug-eruption-fde.html

Anda mungkin juga menyukai