Anda di halaman 1dari 36

MENGENAL BERMACAM-MACAM TEKNIK OPERASI AMANDEL

November 27, 2012 oleh Dr. Kris

Operasi amandel atau tonsilektomi merupakan


operasi yg sering dilakukan oleh dokter THT di seluruh dunia demikian pula di Indonesia. Operasi ini
sudah dikenal sejak 1000 tahun sebelum masehi di India, dan makin meningkat memasuki abad 18.
Saat ini operasi amandel menjadi solusi terakhir jika dengan cara pencegahan dan pengobatan tidak
mendapatkan hasil yang optimal.
Meskipun masih terdapat pro dan kontra mengenai kapan indikasi operasi amandel dilakukan, indikasi
dilakukan operasi amandel dapat dibagi menjadi dua yaitu indikasi pasti dan indikasi relative. Menurut
Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL)
dan The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) antara lain :

Pembesaran amandel yang mengakibatkan penutupan jalan nafas, nyeri tenggorok hebat,
gangguan tidur atau komplikasi jantung-paru.

Abses (nanah) di dalam amandel yang tak membaik dengan pengobatan,

Tonsillitis/radang amandel yg mengakibatkan kejang demam

Radang amandel berulang ( lebih dari 3 kali dalam satu tahun) walapun telah dilakukan
pengobatan optimal.

Bau mulut dan nafas yang diakibatkan oleh radang amandel berulang dan tidak beresopon
baik dengan pengobatan.

Tonsillitis yang disebabkan kuman streptococcus yang tidak berespon baik dengan
pengobatan

Pembesaran amandel 1 sisi yang dicurigai suatu keganasan.

Tonsil atau amandel adalah benda bulat mirip bakso yang posisinya berada di belakang kiri dan kanan
tenggorokan. Ukuran amandel juga beragam, mulai dari sebesar kelereng hingga seukuran bola
pimpong seperti yang di jelaskan oleh dr Kristiawan SpTHT-KL dari Rumah Sakit Mitra Keluarga
Cikarang.

Amandel merupakan salah satu bagian tubuh (kelenjar getah bening) yang berfungsi sebagai
penghadang agar kuman tidak mudah masuk ke saluran pernapasan manusia, selain kelenjar getah
bening yang ada diseluruh bagian tubuh.
Amandel pada orang sehat akan berwarna sesuai dengan warna jaringan disekitarnya dan
berpermukaan rata. Sedangkan pada orang yang mengalami tonsilitis (infeksi atau radang amandel)
warnanya bisa menjadi kemerahan atau terdapat bercak putih pada amandel dan ukuran tonsil
kemudian membesar.
Sesuai dengan berbagai tingkatan kondisi penyakit amandel, penanganan tonsilitis (radang amandel)
sangatlah beragam, mulai dari terapi obat hingga operasi pengangkatan tonsil atau amandel sebagai
solusi akhir.
Karena amandel sebenarnya mempunyai manfaat untuk tubuh, maka operasi dilakukan bila efek
buruknya lebih besar dibandingkan manfaatnya, lanjut Dr. Kristiawan dengan ramah. Dr Kristiawan
menjelaskan ada dua macam operasi amandel, yaitu cara tradisional dan cara modern.
Cara tradisional
1. Teknik Guillotine
Yaitu dengan menjepit tonsil dengan alat guillotine kemudian dipotong. Teknik ini dalam
pengerjaannya sangat cepat namun demikian dalam pengelolaan perdarahan saat operasi cukup lama
dan resiko perdarahan pasca operasi juga cukup besar selain itu nyeri pasca oparasi juga cukup
mengganggu pasien dalam hal kenyamanan pasca operasi.
2. Teknik Diseksi
Yaitu dengan menggunakan pisau potong untuk memisahkan tonsil dari jaringan pengikatnya. Operasi
dengan teknik ini bisa cepat tapi komplikasinya sangat besar antara lain resiko perdarahan pasca
operasi, sehingga teknik ini sudah jarang dilakukan.
Cara modern
1. Teknik Elektrokauter
Teknik ini lebih cepat tapi panas yang dihasilkan sangat tinggi mencapai 400-600 derajat C, sehingga
dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat pasca operasi.
2. Teknik Microderider

Teknik dengan menggunakan alat yang diputar dan bila terjadi perdarahan langsung disedot. Tetapi
kelemahannya harga alat masih mahal.
3. Teknik Radiofrekuensi
Teknik operasi dengan menggunakan energi temperatur rendah (40-70 derajat C), berbeda dengan
teknik elektrokauter yang menggunakan energi dengan temperatur mencapai 400 derajat C. Teknik
radiofrekuensi menggunakan gelombang radio pada frekuensi 1,5-4,5 MHz.
4. Teknik Thermal welding
Teknik operasi ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari teknik radiofrekuensi dimana
penggunaan energi temperature rendah hanya disebarkan diujung alat pemotong yang dilidungi suatu
bahan peredam panas, sehingga luas jaringan yang terpapar panas sangat minimal. Dengan paparan
panas yang minimal ini resiko nyeri pasca operasi lebih minimal, proses pemulihan lebih cepat.
Hingga saat ini kebanyakan dokter THT khususnya di Indonesia masih menggunakan cara
konvensional untuk prosedur operasi amandel, yaitu dengan teknik Guillotine dan teknik diseksi.
Namun sejak satu dekade terakhir, diperkenalkan cara baru dengan menggunakan teknologi mutakhir
dalam operasi pengangkatan tonsil, yaitu dengan menggunakan teknik radiofrekuensi dan
teknikthermal welding.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa negara, disimpulkan bahwa penggunaan
radiofrekuensi dan thermal welding dalam tonsilektomi (pengangkatan tonsil/amandel) memiliki
beberapa keuntungan, diantaranya:

Waktu operasi menjadi lebih singkat

Jumlah perdarahan saat operasi lebih minimal

Nyeri pasca operasi lebih ringan

Kemungkinan perdarahan pasca operasi lebih kecil

Penyembuhan luka operasi lebih singkat

Biaya relatif lebih murah dibanding beberapa teknik modern lainnya

Lebih aman

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, penderita amandel yang telah dilakukan
pengangkatan amandel menggunakan teknik thermal welding dan radiofrekuensi derajat nyeri pasca
operasi satu hari setelah operasi sangat minimal sehingga memberikan tingkat kenyamanan yang jauh
di atas prosedur bedah konvensional, bahkan dengan proses pemulihan yang lebih cepat, jelas dr
Kristiawan SpTHT-KL.

Sejak tahun 2010 hingga saat ini, Rumah Sakit Mitra Keluarga Cikarang telah mengaplikasikan teknik
operasi menggunakan thermal welding kepada pasien-pasien yang akan melakukan operasi amandel
dan kecenderungan pemakaian teknik ini semakin meningkat sejalan dengan kenyamanan dan
kepuasan pasien setelah menjalani prosedur pengangkatan amandel dengan teknik ini. Sejak awal
2012 ini RS Mitra Keluarga Cikarang kembali melengkapi kecanggihan alat kedokteran dibidang
pembedahan THT dengan medatangkan alat radiofrekensi.
Selain itu, radiofrekuensi tidak hanya digunakan untuk operasi amandel, tetapi juga dapat digunakan
untuk mengatasi masalah lain seputar THT seperti mengecilkan konka untuk kasus hidung yang sering
tersumbat, melebarkan tenggorok pada pasien Obstructive Sleep Apnea (OSA), mendengkur,
mengecilkan dasar lidah (pada pasien OSA) dan mimisan berulang yang tidak sembuh-sembuh melalui
pengobatan, pengangkatan tumor di bidang telinga hidung dan tenggorok jelas Dr Kristiawan SpTHTKL yang berpraktek sebagai dokter tetap di RS Mitra Keluarga Cikarang.
(di salin dari Majalah Info Bekasi)

Radang
amandel (bahasa
Inggris: tonsillitis)
adalah infeksi pada amandel yang kadang mengakibatkan sakit tenggorokan dan demam.
Secara klinis peradangan ini ada yang akut (baru), ditandai dengan nyeri menelan (odinofagi), dan
tidak jarang disertai demam. Sedangkan yang sudah menahun biasanya tidak nyeri menelan, tapi
jika ukurannya cukup besar (hipertrofi) akan menyebabkan kesulitan menelan (disfagia)
Kapan amandel harus dibedah? Para ahli masih belum satu pendapat mengenai ini, namun
umumnya literatur klinik membagi indikasi pembedahan radang amandel (tonsilektomi) atas 2 yaitu:
1. Absolut (mutlak: harus dibedah)
2. Relatif (tidak mutlak: sebaiknya dibedah)
Daftar isi
[sembunyikan]

1Gejala

2Penyebab

3Pengobatan

4Komplikasi

5Referensi

Gejala[sunting | sunting sumber]

Gejala umum tonsilitis meliputi:[1][2][3][4]

merah dan / atau bengkak amandel

putih atau kuning patch pada amandel

tender, kaku, dan / atau leher bengkak

sakit tenggorokan

sulit menelan makanan

batuk

sakit kepala

sakit mata

tubuh sakit

otalgia

demam

panas dingin

hidung mampet

Tonsilitis akut disebabkan oleh bakteri dan virus dan akan disertai dengan gejala sakit telinga saat
menelan, bau mulut, dan air liur bersama dengan radang tenggorokan dan demam. Dalam hal ini,
permukaan tonsil mungkin merah cerah atau memiliki lapisan putih keabu-abuan, sedangkan
kelenjar getah bening di leher akan membengkak.

Penyebab[sunting | sunting sumber]


Yang umum menyebabkan sebagian besar tonsilitis adalah virus pilek ( adenovirus, rhinovirus,
influenza, coronavirus, RSV ). Hal ini juga dapat disebabkan oleh virus Epstein-Barr, herpes
simpleks virus, cytomegalovirus, atau HIV. Yang paling umum menyebabkan kedua adalah bakteri.
Para bakteri penyebab tonsilitis yang paling umum adalah Group A-hemolitik streptokokus
( GABHS ), yang menyebabkan radang tenggorokan. Kurang bakteri penyebab umum termasuk:
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pneumoniae, pertusis, Fusobacterium , difteri, sifilis, dan gonore. Dalam keadaan normal, virus dan
bakteri masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut dan akan disaring di amandel. Dalam
amandel, sel-sel darah putih dari sistem kekebalan tubuh melancarkan sebuah serangan yang
membantu menghancurkan virus atau bakteri, dan juga menyebabkan peradangan dan demam.
Infeksi juga mungkin ada di tenggorokan dan sekitarnya, menyebabkan peradangan pada
faring. Faring adalah area di bagian belakang tenggorokan yang terletak di antara dalam kotak
suara dan tonsil. Tonsilitis dapat disebabkan oleh bakteri streptokokus Grup A, mengakibatkan
radang tenggorokan. Viral tonsillitis mungkin disebabkan oleh berbagai virus [10] seperti virus
Epstein-Barr (penyebab infeksi mononucleosis ) atau adenovirus. Kadang-kadang, tonsilitis
disebabkan oleh infeksi dari spirochaeta dan Treponema, dalam hal ini disebut angina Vincent atauVincent angina Plaut.

Pengobatan[sunting | sunting sumber]


Perawatan untuk mengurangi ketidaknyamanan dari gejala tonsillitis meliputi: [1][2][3][4][5][6][7]

pengurang rasa sakit, anti-inflamasi, obat penurun demam (acetaminophen, ibuprofen)

pengurang sakit tenggorokan (obat kumur air garam, belah ketupat, cairan hangat)

Jika tonsilitis disebabkan oleh kelompok A streptococus, maka antibiotiklah yang berguna, dengan
penisilin atau amoksilin sebagai pilihan pertamanya. Cephalosporin dan macrodile dianggap sebagai
alternatif yang baik bagi penisilin dalam penyakit akut. Sebuah macrolide seperti eritromisin
digunakan untuk pasien yang alergi terhadap penisilin. Pasien yang gagal terapi penicilin dapat

menanggapi pengobatan yang efektif terhadap bakteri yang memproduksi beta-laktamase seperti
klindamisin atau amoksisilin-klavulanat .Bakteri penghasil beta-laktamase aerobik dan anaerobik
yang berada di jaringan tonsil dapat "memerisai" kelompok A streptokokus dari penisilin. Bila
tonsilitis disebabkan oleh virus, lama penyakit tergantung pada virus mana yang terlibat. Biasanya,
pemulihan lengkap terjadi dalam satu minggu, namun dapat berlangsung selama dua minggu.
Kasus kronis dapat diobati dengan tonsilektomi (operasi pengangkatan tonsil) sebagai pilihan untuk
pengobatan. Dengan catatan, riset ilmiah telah menemukan bahwa anak-anak hanya memiliki
sedikit keuntungan dari tonsilektomi untuk kasus kronis tonsilitis.

Komplikasi[sunting | sunting sumber]


Komplikasi jarang mungkin termasuk dehidrasi dan gagal ginjal karena kesulitan menelan, saluran
udara diblokir karena peradangan, dan faringitis karena penyebaran infeksi. Suatu abses dapat
mengembangkan lateral tonsil selama infeksi, biasanya beberapa hari setelah terjadinya tonsilitis.
Hal ini disebut sebagai abses peritonsillar (atau quinsy). Jarang, infeksi bisa menyebar di luar tonsil
mengakibatkan peradangan dan infeksi pada vena jugular internal yang memunculkan suatu
menyebarkan infeksi septicemia ( 's sindrom Lemierre ). Dalam kasus kronis / berulang (secara
umum didefinisikan sebagai tujuh episode tonsilitis pada tahun sebelumnya, lima episode di masingmasing dari tahun sebelumnya dua atau tiga episode di masing-masing tiga tahun sebelumnya),
atau di kasus akut tonsil palatina dimana menjadi begitu bengkak yang menelan terganggu, sebuah
tonsilektomi dapat dilakukan untuk menghilangkan amandel. Pasien yang amandel telah dihapus
masih dilindungi dari infeksi oleh sisa dari sistem kekebalan tubuh mereka. Dalam kasus yang
sangat jarang radang tenggorokan, penyakit seperti demam rematik atau glomerulonefritis dapat
terjadi. Komplikasi ini sangat jarang terjadi di negara-negara maju, namun tetap menjadi masalah
yang signifikan di negara-negara miskin. Tonsilitis berhubungan dengan radang tenggorokan, jika
tidak diobati, juga dapat menyebabkan gangguan neuropsikiatrik pediatrik autoimun terkait dengan
infeksi streptokokus ( panda ). Tonsilloliths terjadi pada sampai 10% dari populasi sering karena
episode tonsilitis.

Penyakit tonsilitis adalah infeksi yang terjadi pada tonsil atau amandel yang
biasanya disebabkan oleh virus atau bakteri. Kebanyakan atau umumnya infeksi
tonsilitis ini terjadi pada anak yang masih berusia muda sekitar 5 hingga 15
tahun. Kondisi ini dapat terjadi kadang-kadang atau sering kambuh. Dalam ilmu
medis atau kedokteran, radang tonsillitis ini terbagi menjadi dua berdasarkan
lama berlangsungnya penyakit. Kedua bagian tersebut adalah tonsilitis akut dan
tonsilitis kronis.

Pada bagian belakang tenggorokan Anda (terletak di antara kotak suara dan
tonsil), dua massa dari jaringan yang disebut amandel berperan sebagai filter,
menjebak kuman yang bisa masuk saluran udara dan menyebabkan infeksi.
Amandel juga memproduksi antibodi untuk melawan infeksi. Tapi kadangkadang amandel sendiri menjadi terinfeksi. Kewalahan oleh bakteri atau virus,
mereka membengkak dan meradang, kondisi inilah yang dikenal sebagai
tonsilitis.
Tonsilitis akut adalah apabila penyakit atau keluhan yang diderita pasien
berlangsung kurang dari 3 minggu. Sedangkan untuk penyakit tonsilitis kronis
apabila radang terjadi sebanyak 7 kali dalam kurun waktu satu tahun, atau 5
kali dalam kurun waktu dua tahun, atau 3 kali dalam kurun waktu satu tahun
secara berkala selama tiga tahun. Begitulah perbedaaan antara tonsilitis akut
dan tonsilitis kronis.

Asuhan Keperawatan
sebagai bahan sharing bagi seluruh mahasiswa kesehatan By : Yohanes Oda Teda Ona
widarma
SELASA, 24 MEI 2011

ASUHAN KEPERAWATAN TONSILITIS


1.

PENGERTIAN TONSILITIS
Tonsilitis adalah radang yang disebabkan oleh infeksi bakteri kelompok A
streptococcus beta hemolitik, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri jenis lain
atau oleh infeksi virus (Hembing, 2004).
Tonsilitis adalah peradangan amandel sehingga amandel menjadi bengkak,
merah, melunak dan memiliki bintik-bintik putih di permukaannya. Pembengkakan
ini disebabkan oleh infeksi baik virus atau bakteri.
Klasifikasi Tonsilitis

1.

Tonsillitis akut

Tonsilitis akut dengan gejala tonsil membengkak dan hiperemis permukaan


nya yang diliputi eksudat (nanah) berwarna putih kekuning- kuningan.
Dibagi lagi menjadi 2, yaitu :
a.

Tonsilitis viral
Ini lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.
Penyebab paling tersering adalah virus Epstein Barr.

b.

Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A stereptococcus beta
hemoliticus yang dikenal sebagai strept throat, pneumococcus, streptococcus
viridian dan streptococcus piogenes. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri
yang mulai mati.
Dari kedua Tonsilitis viral dan Tonsilitis Bakterial dapat meenimbulkan gejala
perkembangan lanjut tonsillitis akut yaitu :

Tonsilitis folikularis dengan gejala tonsil membengkak dan hiperemis dengan


permukaannya berbentuk bercak putih yang mengisi kripti tonsil yang disebut
detritus. Detritus ini terdiri dari leukosit, epitel yang terlepas akibat peradangan,
dan sisa-sisa makanan yang tersangkut.

Infiltrat peritonsiler dengan gejala perkembangan lanjut dari tonsiitis akut.


Perkembangan ini sampai ke palatum mole (langit-langit), tonsil menjadi terdorong
ke tengah, rasa nyeri yang sangat hebat , air liur pun tidak bisa di telan. Apabila
dilakukan aspirasi (penyedotan dengan spuit/ suntikan) di tempat pembengkakan di
dekat palatum mole (langit- langit) akan keluar darah.

Abses peritonsil dengan gejala perkembangan lanjut dari infiltrat peritonsili. Dan
gejala klinis sama dengan infiltrat perintonsiler. Apabila dilakukan aspirasi
(penyedotan dengan spuit/ suntikan) di tempat pembengkakan di dekat palatum
mole (langit- langit) akan keluar NANAH.

2.

Tonsilitis membranosa

Tonsilitis membranosa dengan gejala eksudat yang menutupi permukaan


tonsil yang membengkak tersebut meluas menyerupai membran. Membran ini
biasanya mudah diangkat atau di buang dan berwarna putih kekuning- kuningan.
Tonsilitis lakunaris dengan gejala bercak yang berdekatan, bersatu dan
mengisis lakuna (lekuk-lekuk) permukaan tonsil.
a. Tonsilitis Difteri
Penyebabnya yaitu oleh kuman Coryne bacterium diphteriae, kuman yang
termasuk Gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring
dan laring.

b. Tonsilitis Septik
Penyebab streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam susu sapi sehingga
menimbulkan epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan
cara pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.

3.

Angina Plout Vincent


Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C. Gejala berupa demam sampai 39 C, nyeri kepala, badan lemah dan
kadang gangguan pecernaan.

a.

Tonsilitis kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca kelemahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang tidak adekuat kuman
penyebabnya sama dengan
tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram
negatif.
(Soepardi,Efiary Arsyad,dkk 2007)

2.

ANATOMI FISIOLOGI

Tonsil terbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil


mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam yang meluas ke jaringan tonsil.
Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah kosong di atasnya dikenal
sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada muskulus
konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap
kali makan.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih
tonsil dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi
velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah perkembangan
tonsil tersering adalah ke arah hipofaring, sehingga sering menyebabkan terjaganya
anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas.
Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama:

1. Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah saraf.


2. Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.
3. Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai
Stadium.
Tonsil (amandel) dan adenoid merupakan jaringan limfoid yang terdapat pada
daerah faring atau tenggorokan. Keduanya sudah ada sejak anak dilahirkan dan
mulai berfungsi sebagai bagian dari sistem imunitas tubuh setelah imunitas
warisan dari ibu mulai menghilang dari tubuh anak. Pada saat itu (usia lebih
kurang 1 tahun) tonsil dan adenoid merupakan organ imunitas utama pada anak,
karena jaringan limfoid lain yang ada di seluruh
tubuh belum bekerja secara optimal.
Sistem imunitas ada 2 macam yaitu imunitas seluler dan humoral.
Imunitas seluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T) yang dapat memakan
kuman dan virus serta membunuhnya. Sedangakan imunitas humoral bekerja
karena adanya sel (limfoid B) yang dapat menghasilkan zat immunoglobulin yang
dapat membunuh kuman dan virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler
tonsil dan adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta
menyebabklan infeksi amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi
yang berulang ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus dengan
memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil dan adenoid
akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal. Tonsil dan adenoid
yang demikian sering dikenal sebagai amandel yang dapat menjadi sumber infeksi
(fokal infeksi) sehingga anak menjadi sering sakit demam dan batuk pilek.Selain itu
folikel infeksi pada amandel dapat menyebabkan penyakit pada ginjal
(Glomerulonefritis), katup jantung (Endokarditis), sendi (Rhematoid Artritis) dan
kulit. (Dermatitis). Penyakit sinusitis dan otitis
media pada anak seringkali juga disebabkan adanya infeksi kronis pada amandel
dan adenoid.

3.

ETIOLOGI TONSILITIS

Penyebab tonsilitis bermacam macam, diantaranya adalah yang tersebut


dibawah ini yaitu :
1. Streptokokus Beta Hemolitikus
2. Streptokokus Viridans
3. Streptokokus Piogenes
4. Virus Influenza
Infeksi ini menular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet
infections).
Menurut Adams George (1999), tonsilitis bakterialis supuralis akut paling
sering disebabkan oleh streptokokus beta hemolitikus grup A.

Pneumococcus

Staphilococcus

Haemalphilus influenza

Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens.


Menurut Iskandar N (1993). Bakteri merupakan penyebab pada 50 % kasus.

Streptococcus B hemoliticus grup A

Streptococcus viridens

Streptococcus pyogenes

Staphilococcus

Pneumococcus

Virus

Adenovirus

ECHO

Virus influenza serta herpes


Menurut Firman S (2006), penyebabnya adalah infeksi bakteri streptococcus
atau infeksi virus. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan
mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa

dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang,


menyebabkan tonsillitis.

4.

PATOFISIOLOGI

Invasi kuman patogenik (bakteri atau virus)

Membran Limfogen

Faring dan tonsil

Proses Inflamasi

5.

TANDA DAN GEJALA


1. Nyeri tenggorok
2. Nyeri telan
3. Sulit menelan
4. Demam
5. Mual
6. Anoreksia
7. Kelenjar limfa leher membengkak
8. Faring hiperemis
9. Edema faring
10. Pembesaran tonsil
11. Tonsil hiperemia
12. Mulut berbau
13. Otalgia (sakit di telinga)
14. Malaise

6.

TEST DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa
tonsilitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :

Leukosit : terjadi peningkatan


Hemoglobin : terjadi penurunan
Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat
Terapi
Tes Schick atau tes kerentanan di ptori
Audiometri : adenoid terinfeksi

7.

KOMPLIKASI
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik menurut Mansjoer, A (1999), yaitu :

o Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini
terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh
streptococcus group A.

o Otitis media akut


Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi)
dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan
gendang telinga.
o Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam selsel mastoid.
o Laringitis
o Sinusitis
o Abses paraparineal
o Abses Retrofaringeal
o Adenitis servikal supuratif
o Ketulian permanen
o Komplikasi sistemik : radang ginjal akut dan demam rematik

8.

PENCEGAHAN

Tidak boleh makan sembarangan

Kebersihan gigi dan mulut

Imunisasi DPT

Kumur air hangat 3 X sehari

Terapi antibiotik

Kompres hangat di leher

Operasi tonsil

Menghindari kontak langsung penderita tonsillitis

9.

PENATALAKSANAAN

1.

Penatalaksanaan Medis

a)

Jika penyebabnya bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10


hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.

b)

Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika :

Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.


Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
Hemoragi
Merupakan komplikasi potensial setelah tonsilektomi. Jika pasien
memuntahkan banyak darah dengan warna yang berubah atau dengan warna
merah terang pada interval yang sering, atau bila frekuensi nadi dan pernapasan
meningkat dan pasien gelisah, segera beritahu dokter bedah. Siapkan alat yang
digunakan untuk memeriksa tempat operasi terhadap pendarahan : sumber cahaya,
cermin, kasa, hemostat lengkung, dan basin pembuang. Kadang, akan berguna jika
dilakukan menjahit atau meligasi pembuluh yang berdarah. Jika tidak terjadi
pendarahan lebih lanjut , beri pasien es dan sesapan es. Pasien diinstruksikan untuk
tidak banyak bicara dan batuk karena dapat menyebabkan nyeri tenggorok.
Bilas mulut alkalin dan larutan normal salinhangat mengatasi lendir kental
yang mungkin ada setelah operasi tonsilektomi ( masih dipertanyakan
keefektivitasannya).

Diet cairan atau semicari beberapa hari . Serbat dan gelatin adalh makanan
yang dapat diberikan . Makanan yang harus dihindari adalah makanan pedas,
dingin, panas, asam, atau mentah. Makanan yang dibatasi adalah makanan yang
cenderung meningkatkan mukus yang terbentuk misanya susu dan produk lunak
(es krim).
Pendidikan yang dapat diberikan kepada pasien dan keluarga adalah tentang
tanda dan gejala hemoragi. Biasanya tanda dan gejala muncul 12-24 jam pertama.
Paien diinstruksikan untuk melapor setiap pendarahan yang terjadi.
c)

Pasca operasi

Pemantauan keperawatan kontinu diperlukan pada pasca operasi segera

Periode pemulihan karena risiko signifikan hemoragi

Kepala dimiringkan kesamping memungkinkan drainase dari mulut dan


faring memberi kenyamanan posisi

Napas oral dilepaskan jika menunjukkan reflek menelan

Collar es dipasang pada leher, dan basin serta tisu disiapkanekspectorasi darah
dan lendir

d)

Analgetik

e)

Antipiretik

(Brunner & Suddart.(2001).Kperawatan Medikal Bedah.Edisi 8. Volume 2.


Jakarta.EGC)

2.

Penatalaksanaan Keperawatan

a)

Kompres air hangat

b)

Istirahat yang cukup

c)

Cairan diberikan adekuat

d)

Banyak minum air hangat

e)

Diit cairan atau lunak sesuai kondisi pasien

INDIKASI TINDAKAN TONSILAKTOMI


INDIKASI ABSOLUT:
1.

Tonsil (amandel) yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan,

nyeri telan yang berat, gangguan tidur atau sudah terjadi komplikasi penyakitpenyakit kardiopulmonal.
2.

Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan perbaikan

dengan pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang mengakibatkan gangguan


pertumbuhan wajah atau mulut yang terdokumentasi oleh dokter gigi bedah mulut.
3.

Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.

4.

Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan

gambaran patologis jaringan.


INDIKASI RELATIF:
1.

Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak

menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang


memadai.
2.

Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis

yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.


3.

Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman

Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan dengan


antibiotika.
4.

Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan

dengan keganasan (neoplastik)


KONTRAINDIKASI
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi melakukan
pembedahan tonsil karena bila dikerjakan dapat terjadi komplikasi pada penderita,
bahkan mengancam kematian. Keadaan tersebut adalah kelainan
hematologik, kelainan alergi-imunologik dan infeksi akut. Kontraindikasi
pada kelainan hematologik adalah anemi, gangguan pada sistem hemostasis dan
lekemi. Pada kelainan alergi-imunologik seperti penyakit alergi pada saluran
pernapasan, sebaiknya tidak dilakukan tonsilektomi bila pengobatan kurang dari 6
bulan kecuali bila terdapat gejala sumbatan karena pembesaran tonsil.
Pembedahan tonsil sebagai pencetus serangan asthma pernah dilaporkan.

Tonsilektomi juga tidak dikerjakan apabila terdapat infeksi akut lokal, kecuali bila
disertai sumbatan jalan napas atas. Tonsilektomi sebaiknya baru dilakukan setelah
minimal 23 minggu bebas dari infeksi akut. Di samping itu tonsilektomi juga tidak
dilakukan pada penyakit-penyakit sistemik yang tidak terkontrol seperti diabetes
atau penyakit jantung pulmonal

ASUHAN KEPERAWATAN
I.

Pengkajian
Hari/tanggal

: Rabu, 28 Oktober 2010-10-28

Waktu

: 08.30 WIB

Tempat

: Ruang Delima

Oleh

: Perawat Lina

A. Identitas Klien

B.

Nama

: Nn.T

Umur

: 19 th

Pekerjaan

: Mahasiswa

Alamat

: Sleman,Jogjakarta

Status Pernikahan

: Belum menikah

Suku

: Jawa, Indonesia

Diagnosa Medis

: Tonsilitis Akut

Tanggal Masuk RS

: 28 Oktober 2010

No.RM

: 430055

Penanggung Jawab
Nama

: Ny.S

Umur

: 42 th

Alamat

: Sleman,Jogjakarta

Hubungan

: Ibu

II. Riwayat Kesehatan


A. Keluhan Utama

Klien mengatakan nyeri pada tenggorok dan sakit saat menelan.


B.

Keluhan Tambahan

Suara serak

Merasa lesu

Tidak nafsu makan

Nafas berbau

C.

Alasan masuk rumah sakit :


Nyeri yang tidak tertahankan

D. Riwayat penyakit lalu

Belum pernah mengalami penyakit pernapasan


E.

Riwayat penyakit sekarang

Awalnya klien demam selama 2 hari. Kemudian klien mengukur suhu dan diperoleh
suhu 38,20C. Setelah itu klien memutuskan untuk periksa ke rumah sakit X, karena
ia mengalami nyeri pada tenggorok dan sakit saat menelan. Saat dilakukan
pemeriksaan bagian mulut terjadi pembesaran pada jaringan limfatik kedua sisi
orofaring. Klien kemudian disarankan untuk dilakukan pemeriksaan kultur : usap
tonsilar. Ternyata hasilnya positif terdapat Streptococcus group A. Tim medis
menyarankan klien untuk dilakukan operasi dan klien menyetujui.

III. Pengkajian Fisik


A. Tanda-tanda vital :
Nadi
Respirasi

: 84 x/menit
: 22x/menit

B.

TD

: 100/60 mmHg

Suhu

: 38,20 C

Pemeriksaan mulut dan tenggorok :

Berbicara kurang jelas

Suara serak dan parau

Warna lidah merah

Palatum simetris

Uvula simetris

Napas bau

Tonsil = T3 (kanan dan kiri)

C.

Pemeriksaan Fisik :

Pemeriksaan kepala : bentuk nesochepal, rambut hitam, tipis dan bersih

Pemeriksaan mata : tidak ada sekret di sudut mata, konjungtiva tidak pucat, sklera
tidak ikterik, pasien bisa membaca dan membedakan warna.

Pemeriksaan telinga : bersih, tidak ada cairan keluar, simetris antara kanan dan kiri

Pemeriksaan hidung : bersih dan tidak ada sekret

Pemeriksaan mulut dan tenggorokan : tidak ada caries pada gigi, terdapat
pembesaran pada jaringan limfatik kedua sisi orofaring.

Pemeriksaan leher : JVP tidak meningkat

Pemeriksaan dada : ekspansi dada simetris, tidak ada nyeri tekan

IV. Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologi ditandai oleh
DS:
-

Pasien mengatakan nyeri saat menelan

Klien mengatakan nyeri hanya di tenggorok

DO :
-

Saat menelan pasien meringis

Pasien gelisah

Tonsil merah dengan bercak keputih-putihan

Tonsil : T3 kanan dan kiri

2. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan tonsilektomi ditandai


oleh :
DS:
-

pasien mengatakan takut operasi


DO :

pasien gelisah

pasien murung

TD 100/60 mmHg

Nadi 84x/menit

RR 22x/menit

Suhu 38,20C

Akan dilakukan tonsilektomi

3. Kurang pengetahuan mengnai kondisi berhubungan dengan kurang informasi


ditandai dengan
DS:
-

Pasien mengeluh deman

Pasien mengatakan susah menelan

Pasien mengatakan sakit tenggorokan

Pasien mengatakani tidak pernah mengalami sakit seperti ini

Pasien mengatakan tidk tau mengenai tonsilektomi


DO:

Pasien bertanya mengapa ia demam

Pasien bertanya mengapa harus dilakukan tonsilektomi

Pasien terlihat bingung

4. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi pada faring dan tonsil, ditandai
oleh :
DS :
-

Pasien mengatakan demam


DO :

Suhu : 38,20C

RR : 22 x/menit

Nadi : 84 x/menit

TD : 100/60 mmHg

Tonsil : T3

5. Resiko perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


adanya anoreksia ditandai oleh :
DS :
-

Pasien mengatakan tidak nafsu makan

Pasien mengatakan sakit saat menelan


DO :

Pasien lemas

Kulit kering

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Nama pasien

: Nn.T

Ruang

: Delima

Tanggal

:28 oktober 2010

No.

Diagnosa Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil

1.

Nyeri berhubungan dengan agen


cedera biologi ditandai oleh

Setelah dilakukan
1. Berikan tindakan
tindakan keperawatan
nyaman dan aktivitas
selama 2 jam nyeri yang
hiburan
dialami pasien menurun
dengan kriteria :

DS:
Pasien mengatakan nyeri saat
menelan

DO :

Klien mengatakan nyeri hanya


di tenggorok

Pasien menunjukkan
nyeri berkurang (skala 3)

DO :

DO :

Saat menelan pasien meringis


Pasien gelisah
Tonsil merah dengan bercak
keputih-putihan

Rencana Tindakan

2.

Anjurkan perilaku
penggunaan manajemen
stress

3.

Berikan analgetik,
misalnya kodein; ASA;
dan darvan sesuai
indikasi

Pasien lebih rileks

Tonsil : T3 kanan dan kiri


2.

Ansietas berhuungan dengan


akan dilakukannya tindakan
tonsilektomi ditandai oleh :
DS:
pasien mengatakan takut

Setelah dilakukan
1.
tindakan keperawatan
selama 2 jam pasien
menunjukkan kemampuan
untuk mengatasi masalah
dengan kriteria :

Berikan informasi
akurat dan konsisten
mengenai prognosis.
Hindari argumen
mengenai persepsi
pasien terhadap situasi
tersebut

operasi

DS :

DO :

Pasien mengatakan sudah


tidak begitu takut

pasien gelisah
pasien murung
TD100/60 mmHg

2.

Dorong pasien/ orang


terdekat untuk
menyatakan perasaan

DO :
Pasien lebih rileks

Nadi 84x/menit
RR22x/menit

3.

Suhu 38,20C

Tunjukkan / dorong
tindakan relaksasi
misalnya imajinasi

Akan dilakukan tonsilektomi


3

Kurang pengetahuan mengnai


kondisi berhubungan dengan
kurang informasi ditandai dengan
DS:
Pasien mengeluh deman
Pasien mengatakan susah
menelan
Pasien mengatakan sakit
tenggorokan
Pasien mengatakani tidak
pernah mengalami sakit seperti
ini
Pasien mengatakan tidk tau
mengenai tonsilektomi
DO:
Pasien bertanya mengapa ia
demam
Pasien bertanya mengapa
harus dilakukan tonsilektomi
Pasien terlihat bingung

Setelah dilakukan
1. Tegaskan jumlah
tindakkan keperawatan 3
persiapan pra operasi
x 24 jam diharapkan
dan retensi informasi.Kaj
pasien memahami
tingkat ansietas
mengenai penyakitnya
sehubungan dengan
dengan kriteria :
diagnosis dan
pmbedahan
DS :
Pasien mengatakan
sudah paham mengenai
penyakitnya
DO:
Pasien lebih rileks

2.

Berikan atau ulang


penjelasan pada tingkat
penerimaan pasien.
Diskusikan
ketidakakuratan dalam
persepsi tentang proses
penyakit dan terapi
bersama klien dan orang
terdekat

LAPORAN PENDAHULUAN TONSILITIS


KONSEP DASAR MEDIK
A. PENGERTIAN
Tonsilitis adalah suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri berlangsung sekitar lima
hari dengan disertai disfagia dan demam (Megantara, Imam, 2006).
Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta
hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pygenes, dapat juga disebabkan
oleh virus (Mansjoer, A. 2000).
Tonsilitis adalah radang yang disebabkan oleh infeksi bakteri kelompok A streptococcus
beta hemolitik, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri jenis lain atau oleh infeksi
virus (Hembing, 2004).
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada hasil tonsil (amandel), yang sangat sering
ditemukan, terutama pada anak-anak (Firman sriyono, 2006, 2006).
B. ETIOLOGI
Menurut Adams George (1999), tonsilitis bakterialis supuralis akut paling sering
disebabkan oleh streptokokus beta hemolitikus grup A.
1.
Pneumococcus
2.

Staphilococcus

3.

Haemalphilus influenza

4.

Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens.

Menurut Iskandar N (1993). Bakteri merupakan penyebab pada 50 % kasus.

1.

Streptococcus B hemoliticus grup A

2.

Streptococcus viridens

3.

Streptococcus pyogenes

4.

Staphilococcus

5.

Pneumococcus

6.

Virus

7.

Adenovirus

8.

ECHO

9.

Virus influenza serta herpes.

C. PATOFISIOLOGI
Menurut Iskandar N (1993), patofisiologi tonsillitis yaitu :
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial
mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak
kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel
yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis lakunaris, bila
bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakonaris. Bila bercak
melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran),
sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel
mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan
limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara
kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengkapan dengan jaringan sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
submandibula.
D. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Megantara, Imam 2006
Gejalanya berupa nyeri tenggorokan (yang semakin parah jika penderita menelan) nyeri
seringkali dirasakan ditelinga (karena tenggorokan dan telinga memiliki persyarafan
yang sama).

Gejala lain :
1.
Demam
2.

Tidak enak badan

3.

Sakit kepala

4.

Muntah

Menurut Smelizer, Suzanne (2000)


Gejala yang timbul sakit tenggorokan, demam, ngorok, dan kesulitan menelan.
Menurut Hembing, (2002) :
1.
Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga menjadi parah, sakit saat
menelan, kadang-kadang muntah.
2.
Tonsil bengkak, panas, gatal, sakit pada otot dan sendi, nyeri pada seluruh
badan, kedinginan, sakit kepala dan sakit pada telinga.
3.
Pada tonsilitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluar
nanah pada lekukan tonsil.
E. KOMPLIKASI
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik menurut Mansjoer, A (1999), yaitu :
1.
Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi
beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group
A.
2.

Otitis media akut

Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat
mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang
telinga.
3.

Mastoiditis akut

Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel
mastoid.
4.

Laringitis

5.

Sinusitis

6.

Rhinitis

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tonsilitis secara umum, menurut Firman S, 2006 :
1. Jika penyebabnya bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10 hari,
jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
2. Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika :

Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.

Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.

Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.

Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.

1.

Menurut Mansjoer, A (1999) penatalaksanan tonsillitis adalah :


Penatalaksanaan tonsilitis akut

Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat
isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.

Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk


mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.

Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi kantung
selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.

Pemberian antipiretik.

2.

Penatalaksanaan tonsilitis kronik

Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.

Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif
tidak berhasil.

PENDAHULUAN Beberapa Pengertian tentang Tonsil dan adenoid. Hadirin yang saya
muliakan, Tonsil (amandel) dan adenoid ( amandel belakang hidung) merupakan
bagian dari sistem daya pertahanan tubuh manusia. Semua orang sejak dari kecil
sampai dewasa mempunyai tonsil dan adenoid. Hanya dalam kondisi tertentu tonsil
dapat dipertimbangkan untuk diambil (operasi). Adenotonsilektomi merupakan
tindakan operasi pengambilan tonsil dan adenoid. Adenotonsilitis kronis obstruktif
merupakan peradangan dari tonsil dan adenoid yang lama dan menimbulkan

gangguan sumbatan jalan udara pernapasan. Imunitas adalah daya ketahanan


tubuh yang dimaknai dari beberapa komponen imunitas.Ini merupakan keadaan
kearah mana imunitas dapat menimbulkan kelainan atau gejala penyakit. Sampai
sekarang masih banyak masyarakat mempertanyakan tentang perlunya tindakan
operasi tonsil dan adenoid, mengingat bahwa tonsil dan adenoid merupakan bagian
dari sistem pertahanan tubuh ( Solopos Minggu , 2004). Namun beberapa penelitian
telah menunjukkan terjadi perbaikan klinis pasca operasi. Latar Belakang Sampai
saat ini penderita adenotosilitis kronis masih banyak memberikan dampak berupa
infeksi yang berulang sebesar 60%. Selain itu pada adenotonsilitis kronis terjadi
gejala obstruksi jalan napas atas (Paradise et al, 2003), yang sering terjadi pada
malam hari (Onal et al, 1986; Spabis, 1994; Lamberg, 2001). 4 Adenotonsilitis kronis
yang disertai obstruksi pada malam hari disebut sebagai obstructive sleep apnea
syndrome ( OSAS ) (Suen et al,1995; Adams, 1997; Cowan and Hibbert, 1997;
Ischizuka et al, 1997). Adenoid dan tonsil yang beradang kronis disertai obstruksi
dinamakan adenotonsilitis kronis obstruktif ATKO (Jensen et al, 1991; Salah et al,
2001). Obstruksi yang disertai keradangan kronis bagaikan lingkaran setan (circulus
visiosus). Proses keradangan oleh infeksi dapat menimbulkan pembesaran tonsil,
sedangkan pembesaran tonsil dan adenoid dapat mengakibatkan obstruksi jalan
napas atas. Obstruksi jalan napas terutama yang terjadi waktu tidur dapat
menyebabkan hipoksia. Kondisi hipoksia tersebut dapat menurunkan ketahanan
imunologis (Lamberg et al, 2001; Paradise et al, 2003). Salah satu cara mengatasi
obstruksi akibat ATKO yaitu dengan adenotonsilektomi (ATE). Namun ATE sampai
sekarang masih dipertanyakan masyarakat. Pertanyaan tersebut terletak pada
sudut pandang bahwa adenoid dan tonsil adalah sistem ketahanan tubuh
imunologis, sedangkan pembesaran adenoid dan tonsil dapat menyebabkan kondisi
hipoksia (Paradise et al, 2002; 2003). Prusek et al (1991) dan Friday et al (1992)
melaporkan penurunan imunitas pasca ATE. Sedangakan Paulussen et al (2000)
mendapatkan modulasi peningkatan imunitas seluler dan humoral. Namun Sampai
saat ini mekanisme modulasi imunitas pasca ATE belum diketahui dengan jelas.
Penetapan tindakan ATE yang kurang tepat dapat merugikan penderita. Penderita
yang mengalami penanganan lambat dapat menyebabkan infeksi yang berulang
dan gangguan hipoksia (Jensen et al, 1991; Paradise et al, 2002). Berbagai penulis
lain juga 5 melaporkan, bahwa adenotonsil hipertrofi dapat menyebabkan obstruksi
(Goodman et al, 1976; Franz and Mennicken, 1977; Harrington, 1978; Skevas et al,
1978; Van Somoren et al, 1990; Eike and Jorgense, 1994; Battistini et al, 1998;
Litman et al, 1998). Gangguan hipoksia dapat menurunkan imunitas tubuh,
sehingga rentan terkena penyakit infeksi (Klokker et al, 1993; Ohga et al, 2003).
Peningkatan frekuensi sakit pada penderita dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan terutama pada masa anak (Paradise et al, 2002; 2003). Tindakan
ATE sering dilakukan oleh spesialis THT di Indonesia. Data selama tahun 2002 di
RSUD dr. Moewardi Surakarta telah dilakukan tindakan ATE dan Tonsilektomi (TE)
sebanyak 220 di antara 501 tindakan atau operasi THT yang lain. Lebih dari 65%
penderita yang dilakukan tindakan ATE atau TE berumur antara 2 sampai 15 tahun
(RSUD dr. Moewardi, 2002). Adenoid dan tonsil yang membesar dapat

menyebabkan obstruksi dan secara fisiologis dapat menggangu fungsi pernapasan


dan proses menelan. Atas dasar pertimbangan ini maka penderita ATKO perlu
dilakukan tindakan ATE. Apabila penderita ATKO tidak dilakukan ATE maka akan
menurunkan kualitas hidup anak. Tindakan ATE dilakukan atas dasar indikasi klinis
dan kasus demi kasus (Bicknell, 1994). Selama ini indikasi tindakan ATE berdasar
atas hasil pemeriksaan klinis. Dengan demikian dasar pertimbangan dilakukan ATE
masih bersifat subjektif. Gejala obstruksi menghilang setelah dilakukan tindakan
ATE (Franz and Mennicken, 1977; Harrington, 1978; Skevas et al, 1978). 6 ATKO
dapat menyebabkan kondisi hipoksi. Kondisi hipoksi dapat memodulasi sel
imunokompeten (Eike and Jorgensen, 1994; Albert, 1997; Battistini et al, 1998;
Paradise et al, 2003). Hipoksi sebagai stresor akan merangsang monosit atau
makrofag mengeluarkan IL-1b lebih banyak (Hempel et al, 1996). Selanjutnya IL-1b
merangsang Th1 untuk mengeluarkan IFN-g. IFN-g sebagai MAF (macrophage
activating factor) akan meningkatkan kemampuan makrofag untuk memproses dan
menghancurkan imunogen. Di sisi lain peningkatan aktivitas makrofag tersebut juga
dapat merusak sel dan jaringan, sehingga dapat menimbulkan nekrosis (delayed
type hypersensitivity). Pasca tindakan ATE, diharapkan stresor hipoksi hilang,
sehingga IL-1b akan menurun. Atas dasar manfaat tindakan ATE yang belum
terungkap jelas tersebut diatas, maka masih perlu kajian lebih lanjut. Pendekatan
psikoneuroimunologi yang melihat stresor hipoksia sebagai faktor pencetus
penurunan ketahanan tubuh imunologis dapat digunakan untuk tolok ukur
keberhasilan ATE. Penurunan ketahanan tubuh imunologis karena hipoksi akan
dilihat sebagai proses modulasi yang komplementatif dari berbagai variabel respons
imun dalam satu paradigma psikoneuroimunologi. Pada penelitian di bidang
imunopatobiologi telah mengkaji keseimbangan respons imun sampai pada
pembahasan limfosit pada tingkat subpopulasi Th1 dan Th2. Identifikasi aktivitas
Th1 dan Th2 telah diamati dari modulasi sitokin yang dihasilkan. Beberapa sitokin
dapat saling berinteraksi satu dengan yang lain secara kompleks baik yang
berfungsi sebagai imunostimulator maupun berfungsi inhibitor. Dalam penelitian
imunopatobiologi saat ini, pembahasan sitokin 7 yang dihasilkan sel
imunokompeten dilakukan secara menyeluruh melalui berbagai indikator sitokin,
hormon dan polipeptida (Putra, 1999). Atas dasar paradigma psikoneuroimunologi,
maka tindakan ATE pada anak dengan ATKO diharapkan menghilangkan kondisi
hipoksi yang akan memperbaiki modulasi imunitas. Kajian dengan paradigma
psikoneuroimunologi ini lebih difokuskan pada modulasi imunitas berdasarkan
konsep Th1 dan Th2.

Anda mungkin juga menyukai