Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN PENELITIAN

AIR REBUSAN DAUN UBI JALAR DAN


TERAPI DEMAM BERDARAH DENGUE

Logo

WILLIAM HORAS

Olivia C Kaihatu, S.Ked


Allysa Desita Maghdalena Parinussa, S.Ked
Novy Triandani Limbong, S.Ked
Noviajun Dwiputri, S.Ked
Meryn Widjaya, S.Ked
Florensia Nani, S.Ked
Pembimbing :
dr. Sonny Kurniawan Yuliarso, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT ANAK
RS BHAKTI YUDHA
DEPOK - JUNI 2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan berkat-Nya
kami dapat menyelesaikan laporan penelitian ini dengan baik.
Adapun proposal penelitian ini berjudul Air Rebusan Daun Ubi Jalar dan Terapi
Demam Berdarah Dengue. Pada kesempatan ini laporan ini dibuat untuk menyimpulkan
penelitian dalam bidang Ilmu Penyakit Anak Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana di RS Bhakti Yudha.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr.
Sonny Kusuma Yuliarso, Sp.A sebagai dokter pembimbing penelitian Ilmu Penyakit Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana di RS Bhakti Yudha. Kami juga
ingin berterima kasih kepada semua pihak yang sudah membantuk terlaksananya
penelitian ini.
Penelitian ini kami sadari masih memiliki banyak kekurangan. Untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar penelitian berikutnya dapat dibuat
dengan lebih baik.
Harapan kami, laporan penelitian ini dapat diterima dan selanjutnya dapat
bermanfaat bagi yang berkepentingan untuk ilmu pengetahuan.

Jakarta, Juni 2016

Penulis

ABSTRAK
Pendahuluan. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) menyebabkan mordibitas dan
mortalitas di seluruh dunia, khususnya di daerah tropis dan subtropis, sehingga hal ini
menjadi perhatian utama bagi pemerintah dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengatasi penyakit DBD salah satunya adalah
dengan pemberian rebusan daun ubi jalar. Ubi jalar merupakan salah satu sumber
karbohidrat, ubi jalar mentah kaya akan karbohidrat kompleks, serat, dan beta-carotene
(provitamin A carotenoid), disamping itu juga mengandung mikronutrient lain, termasuk
vitamin B5, vitamin B6, dan mangan.
Objektif. Penelitian ini menganalisa efektivitas pemberian rebusan daun ubi jalar dalam
meningkatkan kadar trombosit pada pasien demam berdarah dengue di Ruangan Rawat
Inap Anak Catelya A RS Bhakti Yudha.
Metode. Penelitian termasuk jenis penelitian analitik observasional, dilakukan pada 40
pasien dengan kadar trombosit yang berbeda diantara bulan April 2015 sampai bulan Mei
2016. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling. Pasien diwawancara,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Analisis membandingkan hasil data
dengan tinjauan pustaka. Kepada semua calon peserta, hanya 20 pasien yang diberikan air
rebusan daun ubi jalar sedangkan 20 pasien tidak diberi air rebusan daun ubi jalar. Kedua
kelompok pasien ini tetap diberi terapi rumah sakit. Diberi air rebusan daun ubi jalar
kepada 20 pasien sebanyak 200 mL atau 1 gelas akua, masing-masing peserta diberi dua
kali sehari, jam 09:00 pagi dan 21:00 malam. Lalu kadar trombosit dipantau setiap hari.
Hasil. Ditemukan bahwa kenaikan kadar trombosit pada peserta yang mendapat air
rebusan daun ubi jalar tidak signifikan berbeda dengan peserta yang tidak mendapat air
rebusan daun ubi jalar, keduanya sama-sama meningkat dan tiap individu memiliki kadar
yang bervariasi, ada yang perlahan dan ada yang langsung naik drastis
Simpulan. Dari analisa penelitian didapatkan pemberian air rebusan daun ubi jalar tidak
ditemukan kenaikan kadar trombosit yang signifikan ataupun yang berarti pada pasien
Demam Berdarah Dengue.
Kata kunci: DBD, daun ubi jalar, trombosit.

ABSTRACT
Introduction. Dengue hemorrhagic fever (DHF) causes morbidity and mortality world
wide, especially intropical and subtropical regions, soitisa major concern for the
government and the World Health Organization( WHO). Various studies have been done
To overcome the dengue disease one of which is the provision water decoction of the
leaves of sweet potato. The sweet potato is one source of carbohydrates, raw sweet
potatoes are rich in carbohydrates complex, fiber, and beta-carotene (provitamin A
carotenoids), as it also contains another micronutrient, including vitamin B5, vitamin B6,
and manganese.
Objective. This study analyzes the effectiveness of decoction of the leaves of sweet potato
in increasing platelet levels in patients with dengue hemorrhagic fever in the room
Children's of Catelya A Yudha Bhaktis Hospital.
Methods. The study included observational analytic study, conducted on 40 patients with
platelet levels were different between the months of April 2015 to May 2016. Sampling
was conducted by consecutive sampling. Anamnesis patient, physical examination, and
investigations. Analysis of the data by comparing the results of the literature review. To
all potential participants, only 20 patients were given water boiled sweet potato leaves,
while 20 patients were not given water boiled sweet potato leaves. Both groups of
patients is still given hospital treatments. Given water boiled sweet potato leaves to 20
patients of 200 mL or a cup Aqua , each participant was given twice a day, at 09:00 am
and 21:00. Then platelet levels were monitored every day.
Results. It was found that the increase in platelet levels in participants who got the water
boiled sweet potato leaves was not significantly different from those who did not get the
water boiled sweet potato leaves, both are increasing and every individual has varying
levels, there is a slow and there is a direct rise dramatically.
Conclusion. From the analysis of research shows the provision of water decoction of the
leaves of sweet potato was found no significant increase in platelet levels or significant in
patients with Dengue Hemorrhagic Fever
Keywords: DHF, leaves of sweet potatoes, platelets.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit DBD adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri demam tinggi mendadak disertai manifestasi
perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan (shock) dan kematian. Sampai
sekarang penyakit DBD belum ditemukan obat maupun vaksinnya, sehingga satu-satunya
cara untuk mencegah terjadinya penyakit ini dengan memutuskan rantai penularan yaitu
dengan pengendalian vektor. Vektor utama penyakit DBD di Indonesia adalah nyamuk
Aedes aegypti. Tempat yang disukai sebagai tempat perindukannya adalah genangan air
yang terdapat dalam wadah (kontainer) tempat penampungan air artifisial misalnya drum,
bak mandi, gentong, ember, dan sebagainya; tempat penampungan air alamiah misalnya
lubang pohon, daun pisang, pelepah daun keladi, lubang batu; ataupun bukan tempat
penampungan air misalnya vas bunga, ban bekas, botol bekas, tempat minum burung dan
sebagainya. Disamping itu, pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat tentang
pencegahan penyakit DBD pada umumnya sangat kurang.
World Health Organization (WHO) mengestimasi 50 juta orang terinfeksi
penyakit demam berdarah setiap tahunnya. DBD mempunyai kecenderungan kasusnya
yang mudah meningkat dan meluas. Selain itu penyebaran DBD sulit dikendalikan dan
belum ada obatnya. Distribusi geografi secara potensial telah menyebabkan perluasan
tempat perkembangan vektor. Hal tersebut dipengaruhi oleh ledakan pertumbuhan
penduduk yang cepat dan pengaruh iklim. Saat ini diperkirakan terdapat 100 negara yang
berstatus endemi DBD dan 40% populasi dunia berisiko karena tinggal di wilayah tropis
(2,5 milyar orang). Dewasa ini, sekitar 2,5miliar orang atau 40% dari populasi dunia,
tinggal di daerah risiko penularan DBD. World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa terjadi 500.000 kasus DBD dan 22.000 kematian, dimana korban
terbanyak berasal dari kalangan anak-anak.(1) Berdasarkan data yang ada, Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Jumlah kasus DBD
meningkat di Asia Tenggara pada periode 1996-2006.(2)
5

DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, dengan
48 penderita dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini DBD telah tersebar di
seluruh provinsi di Indonesia. Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah
berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian sebanyak
41,3%.(3)
Data DBD di Indonesia menurut Litbang Depkes 5 tahun terakhir adalah tahun
2010 didapatkan Incidence Rate (IR) 65,67 dan Case Fatality Rate (CFR) 0,87% dengan
jumlah pasien 156.086 orang. Tahun 2011 IR 27,67 dan CFR 0,91% dengan jumlah
pasien 65.725 orang. Tahun 2012 IR 37,11 dan CFR 0,90 dengan jumlah pasien 90,245
orang. Tahun 2013 IR 45,85 dan CFR 0,77% dengan jumlah pasien 112,511 orang. Tahun
2014 IR 39,51 dan CFR 0,91% dengan jumlah pasien 99,499 orang.(4) Data dari
Kemenkes RI tahun 2011 Provinsi DKI Jakarta menempati urutan nomor 2 setelah Bali
dengan IR 47.75.(5)
Menurut data Suku Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tahun 2014,
Kecamatan Cilandak menempati urutan ke 5 dari 10 kecamatan yang ada di Provinsi DKI
Jakarta dengan jumlah kasus 418. Kelurahan Cipete Selatan menempati urutan ke 4
berdasarkan jumlah kasus DBD yang ditemukan, dengan jumlah kasus 37.(6) Kematian
yang diakibatkan oleh DBD pada tahun 2014 di Cipete Selatan adalah sebanyak 6 orang.
Dan angka kematian tahun 2015 sampai dengan bulan Maret sudah mencapai 7 orang.(7)
Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh
program pengendalian DBD di tingkat pusat dan didaerah yaitu manajemen lingkungan,
pengendalian biologis (predator dan bakteri), pengendalian kimiawi (insektisida),
partisipasi masyarakat, perlindungan individu (pemakaian kelambu, obat nyamuk, losion
anti nyamuk) dan peraturan perundangan.(8) Dengan adanya pengetahuan tentang
pengendalian vektor DBD ini, diharapkan masyarakat dapat mengaplikasikan
dikesehariannya.
Sampai saat ini masih belum ditemukan obat dan vaksin yang efektif untuk
penyakitDBD. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) merupakan cara pengendalian
vektor sebagaisalah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan
penyakit DBD. Kampanye PSN sudah digalakkan pemerintah dalam hal ini Departemen
Kesehatan dengansemboyan 3M, yakni menguras tempat penampungan air secara teratur,

menutup tempatpenampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi
sarang nyamuk.(9)
Pada fase kritis umumnya terjadi pada hari ke lima, dimana demam mulai turun
yang diikuti penurunan trombosit. Gejala seperti ini terkadang disinyalir sembuhnya
penyakit, padahal fase tersebut menjadi masa kritisnya penyakit DBD. Fungsi trombosit
inilah yang dipertahankan, karena apabila rendah dapat mengancam jiwa. Pendarahan
bisa terjadi secara internal seperti pada organ dalam, maupun eksternal seperti mimisan
dan ptekie.
B. Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan peningkatan kadar trombosit yang lebih signifikan pada
pasien anak dengan Demam berdarah dengue yang diberikan konsumsi air
rebusan daun ubi jalar?
2. Apakah ada hubungan waktu fase pemulihan yang lebih cepat pada pasien anak
dengan Demam berdarah dengue yang diberikan konsumsi air rebusan daun ubi
jalar di Rumah Sakit Bhakti Yudha?
3. Apakah ada perbedaan yang berarti pada perbaikan kondisi pasien anak dengan
Demam berdarah dengue yang mengkonsumsi air rebusan daun ubi jalar dengan
yang tidak mengkonsumsi di Rumah Sakit Bhakti Yudha?
C. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan Khusus
1. Apa saja kriteria tambahan untuk pemberian air rebusan daun ubi jalar selain
dari kriteria pada literatur?
2. Bagaimana perbaikan pasien pada pasien yang meminum air rebusan daun ubi
jalar.

D. Tujuan Penelitian
i.
Tujuan Umum
Untuk menilai pengaruh peningkatan kadar trombosit yang signifikan dan
perbaikan masa pemulihan pada pasien anak dengan Demam berdarah dengue
yang mengkonsumsi air rebusan daun ubi jalar di Rumah Sakit Bhakti Yudha

ii.

Tujuan Khusus
1. Menilai hubungan antara pengetahuan keluarga dengan angka kejadian
DBD di Rumah Sakit Bhakti Yudha.
2. Menilai hubungan antara sikap keluarga dengan angka kejadian DBD di
Rumah Sakit Bhakti Yudha.
3. Menilai hubungan antara praktik keluarga dengan angka kejadian DBD di

Rumah Sakit Bhakti Yudha


E. Manfaaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan hasilnya dapat berguna bagi masyarakat, bagi
institusi yaitu Rumah Sakit Bhakti Yudha, bagi peneliti serta bagi ilmu pengetahuan:
1. Bagi masyarakat
Untuk meningkatkan pemahaman serta kesadaran bagi masyarakat mengenai
pentingnya pengendalian vektor demam berdarah dengue.
2. Bagi Peneliti
Peneliti dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan
penelitian pada bidang yang diteliti serta bisa mengaplikasikan ilmu yang
telah diperoleh di bidang kesehatan masyarakat.
3. Bagi ilmu pengetahuan
Memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi angka
kejadian demam berdarah dengue, sehingga dapat didapatkan solusi yang
efektif dan efisien untuk menurunkan angka kejadian demam berdarah
dengue.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Virus Dengue
2.1.1 Definisi

Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai
syok (dengue shock syndrome/DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini
memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat
di RS sebagai puncak gunung.(11)
2.1.2 Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse
koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut
demikian karena demam yang terjadimenghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri
pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia
Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian.(12)
Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan
manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini
menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun
1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang
sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak
terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di
daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.(12)
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara
lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan
(virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.
Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan
Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi
peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di
Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate
meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 627 per 100,000 penduduk.(12)

Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes
akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak
berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai
awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan
April-Mei setiap tahun.(13)
2.1.3 Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm dan mengandung
RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3, dan DEN-4. Virus
dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya.
Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya seperti
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan epidemi yang ditimbulkannya
tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.(11,13)

10

Gambar 1 Profil Nyamuk Aedes jika dibandingkan dengan culex


2.1.4 Patogenesis
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan
plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan
hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam
dengue dan demam berdarah dengue.

11

Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas.Beberapa teori dan hipotesis yang
dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
1. Teori virulensi virus
2. Teori imunopatologi
3. Teori antigen antibodi
4. Teori infection enchancing antibody
5. Teori mediator
6. Teori endotoksi
7. Teori limfosit
8. Teori trombosit endotel
9. Trombosit apoptosis
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing
antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami.
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat
memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku
pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak
dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig
G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan
sel T memori berperan penting dalam patofisiologi DBD.(13)
2.1.4.1

Teori

enhancing
antibody/

the

immune
enhancement
theory
Teori

ini

dikembangkan
Halstead

tahun

1970an. Beliau mengajukan dasar imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-

12

neutralisasi heterotrpik selama perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan


peningkatan jumlah sel mononuklear yang terinfeksi virus dengue.
Berdasarkan data epidemiologi dan studi in vitro, teori ini saat ini dikenal sebagai
antibody dependent enhancement (ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis
DBD/DSS. Hipotesis ini juga mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder
dengan serotipe virus dengue heterolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan
DSS.
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan
masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
-

Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc

dan masuk dalam monosit


Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan

sumsum tulang (terjadi viremia).


Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai
sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen),
sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan
mengaktivasi faktor koagulasi.

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:


-

Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)


Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing
antibody).

Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang
mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat.
Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue
ditambahkan dalam monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel
terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi
mempermudah monosit terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.(14,15,16)

13

Hipotesis
ADE ini telah
mengalami
beberapa
modifikasi yang
mencakup
respon

imun

meliputi limfosit
T dan kaskade
sitokin. Rothman dan Ennis menjelaskan bahwa kebocoran plasma (plasma leakage) pada
infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek sinergistik dari IFN-, TNF- dan protein
kompleman teraktivasi pada sel endotelial di seluruh tubuh.
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus
membentuk kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc
monosit (makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen
MHC memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-)
yang mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada
reseptor Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga
faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet, produksi sitokin (TNF, IL-1,IL6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.(16)

2.1.5
Perjalanan
Penyakit
Virus dengue
menyebabkan
infeksi
simtomatik
maupun yang

14

simtomatik. Bentuk infeksi yang simtomatik memiliki spektrum klinis yang luas, baik
yang parah atau tidak parah. Setelah periode inkubasi, progresivitas penyakit akan mulai
dengan mendadak, diikuti dengan tiga fase berikut demam (febrile), kritis, dan
penyembuhan (recovery).
Meskipun perkembangan penyakit ini sangat kompleks dalam hal manifestasi klinisnya, penatalaksanaannya relatif sederhana, tidak mahal, dan sangat berguna dalam
penyelamatan hidup, selama intervensi yang dilakukan cepat dan tepat. Kunci menuju
prognosis yang baik ialah pemahaman dan waspada akan masalah klinis yang muncul
selama fase yang berbeda. Manajemen yang baik pada lini pertama pelayanan kesehatan
diharapkan dapat menurunkan angka lama rawat inap di rumah sakit rujukan, serta dapat
menyelamatkan hidup pasien dengan infeksi virus dengue.(11,13)
Berikut merupakan fase infeksi virus dengue:
1. Fase febris
Secara khas, individu akan mengalami demam tinggi yang mendadak selama 2 7
hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri pada
badan yang sifatnya umum, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbita, fotofobia,
eksantem yang mirip dengan rubella, serta nyeri kepala. Beberapa pasien
menunjukkan manifestasi berupa nyeri tenggorok, kemerahan pada faring, injeksi
konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah lazim dijumpai. Sulit untuk
membedakan secara klinis penyakit dengue dengan non-dengue saat-saat awal
demam, namun hasil tes torniquet yang positif lebih mengindikasikan ke arah
dengue. Bagaimana pun juga manifestasi klinis yang ditunjukkan tidak
menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Maka dari itu sangat penting untuk
mengawasi tanda-tanda bahaya dan parameter klinis yang lain dalam rangka
memahami proses ke arah fase kritis.(11,13)
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa dapat dijumpai. Memar dan perdarahan yang mudah terjadi (spontan)
pada lokasi injeksi vena juga ditemui pada beberapa kasus. Perdarahan
gastrointestinal juga terjadi pada fase ini meskipun tidak lazim. Hepar dapat
membesar dan kenyal setelah beberapa hari demam. Prediksi yang tepat pada
pemeriksaan hitung darah lengkap yaitu menurunnya kadar leukosit darah yang
progresif. Selain itu, pasien akan menunjukkan kehilangan kemampuan untuk
15

beraktivitas sehari-hari, seperti masuk sekolah, belajar, bermain, maupun


berinteraksi sosial.(11,13)
2. Fase Kritis
Selama transisi dari fase febris ke fase yang non-febris, pasien tanpa adanya
peningkatan permeabiltas kapiler akan membaik tanpa mengalami fase kritis ini.
Jika tidak, disertai dengan demam tinggi, pasien dengan peningkatan
permeabilitas kapiler, dapat memunculkan manifestasi dengan tanda bahaya,
kebanyakan merupakan akibat dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda bahaya (warning signs) merupakan pertanda mulainya fase
kritis. Keadaan umum menjadi lebih buruk dengan teperatur turun menjadi 37.5
38 C atau kurang dan tetap dibawah, biasanya terjadi pada hari 3 8. Leukopenia
progresif diikuti dengan penurunan trombosit biasanya mendahului kebocoran
plasma.
Peningkatan hematokrit diatas nilai normal dapat menjadi tanda tambahan.
Periode kebocoran plasma secara klinis biasanya terjadi dalam 24 48 jam.
Tingkat kebocoran sangat bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului
perubahan pada tekanan darah dan volume nadi.(11,13)
Derajat hemokonsentrasi diatas normal ini mencerminkan keparahan akan
kebocoran plasma; bagaimana pun hal ini dapat diturunkan dengan terapi cairan
intravena secara dini. Efusi pleura dan asites biasanya secara klinis dapat
dideteksi seteah terapi cairan intravena, kecuali pada kebocoran plasma yang
berat. Foto toraks posisi lateral dekubitus atau USG yang memperlihatkan air
fluid level pada toraks dan abdomen, maupun edema pada dinding vesika fellea
dapat menjadi deteksi dini. Disamping kebocoran plasma, manifestasi perdarahan
seperti mudah memar, dan hematom pada daerah injeksi juga sering terjadi.
Jika syok terjadi akibat volume kritis plasma ikut hilang lewat kebocoran,
maka sering didahului dengan tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi subnormal
ketika syok terjadi. Jika terjadi syok berkepanjangan (prolonged shock),
hipoperfusi akan mengakibatkan asidosis metabolik, kegagalan fungsi organ, dan
DIC (disseminated Intravascular Coagulation). Hal ini kemudian akan
menyebabkan perdarahan berat, yang mengakibatkan hematokrit turun (pada syok
yang berat). Leukosit dapat meningkat sebagai tanda stres adanya perdarahan
berat.

16

Tanda bahaya. Tanda bahaya mendahului manifestasi syok dan muncul


setelah fase demam, biasanya pada hari 3 7. Muntah persisten dan nyeri perut
berat adalah indikasi dini dari kebocoran plasma dan terus memburuk ketika
memasuki keadaan syok. Pasien akan menjadi letargi, lemah, pusing, dan
mengalami hipotensi postural selama keadaan syok. Perdarahan spontan pada
membran mukosa atau pada daerah suntikan menjadi gejala yang penting. Hepar
yang membesar dan kenyal biasanya dijumpai. Bagaimanapun akumulasi cairan
dapat dideteksi jika kehilangan plasma signifikan atau setelah penanganan dengan
cairan intravena. Penurunan yang cepat dan progresif pada hitung trombosit
hingga 100.000 sel/mm kubik dan peningkatan hematokrit diatas normal mungkin
menjadi tanda paling awal dari kebocoran plasma. Hal ini biasanya mendahului
kejadian leukopenia (5000 sel/mm kubik).
3. Fase Penyembuhan
Ketika pasien bertahan hidup 24 48 jam pada fase kritis, reabsorpsi lambat dari
cairan pada ruang ekstravaskuler terjadi pada 48 72 jam berikutnya. Keadaan
umum membaik, nafsu makan meningkat, status hemodinamik dan diuresis
menjadi stabil. Beberapa pasen dapat memiliki ruam yang disebut Pulau Putih
diatas Laut Merah. Beberapa pasien juga akan mengalami pruritus.
Hitung hematokrit akan normal atau rendah karena efek dilusional dari
cairan yang tereabsorpsi. Sel darah putih biasanya mulai meningkat. Hitung
trombosit biasanya secara khas lebih akhir daripada sel darah putih. Distres
respirasi dari efusi pleura masif dan asites akan terjadi kapan pun jika terapi
intravena diberikan secara berlebihan. Selama fase kritis dan atau penyembuhan,
terapi cairan yang berlebihan berhubungan dengan edema pulmonal atau gagal
jantung kongestif.(11,13)
Masalah klinis yang bervariasi selama fase-fase yang berbeda dapat
disimpulkan ke dalam tabel berikut.
Tabel 1 Fase Infeksi Dengue
1

Fase febris

Dehidrasi; demam tiggi dapat menyebabkan gangguan


neurologis dan kejang demam pada anak-anak yang

Fase kritis

lebih muda
Syok karena kebocoran plasma; perdarahan yang berat;

17

Fase penyembuhan

kegagalan fungsi organ


Hipervolemia (hanya jika pemberian terapi IV
berlebihan)

Gambar 2 Perjalanan penyakit Dengue


4. Severe Dengue
Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1) kebocoran plasma
yang mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau akumulasi cairan, dengan atau
tanpa distres respirasi, dan atau 2) perdarahan berat, dan atau 3) gangguan organ
berat.

18

Selama

tahap

awal

dari

syok,

mekanisme

kompensasi

yang

mempertahankan tekanan darah sistolik normal juga menyebabkan takikardia dan


vasokonstriksi perifer disertai perfusi kulit yang menurun, yang ditandai sebagai
akral dingin dan CRT yang menurun. Uniknya, tekanan diastolik meningkat
terhadap tekanan sistolik dan tekanan nadi menyempit oleh karena adanya
peningkatan resistensi perifer. Syok hipotensif yang berkepanjangan (prolonged)
dan hipoksia dapat megakibatkan kegagalan multi-organ.
Seorang pasien dianggap memiliki syok jika tekanan nadi (selisih antara
tekanan sistolik dengan diastolik) 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki
tanda dari perfusi kapiler yang parah (akral dingin, CRT yang menurun, atau
frekuensi nadi yang

meningkat).

Hipotensi berhubungan dengan syok

berkepanjangan yang sering berkomplikasi pada perdarahan besar.


Pasien dengan severe dengue dapat memiliki abnormalitas fungsi
koagulasi, namun hal ini kurang efisien dalam menyebabkan perdarahan besar.
Ketika perdarahan besar terjadi, hampir selalu berhubungan dengan syok berat,
dengan kombinasi trombositopenia, hipoksia, dan asidosis, menyebabkan
kegagalan organ multipel dan DIC lanjut. Perdarahan masif dapat terjadi tanpa
harus syok berkepanjangan pada pemberian aspirin (asam asetilsalisilat),
ibuprofen, atau kortikosteroid.
Severe Dengue sebaiknya dipertimbangkan jika pasien dari daerah yang
beresiko infeksi dengue, memperlihatkan demam 2 7 hari ditambah berapapun
dari tanda-tanda dibawah ini:
- Ada bukti kebocoran plasma (plasma leakage), seperti nilai hematokrit
yang tinggi atau secaraprogresif meningkat, asites atau efusi pleura, syok
atau gangguan sirkulasi (takikardia, akral dingin , CRT lebih dari 3 detik,
denyut nadi lemah atau tak terukur, tekanan nadi menyempit, atau pada
syok lanjut, tekanan darah yang tak terukur).
- Ada perdarahan yang bermakna
- Ada perubahan kesadaran (letargi atau restlessness, koma, konvulsi)
- Keterlibatan sistem gastrointestinal (muntah persisten, nyeri perut
bertambah hebat, ikterik)
- Adanya gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati atau ensefalitis, atau manifestasi lainnya yang tak lazim,
kardiomiopati)
19

2.1.6 Manifestasi Klinis


Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yang dianut Depkes, yaitu:
1. Silent dengue atau undifferentiated fever
2. Demam dengue, mencerminkan fase febris, dimana terjadi demam akut selama 2
7 hari dengan dua atau lebih manifestasi: nyeri kepala, nyeri retro-orbita,
mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia. Trias demam dengue
meliputi demam tinggi, nyeri anggota badan, dan ruam kulit. Demam biasanya
mencapai 39 40C, dan demam bersifat bifasik yang berlangsung 5 7 hari,
tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua
pasien sehingga tidak dijadikan tanda patognomonik. Ruam kulit ditandai dengan
kemerahan dan ercak merah yang menyebar pada wajah, leher, dan dada selama
separuh pertama periode demam dan kemungkinan makulopapular atau
menyerupai demam skarlatina yang muncul pada hari ke-3 atau ke-4. Ruam
timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke -3 5) dan
berlangsung selama 3 4 hari. Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala
klinis lainnya yaitu fotofobia, berkeringat, batuk, epistaksis, dan disuria. Kelenjar
limfe servikal dilaporkan membesar pada 67 77% kasus atau dikenal sebagai
Castelanis sign yang bersifat patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain
dapat menyertai. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit
biasanya normal saat awal demam kemudian leukopenia hingga akhir periode
demam; hitung trombosit masih normal, demikian komponen faktor pembekuan.
Ada beberapa kejadian biasanya sudah terjadi trombositopenia; serum biokimia
(enzim) biasanya normal.
3. Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) ditandai oleh 4
manifestasi berikut; 1) demam tinggi, 2) perdarahan terutama pada kulit, 3)
hepatomegali 4) kegagalan sirkulasi. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji
torniket positif, memar dan perdarahan pada tempat injeksi vena. Petekie halus
tersebar di anggota gerak, muka, aksila pada masa-masa awal demam. Epistaksis
dan perdarahan membran mukosa, misalnya gusi, jarang terjadi, sedangkan
perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi kecuali jika renjatan tidak
dapat diatasi. Hati biasanya teraba pada awal fase demam, bervariasi mulai dari
teraba 2 4 cm dibawa arkus costae kanan. Pembesaran hepar tidak berhubungan
20

dengan parahnya penyakit tapi sering ditemukan pada kasus-kasus syok. Nyeri
tekan pada daerah hepar terasa tetapi biasanya tidak memunculkan ikterik. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang
hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis utama yang
menentukan tingkat keparahan DBD dengan DD ialah gangguan hemostasis dan
kebocoran plasma (trombositopenia dan peningkatan kadar hematokrit). Tabel
berikut ini memaparan gejala klinis demam dengue dan DBD.
Tabel 2 Gejala Klinis demam dengue dan DBD
4. Sind
rom
a

Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome), menggambarkan fase kritis dengue,


yaitu manifestasi klinis akibat kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan frekuensi
nadi yang cepat tapi isi lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg), hipotensi,
akral dingin dan lembab, serta letargi.

21

Gambar 2 Kelainan Utama pada DBD. Gambaran Skematis Kebocoran Plasma

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam pelayanan klinis.
Metode diagnosis laboratoris untuk menentukan infeksi virus dengue meliputi deteksi
adanya virus, asam nukleat virus, antigen dan antibodi, atau kombinasi dari ketiga teknik
ini. Setelah onset penyakit, virus dapat dideteksi di dalam serum, plasma, dan sel-sel
darah yang berirkulasi, serta pada jaringan lain, selama 4 5 hari. Selama tahap pertama
dari penyakit, isolasi virus, asam nukleat atau deteksi antigen dapat digunakan untuk
mendiagnosis infeksi. Di akhir fase akut infeksi, serologi adaah metode pilihan untuk
diagnosis.(11,13)
Respon antibodi terhadap infeksi berbeda-beda tergantung dari status imun
pejamu. Ketika infeksi dengue terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi
22

sebelumnya dengan flavivirus atau terimunisasi dengan vaksin flavivirus, tubuh pasien
akan mengalami respon antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan lambat dari
antibodi spesifik. IgM merupakan isotipe imunogloulin pertama yang muncul. Antibodi
ini terdteksi 50% pada hari 3 -5 setelah onset, meningkat 80% pada hari ke-5 dan 99%
pada hari ke-10 (Gambar 3). Kadar IgM memuncak kira-kira 2 minggu setelah onset
gejala dan umumnya menurun hingga tak terdeteksi pada 2 -3 bulan. IgG umunya dapat
dideteksi pada kadar rendah di akhir minggu pertama sakit, kemudian meningkat
perlahan, dapat tetap berada di serum beberapa bulan, bahkan mungkin seumur hidup.
(11,13,17)

Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah
terinfeksi sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau infeksi
flavivirus non-dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi secara luas
terhadap berbagai macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang dominan ialah IgG yang
terdeteksi pada kadar yang tinggi, bahkan pada fase akut, dan bertahan hingga 10 bulan
bahkan seumur hidup. Pada tahap penyembuhan dini, kadar IgM secara signifikan lebih
rendah pada infeksi sekunder dan mungkin tak terdeteksi di beberapa kasus. Untuk
membedakan infeksi primer atau sekunder dengue, rasio IgM/IgG sekarang digunakan
secara umum daripada uji hemoaglutinin-inhibisi (uji HI).(11,13,17)

23

Gambar 3. Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik
yang digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi
Secara umum, pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas membutuhkan
teknologi kompleks dan ahli pada bidannya, sementara uji cepat (rapid test) dapat kurang
senstif mauun spesifik demi kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam nukleat lebih rumit
dan mahal , namun lebih spesifik daripada deteksi antibodi menggunakan metode
serologi.(17)
Infeksi dengue menghasilkan spekrum gejala yang luas, banyak diantaranya
adalah tidak spesifik. Maka dari itu, diagnosis berdasarkan gejala klinis tak dapat
dipercaya. Sebelum hari-5 sakit selama periode demam, infeksi dengue dapat didiagnosis
oleh isolasi virus pada kultur sel, oleh deteksi RNA virus, oleh nucleic acid amplification
test (NAAT), atau oleh deteksi antigen virus menggunakan ELISA atau rapid test. Isolasi
virus dengan kultur sel membutuhkan infrastruktur lengkap dan waktu yang lama. NAAT
selalu dapat mendeteksi RNA virus dalam 24 48 jam, namun uji ini tetap membutuhkan
peralatan dan reagen yang mahal, prosedur yang berkualitas, dan pekerja yang ahli.
Peralatan untuk mendeteksi antigen NS-1 kini tersedia dan dapat digunakan di
laboratorium dengan peralatan yang terbatas dan mengeluarkan hasil laboratoris dalam
24

beberapa jam. Deteksi antigen dengue cepat (rapid) dapat juga dilakukan di lapangan
dengan hasil kurang dari satu jam. Saat ini, metode ini kurang spesifik, mahal dan sedang
dalam tahap evaluasi mengenai biaya dan keakuratannya. Tabel berikut ini
memperlihatkan kesimpulan sifat dari metode diagnostik untuk infeksi dengue.(17)
Tabel 3. Kesimpulan Sifat dan Perbandingan Biaya Metode Diagnostik

Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan
dengan munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada
beberapa pasien selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue lebih
banyak tersedia di negara-negara endemis, daripada uji virologi. Transportasi spesimen
bukanlah masalah karena imunoglobulin stabil pada suhu tropis.(17)
Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi
virus atau deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan
membandingkan sampel yang dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang
dikumpul saat berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian. Kadar yang rendah
25

terhadap respon IgM yang terdeteksi atau sama sekali tidak ada pada beberapa infeksi
sekunder, menurukan keakuratan uji IgM ELISA. Peningkatan empat kali lipat atau lebih
kadar antibodi yang diukur oleh IgG ELISA atau dari uji HI mengindikasikan infeksi
flavivirus akut. Bagaimana pun, menunggu serum saat penyembuhan atau saat pasien
dipulangkan sangat tidak berguna untuk diagnosis dan penatalaksanaan.(17)
Tabel 4. Keuntungan dan Keterbatasan Metode Diagnostik Infeksi Dengue

1. Isolasi virus. Spesimen dikumpulkan hanya pada saat sedang terjadi infeksi, selaa
periode viremia (sebelum hari-5). Virus dapat dijumpai di serum, plasma, dan selsel mononuklear perifer, atau jaringan (hepar, paru, kelenjar getah bening, timus,
dan sumsum tulang). Karena dengue merupakan heat-labile, pengiriman sampel

26

harus dengan referigerator atau di dalam es. Kultur sel merupakan metode yang
luas dipakai untuk mengisolasi virus.
2. Deteksi Asam Nukleat. RNAbersifat heat-labile, maka untuk penyimpanannya
harus di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptase-polymerase Chain
Reaction) lebih sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80 100%. Positif palsu dapat
terjadi jika kontaminasi saat proses amplifikasi.
3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum fase akut
jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah memiliki antibodi IgGvirus sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA dan dot blot assays yang fokus
pada antigen bagian membran atau envelop (E/M) dan protein non-struktural -1
(NS-1) menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi antigen-antigen ini dalam
pembentukan kompleks imun dapat terdeteksi pada pasien dengan infeksi primer
maupun sekunder dengue hingga sembilan hari setelah onset sakit. Glikoprotein
NS-1 dihasilkan oleh flavivirus dan disekresikan dari sel-sel mamalia. NS1
menghasilkan respon imun humoral yang kuat. Banyak penelitian yang telah
fokus menggunakan deteksi NS1 untuk diagnosis dini infeksi virus dengue.
4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-linked immunosorbent
assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh antibodi spesifik anti rantai-u
yang dilapisi diatas mikroplate. Antigen spesifik dengue (DEN-1 hingga 4) terikat
dengan IgM anti-dengue yang terperangkap tadi. Kemudian, terdeteksi oleh
antibodi dengue monoklonal atau poliklonal yang terkonjugasi dengan suatu
enzim yang akan mengubah substat tak berwarna menjadi produk berwarna, yang
diukur melalui spektrometer. Serum, darah, dan saliva dapat dijadikan sampel
yang diambil 5 hari atau lebih setelah onset demam. MAC-ELISA memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang baik namun hanya jika digunakan saat lebih atau
sama dengan 5 hari setelah onset demam. Banyak penelitian yang menerangkan
bahwa ELISA pada umumnya lebih baik performanya daripada rapid test. Positif
palsu dapat terjadi di serum pada pasien dengan malaria, leptospirosis, dan pasca
infeksi dengue.
IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau
sekarang. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau

27

plasma dan sampel darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi primer
atau sekunder.
Uji HI didasarkan atas kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan
(aglutinasi) sel darah merah. Antibodi anti-dengue di dalam serum dapat
menghambat terjadinya aglutinasi dan potensi inhibisi ini dapat diukur lewat uji
HI. Sampel seru diberikan aseton atau kaolin untuk menghilangkan inhibitor nonspesifik, dan kemudian di-adsorpsi dengan sel darah merah golongan 0 untuk
menghilangkan aglutinin yang tidak spesifik. Secara optimal, uji HI
membutuhkan serum yang diambil saat masuk RS (akut) an keluar rumah sakit
(sudah sembuh), atau dengan serum yang berbeda selama lebih atau sama dengan
tujuh hari. Respon terhadap infeksi primer ditandai oleh kadar rendah antibodi
pada serum fase akut (sebelum hari-5) dan peningkatan yang lambat dari titer
antibodi HI kemudian. Selama infeksi dengue sekunder, antibodi HI meningkat
secara cepat, biasanya melebihi 1 : 1280. Nilai yang lebih rendah dari ini
umumnya diobservasi pada serum pada masa penyembuhan dari pasien dengan
respon primer.
5. Pemeriksaan Hematologi. Hitung trombosit dan hematokrit lazim diukur selama
fase akut infeksi dengue. Rendahnya kadar trombosit dalam darah dibawah
100.000 per uL per hari dapat dijumpai pada demam dengue, namun hal ini
merupakan

tanda

yang

tetap

pada

demam

berdarah

dengue

(DBD).

Trombositopenia biasanya dijumpai pada periode antara hari-3 dan 8 menjelang


onset sakit.
Hemokonsentrasi, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit >20%
yang dibandingkan dengan masa penyembuhan, merupakan tanda hipovolemia
karena peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma.(11,13,17)

2.1.8 Kriteria Diagnosis


kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi dengue
yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah
kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi.
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda
laboratoris, yaitu trombositopenia dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium
28

tersebut harus ada) dan dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan serologi. Kriteria diagnosis
DBD berdasarkan WHO tahun 1997 ialah:
Kriteria Klinis : demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas terus menerus
selama

2-7 hari, terdapat manifestasi perdarahan termasuk tes torniket positif, petekie,

ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, serta melena; pembesaran hati, dan
nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi. Kriteria laboratoris: trombositopenia
(100.000/ul atau kurang), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%).
Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah:
- Derajat I : demam diikuti gejala aspesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniket positif atau mudah memar
- Derajat II : gejala yang ada pada derajat I + perdarahan spontan. Perdarahan
dapat terjadi di kulit atau pada tempat lain.
- Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat tapi
lemah, tekanan nadi menurun atau hipotensi, suhu tubuh subnormal, kulit
lembab, dan gelisah
- Derajat IV: syok berat dengan nadi dan tekanan darah tak terukur.(18)
2.1.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat perdarahan.
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa.
Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat
yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta
bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat
untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk
mengurangi angka kematian.
Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu
masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para
dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok) dengan baik.19
29

2.1.9.1 Demam dengue


Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkanTirah baring, selama masih demam.

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.


Untuk menurunkan suhu menjadi < 39C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat meyebabkan

gastritis, perdarahan, atau asidosis.


Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,

disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.


Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.

Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat
terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita
sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas
saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat
tanda awal kegagalan sirkulasi (syok).
Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh
karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar
hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi,
apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan,
sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit.19

2.1.9.2 Demam Berdarah Dengue


Ketentuan Umum
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD danpenyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dangangguan
hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak,
diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan
tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu

30

turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan
sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma,
yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai
terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau
kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum
peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20%
atau lebih mencermikan perembesan plasma danmerupakan indikasi untuk pemberian
caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume
plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada asus
dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus danpenurunan jumlah trombosit <
50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah
sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A.(16,17,19)
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simptomatik dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila
cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadangkadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi
lama demam pada 7BD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di
sederhanakan seperti tertera pada Tabel 5.
Rasa haus dankeadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis,
sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100
ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan
disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama demam.(11,13,19)

31

Tabel 5. Dosis Parasetamol menurut Umur

Pasien
harus

diawasi

ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi,
yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar
hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan
hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman
kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai
perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali
sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun
tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah
penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus
diberikan dengan bijaksana danberhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3
jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital,
kadar hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,
seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan,
apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada
pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi
dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%.
Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus

32

perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis
cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang
diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan
rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 6 dibawah ini.(11,13,19)
Tabel 6. Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang

Pemilihan
jenis

danvolume

cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat badan pasien serta derajat
kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk,
kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama.
Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.
Tabel 7. Kebutuhan Cairan Rumatan

Misalnya
untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20) =1900 ml.
Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma tidak
konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume
cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan plasma, yang dapat
diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan
danterus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.(11,13)
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat
itucairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dandistres pernafasan. Pasien
harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah,
letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan nadi
menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar
hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan
intravena.Jenis Cairan (rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut:
Kristaloid.
33

Larutan ringer laktat (RL)


Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang
mengandung dekstran) (17)
Koloid.

Dekstran 40
Plasma
Albumin

2.1.9.3 Dengue Shock Syndrome


Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama
yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syok dansembuh kembali bila diobatisegera dalam 48 jam. Pada penderita
Sindrom Syok Dengue dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera
berikan cairan kristaloid sebanyak 20ml/kg BB/jam selama 15 menit, bila syok teratasi
turunkan menjadi 10 ml/kg BB.
Penggantian Volume Plasma Segera. Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer
laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak
dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam,
bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila
syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg
BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid
(dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam.
Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal
pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah
pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar

34

hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi
darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume
kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan
klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar
hematokrit.18
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam
dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48
jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak
dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan
indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan
lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang
berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan
penurunan kadar hematokrit

setelah pemberian cairan rumatan), maka akan

menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan


hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan,
tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup,
tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit. Hiponatremia danasidosis metabolik
sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus
selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu
terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat
KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen.

35

Transfusi Darah.Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada


setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).
Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila
disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa
perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda
adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan
karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit.
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan
perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan
masif sehingga dapat menimbulkan kematian.
Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin,
dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis.
Monitoring. Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring
adalah

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit

atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.


Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien

stabil.
setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah

mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume

intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1
ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda
overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap
36

harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok
belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.
(10,12,18,19)

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD


Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat
di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang
perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa
kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam.
Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD.
Paramedis dapat didantu oleh orang tua pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang
diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta
mencatatjumlahnya.(15)
Kriteria Memulangkan Pasien

Tampak perbaikan secara klinis


Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
Hematokrit stabil
Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
Tiga hari setelah syok teratasi
Nafsu makan membaik

2.2 Ubi Jalar


Ubi jalar atau kumara (Ipomoea batatas) merupakan tumbuhan dikotil yang
termasuk dalam famili Convolvulaceae. Ubi jalar merupakan salah satu sumber
karbohidrat, ubi jalar mentah kaya akan karbohidrat kompleks, serat, dan beta-carotene
(provitamin A carotenoid), disamping itu juga mengandung mikronutrient lain, termasuk
vitamin B5, vitamin B6, dan mangan.20-1

37

Gambar 1. Daun ubi jalar

38

Tabel 7. Kandungan dalam Ubi Jalar22


Komponen
(dalam
Air (g)
Energi (kJ)
100gr)
Jumlah

77

Komponen
Selenium
(dalam
(g)
100gr)
Jumlah

0.6

Komponen
(dalam
Iron (mg)
100gr)
Jumlah

0.61

Komponen
Vitamin A
(dalam
(IU)
100gr)
Jumlah

14187

360
Vitamin C (mg)

Protein
(g)

Lemak (g)

Karbohidrat
(g)

Serat (g)

Gula (g)

Calcium (mg)

1.6

0.05

20

4.18

30

Thiamin Riboflavin
(B1) (mg) (B2) (mg)

Niacin (B3)
(mg)

Pantothenic
Folate Total (B9)
acid (B5) Vitamin B6 (mg)
(g)
(mg)

2.4

0.08

0.06

0.56

0.8

0.21

11

Magnesium (mg)

Fosfor
(mg)

Potassium
(mg)

Sodium (mg)

Zinc (mg)

Copper (mg)

Manganese (mg)

25

47

337

55

0.3

0.15

0.26

Vitamin E, alphatochopherol (mg)


0.26

Vitamin
BetaK1 (g) carotene (g)
1.8

8509

Lutein +
zeaxanthin
(g)
0

Saturated Monounsaturate
fatty acid (g) d fatty acid (g)
0.02

Polyunsaturated
fatty acids (g)
0.01

39

2.2.1. Penggunaan Sebagai Obat Tradisional


Ubi jalar digunakan untuk pengobatan terhadap tumor pada mulut dan tenggorokan.
Rebusan daun dapat digunakan sebagai pembangkit gairah sexual (aphrodisiac),
astringent, pelembab, laxative, energizer, bactericide dan anti jamur. Ubi jalar juga
dilaporkan baik untuk mengobati asma, gigitan serangga, luka bakar, katarak,
penyembuhan setelah sakit, diare, demam, mual, splenosis, nyeri perut, tumor dan
whitlows (infeksi pada ujung jari). Ada laporan yang mengatakan Ipomoea batatas pada
dengue, dapat membatu meningkatkan jumlah trombosit. Pada wilayah Kagawa, Jepang,
ada varietas ubi jalar yang dimakan mentah untuk mengobati anemia, hipertensi dan
diabetes.23

40

Tabel 8. Efek Farmakologis dalam Ubi Jalar (Ipomoea batata)24-5

41

42

2.3 Kerangka Teori

2. 4 Kerangka Konsep

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.

Metode Penilitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik observasional.
43

3.2.

Tempat dan Waktu


Penelitian ini dilakukan di Ruangan Rawat Inap Anak Catelya A RS Bhakti Yudha
antara bulan April 2015 sampai bulan Mei 2016.

3.3.

Populasi dan Sampel


Populasi target adalah semua pasien anak dengan diagnosis demam berdarah
dengue yang dirawat di RS Bhakti Yudha.
Subjek penelitian adalah mereka yang termasuk ke dalam populasi terjangkau dan
memenuhi kriteria penelitian yaitu pasien demam berdarah dengue yang
memenuhi kriteria inklusi.
Metode pengambilan sampel adalah dengan cara non-probability sampling yaitu
consecutive sampling.

3.4.

Besar Sampel
Sampel diambil dari sebanyak mungkin pasien yang terjangkau dan memenuhi
kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi.

3.5.

Pengumpulan Data
Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari dokumendokumen, catatan-catatan, arsip resmi, serta literatur lainnya yang relevan dalam
melengkapi penelitian.

3.6.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Kriteria inklusi :
1. Pasien bersedia ikut penelitian
2. Pasien yang kooperatif dalam melakukan penelitian
3. Pasien dengan diagnosis klinis Demam Berdarah Dengue
4. Pasien Demam Berdarah Dengue dengan demam yang kurang dari 7 hari
5. Pasien Demam Berdarah Dengue yang tidak mendapat transfusi trombosit
6. Pasien Demam Berdarah Dengue yang tidak mengalami perdarahan masif
yang spontan
Kriteria eksklusi :
1. Pasien yang menolak ikut penelitian
2. Pasien yang tidak kooperatif
3. Pasien yang bukan penderita Demam Berdarah Dengue
4. Pasien Demam Berdarah Dengue yang demam lebih dari 7 hari
5. Pasien Demam Berdarah Dengue yang menerima transfusi trombosit
6. Pasien Demam Berdarah Dengue yang mengalami perdarahan masif spontan

6.6.

Alur Penelitian
Pasien anak dengan diagnosis klinis Demam Berdarah Dengue yang
dirawat di air
Bangsal
Anak
Catelya
A RS
Bhakti 200
Yudha
Pemberian
rebusan
daun
ubi jalar
sebanyak
mL
kepada pasien 2 kali sehari pada jam 09:00 dan 21:00
Inform konsen penelitian secara lisan kepada anak dan keluarga (orang
tua/wali)

44

Follow up hasil trombosit saat masuk


Follow up hasil trombosit setiap hari selama dirawat
Follow up hasil trombosit saat dipulangkan

3.8.

Cara Kerja

Semua pasien anak dengan Demam Berdarah Dengue di data.


Dimintakan persetujuan dari Orang Tua atau Wali yang menemani pasien
Dilakukan Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada pasien
Diperiksa laboratorium : Darah Rutin atau Darah Lengkap
Dilihat bagaimana peningkatan kadar trombosit yang terjadi setiap harinya
selama dirawat

10. Analisis data


Analisis dilakukan dengan cara memaparkan hasil penelitian dalam bentuk tabel dan
lampiran gambar untuk dibandingkan dengan literatur yang ada. Literatur
menggunakan berbagai macam sumber baik dari jurnal maupun dari buku ajar.
11. Masalah etika

45

Akan dimintakan kaji etik dari Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian FK UKRIDA.
Penelitian ini diawali dengan memberi penjelasan kepada pasien yang menjadi subjek
penelitian. Data rekam medik yang dipergunakan dijaga kerahasiaannya

BAB IV
HASIL

Telah dilakukan penyaringan untuk memilih peserta yang dapat dimasukan dalam
penelitian. Dalam proses penyaringan ditemukan calon peserta sejumlah 40 orang dengan
jumlah laki-laki 57,5% dan perempuan 42,5%. Semua peserta diperiksa sesuai dengan data
yang diperlukan untuk menyaring pasien. Data yang diperiksa yaitu pemeriksaan fisik dan
laboratorium darah rutin atau lengkap milik peserta. Semua peserta yang masuk dalam proses
penyaringan sudah memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan dan dibedakan dari kriteria
eksklusi. Data para peserta terlampir pada Tabel 1.
Tabel 1. Daftar peserta yang ikut penelitian dan kadar trombosit saat hari pertama dirawat

46

Nama
Peserta

JK/USI
A

Trombosit
hari pertama
dirawat

Nama
Peserta

JK/USI
A

Trombosit
hari
pertama
dirawat

47

An. AF
An. AM
An. AH
An. ANF
An. FG
An. FP
An. LN
An. M. I
An. M. RA
An. M. ZA
An. MI
An. PA
An. RM
An. RR
An. RF
An. SP
An. VR
An. NZ
An. CR
An. SZ

L/6th
P/1th
P/8th
P/6th
P/1th
L/15th
P/12th
L/14th
L/8th
L/12th
L/15th
P/12
L/6th
L/13th
L/4th
P/9th
L/3th
P/6th
L/9th
L/10th

99.000
163.000
146.000
24.000
70.000
61.000
190.000
95.000
121.000
78.000
129.000
69.000
205.000
13.000
100.000
100.000
97.000
131.000
74.000
51.000

An. M. AR
An. M. DA
An. RT
An. DS
An. DS
An. FH
An. IF
An. KS
An. LS
An. MS
An. M. HF
An. M. NR
An. RD
An. RA
An. SP
An. M. S
An. SK
An. SM
An. WF
An. M.F

L/11th
L/11th
L/14th
L/12th
P/13th
P/6th
P/9th
P/7th
P/6th
P/5th
L/13th
L/9th
P/3th
L/11th
P/6th
L/11th
P/8th
P/11th
L/13th
L/2th

70.000
115.000
71.000
80.000
91.000
128.000
99.000
90.000
128.000
56.000
81.000
29.000
148.000
236.000
90.000
58.000
120.000
124.000
100.000
88.000

Kepada semua calon peserta, hanya 20 orang yang diberikan air rebusan daun ubi
jalar. Kepada 20 orang tersebut dilakukan pemeriksaan lebih lengkap dan pemberian air
rebusan daun ubi jalar sebanyak 200 mL atau 1 gelas akua, masing-masing peserta diberi dua
kali sehari, jam 09:00 pagi dan 21:00 malam. Lalu kadar trombosit dipantau setiap hari. Hasil
kenaikan jumlah trombosit masing-masing peserta yang mendapat air rebusan daun ubi jalar
dan yang tidak mendapat air rebusan daun ubi jalar dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Kadar Trombosit peserta yang mendapat air rebusan daun ubi jalar
Nama Pasien
An. AF
An. AM
An. AH
An. ANF
An. FG
An. FP
An. LN
An. M. I
An. M. RA
An. M. ZA
An. MI
An. PA

Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 4
Hari 5
Hari 6
99.000
72.000 100.000
166.00
163.000 138.000 140.000
0
146.000
52.000
31.000 50.000 98.000
24.000
15.000
50.000 86.000
70.000
75.000
45.000 54.000
61.000
34.000
54.000
190.000
75.000
31.000 54.000 60.000
95.000
68.000
34.000 56.000
121.000
38.000
25.000 32.000
78.000
50.000
64.000
129.000
65.000
32.000 45.000 59.000
69.000
16.000
20.000 21.000 51.000 147.000
48

An. RM
An. RR
An. RF
An. SP

205.000
13.000
100.000
100.000

75.000
23.000
91.000
90.000

224.000
34.000
104.000
83.000

An. ViR
An. NZ
An. CR
An. SZ

97.000
131.000
74.000
51.000

94.000
78.000
50.000
34.000

131.000
64.000
47.000
67.000

79.000
62.000
158.00
0
66.000
85.000
75.000

60.000

Tabel 3. Kadar Trombosit peserta yang tidak mendapat air rebusan daun ubi jalar
Nama Pasien
An. M. AR
An. M. DA
An. RTP
An. DS
An. DS
An. FH
An. IF
An. KS
An. LS
An. MS
An. M. HF
An. M. NR
An. RD
An. RAP
An. SP
An. M. S
An. SK
An. SM
An. WF
An. M. F

Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 4 Hari 5 Hari 6
70.000
58.000
31.000 35.000 45.000
115.000
90.000
46.000 45.000 80.000
71.000
37.000
43.000 36.000 66.000
80.000
82.000
93.000
91.000
90.000
93.000 99.000
128.000 145.000 205.000
99.000
42.000
36.000 29.000 32.000 91.000
122.00
90.000
36.000
32.000 38.000 67.000
0
128.000 116.000 120.000
56.000
51.000
62.000 90.000
81.000
67.000
44.000 51.000 75.000
103.00
29.000
56.000
56.000
0
148.000 142.000 120.000
113.000
76.000
38.000 54.000 59.000 93.000
90.000
38.000
40.000 60.000
58.000
45.000
20.000 40.000
120.000 152.000
90.000 69.000 66.000 89.000
124.000 103.000
156.00
100.000
42.000
49.000 49.000 78.000
0
135.00
88.000
77.000
74.000
0

Pada semua peserta rata-rata didapatkan kenaikan trombosit dimulai hari perawatan
kedua atau demam hari ke lima dan atau lebih. Kadar kenaikan jumlah trombosit nya
bervariasi, ada yang signifikan drastis meningkat, ada pula yang perlahan-lahan, jadi kami
membuat kriteria tambahan yaitu : pada pasien yang menerima air rebusan daun ubi jalar dan
meminum nya dua kali sehari masing-masing 200mL, kenaikan kadar trombosit yang lebih
besar sama dengan 20.000 mg/dL baru dianggap air rebusan daun ubi jalar berpengaruh pada

49

kenaikan kadar trombosit peserta. Data yang sudah terkumpul kemudian di analisa dan
didapatkan hasil sebagai berikut :
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Ubi *
Kenaikan_Trombosit_A
ngka

Missing

Percent
40

100.0%

Total

Percent
0

.0%

Percent
40

100.0%

Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases

Asymp. Sig. (2sided)

df

33.333a

34

.500

46.088

34

.081

.003

.954

40

a. 70 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,
50.

Frekuensi Peserta
Frequency
Valid

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Tidak diberi ubi

20

50.0

50.0

50.0

diberi ubi

20

50.0

50.0

100.0

Total

40

100.0

100.0

50

Kenaikan_Trombosit
Frequency
Valid

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Turun atau kenaikan 0 20000

16

40.0

40.0

40.0

Kenaikan diatas 20000

24

60.0

60.0

100.0

Total

40

100.0

100.0

Berdasarkan analisis data diatas, ditemukan bahwa kenaikan kadar trombosit pada
peserta yang mendapat air rebusan daun ubi jalar tidak signifikan berbeda dengan peserta
yang tidak mendapat air rebusan daun ubi jalar, keduanya sama-sama meningkat dan tiap
individu memiliki kadar yang bervariasi, ada yang perlahan dan ada yang langsung naik
drastis. Jadi kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pemberian air rebusan
daun ubi jalar kepada pasien demam berdarah dengue tidak mempengaruhi kenaikan kadar
trombosit secara signifikan.
51

BAB V
PEMBAHASAN
Setelah melakukan pengamatan pada peserta yang masuk dalam kriteria inklusi dapat
dibandingan antara yang meminum rebusan air ubi jalar dan yang tidak maka didapatkan hasil
bahwa kenaikan kadar trombosit pada peserta yang mendapat air rebusan daun ubi jalar tidak
signifikan berbeda dengan peserta yang tidak mendapat air rebusan daun ubi jalar, keduanya
sama-sama meningkat dan tiap individu memiliki kadar yang bervariasi, ada yang perlahan
dan ada yang langsung naik drastis.
Hasil dari penelitian ini juga secara tidak langsung menyimpulkan bahwa factor
sugesti dari peserta yang mendapat air rebusan ubi jalar berpengaruh besar dalam pola pikir
masyarakat selama ini bahwa air rebusan ubi jalar dapat meningkatkan trombosit pada pasien
dengan demam berdarah dengue. Yang dapat dipikirkan juga naiknya trombosit pada pasien
yang mengkonsumsi air rebusan ubi jalar mungkin disebabkan factor lewatnya fase kritis
dalam perjalanan penyakit demam berdarah dengue, dimana pada hari ke 6 dan seterusnya
trombosit akan naik dengan sendirinya.
Jadi kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pemberian air rebusan
daun ubi jalar kepada pasien demam berdarah dengue tidak mempengaruhi kenaikan kadar
trombosit yang bermakna.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

52

Pasien yang menderita Demam Berdarah Dengue di RS Bhakti Yudha yang sudah
disetujui oleh penyelenggara studi, berjumlah 40 orang dengan kadar trombosit yang berbeda.
Penyaringan subjek selain berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, ada pertimbangan lain
yang masuk sebagai kriteria eksklusi karena keterbatasan fasilitas. Seperti yang sudah
dijabarkan dalam tinjauan pustaka diatas, rebusan daun ubi jalar diketahui dapat digunakan
sebagai obat untuk beberapa penyakit dan

Ipomoea batatas juga diinformasikan

pada

dengue, dapat membatu meningkatkan jumlah trombosit Dari analisa penelitian didapatkan
kondisi yang tidak sesuai dengan literatur tersebut, bahwa tidak ada pengaruh dari air rebusan
ubi jalar pada pasien Demam Berdarah Dengue di RS Bhakti Yudha. Dikarenakan dari analisa
yang telah dilakukan pada 40 orang, tidak ditemukan kenaikan kadar trombosit yang
signifikan ataupun yang berarti. Sehingga pada penelitian ini, menyimpulkan bahwa rebusan
daun ubi jalar, tidak mempengaruhi kadar trombosit pada pasien Demam Berdarah Dengue.

Saran
Dengan adanya data ini diharapkan ke depannya agar kita dapat menerapkan terapi
lebih bijak. Dimana apabila air rebusan daun ubi diberikan ataupun tidak, tidak
mempengaruhi dalam kenaikan kadar trombosit pasien Demam Berdarah Dengue. Atau
mungkin dengan data penelitian ini, kelompok selanjutnya dapat melakukan penelitian
terhadap tanaman obat lainnya yang belum diketahui efektivitas dari tumbuhan herbal tersebut
dalam kasus yang sama, yaitu meningkatkan kadar trombosit pada pasien Demam Berdarah
Dengue.

DAFTAR PUSTAKA
1. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue. Atlanta: Centers for Disease Control and
Preventation.

Available

from:

http://www.cdc.gov/dengue/

epidemiology/index.html.

Accessed by April 10th 2015.


2. World Health Organization. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Fact Sheets WHO.
Available from: http:// www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/. Accessed by April
10th 2015.
53

3. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue.
Jakarta: Depkes RI.
4. Departemen Kesehatan RI. Perkembangan Kasus Demam Berdarah di Indonesia. Available
from http://www.depkes.go.id. Accessed by April 10th 2015.
5. Notoatmodjo S. 1997.Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
6. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB
Saunders.2004.h.1092-4
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Surabaya :
Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS,
penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi pertama.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro SRS,
Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap,
Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit
Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55
11. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent
enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002;
54(3):h.171-79
12. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Current
Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63-65
13. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines. New Delhi :
WHO.1999
14. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam Dengue/Demam
Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak &
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.2004.h. 80-135
54

15. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin Dunia
Kedokteran 2000; 126 : 5-13
16. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1
Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.
17. Suroso T. Dkk. Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Terjemahan
dariWHO Regional SEARO No. 29 Prevention Control of Dengue and Dengue
Haemoragic Fever. WHO dan Depkes. RI. Jakarta, 2000.
18. Notoatmodjo S. 2010 Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta
19. Ali Z. 2006. Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC
20. Duke JA. Ipomoea Batatas. Handbook of Energy Crops. Dinduh dari:
https://hort.purdue.edu/newcrop/duke_energy/Ipomoea_batatas.html.
21. Classification and Phylogeny of I. batatas. Diunduh dari:
http://bioweb.uwlax.edu/bio203/2011/keesler_cole/classification.htm
22. Nutrient data laboratory". United States Department of Agriculture. Retrieved June 2014.
23. Ludvik B, Waldhausl W, Prager R, Kautzky -Willer A, Pacini G. Mode of action of Ipomoea
batata (caipo) in type 2 diabetic patients. Metab. 2003; 52: 875-880.
http://dx.doi.org/10.1016/S0026-0495(03)00073-8
24. Anbuselvi S, Balamurgan T. Phytochemical and antinutrient constituents of cassava and
sweet potato. World J. Pharm. Pharm. Sci. 2014; 3: 1440-49.
25. Anbuselvi S, Muthumani S. Phytochemical and antinutrient constituents of cassva and
sweet potato. World J. Pharm. Pharm Sci. 2014; 6: 380-383

55

Anda mungkin juga menyukai