Sindrom Nefrotik
Sindrom Nefrotik
[SINDROM NEFROTIK]
Pembimbing :
dr. Alfian Nurbi, Sp. PD
Penyusun :
Ume Nur Salme bt. M. Azhar
030.06.351
1
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
REFERAT
SINDROM NEFROTIK
Pada tanggal,
December 2010
(dr. Alfian
Alfian Nurbi,
Nurbi, Sp. PD
PD.)
2
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas
Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat Sindrom Nefrotik.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Alfian Nurbi, Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta
kepada dokter-dokter pembimbing lain di bagian Penyakit Dalam RS Otorita Batam.
Tujuan dari pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan
pembacanya, juga ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam.
Penulis sangat berharap bahwa referat ini dapat menambah wawasan mengenai hipertensi
dan gagal jantung. Dan diharapkan, bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan
mengenai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran
yang membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini
dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.
DAFTAR ISI
3
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
BAB I Pendahuluan 5
BAB II. Anatomi dan fisiologi ginjal .6
BAB III Sindrom Nefrotik
III.1 Definisi .. 12
III.2Etiologi ... 12
III.3 Klasifikasi ..13
III.4 Patologi anatomi 16
III.5Patofisiologi 18
III.6 Gejala .19
III.7 Diagnosis 19
III. 8 Penatalaksanaan . 20
III.8 Komplikasi . 23
III.9 prognosis ..25
BAB IV Kesimpulan . 26
Daftar Pustaka 27
BAB I
PENDAHULUAN
4
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia
(kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan
etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan
primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit
tertentu.
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal
ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio
neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang
mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T (4). Kelainan histopatologi pada SN
primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal
segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif.
Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obatobatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit
herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis,
obesitas massif. Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).
Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi
ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat
perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi
kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan
penatalaksanaan SN.[3]
BAB II
ANATOMI
5
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk
homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan
dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri
dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain
itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (bulibuli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.[7,12]
Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masingmasing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan
terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri karena disebabkan adanya
hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra
T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub
bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka)
sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut
dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
Syntopi ginjal
[7,12]
Anterior
Ginjal kiri
Dinding dorsal gaster
Pankreas
Limpa
Vasa lienalis
Usus halus
Fleksura lienalis
Ginjal kanan
Lobus kanan hati
Duodenum pars descendens
Fleksura hepatica
Usus halus
Posterior
6
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
Medula: terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung
Henle dan tubulus pengumpul (ductus collectivus).
Hilus renalis: suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus
memasuki/meninggalkan ginjal.
Papilla renalis: bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.
Pelvis renalis: disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix
major dan ureter.
Gambar 1.1
Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu
glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle dan tubulus
kontortus distal yang bermuara pada tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut
terdapat pembuluh darah kapiler,yaitu arteriol yang membawa darah dari dan menuju glomerulus
8
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal). Berdasarkan letakya nefron dapat
dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks
yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada
medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi
medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluhpembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta. [6]
Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan percabangan dari
aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki
ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobarisa. arcuata
a.interlobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen
superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal
melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan
n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan
simpatis melalui n.vagus.[6,12]
Fisiologi ginjal[5,6,12]
Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara mengatur
keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam basa darah,
pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan memproduksi hormon yaitu :
a. Prostaglandin yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta mempengaruhi tekanan
vaskuler.
b. Eritropoietin yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah.
c. 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari usus dan
reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis.
d. Renin yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan vaskuler dan
produksi aldosteron.(Underwood J.C.E, 1999).
9
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi
cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang
pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang
dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker
aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi
penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.
BAB III
SINDROM NEFROTIK
Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang
ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m 3 disertai hipoalbuminemia, edema
anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. [1,2,3]
Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%)
dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih
banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 23 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik
sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. [3]
Etiologi [11]
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik seperti berikut:
11
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
GN membranosa (GNMN)
GN membranoproliferatif (GNMP)
GN proliferatif lain
B. GN sekunder akibat:
i. infeksi: - HIV, hepatitis virus B dan C
- sifilis, malaria, skistosoma
- tbc, lepra
ii. keganasan: - adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgki, mieloma
multiple, dan karsinoma ginjal
iii. penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid
iv. efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid, captopril
v. lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah
GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok
GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa
(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering
ditemukan.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca
infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat mislnya obat NSAID atau preperat
emas, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.
Klasifikasi [4,8,10,11]
Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok:
I.
12
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah
edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah
satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil.
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
II.
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah,
racun oak, air raksa.
III.
Kelainan minimal
Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel
berpadu (mikroskop elektron)
Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding
kapiler glomerolus
Lebih banyak terdapat pada anak
Prognosis baik
b.
Nefropati membranosa
Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel
Prognosis kurang baik
c.
Glomerulonefritis proliferatif
Eksudatif difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus.
13
Prognosis buruk
14
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
o Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat terlihat baik
dengan mikroskop cahaya maupun elektron.
15
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
Patofisiologi
[3,4,8,10,11]
Gambar 1.3
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif
tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar
kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma
ke ruang interstitial.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler.
Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan
tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya
mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon)
16
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan
kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.
Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan
penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang
disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema
terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat
menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah
sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan
mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan
suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu. [11]
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase.
Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian
infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua
kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar
kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama
pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very
low density lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid
dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya
katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik
17
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya
aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati
untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang
terjadi pada SN. [3]
Gambaran laboratorium
Darah
[2,3,11]
Urin
komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol
edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid,
metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan
mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg BB/hari
dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin
converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor
antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif
dalam menurunkan proteinuria.
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian
antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan
keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol
keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin
dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL. [11]
Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam
urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB
ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.
Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari
Medikamentosa: [3,8,11]
Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga kadar
albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali tekanan
osmotik plasma.
Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam,
sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton,
20
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau
butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi
seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler berat. Perlu
diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah,
apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta
muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.[3,4]
Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien yang
tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan dengan
kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 - 3
mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat
tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal
(terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan produksi
sel sumsum tulang. [1,2,3]
Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic syndrome secara acak
mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12 minggu masing masing dalam
kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua kelompok dalam usia, onset
neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah pasien yang relap pada saat
masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap selama 5 tahun pada pasien yang
mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa dengan yang mendapat terapi 12
minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan cyclophosphamide tidak perlu
21
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2 mg/kg/hari pada anak anak dalam
kombinasi dengan steroid pada minimal change nephotic syndrome. [1]
menimbulkan
aktivasi
trombosit
lewat
tromboksan
A2,
paparan
matriks
subendotel
pada
kapiler
glomerolus
yang
selanjutnya
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap
pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang
menurun akibat proteinuria.
6. Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kumankuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.
7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral
Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG)
dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya
berkaitan dengan beratnya proteinuria.
Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan
kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien
sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya
proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih
besar daripada pemasukan.
Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam
GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit
tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan. [3,7]
4. Jika terjadi gagal ginjal, hal ini membutuhkan proses dialisis, atau cangkok ginjal.
5. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi inflamasi infeksi kulit. Prednison dosis
penuh : 60 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80
mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas
permukaan badan/hari atau 2/3 dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam
seminngu atau selang sehari selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tapering off. Bila
relaps, berikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi, kemudian
dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila relaps sering atau resisten steroid, lakukan
biopsi ginjal.
6. 1,25mg kalsiferol sehari (50.000 unit) untuk atasi hipokalsemia, tapi masih dalam tahap
percobaan.
Prognosis Sindrom Nefrotik
[3,4,8,11]
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun
proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat
infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan
kortikosteroid.
Kelainan minimal (minimal lesion):
Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa,
bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.
Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa)
Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia dalam
waktu 10-20 tahun.
Glomerulosklerosis fokal segmental
Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik.
24
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
Prognosis buruk
Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada
sindrom nefrotik.
BAB IV
KESIMPULAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh
proteinuri masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas yang
disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai
penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman pengobatan
rasional sebagian besar pasien SN.
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit
penyebab, menghilangkan atau mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta
mencegah dan mengatasi penyulit.
25
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
DAFTAR PUSTAKA
1.
4.
Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17, 2010. [cited Dec
05, 2010]. Available: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
5. Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran., edisi
Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2001
6. Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia: Elsevier saunders.
1996
7. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001
26
[REFERAT] Sindroma Nefrotik
8. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2010 Dec, 20]
9. Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb NJ.A,
Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3 rd ED. Great Britain: Oxford
Universsity Press., 197-22
10. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrisons Manual Of Medicine. 17 th
ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806
11.
4th
ed. Jakarta:
27
[REFERAT] Sindroma Nefrotik