Anda di halaman 1dari 11

A.

Komponen Saliva
Saliva adalah suatu cairan rongga mulut yang kompleks dan terdiri
atas campuran sekresi kelenjar ludah mayor dan minor yang ada pada mukosa
rongga mulut. Saliva yang terbentuk dalam rongga mulut, kurang lebih 90%
dihasilkan oleh kelenjar submandibularis dan parotis, 5% oleh kelenjar
sublingual, dan 5% lainnya dihasilkan oleh kelenjar ludah minor.
Saliva adalah cairan eksokrin yang terdiri dari 99% air, berbagai
elektrolit yaitu sodium, potasium, kalsium, kloride, magnesium, bikarbonat,
fosfat, dan terdiri dari protein yang berperan sebagai enzim, immunoglobulin,
antimikroba, glikoprotein mukosa, albumin, polipeptida dan oligopeptida
yang berperan dalam kesehatan rongga mulut. Saliva merupakan cairan yang
sangat penting di rongga mulut yang dihasilkan oleh kelenjar saliva mayor
dan minor. Saliva memiliki peranan menegakkan diagnosa dalam bidang
Kedokteran Gigi, Fisiologi, Internal Medicine, Endocrinology, Pediatrics,
Immunology, Clinical Pathology, Forensic Medicine, Psycology dan Sport
Medicine. (Ganong, W.F. 2008).
Setiap hari, kelenjar saliva manusia menghasilkan 600 mL serosa dan
mucin saliva yang mengandung mineral, elektrolit, buffer, enzim dan inhibitor
enzim, faktor pertumbuhan dan sitokin, imunoglobulin, mucin, dan
glikoprotein lainnya. Setelah melewati duktus dan masuk ke dalam rongga
mulut, saliva akan bercampur dengan sel-sel darah, mikroorganisme (virus,
bakteri dan jamur) dan produk-produknya, sel-sel epitel rongga mulut dan
produk sel, sisa makanan, serta sekresi saluran pernapasan atas (Lawrence,
2002)
Komponen-komponen saliva, yang dalam keadaan larut disekresi oleh
kelenjar saliva, dapat dibedakan atas komponen organik dan anorganik.
Namun demikian, kadar tersebut masih terhitung rendah dibandingkan dengan
serum karena pada saliva bahan utamanya adalah air yaitu sekitar 99.5%.
Komponen anorganik saliva antara lain : Sodium, Kalsium, Kalium,
Magnesium, Bikarbonat, Khlorida, Rodanida dan Thiocynate (CNS), Fosfat,
Potassium dan Nitrat. Sedangkan komponen organik pada saliva meliputi

protein yang berupa enzim amilase, maltase, serum albumin, asam urat,
kretinin, musin, vitamin C, beberapa asam amino, lisosim, laktat, dan
beberapa hormon seperti testosteron dan kortisol.
1) Komponen Anorganik
Dari kation-kation, Sodium (Na+)

dan

Kalium

(K+)

mempunyai konsentrasi tertinggi dalam saliva. Disebabkan


perubahan di dalam muara pembuangan, Na+ menjadi jauh lebih
rendah di dalam cairan mulut daripada di dalam serum dan K+
jauh lebih tinggi. Ion Khlorida merupakan unsur penting untuk
aktifitas enzimatik -amilase. Kadar Kalsium dan Fosfat dalam
saliva sangat penting untuk remineralisasi email dan berperan
penting pada pembentukan karang gigi dan plak bakteri. Kadar
Fluorida di dalam saliva sedikit dipengaruhi oleh konsentrasi
fluorida dalam air minum dan makanan. Rodanida dan Thiosianat
(CNS-) adalah penting sebagai agen antibakterial yang bekerja
dengan sisitem laktoperosidase. Bikarbonat adalah ion bufer
terpenting dalam saliva yang menghasilkan 85% dari kapasitas
buffer (Kidd, 1991)
2) Komponen Organik
Komponen organik dalam saliva yang utama adalah protein.
Protein yang secara kuantitatif penting adalah -Amilase, protein
kaya prolin, musin dan imunoglobulin. Berikut adalah fungsi
protein-protein dalam saliva (Kidd, 1991):
a. -Amilase mengubah tepung kanji dan glikogen menjadi
kesatuan karbohidrat yang kecil. Juga karena pengaruh Amilase, polisakarida mudah dicernakan.
b. Lisozim mampu membunuh bakteri tertentu sehingga berperan
dalam sistem penolakan bakterial.
c. Kalikren dapat merusak sebagian protein tertentu, di antaranya
faktor

pembekuan darah XII, dan dengan demikian berguna

bagi proses pembekuan darah.

d. Laktoperosidase mengkatalisis oksidasi CNS (thiosianat)


menjadi
e.

OSCN

(hypothio)

yang

mampu

menghambat

pertukaran zat bakteri dan pertumbuhannya.


Protein kaya prolin membentuk suatu kelas protein dengan
berbagai fungsi penting: membentuk bagian utama pelikel

muda pada email gigi.


f. Mucin membuat saliva menjadi pekat sehingga tidak mengalir
seperti air disebabkan musin mempunyai selubung air dan
terdapat pada semua permukaan mulut maka dapat melindungi
jaringan mulut terhadap kekeringan. Musin juga untuk
membentuk makanan menjadi bolus.
g. Gustin ialah komponen gustin dalam saliva memiliki pernanan
dalam proses pengecapan, karena gustin tersebut mampu untuk
memaksimalkan fungsi dari kuncup kecap.
h. Immunoglobulin terlibat pada sistem penolakan fisik dan agen
antibakteri. Immunoglobulin terdiri dari sebagian besar IgA
sekretorik (SIgA) dan sebagian kecil IgM dan IgG. Aktivitas
antibakteri SIgA yang terdapat dalam mukosa mulut bersifat
mukus dan bersifat melekat dengan kuat, sehingga antigen
dalam bentuk bakteri dan virus akan melekat erat dalam
mukosa mulut yang kemudian dilumpuhkan oleh SIgA. Bakteri
mulut yang diselubungi oleh SIgA lebih mudah difagositosis
oleh leukosit.

B. Faktor yang Mempengaruhi Komposisi Saliva


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi saliva, yaitu:
1. Diet

Makanan yang memerlukan pengunyahan dan juga mempunyai rasa


yang cukup tinggi, menyebabkan peningkatan aliran saliva dan
perubahan pada komposisi saliva. Secara sistemik, kandungan makanan
dari diet mempengaruhi kompisisi saliva karena adanya perubahan
konsentrasi komponen plasma.
2. Aliran Saliva
Jika laju aliran saliva meningkat, akan menyebabkan konsentrasi
sodium, kalsium, klorida, bikarbonat dan protein meningkat, tetapi
konsentrasi fosfat, magnesium dan urea akan menurun. Dengan
meningkatkannya komponen bikarbonat saliva, maka hasil metabolik
bakteri dan zat-zat toksik bakteri akan larut dan tertelan sehingga
keseimbangan lingkungan rongga mulut tetap terjaga dan frekuensi karies
gigi akan menurun (Gopinath, 2006).
3. Tipe Glandula
Masing-masing glandula mempunyai jumlah maupun kandungan yang
berbeda. Misalnya sekresi glandula parotis, 50% dari total saliva yang
distimulasi, jika tidak distimulasi 33%. Saliva yang dihasilkan galndula
parotid bersifat serous sedangkan saliva yang dihasilkan glandula
sublingual dan submandibula bersifat mucous sehingga komposisi dari
saliva yang dihasilkan juga berbeda.
4. pH dan Sistem Buffer Saliva
pH dan kapasitas buffer saliva memiliki hubungan yang signifikan.
Hubungan ini dapat terlihat dari adanya hubungan secara statistik antara
kapasitas buffer saliva yang tinggi pada saliva yang tidak distimulasi dan
tingkat karies rendah. Kapasitas buffer saliva merupakan faktor primer
yang penting pada saliva untuk mempertahankan derajat keasaman saliva
berada dalam interval normal sehingga keseimbangan (homeostatis)
mulut terjaga. Sistem buffer yang memberi kontribusi utama (85%) pada
kapasitas total buffer saliva adalah sistem bikarbonat dan 15% oleh

fosfat, protein dan urea. Apabila laju aliran saliva meningkat, maka pH
dan kapasitas uffernya juga akan meningkat, dan volume saliva juga
akan bertambah sehingga risiko terjadinya karies makin rendah (Rhai,
2008).
C. Penyakit Sistemik yang Mempengaruhi fungsi dan komposisi saliva
Ada berbagai penyakit yang dapat mempengaruhi fungsi dan komposisi
saliva, penyakit sistemik tersebut diantaranya :
1. Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Merupakan kelainan pada
kuantitas saliva, pasien SLE dapat ditemukan pada saat
pemeriksaan kadar imunoglobulin (Ig) dalam saliva. Pada
pasien SLE dapat terlihat adanya peningkatan konsentrasi
Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi Ig G biasanya dalam
batas normal. Hal ini dapat terjadi karena Ig A dan Ig M
disintetis secara local dan disekresikan ke dalam saliva,
sedangkan Ig G diinfiltrasi oleh plasma. Kejadian ini
ditemukan pada 30% pasien lupus. Peningkatan Ig A dan
Ig M pada saliva dapat disebabkan oleh penurunan
kuantitas saliva.
2. Kanker. Kemoterapi

dan Radioterapi yang digunakan dalam

pengobatan kanker dapat mengakibatkan xerostomia dan disfungsi


kelenjar saliva.
3. HIV/AIDS. Xerostomia dapat muncul pada HIV/AIDS, Selain itu
HIV/AIDS juga sering menyebabkan pembengkakan pada glandula
salivarius major.
4. Hepatitis C. Dapat menyebabkan sialodenitis atau inflamasi pada
glandula saliva.
5. Diabetes Mellitus (DM). DM dapat mengakibatkan pembesaran
glandula salivarius dan mulut kering.
6. Kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi.
antihipertensi mengakibatkan mulut kering.

Pemakaian

obat

7. Malnutrisi. Kekurangan kalori dan protein dapat mempengaruhi


berkurangnya volume saliva, pH rendah dan waktu alir saliva yang
rendah (Amerogen, 1991).
D. Salivari Biomarkers
Biormarker saliva ini telah seringkali dieksplorasi untuk memonitoring
kesehatan dan diagnosis dini suatu penyakit Saliva telah dipelajari secara
ekstensif dalam hubungannya dengan penyakit periodontal karena sangat
mudah dikumpulkan dan memungkinkan analisis pada beberapa penanda
lokal atau sistemik seperti protein, enzim, sel host, hormon, produksi
bakteri, komponen volatile dan ion.
Biomarker pada periodontitis agresif dan kronis terjadi peningkatan
IgG,IgA,dan IgM dibandingkan pada periodontal sehat. CRP, C3 dan
-2M lebih tinggi pada periodontitis agresif dibandingkan periodontitis
kronis dan periodontal sehat. Alkali fosfatase meningkat pada periodontitis
agresif dan periodontitis kronis. Interleukin (IL) 1, MMP-8, Prostaglandin
E2 meningkat pada periodontitis kronis dan agresif. Esterase dan laktoferin
meningkat pada periodontitis dan lisozim yang menurun pada periodontitis.
Musin akan menurun pada periodontitis agresif. Histatin meningkat pada
periodontitis kronis dan agresif. Peroksidase meningkat pada periodontitis
kronis (Kaufman dan Lamster, 2002).
Saliva dapat diajukan untuk digunakan sebagai de-teksi dini resiko
PPOK pada penderita perio-dontitis. PPOK penyakit paru obstruksi kronik
adalah salah satu penyakit pernafasan yang dapat menyebabkan kematian
dan ditemukan secara luas di masyarakat. PPOK merupakan penyakit paru
kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif non reversibel atau reversibel parsial. Penyakit paru
obstruktif kronis terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya. Salah satu faktor yang berperan pada resiko penyakit PPOK
penyakit periodontitis (Rose dkk., 2000). Saliva pada individu penderita

periodontitis dengan resiko PPOK ditemukan adanya peningkatan jumlah


bakteri P. gingivalis, level enzim sialidase dan konsentrasi IL-8. Maka
dilakukan pengujian bakteri P. gingivalis melalui uji disk diffusion, level
enzim sialidase melalui uji ELISA serta konsentrasi IL-8 melalui uji
sandwich immunoassay dalam saliva. Masih diperlukan penelitian lebih
lanjut mengenai penggunaan deteksi dini resiko PPOK pada penderita
periodontitis menggunakan saliva sehingga metode ini dapat diterapkan
dan diaplikasikan (Saputri dkk, 2010).
Bagi kedokteran gigi dalam bidang penyakit mulut, kegunaan saliva
sebagai diagnostic marker sangat berguna untuk mendiagnosa penyakit
pada kelenjar saliva (sialadenitis), xerostomia dan kanker mulut. untuk
mendiagnosa penyakit periodontal dan resiko terjadinya karies (Ferguson,
1987) .
1. Diagnosa obat-obatan
Pemeriksaan saliva dapat mengetahui obat apa saja yang sedang
dikonsumsi atau digunakan oleh pasien. Selain itu indikator kebiasaan
merokok pada perokok aktif atau pasif dapat diketahui dengan
dijumpainya tiosianat di dalam saliva (Puy, 2006).
2. Diagnosa penyakit yang menular
Kegunaan saliva sebagai aplikasi diagnostik sangat berguna
dalam mendiagnosa penyakit yang menular. Human immunodeficiency
virus (HIV), virus hepatisis B (HBV) dan virus hepatisis C (HCV)
adalah beberapa penyakit yang dapat dideteksi melalui saliva. Selain
itu dapat digunakan untuk mendiagnosa adanya infeksi dari bakteri
Helicobacter pylori yang berperan sebagai patogen terjadinya peptic
ulcer dan faktor resiko penyebab karsinoma dan limfoma (Wong,
2008).
3. Diagnosa sistem endokrin

Saliva dapat digunakan untuk memeriksa kadar hormon steroid


seperti kortisol, progesteron dan testoteron. Pemeriksaan ini sangat
berguna untuk mengevaluasi tingkah laku dan keadaan emosi yang
berkaitan dengann aktivitas seksual pada remaja laki-laki. Selain itu
juga digunakan untuk meneliti keadaan kesehatan dan perkembangan
anak-anak (Ferguson, 1987)

DAFTAR PUSTAKA
Amerogen, A.V.N., 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah, Edisi 1, UGM,
Yogyakarta.
Ferguson, D. B., 1987, Current diagnostic Uses of Saliva, J dent Res
1987:420-424
Ganong, W.F, 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC ,Jakarta
Gopinath, V.K., Azreanne A.R., 2006, Saliva as a Diagnostic Tool for
Assessment of Dental Caries, Archives of Orofacial Science, 1:
57-59.
Kaufman E. Lamster IB. Analysis of Saliva for periodontal diagnosis. A
review.J Clin Periodontal. 2000;27:453-465.
Kidd,

Edwina.,

dkk,

1991,

Dasar-Dasar

Karies

Penyakit

dan

Penanggulannya, EGC, Jakarta: 1-17.


Lawrence HP. Salivary markers of systemic disease: Noninvasif diagnosis of
disease and monitoring of general health. J Can Dent Assoc,
2002; 68(3): 170-4.
Puy.C.L., 2006, The Role of Saliva in Maintaining Oral health and As Aid to
Diagnosis. Med Oral patol Oral Cir Bucal;11:E449-55.
Rai, B., et all, 2008, Saliva as a Diagnostic Tool in Medical Science, a Review
Study, 2(1): 9-12.
Rose LF, Genco RJ, Cohen DW, Mealey BL. Periodontal medicine. London:
B.C. Decker; 2000.
Saputri, T., Zala, H., Arnanda, B., Ardhani, R., 2010, Saliva as an Early
Detection Tool for Chronic Obstructive Pulmonary Disease Risk

in Patients with Periodontitis, Journal of Dentistry Indonesia,


Vol. 17, No. 3, 87-92
Wong, D. T., 2008, Salivary Diagnostic, NIH Public: 100

BLOK STOMATOGNATIC SYSTEM


SELF LEARNING REPORT
MINI QUIZ DISCUSSION
Saliva

Dosen Pembimbing :

Disusun Oleh:
Dewanti Intan Pamungkasari
G1G014027

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2016

Anda mungkin juga menyukai