Anda di halaman 1dari 41

Bagian Radiologi

Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin

Referat
Oktober 2011

Cerebral Infarction

Oleh:
Thomas Darmawan, S. Ked
Pembimbing:
dr. Rima Ramba
Konsulen:
dr. Isdiana Kaelan, Sp. Rad
Penguji:
dr. Isqandar Masoud, Sp. Rad
Dibuat Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Di Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar 2011

Lembar Pengesahan

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama

: Thomas Darmawan

NIM

: C11108362

Judul Referat : Cerebral Infarction

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Penguji

Konsulen

(dr. Isqandar Masoud, Sp. Rad)

(dr. Isdiana Kaelan, Sp. Rad)

Makassar, Oktober 2011


Pembimbing,

(dr. Rima Ramba)

Mengetahui,
Ketua Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

(Prof. Dr. dr. Muhammad Ilyas, Sp. Rad (K))

Daftar Isi

ii

CEREBRAL INFARCTION
Thomas Darmawan, Rima Ramba, Isdiana Kaelan

Pendahuluan
Cerebral infarction (infark cerebri) merupakan keadaan iskemia otak yang
mengakibatkan kematian jaringan lokal dan biasanya disertai defisit neurologis
fokal yang menetap pada area distribusi dari salah satu arteri cerebral, disebut
juga cerebral ischemia (iskemia cerebri). Cerebral infarction dapat juga
didefinisikan sebagai kematian sel otak atau sel retina akibat dari iskemia yang
berkepanjangan. Keadaan ini tidak dapat lepas dari kumpulan gejala yang lebih
dikenal dengan stroke. [1,2]
Stroke ditandai dengan hilangnya aliran darah ke area tertentu dari otak
yang mengakibatkan hilangnya fungsi neurologis bersangkutan. Secara umum,
stroke diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hemorrhagic dan ischemic. Keadaan
infak cerebri sendiri lebih umum dijumpai pada stroke iskemik. Acute ischemic
stroke mengacu pada stroke yang disebabkan oleh thrombosis atau emboli. Angka
kejadian stroke jenis ini lebih umum dibandingkan hemorrhagic stroke. [3]
Pengetahuan tentang patofisiolofi, gejala klinis, dan pemeriksaan dari
pasien stroke amatlah penting dalam menegakkan diagnosis dan menangani
keadaan tersebut. [3]

Anatomi dan Vaskularisasi Otak


Otak merupakan organ yang memiliki tingkat metabolisme paling aktif
diantara organ lain di seluruh tubuh. Walaupun hanya 2% dari massa tubuh, otak
membutuhkan 15-20% dari total cardiac output untuk memenuhi kebutuhan
glukosa dan oksigen bagi metabolismenya. [3]
Pengetahuan tentang anatomi arteri cerebrovascular dan daerah-daerah
yang disuplainya masing-masing sangat penting dalam menentukan pembuluh
darah mana yang terlibat dalam sebuah kejadian stroke. Pola atipikal yang tidak
sesuai dengan distribusi pembuluh darah dapat mengindikasikan diagnosis lain
diluar stroke iskemik, misalnya saja venous infarction. [3]

Otak mendapatkan suplai darahnya melalui dua pasang arteri, yaitu arteri
carotis interna dan arteri vertebralis. Arteri carotis interna merupakan percabangan
dari arteri carotis communis yang menuju ke arah permukaan otak sampai muncul
di sisi lateral dari chiasma opticum. Arteri vertebralis berjalan keatas dan
bergabung membentuk arteri basilaris, yang berjalan sepanjang pons. Sepanjang
perjalanannya arteri basilaris juga memiliki beberapa cabang yang memperdarahi
pons dan arteri inferior anterior cerebelli, yang memperdarahi bagian inferior dan
anterior dari cerebellum. Arteri basillaris juga mempercabangkan arteri labyrinthi,
yang berjalan ke meatus akustik internus untuk memperdarahi telinga bagian
dalam. Cabang utama dari arteri basilaris adalah arteri cerebri posterior, yang
berjalan ke lobus oksipital dari hemisfer otak, dan arteri superior cerebelli, yang
memperdarahi bagian superior dari cerebellum. [4]
Arteri carotis interna memberikan cabang ke arteri cerebri anterior dan
arteri cerebri media. Arteri cerebri anterior berjalan di medial bagian atas chiasma
opticum, dan kemudian diantara lobus frontalis pada fissura longitudinal. Arteri
ini memperdarahi permukaan medial dari lobus parietalis dan frontalis, dan
memberi makan kepada kedua korteks motorik dan sensorik. Kedua arteri cerebri
anterior, kiri dan kanan, dihubungkan oleh arteri communicans anterior. Arteri
cerebri media, yang merupakan arteri cerebral terbesar, terbagi-bagi dan
bercabang memperdarahi sebagian besar permukaan lateral dari lobus frontalis,
parietal, dan temporal, termasuk korteks motorik dan sensorik, korteks insula dan
auditory [4]
Arteri vertebralis merupakan arteri yang muncul dari arteri subclavia dan
memasuki cavitas cranium melalui foramen magnum. Cabang terbesarnya adalah
arteri inferior posterior cerebelli, yang memperdarahi bagian inferior dari
cerebellum. [4]

Gambar 1. Circulus Willis [5]

Kedua suplai arteri utama ini dinamakan sistem karotis interna dan
vertebrobasilar, dimana kedua sistem ini dihubungkan oelh arteri communicans
posterior. Anastomosis ini membentuk pembuluh darah yang berbentuk seperti
lingkaran pada dasar otak, yang disebut juga Circulus Willis atau circulus
arteriosus cerebri. Circulus Willis ini menutupi dasar hypothalamus dan chiasma
opticum. [4]

Epidemiologi
Setiap tahunnya, sekitar 795.000 orang di dunia terkena stroke, baik
merupakan stroke baru maupun stroke berulang. Sekitar 610.000 dari jumlah
tersebut merupakan kasus baru, sedangkan 185.000 sisanya merupakan serangan
berulang. Dari semua kasus stroke, 87% diantaranya merupakan kasus ischemic
stroke, 10% kasus intracerebral hemorrhage dan 3% merupakan kasus
subarachnoid hemorrhage stroke. [6]

Angka prevalensi stroke penduduk Amerika yang berusia diatas 20 tahun


diperkiraan sebanyak 7.000.000 orang. Secara keseluruhan prevalensi stroke di
dunia diperkirakan mencapai 3.0% dan berdasarkan data dari BRFSS (CDC)
sebanyak 2,7% laki-laki dan 2,5% perempuan yang berusia diatas 18 tahun
memiliki riwayat pernah mengalami stroke. [6]
Jika dirata-rata, dapat dikatakan bahwa setiap 4 menit, 1 orang di dunia
meninggal akibat stroke. Stroke adalah penyebab kematian ketiga terbanyak
diantara semua penyebab kematian. Walaupun stroke seringkali dihubungkan
dengan penyakit orang tua, ternyata sepertiga kejadian stroke terjadi pada orang
yang berusia dibawah 65 tahun. [6]

Etiologi
Cerebral infarction dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yang
menyebabkan terhambatnya aliran darah yang memasok darah ke daerah otak
tertentu, sehingga terjadi kerusakan secara permanen.
Berbagai macam kelainan darah, pembuluh darah, dan jantung dapat
mengarah kepada cerebral infarction. (tabel 1)
Tabel 1. Etiologi Infark Cerebri [7]

Vascular Disorder
Atherosclerosis
Fibromuscular Dysplasia
Kelainan Inflamasi
Giant cell arteritis
Systemic lupus erythematosus
Polyarteritis nodosa
Granulomatous angitis
Syphilitic arteritis
AIDS
Diseksi arteri carotis atau vertebralis
Infark
Lacunar Infarction
Drug Abuse
Multiple
Progressive
Intracranial
Occlusion (Moyamoya Syndrome)
Migraine
Thrombosis Vena atau Sinus

Kelainan Jantung
Mural Thrombus
Rheumatic heart disease
Aritmia
Endocarditis
Mitral valve prolapse
Paradoxic embolus
Atrial myxoma
Prosthetic hearts valve
Kelainan darah
Thrombositosis
Policytemia
Sicle cell disease
Leukocytosis
Hypercoagulable states

Kelainan Pembuluh Darah


Atherosclerosis
Pada

kebanyakan

kasus,

penyebab utama dari iskemia otak


fokal merupakan atherosclerosis arteri
ekstracranial yang terletak di bagian
leher dan dasar otak. Atherosclerosis
dapat mempengaruhi arteri yang elastis
dan berotot dengan ukuran besar
maupun sedang. Pada peredaran darah
otak, tempat predileksi yang paling
sering adalah arteri carotis komunis
bagian hulu, arteri carotis interna tepat
di atas percabangan carotis komunis
dan dalam sinus cavernous, arteri
cerebri media bagian hulu, arteri
vertebralis bagian hulu dan tepat di
atas tempat masuk ke tengkorak, dan
arteri basilaris. [7]
Sampai saat ini patogenesis
dari atherosclerosis belum sepenuhnya
dipahami,

tetapi

diduga

bahwa

kerusakan dan disfungsi dari sel


endothel merupakan tahap awal dari
terbentuknya
endothel
Gambar 2. Proses atherosclerosis

[7]

ini

atherosclerosis.
dapat

Sel

mengalami

kerusakan oleh karena low-density

lipoprotein, radikal bebas, hipertensi, diabetes, homosistein, ataupun agen


infeksius lain. Kemudian monosit dan limfosit T akan menempel pada lokasi yang
mengalami kerusakan dan bermigrasi ke lapisan subendothelial, dimana monosit
dan makrofag turunan monosit berubah menjadi foam cell. Lesi yang terbentuk ini
disebut juga fatty streak. Pelepasan growth factor dan chemotactic factor dari sel
5

endothel dan makrofag ini akan menstimulasi proliferasi dan migrasi otot polos
intima, yang menyebabkan pembentukan plak fibrous. Platelet yang menempel
pada lokasi endothel yang mengalami kerusakan juga ikut melepaskan growth
factor dan chemotactic factor. Hasilnya, lesi atheroma akan semakin membesar
dan dapat ruptur sehingga menyebabkan oklusi pada lumen pembuluh darah, atau
dapat menjadi penyebab emboli artheromatous atau emboli platelet. [7]

Gambar 3. Atherosclerosis dari arteri cerebri1 [8]

Kelainan inflamasi lain


Giant Cell Arteritis
Disebut juga temporal arteritis, menimbulkan perubahan inflamasi yang
memberikan efek pada cabang dari arteri karotis eksterna, arteri carotis interna
cervicalis, arteri ciliaris posterior, arteri vertebralis extracranial, dan arteri
intracranial. Adanya perubahan inflamasi pada arteri akan menstimulasi adhesi
dan agregasi platelet pada permukaan yang mengalami kerusakan. [7]
Systemic Lupus Erythematosus
Dihubungkan dengan vasculopathy yang melibatkan pembuluh darah kecil otak
sehingga menimbulkan multiple microinfarctions. [7]

Atherosclerosis dari arteri cerebral. A. Atheromatosis berat dari arteri basal. Plak ateromatosa

kuning konfluen terjadi pada dinding arteri. Arteri basilaris memanjang dan kaku, dan lumen
menjadi melebar. Carotis kanan yang mengalami sklerotik menekan saraf optik. B. Ateromatosa
arteri basilaris menampilkan dilatasi fokal dan penyempitan lumen disertai penekanan pada dasar
pontine. Dinding kaku dari carotis menekan pada saraf optik. C. Plak ateromatosa di dinding arteri
basilaris menunjukkan celah kolesterol subintimal fokal, gangguan lamina elastis, dan proliferasi
intimal yang sangat mengurangi lebar lumen (van Gieson). [8]

Polyarteritis Nodosa
Merupakan vaskulitis segmental arteri berukuran kecil sampai sedang yang
mempengaruhi berbagai organ. [7]
Granulomatous Angiitis (Primary Angiitis of Central Nervous System)
Merupakan penyakit inflamasi idiopatik yang mempengaruhi arteri dan vena kecil
di sistem saraf pusat serta dapat menyebabkan lesi multifokal, baik yang bersifat
sementara maupun progresif. [7]
Syphilitic Arteritis
Terjadi dalam kurun waktu 5 tahun setelah infeksi primer sifilis dan
menggambarkan proses inflamasi meningeal yang mendasarinya. [7]
AIDS
Dihubungkan dengan peningkatan insidens TIA dan stroke iskemik. Pada
beberapa kasus, komplikasi neurologis iskemik dihubungkan dengan endocarditis
atau infeksi opportunistik dari sistem saraf pusat, seperti toxoplasmosis atau
cryptococcal meningitis. [7]
Fibromuscular Dysplasia
Mempengaruhi arteri besar pada anak-anak dan dewasa muda, menghasilkan
penipisan segmental media dan fragmentasi lamina elastik, kadang disertai cincin
fibrosis dan hiperplasia otot dalam media. [7]
Diseksi Arteri Carotis atau Arteri Vertebralis
Dihubungkan

dengan

perdarahan

pada

pembuluh

darah

yang

dapat

mengakibatkan oklusi atau mencetuskan pembentukan thrombus dan emboli. [7]


Lacunar Infarction
Merupakan hasil oklusi cabang kecil dari arteri cerebri mayor, terutama yang
memperdarahi ganglia basalis, thalamus, kapsula interna, dan pons. [7]
Drug Abuse
Penggunaan kokain hidroklorida, alkaloid kokain, amphetamine, dan heroin
merupakan faktor risiko stroke yang biasanya terjadi pada pasien dibawah 35
tahun. [7]

Multiple Progressive Intracranial Occlusion (Moyamoya Syndrome)


Sindrom ini memiliki dua ciri penting, yaitu penyempitan bilateral atau oklusi dari
distal arteri carotis interna, arteri cerebri anterior dan posterior yang berdekatan;
disertai munculnya hubungan kolateral pada dasar otak. [7]
Migraine
Migrain dengan aura telah diajukan sebagai penyebab stroke, tetapi dalam banyak
kasus sering kali terdapat faktor risiko lain. Stroke pada orang yang menderita
migrain dapat terjadi setelah serangan klasik migrain dan biasanya terjadi pada
daerah vaskular yang sama dengan serangan migrain sebelumnya. [7]
Thrombosis Vena atau Sinus
Jarang menjadi penyebab dan biasanya dihubungkan dengan kondisi predisposisi
lain seperti otitis atau sinusitis, keadaan postpartum, dehidrasi, atau koagulopati.
Gejala klinisnya meliputi sakit kepala, papilledema, penurunan kesadaran, kejang,
dan defisit neurologis fokal. [7]
Kelainan Jantung
Mural Thrombus
Mural thrombus dengan komplikasi infark myocard atau cardiomyopathy diakui
sebagai sumber dari emboli cerebral. Risiko stroke pada minggu pertama setelah
infark myocard berhubungan dengan ukuran lesi. Semakin besar kerusakan
myocard dapat meningkatkan tendesi pembentukan mural thrombus. [7]
Rheumatic Heart Disease
Insidens iskemia cerebri meningkat pada pasien dengan rheumatic heart disease,
terutama pada keadaan stenosis mitral ataupun fibrilasi atrium. Pada kasus lain,
gejala yang ditimbulkan hanya bersifat sementara dan berkaitan dengan kelelahan,
sehingga muncul dugaan penyebabnya adalah hipoperfusi. [7]
Aritmia
Fibrilasi atrium (terutama yang berkaitan dengan rheumatic heart disease) dan
bradycardia-tachycardia (sick sinus) syndrome diakui sebagai penyebab stroke
emboli. Kelainan aritmia jantung lainnya lebih mungkin menyebabkan
8

hipoperfusi pancerebral dengan gejala difus, kecuali jika terjadi stenosis arteri
carotis yang cukup berat. [7]
Endocarditis
Infective (bacterial atau fungal) endocarditis
Merupakan penyebab transient cerebral ischemia dan embolic cerebral infarction
selama fase infeksi aktif dan beberapa bulan setelah pengobatan antibiotik. [7]
Non bacterial (marantic) endocarditis
Paling sering dijumpai pada pasien dengan kanker dan merupakan penyebab
untuk sebagian besar stroke iskemik pada populasi ini. Tumor yang paling sering
dihubungkan dengan stroke tipe ini adalah adenocarcinoma paru atau saluran
gastrointestinal. Biasanya juga terdapat vegetasi pada katup mitral atau aorta
tetapi jarang berhubungan dengan murmur. [7]
Mitral Valve Prolapse
Perlekukan katup mitral akibat melebarnya annulus mitral (mitral valve prolapse)
merupakan kelainan yang sering dijumpai. Keadaan ini terjadi pada 4-8% dewasa
muda, dan biasanya tidak menumbulkan gejala. Pada beberapa kasus keadaan ini
muncul dan berhubungan dengan iskemia cerebri, tetapi derajat gangguan yang
dapat meningkatkan risiko iskemia cerebri tampaknya kecil dan juga jarang
ditemui stroke luas yang berhubungan dengan mitral valve prolapse jarang. [7]
Paradoxic Embolus
Kelainan kongenital jantung dihubungkan dengan komunikasi patologis antara
jantung bagian kiri dan bagian kanan, misalnya atrial septal defect, atau patent
foramen ovale, menyebabkan material emboli dari sirkulasi vena sistemik dapat
lewat menuju otak. Pada keadaan ini thrombus vena dapat meningkatkan risiko
stroke emboli. [7]
Atrial Myxoma
Kealinan langka ini dapat menyebabkan embolisasi (stroke) atau obstruksi
cardiac output (syncope). Kejadian emboli terjadi pada seperempat sampai
setengah pasien tanpa myxoma atrium kanan herediter. [7]

Prosthetic Heart Valve


Pasien dengan katup jantung buatan berada pada risiko tertentu untuk terjadinya
emboli cerebri dan secara umum diobati dengan antikoagulan dalam jangka waktu
yang lama. [7]
Kelainan Darah
Thrombocytosis
Thrombocytosis dapat menyebabkan iskemia cerebri fokal ketika jumlah platelet
mencapai 1.000.000/L [7]
Polycytemia
Hematokrit diatas 46% dihubungkan dengan penurunan aliran darah otak dan
merupakan salah satu risiko stroke. Risiko tersebut meningkat pada keadaan
dimana hematokrit mencapai diatas 50% dan meningkat secara tajam pada
hematokrit >60% [7]
Sickle Cell Disease
Sickle cell (hemoglobin S) disease disebabkan oleh substitusi asam animo tunggal
pada lokus beta hemoglobin pada kromosom 11 (11p15.1) sehingga menghasilkan
rantai beta hemoglobin yang abnormal. Mutasi tersebut menyebabkan deformasi
eritrosit berbentuk sabit ketika tekanan parsial oksigen pada darah berkurang
sehingga menyebabkan anemia hemolitik dan oklusi pembuluh darah. Komplikasi
neurologis yang paling sering terjadi adalah stroke, yang biasanya mempengaruhi
arteri karotis interna intracranial, arteri cerebri proximal medius atau anterior. [7]
Leukocytosis
Transient cerebral ischemia dilaporakan berhubungan dengan leukositosis. Hal ini
biasanya terjadi pada pasien dengan leukemia dan jumlah leukosit lebih dari
150.000/L. [7]
Cypercoagulable States
Hiperviskositas serum akibat paraproteinemia (terutama macroglobulinemia)
jarang menyebabkan iskemia cerebri fokal. Kadang kala koagulopati yang disertai

10

terapi estrogen, penggunaan kontrasepsi oral, postpartum, dan keadaan


postoperasi, atau kanker dapat menyebabkan thrombosis atau emboli cerebri. [7]

Patofisiologi
Terputusnya aliran darah otak secara total dapat menyebabkan hilangnya
kesadaran hanya dalam 15 sampai 20 detik dan kerusakan otak secara permanen
setelah 7 sampai 10 menit. Oklusi dari arteri yang berdiri sendiri menyebabkan
defisit pada daerah otak secara terbatas. Mekanisme dasar dari kerusakan tersebut
merupakan kekurangan energi karena iskemia (misal: atherosclerosis, emboli).
Perdarahan (karena trauma, aneurisma pembuluh darah, hipertensi) juga dapat
menyebabkan iskemia akibat proses penekanan terhadap pembuluh darah yang
berdekatan. [9]
Dengan penghambatan Na+/K+-ATPase, defisiensi energi menyebabkan
akumulasi Na+ dan Ca2+ dalam sel dan disertai dengan peningkatan konsentrasi K +
di luar sel serta depolarisasi. Hal ini menyebabkan akumulasi Cl - seluler,
pembengkakan sel, dan kematian sel. Hal ini juga menyebabkan pelepasan
glutamat yang mempercepat kematian sel melalui jalur masuk Na+ dan Ca2+.
Walaupun penyebab utamanya telah dihilangkan, proses pemulihan perfusi
jaringan kadang dihambat oleh adanya pembengkakan sel, pelepasan mediator
vasokonstriksi, dan oklusi dari pembuluh darah lumina oleh granulosit. Kematian
sel menyebabkan inflamasi yang juga menyebabkan kerusakan sel pada daerah
sekitar area iskemik (penumbra). [9]

11

Gambar 4. Efek dari Perfusi Otak Abnormal [9]

Gejala yang ditimbulkan ditentukan dari letak kelainan perfusi, misalkan


pada area yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut.

Gambar 5. Oklusi Pembuluh Darah sebagai Penyebab Iskemia [9]

12

Diagnosis dan Manifestasi Klinis


Anamnesis
Faktor Predisposisi
Pada pasien dengan kelainan cerebrovascular, penting untuk mengetahui faktor
risiko yang memungkinan seperti TIA, hipertensi, dan diabetes. Untuk
perempuan, penggunaan kontrasepsi oral diduga berhubungan dengan penyakit
oklusi arteri dan vena cerebral, terutama pada keadaan dimana disertai dengan
hipertensi dan kebiasaan merokok. Keberadaan kondisi medis seperti penyakit
jantung iskemik, penyakit katup jantung, atau aritmia jantung ada baiknya
ditelusuri. Berbagai kelainan sistemik yang meliputi kelainan darah dan pembuluh
darah juga dapat meningkatkan risiko stroke. Obat antihipertensi dapat
menyebabkan gejala cerebrovascular jika tekanan darah diturunkan secara drastis
pada pasien dengan okluasi cerebrovascular yang mendekati total disertai sirkulasi
kolateral yang tidak memadahi. [7]
Kejadian dan perlangsungan
Anamnesis harus ditujukan untuk mengetahui apakah gambaran klinis tersebut
merupakan TIA, stroke in evolution, atau complete stroke. Pada beberapa kasus,
dapat juga dievaluasi apakah stroke tersebut merupakan stroke thrombotik
ataupun embolik. [7]
a. Ciri-ciri yang mengarah pada stroke thrombotik
Pasien dengan oklusi vaskuler thrombosis biasanya memberikan gejala
penambahan secara bertahap defisit neurologis. Kejadian oklusi biasanya
didahului oleh beberapa kali TIA. [7]
b. Ciri-ciri yang mengarah pada stroke emboli
Emboli cerebri umumnya menyebabkan defisit neurologis yang terjadi
tiba-tiba dan maksimal pada saat kejadian. Pada banyak pasien, emboli
yang berasal dari jantung biasanya dicurigai dengan adanya tanda inferk
cerebri multifokal, penyakit katup jantung, cardiomegali, aritmia, atau
endocarditis. [7]

13

Gejala yang berhubungan


a. Kejang
Jarang menyertai kejadian stroke, tetapi pada keadaan lain, kejang dapat
menyertai stroke berminggu-minggu sampai bertahun-tahun. Kehadiran
kejang tidak dapat membedakan secara pasti stroke embolik dari thmbotik,
tetapi kejang yang terjadi bersamaan dengan kejadian stroke lebih umum
ditemui pada kasus stroke embolik. [7]
b. Sakit kepala
Terjadi pada sekitar 25% pasien dengan stroke iskemik, biasanya
disebabkan oleh dilatasi akut dari pembuluh darah kolateral [7]
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan Fisis Umum
Pemeriksaan fisis umum pada pasien dengan kelainan cerebrovascular sebaiknya
berfokus kepada pencarian penyebab sistemik, terutama yang dapat ditangani. [7]
a.

b.

Tekanan darah harus diukur untuk mengetahui apakah terdapat hipertensi


yang merupakan faktor risiko stroke. [7]
Perbandingan tekanan darah dan denyut nadi di kedua sisi dapat
memberikan gambaran perbedaan yang berhubungan dengan penyakit

c.

artherosclerosis dari arkus aorta atau coarctation aorta. [7]


Pemeriksaan ophtalmoskopik retina dapat memberikan bukti embolisasi
dari sirkulasi anterior dalam bentuk material emboli yang terlihat pada

d.

pembuluh darah retina. [7]


Pemeriksaan leher dapat mengungkapkan denyut nadi karotis yang hilang
atau adanya carotids bruits. Namun menurunnya pulsasi arteri carotis pada
leher bukan merupakan indikator yang baik atas kelainan arteri carotis
interna. Walaupun carotid bruits telah dihubungkan dengan penyakit
cerebrovascular, penyempitan carotid dapat terjadi tanpa terdengarnya

e.

bruit; sebaliknya bruit yang terdengar jelas dapat terjadi tanpa stenosis. [7]
Pemeriksaan jantung yang cermat sangat penting untuk mendeteksi adanya
aritmia atau murmur yang berhubungan dengan penyakit katup, dimana
keduanya dapat menyebabkan embolisasi dari jantung ke otak. [7]

14

f.

Palpasi dari arteri temporal sangat berguna dalam diagnosis giant cell
arteritis, dimana ciri lainnya adalah pembuluh darah yang nyeri, nodular,
dan tidak berdenyut. [7]

Pemeriksaan Neurologis
Ketika ditemukan defisit neurologis, tujuan dari pemeriksana neurologis adalah
untuk menentukan lokasi anatomis dari lesi, yang dapat memberikan gambaran
penyebab atau penatalaksanaan stroke secara optimal. Walaupun demikian, bukti
jelas akan keterlibatan sirkulasi anterior tetap membutuhkan evaluasi angiografi
dengan kemungkinan pembedahan untuk memperbaiki lesi pada carotis interna.
Penetapan bahwa gejala yang terjadi disebabkan oleh kelainan pada sirkulasi
vertebrobasilar atau lacunar infarction turut menentukan penatalaksanaan yang
berbeda. [7]
a.

Defisit kognitif yang mengindikasikan lesi kortikal pada sirkulasi anterior


harus dicari. Sebagai contoh, jika terdapat aphasia, kelainan yang
mendasari tidak mungkin pada sirkulasi posterior dan jarang mewakili

b.

lacunar infarction. [7]


Adanya abnormalitas lapangan pandang secara langsung menyingkirkan
diagnosis lacunar infarction. Hemianopia dapat terjadi, namun, dengan
keterlibatan baik arteri cerebri anterior maupun posterior. Isolated

c.

hemianopsia memberikan kesan infark arteri cerebri posterior. [7]


Ocular palsy, nystagmus, atau internuclear ophtalmoplegia memberikan
kesan bahwa lesi terdapat di batang otak dengan demikian kelainannya

d.

kemungkinan besar terdapat pada sirkulasi posterior. [7]


Hemiparesis dapat disebabkan oleh lesi pada daerah korteks cerebri yang
diperdarahi oleh sirkulasi anterior, lesi pada jalur motoris descending yang
diperdarahi oleh sistem vertebrobasiler atau lacunae pada subcorteks

e.

(corona radiata, kapsula interna), atau daerah batang otak. [7]


Defisit sensoris korteks seperti astereogenesis dan agraphesthesia dengan
modalitas sensorik primer yang tetap baik mengimpilkasikan defisit
korteks cerebri dalam daerah arteri cerebri media. Defisit hemisensoris
terisolasi tanpa adanya keterlibatan motoris biasanya berasal dari lacunar.
Defisit sensoris menyilang merupakan hasil dari lesi batang otak pada

15

medulla, seperti yang terlihat pada lateral medullary syndrome


f.

(wallenberg syndrome) [7]


Hemiataxia biasanya mengarah kepada lesi pada batang otak atau
cerebellum ipsilateral, tetapi dapat juga merupakan hasil dari lacunae
kapsula interna. [7]

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini harus dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab stroke
yang dapat diobati serta untuk menyingkirkan kondisi lain yang menyerupi stroke.
[7]
a.

Hitung darah lengkap untuk menyelidiki kemungkinan penyebab stroke


seperti

b.

c.

d.

thrombocytosis,

thrombocytopenia,

polycytopenia,

anemia

(termasuk sickle cell anemia), dan leukocytosis (misalnya leukemia). [7]


Laju endap darah untuk mendeteksi adanya peningkatan yang
mengindikasikan giant cell arteritis atau vasculitis lain. [7]
Pemeriksaan serologis sifilis, pemeriksaan treponema pada darah atau
pemeriksaan CSF-VDRL. [7]
Glukosa serum untuk mendokumentasikan adanya hypoglycemia atau
hyperosmolar non ketotic hyperglycemia, yang dapat memberikan tanda

e.

neurologis fokal dan mirip dengan stroke. [7]


Kolesterol dan lipid serum utnuk medeteksi adanya peningkatan yang
dapat mewakili faktor risiko stroke. [7]

Electrocardiogram (ECG/EKG)
EKG harus dilakukan secara rutin untuk mendeteksi kemungkinan adanya infark
myocard atau aritmia yang tidak diketahui sebelumnya, misalkan fibrilasi atrium
yang merupakan faktor risiko stroke embolik. [7]
Punksi Lumbal
Dapat dilakukan pada beberapa kasus untuk menyingkirkan diagnosis perdarahan
subarachnoid atau untuk mengetahui siphylis meningovascular sebagai penyebab
stroke. [7]

16

Angiografi cerebral
Intraarterial angiography biasanya digunakan untuk mengidentifikasi lesi carotis
ekstracranial yang dapat dioperasi pada pasien dengan TIA pada sirkulasi anterior,
yang merupakan kandidat operasi yang baik. Pemeriksaan ini juga berguna dalam
mendiagnosis beberapa kelainan vaskuler yang berhubungan dengan stroke,
termasuk vaskulitis, fibromuscular dysplasia, dan diseksi arteri carotis atau arteri
vertebralis. [7]
Ultrasonography
Doppler ultrasonography dapat mendeteksi adanya stenosis atau oklusi dari arteri
carotis internal, tetapi kurang sensitif jika dibandingkan dengan angiography.
Transcranial doppler ultrasonography kadang digunakan dalam evaluasi dugaan
stenosis arteri carotis interna, arteri cerebri media, atau arteri basilaris serta untuk
mendeteksi dan mengikuti perjalanan vasospasme cerebral setelah perdarahan
aneurysma subarachnoid [7]
Echocardiography
Echocardiography dapat berguna untuk mendemonstrasikan lesi jantung yang
bertanggung jawab atas terjadinya stroke embolik pada pasien dengan bukti klinis
penyakit jantung yang jelas, misalkan fibrilasi atrium. [7]
Electroencephalogram (EEG)
EEG kurang bermanfaat dalam mengevaluasi stroke. Tetapi dapat digunakan
untuk membedakan kelainan kejang dengan TIA atau antara infark lacunar dengan
kortikal pada pasien yang gejalanya tidak dapat dibedakan. [7]
Computed Tomography
Untuk evaluasi dari penyakit cerebrovascular oklusif, CT scan tanpa
kontras mampu membedakan daerah yang disuplai oleh arteri cerebri besar dan
mendeteksi perdarahan intracranial, edema otak, efek massa, hidrocephalus,
sumbatan darah pada pembuluh darah otak, dan kalsifikasi. Sebagai tambahan,
CT-scan kepala dengan kontras mampus membedakan pembuluh darah yang

17

normal dengan yang tersumbat begitu juga dengan peningkatan abnormal pada
area kerusakan otak dengan rusaknya sawar darah otak. Fungsi utama dari CT
scan dalam evaluasi penyakit cerebrovascular oklusif dalah menyingkirkan
adanya kemungkinan perdarahan intracranial. [10]
Ischemic Infarction
Gambaran CT scan dari stroke berhubungan dengan waktu antara iskemik
atau onset gejala dan pengambilan foto. Infark iskemi dapat dibagi menjadi 4
tahap: hiperakut (sampai 24 jam), akut (24 jam sampai 7 hari), subakut (8 sampai
21 hari), dan kronik (lebih dari 21 hari) [11]
Hyperacute Stage
Peran utama CT scan pada stage ini adalah untuk menyingkirkan
kemungkinan tanda-tanda perdarahan (CT scan tanpa kontras) dan menyingkirkan
adanya penyakit yang mendasari, seperti adanya tumor otak yang dapat saja
secara klinis menyerupai tanda-tanda stroke (CT scan dengan kontras). Walaupun
begitu, sensitivitas CT sebagai alat deteksi dini dari ischemic infarction masih
terbatas dan hanya setengah dari seluruh kejadian strok yang dapat tampak pada
48 jam pertama. [11]

Gambar 6. CT scan konvensional tanpa kontras pada stroke hiperakut2 [12]


2

Gambaran CT kepala pada laki-laki 37 tahun, terakhir terlihat normal pada jam 10 Malam,

ditemukan keesokan pagi harinya dengan hemiplegia dan aphasia berat. CT scan tanpa kontras
potongan aksial menampilkan perubahan iskemik: i, ii tampak bayangan hipodens pada nukleus
lenticular dan caudate head (tanda panah), dan iii tampak swelling korteks dengan obliterasi sulci
[12]

18

Perubahan yang dapat terlihat pada CT scan tanpa kontras antara lain
adanya efek massa disertai dengan hilangnya permukaan sulcus pada cerebral
cortical infarction dan kompresi ventrikel pada deep cerebral infarction,
hilangnya perbedaan antara densitas white matter dan grey matter akibat adanya
sedikit penurunan densitas dari grey matter karena cytotoxic brain edema, dan
arteri cerebral yang hiperdens [11]

Gambar 7. CT scan konvensional tanpa kontras pada stroke akut3 [12]

Penggunaan agen kontras pada stroke hyperacute dan acute dinilai masih
kontroversial, karena meterial kontras dapat menyebabkan ischemic, walaupun
tidak sampai tahap infarck yang irreversible. [11]
Acute Stage
Selama

minggu

pertama

stroke,

hipodensitas CT termasuk grey dan white matter


yang infark semakin jelas terlihat. Infarct
cerebrocortical biasanya berbentuk segitiga dan
deep infarct cerebral biasanya berbentuk bulat
atau oval. Edema otak dan efek massa biasanya
mencapai puncaknya selama hari ketiga sampai
hari kelima. [11]
Gambar 8. Gambaran CT scan
stroke hemisfer kanan4 [13]

Gambaran CT kepala dari laki-laki berumur 56 tahun dengan hemiparesis kanan dan aphasia

Broca. Pada CT scan konvensional tanpa kontras, tampak bayangan hipodens pada korteks insular
sebelah kiri, biasnaya disebut juga insular ribbon sign (tanda panah). [12]

19

Subacute Stage
Pada CT kepala dengan penambahan kontras, peningkatan pada infarct
biasanya muncul selama minggu kedua setelah ictus. Pola dari peningkatan
termasuk penampakan korteks yang gyroform. Cincin peningkatan terlihat pada
gray matter bagian dalam. Peningkatan homogen juga mungkin terlihat. Pola dari
peningkatan tidak spesifik dan menggambarkan mekanisme patofisiologis yang
mendasarinya, termasuk adanya gangguan pada sawar darah otak, peningkatan
pengisian kapilar pada gyrus yang terkena (luxury perfusion), reactive hyperemia,
dan adanya neovaskuler. [11]
Edema otak dan efek massa mengalami penurunan selama fase subakut
dan biasanya mernghilang secara sempurna dalam 2 sampai 3 minggu. Gambaran
infark cerebri akan berkurang bersamaan dengan menghilangnya edema otak.
Beberapa infark akan menampilkan gambaran densitas normal (fogging effect)
pada CT tanpa atau dengan contrast selama fase subakut. Pada tahap ini infak
iskemi dapat berkembang menjadi hemorrhagic sekunder, yang biasanya dikaitkan
dengan infark emboli. Karena kurangnya proses autoregulasi pada kapiler dari
infarct emboli, paparan dari tekanan darah arteri setelah sumbatan mengalami
fragmentasi dan lisis, menghasilkan transformasi hemorrhagic yang diikuti
dengan pembentukan dari aliran normal antegrade. Perdarahan reperfusi ini
biasanya berupa petechie dan secara klinis tidak nampak. Hal tersebut sulit dilihat
pada foto CT tanpa kontras tetapi dapat dilihat pada foto MRI [11]

Gambaran CT kepala, tampak bayangan hipodens pada hemisfer cerebri dextra. Gambar ini

mewakili infark pada daerah arteri cerebri media dextra. [13]

20

Gambar 9. Gambaran CT scan dan MRI stroke iskemik5 [14]

Chronic Stage
Daerah infark digantikan dengan daerah fokal berbatas yang tegas yang
merupakan cystic encephalomalacia dan gliosis termasuk gray dan white matter.
Pada foto CT kepala tanpa kontras, cycstic encephalomalacia memiliki
karakteristik isodens, mirip dengan cerebrospinal fluid (CSF), dimana gliotic rim
sedikit lebih hiperdens. Kadang juga terlihat dilatasi ventrikel dan sulcus
ipsilateral serta retraksi struktur di garis tengah (midline shift) ke arah infarct. [11]
5

CT scan dari pasien 75 tahun pada tingkat ventrikel lateral (a) dan vertex (b) menampilkan bukti

dari penyakit pembuluh darah kecil iskemik dan dua infark kortikal yang matang, dalam lobus
frontal kiri dan kanan. Gambaran T2*-weighted echo gradient pada tingkat yang bersangkutan (c,
d) menunjukkan daerah sinyal lemah, konsisten dengan pewarnaan haemosiderin, yang
menunjukkan perdarahan sebelumnya. Adanya pendarahan pada beberapa lobus merupakan ciri
khas angiopathy amiloid. Adanya daerah tambahan periventrikular sinyal tinggi konsisten dengan
penyakit iskemik pembuluh kecil. [14]

21

Derajat peningkatan kontras mulai menurun pada minggu ketiga setelah


ictus dan jarang terjadi setelah dua bulan. Dapat pula terlihat pita pada daerah
corteks yang berada di daerah infark, karena lapisan luar korteks lebih resisten
terhadap infark iskemik dibandingkan struktur bagian dalam. [11]
Infark kronis yang luas pada korteks motorik atau kapsula interna dapat
menyebabkan atrophy pada pedunkulus cerebri dan pons ipsilateral serta
cerebelum kontralateral. Kalsifikasi juga biasanya terlihat pada infark cerebri
lama. [11]
Hemorrhagic Infarction
Infark hemorrhagic terjadi dalam 24 jam setelah kejadian iskemik, dimana
perubahan hemorrhagic biasanya terlambat 7 sampai 10 hari karena proses
reperfusi. Infark hemorrhagic akut biasanya tampak sebagai garis kecil yang agak
hiperdens pada daerah infark yang hipodens. Perdarahan ini biasanya terlihat pada
korteks cerebri atau di tepi dari infark, tetapi dapat juga terlihat pada gray matter
bagian dalam. Perdarahan juga dapat saling bertumpukan sehingga tampak lebih
hiperdens. CT tanpa kontras dapat membedakan dengan jelas antara perdarahan
cerebri dan iskemia cerebri pada tahap akut sebagai lesi hiperdens, tetapi tidak
mampu membedakan perdarahan cerebri dengan yang bukan perdarahan pada
tahap subakut (isodens) atau kronik (hipodens) [11]
Magnetic Resonance Imaging
Infarction (complete ischemia) superacute and acute stage

22

Gambar 10. Gambaran MRI stroke hiperakut6 [15]

Gambar 11. Gambaran MRI oklusi basiler disertai infark pontine hiperakut 7 [16]

Gambar 12. Gambaran MRI thrombus pada arteri cerebri media sinistra8 [16]

Vascular abnormalities
Tidak adanya aliran (fenomena void) paling jelas terlihat pada pembuluh
darah besar, misalnya arteri carotis interna atau arteri basilaris. Pelebaran arteri
lebih nampak pada cabang arteri cerebri yang lebih kecil, terutama yang
mempercabangkan arteri cerebri media, akibat aliran yang lambat. Pelebaran
6

MRI pada stroke hiperakut. Kiri: Diffusion-weighted MRI pada stroke iskemik hiperakut

dilakukan 35 menit setelah onset gejala. Kanan: Peta apparent diffusion coefficient (ADC) yang
diperoleh dari pasien yang sama pada waktu yang sama. [15]
7

Oklusi basiler. a) Sebuah gambar T2-weighted menunjukkan hilangnya aliran sinyal void arteri

basilaris pada pasien dengan oklusi basilar dan infark pontine hiperakut. Tidak ada kelainan
parenkim yang tampak pada tahap awal. b) Gambar maximum intensity projection (MIP) coronal
dari CT angiogram menunjukkan oklusi sebagai filling defect (tanda panah) [16]
8

Thrombus arteri cerebri media sinistra. Arteri cerebri media sinistra menunjukkan sinyal tinggi

akibat bekuan darah intraluminal di gambar FLAIR-weighted (a) tetapi sinyal rendah pada gambar
gradient recalled echo (GRE) T2*-weighted (b) Hal ini bersesuaian dengan filling defect (tanda
panah) pada CT angiogram. (c). Sebuah sinyal FLAIR halus yang tinggi tampak di insula kiri. [16]

23

arteri lebih nampak dibandingkan dengan fenomena void. Keduanya lebih sensitif
dibandingkan penampakan arteri pada CT scan. Kelainan vaskuler lebih sering
terlihat pada pasien dengan infark kortikal. Pelebaran arteri yang tampak lebih
awal menunjukkan aliran darah yang lambat daripada sumbatan dan kemungkinan
mengindikasikan aliran kolateral yang tidak adekuat. Dengan demikian
abnormalitas vaskuler dipercaya mampu memprediksi tingkat keparahan iskemia
jaringan otak. [11]
Mass effect
Efek massa sering terlihat pada infark akut, tetapi kemungkinan hanya
terlihat sedikit pada beberapa jam pertama dan biasanya menncapai puncaknya
pada 24 jam. Efek massa juga lebih jelas terlihat pada infark kortikal
dibandingkan infark subkortikal, hal ini mungkin berhubungan dengan edema
sitotoksis. [11]
Parenchymal Signal Changes
Edema vasogenic muncul setelah terjadi kerusakan sawar darah otak dan
berhubungan dengan pergeseran cairan intravaskular dan kebocoran protein ke
interstitium. Hal ini menyebabkan peningkatan intensitas sinyal pada gambaran
T2-weighted karena makromolekul mengikat air bebas. Perubahan intensitas
sinyal (hyperintensity) pada gambaran T2-weighted biasanya tidak nampak
sampai setelah 8jam timbulnya gejala dan menjadi maksimal pada 24h. [11]
Parenchymal enhancement
Pelebaran parenkim biasanya tidak terlihat selama minggu pertama pada
pasien stroke. Hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan signifikan dari proses
penghantaran darah dan kontras ke zona iskemik. [11]
Meningeal Enhancement
Ini terjadi dalam sepertiga dari infark iskemik. Insiden puncak terjadi
dalam 3 hari pertama setelah iktus. Hal ini dapat dilihat dengan jelas infark
serebral korteks supratentorial. Ini biasanya hilang setelah 1 minggu. Penjelasan
yang mungkin untuk pelebaran meningeal adalah sebagai berikut: hiperemia
reaktif terkait dengan kolateral-kolateral arteri, pembengkakan vena, vasodilatasi
lokal, dan iritasi meninges oleh jaringan infrak yang berdekatan. [11]

24

Subacute stage
Tahap subakut ditandai dengan neoproliferation dari pembuluh darah
untuk membangun kembali aliran menuju ke jaringan iskemia. Ada dua jenis
proliferasi: (1) proliferations marjinal, yang merupakan pembangunan kembali
sirkulasi darah ke jaringan otak yang mengalami kerusakan dengan pertumbuhan
dari pembuluh darah baru di sekitar zona iskemik, dan (2) transmedullary
proliferations, yang merupakan pembangunan kembali darah sirkulasi jaringan
otak yang mengalami kerusakan dengan pertumbuhan dari pembuluh darah baru
pada permukaan pial dari ruang subarachnoid. [11]
Vascular abnormalities
Kekosongan aliran normal dalam pembuluh darah utama otak terjadi
secara menetap, pelebaran arteri menghilang. Tingkat hilangnya pelebaran arteri
bervariasi dengan tingkat revaskularisasi. Pelebaran ini akan menghilang
bersamaan dengan cepatnya pembentukan aliran darah biasanya dalam 1 minggu.
[11]

Gambar 13. Gambaran MRI edema kortikal pada infark subakut9 [16]

Mass effect
Efek massa dapat terlihat selama 2 minggu pertama. Setelah 1 bulan, efek
massa negatif dapat terlihat sebagai akibat dari hilangnya parenkim. [11]
Parenchymal Signal Change
9

Edema kortikal pada infark subakut. a) Gambar aksial FLAIR-weighted menunjukkan sinyal

tinggi, pembengkakan gyrus, dan obliterasi sulcal. b Terdapat sinyal rendah halus dan
pembengkakan gyrus (tanda panah) terlihat pada gambar T1-weighted potongan sagital. [16]

25

Bayangan hiperintense pada gambaran T2-weighted menetap. [11]


Parenchymal Enhancement
Bersamaan dengan terjadinya revaskularisasi dan mulai hilangnya
pelebaran arteri, pelebaran parenkom juga mulai mengalami kemajuan, baik dari
segi intensitas maupun ketebalan. [11]
Chronic Stage
Vascular abnormalities
Kekosongan aliran normal dalam pembuluh darah utama otak terjadi
secara menetap, pelebaran arteri menghilang. [11]
Mass effect
Efek massa negatif akibat hilangnya jaringan otak menjadi dominan.
Dapat diamati dilatasi ex vacuo dari sistem ventrikel ipsilateral dan CSF sulci.
Parenchymal signal changes
Bayangan hiperintense pada gambaran T2-weighted dan gambaran FLAIR (fliud
attenuated inversion recovery) menetap. [11]
Parenchymal inhancement
Sebuah penebalan progresif parenkim gyriform terjadi di jaringan otak
yang terlibat sejak beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah iktus. Hal
tersebut akan mulai memudar dan menghilang dalam tahap kronis sebagaimana
sawar darah otak terbentuk kembali proses perbaikan berhenti. [11]
Watershed infarction
Kerusakan jaringan otak iskemik pada ujung distal distribusi vaskular,
akibat perfusi yang utuh tetapi tidak adekuat antara dua pembuluh darah besar
yang berdekatan, yang disebut watershed infarct. Hal ini disebabkan oleh
hipotensi lokal karena hipotensi sistemik atau stenosis pembuluh darah
proksimal/oklusi dengan antegrade atau aliran darah kolateral yang utuh tetapi
tidak adekuat. Tidak terjadi perubahan iskemik yang dapat diobservasi di daerah
vaskular proksimal dari watershed infarct. [11]

Diagnosis Banding
Pada pasien dengan gejala disfungsi fokal sistem saraf sentral yang terjadi
secara tiba-tiba, stroke iskemik harus dibedakan dari proses struktural atau
26

metabolik yang dapat menyerupai gejala stroke iskemik. Ketika hasil defisit
neurologis tidak bersesuaian dengan distribusi dari salah satu arteri cerebri, perlu
dicurigai proses yang mendasari lain disamping. Sebagai tambahan, stroke
biasanya tidak memberikan gejala penurunan kesadaran tanpa ditemukannya
defisit fokal, sementara gangguan cerebral lain dapat menyebabkannya. [7]
Kelainan vaskuler yang seringkali disangka merupakan stroke iskemik
antara lain perdarahan intracerebral, hematoma subdural, hematoma epidural, dan
perdarahan subarachnoid akibat rupturnya aneurysma atau malformasi vaskuler.
Kondisi tersebut sering kali dapat dibedakan dari riwayat trauma, sakit kepala
hebat pada saat kejadian, terjadinya penurunan kesadaran, atau adanya kekakuan
leher pada saat pemeriksaan. Kondisi tersebut juga dapat dibedakan melalui CT
scan atau MRI [7]
Lesi otak struktural lainnya seperti tumor atau abses dapat juga
memberikan gejala fokal cerebral dengan onset akut. Abses cerebri dicurigai bila
ditemukan bersamaan dengan adanya demam. Abses dan tumor juga dapat
dibedakan dengan CT scan dan MRI. Gangguan metabolik, lebih tepatnya
hypoglycemia dan hyperosmolar non ketotic hyperglycemia, dapat muncul
menyerupai stroke, maka dari itu, pada pasien yang muncul dengan gejala stroke
kadar glukosa diperiksa secara rutin. [7]

27

Tumor Cerebri

Gambar 14. Ct scan astrocytoma tingkat rendah10 [17]

Diagnosis banding sulit ditegakkan pada kasus astrocytoma tingkat


rendah, lesi isodens atau hipodens pada CT scan kepala tanpa kontras. Dalam
kasus tersebut, sangat penting untuk menentukan ada tidaknya lesi yang
bersesuaian dengan wilayah pembuluh darah, pola perubahan, dan temuan klinis.
Pada infark, efek massa dapat menyusut dan mereda dalam waktu 3 minggu;
tampilan akhirnya berupa pembesaran ventrikel ipsilateral dan perubahan atrofi
kortikal juga sering dijumpai pada kasus-kasus iskemia. Dalam kasus patologi
neoplastik, edema vasogenik terbatas pada white matter saja dan secara bertahap
menyebar. Defisit neurologis yang dihasilkan tumor cerebri, dengan volume lesi
yang sama, jauh lebih sedikit dibandingkan iskemia. [18]

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi thrombolitik IV
Tissue plasminogen activator (t-PA) mempu mengkatalis perubahan
plasminogen menjadi plasmin, sehingga memiliki kemampuan untuk melisiskan
10

Ct scan astrocytoma tingkat rendah. Supir taxi berusia 28 tahun masuk ke unit gawat darurat

setelah mengalami kejang. Dilakukan pemeriksaan CT scan kepala dan tampak gambaran khas
dari astrocytoma tingkat rendah. Lesi terletak pada lobus frontal kiri dengan densitas lesi yang
hipodens [17]

28

sumbatan yang mengandung fibrin seperti yang ditemukan pada lesi


cerebrovascular

thrombotik.

Beberapa

penelitian

menyimpulkan

bahwa

pemberian recombinant t-PA (rt-PA) IV (intra vena) dalam waktu 3 jam setelah
munculnya gejala dapat menurunkan tingkat kecacatan dan kematian akibat stroke
iskemik. Dosis pemberian adalah 0,9 mg/kg berat badan, dengan dosis maksimal
90 mg. 10% dosis diberikan secara bolus IV dan sisanya melalui drips selama 60
menit. Efektivitas dari pemberian rt-PA setelah 3 jam terhadap stroke dari onset
stroke jika dibandingkan dengan pemberian obat thrombolitik lain seperti
urokinase, atau pemberian secara intraarterial dari obat ini belum diketahui. [7]
Komplikasi terbanyak dari pemberian rt-PA adalah perdarahan, yang dapat
mempengaruhi otak atau jaringan lain. Kurangnya bukti keuntungan pemberian rtPA yang diberikan setelah 3 jam dari munculnya gejala, risiko terjadinya
perdarahan, dan pentingnya diagnosis yang benar ketika pengobatan yang
diberikan cukup berbahaya, menyebabkan rt-PA tidak dapat diberikan pada
beberapa keadaan, misalnya adanya gambaran CT scan stroke iskemik luas atau
perdarahan. Rt-PA juga tidak boleh diberikan kepada pasien dengan fungsi
koagulasi yang terganggu, baik akibat pemberian warfarin, heparin atau oleh
karena thrombocytopenia (thrombosit < 100.000/mm3), juga jika ditemukan tandatanda yang mengindikasikan peningkatan risiko perdarahan, misalnya kejang pada
saat onset gejala akibat perdarahan intracranial, kelainan intracranial lain
(termasuk stroke dan trauma) dalam 3 bulan terakhir, operasi besar dalam 14 hari
terakhir, perdarahan traktur digestivus atau traktur urinarius dalam 21 hari
terakhir, atau hipertensi berat (sistol >185 mmHg atau diastol >110 mmHg).
Untuk menghindari mengobati TIA yang telah memasuki masa pemulihan, pada
kondisi lain yang tidak memberikan respon terhadap rt-PA, atau pada kondisi
dimana risiko yang mungkin terjadi lebih besar daripada keuntungan yang akan
diperoleh, pasien dengan perbaikan defisit neurologis yang cepat atau spontan,
pasien dengan defisit ringan atau terisolasi, pasien dengan glukosa darah yang
konsisten hipo- atau hiperglikema (<50 mg/dl atau >400 mg/dl), harus dieksklusi.
[7]

Pasien yang mendapatkan pemberian rt-PA untuk stroke harus dirawat


pada fasilitas yang dapat mendiagnosis stroke dengan ketepatan tinggi dan mampu

29

menangani komplikasi perdarahan. Selama 24 jam pertama setelah pemberian rtPA, tidak boleh diberikan antikoagulan dan antiplatelet, tekanan darah harus
dimonitor secara cermat, serta harus dihindari punksi arteri, pemasangan infus
vena sentral, kateter, maupun nasogastric tube. [7]
Terapi thrombolytic intraarterial
Pemberian urokinase, prourokinase, atau rt-PA secara intraarterial tengah
diteliti sebagai pengobatan akut stroke. Hasil awal menunjukkan pemberian
urokinase, dan mungkin obat thrombolytic lain, yang diberikan bersamaan dengan
heparin IV dosis rendah, dapat memberikan keuntungan untuk pasien dengan
stroke yang bersesuaian dengan distribusi arteri cerebri medius yang dapat
ditangani dalam waktu 3-6 jam setelah onset gejala. [7]
Obat Antiplatelet
Beberapa penelitian menunjukkan penurunan insidens stroke ketika
diberikan aspirin setelah stroke. [7]
Aspirin, ketika diberikan pada pasien dengan TIA (minor stroke) terbukti
menurunkan insidens TIA berikutnya, stroke, atau kematian. Pemberian aspirin
juga berguna untuk mencegah iskemia cerebri berulang akibat cardiac emboli.
Dosis aspirin antara 80 sampai 1300 mg secara oral setiap hari terbukti efektif. [7]
Ticlopidine (250 mg oral, dua kali sehari), merupakan antiplatelet lain yang lebih
efektif mencegah stroke dan menurunkan angka kematian pada pasien TIA atau
stroke ringan. Tetapi ticlopidine lebih mahal daripada aspirin dan memiliki efek
samping seperti diare, skin rash, dan kadang-kadang neutropenia berat walaupun
reversible. [7]
Clopidogrel (75 mg oral per hari), menghambat agregasi platelet dengan
berikatan ke reseptor adenosine diphosphate (ADP) pada permukaan platelet,
terbukti menurunkan insidens stroke iskemik. Diare dan skin rash lebih sering
dijumpai pada penggunaan obat ini, tetapi neutropenia dan thrombocytopenia
terjadi dalam tingkat yang sama. Pada beberapa pasien pengobatan dengan obat
ini menimbulkan komplikasi berupa thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).
[7]

30

Antikoagulan
Antikoagulan belum terbukti berguna pada kebanyakan kasus stroke.
Pengecualin dimana terdapat sumber cardiac emboli yang menetap. Antikoagulan
diindikasikan untuk mencegah terjadinya stroke embolik, walaupun tidak
memberikan pengaruh kepada perjalanan penyakit stroke yang telah terjadi. [7]
Heparin merupakan drug of choice sebagai antikoagulan akut. Heparin
biasanya digunakan dengan infus IV 1000-2000 unit/jam. aPTT (activated partial
thromboplastin time) harus diukur minimal satu kali sehari dan dosis herparin
disesuaikan untuk menjaga aPTT pada kisaran 1,5-2,5 kali dari nilai sebelum
pengobatan dilaksanakan. [7]
Warfarin (Dosis maintenance 5-15 mg/hari oral), dapat dimulai bersamaan
dengan terapi heparin. Sekitar 2 hari setelah PT (prothrombin time) mencapai 1
sampai 1,5 kali dari nilai sebelum terapi (biasanya sekitar 5 hari) pemberian
heparin dapat dihentikan. PT atau INR (international normalized ratio) harus
diukur sekurang-kurangnya setiap 2 minggu sekali dan dosis warfarin disesuaikan
untuk menjaga PT = 1,5 kali kontrol atau INR 3,0-4,0. [7]
Operasi
Indikasi penatalaksanaan operasi pada stroke komplit sengat terbatas pada
keadaan dimana terjadi stroke yang diikuti peningkatan tekanan intracranial dan
dibutuhkan dekompresi segera. [7]
Obat antihipertensi
Walaupun hipertensi berkontribusi atas patogenesis stroke dan banyak
pasien dengan stroke memiliki tekanan darah yang meningkat, usaha untuk
menurunkan tekanan darah pada pasien stroke dapat memberikan hasil yang lebih
buruk, karena suplai darah ke daerah iskemik yang belum infark dapat terganggu.
Sehingga penggunaan obat hipertensi tidak diperbolehkan. Secara normal tekanan
darah akan menurun secara spontan setelah beberapa jam sampai beberapa hari. [7]
Obat antiedema
Obat antiedema seperti manitol dan corticosteroid belum terbukti
memberikan keuntungan untuk cytotoxic edema (pembengkakan seluler) yang
berhubungan dengan infark cerebri. [7]
31

Obat neuroprotektif
Bermacam-macam obat dengan mekanisme farmakologis yang bervariasi
telah diajukan sebagai obat neuroprotektif yang mampu menurunkan derajat
kerusakan iskemik cerebri dengan menurunkan metabolisme otak atau
mengintervensi mekanisme sitotoksik yang dipicu oleh iskemia. Obat-obat
tersebut meliputi barbiturat, opioid antagonis (nalaxone) voltage-gated calcium
channel antagonist (nimodipine) excitatory amino acid receptor antagonist,
throphic factors, gangliosides, dan lipid peroxidation inhibitor (trilazad),
walaupun begitu, percobaan klinis terhadap obat-obat ini belum menunjukkan
hasil yang memuaskan. [7]
Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Magnesium
Magnesium berperan dalam berbagai proses yang berhubungan dengan
iskemia cerebri, termasuk inhibisi pelepasan glutamat presynaptic, NMDA
receptor blockade, calcium channel antagonism, dan memelihara aliran darah
otak. Penelitian pada model hewan, pemberian magnesium IV paling lambat 6
jam setelah onset stroke, dengan dosis dua kali dari konsentrasi serum normal,
mampu menurunkan volume infark. Pada studi klinis, magnesium diteliti mampu
menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat stroke. Tetapi, pada uji coba
multicenter dalam skala besar yang melibatkan 2589 pasien, magnesium yang
diberikan 12 jam setelah stroke akut tidak menunjukkan penurunan risiko
kematian maupun kecacatan secara signifikan, walaupun beberapa keuntungan
telah didokumentasi pada kasus stroke lakunar. Penelitian lebih lanjut tengah
berlangsung

untuk

menentukan

apakah

pemberian

magnesium,

dengan

mengurangi waktu pengobatan, memberikan keuntungan bagi pasien stroke. [10]


Infusi Albumin
Infusi albumin dapat meningkatkan perfusi eritrosit dan menekan adhesi
thrombosit dan leukosit pada sirkulasi mikro otak, terutama selama fase reperfusi
awal setelah iskemi fokal. Albumin juga menurunkan hematokrit secara
signifikan, dengan begitu akan meningkatkan aliran sirkulasi mikro, viskositas
plasma dan deformabilitas sel, begitu juga dengan kapasitas transport oksigen.
32

Pada hewan uji coba, Albumin memberikan efek menurunkan volume infark,
meningkatkan skor neurologi, dan menurunkan edema cerebri. Efek tersebut
mungkin menggambarkan kombinasi sifat terapinya, termasuk efek antioksidan,
efek antiapoptotik pada endothelium, dan efek menurunkan darah statis pada
sirkulasi mikro. Uji coba klinis untuk mengetahui efek dari albumin pada saat ini
sedang direncanakan. [10]
Hipotermia
Hampir semua kejadian iskemik dimodulasi oleh suhu, dan pertahanan
otak terhadap hipotermia dipercaya meningkatkan resistensi terhadap berbagai
jalur mekanisme berbahaya, termasuk stess oksidatif dan inflamasi. Secara umum,
sebagian besar proses biologis menampilkan Q10 sekitar 2,5, yang memiliki
makna bahwa penurunan suhu 1 C menurunkan tingkat respirasi seluler,
permintaan oksigen, serta produksi karbondioksida sekitar 10%. Penurunan
temperatur juga menurunkan tingkat proses patologi seperti peroksidasi lipid,
begitu juga dengan aktivitas beberapa protease cystein atau serine. Tetapi,
detoksidikasi dan proses perbaikan juga ikut melambat, sehingga hasil akhir yang
diharapkan tidak dapat dipastikan. [10]
Penurunan suhu otak dapat diperoleh secara cepat (dan spontan) ketika
aliran darah ke seluruh otak berhenti akibat serangan jantung, dan termoregulator
dapat menjadi abnormal akibat disfungsi hipotalamus. Jika hanya satu segmen
dari otak yang mengalami iskemik, otak yang tidak mengalami kerusakan tetap
menjadi sumber panas metabolisme aktif. Jika hipotermia sedang (28-32 C)
secara teknis sulit diperoleh dan berpotensi akan terjadinya komplikasi, penelitian
terkini menunjukkan bahwa sedikit penurunan dari temperatur tubuh (dari
normothermia ke 33-36 C) cukup untuk menurunkan tingkat kematian sel-sel
saraf. Pada model global dari iskemia hippocampal, hiporetmia menguntungkan
jika dimulai 30 menit sebelum tetapi tidak dalam 10 menit setelah onset troke.
Tetapi, bila pendinginan diperpanjang (12-48 jam), proteksi terhadap kerusakan
cukup signifikan baik pada iskemia cerebri fokal maupun global. Pada manusia,
hasil positif baru-baru ini dilaporkan pada dua penelitian uji klinis secara acak
dari hipotermia ringan pada pasien selamat yang keluar dari rumah sakit setelah
serangan jantung. Sekarang ini beberapa penelitian baik yang berdiri sendiri
33

maupun penelitian multicenter secara acak sedang dilakukan pada pasien dengan
stroke iskemik dan hemorrhagik [10]
Induksi Hipertensi
Penumbra

iskemik

menunjukkan

adanya

ketidakmampuan

proses

autoregulasi, dimana daerah ini tampak sangat sensitif terhadap manipulasi


tekanan darah. Alasan rasional dari penginduksian hipertensi sebagai terapi stroke
diperoleh dari penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah
arteri rata-rata memberikan hasil perbaikan perfusi otak disertai kembalinya
aktivitas elektrik pada daerah penumbra. Pada hewan uji coba dengan iskemia
cerebri fokal, terapi induksi hipertensi ditemukan mampu meningkatkan aliran
darah otak, meredam kerusakan otak, dan meningkatkan fungsi neurologis. Pada
manusia dengan stroke iskemik akut, peningkatan tekanan darah secara spontan
adalah hal yang umum ditemui, bahkan pemberian terapi antihipertensi yang
berlebihan dapat menyebabkan kerusakan neurologis. [10]
Perhatian utama pada terapi induksi hipertensi meliputi risiko memicu
terjadinya perdarahan intracerebral serta memperburuk edema cerebri, terutama
pada pasien dengan reperfusi, begitu juga dengan komplikasi sistemik seperti
iskemi myocard, cardiac arrythmia, dan iskemi akibat vasokonstriksi yang
diinduksi oleh phenyleprhine. Pada akhirnya, pengobatan ini mungkin lebih
berguna pada pasien stroke yang bukan merupakan kandidat terapi thrombolitik.
[10]

Hiperoksia
Hipoksia jaringan memainkan peranan penting pada kejadian primer dan
sekunder yang mengarah kepada kematian sel setelah stroke iskemik, sehingga
peningkatan oksigenasi otak telah lama dipertimbangkan sebagai strategi
pengobatan stroke yang logis. Secara teori, oksigen seharusnya menjadi
pengobatan yang baik untuk mengatasi stroke karena oksigen memliki beberapa
keuntungan dibandingkan obat-obatan lain, diantaranya oksigen dapat dengan
mudah berdifusi melewati sawar darah otak, memiliki berbagai efek keuntungan
biokimia, molekuler, dan hemodinamik, lebih mudah ditolerir, dan dapat diberikan
dalam dosis tinggi tanpa dosis batas efek samping (kecuali pada pasien dengan

34

penyakit paru obstruktif kronis). Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa


pemberian oksigen bermakna positif mengubah tingkat glutamat, laktat, bcl2,
manganese

superoxide

dismutase,

cyclooxygenase-2,

dan

menghambat

mekanisme kematian sel seperti apoptosis. Terapi oksigen hiperbarik telah secara
luas diteliti karena secara signifikan dapat meningkatkan tekanan parsial oksigen
jaringan otak, yang dipercaya penting untuk neuroproteksi yang efektif. Walaupun
terapi ini telah menunjukkan kegagalan pada tiga penelitian uji coba klinis.
Terdapat pemahaman bahwa faktor barotrauma dari tekanan ruangan yang tinggi,
keterlambatan dimulainya terapi (2-5 hari setelah stroke), dan pemilihan pasien
yang buruk menyebabkan kegagalan uji coba klinis tersebut. Saat ini efek klinis
dari terapi oksigen hiperbarik pada stroke akut sedang ditinjau ulang. [10]
Disisi lain, penelitian mengenai efek terapi dari terapi hiperoksia
normobarik juga tengah dimulai oleh beberapa peneliti. Pemberian terapi
hiperoksia normobarik memiliki beberapa keuntungan, antara lain: mudah
dilakukan, dapat ditoleransi dengan baik, terjangkai, tersedia luas, dapat dimulai
segera setelah onset stroke, dan noninvasif. Pada penelitian dengan hewan uji
coba, terapi ini menunjukkan penurunan volume infark, perbaikan defisit
neurobehavioural, dan perfusi parameter MRI dari iskemia, dan meningkatkan
tekanan oksigen interstitial pada jaringan penumbra. Jika dibandingkan dengan
terapi oksigen hiperbarik, terapi oksigen normobarik relatif kurang efektif dalam
meningkatkan tekanan parsial oksigen otak, dan mekanisme neuroproteksinya
masih belum jelas. [10]
Penelitian lebih lanjut juga perlu dilakukan untuk mengetahui keamanan
dari terapi ini. Secara teori, peningkatan pemberian oksigen dapat meningkatkan
radikal bebas oksigen, yang secara teori dapat memperberat kerusakan dengan
mendorong proses seperti peroksdasi lipid, inflamasi, apoptosis, dan glutamate
exitoxicity. Data menunjukan bahwa keuntungan oksigen hanya bersifat sementara
dan tidak dapat dipertahankan tanpa reperfusi yang tepat waktu. Pada akhirnya,
terapi oksigen dapat lebih bermanfaat jika dikombinasikan dengan terapi
reperfusi, atau digunakan sebagai strategi untuk memperpanjang waktu untuk
terapi seperti t-PA. [10]

35

Prognosis
Hasil akhir stroke tergantung dari beberapa faktor, yang paling penting adalah
sifat dan derajat keparahan yang menyebabkan defisit neurologis. Umur pasien,
penyebab stroke, dan kelainan medis yang menyertai juga turut mempengaruhi
prognosis. Secara keseluruhan, kurang dari 80% pasien dengan stroke yang
mampu bertahan setidaknya 1 bulan, dan 10-years survival rate berkisar pada
35%. Dari pasien yang mampu bertahan pada periode akut setengah sampai dua
pertiga mampu mendapatkan kembali fungsi independen, sedangkan sekitar 15%
membutuhkan perawatan institusional. [7]

36

Daftar Pustaka
1. Dorland WAN. Kamus kedokteran dorland. Ed ke-29. Editor: Hartanto H,
Setiawan A, Bani AP, Widjaja AC, Adji AS, Soegiarto B, dkk. Jakarta: ECG;
2002.
2. Saver JL. Proposal for a universal definition of cerebral infarction. Stroke. 14
August 2008: hlm. 3110-3115.
3. Cruz-Flores S. Ischemic stroke in emergency medicine. [Online].; 2011
[Dikutip] 11 Oktober 2011. Sumber: HYPERLINK
"http://emedicine.medscape.com/article/1916852"
http://emedicine.medscape.com/article/1916852 .
4. Greenstain B, Greenstain A. Color atlas of neuroscience: neuroanatomy and
neurophysiology Stuttgart: Theime; 2000.
5. Netter FH, Machade CAG. Interactive atlas of human anatomy [Electronic
Atlas].: Saunders/Elsevier; 2003.
6. American Heart Association. Heart disease and stroke statistics - 2011 Update.
Dallas: American Heart Association. Report No.: ISSN 1524-4539.
7. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical neurology. Ed ke-6. New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2005.
8. Haberland C. Clinical neuropathology: text and color atlas Editor: Percy C.
New York: Demos Medical Publishing; 2007.
9. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of patophysiology Stuttgart: Thieme; 2000.
10. Singhal AB, Lo EH, Dalkara T, Moskowitz MA. Ischemic stroke: basic
pathophysiology and neuroprotective strategies. Dalam: Editor: Gonzlez RG,
Hirsch JA, Koroshetz WJ, Lev MH, Schaefer PW. Acute ischemic stroke:
imaging and intervention. Berlin: Springer; 2006. hlm. 1-26.
11. Wang AM, Simonson TM, Yuh WTC. Cerebral infarction and ischemic
Disease. Dalam: Editor: Segakk HD. Neuroradiology: A Study Guide.:
McGraw-Hill; 1995. hlm. 287-308.
12. Camargo ECS, Gonzlez G, Gonzlez RG, Lev MH. Imaging of acute
ischemic stroke: unenhanced computed tomography. Dalam: Editor: Gonzlez
RG, Hirsch JA, Koroshetz WJ, Lev MH, Schaefer PW. Acute ischemic stroke:
imaging and intervention. Berlin: Springer; 2006. hlm. 41-54.
13. Holmes EJ, Misra RR. A to z emergency radiology Editor: Misra RR. New

York: Cambridge University Press; 2004.


14. Jager HR. Diagnosis of stroke with advanced CT and MR imaging. British
Medical Bulletin. ; 2(56): hlm. 318-333.
15. Sen S. Magnetic resonance imaging in acute stroke. [Online].; 2011 [Dikutip]
17 10 2011. Sumber: HYPERLINK
"http://emedicine.medscape.com/article/1155506"
http://emedicine.medscape.com/article/1155506 .
16. Vu D, Gonzlez RG, Schaefer PW. Imaging of acute ischemic stroke:
conventional MRI and MR angiography of stroke. Dalam: Editor: Gonzlez
RG, Hirsch JA, Koroshetz WJ, Lev MH, Schaefer PW. Acute ischemic stroke:
imaging and intervention. Berlin: Springer; 2006. hlm. 115-135.
17. Jallo GI, Benardete EA. Low-Grade Astrocytoma Workup. [Online].; 2010
[Dikutip] 21 Oktober 2011. Sumber: HYPERLINK
"http://emedicine.medscape.com/article/1156429-workup"
http://emedicine.medscape.com/article/1156429-workup .
18. Scarabino T, Salvolini U, Jinkins JR. CT in ischaemia. Dalam: Emergency
neuroradiology. Berlin: Springer; 2006. hlm. 7-26.

Anda mungkin juga menyukai