Anda di halaman 1dari 3

Hukum Pembuktian dalam Islam

Ahkam al-bayyinat (hukum-hukum pembuktian) sama seperti halnya hukum-hukum


islam yang lain, merupakan hukum-hukum syara yang digali dari dalil-dalil yang
bersifat rinci. Bayyinat (pembuktian) kadang-kadang terjadi pada kasus pidana
(uqubat), bisa pula terjadi pada kasus perdata (muamalat). Namun demikian, para
ulama fiqh tidak membedakan hukum-hukum bayyinat dalam perkara muamalat
dan perkara uqubat. Semuanya mereka bahas dalam kitab syahadat (kitab tentang
kesaksian). Sebagian pembahasan mengenai hukum-hukum bayyinat juga mereka
cantumkan dalam kitab Aqdliyyah (Kitab Peradilan), dan dalam kitab ad-Daawiy wa
al-Bayyinat (Kitab Tuduhan dan Pembuktian). Sebagian pembahasan mengenai
hukum bayyinat juga mereka jelaskan dalam sebagian kasus-kasus uqubat, sebab
al-bayyinat (pembuktian) merupakan salah satu syarat dari uqubat disamping
sebagai bagian terpenting daripembahasan mengenai perkara-perkara uqubat.
Bukti (al-bayyinat) adalah, semua hal yang bisa membuktikan sebuah dakwaan.
Bukti merupakan hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaannya. Dari Amru
bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi saw bersabda:
Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi
orang yang didakwa.
Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dengan isnad shahih dari Nabi saw,
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi
orang yang mengingkarinya.
Oleh karena itu, bukti merupakan hujjah bagi pendakwa, yang digunakan untuk
menguatkan dakwaannya. Bukti juga merupakan penjelas untuk menguatkan
dakwaannya. Sesuatu tidak bisa menjadi bukti, kecuali jika sesuatu itu bersifat pasti
dan meyakinkan. Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali
kesaksiannya itu didasarkan pada ilm, yaitu didasarkan pada sesuatu yang
meyakinkan. Kesaksian tidak sah, jika dibangun diatas dzan (keraguan). Sebab
Rasulullah saw telah bersabda kepada para saksi:
Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah.
(Namun) jika tidak maka tinggalkanlah.
Oleh karena itu, bukti yang didapatkan dari jalan tertentu, atau jalan yang bisa
mengantarkan kepada keyakinan, seperti diperoleh dari proses penginderaan salah
satu alat indera, sedangkan yang diindera itu bisa dibuktikan validitasnya, maka
bukti semacam ini termasuk bukti yang meyakinkan. Masyarakat diperbolehkan
memberika kesaksian dengan bukti semacam ini. sedangkan bukti yang tidak
diperoleh dari jalan seperti itu, maka bersaksi dengan bukti tersebut tidak
diperbolehkan. Karena bukti tersebut bukanlah bukti yang meyakinkan. Jika bukti
tersebut berasal dari sesuatu yang meyakinkan, seperti halnya kesaksian yang
diperoleh dari jalan as-sama (mendengar informasi dari orang lain), contohnya
kesaksian dalam kasus nikah, nashab, kematian, dan lain-lain, maka secara
otomatis seorang saksi boleh memberikan kesaksiannya (dengan bukti-bukti

tersebut). Informasi yang ia dengar itu telah membuat dirinya yakin, meskipun ia
tidak menjelaskan keyakinannya itu dengan kesaksiannya. Sebab, keyakinan yang
ia miliki merupakan sesuatu yang telah lazim bagi dirinya, sehingga dirinya sah
untuk memberikan kesaksian.
Demikian pula halnya dengan sumpah. Sumpah juga harus berasal dari sesuatu
yang bersifat meyakinkan atau pasti. Tatkala orang yang mendakwa bersumpah
untuk memperkuat dakwaannya -pada kondisi tidak ada saksi-, kecuali hanya
seorang saksi dalam masalah harta (amwal), maupun pada kasus-kasus yang lain;
atau ketika terdakwa bersumpah -karena bukti dakwaan dari orang yang mendakwa
lemah-, maka keduanya tidak boleh bersumpah kecuali berdasarkan kayakinan
yang pasti. Jika mereka bersumpah berdasarkan keraguan (dzan), maka keduanya
tidak sah melakukan sumpah. Allah swt mengancam dengan sangat keras atas
sumpah palsu. Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda:
Ada lima hal yang tidak ada kafarah baginya, (yaitu) menyekutukan Allah,
membunuh jiwa tanpa hak, menipu seseorang mukmin, lari dari medan perang,
sumpah yang digunakan untuk mengambil harta orang lain tanpa hak.
Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Ibnu Amru:
Ada laki-laki Arab mendatangi Nabi saw, kemudian ia berkata, Ya Rasulullah,
apa saja dosa besar itu?, beliau menjawab, menyekutukan Allah, membunuh
jiwa tanpa hak, membohongi seorang mukmin, lari dari medan perang, dan
sumpah palsu.
Ini merupakan dalil bahwa sumpah tidak boleh dilakukan kecuali didsarkan pada
bukti yang meyakinkan.
Sama seperti kesaksian dan sumpah, seluruh bukti, baik itu berupa pengakuan,
dokumen-dokumen perdagangan, dan bukti-bukti tertulis, harus bersifat pasti dan
meyakinkan. Semua bukti tersebut tidak boleh meragukan (dzan). Bukti-bukti
tersebut merupakan bukti (penjelas) untuk memperkuat dakwaan, sekaligus mejadi
hujjah orang yang mendakwa atas dakwaannya. Sesuatu yang ingin dijadikan bukti
dan hujjah tidak bisa dijadikan bukti dan hujjah, kecuali bersifat meyakinkan.
Meskipun bukti-bukti harus ditopang diatas ilmu atau keyakinan, namun tidak
berarti bahwa hukum (ketetapan) yang dihasilkan dari bukti-bukti tersebut
disandarkan atas sesuatu yang meyakinkan. Juga tidak berarti bahwa hakim (qadliy)
harus menjatuhkan vonis dengan adanya bukti-bukti tersebut. Yang dimaksud disini
adalah berkenaan dengan adanya esesndi dari bukti-bukti tersebut. Artinya, buktibukti tidak sah menjadi bukti kecuali besifat meyakinkan. Adapun hukum yang
dihasilkan dari bukti-bukti tersebut, hal itu perkara lain lagi. Vonis adakalanya
disandarkan diatas ghalabat ad-dzan (prasangka kuat), bukan disandakan diatas
keyakinan (kepastian). Allah swt berkata kepada Rasul saw:
Maka hukumilah mereka itu dengan apa yang datang dari Allah (TQS. AlMaidah: 48)

Maksudnya, hukumilah mereka dengan pendapat kamu. Pendapat disini mencakup


pendaat yang bersumber dari pendapat yang meyakinkan (qathiy) dan juga
pendapat yang bersumber dari prasangka kuat. Rasulullah saw telah memutuskan
sebuah perkara, dan beliau bersabda -dimana ini menunjukkan bahwa keputusan
(vonis) beliau dibangun diatas ghalabat ad-dzan-.
Dari Umu Salamah bahwa Nabi saw bersabda:
sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membwa
masalah-masalah yang kalian peselisihkan kepadaku. Ada diantara kalian yang
hujjahnya sangat memukau daripada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai
dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan,
sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian
mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku utuskan bagi dirinya itu
merupakan bagian dari api neraka.
Ini merupakan dalil bahwa seorang qadliy memutuskan hukum dengan
prasangkanya (dzan). Bahkan Rasulullah saw telah menyatakan dengan jelas,
bahwa pada dasarnya seorang hakimitu memutuskan sesuatu berdasarkan dzan.
Dari Amru bin al-Ash, beliau mendengar Rasulullah saw bersabda:
Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lantas ia berijtihad, dan
ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun, jika seorang hakim
hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya
salah, maka ia mendapat satu pahala.
Semua ini merupakan dalil bahwa keberadaan suatu kesaksian harus meyakinkan.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa ketetapan hukum yang dihasilkan harus
selalu dibangun diatas sebuah keyakinan. Keputusan boleh dibangun diatas
prasangka kuat (ghalabat ad-dzan).
Keberadaan kesaksian tidak sah kecuali berasal dari sesuatu yang meyakinkan
-meskipun tidak berarti bahwa qadliy wajib menjatuhkan vonis berdasarkan
kesaksian tersebut-, hal ini disebabkan karena kesaksian hanya meyakinkan dari sisi
saksi, namun tidak dari sisi qadliy. Kadang-kadang qadliy mendapati ada
keterangan-keterangan qathiy yang bertentangan dengan kesaksian itu. Kadangkadang pula seorang qadliy memiliki dugaan kuat bahwa saksi sedang berdusta.
Oleh karena itu, qadliy tidak wajib menjatuhkan vonis berdasarkan sebuah
kesaksian, meskipun meyakinkan. Ia berhak menjatuhkan vonis berdasarkan
kesaksian tersebut atau menolaknya.
*dikutip dari terjemahan kitab ahkam al-bayyinat karya Ahmad ad-Daur, bab 1.

Anda mungkin juga menyukai