Visum
Visum
PENDAHULUAN
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam
pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena
adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya
sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah
berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus
dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.1,2
Asfiksia merupakan mekanisme kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus
kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran
pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam
kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran
asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan
asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan
proses penyidikan.1
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang
diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Seorang
dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan yang sebaik-baiknya
dan yang sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan. Untuk itu,
sudah selayaknya seorang dokter perlu mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik,
salah satunya asfiksia.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SKENARIO
MAYAT TENGGELAM (DROWNING)
Dijumpai sesosok mayat wanita terapung di sungai. Masyarakat setempat melaporkan temuan
tersebut ke polisi dan kemudian mayat di bawa ke kamar mayat suatu rumah sakit. Pada
mayat dijumpai tanda-tanda asfiksia seperti sianosis pada kuku dan bibir, perdarahan pada
sub conjungtiva, terdapat buih halus yang sukar pecah di hidung juga dijumpai cadaveric
spasme, washer women;d hand, dan sutis anserina.
Polisis mencurigai kematian korban akibat suatu tindak pidana, dimana korban dibunuh
terdahulu baru ditenggelamkan, sehingga polisi meminta kepada dokter di rumah sakit
tersebut membuatkan VeR.
B. TUJUAN
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian asfiksia, jenis-jenis asfiksia serta
pemeriksaan tanda-tanda asfiksia pada keadaan postmortem dan Visum et Repertum
C. ASFIKSIA
Definisi Asfiksia
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen
(O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan
jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru
2
dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut hipoksia
dan kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia.1
Asfiksia merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyatakan berhentinya
respirasi yang efektif (cessation of effective respiration) atau ketiadaan kembang kempis
(absence of pulsation). Namun pengertian asfiksia dan anoksia (atau lebih tepatnya hipoksia)
sering dicampuradukkan. Oleh sebab itu, sebelum dipahami lebih dulu tentang anoksia.3
Anoksia adalah suatu keadaan di mana tubuh sangat kekurangan oksigen, yang
berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:1,2
1. Anoksia anoksik (anoxic anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan karena oksigen
tidak dapat mencapai darah sebagai akibat kurangnya oksigen yang masuk paru-paru.
2. Anoksia anemik (anaemic anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan karena darah
tidak dapat menyerap oksigen, seperti pada keracunan karbon monoksida.
3. Anoksia stagnan (stagnant anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan karena darah
tidak mampu membawa oksigen ke jaringan, seperti pada heart failure atau embolism.
4. Anoksia histotoksik (histotoxic anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan karena
jaringan tidak mampu menyerap oksigen, seperti pada keracunan sianida.
Ketiga jenis anoksia yang terakhir (yaitu anoksia anemik, stagnan dan histotoksik)
disebabkan oleh penyakit atau keracunan, sedang anoksia yang pertama (yaitu anoksia
anoksik) disebabkan kekurangan oksigen atau obstruksi mekanik pada jalan nafas. Yang
disebut asfiksia sebenarnya adalah anoksia anoksik, atau sering juga disebut asfiksia mekanik
(mechanical asphyxia).1
Hipoksia dapat diberi batasan sebagai suatu keadaan dimana sel gagal untuk dapat
melangsungkan metabolisme secara efisien. Dahulu untuk keadaan ini disebut anoksia, yang
setelah dipelajari ternyata pemakaian istilah anoksia tersebut tidak tepat.2
3
Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:3
4
Stadium Asfiksia
Asfiksia terbagi atas beberapa stadium, yaitu antara lain:4
1. Stadium Dispneu
Defisiensi oksigen pada sel-sel darah merah dan akumulasi karbondioksida dalam plasma
akan merangsang pusat pernafasan di medulla. Hal ini akan mengakibatkan gerak
pernafasan yang cepat dan kuat, peningkatan denyut nadi dan sianosis terutama dapat
diamati pada wajah dan tangan. Pada fase dispneu asfiksia ini berlangsung kira-kira 4
menit.
2. Stadium Konvulsi
Pertama adalah kejang klonik, setelah itu kejang tonik, terakhir terjadi spasme
opistotonik. Kesadaran mulai hilang, pupil menjadi lebar dan denyut jantung menjadi
lambat serta tekanan darah turun. Hal ini terjadi dimungkinkan karena meningkatnya
kerusakan
6. Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring, fraktur tulang
lidah dan resapan darah pada luka.
Asfiksia Mekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang
memasuki saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya:1,2
1.
2.
3.
External pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar.
2. Drowning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.
3. Inhalation of suffocating gases.
Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan oleh
asfiksia, mraka ada sementara ahli yang tidak lagi memasukkan tenggelam ke dalam
kelompok asfiksia mekanik, tetapi dibicarakan sendiri. Berikut akan dibahas beberapa kasus
asfiksia mekanik.
1.
Penggantungan merupakan suatu strangulasi berupa tekanan pada leher akibat adanya
jeratan yang menjadi erat oleh berat badan korban. Dengan demikian berarti alat penjerat
sifatnya pasif, sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.
Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat pada asal tenaga
yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkararan jerat. Kematian karena penggantungan
pada umumnya bunuh diri.1,2
Penggantungan dibagi menjadi:1,2
Accidental Hanging; penggantungan yang tidak disengaja ini dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu yang terjadi sewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu
melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang (auto-erotic hanging)
Homicidial Hanging; pembunuhan dengan metode menggantung korbannya relatif
jarang dijumpai, cara ini baru dapat dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang
dewasa yang kondisinya lemah, baik lemah oleh karena menderita penyakit, di bawah
pengaruh obat bius, alkohol atau korban yang sedang tidur. Pembunuhan dengan cara
penggantungan sulit untuk dilakukan oleh seorang pelaku.
10
Mekanisme pada penggantungan yaitu saluran udara tertutup karena pangkal lidah
terdorong ke atas belakang, kearah dinding posterior pharynk. Pallatum molle dan uvula
terdorong ke atas, menekan epiglotis sehingga menutup lubang larynk. Bintik-bintik
perdarahan pada konjungtiva korban penggantungan terjadi akibat pecahnya vena dan
meningkatnya
permeabilitas
pembuluh
darah
karena
asfiksia.
Lidah
korban
penggantungan bisa terjulur, bisa juga tidak terjulur. Lidah terjulur apabila letak jeratan
gantungan tepat berada pada kartilago tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila letaknya
berada diatas kartilago tiroidea.1
Alat penggantung yang dapat digunakan pada kasus penggantungan yaitu:1
Alat penggantung dengan permukaan yang luas (misalnya sarung) dapat
menyebabkan tekanan hanya pada permukaan saja, sehingga yang terjepit hanya vena
(vena jugularis) sehingga muka bengkak dan kebiruan, kongesti vena, mata menonjol
karena bendungan.
Alat penggantung dengan permukaan yang kecil (misalnya tali jemuran)
menyebabkan tekanan besar ke dalam, selain vena, arteri juga terjepit sehingga wajah
pucat , mata tidak menonjol.
Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging) berbentuk lingkaran (V
shape). Alur jeratan yang simetris/ tipikal pada leher korban penggantungan menunjukkan
letak simpul jeratan berada dibelakang leher korban. Alur jeratan yang asimetris/ atipikal
menunjukkan letak simpul di samping leher. Alur jerat berupa luka lecet atau luka memar
dengan ciri-ciri sebagai berikut:1
Alur jeratan pucat.
Tepi alur jerat coklat kemerahan.
Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.
11
Ada 8 hal yang perlu kita lakukan pada pemeriksaan tempat kejadian, yaitu:1,2
Memastikan korban apakah masih hidup atau telah mati.
Mencari bukti yang menunjukkan cara kematian.
Memperhatikan jenis simpul tali gantungan.
Mengukur jarak antara ujung kaki korban dengan lantai.
Memperhatikan letak korban di tempat kejadian.
Cara menurunkan korban.
Mengamankan bekas serabut tali.
Memperhatikan bahan penggantung.
Ada 3 bukti yang bisa menunjukkan kepada kita tentang cara kematian korban, yaitu:1
Ada tidaknya alat penumpu korban, misalnya bangku dan sebagainya.
Arah serabut tali penggantung.
Distribusi lebam mayat.
Deskripsi leher korban penggantungan yang penting kita berikan antara lain:1
Lokasi luka
Lokasi luka pada leher korban penggantungan dapat berada di depan, samping dan
belakang leher. Luka yang berada di depan leher kita ukur dari dagu atau manubrium
sterni korban. Luka yang berada di samping leher kita ukur dari garis batas rambut
korban. Luka yang berada di belakang leher kita ukur dari daun telinga atau bahu
korban.
Jenis luka
Jenis luka korban penggantungan terdiri atas luka lecet, luka tekan dan luka memar.
Penting juga kita mendeskripsikan mengenai warna, lebar, perabaan dan keadaan
12
sekitar luka. Anggota gerak korban penggantungan dapat kita temukan adanya lebam
mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai.
Lokasi simpul jeratan (belakang dan samping leher).
Jenis simpul jeratan (simpul hidup dan simpul mati).
Penting juga kita ketahui ada tidaknya luka lecet pada anggota gerak tersebut. Dubur
korban penggantungan (hanging) dapat mengeluarkan feses. Alat kelamin korban dapat
mengeluarkan mani, urin, dan darah (sisa haid). Pengeluaran urin pada korban
penggantungan disebabkan kontraksi otot polos pada stadium konvulsi atau puncak
asfiksia. Lebam mayat dapat kita temukan pada genitalia eksterna korban.1
Penyebab kematian paling sering dari penggantungan adalah obstruksi aliran darah
servikal. Berat kepala manusia itu sendiri sekitar 4,5 kg, berat ini sendiri mengalokasi dari
tekanan konstriksi itu sendiri. Hal penting lainnya dari penyebab kematian mungkin dari
stimulasi nervus vagus dan lebih khusus lagi, bertanggung jawab pada refleks dari nervus
karotis. Tekanan pada nervus vagus telah digunakan untuk tujuan terapeutik pada akhir
abad ini. Pada kasus disritmia kardi, refleks henti jantung atau takikardi bisa di stimulasi
oleh tekanan jari atau pemijatan pada sinus karotid dari satu atau dua sisi secara umum,
kontraksi jantung mulai lagi tapi pada beberapa kasus yang komplit, hasilnya henti
jantung tetap terjadi.1
Hubungan antara nervus laringeal superior dan nervus vagus dapat menimbulkan
stimulasi yang intens pada awalnya, kemudian menjadi stimulasi yang simultan pada
akhirnya, hasilnya menyebabkan perlambatan yang fatal pada refleks jantung. Hal ini
juga bertahan khususnya pada kasus-kasus trauma laringeal. Fraktur pada tulang rusuk
dan pada dasar tengkorak biasanya jarang terobservasi pada kasus kematian dengan
13
menggantung diri dan jikapun ada, umumnya hanya kasus jatuh dari ketinggian tertentu
sebagai penggantungan yudisial.1
2.
14
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian infanticide dengan
menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan hukuman mati (zaman
dahulu).1
Kecelakaan pada kasus jeratan dapat juga kita temukan pada bayi yang terjerat oleh
tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal reflex menjadi penyebab
kematian pada orang yang bersenda gurau.1
Bunuh diri pada kasus jeratan dilakukan dengan cara melilitkan tali secara berulang
dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan dan leher mereka
masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.1
Pemeriksaan tempat kejadian pada kasus jeratan kita lakukan secara rutin
sebagaimana pada kasus yang lain. Kita hendaknya memperhatikan jeratan pada leher
korban dan cara melepaskan jeratan dari leher korban. Ada 5 hal yang penting kita
perhatikan pada kasus jeratan, antara lain:1
Arah jerat mendatar/ horisontal.
Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.
Jenis simpul penjerat.
Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain.
Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang digunakan untuk
menjerat.
Pemeriksaan autopsi pada kasus jeratan mirip kasus penggantungan kecuali pada:1
Distribusi lebam mayat yang berbeda.
Alur jeratan mendatar/ horisontal.
Lokasi jeratan lebih rendah.
15
3.
Bantalan jari.
Bekas kuku dapat kita kenali dari adanya crescent mark, yaitu luka lecet yang
berbentuk semilunar/ bulan sabit. Kadang-kadang kita dapat menemukan sidik jari
pelaku. Perhatikan pula tangan yang digunakan pelaku, apakah tangan kanan (right
handed) ataukah tangan kiri (left handed). Arah pencekikan dan jumlah bekas kuku
(susunan bekas kuku) juga tak luput dari perhatian kita. Tanda kekerasan pada tempat lain
dapat kita temukan di bibir, lidah, hidung, dan lain-lain. Tanda ini dapat menjadi petunjuk
bagi kita bahwa korban melakukan perlawanan.1,2
mukosa & submukosa pharing atau laring. Fraktur yang paling sering kita temukan
pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea.
4.
Asfiksia Traumatik
Asfiksia traumatik (external pressure of the chest) adalah terhalangnya udara untuk
masuk dan keluar dari paru-paru akibat terhentinya gerak napas yang disebabkan adanya
suatu tekanan dari luar pada dada korban, yaitu:1
penekanan rongga dada, rongga perut, diafragma
penekanan dari luar
misalnya desak-desakan O2 kurang asfiksia
Ada 3 macam kecelakaan yang dapat menimbulkan kematian pada korban kasus
asfiksia traumatik, yaitu:1
Terjepit antara lantai dengan elevator, antara 2 kendaraan, atau antara dinding dengan
kendaraan yang mundur.
Tertimbun runtuhan benda atau bangunan, pasir, atau batubara.
Berdesakan di pintu sempit akibat panik.
Ada 2 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan autopsi korban kasus asfiksia
traumatik, yaitu:1
Mencari tanda kekerasan di dada.
Menemukan tanda asfiksia.
5.
Suffocation
Obstruksi jalan nafas sehingga menghalangi masuknya udara kedalam paru-paru yang
mengakibatkan terjadinya asfiksia. Terbagi atas pembekapan (smothering), chocking, dan
gagging.
18
Pembekapan (smothering)
Pembekapan adalah suatu suffocation dimana lubang luar jalan napas yaitu hidung
dan mulut tertutup secara mekanis oleh benda padat atau partikel-partikel kecil.1,2
Ada 3 cara kematian pada kasus pembekapan, yaitu:1
o Kecelakaan (paling sering)
o Pembunuhan
o Bunuh diri
Ada 3 cara kecelakaan pada kematian kasus pembekapan, yaitu:1
o Tertimbun tanah longsor atau salju.
o Alkoholisme.
o Bayi tertutup selimut atau payudara ibu.
Ada 3 cara pembunuhan pada kasus pembekapan, yaitu: 1
o Hidung dan mulut diplester.
o Bantal ditekan ke wajah.
o Serbet atau dasi dimasukkan ke dalam mulut.
Ada 3 cara bunuh diri pada kasus pembekapan, yaitu: 1
o Menggunakan plester atau kantong plastik.
o Bantal yang diikatkan ke kepala.
o Menggunakan dasi atau serbet.
Ada 3 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan autopsi kasus pembekapan,
yaitu: 1
o Mencari penyebab kematian.
19
20
Ada 3 macam kecelakaan yang dapat menimbulkan kematian pada kasus tersedak,
yaitu: 1
o Gangguan refleks batuk pada alkoholisme.
o Pada bayi atau anak kecil yang gemar memasukkan benda asing ke dalam
mulutnya.
o Tonsilektomi, aspirasi, dan kain kasa yang tertinggal pada anestesi eter.
Ada 4 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan autopsi kasus tersedak,
yaitu:1
o Mencari bahan penyebab dalam saluran pernapasan. Juga kadang-kadang ada
tanda kekerasan di mulut korban.
o Menemukan tanda asfiksia.
21
6.
Tenggelam (Drowning)
Tenggelam adalah suatu suffocation dimana jalan napas terhalang oleh air/ cairan
sehingga terhisap masuk ke jalan napas sampai alveoli paru-paru. Tenggelam merupakan
kematian karena asfiksia akibat masuknya air atau cairan lainnya. Beberapa kematian
karena tenggelam kadang tidak hanya disebabkan oleh asfiksia tetapi juga karena
hipotermia. Paparan seseorang terhadap suhu air dibawah 20oC (68oF) akan menghasilkan
kematian dari hipotermia setelah terpapar beberapa jam. Paparan terhadap suhu air yang
mendekati 0oC (32oF) akan menghasilkan kematian dalam beberapa menit.1,5
Ada 2 jenis mati tenggelam berdasarkan posisi mayat, yaitu:1
Submerse drowning; mati tenggelam dengan posisi sebagian tubuh mayat masuk ke
dalam air, seperti bagian kepala mayat.
Immerse drowning; mati tenggelam dengan posisi seluruh tubuh mayat masuk ke
dalam air.
Ada 2 jenis mati tenggelam berdasarkan penyebabnya, yaitu:1,2
22
Dry drowning; mati tenggelam dengan inhalasi sedikit air. Ada 2 penyebab kematian
pada kasus dry drowning, yaitu spasme laring (menimbulkan asfiksia) dan vagal
reflex/ cardiac arrest/ kolaps sirkulasi.
Wet drowning; mati tenggelam dengan inhalasi banyak air. Ada 3 penyebab kematian
pada kasus wet drowning, yaitu asfiksia, fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam
dalam air tawar dan edema paru pada kasus tenggelam dalam air asin (laut).
Mekanisme kematian pada tenggelam pada umumnya adalah asfiksia, mekanisme
kematian yang dapat juga terjadi pada tenggelam adalah karena inhibisi vagal, dan
spasme larynx. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada tenggelam, akan
memberi warna pada pemeriksaan mayat dan pemeriksaan laboratorium, dengan kata lain
kelainan yang didapatkan pada kasus tenggelam tergantung dari mekanisme
kematiannya.1,2
Terendam dalam medium cair mengakibatkan kematian dengan berbagai mekanisme.
Kebanyakan kematian individual terjadi akibat dari terhirupnya cairan (wet drowning),
menghasilkan gangguan pernapasan dan selanjutnya hipoksia serebri. Sebagian,
diperkirakan sekitar 15-20%, tidak menghirup cairan (dry drowning). Kemungkinan lain,
kematian dapat tertunda setelah episode near drowning. Kematian biasanya terjadi akibat
ensefalopati hipoksia atau perubahan-perubahan sekunder dalam paru-paru. Pada
beberapa kasus, khususnya dimana keadaan terapung dipertahankan secara buatan,
kematian terjadi akibat hipotermia.1,2
Sekitar 15-20% kematian akibat tenggelam merupakan dry drowning dimana tidak
terdapat inhalasi cairan yang banyak. Salah satu usulan adalah bahwa masuknya air
secara tiba-tiba kedalam mulut dan tenggorok menghasilkan laringospasme yang hebat
dengan akibat asfiksia. Kemungkinan lain, provokasi serupa dapat merangsang jalur
23
saraf sensoris simpatis ke derajat tertentu dimana terdapat inhibisi reflex vagal pada
jantung dan asystolic cardiac arrest. Cara kematian lain menyebutkan dimana terdapat
suatu sistem yang menghubungkan spasme arteri koronaria dengan pendinginan tiba-tiba
pada kulit.1,2
Seorang perenang yang mahir sekalipun dapat menjadi lemah secara bertahap sebagai
hasil dari hipotermia dan tenggelam. Tubuh yang terendam menghangatkan cairan yang
bersentuhan dengannya, dan dengan segera yang berdekatan dengan permukaan tubuh.
Air menyerap panas sekitar 25 kali lebih cepat daripada udara. Terdapat tiga fase klinis
dari hipotermia yang dimulai dengan fase eksitatorik dimana menggigil berhubungan
dengan kebingungan mental, fase adinamik dimana terdapat kekakuan otot dan sedikit
penurunan kesadaran, dan fase paralitik yang dicirikan oleh keadaan tidak sadar yang
menuntun kepada aritmia jantung dan kematian. Fase-fase ini memiliki hubungan penting
terhadap resusitasi pada korban near drowning, sebagian besar karena fase paralitik dapat
menirukan keadaan mati.1
Mekanisme tenggelam ada 3 macam, yaitu:1,5
Beberapa korban sesaat bersentuhan dengan air yang dingin terutama leher atau jatuh
secara horizontal ia mengalami vagal refleks.
Korban saat menghirup air, air masuk ke laring menyebabkan laringeal spasme.
Mekanisme kematian karena asfiksia. Pada korban ditemukan tanda-tanda asfiksia
tetapi tanda-tanda tenggelam pada organ dalam tidak ada karena air tidak masuk.
Korban saat masuk ke dalam air ia akan berusaha untuk mencapai permukaan
sehingga menjadi panik dan terhirup air, batuk dan berusaha untuk ekspirasi. Karena
kebutuhan oksigen maka ia akan lebih banyak menghirup air. Lama-lama korban akan
sianotik dan tidak sadar. Selama tidak sadar, korban akan terus bernafas dan akhirnya
24
paru tidak dapat berfungsi sehingga pernafasan berhenti. Proses ini berlangsung 3-5
menit, kadang-kadang 10 menit.
Pada orang tenggelam, tubuh korban dapat beberapa kali berubah posisi, umumnya
korban akan tiga kali tenggelam, ini dapat dijelaskan sebagai berikut:1,2
Pada waktu pertama kali orang terjun ke air oleh karena gravitasi ia akan terbenam
untuk pertama kalinya.
Oleh karena berat jenis tubuh lebih kecil dari berat jenis air, korban akan timbul, dan
berusaha untuk bernafas mengambil udara, akan tetapi oleh karena tidak bisa
berenang, air akan masuk tertelan dan terinhalasi, sehingga berat jenis badan sekarang
menjadi lebih besar dari berat jenis air, dengan demikian ia akan tenggelam untuk
kedua kalinya.
Sewaktu berada pada dasar sungai, laut atau danau, proses pembusukan akan
berlangsung dan terbentuk gas pembusukan.
Waktu yang dibutuhkan agar pembentukan gas pembusukan dapat mengapungkan
tubuh korban adalah sekitar 7-14 hari.
Pada waktu tubuh mengapung oleh karena terbentuknya gas pembusukan, tubuh dapat
pecah terkena benda-benda disekitarnya, digigit binatang atau oleh karena
pembusukan itu sendiri, dengan demikian gas pembusukan akan keluar, tubuh korban
terbenam untuk ketiga kalinya dan yang terakhir
Penyebab mati tenggelam yang termasuk undeterminated yaitu sulit kita ketahui cara
kematian korban karena mayatnya sudah membusuk dalam air. Ada 2 tanda penting yang
perlu kita ketahui dari kejadian pembunuhan pada kasus mati tenggelam, yaitu:1
Biasanya tangan korban diikat yang tidak mungkin dilakukan oleh korban.
25
Tabel 2.1 Perbedaan tenggelam pada air tawar dengan air asin
Perbedaan Tempat
Air laut
Air Tawar
Basah
Relatif ringan
Bentuk biasa
Krepitasi ada
Busa banyak
Dikeluarkan dari torak akan mendatad Dikeluarkan dari toraks tapi kempes
dan ditekan akan menjadi cekung
Mati dalam 5-10 menit, 20 ml/kgBB
Darah:
Darah:
26
1. BJ 1,0595 -1,0600
1. BJ 1,055
2. Hipertonik
2. hipotonik
4. hiperkalemia
4. hipokalemia
5. hiponatremia
5. hipernatremia
6. hipoklorida
6. hiperklorida
Resusitasi lebih mudah
Resusitasi aktif
28
laut 1,065. Interpretasinya ditemukan darah pada larutan CuSO4 yang telah diketahui
berat jenisnya.1
Pemeriksaan kimia darah (gettler test) bertujuan untuk memeriksa kadar NaCl dan
Kalium. Interpretasinya adalah korban yang mati tenggelam dalam air tawar,
mengandung Cl lebih rendah pada jantung kiri daripada jantung kanan. Kadar Na
menurun dan kadar K meningkat dalam plasma. Korban yang mati tenggelam dalam air
laut, mengandung Cl lebih tinggi pada jantung kiri daripada jantung kanan. Kadar Na
meningkat dan kadar K sedikit meningkat dalam plasma.1
Pada pemeriksaan histopatologi dapat kita temukan adanya bintik perdarahan di
sekitar bronkioli yang disebut Partoff spot.1
30
D. VISUM ET REPERTUM
Pengertian Visum et Repertum
Dalam undang-undang terdapat satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung
tentang Visum et Repertum, yaitu pada Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1937 No.350
pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan:
Pasal 1:
Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan
pada waktu menyelesaikan pelajaran di negeri belanda ataupun di Indonesia, merupakan
alat bukti yang sah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisikan
keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang
diperiksa. 1
Pasal 2:
(1) Pada dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di negeri Belanda
ataupun di Indonesia, sebagai tersebut dalam pasal 1 diatas, dapat mengucapkan
sumpah sebagai berikut:
saya bersumpah (berjanji), bahwa saya sebagai dokter akan membuat pernyataanpernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang diperlukan untuk kepentingan
peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya.
Semoga tuhan yang maha pengasih dan penyayang melimpahkan kekuatan lahir dan
batin 1
Bila dirinci isi Staatsblad ini mengandung makna:
-
VeR mempunyai daya bukti yang syah/alat bukti yang syah dalam perkara pidana
VeR berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat, ditemukan pada bendabenda/korban yang diperiksa.
pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat VeR
biarpun lafal dan maksudnya berbeda. Oleh karena itu sampai sekarang pada bagian akhir
cisum, masih dicantumkan ketetntuan hukum ini untuk mengingatkan yang membuat
maupun yang menggunakan visum, bahwa dokter waktu membuat visum akan bertindak
jujur dan menyampaikan tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan
korban menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya. 1
Pada seminar lokakarnya VeR di Medan ahun 1981 pengertian visum dirumuskan
lebih jelas, yaitu:
laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah/janji yang
diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal
(fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia (hidup atau
mati) atau benda yang berasal dari tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan
keterampilan yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang
pemeriksaan tersebut. 1
Dasar Hukum Visum et Repertum
Dasar hukum Visum et Repertum dalam Kitab Undang-undah Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. 2
Dalam KUHAP kedudukan atau nilai VeR adalah satu alat bukti yang sah
KUHAP pasal 184
Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
32
e. Keteragan terdakwa. 1
Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan
Pasal 187 (c)
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarka keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. 2
Fungsi dan Peran Visum et Repertum
Visum et Repertum dapat berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana
terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 184
KUHAP, Visum et Repertum merupakan alat bukti yang sah dalam proses peradilan,
yang berupa keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Dalam penjelasan Pasal 133
KUHAP, dikatakan bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis forensik
merupakan keterangan ahli, sedangkan yang dibuat oleh dokter selain spesialis forensik
disebut keterangan. Hal ini diperjelas pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam
Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982 yang menjelaskan
bahwa keterangan yang dibuat oleh dokter bukan ahli merupakan alat bukti petunjuk.
Dengan demikian, semua hasil Visum et Repertumyang dikeluarkan oleh dokter spesialis
forensik maupun dokter bukan spesialis forensik merupakan alat bukti yang sah sesuai
dengan Pasal 184 KUHAP. 3
Di dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah tersebut berturut-turut adalah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Beban
pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut berbedansesuai dengan urutannya.
Sebagai contoh, keterangan saksi harus lebih dipercaya oleh hakim bila dibandingkan
dengan
keterangan
terdakwa.
Demikian
halnya dengan
keterangan
ahli
yang
diberikan oleh seorang dokter spesialis forensik tentunya akan mempunyai beban
pembuktian yang lebih besar bila dibandingkan dengan keterangan yang diberikan oleh
dokter bukan spesialis forensik. Sehingga, kedudukan Visum et Repertum yang dibuat
oleh dokter spesialis forensik masih lebih tinggi dibandingkan dengan
Visum et
jenazah yang telah dikuburkan yang tidak mungkin dibawa ke persidangan, maka
Visum et Repertummerupakan pengganti barang bukti tersebut yang telah diperiksa
secara ilmiah oleh dokter ahli. 4
Apabila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan suatu duduk persoalan di
sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan
baru. Sesuai dengan Pasal 180 KUHAP, hakim tersebut dapat meminta kemungkinan
untuk dilakukan pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti jika memang timbul
keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukumnya terhadap suatu hasil
pemeriksaan. 4
34
Jadi yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita penyakit
jiwa (psikosis), tetapi juga orang dengan retardasi mental. Apabila penyakit jiwa
(psikosis) yang ditemukan, maka harus dibuktikan apakah penyakit itu telah ada
sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu saja, jika semakin panjang jarak
antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan, maka akan semakin sulit bagi dokter
untuk menentukannya sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan. Demikian pula
jenis penyakit jiwa yang bersifat hilang timbul juga akan mempersulit pembuatan
kesimpulan dokter. 3
Visum et Repertum psikiatrikum dibuat untuk tersangka atau terdakwa pelaku
tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana Visum et Repertum lainnya.
Selain itu, Visum et Repertumpsikiatrikum menguraikan tentang segi kejiwaan
manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Oleh karena Visum et Repertum
psikiatrikum menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas
tindak pidana yang dilakukannya, maka lebih baik pembuat Visum et Repertum
psikiatrikum ini adalah dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa
atau rumah sakit umum. 3
(2) Objek fisik, yang dapat dibagi menjadi dua yaitu
A. Visum et Repertum orang hidup
a. Visum et Repertum perlukaan atau keracunan
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah
untuk mengetahui penyebab luka atau sakit dan derajat parahnya luka atau
sakitnya tersebut. Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat catatan
medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya.
Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah
melapor ke penyidik atau pejabat kepolisian, sehingga mereka datang
dengan membawa serta surat permintaan Visum et Repertum. Sedangkan
para korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau
rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan
Visum et Repertum-nya akan datang terlambat. Keterlambatan surat
permintaan Visum et Repertumini dapat diperkecil dengan diadakannya
kerja sama yang baik antara dokter atau institusi kesehatan dengan
penyidik atau instansi kepolisian. 3
Dalam membuat kesimpulan dalam kasus perlukaan dokter sebaiknya
menentukan juga derajat keparahan luka yang dialami korban atau disebut
35
juga derajat kualifikasi luka. Ini sebagai usaha untuk membantu yudex
facti dalam menegakkan keadilan. 1
Kualifikasi luka yang dapat dibuat dokter adalah menyatakan pasien
mengalami luka ringan, sedang, atau berat. 1
Yang dimaksud dengan luka ringan adalah luka yang tidak
menimbulkan halangan dalam menjalankan mata pencaharian, tidak
mengganggu kegiatan sehari-hari. Sedangkan luka berat harus disesuaikan
dengan ketentuan dalam undang-undang yaitu yang diatur dalam KUHP
pasal 90. Luka sedang adalah keadaan luka diantara luka ringan dan luka
berat. 1
KUHP pasal 90
Luka berat berarti:
(1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
(2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencaharian.
(3) Kehilangan salah satu panca indra
(4) Mendapat cacat berat
(5) Menderita sakit lumpuh
(6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
(7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. 1,2
Penganiayaan ringan diatur dalam KUHP pasal 352 dan penganiayaan
sedang diatur dalam KUHP pasal 351 ayat 1.
KUHP pasal 352
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian, diancam sebagai penganiayaan
ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
empat ribu lima ratus rupiah. 1
KUHP pasal 351
(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah
36
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat dyang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 1
b. Visum et Repertum korban kejahatan susila
Pada umumnya, korban kejahatan susila yang dimintakan Visum et
Repertum-nya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan
yang diancam hukuman oleh KUHP. Persetubuhan yang diancam pidana
oleh KUHP meliputi perzinahan, pemerkosaan, persetubuhan pada
wanita yang tidak berdaya, dan persetubuhan dengan wanita yang belum
cukup umur. 2
Untuk
kepentingan
membuktikan
adanya
peradilan,
persetubuhan,
dokter
berkewajiban
untuk
adanya
waktu
kematian)
dapat
dicantumkan
dalam
bagian
kesimpulan.
b. Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar dan dalam
Bila juga disertakan pemeriksaan autopsi, maka penyidik wajib
memberi tahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan
tujuan pemeriksaan. Autopsi dilakukan jika keluarga korban tidak
keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga korban (Pasal 134 KUHAP). Jenazah yang diperiksa dapat juga
berupa jenazah yang didapat dari penggalian kuburan (Pasal 135
KUHAP).3
Pemeriksaan
autopsi
dilakukan
menyeluruh
dengan
membuka
rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Selain itu juga
dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan
histopatologi,
toksikologi,
serologi,
dan
lain
sebagainya.
Dari
39
BAB III
PENUTUP
-
Visum et repertum terdapat dalam lembaran negara tahun 1937 No. 350 pasal 1 dan
pasal 2.
Dokter yang telah disumpah dapat membuat VeR, dimana didalam VeR berisi laporan
tertuis tentang apa yang dilihat dan diemukan pada benda/korban yang diperiksa
Dasar hukum dari Visum et Repertum terdapat dalam KUHAP pasal 133, 184, 186,
dan 187.
Fungsi dari Visum et Repertum adalah berperan dalam proses pembuktian suatu
perkara pidana terhadap kesehatan, jiwa, dan juga orang yang telah meninggal. Visum
et Repertum juga dapat dianggap sebagai barang bukti yang sah karena segala sesuatu
tentang hasil pemeriksaan medis telah diuraikan dalam bagian pemberitaan. Serta
keterbatasan barang bukti yang diperiksa pasti akan mengalami perubahan alamiah
sehingga tidak memungkinkan untuk dibawa kepengadilan.
keracunan/perlukaan
kejahatan susila
b) Korban meninggal
Pemeriksaan luar
40
pertukaran udara pernafasan yang normal. Asfiksia merupakan istilah yang sering digunakan
untuk menyatakan berhentinya respirasi yang efektif (cessation of effective respiration) atau
ketiadaan kembang kempis (absence of pulsation).
Asfiksia merupakan mekanisme kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus
kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran
pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam
kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Jenis asfiksia mekanik
antara lain yaitu:
a.
b.
c.
External pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar.
d.
e.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasymi MA, Ayunazhari I, Dina NF, Sari DO, Suminarti. Pocket Book of Medical
Forensic: Minds Forensic First Edition. Banjarmasin: Laboratorium Forensik RSUD Ulin
Banjarmasin, 2012.
2. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta Barat: Binarupa Aksara, 1997.
3. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008.
4. Apuranto H, Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Edisi
Ketiga. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Universitas
Airlangga, 2007.
5. James SH, Nordby JJ. Forensic Science: An Introduction to Scientific and Investigative
Techniques Second Edition. United States: CRC Press, 2005.
42