1.1. TEORI
1.1.1.
Prasedimentasi
Unit prasedimentasi merupakan unit dimana terjadi proses pengendapan partikel diskret.
Partikel diskret adalah partikel yang tidak mengalami perubahan bentuk, ukuran, maupun berat
pada saat mengendap. Pengendapan dapat berlangsung dengan efisien apabila syarat-syaratnya
terpenuhi. Menurut Lopez (2007), efisiensi pengendapan tergantung pada karakteristik aliran,
sehingga perlu diketahui karakteristik aliran pada unit tersebut. Karakteristik aliran dapat
diperkirakan dengan bilangan Reynolds dan bilangan Froude (Kawamura, 2000).
Bentuk bak prasedimentasi dapat mempengaruhi karakteristik aliran, sehingga bentuk
merupakan hal yang harus diperhatikan pada saat merancang unit prasedimentasi. Selain bentuk,
rasio lebar dan kedalaman merupakan hal yang juga menentukan karakteristik aliran. Hal ini
dikarenakan formula perhitungan bilangan Reynolds dan Froude mengandung jari-jari hidrolis R
sebagai salah satu fungsinya. Jari-jari hidrolis terkait dengan luas permukaan basah A dan
keliling basah P yang merupakan fungsi dari lebar dan kedalaman, sehingga rasio antara lebar
dan kedalaman juga akan mempengaruhi karakteristik aliran.
Adanya ketidakseimbangan pada zona inlet dapat menyebabkan adanya aliran pendek,
turbulensi, dan ketidakstabilan pada zona pengendapan (Kawamura, 2000). Begitu juga halnya
terhadap zona lumpur. Zona lumpur merupakan zona dimana terkumpulnya partikel diskret yang
telah terendapkan. Apabila terjadi aliran turbulen, partikel diskret yang telah terendapkan dapat
mengalami penggerusan, sehingga partikel yang telah terendapkan dapat kembali naik. Zona
outlet juga mempengaruhi karakteristik aliran, sehingga zona outlet harus didesain untuk
meminimalisasi terjadinya aliran pendek.
Aplikasi teori sedimentasi pada pengolahan air minum adalah pada perancangan bangunan
prasedimentasi. Bak prasedimentasi merupakan bagian dari bangunan pengolahan air minum
yang berfungsi untuk mengendapkan partikel diskret yang relatif mudah mengendap
(diperkirakan dalam waktu 1 hingga 3 jam). Teori sedimentasi yang dipergunakan dalam aplikasi
pada bak prasedimentasi adalah teori sedimentasi tipe I karena teori ini mengemukakan bahwa
pengendapan partikel berlangsung secara individu (masing-masing partikel, diskret) dan tidak
terjadi interaksi antar partikel.
Tugas Besar Desain Fisik Kimia II
Dewi Komalasari 25-2011-037
I-1
Aplikasi teori sedimentasi pada pengolahan air limbah. Bak prasedimentasi merupakan
bagian dari bangunan pengolahan air limbah yang berfungsi untuk mengendapkan lumpur
sebelum air limbah diolah secara biologis. Meskipun belum terjadi proses kimia (misal koaguasi
flokulasi atau presipitasi), namun pengendapan di bak ini mengikuti pengendapan tipe III dan IV
karena lumpur yang terdapat dalam air limbah tidak lagi bersifat diskret (mengingat kandungan
komponen lain dalam air limbah, sehingga telah terjadi proses presipitasi).
1.1.2.
Sedimentasi
Sedimentasi adalah pemisahan solid-liquid menggunakan pengendapan secara gravitasi
untuk menyisihkan suspended solid. Pada umumnya, sedimentasi digunakan pada pengolahan air
minum, pengolahan air limbah, dan pada pengolahan air limbah tingkat lanjutan. Pada
pengolahan air minum, terapan sedimentasi khususnya untuk:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
I-2
Bak sedimentasi umumnya dibangun dari bahan beton bertulang dengan bentuk lingkaran,
bujur sangkar, atau segi empat. Bak berbentuk lingkaran umumnya berdiameter 10,7 hingga 45,7
meter dan kedalaman 3 hingga 4,3 meter. Bak berbentuk bujur sangkar umumnya mempunyai
lebar 10 hingga 70 meter dan kedalaman 1,8 hingga 5,8 meter. Bak berbentuk segi empat
umumnya mempunyai lebar 1,5 hingga 6 meter, panjang bak sampai 76 meter, dan
kedalaman lebih dari 1,8 meter.
Klasifikasi sedimentasi didasarkan pada konsentrasi partikel dan kemampuan partikel untuk
berinteraksi. Klasifikasi ini dapat dibagi ke dalam empat tipe (lihat juga Gambar 1.1), yaitu:
Settling tipe I: pengendapan partikel diskrit, partikel mengendap secara individual dan tidak
Sedimentasi Tipe I
Sedimentasi tipe I merupakan pengendapan partikel diskret, yaitu partikel yang dapat
mengendap bebas secara individual tanpa membutuhkan adanya interaksi antar partikel.
Sebagai contoh sedimentasi tipe I antara lain pengendapan lumpur kasar pada bak
prasedimentasi untuk pengolahan air permukaan dan pengendapan pasir pada grit chamber.
Sesuai dengan definisi di atas, maka pengendapan terjadi karena adanya interaksi gayagaya di sekitar partikel, yaitu gaya drag dan gaya impelling. Massa partikel menyebabkan
adanya gaya drag dan diimbangi oleh gaya impelling, sehingga kecepatan pengendapan
partikel konstan.
I-3
(S - ) g V = CD Ac (Vs2/2)
atau
atau
0,5
+ 0,34
NRe = dVs/
I-4
Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menghitung kecepatan pengendapan bila telah
diketahui ukuran partikel, densitas atau specific gravity, dan temperatur air:
1. Asumsikan bahwa pengendapan mengikuti pola laminer, karena itu gunakan persamaan
Stoke's untuk menghitung kecepatan pengendapannya.
2. Setelah diperoleh kecepatan pengendapan, hitung bilangan Reynold untuk membuktikan
pola aliran pengendapannya.
3. Bila diperoleh laminer, maka perhitungan selesai. Bila diperoleh turbulen, maka gunakan
persamaan untuk turbulen, dan bila diperoleh transisi, maka gunakan persamaan untuk
transisi.
Metoda lain dalam menentukan kecepatan pengendapan adalah menggunakan
pendekatan grafis (Gambar 3.2). Grafik tersebut secara langsung memberikan informasi
tentang kecepatan pengendapan bila telah diketahui specific gravity dan diameternya pada
temperatur 10oC.
Pada kenyataannya, ukuran partikel yang tersuspensi dalam air itu banyak sekali jumlahnya.
Karena itu, diperlukan satu ukuran partikel sebagai acuan, sebut saja do, yang mempunyai
kecepatan pengandapan sebesar Vo (lihat Gambar 3.3). Vo disebut juga overflowrate. Dengan
acuan tersebut, maka dapat dibuat pernyataan sebagai berikut:
a. Partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan lebih besar dari Vo, maka 100% akan
mengendap dalam waktu yang sama.
I-5
b. Partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan lebih kecil dari Vo, maka tidak semua
akan mengendap dalam waktu yang sama.
Vo = H/t
di mana:
R = besarnya fraksi pengendapan partikel total
Fo = fraksi partikel tersisa pada kecepatan Vo
V = kecepatan pengendapan (m/detik)
dF = selisih fraksi partikel tersisa
I-6
1.
2.
yang terdapat dalam sampel yang diambil pada interval waktu tertentu. Konsentrasi pada
berbagai waktu tersebut diubah menjadi bentuk fraksi. Fraksi merupakan perbandingan antara
konsentrasi partikel pada waktu ke-t terhadapkonsentrasi partikel mula-mula. Selanjutnya
dihitung kecepatan pengendapan partikel pada tiap waktu pengambilan.
Plot ke dalam grafik hubungan antara fraksi partikel tersisa dengan kecepatan
pengendapan. Ambil nilai kecepatan pengendapan tertentu sebagai acuan (disebut juga waktu
klarifikasi atau overflow rate = Vo). Dari nilai Vo tersebut dapat diperoleh nilai Fo, yaitu
merupakan batas fraksi partikel besar yang semuanya mengendap dan fraksi partikel lebih
kecil yang mengendap sebagian saja. Besarnya fraksi partikel kecil dapat dicari dari luasan
daerah di atas kurva sampai batas Fo (Gambar 1.5).
1.1.2.2.
Sedimentasi Tipe II
Sedimentasi tipe II adalah pengendapan partikel flokulen dalam suspensi encer, di
mana selama pengendapan terjadi saling interaksi antar partikel. Selama dalam operasi
pengendapan, ukuran partikel flokulen bertambah besar, sehingga kecepatannya juga
meningkat. Sebagai contoh sedimentasi tipe II antara lain pengendapan pertama pada
pengolahan air limbah atau pengendapan partikel hasil proses koagulasi-flokulasi pada
pengolahan air minum maupun air limbah.
Kecepatan pengendapan partikel tidak bisa ditentukan dengan persamaan Stoke's
karena ukuran dan kecepatan pengendapan tidak tetap. Besarnya partikel yang mengendap
diuji dengan column settling test dengan multiple withdrawal ports (Gambar 1.6).
I-7
Grafik isoremoval dapat digunakan untuk mencari besarnya penyisihan total pada
waktu tertentu. Tarik garis vertikal dari waktu yang ditentukan tersebut. Tentukan kedalaman
H1, H2, H3 dan seterusnya (lihat Gambar 1.8).
I-8
Besarnya penyisihan total pada waktu tertentu dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan:
1.1.2.3.
mana antar partikel secara bersama-sama saling menahan pengendapan partikel lain di
sekitarnya. Karena itu pengendapan terjadi secara bersama-sama sebagai sebuah zona dengan
kecepatan yang konstan. Pada bagian atas zona terdapat interface yang memisahkan antara
massa partikel yang mengendap dengan air jernih. Sedimentasi tipe IV merupakan kelanjutan
dari sedimentasi tipe III, di mana terjadi pemampatan (kompresi) massa partikel hingga
diperoleh konsentrasi lumpur yang tinggi. Sebagai contoh sedimentasi tipe III dan IV ini
adalah pengendapan lumpur biomassa pada final clarifier setelah proses lumpur aktif (Gambar
1.9). Tujuan pemampatan pada final clarifier adalah untuk mendapatkan konsentrasi lumpur
biomassa yang tinggi untuk keperluan resirkulasi lumpur ke dalam reaktor lumpur aktif.
I-9
Gambar 1.9 Pengendapan pada Final Clarifier untuk Proses Lumpur Aktif
(Reynold dan Richards, 1996)
Sebelum mendisain sebuah bak final clarifier, maka perlu dilakukan percobaan
laboratorium secara batch menggunakan column settling test. Pengamatan dilakukan terhadap
tinggi lumpur pada to hingga t. Data yang diperoleh adalah hubungan antara tinggi lumpur
dengan waktu (Gambar 1.10).
I-10
Setelah pengolahan data tersebut, parameter yang diperoleh dapat digunakan untuk
endisain bak pengendap lumpur biomassa, yaitu:
1. Luas permukaan yang diperlukan untuk thickening, At dengan menggunakan
persamaan:
At = 1,5 (Q+QR) tu/Ho
2. Luas permukaan yang diperlukan untuk klarifikasi (sedimentasi), Ac dengan
menggunakan persamaan:
Ac = 2,0 Q/Vo
di mana:
Q = debit rata-rata harian sebelum resirkulasi, m3/detik
QR = debit resirkulasi, m3/detik
Selain dengan pendekatan waktu tercapainya konsentrasi underflow, disain final
clarifier dapat juga menggunakan pendekatan konsep solid flux. Solid flux adalah kecepatan
thickening solid per satuan luas, dinyatakan dalam kg/jam-m2.
I-11
1.1.3.
horizontal (vh), bilangan Reynold partikel, serta karakteristik aliran. Karakteristik aliran
diketahui dari nilai Bilangan Reynolds dan Froude. Namun, kedua bilangan tersebut tidak
dapat dipenuhi keduanya, sehingga perlu ditetapkan suatu acuan.
Studi literatur menghasilkan kesimpulan bahwa acuan yang tepat untuk desain bak
prasedimentasi bentuk rectangular adalah menggunakan bilangan Froude, sedangkan acuan
yang tepat untuk mendesain bak prasedimentasi bentuk circular dengan tipe center feed
adalah bilangan Reynolds. Berdasarkan SNI 6774 tahun 2008 tentang tata cara perencanaan
unit paket instalasi pengolahan air, bilangan Reynolds pada unit prasedimentasi harus
memiliki nilai kurang dari 2000, sedangkan Bilangan Froude harus lebih dari 10 -5. Kedua
persyaratan tersebut seharusnya terpenuhi, tetapi pada kenyataannya akan sulit memenuhi
kedua bilangan tersebut sekaligus dalam perancangan unit prasedimentasi.
a) Bilangan Reynolds
Penerapan Bilangan Reynolds pada unit prasedimentasi menunjukkan korelasi bahwa
fungsi Bilangan Reynolds adalah untuk menunjukkan kondisi aliran pada unit
prasedimentasi apakah laminer atau turbulen. Kondisi aliran yang laminer diharapkan
terjadi di unit prasedimentasi karena keadaan aliran yang turbulen dapat menurunkan
efisiensi kerja unit prasedimentasi. Oleh karena itu, sesuai dengan SNI 6774 Tahun 2008
tentang Tata Cara Perencanaan Unit Paket Instalasi Pengolahan Air, nilai Bilangan
Reynolds harus kurang dari 2000. Pengaruh jenis aliran yang terjadi pada prasedimentasi
terhadap proses pengendapan partikel dapat dilihat pada Gambar 1.2.
b) Bilangan Froude
Bilangan Froude terkait dengan kondisi aliran apakah, subkritis, kritis, atau superkritis.
Kondisi aliran subkritis memiliki nilai bilangan Froude kurang dari satu yang
I-12
menunjukkan bahwa gaya gravitasi lebih mendominasi daripada gaya inersia, sehingga
kecepatan aliran cukup rendah. Penerapan pada unit prasedimentasi menunjukkan bahwa
bilangan Froude dapat menunjukkan apakah terjadi aliran pendek atau tidak pada unit
prasedimentasi.
Aliran pendek dapat terjadi apabila kecepatan aliran cukup besar, sehingga diharapkan
kecepatan aliran pada unit prasedimentasi tidak terlalu besar atau dalam keadaan
subkritis, sehingga aliran pendek sebisa mungkin dapat dihindari. Oleh karena itu, sesuai
dengan SNI 6774 Tahun 2008 tentang Tata Cara Perencanaan Unit Paket Instalasi
Pengolahan Air, nilai bilangan Froude harus lebih dari 10 -5. Unit prasedimentasi
dirancang sedemikian rupa agar mampu memenuhi Bilangan Reynolds dan Froude,
sehingga tercapai keadaan aliran yang sebaik mungkin untuk mendukung proses
pengendapan.
1.1.4.
Zona Inlet
Zona inlet berfungsi untuk mendistribusikan air ke seluruh area bak secara seragam,
mengurangi energi kinetik air yang masuk, serta untuk memperlancar transisi dari kecepatan
air yang tinggi menjadi kecepatan air yang rendah yang sesuai untuk terjadinya proses
pengendapan di zona pengendapan. Rostami dkk (2011) melakukan penelitian dengan cara
mengatur letak bukaan inlet dan juga mengatur jumlah bukaan inlet. Bukaan inlet (a) terletak
di atas, bukaan inlet (b) terletak di tengah bak, bukaan inlet (c) terletak di bawah bak,
sedangkan bukaan inlet (d) dan (e) merupakan variasi dari jumlah bukaan inlet. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, apabila digunakan hanya satu bukaan inlet, circulation zone yang
terbentuk yang paling kecil adalah apabila bukaan inlet diletakkan di tengah. Hasil penelitian
tersebut, memberikan kesimpulan bahwa apabila hanya digunakan satu bukaan saja, maka
yang paling baik adalah dengan meletakkan bukaan inlet pada bagian tengah bak. Namun,
akan lebih baik apabila bukaan pada inlet jumlahnya lebih banyak. Hasil serupa juga
dihasilkan dari hasil penelitian Tamayol dkk (2008). Tamayol dkk (2008) melakukan
penelitian serupa dengan memposisikan inlet pada tiga posisi, yaitu atas bak, tengah bak, dan
bawah bak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peletakan bukaan inlet di tengah dapat mengurangi
volume circulation zone yang dapat mempengaruhi kondisi pengendapan. Selain melakukan
pengaturan pada posisi inlet, hal lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi volume
circulation zone dan mengurangi energi kinetik air adalah dengan memasang baffle. Namun,
perlu diketahui peletakan baffle yang tepat, sebab peletakan baffle yang salah dapat
memperburuk kinerja bak. Hasil penelitian Tamayol dkk (2008) menunjukkan bahwa baffle
I-13
harus diletakkan tidak jauh dari letak terjadinya circulation zone. Baffle harus diletakkan
dekat dengan terjadinya circulation zone.
Apabila merujuk pada hasil penelitian Rostami dkk (2011) bahwa semakin banyak
bukaan inlet dapat mengurangi volume circular zone dan hasil penelitian Tamayol dkk (2008)
bahwa penempatan baffle pada posisi yang tepat dapat meningkatkan kinerja bak, maka hal
ini akan berkaitan dengan hasil penelitian Kawamura (2000) tentang perforated baffle.
Perforated baffle merupakan modifikasi dari baffle yang memiliki lubang-lubang pada
dindingnya. Adanya lubang-lubang dengan ukuran seragam pada dinding baffle menyebabkan
terjadinya perataan aliran, sehingga dapat meminimalisasi terjadinya dead zone. Sketsa
perforated baffle dapat dilihat pada Gambar 1.13.
I-14
terpengaruh oleh konsentrasi partikel dalam air karena partikel diskret mengendap secara
individual dan tidak ada interaksi antar partikel.
Contoh partikel diskret adalah silika, silt, serta lempung. Partikel diskret memiliki
spesifik gravity sebesar 2,65 dengan ukuran partikel < 1 mm dan kecepatan mengendap <
100 mm/detik. Pengendapan partikel diskret merupakan jenis pengendapan tipe I, yaitu
proses pengendapan yang berlangsung tanpa adanya interaksi antar partikel. Selain
pengendapan partikel diskret, contoh lain pengendapan tipe I adalah pengendapan
partikel grit pada grit chamber. Contoh partikel grit adalah pasir, dengan spesifik gravity
antara 1,2-2,65 dengan ukuran partikel 0,2 mm dan kecepatan pengendapan sebesar 23
mm/detik.
b) Overflow Rate dan Efisiensi Bak
Proses pengendapan partikel pada bak prasedimentasi aliran horizontal pada dasarnya
seperti yang terlihat pada Gambar 1.14. Partikel memiliki kecepatan horizontal, v H dan
kecepatan pengendapan vS.
v0 D
=
vH L
... (1)
v0 =
D
.v
L H
... (2)
v0 =
D Q
.
L wD
... (3)
Sehingga
Tugas Besar Desain Fisik Kimia II
Dewi Komalasari 25-2011-037
I-15
v0 =
Q
wD
... (4)
Persamaan (4) menunjukkan bahwa overflow rate merupakan fungsi dari debit dan luas
permukaan. Selain persamaan (1) hingga (4), persamaan-persamaan berikut dapat
membuktikan bahwa v0 = Q /Asurface
h0
t0
... (5)
V
Q
... (6)
v0 =
t 0=
Sehingga
h0
V /Q
... (6a)
v0 =
h0Q
V
... (6b)
v0 =
Q
As
... (7)
v0 =
Atau
Apabila bak prasedimentasi didesain dengan overflow rate, v o, maka partikel yang
memiliki kecepatan pengendapan vs lebih besar daripada vo akan tersisih seluruhnya.
Partikel yang memiliki kecepatan pengendapan lebih kecil daripada v o akan tersisih
sebagian, yaitu partikel yang berada pada kedalaman H2 (Gambar 1.15).
I-16
1
V dF .
V 0
0
I-17
debit air) yang harus ditanggung per satuan waktu dan panjangnya. Berikut ini adalah
beberapa kriteria desain untuk weir loading rate dari berbagai sumber (Tabel 1.1).
Tabel 1.1 Ragam Weir Loading dari Berbagai Sumber
Weir Loading Rate
(m3/hari.m)
186
Katz, 1962
249,6
Katz, 1962
264
125-500
172,8-259,2
Sumber
Keterangan
Pada daerah yang terpengaruh
density current
Kawamura, 2000
Droste, 1997
Huisman, 1977
Berdasarkan sejumlah kriteria desain pada beragam sumber mengenai weir loading rate
di atas, dapat dilihat bahwa jika pada bak terjadi density current, weir loading rate diharapkan
tidak terlalu besar karena dapat menyebabkan terjadinya penggerusan pada partikel yang
mengendap di sekitar outlet, sehingga diharapkan weir loading rate dapat sekecil mungkin.
Pada dasarnya satu pelimpah sudah cukup, namun jika hanya ada satu pelimpah, maka
weir loading rate akan menjadi besar. Hal tersebut dapat mengganggu proses pengendapan,
sebab terjadi aliran ke atas menuju pelimpah dengan kecepatan cukup besar yang
menyebabkan partikel yang bergerak ke bawah untuk mengendap terganggu. Terdapat
beberapa alternatif untuk mendesain pelimpah agar luas yang dibutuhkan untuk zona outlet
tidak terlalu besar dan beban pelimpah juga tidak terlalu besar, antara lain dapat dilihat pada
Gambar .
I-18
Pemilihan desain outlet sangat tergantung pada lebar bak, debit air yang dialirkan serta
weir loading rate, sehingga pada saat menetapkan bentuk outlet, ketiga hal tersebut harus
dipertimbangkan. Jenis pelimpah yang umumnya digunakan adalah bentuk rectangular dan vnotch, namun v-notch lebih banyak digunakan karena memiliki kemampuan self cleansing
dan dapat meminimalisasi pengaruh angin. Contoh gambar v-notch dapat dilihat pada Gambar
6 berikut.
I-19
Waktu yang diperlukan lebih kecil dari waktu detensi semula sehingga overlow rate lebih
besar dan pengendapan lebih banyak. Jika sudut kemiringan besar maka jarak tempuh besar
kemampuan mengendap kecil waktu pengendapan lama serta overflow rate kecil. Seperti
diilustrasikan dengan gambar berikut.
Maka waktu yang diperlukan hanya 1/5 waktu semula, jadi overflow rate menjadi 5 kali
lebih besar dari semula. Namun akan mempercepat proses penumpukan sludge pada dasar
semu tersebut yang memungkinkan akan terbawa keluar oleh aliran efluen.
Maka dengan sedikit modifikasi, membuat tray tersebut dalam posisi miring, sehingga
jika sudut kemiringan () besar, maka jarak tempuh besar, kemampuan pengendapan kecil,
waktu detensi besar akibatnya overflow rate kecil. Sudut kemiringan plate settler
direncanakan agar lumpur jatuh dengan sendirinya dan tidak menempel pada plate (45 - 60),
namun biasanya direncanakan pada sudut 55 dari horizontal.(Schlutz, 1984)
1.2.
PERHITUNGAN
0,5
0,56
0,04
1,0
0,48
0,02
2,0
0,37
0,01
4,0
6,0
0,19
0,05
0,005 0,0033333
8,0
0,02
0,0025
I-20
Contoh Perhitungan:
Vo=
Kedalamanair
1,2 cm
1,2 m
m
=(
=
=0,04
( Waktu
)
)
Pengendapan
0,5 m
30 detik
detik
= 0,51
Kemudian data frekuensi partikel tersisa (Fo) dan kecepatan pengendapan (Vo) dari
tabel diatas diplotkan kedalam Grafik Pengendapan Partikel Diskret seperti yang telah
dijelaskan pada Gambar 1.5 pada teori tentang overflow rate.
Pada Grafik Pengendapan Partikel Diskret tersebut dapat dicari dari luasan daerah di
atas kurva sampai batas Vo yang telah ditetapkan yaitu 0,025 m/s, dan didapatkan batas Fo
pula, yaitu 0,51. Luasan daerah di atas kurva dapat dicari dengan membuat kotak dengan seadil
mungkin sehinggadapat dicari luasan kotak tersebut. Luasan kotak harus representatif dari
luasan daerah diatas kurva hingga titik Fo yang telah ditetapkan. (grafik terdapat pada
lampiran)
I-21
Tabel 1.3 Perhitungan Luasan Daerah diatas Grafik Pengendapan Partikel Diskret
Sampai Fo ditentukan
A
B
C
Fo
(%)
0,035
0,05
0,05
Vo
m/s
0,022
0,016
0,012
D
E
F
G
0,125
0,125
0,05
0,075
0,0082
0,0052
0,004
0,0028
Kotak
Luas
0,00077
0,0008
0,0006
0,00102
5
0,00065
0,0002
0,00021
0,00425
5
Fo
1
=( 1Fo ) + Vol F
Vo o
=( 10,51 ) +
1
.0,004255=66,02
0,025
66,02
1,
3
I-22
t
Vo
=
=1,3
td Q / A
t Q Vo
= =
td A 1,3
t Q 0,025
= =
td A
1,3
t Q
= =0,0192m/ s
td A
Kedalaman (Zo)
V h=
V h=
8
F
1
2
( ) .Uto
1
8 2
m
m
.0,0192 =0,31
0,03
s
s
( )
Po
8
=
Zo F
1
2
( ) . td
Po
8
=
3 m 0,03
1
2
Po
8
=
3 m 0,03
1
2
( ) . 1,31
( ) . 1,31
Po
=12,56
3m
Tugas Besar Desain Fisik Kimia II
Dewi Komalasari 25-2011-037
I-23
m3
Q
s
As=
=
=4,48 m2
Uto
m
0,025
s
0,112
B=
18,84 m
=4,7 m
84
R=
B x Zo
4,71m x 1,5 m
=
=0,97 m
B+2 Zo 4,71 m+ 2 x 1,5 m
Vo=
Q
0,112 m3/det
m
=
=0,0159
B x Zo
m
s
4,7 m x 1,5
s
m
.0,97
Vo . R
s
NRE=
=
=13957,46
6
1,105 x 10
0,0159
I-24
Q
S o tetap. Dengan penghilangan
V oR
<2000
dan NFr =
V o2
>105
gR
Perhitungan
Diketahui :
= 1,12 m3/det
Akan dirancang 2 bak dengan ukuran yang sama besar, sehingga Q = 0,56 m 3/det
So = 0.00037 m/s
T = 10C = 1,31 x 10 -6 m2/s
Ut = 0,025 m/s
As=
Q
So
I-25
As=
0.56
=1513,5 m2
0.00037
Menghitung panjang dan lebar dengan kriteria desain L:W = 6-10, diambil L:W = 6
L= 6W
Lebar :
As = L x W
As = 6W x W
1513,5 m2 = 6 W2
W=
1513,5
6
W= 15,8 m
Panjang :
L=6W
L = 6 x 15,8m = 94,8 m
Menentukan kedalaman
H=
R=
1 0.8 1
L = 94,8 0.8=3.17 m
12
12
W xH
15,8 m x 3.17 m
=
=2,26 m
W +2 H 15,8 m+2 x 3.17 m
Vo=
Q
0.56
=
=0.011 m/s
W x H 15,8 x 3.17
I-26
Vo x R 0.011 x 2.26
=
=18977
6
1.31 x 10
Fr=
Vo2
0.0112
=
=5.45 x 106
g R 9.81 x 2.26
Menentukan kedalaman
H=
R=
1 0.8 1
L = 480.8=1,84 m
12
12
W xH
31,6 m x 1,84 m
=
=1,6 m
W +2 H 31,6 m+2 . 1,84 m
I-27
Vo=
Q
0.56
=
=0,0098m/ s
W x H 31,6 x 1,8
Vo x R 0,0098 x 1.6
=
=12024
1.31 x 106
2
Vo2 ( 0,0098)
Fr=
=
=6.11 x 106 <105
g R 9.81 x 1.6
Lebar trays
Wf = W : 4
Wf= 31,6 m : 4 = 7,9 m
Jari-jari Hidrolis
R=
Wx H
W +2 H
R=
7.9 m x 1.84 m
=1.3 m
7.9 m+ 2 x 1.84 m
Reynolds Number
I-28
Vo x R
0.0098 x 1.3
=9725 > 2000 aliran turbulen tidak memenu h i KD
1.31 x 106
Froude Number
Fr=
Vo2
gR
Fr=
(0.0098)
6
5
=7,53 x 10 <10 penggerusan tidak memenu h i KD
9.81 x 1.3
Lebar trays
Wf = W : 9
Wf= 31,6 m : 9 = 3,5 m
Jari-jari Hidrolis
R=
Wf x H
Wf +2 H
R=
3.5 m x 1.84 m
=0.89 m
3.5 m+ 2 x 1.84 m
Reynolds Number
Vo x R
0.0098 x 0.89
=6658 > 2000 aliran turbulen tidak memenuhi KD
1.31 x 106
I-29
Froude Number
Fr=
Vo2
gR
Fr=
0.0982
=1.1 x 105 >105 memenuhi KD
9.81 x 0.89
Overflow rate
So =
So
4
So=
0.00037
4
Luas Permukaan
As=
Q
So '
As=
0.56: 4
2
=1513.5 m
5
9.25 x 10
I-30
1513.5 m
W=
= 6 W2
1513.5
6
W= 15.8 m
Panjang :
L = As : W
1513.5 m2 : 15.8 m
L=
L = 95,29 m
Hitung Kedalaman
H=
1 0.8
L
12
H=
1
95,290.8 =3,2 m
12
Jari-jari HIdrolis
R=
W xH
W +2 H
R=
15.8 m x 3,2 m
=2,28 m
15.8 m+ 2 x 3,2m
Kecepatan Horizontal
Vo=
Q
W xH
Vo=
0.56 :4
=0.0027 m/ s
15.8 x 3,2
Reynolds Number
Vo x R
I-31
0.0027 x 2,28
=4699,2 >2000 aliran turbulen Tidak memenu h i KD
6
1.31 x 10
Froude Number
Fr=
Vo2
gR
Fr=
0.00272
=3,25 x 107 < 105 terjadi penggerusan tidak Memenu h i KD
9.81 x 2,28
Overflow rate
So =
So
7
So=
0.00037
7
Luas Permukaan
As=
Q
So '
As=
0.56 :7
=10566 m2
5
5.3 x 10
10566 m2 = 6 W2
I-32
W=
10566 m2
6
W= 41,96 m 42 m
Panjang :
L = As : W
10566 m2 : 42 m
L=
L = 251.6 m
Hitung Kedalaman
H=
1 0.8
L
12
H=
1
0.8
251.6 =6,9 m
12
Jari-jari Hidrolis
R=
W xH
W +2 H
R=
42 m x 6,9 m
=5.2m
42 m+2 x 6,9 m
Kecepatan Horizontal
Vo=
Q
W xH
Vo=
0.56 ; 7
=0.0003 m/s
42 x 6,9
Reynolds Number
Vo x R
I-33
0.0003 x 5.2
=1095,7 >2000 aliran turbulen tidak memenu h i KD
6
1.31 x 10
Froude Number
Fr=
Vo2
gR
Fr=
(0.0003)2
=1,79 x 109 <105 terjadi penggerusan tidak memenu h i KD
9.81 x 5.2
S 0=
Q
W
A H cos + W cos2
S 0=
Q
0.1
0
A 1 cos 60 +0.1 cos2 600
S 0=0.19
Q
A
A=0.19
Q
0,56
2
=0.19
=425.6 m
S0
0.00025
Kecepatan horizontal
V o=
Q
0.56
=
=0.0015 m/s
A s sin 425.6 sin 60
I-34
Jari-jari hidrolis
R=
W 0.1
=
=0.05 m
2
2
Reynolds number
V o x R 0.0015 x 0.05
=
=57 < 2000 aliran laminer memenu h i KD
1.31 x 106
Froude number
2
2
V
0.0015
Fr= 0 =
=4.6 x 106 <105 penggerusan tidak memenu h i KD
g x R 9.81 x 0.05
TUBE SETTLER
Dikarenakan tetap tidak memenuhinya Bilangan Reynold dan Bilangan Fraude dengan berbagai
plate settlers, maka bak prasedimentasi akan dirancang dengan tipe tube separator, dengan tetap
memerhatikan pemenuhan kriteria desain Bilangan Reynold dan Bilangan Fraude. Dimana Tube
settlers ini telah memiliki ukuran lebar tiap tube (pipa)-nya yaitu 0,05 m, dan kedalamnya adalah
0,9 m dengan sudut 600.
Direncanakan W = 0.05 m, H = 0.9 m, = 600
Dengan 95% removal So = 0.00025 m/s
S 0=
Q
W
A H cos + B cos 2
S 0=
Q
0.05
Q
=0.108
0
2
0
A 0.9 cos 60 + 0.05cos 60
A
S 0=0.108
Q
A
I-35
A=0.108
Q
0,56
=0.108
=241.9 m2
S0
0.00025
Kecepatan horizontal
V o=
Q
281 sin
V o=
0.56
=0.0027 m/s
241,9 sin 60
Jari-jari hidrolis
R=
W2
0.052
=
=0.0125 m
4 W 4 x 0.05
Reynolds number
V o x R 0.0027 x 0.0125
=
=26 <2000 aliran laminer memenuhi KD
6
1.31 x 10
froude number
0.0027
2
V0
Fr=
=
gxR
Dikarenakan dengan menggunakan Tube Settlers, pengujian Bilangan Reynolds, dan Bilangan
Fraude memenuhi kriteria desain. Maka akan dirancang Bak Prasedimentasi dengan tipe Tube
Settlers. Dengan ukuran ukuran stiap tube (pipa)-nya yaitu 0,05 m, dan kedalamnya adalah 0,9 m
dengan sudut 600 dan kemampuan pemisahan partikel diskret sebesar 95%. Dan ukuran bak yang
digunakan dengan lebar 31,6 m, panjang bak 48 m, dan ketinggian bak 1,84 m.
INLET SISTEM
I-36
Cross Area
A c=
Q 0.56
=
=0,93 m2
Vi 0.6
Kedalaman Inlet
1
1
Hi= H = 1,84=0,631 m
3
3
Lebar Inlet
W=
Dh=4 x
luasbasah
keliling basah
Dh=4 x
Hi . W
2 Hi+ W
D h=4 x
0,631 m x 1,5 m
=1,34 m
( 2 x 0,6312 m ) x 1,5 m
n=
Ac 0,93
=
=1,5 m
Hi 0.631
W
31,6
1=
1=14,8 bukaan 15 bukaan
x
2
I-37
v
B
1
= i 1 x
2g
3 Dh n
( {
} )
m 2
detik
0,04 31,6 m
1
=
1
x
=0,011 m
m
3
1,34 m 15
2 x 9,81
detik 2
0,6
( {
} )
z> 10
Q p=
Q
n
3
m
detik
m3
=0,037
15
detik
0,56
Q p=
Q p=F 2 g z
F=
Qp
2 gz
3
m
detik
F=
=2,8 x 103 m2
m
2 x 9,81
x 0,11 m
2
detik
0,037
F=
2,8 x 10
I-38
Bila = 0,3
F=
2,8 x 103
=0,0092m 2
0,3
2
F= r =0,0092 m m
r=
0,0092 m2
=0,054 m
v p = 2 gz
v p = 2 x 9,81
m
m
x 0,11 m=1,47
2
detik
detik
OUTLET SISTEM
Q = 0,56 m3/det untuk masing masing bak (terdapat 2 bak)
W = 31,6 m (lebar tangki)
H = 1,84 m (kedalaman bak)
So = 0,0037 m/det (overflow rate)
Q
<5. H . S 0
nB
m3
0,56
detik
m
< 5 x 1,84 x 0,0037
n x 10 m
detik
n>5,2 bua h
6 bua h
I-39
Total=n x W
Total=6 x 31,6 m=189,6 m
Q
<5 H S 0
nB
Q
m
<5 x 1,84 x 0,0037
nB
de tik
Q
m2
<3,4 x 103
nB
detik
Untuk memenuhi syarat weir loading < 5HS0 maka perlu memasang 6 bukaan di tangki
selebar 189, 6 m
4. Debit pada Bukaan
3
q=
Q
=
. no
m
3
detik
m
=6,2 x 103
15 x 6
d etik
0,56
5. V-notch
(dipilih V-Notch karena dapat melakukan self cleansing dengan baik)
q
h= 0
1,4
( )
h=
2
5
6,2 x 103
1,4
m3
detik
2
5
=0,15m=15 cm
I-40
Data waktu pengamatan dan ketinggian bidang batas permukaan lumpur diplotkan kedalam
Grafik Hasil Pengolahan Data Sedimentasi Tipe III dan IV seperti yang telah dijelaskan
pada Gambar 1.11.
Dari grafik, didapatkan hasil:
Tu = 41,25 menit
I-41
mg
Co . Ho 3500 .75,5 cm
hu=
=
=19,59 cm
Cu
mg
13500
Y 5,5 cm
cm
=
=1,1
X 5 menit
menit
Vo=
Q .C + R .Cu= (Q+ R ) . Co
( 10000 R )=1960 .
R=0.196
m3
s
m3
s
1. Area Clarifier
m3
Q
s
2
Ac= .2=
=6109 m
Vo
cm 1cm 1 mnt
1,1
.
.
s 100 m 60 s
0,56
2. Area Thickening
AT =( Q+ R )
Tu
.1,5
Ho
I-42
AT =( Q+ R )
Tu
.1,5
Ho
m3
AT =( 0,56+0,196 )
.
s
60 s
1mnt
1m
75,5 cm.
100 cm
41,25 menit .
AT =3742,2m2
D=
4 Ac
4 . 6109 m2
=
=88,19 m
Vol=Q .Td
Vol=0,56
m3
60 s
3
. 41,25 menit .
=1386 m
s
1 mnt
H=
1.3.
Vol
1386 m
+ Freeboard=
x 1,2=0,26 m
2
Ac
6109 m
GAMBAR
Contents
MODUL I PRASEDIMENTASI DAN SEDIMENTASI 3&4..................................................1
1.1.
TEORI............................................................................................................ 1
1.1.1.
Prasedimentasi............................................................................................... 1
1.1.2.
Sedimentasi.................................................................................................. 2
I-43
1.1.2.1.
1.1.2.2.
1.1.2.3.
1.1.3.
1.1.4.
Zona Inlet................................................................................................... 14
1.1.5.
Zona Pengendapan........................................................................................ 15
1.1.6.
Zona Outlet................................................................................................. 18
1.1.7.
1.2.
PERHITUNGAN............................................................................................. 21
1.2.1.
Overflow Rate............................................................................................. 21
1.2.2.
Kolam Prasedimentasi................................................................................... 24
1.2.3.
1.3.
GAMBAR..................................................................................................... 40
I-44