Anda di halaman 1dari 17

YERSINIA

1. Pendahuluan
Genus Yersinia termasuk dalam family Enterobacteriaceae. Gambaran morfologi
Yersinia berupa bakteri batang Gram negatif tidak berspora, berukuran panjang 1-3 m
dan lebar 0,5-0,8 m, yang menunjukkan karakteristik pewarnaan bipolar dengan
pengecatan Giemsa, Wayson dsn Wright dimana bagian ujung-ujung bakteri berwarna
lebih gelap daripada bagian tengahnya sehingga menyerupai gambaran peniti (safety pin
appearance). Bakteri ini bersifat fakultatif anaerob, dapat tumbuh pada rentang suhu
yang luas (4-43C), tetapi tumbuh paling optimal pada suhu 25-28C. Pada suhu ruang
semua spesies Yersinia (kecuali Yersinia pestis) bersifat motil karena adanya peritrichous
atau paripollar flagella, dan menjadi tidak motil pada suhu 37C.1,2

Gambar 1. Pewarnaan bipolar Yersinia pestis dengan karakteristik closed safety pin
pada pewarnaan Giemsa1
Sebagian besar strain tumbuh baik pada MacConkey agar dan banyak media selektif
lainnya, tetapi tidak tumbuh baik pada media cair dan tidak membentuk suspensi bakteri
yang keruh. Pada protein-based broth dan Thioglycolate broth, pertumbuhan Yersinia
pestis akan tampak menyerupai stalagmite yang menempel pada tabung dan tumbuh ke
arah broth. Bentukan stalagmite yang lepas akan menjadi fragmen-fragmen seperti kapas
yang terakumulasi di bagian dasar tabung. Bakteri ini menunjukkan reaksi katalase
positif dan Oksidase negatif. Saat ini, genus Yersinia terdiri dari 11 spesies. Sebagian

besar spesies dapat diisolasi dari manusia, tetapi hanya ada 3 spesies yang bersifat
patogen pada manusia, yaitu Yersinia pestis, Yersinia enterolytica, dan Yersinia
pseudotuberculosis.1,2,3

Tabel 1. Perbedaan Reaksi Biokimia Spesies Yersinia Patogen2


2. Faktor Virulensi Umum
Sifat patogen atau non patogen dari Yersinia ditentukan oleh keberadaan plasmid
virulen. Ketiga spesies Yersinia virulen yang disebutkan sebelumnya memiliki plasmid
virulen berukuran 70-75 kb yang mengandung gen penyandi faktor virulen utama
(Yersinia outer membrane protein (Yops)), serta protein processing dan protein regulator
Yops, yaitu gen Ysc (Yersinia secretion) dan Lcr (low-calcium response).1
Plasmid virulen yang dimiliki Yersinia disebut juga low calcium response plasmid
(pLCR/pYV) karena produk gen dari plasmid ini menyediakan kebutuhan kalsium yang
diperlukan untuk tumbuh pada suhu 37C. Istilah pLCR ini dapat berbeda-beda pada
setiap spesies yersinia yang berbeda. pLCR disebut pCD1 (calcium dependence) pada
Y.pestis, pYVe (Yersinia virulence) pada Y.enterolitica, dan pYV atau pIB1 pada
Y.pseudotuberculosis. Faktor virulensi utama yang dikode oleh pLCR adalah sistem
sekresi tipe III dan protein efektor yang berkaitan dengannya (secara umum disebut
Yersinia outer protein/Yops). YopE adalah suatu protein yang mengaktivasi GTPase,
sementara YopH adalah suatu protein tyrosine phosphatase, di mana kedua protein ini
adalah protein antifagositik. YopO/YpkA adalah suatu serine threonine kinase, YopJ/P
nenghambat produksi sitokin proinflamasi (TNF), dan memicu apoptosis makrofag.
2

YopT adalah suatu sitotoksin yang menyebabkan disrupsi filamen aktin. Semua protein
efektor yang dikode pLCR ini menggangu signaling intraseluler dan menyebabkan
perubahan sitoskeletal yang mengganggu fungsi fagositosis.4
Spesies Yersinia patogen dapat dibagi lagi menjadi strain dengan patogenitas rendah
(memicu infeksi usus ringan pada manusia dan menyebabkan infeksi non letal pada tikus
dengan dosis rendah) dan strain dengan patogenitas tinggi (menyebabkan infeksi sistemik
yang parah pada manusia dan akan membunuh tikus pada dosis rendah) berdasarkan
ada/tidaknya suatu fragmen kromosom besar dengan karakterikstik pathogenicity island
(HPI/High pathogenecity island), yang mengandung gen pengkode yersiniabactin, yaitu
suatu siderophore yang menjamin ketersediaan besi untuk hidupnya.1,3

Tabel 2. Pembagian strain Yersinia menjadi tiga kelompok patogenitas berdasarkan plasmid
virulen dan HPI3
Sebagian besar gen yang terkandung dalam HPI berperan dalam akuisisi besi yang
diperantarai oleh siderophore sehingga HPI juga sering disebut sebagai iron capture
island. Lokus gen yang terlibat dalam akuisisi besi yang diperantarai oleh yersiniabactin
terdiri dari 11 gen yang terorganisasi dalam empat operon. Fungsi dari semua gen ini
belum diketahui secara pasti, tetapi dapat dibagi menjadi 3 kelompok fungsional, yaitu,
biosintesis yersiniabactin, transport ke sel bakteri (outer membrane receptor and
transporter), dan regulasi. Gen-gen dalam HPI selain iron capture island adalah gen-gen
mobilitas (insertion sequence (IS) atau gen bakteriofag).3

Tabel 3. 11 gen dalam locus yersiniabactin dalam HPI serta fungsinya3


Besi merupakan kofaktor dalam sejumlah reaksi metabolik dan enzimatik dan
merupakan elemen yang esensial pada hampir semua bakteri. Di dalam tubuh mamalia,
kandungan besi bebas relatif rendah karena besi akan tersekuester di dalam sel atau
terikat pada protein karier spesifik seperti lactoferrin dan transferrin. Pada saat terjadi
infeksi, kadar besi bebas dalam cairan tubuh menjadi semakin rendah karena adanya
pergeseran besi dari transferrin ke lactoferrin di liver (induced hypoferremia). Karena itu
bakteri patogen menghadapi kondisi di mana konsentrasi besi bebas dalam host menjadi
terlalu rendah untuk menyokong pertumbuhannya. Yersiniabactin yang disekresikan oleh
strain Yersinia patogen akan mengikat molekul besi yang terikat pada protein eukariot dan
mengangkutnya ke dalam sel bakteri Yersinia, sehingga dengan demikian menjamin
ketersediaan besi untuk pertumbuhannya.3
3. Yersinia pestis
Yersinia pestis merupakan spesies dalam genus Yersinia yang merupakan penyebab
penyakit pes. Hal yang menarik adalah bahwa bakteri ini tergolong dalam Tier 1 select
agent, yang memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai senjata biologis. Bakteri ini
banyak ditemukan di seluruh dunia dan relatif mudah dimanipulasi di laboratorium,
termasuk manipulasi yang menyebabkan munculnya fenotip resisten terhadap banyak jenis
antibiotik. Sebagai agen bioterorisme, Yersinia pestis biasanya dilepaskan dalam bentuk
aerosol yang akan menyebabkan wabah pneumonic plague primer yang sangat fatal dan
berpotensi menular dari orang ke orang.

Ditemukannya banyak pasien pneumonia

fulminant dengan sputum yang penuh darah dan mengandung bakteri batang gram negatif
harus meningkatkan kecurigaan kita akan kemungkinan serangan bioterorisme.5,6

Yersinia pestis memiliki plasmid berukuran 70-kb yang mengandung gen penyandi
faktor virulensi yang berupa penghambatan produksi sitokin proinflamasi, resistensi
fagositosis, dan peningkatan kemampunan survival intraseluler. Gen penyandi faktor
virulensi juga ditemukan di kromosom, di antaranya adalah gen penyadi endotoxin
lipopolisakarida yang poten dan faktor pigmentasi, hemin storage locus (hms).5

Tabel 4. Faktor Virulensi dan Faktor Transmisi Yersinia pestis5


Berdasarkan kemampuan memfermentasi glycerol dan mengubah nitrat menjadi nitrit
Yersinia pestis dapat diklasifikasikan menjadi 3 biovar, yaitu biovar Antiqua, Medievalis,
dan Orientalis. Ketiga biovar ini telah menyebabkan penyakit pes pandemi.5
4. Patogenesis
Infeksi pada manusia terjadi akibat gigitan kutu yang terinfeksi, kontak langsung
dengan jaringan atau sekret hewan yang terinfeksi, dan jarang kali melalui inhalasi
aerosol yang infeksius. Transmisi penyakit melalui gigitan kutu terutama terjadi selama
epizootik di mana kutu mencari sumber darah alternatif akibat matinya tikus yang semula
menjadi hostnya. Jenis kutu yang paling efisien sebagai vektor pembawa Yersinia pestis
adalah Xenopsylla cheopis dan Xenopsylla braziliensis. Di dalam tubuh kutu, Yersinia
pestis mengekspresikan berbagai faktor yang memfasilitasi replikasi kutu, dan kolonisasi
serta blok usus kutu.5
5

Ketika menggigit manusia, kutu ini akan makan secara agresif dan memuntahkan
sejumlah besar Yersinia pestis ke luka gigitan.

Yersinia pestis kemudian akan

difagositosis dan dibunuh oleh sel-sel polimorfonuklear, dan beberapa akan difagositosis
oleh sel mononuklear.

Bakteri yang difagositosis oleh sel mononuklear tidak mati,

melainkan akan dibawa ke lymph node regional di mana bakteri akan menstimulasi
respon inflamasi yang kuat yang secara klinis akan tampak sebagai bubo. Bakteri yang
menginvasi pembuluh darah akan memicu terjadinya bakteremia, yang jika tidak diterapi
secara adekuat dapat menyebabkan terjadinya pneumonia sekunder, DIC, gagal ginjal
akut, dan syok. Selain itu, pemblokan pembuluh darah di daerah akral yang lebih dingin
(jari-jari, telinga, hidung) akan menyebabkan terjadinya gangrene (Black death).5
Transmisi bakteri akibat inokulasi langsung dapat terjadi pada para pemburu yang
berkontak dengan bangkai tikus,kelinci, anjing hutan maupun kucing ganas yang
terinfeksi. Transmisi melalui aerosol dapat terjadi dengan perantaraan hewan peliharaan
yang terinfeksi, misalnya kucing. Kucing rumah yang memakan tikus yang terinfeksi
akan mengalami infeksi faring yang kemudian akan secara langsung mentransmisikan
bakteri ke manusia melalui droplet respiratorik dan menyebabkan terjadinya pneumonic
plague primer.5
5. Manifestasi Klinis
Penyakit yang disebabkan oleh Yersinia pestis disebut dengan istilah penyakit pes.
Penyakit pes bisa bermanifestasi sebagai bubonic plague (terutama), septicemic plague,
pneumonic plague, atau bentuk klinis penyakit lain yang sebagian juga dipengaruhi oleh
rute paparannya. Periode inkubasi umumnya antara 2-7 hari, tetapi dapat lebih singkat (1
hari) pada pneumonic plague primer.1,2,5
Bubonic plague ditandai dengan lymph node yang meradang dan bengkak, berukuran
1-10 cm. Bubonic plague terjadi akibat gigitan kutu yang terinfeksi pada kulit penderita.
Bakteri yang diinokulasikan pada tempat gigitan kutu kemudian ditransport ke lymph
node regional (umumnya axilla, groin, cervical) dan bermultiplikasi. Hal ini
menyebabkan peradangan pada lymph node, ditandai dengan pembengkakan lymph node
yang umumnya terjadi pada hari pertama. Bubonic plague biasanya tidak disertai dengan
terjadinya ascending lymphangitis. Gejala klinis lain yang meyertai bubonic plague di
antaranya adalah demam tinggi, menggigil, nyeri kepala dan malaise. Pada beberapa
pasien, lymph node mengalami kerusakan sehingga memungkinkan diseminasi
hematogen dari bakteri dan menyebabkan septicemic plague sekunder yang dapat
6

berakhir dengan DIC yang disertai dengan petekiae dan gangrene (sering pada jari-jari
dan hidung).2,5

Gambar 2. Axillary bubo dan Acral gangrene pada Bubonic plague2,5


Septicemic plague ditandai dengan demam tinggi yang terjadi tiba-tiba dan keluhankeluhan lain yang sama dengan bubonic plague, tetapi tidak disertai adanya bubo atau
tanda lokal lain. Septicemic plague bersifat progresif cepat dan menyebabkan terjadinya
sepsis dan kegagalan organ dalam hitungan hari. Yersinia pestis dapat pula terbawa ke
paru melalui aliran darah dan menyebabkan pneumonic plague sekunder yang ditandai
dengan pneumonia, dyspnea dan hemoptysis.2,5
Pneumonic plague dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Pneumonic plague
sekunder adalah bentuk yang lebih umum terjadi akibat penyebaran hematogenik bakteri
yang berasal dari bubonic plague atau sumber lain. Pada mulanya pasien mengalami
batuk produktif dengan produksi sputum relatif minimal pada 5-6 hari setelah onset
penyakit, namun jika tidak diterapi secara adekuat produksi sputum akan menjadi
semakin banyak dan berdarah (bloody), serta sering berakhir dengan kematian dalam 3-4
hari.5
Pneumonic plague primer terjadi akibat inhalasi droplet yang mengandung bakteri
melalui kontak dengan penderita pneumonic plague, paparan dengan hewan (umumnya
kucing) yang mengalami respiratory atau pharyngeal plague, inhalasi langsung pada saat
terjadi bioterorisme dengan agen Yersinia pestis. Secara klinis, pneumonic plague primer
tampak sebagai takipnea hebat dan cepat, dispnea, hipoxia, nyeri dada, batuk, hemoptysis,
tanda-tanda endotoxemia, serta gejala sistemik lain yang tidak spesifik (demam, nyeri
kepala, malaise) yang terjadi 1-4 hari setelah paparan.
7

Sputum umumnya bersifat

purulen, tetapi dapat juga watery, frothy, bercampur darah atau grossly hemorragic.
Rontgen dada pada awalnya menunjukkan gambaran lobar pneumonia, diikuti dengan
dense consolidation dan penyebaran bronkogenik ke lobus lain pada paru yang sama atau
paru yang lain. Penyakit ini hampir selalu fatal dan dapat menyebabkan kematian jika
tidak diterapi dalam waktu 24 jam setelah onset penyakit.5

Gambar 3. Gambaran rontgen dada pasien dengan penumonic plague primer5


6. Diagnosis
Pada kecurigaan adanya penyakit pes perlu dilakukan rontgen dada untuk memastikan
tidak terjadinya pneumonic plague.

Konfirmasi penyakit pes dilakukan dengan

pemeriksaan kultur/isolasi Yersinia pestis

dari darah, aspirat bubo, swab kulit atau

mukosa faring, sputum atau spesimen respiratorik bawah lainnya, liquor cerebrospinal
atau spesimen lain tergantung dari tanda dan gejala klinis yang muncul. Aspirat bubo
didapat dengan pertama-tama menginjeksikan 2 ml larutan saline sterile ke bubo
menggunakan spuit 10 cc dengan nedle 20G, kemudian menarik plunger beberapa kali
sampai larutan saline bercampur darah.5
Media kultur yang digunakan untuk isolasi Yersinia pestis di antaranya adalah BHI
broth, Sheep blood agar (SBA), chocolate agar, dan MacConkey agar. Pada SBA atau
MacConkey agar, Yersinia pestis akan tampak sebagai koloni kecil berukuran 1-2 nm
setelah 24-48 jam inkubasi pada suhu 37C. Pada inkubasi 72 jam, pada SBA akan
tampak koloni non hemolitik dengan morfologi seperti telur goreng (fried egg
appearance). Pada MacConkey agar, Yersinia pestis menunjukkan pertumbuhan koloni
non lactose fermenter. Pada thioglycolate broth atau protein-based broth, Yersinia pestis
akan tumbuh seperti gambaran stalagmite yang menempel pada tabung dan tumbuh ke
8

arah broth di mana bentukan stalagmite yang lepas akan menjadi fragmen-fragmen seperti
kapas yang terakumulasi di bagian dasar tabung. Bakteri ini relatif inert/tidak responsif
secara

biokimiawi

sehingga

sistem

identifikasi

komersial

sering

kali

gagal

mengidentifikasi isolat Yersinia pestis. Di laboratorium rujukan, suatu isolat dikonfirmasi


sebagai Yersinia pestis jika terjadi lisis dengan Y.pestis-specific bacteriophage.2,5

Gambar 4. Koloni Yersinia pestis pada SDA2


Sediaan yang dibuat dari spesimen langsung dapat diwarnai dengan pewarnaan
Wayson atau Giemsa dan pewarnaan Gram. Pada pewarnaan Wayson, Yersinia pestis
akan tampak sebagai bentukan batang berwarna biru terang dengan polar body berwarna
biru gelap yang menunjukkan karakteristik closed safety-pin appearance.

Jika

memungkinkan, spesimen juga dapat diperiksa menggunakan direct fluorescent antibody


(DFA) testing.5

Gambar 5. Gambaran darah perifer penderita septicemic plague5


Diagnosis penyakit pes dapat pula ditegakkan secara serologi (uji hemagglutinasi
pasif) dengan mendeteksi antibodi terhadap antigen F1 Y.pestis.
9

Uji serologi

menunjukkan hasil positif jika ditemukan kadar antibodi 1:128 pada pasien yang tidak
divaksinasi, atau peningkatan titer 4x antara fase akut dan fase konvalesen. 5
7. Terapi
Tanpa terapi, 50% pasien dengan bubonic plague dan hampir semua pasien dengan
septicemic atau pneumonic plague akan meninggal. Antibiotik harus diberikan segera
setelah mengambil spesimen untuk tujuan diagnostik. Antibiotik pilihan untuk penyakit
pes adalah Streptomycin, yang harus diberikan secara intramuskular dengan dosis 2x
15mg/kgBB sehari (maksimal 1 gram) selama 7 hari atau sedikitnya sampai 3 hari setelah
demam atau gejala lain hilang.

Karena efek samping ototoksik dan nefrotoksik,

streptomycin harus digunakan secara hati-hati pada wanita hamil, lansia dan pasien
dengan gangguan pendengaran. 5
Sebagai alternatif terhadap streptomycin, antibiotik lain yang dapat digunakan di
antaranya

adalah

gentamycin,

tetracycline,

doxycycline,

levofloxacin,

dan

chloramphenicol. Terapi dengan penicillin, cephalosporine, dan macrolide memberikan


efek klinis yang suboptimal dan tidak direkomendasikan untuk terapi penyakit pes. 5
Terapi dengan doxycycline harus diberikan dengan loading dose 200 mg (secara
intravena ataupun per oral tergantung dari tingkat keparahan penyakit) setiap 12 jam pada
hari pertama, dilanjutkan dengan dosis 100 mg setiap 12 jam. Tetracycline diberikan
dengan loading dose awal 2 gram, dilanjutkan dengan 2 gram per hari yang diberikan
dalam 4 dosis terbagi. 5
Pada kondisi-kondisi di mana dibutuhkan penetrasi jaringan yang tinggi (plague
meningitis, pleuritis, myocarditis), chloramphenicol atau levofloxacin dapat digunakan
sebagai antibiotik pilihan yang digunakan secara terpisah atau dengan kombinasi
aminoglycoside.

Chloramphenicol diberikan dengan loading dose 25-30 mg/kgBB,

dilanjutkan dengan 50-60 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi. Tergantung dari kondisi
klinisnya, dosis chloramphenicol dapat diturunkan menjadi 25-30 mg/kgBB/hari untuk
mengurangi resiko terjadinya supresi sumsum tulang yang reversibel. 5
8. Yersinia enterolitica dan Yersinia pseudotuberculosis
Yersinia enterolitica dan Yersinia pseudotuberculosis merupakan 2 spesies dalam
genus Yersinia yang tergolong bakteri enteropatogen dan menyebabkan infeksi pada
manusia melalui jalur transmisi fecal-oral, yaitu setelah memegang binatang atau bangkai
binatang yang terkontaminasi, setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang
10

terkontaminasi, dan jarang kali melalui transfusi darah yang terkontaminasi.


Y.enterolitica merupakan patogen pada manusia dan jarang menyebabkan penyakit pada
binatang. Sebaliknya Y.pseudotuberculosis adalah patogen pada binatang dan jarang
menyebabkan penyakit pada manusia.5,7
Y.enterolitica terdiri dari 6 biotipe (1A, 1B, 2, 3, 4, 5) yang bisa dibedakan dari uji
fisikokimia dan biokimia, dan 60 serogroup berdasarkan variasi antigenik pada LPS
dinding sel. Y.enterolitica yang bersifat patogen pada manusia adalah biotipe 1B,2,3,4,5.
Y.pseudotuberculosis terdiri dari 14 biotipe, hanya biotipe O:1 - O:5 yang bersifat patogen
pada manusia.5,7
Pada manusia, Y.enterolitica berkaitan beberapa manifestasi klinis dan imunologi
yang mendasari munculnya penyakit pada usus seperti enterocolitis yang disertai dengan
diare inflamatorik pada bayi dan anak-anak, ileitis terminal akut dan limfadenitis
mesenterik yang menyerupai appendicitis pada anak-anak yang lebih besar dan pada
dewasa muda, serta manifestasi ekstrainterstinal yang lebih jarang terjadi seperti infeksi
saluran kencing dan saluran nafas (empyema), reactive arthritis, erythema nodosum,
abses di daerah axilla, dan endocarditis.7
9. Faktor Virulensi
Baik Y.enterolitica maupun Y.pseudotuberculosis memiliki plasmid virulen (pYV)
berukuran 70 kb yang mengkode suatu protein adhesi utama (YadA), sistem sekresi tipe
III (T3SS) injectisome, dan Yersinia other membrane effector protein (Yops) yang mana
secara umum berfungsi protektif terhadap fagositosis dan lisis bakteri yang diperantarai
komplemen, sehingga memungkinkan bakteri untuk berproliferasi di jaringan
ekstraseluler. Selain plasmid virulen, kedua spesies ini menghasilkan endotoxin
lipopolisakarida yang memiliki fungsi yang sama dengan fungsinya pada bakteri Gram
negatif lainnya.5,7
Gen penyandi faktor virulensi juga ditemukan pada kromosom.

Kromosom

Y.enterolitica patogen mengandung gen inv (mengkode invasin, suatu outer membrane
protein yang diperlukan untuk translokasi bakteri melewati epitel usus), gen avl
(mengkode outer membrane protein yang penting untuk fungsi adhesi, invasi dan
resistensinya terhadap lisis yang diperantarai oleh komplemen), gen yst (mengkode
yersinia heat stable enterotoxin yang berperan penting dalam patogenesis diare
yersiniosis), gen myf (mengkode antigen fimbriae dan adhesin).

11

Strain Yersinia

enterolitica 1B/O:8 memiliki HPI yang mengandung gen pengkode yersiniobactin dengan
peran yang sama seperti yang ditunjukkan pada Y.pestis.5,7

Tabel 5. Gen penyandi faktor virulensi pada Y.enterolitica7

10. Patogenesis
Infeksi oleh Y.enterolitica maupun Y.pseudotuberculosis terjadi setelah bakteri ini
(minimal berjumlah 109) masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran cerna. Di dalam
tubuh manusia (suhu 37C) bakteri mengekspresikan beberapa faktor virulensi yang
memicu adhesi ke sel epitel usus halus dan melewati barier usus melalui sel M. Dua
properti patogenik yang dimiliki oleh Yersinia enterolitica untuk terjadinya enterocolitis
adalah kemampuan penetrasi dinding usus dan produksi heat-stable enterotoxin.5,7
Untuk terjadinya enterocolitis ada 4 tahap yang dilalui, yaitu adaptasi, adhesi, invasi,
dan diseminasi lokal dan sistemik. Sebelum mengkolonisasi usus, yersinia pertama kali
harus beradaptasi dengan usus manusia pada suhu sekitar 37C. Adaptasi ini diperankan
oleh beberapa outer membrane protein (polipeptida) yang dikode oleh gen pada pYV dan
diekspresikan pada suhu 37C tetapi tidak pada suhu 25C. Setelah beradaptasi dengan
suasana usus, bakteri selanjutnya akan melakukan adhesi pada sel epitel usus yang
diperantarai oleh fimbriae. Beberapa strain Yersinia enterolitica menghasilkan adhesin
fimbriae, Myf (mucoid Yersinia fibrillae) yang merupakan faktor kolonisasi.7

12

Setelah menempel pada sel epitel usus, selanjutnya Yersinia enterolitica akan
menginvasi sel epitel usus. Proses invasi/internalisasi bakteri ini terjadi dengan cara
membran sel epitel usus seakan-akan membungkus bakteri. Hal ini melibatkan interaksi
antara protein permukaan bakteri (Invasin) dengan molekul adhesi pada permukaan sel
epitel usus (1 integrin) melalui proses yang disebut proses zippering.7

Gambar 6. Invasi Yersinia melalui proses zippering.7


Selanjutnya bakteri akan melintasi epitel usus terutama melalui FAE (follicle
associated epithelial cell) yang terletak di Payers patches ileum. Bakteri kemudian akan
bermultiplikasi di Peyers patches dan menyebar ke mesenteric lymph node. Yersinia
memproteksi dirinya dari serangan makrofag dengan cara mengekspresikan strategi
antifagositik yang diperantarai oleh 3 protein efektor (YopH, YopT, YopE) yang
disekresikan oleh sistem sekresi tipe III dan mengganggu pembentukan sitoskeleton yang
diperlukan untuk proses fagositosis. Akibatnya, strain Yersinia tetap berada di jaringan
ekstraseluler pada Peyers patches dan lymph node mesenteric yang terinfeksi yang
kemudian menyebar dan menyebabkan infeksi lokal dan sistemik. Setelah 4-7 hari akan
terjadi ulserasi mukosa pada ileum terminalis, lesi nekrotik pada Peyers patches dan
pembesaran mesenteric lymph node. Pada kasus yang berat, dapat terjadi trombosis
pembuluh darah mesenteric, nekrosis usus dan perdarahan. Masuknya bakteri ini ke
dalam pembuluh darah menyebabkan terjadinya septicemia yang berpotensi menimbulkan
terbentuknya banyak abses pada banyak organ (paru, liver, meningen).5,7

13

Gambar 7. Patofisiologi Enterocolitis Akibat Infeksi Yersinia7

14

11. Manifestasi Klinis


Sebagian besar kasus infeksi oleh Y.enterolitica bermanifestasi sebagai enterocolitis
yang ditandai dengan demam, diare, nyeri perut, dan keluhan-keluhan gastrointerstinal
lain yang tidak spesifik yang berlangsung antara 1-3 minggu. Komplikasi yang relatif
sering muncul di antaranya adalah reactive polyarthritis yang biasanya melibatkan 2-4
sendi dari sendi lutut, ankle, jari-jari dan pergelangan tangan.

Radang sendi ini

umumnya terjadi beberapa hari sampai 1 bulan setelah onset diare dan berlangsung
dalam hitungan bulan. Selain itu, walaupun jarang, infeksi oleh Y.enterolitica dapat
bermanifestasi sebagai erythema nodosum, faringitis eksudatif, septicemia, dan
endocarditis.5
Manifestasi klinis yang paling sering terjadi akibat infeksi oleh Y.pseudotuberculosis
adalah mesenteric adenitis, dengan gejala klinis yang sangat menyerupai appendicitis
akut (demam dan nyeri perut kuadran kanan bawah).

Selain itu, infeksi oleh

Y.pseudotuberculosis dapat pula bermanifestasi sebagai erythema nodosum, poluarthritis,


septicemia, dan sindroma yang menyerupai scarlet fever. Y.pseudotuberculosis juga
sering dikaitkan dengan terjadinya Kawasaki disease.
12. Diagnosis
Isolasi Y.enterolitica dan Y.pseudotuberculosis dari kultur darah, CSF dan mesenteric
lymph node yang normalnya steril dapat dilakukan dengan relatif mudah. Tetapi isolasi
dari kultur feses menjadi sulit karena lamanya pertumbuhan bakteri ini dan adanya
overgrowth bakteri flora normal. Untuk meningkatkan kemungkinan isolasi bakteri ini
dari feses dapat dilakukan cold enrichment, alkali treatment, atau dengan menggunakan
agar selektif CIN (cefsulodin-irgasan-novobiocin).5
Selain itu, diagnosis dapat pula ditegakkan berdasarkan uji serologi (tes aglutinasi,
ELISA, dan immunoblotting).

Y.enterolitica dan Y.pseudotuberculosis menunjukkan

reaksi silang satu sama lain dan reaksi silang dengan bakteri lain (Brucella, Vibrio,
Bartonella, Borrelia, dan E.coli). Y.pseudotuberculosis tipe II dan IV bereaksi silang
dengan Salmonella group B dan D. 5
13. Terapi
Y.enterolitica mengahasilkan -lactamase sehingga isolat Y.enterolitica

resisten

terhadap penicillin, ampicillin dan cephalosporine generasi I. Infeksi oleh Y.enterolitica


umumnya bersifat self limited dan peran terapi antibiotika tidak sepenuhnya dapat
15

dijelaskan. Terapi antibiotika memperpendek persistensi IgG anti-Yersinia sampai sekitar


3 bulan. Penderita Y.enterolitica-induced septicemia sebaiknya diberi terapi antibiotika.
Respon klinis yang baik telah dilaporkan setelah penggunaan aminoglycoside,
trimethoprim/sulfamethoxazole, doxycyclin, dan ciprofloxacin.5
Infeksi yang disebabkan oleh Y.pseudotuberculosis umumnya juga tidak memerlukan
terapi antibiotik. Namun demikian, antibiotik harus tetap diberikan pada penderita dengan
septicemia yang disebabkan oleh bakteri ini. Antibiotika yang dapat diberikan antara lain
adalah ampicillin (100-200 mg/kgBB/hari, secara IV) atau tetracycline, doxycycline,
aminoglycoside dengan dosis standar yang digunakan untuk terapi infeksi berat.5

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Versalovic, J., Carrol, K.C., Funke, G., Jorgensen, J.H., Landry, M.L., Warnock, D.W.
2011. Manual of Clinical Microbiology, 10th Edition. Washington DC : ASM Press.
2. Mahon, C.R., Lehman, D.C., Manuselis, G. 2015. Textbook of Diagnostic
Microbiology. 5th Edition. China : Elsevier, Saunders.
3. Carniel, E. 1999. Review Article : The Yersinia high-pathogenicity island.
International Microbiology (1999) 2:161-167.
4. Huang, X.Z., Nikolich, M.P., Lindler, L.E. 2006. Current Trends in Plague Research:
From Genomics to Virulence. Clinical Medicine & Research, Volume 4, Number 3:
189-199. Available online at: www.clinmedres.org
5. Bennett JE, Dolin R, Blaser MJ. 2015. Mandell, Douglass, and Bennetts Principles
and Practice of Infectious Diseases. 8th Edition. Canada : Elsevier, Saunders.
6. Federal Select Agent Program by DHHS, CDC and USDA. Available online at :
www.selectagents.gov
7. Sabina Y., Rahman A., Ray RC, Montet D. 2011. Review Article : Yersinia
enterolitica : Mode of Transmission, Molecular Insights of Virulence, and
Pathogenesis of Infection. Journal of Pathogens Volume 2011, Article ID 429069,
doi:10.4061/2011/429069.

17

Anda mungkin juga menyukai