Anda di halaman 1dari 214

ii

"
#

"
"

"

"

"

%
&
"

'
"

"
#
) *

#
+

#
,

#
"
-$

" !!+

.//0

iii

Daftar Isi
BAB I PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar dan Definisi
1. Definisi
a. Definisi Schmitthoff
b. Definisi Rafiqul Islam
c. Definisi Michelle Sanson
d. Definisi Hercules Booysen
2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
a. Hubungan Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum
Lainnya
b. Hukum Perdagangan Internasional bersifat Interdisipliner
B. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional
1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak
2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
3. Prinsip Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
4. Prinsip Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional
D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional
E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
1.
Perlunya
Unifikasi
dan
Harmonisasi
Hukum
Perdagangan
Internasional
2. Lembaga-lembaga Yang Bergerak dalam Unifikasi dan Harmonisasi
Hukum
a. World Trade Organization (WTO)
b. The International Institute for the Unification of Private Law
(UNIDROIT)
c. The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL)
d. Kamar Dagang Internasional (ICC)
F. Penutup
BAB II. SUBYEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Negara
1. Peran Negara
2. Imunitas Negara
C. Organisasi Perdagangan Internasional
D. Individu
1. Perusahaan Multinasional
2. Bank
E. Penutup
BAB III. SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

iv
A. Pengantar
B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional
1. Perjanjian Internasional
2. Hukum Kebiasaan Internasional
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum
4. Putusan Badan Pengadilan dan Doktrin
5. Kontrak
6. Hukum Nasional
C. Penutup
BAB IV. ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT
A. Pengantar
B. Sejarah GATT
C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam GATT
D. Prinsip-prinsip GATT
E. Garis-garis besar Ketentuan GATT
F. Penutup
BAB V. LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan Internasional
1. Kredit Berdokumen (Documentary Credit)
2. Bentuk Khusus Kredit Berdokumen
C. Penutup
BAB VI. E-COMMERCE MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON ELECTRONIC COMMERCE
1996
A. Pengantar
B. Masalah Hukum: Pengawasan
C. UNCITRAL Model Law
1. Pengantar
2. Penerapan Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data
3. Kekuatan Pembuktian Pesan Data
4. Penyimpanan Pesan Data
5. Komunikasi Pesan Data
6. Bentuk dan Keabsahan Kontrak
7. Pengakuan terhadap Pesan Data
8. Pengakuan Penerimaan
9. Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data
10. Bagian II: Obyek tertentu: Pengiriman Brg
11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading)
12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi
D. Penutup
BaAB VII. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

v
A. Pengantar
B. Para Pihak dalam Sengketa
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
D. Forum Penyelesaian Sengketa
1. Negosiasi
2. Mediasi
3. Konsiliasi
4. Arbitrase
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)
E. Hukum Yang Berlaku
1. Pengantar
2. Kebebasan Para Pihak
F. Pelaksaan Putusan Sengketa Dagang
1. Pengantar
1. Pelaksanaan Putusan APS
2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)
3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
G. Penutup

BAB I
PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar dan Definisi
Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang
berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas.
Hubungan-hubungan

dagang

yang

sifatnya

lintas

batas

dapat

mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu


dari

barter,

pertanian,

jual

beli

perkebunan,

barang

dan

atau

komoditi

sejenisnya),

(produk-produk

hingga

hubungan

atau

transaksi dagang yang kompleks.


Kompleksnya
ini

sedikit

(khususnya

hubungan

banyak

teknologi

atau

transaksi

dagang

disebabkan

oleh

adanya

informasi).

Sehingga,

internasional

jasa

teknologi

transaksi-transaksi

dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan


lagi

halangan

dalam

bertransaksi.

Bahkan

dengan

pesatnya

teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui


atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan
bumi lain. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi
yang disebut dengan e-commerce.
Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subyek
hukum

(pelaku

internasional.

dalam
Yang

perdagangan)
menjadi

melakukan

fakta

adalah

transaksi
bahwa

dagang

perdagangan

internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk


menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti
dalam sejarah perkembangan dunia.
Besar

dan

jayanya

negara-negara

di

dunia

tidak

terlepas

dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam


perdagangan

internasional.

masa lalu tidak

Sebagai

satu

contoh,

kejayaan

Cina

terlepas dari kebijakan dagang yang terkenal

dengan nama Silk Route atau jalan suteranya. Silk Route tidak
lain adalah rute-rute perjalanan yang ditempuh oleh saudagar-

saudagar

Cina

untuk

berdagang

dengan

bangsa-bangsa

lain

di

dunia.

Setelah kejayaan Cina, menyusul negara-negara lain seperti


Spanyol

dengan

Spanish

British

Empire-nya

Conquistadors-nya,

(beserta

perusahaan

Inggris

dengan

multinasionalnya

The
yang

pertama di dunia, yakni the East-India Company, Belanda dengan


VOC-nya,

dll.

kebijakan

Kejayaan

pemerintahnya

negara-negara
untuk

ini

tidak

melakukan

terlepas

transaksi

dari

dagang

internasional.
Kesadaran

untuk

melakukan

transaksi

dagang

internasional

ini juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di
tanah air sejak. Adalah Amanna Gappa, seorang kepala suku Bugis
yang

sadar

kesejahteraan

akan

pentingnya

sukunya.

dagang

Keunggulan

suku

(dan
bugis

pelayaran)
dalam

bagi

berlayar

dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil telah


mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah
Singapura dan Malaysia).2
Yang menjadi esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah
dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini adalah

Jonathan Reuvid, (ed.), The Strategic Guide to International Trade,


London: Kogan Page, 1997, para. xv.
2
PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung
Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977, hlm. 154. Di
Singapura, misalnya, ada suatu daerah yang khusus untuk menghormati
suku Bugis ini karena keunggulan mereka sebagai pelaut dan pedagang.
Pemerintah Singapura memberi nama pada suatu daerah di tengah Singapura
dengan nama Bugis (di wilayah Bugis Junction). Di Bugis Junction ini
kita dapat melihat replika perahu kecil suku Bugis yang berlayar ke
Malaka (sekarang Singapura). Bahkan pernah ada data yang mengungkapkan
bahwa perahu Bugis telah juga mengunjungi wilayah utara benua
Australia. Prestasi ini telah membuat kagum banyak bangsa di dunia.
Bahkan banyak ahli hukum dari berbagai dunia, khususnya Inggris dan
Belanda, yang mempelajari hukum-hukum bangsa Bugis ini yang disalin
oleh Amanna Gappa. Mereka mempelajari hukum-hukum pelayaran dan hukum
dagang bangsa Bugis untuk kemungkinan diterapkan pada keadaan dewasa
ini. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, apa yang diperbuat oleh ahliahli hukum Belanda dan ahli hukum Inggris tersebut merupakan pukulan
telak pada ahli hukum di tanah air. Kenapa justru ahli hukum asing yang
mempelajari dan menggali hukum dagang (internasional) Bugis, bukannya
bangsa kita sendiri.

suatu

kebebasan

kebebasan
berdagang.

ini

fundamental

siapa

Kebebasan

saja
ini

(fundamental

harus
tidak

memiliki

boleh

freedom).3
kebebasan

dibatasi

oleh

Dengan
untuk
adanya

perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dll.


Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of Economic
Rights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap negara
memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. (Every
State has the right to engage in international trade) (Pasal 4).

Lihat buku penulis, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu


Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002, Bab I.

1. Definisi

Cepatnya perkembangan bidang hukum ini ternyata masih belum


ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum ini. Hingga
dewasa

ini

terdapat

berbagai

definisi

yang

satu

sama

lain

dikeluarkan

oleh

berbeda.
a. Definisi Schmitthoff
Definisi

pertama

adalah

definisi

yang

Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966.

Definisi

ini sebenarnya adalah definisi buatan seorang guru besar ternama


dalam hukum dagang internasional dari City of London College,
yaitu Professor Clive M. Schmitthoff. Sehingga dapat dikatakan
bahwa definisi yang tercakup dalam Laporan Sekretaris Jenderal
tersebut tidak lain adalah laporan Schmitthoff.
Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional
sebagai: ... the body of rules governing commercial relationship
of a private law nature involving different nations.5
Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut:
1) Hukum
yang

perdagangan
mengatur

internasional

hubungan-hubungan

adalah

sekumpulan

komersial

yang

aturan

sifatnya

hukum perdata,
2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi
yang berbeda negara.
Definisi

di

atas

menunjukkan

dengan

jelas

bahwa

aturan-

aturan tersebut bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan


tegas membedakan antara hukum perdata (private law nature) dan
hukum publik.
Dalam definisinya itu, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang
lingkup

bidang

hukum

ini

tidak

termasuk

hubungan-hubungan

komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam


4

United Nations, Progressive Development of the Law of International


Trade: Report of the Secretary General of the United Nations 1966, New
York: United Nations, 1966, hlm. 1. (Selanjutnya disebut Secreatry
General Report).
5
Secretary General Report, op.cit., para. 10.

bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah


laku

atau

perilaku

negara-negara

dalam

mengatur

perilaku

perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya.


Dengan
perdagangan

kata

lain,

internasional

Schmitthoff
tidak

menegaskan

termasuk

atau

wilayah

hukum

terlepas

dari

aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur hubunganhubungan komersial. Misalnya, aturan-aturan hukum internasional
yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau aturanaturan

yang

mengatur

blok-blok

perdagangan

regional,

aturan-

aturan yang mengatur komoditi, dsb.7 Dalam salah satu tulisannya


Schmitthoff dengan jelas menegaskan sebagai berikut:
First, the modern law of international trade is not a
branch of international law; it does not form part of the
jus gentium, but it is applied in every national
jurisdiction by tolerance of the national sovereign whose
public policy may override or qualify a particular rule of
that law.8
Dari latar belakang definisi tersebut pun berdampak pada
ruang

lingkup

cakupan

hukum

dagang

internasional.

Schmitthoff

menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang


hukum ini:
1) Jual beli dagang internasional: (i) pembentukan kontrak; (ii)
perwakilan-perwakilan

dagang

(agency);

(iii)

Pengaturan

penjualan eksklusif;
6

Secretary General Report, op.cit., para. 11.


Secretary General Report, op.cit., para. 11.
8
Schmitthoff, The Unification of the Law of International Trade,
(1968) JBL 109 (pendapat Schmitthoff ini juga adalah pendapat sarjana
terkemuka
hukum
perdagangan
internasional
Profesor
Aleksander
Goldtajn). Menurut hemat penulis salah satu kelemahan dari definisi
ini adalah sulitnya diterima bahwa berlakunya hukum perdagangan
internasional ke dalam jurisdiksi nasional negara-negara di dunia
adalah berdasarkan apa yang beliau sebut tolerance of the national
sovereign. Dalam hukum, sulit diterima adanya toleransi ini. Yang ada
adalah penundukan diri baik secara diam-diam maupun tegas seperti dalam
ratifikasi atau aksesi suatu perjanjian internasional (dalam hal ini
hukum perdagangan internasional) oleh suatu negara. Seperti kita
ketahui, masalah ratifikasi atau aksesi terhadap suatu perjanjian
internasional (tidak terkecuali perjanjian di bidang hukum perdagangan
7

2) Surat-surat berharga
3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai
perdagangan internasional
4) Asuransi
5) Pengangkutan

melalui

darat

dan

kereta

api,

laut,

udara,

definisi

hukum

perairan pedalaman
6) Hak milik industri
7) Arbitrase komersial.9
b. Definisi M. Rafiqul Islam
Dalam

upayanya

memberi

batasan

atau

perdagangan internasional, Rafiqul Islam menekankan keterkaitan


erat

antara

(financial

perdagangan

relations).

internasional

Dalam

hal

ini

dan

hubungan

Rafiqul

keuangan

Islam

memberi

batasan perdagangan internasional sebagai "... a wide ranging,


transnational, commercial exchange of goods and services between
individual business persons, trading bodies and States".10
Hubungan
internasional.

finansial
keterkaitan

terkait
erat

ini

erat

dengan

tampak

karena

perdagangan
hubungan-

hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara


para pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau countertrade).11

internasional) tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional publik,


dalam hal ini prinsip hukum perjanjian internasional.
9
Secretary General Report, op.cit., para. 10.
10
Rafiqul Islam, International Trade Law, NSW: LBC, 1999, hlm. 1.
Sarjana-sarjana dewasa ini cenderung untuk membagi ruang lingkup
perdagangan internasional ke dalam dua bagian:perdagangan barang dan
jasa (sebagaimana halnya dengan Rafiqul Islam di atas). Lihat misalnya,
Pablo Vilanueva, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan
Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan page
(tt), hlm 3. (Villanueva menggambarkan bidang perdagangan internasional
ke dalam dua bidang: (1) Perdagangan barang (merchandise trade) yang
mencakup mineral, produk pertanian, barang industri; dan (2) jasa
komersial (commercial services) yang mencakup perbankan, konsultasi dan
pariwisata).
11
Pengecualian terhadap kedua bentuk transaksi tersebut karena memang
untuk kedua transasi tersebut tidak terkait dengan adanya hubungan
keuangan. (Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1).

Dengan

adanya

keterkaitan

erat

antara

perdagangan

internasional dan keuangan, Rafiqul Islam mendefinisikan "hukum


perdagangan dan keuangan ("international trade and finance law")
sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktek yang
menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksitransaksi

perdagangan

transnasional

dan

sistem

pembayarannya,

yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga


perdagangan.12 Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi
ke dalam kegiatan "komersial" yang berada dalam ruang lingkup
hukum perdata internasional atau Conflict of Laws; perdagangan
antar

pemerintah

atau

antar

negara,

yang

diatur

oleh

hukum

lingkup

hukum

13

internasional publik.
Dari
perdagangan
kajian

batasan

tersebut

internasional

bidang

hukum

ini

tampak

sangat

bahwa
14

luas.

sifatnya

ruang
Karena

adalah

ruang

lintas

lingkup

batas

atau

transnasional, konsekuensinya adalah terkaitnya lebih dari satu


sistem hukum yang berbeda.
c. Definisi Michelle Sanson
Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum
ini

adalah

sarjana

Australia

Sanson.

Sanson

memberi

batasan

bidang ini sesuai dengan pengeritan kata-kata dari bidang hukum


ini, yaitu hukum, dagang dan internasional (dengan kata dasar
nasion atau negara).
Hukum

perdagangan

internasional

menurut

definisi

Sanson

can be defined as the regulation of the conduct of parties

12

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.


Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. Selengkapanya Rafiqul Islam menulis
sebagai berikut: "international trade and finance law is a body of
rules, principles, norms and their associated payments systems, with a
controlling impact on the commercial behaviour of the trading
entities").
14
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
13

involved

in

the

exchange

of

goods,

services

and

technology

15

between nations.

Definisi di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas


bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum yang mana: hukum privat,
publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang
hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para
pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sedangkan obyek
kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan
teknologi.
Meskipun memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson
membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian
utama,

yaitu

interntional

hukum
trade

perdagangan
law)

dan

internasional

hukum

publik

perdagangan

(public

internasional

privat (private international trade law).16


Yang pertama, public international trade law adalah hukum
yang mengatur perilaku dagang antar negara. Sedangkan yang kedua,
private
perilaku

international
dagang

secara

trade
orang

law

adalah

perorangan

hukum

yang

(private

mengatur

traders)

di

17

negara-negara yang berbeda.


Meskipun

ada

pembedaan

ini,

namun

para

sarjana

mengakui

bahwa batas-batas kedua istilah ini pun sangat sulit untuk dibuat
garis batasnya. Sanson menyatakan bahwa the modern development
is that the distinction between publik and privat international
trade law has less meaning.18

15

M. Sanson, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish,


2002, hlm. 3.
16
M. Sanson, op.cit., hlm. 4. Lihat pula pendekatan Rafiqul Islam,
supra, dan Schmitthoff, supra..
17
M. Sanson, op.cit., hlm. 4.
18
M. Sanson, op.cit., hlm. 4. Sanson dengan benar memberi contoh
tentang hukum WTO. Perjanjian WTO adalah bidang hukum perdagangan
internasional publik. Tetapi aturan hukumnya terjewantahkan ke dalam
bidang-bidang
privat,
misalnya
saja
dalam
hal
tarif,
dumping,
perpajakan. (Ibid).

Mirip dengan Sanson, Rafiqul Islam melihat hubungan atau


keterkaitan ini juga sulit untuk tidak bersentuhan dan saling
mempengaruhi. Beliau menulis:
The effect of public international law on private
transactons is indirect but can be very profound in certain
aspects. Some such aspects of private transactions will be
considered merely because public international law has
shaped, or is in the process of reshaping, their legal
order.19

d. Definisi Hercules Booysen


Booysen
secara

sarjana

tegas.

Afrika

Beliau

Selatan

menyadari

tidak

bahwa

ilmu

memberi

definisi

hukum

sangatlah

kompleks. Karena itu, upaya untuk membuat definisi bidang hukum,


termasuk

hukum

perdagangan

internasional,

sangatlah

sulit

dan

20

jarang tepat.

Karena itu dalam upayanya memberi definisi tersebut, beliau


hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan
internasional. Menurut beliau ada tiga unsur, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu
cabang khusus dari hukum internasional (international trade
law

may

also

be

regarded

as

specialised

branch

of

international law).
(2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum
internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa
dan

perlindungan

hak

atas

kekayaan

intelektual

(HAKI).

(International trade law can be described as those rules of


international law which are applicable to trade in goods,
services

and

Bentuk-bentuk
19

the
hukum

protection
perdagangan

of

intellectual

internasional

property).
seperti

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.


Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm). Bandingkan dengan pendapat Reuvid, bahwa istilah
Perdagangan internasional mencakup bidang dan teknik dagang yang
sangat luas (internasional trade covers a bewildering mumber of
activities and procedures (Jonathan Reuvid, (ed.), hlm. xv).)
20

ini

misalnya

saja

multilateral
GATT,

adalah

mengenai

perjanjian

aturan-aturan

perdagnagan

mengenai

WTO,

mengenai

perdagangan

perjanjian

barang

di

seperti

bidang

jasa

(GATS/WTO, dan perjanjia mengenai aspek-aspek yang terkait


dengan HAKI (TRIPS).21
Dalam

lingkup

semata-mata

definisi
pelaku

internasional.

ini

diakui

utama

Negara

bahwa

dalam

lebih

negara

bidang

berperan

bukanlah

perdagangan

sebagai

regulator

(pengatur). Karena itu hukum perdagangan internasional juga


mencakup

aturan-aturan

transaksi

nyata

pedagang

(international

international

yang

internasional

law

bersifat

internasional

law

merchants

mengenai

transaksidari

merchants).

ini

adalah

para

Karenanya,

bagian

dari

hukum

22

perdagangan internasional.

(3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan


hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap
perdagangan internasional secara umum. Karena sifat aturanaturan hukum nasional tersebut, maka atura-aturan tersebut
merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional. contoh
dari

aturan

undangan

hukum

yang

nasional

seperti

ekstrateritorial

itu

adalah

(the

perundang-

extraterritorial

23

legislation).
Dari

(empat)

definisi

di

atas

tampak

semuanya

ada

benarnya. Tetapi penulis lebih pro kepada definisi Rafiqul Islam.


Dari batasan Rafiqul Islam di atas, tampak adanya keterkaitan
erat

antara

internasional

hukum

perdagangan

publik.

Memang

internasional

sekilas

tampak

dengan

bahwa

hukum

dampak

dan

pengaruh hukum internasional publik ini tidak langsung. Namun


demikian
21

pengaruh

ini

dapat

berdampak

cukup

luas

terhadap

Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/


definitions.htm).
22
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).
23
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).

beberapa

aspek

dari

hukum

perdagangan

internasional.

Hal

ini

disebabkan karena hukum internasional publik dalam beberapa hal


telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan ketentuanketentuan

yang

mengatur

aspek-aspek
24

perdagangan internasional.

24

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.

perdata

dari

transaksi

2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional


a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang
Hukum lainnya
Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan antara
hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait
dengan

perdagangan

tampak

luasnya

internasional.

bidang

cakupan

Di

hukum

bagian

awal

perdagangan

tulisan

ini

internasional

ini. Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit


untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya
dengan

hukum

ekonomi

internasional,

hukum

transaksi

bisnis

25

internasional, hukum komersial internasional, dll.

Catatan di atas menunjukkan kedudukan penulis yang mengakui


adanya keterkaitan antara hukum perdagangan internasional dengan
hukum internasional. Di sisi lain, penulis berpendirian bahwa
hukum ekonomi internasional adalah juga bagian atau cabang dari
hukum internasional.26
Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara
hukum

perdagangan

dengan

bidang-bidang

hukum

lain

disebut

di

atas, khususnya hukum ekonomi internasional. Ada bidang-bidang


yang sama-sama tunduk pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja,
pembahasan mengenai subyek-subyek dan sumber-sumber dari kedua
bidang hukum sedikit banyak hampir sama.27
Sementara

ini

pendekatan

yang

ditempuh

untuk

membedakan

kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk
kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal
lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy),
seperti

misalnya

hubungan-hubungan

di

bidang

ekonomi

yang

dilakukan oleh negara atau organisasi internasional. Sedangkan

25

Cf., M. Sanson, op.cit., hlm. 2.


Lihat buku penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar,
Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I.
27
Lihat lebih lanjut mengenai hukum ekonomi internasional ini, buku
penulis,
Hukum
Ekonomi
Internasional:
Suatu
Pengantar,
Jakarta:
Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I dst.
26

hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubunganhubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat.
Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid.
Hukum

ekonomi

internasional

kegiatan-kegiatan

atau

dalam

kenyataannya

transaksi-transaksi

juga

badan

mengatur

hukum

privat

atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai


perlindungan

dan

nasionalisasi

atau

ekspropriasi

perusahaan

asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur


subyek-subyek

hukum

publik

atau

negara,

namun

aturan-aturan

tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau


subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.

b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat Interdisipliner


Karakteristik lain dari hukum perdagangan internasional ini
adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat memahami
bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak
bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini
terkait dengan bidang pengangkutan (darat, udara dan khususnya
laut). Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu
pelayaran.
Keterkaitan

dengan

pembayaran

dalam

perdagangan

internasional akan terkait dengan praktik perbankan dan lembaga


keuangan

lainnya.

Hal

ini

membutuhkan

bantuan

dan

pemahaman

disiplin ilmu perbankan dan keuangan.


Keterkaitan

dengan

perdagangan

itu

sendiri

akan

terkait

dengan praktik dan teknik-teknik perdagangan. Hal ini membutuhkan


bantuan dan pemahaman ilmu praktik perdagangan.
Disiplin-disiplin

ilmu

lainnya

yang

terkait

lainnya

misalnya adalah teknologi, ekonomi. Yang juga penting adalah ilmu


politik,

yaitu

bagaimana

kebijakan

politik

suatu

berpengaruh terhadap kebijakan dagang suatu negara.

negara

yang

B. Prinsip-prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional


Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal
dalam hukum perdagangan internasional diperkenalkan oleh sarjana
hukum

perdagangan

internasional

Profesor

Aleksancer

Goldtajn.

Beliau memperkenalkan 3 (tiga) prinsip dasar tersebut, yaitu (1)


prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the principle of
the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt servanda; dan
(3) prinsip penggunaan arbitrase.28
1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak
Prinsip

pertama,

kebebasan

berkontrak,

sebenarnya

adalah

prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap


sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para
pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional).
Schmitthoff

menanggapi

secara

positif

kebebasan

pertama

ini. Beliau menyatakan:


The autonomy of the parties will in the law of contract
is
the
foundation
on
which
an
autonomous
law
of
international trade can be built. The national sovereign
has,..., no objection that in that area an autonomous law
of international trade is developed by the parties,
provided always that that law respects in every national
jurisdiction the limitations imposed by public policy.29
Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas.
Ia meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang
para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk memilih
forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan
untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dll.
Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan
dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain
persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.
2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda

28

Aleksander Goldtajn, The New Law of Merchant, (1961) JBL 12.


Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate,
London: Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22. (Selanjutnya disebut
Commercial Law).

29

Prinsip

kedua,

mensyaratkan

bahwa

pacta

sunt

servanda

kesepakatan

atau

adalah
kontrak

prinsip
yang

yang
telah

ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan


itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem
hukum di dunia menghormati prinsip ini.
3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Prinsip
terdengar

ketiga,

agak

ganjil.

menyebut prinsip
dalam

prinsip

penggunaan

arbitrase

tampaknya

demikian

pengakuan

Goldtajn

Namun

ini bukan tanpa

perdagangan

internasional

alasan yang kuat.


adalah

forum

Arbitrase

penyelesaian

sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah


semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang.30 Oleh
karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan.
Goldtajn

menguraikan

kelebihan

dan

alasan

mengapa

penggunaan arbitrase ini beliau jadikan prinsip dasar dalam hukum


perdagangan internasional:
Moreover, to the extent that the settlement of differences
is referred to arbitration, a uniform legal order is being
created. Arbitration tribunals often apply criteria other
than those applied in courts. Arbitrators appear more ready
to interpret rules freely, taking into account customs,
usage and business practice. Further, the fact that the
enforcement of foreign arbitral awards is generally more
easy than the enforcement of foreign court decisions is
conducive to a preference for arbitration.31
4. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
Di

samping

tiga

prinsip

dasar

tersebut,

prinsip

dasar

lainnya yang menurut penulis relevan adalah prinsip dasar yang


dikenal dalam hukum ekonomi internasonal, yaitu prinsip kebebasan
untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya
kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan
para

pihak

siapa

pun

30

untuk
juga

berkomunikasi

dengan

melalui

untuk

keperluan

berbagai

sarana

dagang

dengan

navigasi

atau

Lihat secara khusus, Rene David, Arbitration in International Trade,


The Hague: Kluwer, 1985 (membahas panjang lebar tentang peran arbitrase
dalam perdagangan internasional).
31
Aleksander Goldtajn, The New Law of Merchant, (1961) JBL 12.

komunikasi,

baik

darat,

laut,

elektronik.

Kebebasan

perdagangan

internasional.

ini

sangat

udara,

atau

esensial

Aturan-aturan

melalui

bagi

hukum

sarana

terlaksananya

(internasional)

memfasilitasi kebebasan ini.32


Dalam berkomunikasi untuk maksud berdagang ini kebebasan
para

pihak

tidak

boleh

dibatasi

oleh

sistem

ekonomi,

sistem

politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan pendapat profesor


Goldtajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara
sistem

ekonomi

dan

politik

dalam

kaitannya

dengan

hukum

perdagangan internasional:
The law governing trade transactions is neither capitalist
nor socialist; it is a means to an end, and therefore, the
fact that the beneficiaries of such transactions are
different in this or that country is no obstacle to the
development
of
international
trade.
The
law
of
international trade is based on the general principles
accepted in the entire world.33 (Huruf miring oleh
penulis).
Pernyataan terakhir Goldtajn di atas, yaitu bahwa hukum
perdagangan

internasional

didasarkan

pada

prinsip-prinsip

umum

yang diterima di seluruh dunia menyatakan seolah-seolah hukum


perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum di
dunia. Pendapat ini benar. Sarjana terkemuka lainnya, Profesor
Tammer, memperkuat pernyataan tersebut:
The law of external trade of the countries of planned
economy does not differ in its fundamental principles from
the law of external trade of other countries, such as,
e.g., Austria or Switzerland. Consequently, international
trade law specialists of all countries have found without
difficulty that they speak a common language.34

32

Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu


Pengantar, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3, 2003, hlm. 29.
33
Schmitthoff, op.cit., (Commercial Law), hlm. 19.
34
Schmitthoff, The Unification of the Law of Internatioal Trade,
(1968) JBL 109 (mengutip Tammer, The Sources of the Law International
Trade, 1964, hlm. 42).

C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional


Hubungan-hubungan
sudah

ada

sejak

lama.

perdagangan

internasional

Hubungan-hubungan

ini

antar

sudah

negara

ada

sejak

adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentukbentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara
ini

untuk

memperoleh

kemandirian

dan

pengawasan

(kontrol)

terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini


untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan
negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah
satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.35
Seperti telah dikemukakan di awal tulisan ini, sejak dulu
dan bahkan dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan
menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin
mendorong negara untuk memperluas aktivitas perdagangannya.36
Cara

pandang

ini

sedikit

banyak

dilatarbelakangi

dan

dipengaruhi oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal


perkembangannya, terutama abad ke 15 dan 16, teori atau aliran
yang

mula

lahir

berpendirian

adalah

teori

perdagangan

merkantilisme.

internasional

Para

merkantilis

sebagai

instrumen

kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor sebesarbesarnya dan menekan impor serendah-rendahnya. Keuntungan dari
selisih ekspor - impor merupakan keuntungan bagi negara (yang
waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas).
Reaksi dari aliran itu adalah teori keunggulan komparatif
yang

diperkenalkan

oleh

David

Ricardo

(1772-1823).

Ricardo

menekankan spesialisasi dari hasil suatu produk. Smith menganggap


perdagangan

internasional

sebagai

salah

satu

bagian

dari

keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Teori


beliau

35

menyatakan

bahwa

untuk

menjadi

pemain

utama

dalam

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.


Lihat antara lain: Ademuni-Odeke, The Law of International Trade,
London: Blackstone, 1999, hlm. 3-4.

36

perdagangan,

faktor

yang

penting

bukanlah

ukuran,

tetapi

37

bagaimana memaksimalkan potensi.

Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan


alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi
dengan

kekuatan

negeri

ini

manajemen

berhasil

dalam

perdagangan

menjadikannya

sebuah

internasionalnya,

negara

yang

paling

penting di dunia dewasa ini.


Semakin luasnya aktivitas perdagangan ini yang dewasa ini
dikenal dengan "liberalisasi perdagangan", sistem keuangan atau
pasar

internasional

melaksanakan

yang

stabil

perdagangan

untuk

internasional

memberikan

modal

untuk

tersebut.

Karena

itu,

keterkaitan antara perdagangan internasional dan sistem keuangan


atau moneter internasional menjadi semakin penting.38
Tidak terlalu mengherankan apabila masyarakat internasional
kemudian

menyelenggarakan

konperensi

Bretton

Woods

guna

mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2


lembaga

keuangan

ini

semata-mata

untuk

menjaga

agar

sistem

moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga memberi


pinjaman

jangka

pembayaran

yang

pendek

guna

disebabkan
39

ekspor-impor negara-negara.

menanggulangi

oleh

adanya

kesulitan

defisit

neraca

perdagangan

Krisis keuangan internasional pada

tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat


ini.
Dalam

upaya

negara-negara

ini

meningkatkan

pertumbuhan

ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok


perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam
kecenderungan

ini

pun

peran

perjanjian

internasional

menjadi

semakin penting.40

37

Lihat misalnya, Ademuni-Odeke, Ibid., hlm. 3-4, M. Sanson, op.cit.,


hlm. 3; Jonathan Reuvid, op.cit., para. xv.
38
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
39
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
40
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.

Semakin

pentingnya

peran

perjanjian-perjanjian

di

bidang

ekonomi atau perdagangan ini pun telah melahirkan aturan-aturan


yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa
dan penamaman modal di antara negara-negara.41
Tujuan

hukum

perdagangan

internasional

sebenarnya

berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on

tidak

Tariffs and

Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut


adalah:
(a) untuk

mencapai

menghindari

perdagangan

internasional

kebijakan-kebijakan

dan

yang

stabil

dan

praktek-praktek

perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.


(b) untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan
perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan
ekonomi semua negara;
(c) meningkatkan standar hidup umat manusia; dan
(d)

meningkatkan lapangan tenaga kerja.


Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:

(e) untuk

mengembangkan

sistem

perdagangan

multilateral,

bukan

sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan


kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi
semua negara;42 dan
(f) meningkatkan

pemanfaatan

sumber-sumber

kekayaan

dunia

dan

meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.43


Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan
internasional
perdamaian

dan

juga

pada

keamanan

analisis

akhirnya

internasional.

Hal

akan
ini

menciptakan
antara

lain

dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya
41

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.


Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. Lihat pula tujuan menurut Aleksander
Goldtajn
yang
menyatakan:
only
deliberate
regulation
on
the
international level will make it possible to do justice, on the basis
of equality, to the interests and general welfare of all members of the
international community. (Aleksander Goldtajn, The New Law of
Merchant, (1961) JBL 12.

42

benar.

Manakala

dua

bertransaksi

dagang

perdagangan

tersebut,

banyak

lebih

baik.

atau
dan

lebih

mereka

otomatis

Artinya,

negara

berhubungan

memperoleh

keadaan

situasi

keuntungan

dunia

dan

menjadi

kondisi

dan
dari

sedikit

dunia

akan

semakin kondusif.
Sebenarnya tesis Hull tersebut sudah lama dikumandangkan
oleh Immanuel Kant, yang selama ini dikenal juga sebagi bapak
hukum

internasional.

Dalam

tulisannya

berjudul

On

Eternal

Peace, Kant menyatakan bahwa spirit of trade could not co-exist


with war.44
Yang juga cukup menarik adalah tesis Hull di atas juga
telah cukup lama disadari di tanah air. Salah seorang kepala suku
Bugis ternama, yaitu Amanna Gappa, juga menyadari bahwa tujuan
(unifikasi)

hukum

dagang

adalah

antara suku bangsanya dan juga

untuk

mencegah

persaingan

memajukan kerjasama
45

mereka guna kesejahteraan di antara mereka.

di

di antara

Terjemahan saduran

hasil penelitian terhadap suku terkenal Bugis ini yang terkenal


dengan

hukum

pelayaran

dan

dagangnya

tergambarkan

sebagai

berikut:
One of thse chiefs was Amanna Gappa (=father of Gappa) who
headed his countrymen at Makassar. Most probably he was a
very intelligent and energetic man and he may have been the
first to realize the great importance of navigation and
trade for his people as the only fields of endeavour in
which they could earn a living. We may assume that this was
the bacground of his taking initiative in inviting his
colleagues from other parts of Indonesia in order to
collect the different rules which were in force in their
respective regions and to compile a uniform navigation and
trade law. By doing so he tried to prevent heavy
competition among his countrymen and to stimulate cooperation for their own welfare.46 (Huruf miring oleh
kami).

43

Cf., Preamble GATT dan Preamble Perjanjian WTO (Marrakesh Agreement


Establishing The World Trade Organization).
44
Lihat, Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath:
Euromoney, 1983, hlm. Xxi.
45
Lihat lebih lanjut, PH. O.L. Tobing, op.cit., hlm. 154.
46
Lihat lebih lanjut, PH. O.L. Tobing, op.cit., hlm. 154.

Meskipun

adanya

tujuan

bagus

tersebut

di

atas,

hukum

perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan.


Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidangbidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian
atau

klausul-klausul

'penyelamat'

yang

bersifat

memperlonggar

kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:


(a) hukum

perdagangan

internasional

sebagian

besar

bersifat

pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan


hukum

perdagangan

'memaksakan'

internasional

negara-negara

kurang

untuk

obyektif

tunduk

pada

di

dalam

hukum.

Dalam

kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan


ekonomi

memanfaatkan

perdagangan

sebagai

sarana

kebijakan

internasional

bersifat

politisnya.
(b) Aturan-aturan
mendamaikan

hukum
dan

perdagangan

persuasif

(tidak

memaksa).

Kelemahan

ini

sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan


internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan
hukum ini di tengah krisis.47

47

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2-3.

D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional


Dari

uraian

di

atas

tampak

bahwa

hukum

perdagangan

internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern.


Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami
perkembangan

yang

cukup

pesat

sesuai

dengan

perkembangan

hubungan-hubungan perdagangan.
Dilihat

dari

perkembangan

sumber

hukumnya

(dalam

arti

materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat


dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.
Hukum perdagangan internasional lahir pada awalnya dari
praktek para pedagang. Hukum yang diciptakan oleh para pedagang
ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria (law of merchant).48
Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari
adanya 4 faktor berikut:
(a) lahirnya

aturan-aturan

yang

timbul

dari

kebiasaan

dalam

berbagai pekan raya (the law of the fairs);


(b) lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut;
(c) lahirnya

kebiasaan-kebiasaan

yang

timbul

dari

praktek

penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan; dan


(d) berperannya notaris (public notary) dalam memberi pelayanan
jasa-jasa hukum(dagang).49
(2) Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum
nasional
Dalam

tahap

perkembangan

ini,

negara-negara

mulai

sadar

perlunya pengaturan hukum perdagangan internasional. Mereka lalu


mencantumkan aturan-aturan perdagangan internasional dalam kitab
48

United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal


Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966,
para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on
International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff &
Graham & Trotman, 1988, hlm. 21.
49
Schmitthoff, The Unification of the Law of International Trade,
(1968) JBL 106.

undang-undang hukum (perdagangan internasional) mereka. Aturanaturan tersebut sedikit banyak adalah aturan-aturan yang mereka
adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab
Undang-undang Hukum Dagang-nya (code de commerce) tahun 1807,
Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun 1861, dll.50
(3) Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan
Munculnya

Lembaga-lembaga

Internasional

yang

mengurusi

Perdagangan Internasional.
Dalam

perkembangan

ketiga

ini,

aturan-aturan

hukum

perdagangan internasional lahir sebagian besar karena dipengaruhi


oleh

semakin

banyaknya

ditandatangani

baik

berbagai
secara

perjanjian
bilateral,

internasional
regional,

yang

maupun

51

multilateral.
Secara
setelah

khusus

tahap

berakhirnya

ketiga

Perang

ini

Dunia

muncul

II.

secara

signifikan

satu

perjanjian

Salah

multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati


lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan
tahap internationalism. Schmitthoff menyatakan sebagai berikut:
We are beginning to rediscover the international character
of commercial law and the circle now contemplates itself:
the general trend of commercial law everywhere is to move
away from the restrictions of national law to a universal,
international conception of the law of international
trade.52
Sejak berdiri hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan
GATT

telah

penting.

berkembang

Bahkan

dalam

dan

mengalami

putaran

pembangunan

perundingan

tahun

yang

cukup

1986-1994,

negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu


badan atau lembaga internasional baru, yaitu WTO.
Perubahan dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang
hukum
50

perdagangan

internasional.

Alasannya,

bidang

pengaturan

United Nations, op.cit., para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit.,


hlm. 48.
51
United Nations, op.cit., para. 20.
52
Schmitthoff, The Unification of the Law of International Trade,
(1968) JBL 108.

yang tercakup di dalam WTO sekarang ini adalah kompleks. Ia tidak


semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur
jasa,

hak

kekayaan

intelektual,

penanaman

modal,

lingkungan,

dll.53
Ciri

kedua

munculnya

dalam

organisasi

menonjol

adalah

perkembangan

tahap

ketiga

internasional.

Salah

satu

Perserikatan

Bangsa-Bangsa

(PBB).

ini

yakni

badan

yang

Sebetulnya

peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung.


Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam
pasal

1:3

mencapai

Piagam

PBB,

kerjasama

yakni

aturan

internasional

tentang
di

tujuan

dalam

PBB

yakni

antara

lain

menyelesaikan masalah-masalah ekonomi internasional.


Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya melalui
berbagai langkah berikut:
i.

Negara-negara

anggota

PBB

mendirikan

the

United

Nations

Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1964.


Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih
besar kepada negara sedang berkembang untuk ikut

serta dalam

merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan memperhatikan


kepentingan-kepentingan

khusus

negara-negara

sedang

berkembang

54

ini.

ii. negara-negara anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic


Rights and Duties of States pada tahun 1974 (serta disahkannya
the Declaration and Programme of Action on the Establishment of
the New International Economic Order). Pembentukan Piagam ini
diawali

dengan

langkah

Majelis

Umum

PBB

mengesahkan

the

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights


pada tahun 1966.

53

Uraian tentang perkembangan dari GATT ke WTO, lihat antara lain: Ray
August, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New
Jersey: Prentice Hall, 3rd.ed., 2000, hlm. 355-360.
54
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6.

Dokumen-dokumen

penting

ini

pada

pokoknya

mengakui

dan

memberi perlakuan khusus kepada negara-negara sedang berkembang


di bidang perdagangan, keuangan dan penanaman modal.55
Ciri

ketiga

yang

juga

menonjol

adalah

disepakatinya

pendirian badan-badan ekonomi regional di suatu kawasan region


tertentu.

Blok

perdagangan

regional

yang

mula-mula

membawa

pengaaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan
segera diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North
American Free Trade Agreeement atau NAFTA) (1994).
Di

kawasan

Asia

Tenggara,

negara-negara

ASEAN

mengikuti

langkah serupa dengan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA).


AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.56
Kecenderungan pembentukan kelompok-kelompok regional ini di
satu

sisi

regional

positif.
tersebut

Namun

di

sisi

menimbulkan

lain

organisasi-organisasi

kekhawatiran

dari

masyarakat

internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut


melahirkan peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata
menyimpangi

ketentuan-ketentuan

umum

yang

terdapat

dalam

GATT/WTO.

55

Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6.


Uraian lebih lanjut mengenai AFTA ini lihat:
Ekonomi Internasional ..., op.cit., hlm. 110-124.

56

Huala

Adolf,

Hukum

E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional


1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
Di

atas

dikemukakan

atuaran-aturan

hukum

bahwa

negara-negara

mencantumkan

perdagangan

internasional

dalam

hukum

nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan


internasional

ini

karenanya

menjadi

sumber

hukum

yang

cukup

penting dalam hukum perdagangan internasional.


Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit
banyak

kemungkinan

Perbedaan

ini

dapat

kemudian

berbeda

antara

dikhawatirkan

satu

akan

sama

juga

lainnya.

mempengaruhi

kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri.


Masalah
bangsa-bangsa

ini
di

sebelumnya
dunia,

sudah

termasuk

cukup

lama

organisasi

disadari

dunia

PBB.

oleh
Dalam

resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa:


"Conflicts and divergencies arising from the laws of different
states in matters relating to international trade constitute an
obstacle to the development of world trade."57
Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang
dapat

dilakukan.

Pertama,

negara-negara

sepakat

untuk

tidak

menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum


perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum
perdagangan mereka.
Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak
ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum
nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan
hukum

nasional

yang

akan

berlaku

dapat

digunakan

melalui

penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul


pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan
dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.58
57

United Nations, op.cit., para. 14.


Klausul choice of law tidak wajib sifatnya untuk harus ada dalam
kontrak-kontrak internasional. Tetapi keberadaan klausul ini akan
sedikit banyak membantu para pihak dalam penyelesaian sengketanya
(apabila sengketa memang timbul) di kemudian hari (Lihat Sudargo
Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977, hlm. 26.

58

Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan


unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum
perdagangan

internasional.59

Teknik

ketiga

ini

dipandang

cukup

efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara


sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.
Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau
perbedaan yang perlu untuk dicatat. Kedua kata sama-sama berarti
upaya

atau

sistem

proses

hukum

menyeragamkan

yang

ada.

substansi

pengaturan

Penyeragaman

tersebut

sistemmencakup

pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda.


Perbedaan
penyeragaman

kedua

kata

tersebut.

tersebut

Dalam

terletak

unifikasi

hukum,

pada

derajat

penyeragaman

mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan


sistem hukum yang baru.60 Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian
TRIPS/WTO.
Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian
TRIPS/WTO
dagang,

yang

mencakup

indikasi

ketentuan

geografis,

mengenai

disain

hak

industri,

cipta,

merek

paten,

dll.,

meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturanaturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian
TRIPS/WTO.

(Sudargo Gautama menulis: Tegaslah apabila tidak dilakukan pilihan


hukum, maka berbagai kemungkinan dan berbagai kesulitan yang akan
timbul tentang hukum yang harus dipakai ii. Maka para lawyers condong
untuk selalu menganjurkan para clientnya jangan lewati kesempatan untuk
menentukan hukum yang berlaku itu. Dan jika mungkin, maka kamu harus
selalu pakai hukum nasional dari negaramu sendiri karena ini adalah
hukum yang paling kamu kenal dan paling dikenal oleh Hakim-Hakim yang
akan mengadili perkaramu itu).
59
United Nations, op.cit., para. 15.
60
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109. UNCITRAL, badan PBB yang
mengurus hukum perdagangan internasional menggambarkan perbedaan kedua
kata
tersebut:
While
the
terms
are
closely
interrelated,
"harmonization" may conceptually be thought of as the process through
which domestic laws may modified to enhance predictability in crossborder commercial transactions; and "unification" may be seen as the
adoption by States of a common legal standard governing particular
aspects
of
international
business
transactions.
(http://www.uncitral.org/en-index.htm).

Harmonisasi

hukum

tidak

sedalam

unifiksi

hukum.

Tujuan

utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau


titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari
berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).61
Untuk dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum
ini

karenanya

mendalami

hanya

atau

dapat

menguasai

dicapai

oleh

perbandingan

para

hukum.

ahli

hukum

yang

Upaya

ini

dapat

dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri


dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang
berbeda-beda

yang

hendak

diupayakan

unifikasi

dan

harmonisasi

hukumnya.
Dalam

upaya

esensialnya

unifikasi

adalah

bagaimana

dan

harmonisasi

metode

yang

hukum,

akan

masalah

diterapkannya.

Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan


perbedaan

bahasa

yang

terdapat

dalam

berbagai

sistem

hukum

tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda


komparatif.62
Menurut

Schmitthoff,

dalam

metode

komparatif,

dikenal

metode, yaitu metode dengan memberlakukan:


a. perjanjian/konvensi internasional (international convention);
b. hukum seragam (uniform laws); dan
c. aturan seragam (uniform rules).63
Ad. a. Perjanjian atau Konvensi Internasional
Penerapan
internasional
61

atau
adalah

pemberlakuan
cara

yang

perjanjian

paling

banyak

atau

konvensi

digunakan

dalam

Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109.


Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109.
63
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 110. Cf., Katerina Pistor
mengemukakan pula (1) perjanjian bilateral sebagai instrumen untuk
unifikasi hukum (bandingkan dengan perjanjian internasional dari konsep
Schmitthoff);
dan
(2)
aturan-aturan
yang
bersifat
rekomendatif
(bandingkan dengan uniform laws and uniform rules-nya Schmitthoff).
(Katerina Pistor, "The Standardization of Law and Its Effect on
Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002). Pistor mengungkapkan
pula, dengan adanya upaya ini maka biaya utnuk transaksi dagang dapat
menjadi berkurang. Selain itu, yang juga penting, unifikasi hukum dapat
62

mencapai

unifikasi

hukum.

Cara

ini

dipandang

tepat

untuk

memperkenalkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa ke


dalam sistem hukum nasional.64 Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO
di atas merupakan salah satu contoh.
Gambaran lainnya adalah CISG 1980 atau Konvensi mengenai
Kontrak

Jual

Beli

Barang

Internasional.

Konvensi

ini

dapat

dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli


barang internasional. Para perancang konvensi ini telah berupaya
mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang dikenal dalam sistem
hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law.
Salah satu pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari
sesuatu

negara

perjanjian

untuk

atau

mengikatkan

konvensi

diri

internasional

atau

meratifikasi

tersebut.

Dalam

kenyataannya, untuk mencapai kehendak tersebut banyak bergantung


pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll.
b. Hukum seragam (Uniform Laws)
Hukum

seragam

tidak

lain

adalah

model-model

hukum

yang

dapat kita lihat misalnya dalam model hukum arbitrase UNCITRAL


1985 (Model Law on International Commercial Arbitration). Model
hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak
menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya.
Keleluasaan

tersebut

mencakup

keleluasaan

kepada

negara

yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh aturanaturan substantif Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut
memutuskan untuk menerapkannya dengan melakukan beberapa revisi
atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap aturan-aturan di
dalamnya.
Sifat

hukum

persuasif.

Karena

seragam
itu

tidak

derajat

mengikat.
pengadopsian

Ia

hanya

atau

bersifat

penerapannya

sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini

memberi sumbangan bagi perbaikan kualitas (lembaga-lembaga) hukum di


suatu negara (ibid).
64
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 110.

karena itu berbeda dengan perjanjian atau konvensi internasional.


Pada saat suatu
suatu

negara turut serta, aksesi atau

perjanjian

atau

konvensi

internasional,

meratifikasi
maka

pada

prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut.


c. Aturan Seragam (Uniform Rules)
Aturan-aturan

seragam

lebih

rendah

tingkatannya

daripada

hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara


lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku. Contoh
bentuk aturan seperti ini adalah the Uniform Customs and Practice
for Documentary Credits (1974) yang dikeluarkan oleh ICC. Aturan
hukum ini telah

diterapkan dan dipraktekkan oleh para subyek

hukum perdagangan internasional di dunia.65


Bentuk

lainnya

adalah

klausul

standar

(baku)

yang

dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka


buat.66 Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi
memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu
kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga
atau asosiasi yang bersangkutan.
Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul
arbitrase

baik

nasional

maupun

asing.

Klausul-kluasul

standar

arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi


merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini arbitrase.67
Bagaimana

unifikasi

dan

harmonisasi

dapat

bekerja,

agak

sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor,


guru besar di

Columbia Law School, mengemukakan istilah yang

dinamakannya standardization of law (standardisasi hukum).


Maksud

standardisasi

di

sini

mengacu

kepada

suatu

tahap

dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of


law).

Standar

hanya

mencakup

prinsip-prinsip

hukum

(legal

65

Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111.


Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111.
67
Lihat Huala Adolf, Arbitrase Komersial
Rajagrafindo, cet. 3, 2003.
66

Internasional,

Jakarta:

principles),

bukan

atau

tidak

aturan-aturan

hukumnya

(legal

68

rules).

Upaya
serius

unifikasi

dilakukan

dan

khususnya

harmonisasi
oleh

the

hukum
World

ini
Trade

telah

cukup

Organization

(WTO), the International Institute for the Unification of Private


Law (UNIDROIT), The Hague Conference of Private International Law
dan PBB khususnya the United Nations Commission on International
Trade

Law

(UNCITRAL)

dan

the

United

Nations

Conference

on

International Trade and Law (UNCTAD).


Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional
non-pemerintah yang juga berkepentingan dengan upaya unifikasi
dan harmonisasi hukum perdagangan internasional, yakni, antara
lain, International Chamber of Commerce (ICC atau Kamar Dagang
Internasional),

dan

International

Law

Association

(ILA

atau

Asosiasi Hukum Internasional).69


2. Lembaga-lembaga yang Bergerak dalam Unfikasi dan Harmoniasi
Hukum
Berikut adalah uraian secara ringkas beserta upaya badanbadan atau organisasi-organisasi internasional tersebut di bidang
unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. Tidak
semua upaya badan atau organisasi internasional akan diuraikan.
Pembahasan dibatasi pada WTO, UNCITRAL, UNIDROIT dan ICC.

68

Katarina Pistor, op.cit., hlm 97.


Schmitthoff, op.cit., Commercial Law, hlm. 24 (beliau mengemukakan
formulating agencies dalam mengupayakan unifikasi hukum perdagangan
internasional, yaitu: (1) UNCITRAL; (2) The International Institute for
the Unification of Private Law (UNIDROIT, Rome); (3) The Hague
Conference on Private International Law (The Hague); dan (4) The
Council for Mutual Economic Assistance (CMEA, Moscow). Sedangkan
organisasi internasional swasta (non pemerintah) yaitu: (5) ICC; (6)
The International Maritime Committee (IMC, Antwerp); dan (7) The
International Law Association (ILA, London).

69

a. World Trade Organization (WTO)


1. Pengantar
World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari Putaran
Uruguay GATT (1986-1993). Organisasi ini memiliki kedudukan yang
unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan
PBB.
Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama
negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948).
Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional
(yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau
ITO).
Struktur WTO akan dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang
disebut Konperensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference). Badan
ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini
terdiri

dari

keputusan

para

mengenai

perwakilan
kebijakan

dari
yang

semua

anggota

berkaitan

dengan

WTO.

Semua

perdagangan

multilateral dilakukan melalui badan ini.


Untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi
ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama, yaitu Dewan Umum
(General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini
bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada
the Ministerial Conference.
General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai
suatu

Badan

Penyelesaian

sengketa

(Dispute

Settlement

Body).

Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan negaranegara anggota GATT (Trade Policy Review Body).
Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah
perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga
badan subsider yakni The Council for Trade in Goods, Council for
Trade in Services, dan Council for TRIPs.
The Council for Trade in Goods mengawasi pelaksanaan dan
berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex
1A Perjanjian WTO) meskipun sebetulnya untuk perjanjian-pejanjian

tertentu umumnya mereka memiliki badan pengawasnya sendiri. Dua


dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing-masing berkaitan
dengan perjanjian WTO dan badan-badan tersebut dapat mendirikan
badan-badan subsider lainnya manakala dipandang perlu.
Tiga badan lainnya didirikan oleh the Ministerial Conference
dan mereka melaporkan pekerjaannya kepada the General Council.
Ketiga

badan

tersebut

adalah

the

Committee

on

Trade

and

Development, yakni badan yang bertanggung jawab untuk masalahmasalah yang terdapat di negara-negara sedang berkembang. Kedua,
the

Committee

on

Balance

of

Payments

bertanggung

jawab

untuk

menyelenggarakan konsultasi di antara negara-negara anggota WTO


dan negara-negara yang melaksanakan tindakan-tindakan restriktif
perdagangan (Pasal XII dan XVII GATT), yakni tindakan- tindakan
untuk menghadapi kesulitan-kesulitan neraca pembayarannya.
Ketiga, the Committee on Budget, Finance and Administration
bergerak

dalam

mengatur

masalah-masalah

keuangan

dan

anggaran

WTO.70
Di samping badan-badan tersebut, WTO membentuk pula badanbadan

khusus

plurilateral
perdagangan

yang
(yang

pesawat

mengawasi

pelaksanaan

sifatnya

sukarela),

udara

sipil,

badan

perjanjian-perjanjian
yakni

untuk

badan

untuk

pengadaan

barang

pemerintah (government procurement), badan untuk produk susu dan


daging (dairy products and bovine meat). Badan-badan

khusus ini

melaporkan tugas-tugasnya kepada the General Council.


Sekretariat WTO berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sampai tulisan
ini dibuat, Sekretariat WTO memiliki sekitar 450 staf dan diketuai
oleh

seorang

Direktur

Jenderal

(Diretor

General)

dan

orang

pembantu Direktur Jenderal.


Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktek yang telah
lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam
hal

konsensus

ini

gagal,

maka

putusan

akan

pemungutan suara atau voting.

70

WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995, hlm. 13.

diambil

melalui

Di samping itu, ada 4 hal atau situasi dalam perjanjian WTO


yang memungkinkan dilakukannya voting. Pertama, mayoritas 2/3 dari
anggota

WTO

diperlukan

untuk

mengesahkan

suatu

penafsiran

perjanjian perdagangan multilateral.


Kedua, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan bagi the
Ministerial
kewajiban

Conference
yang

untuk

dikenakan

memutuskan

terhadap

suatu

penanggalan
negara

suatu

oleh

suatu

perjanjian multilateral.
Ketiga,

keputusan

untuk

merubah

ketentuan

perjanjian

multilateral dapat disahkan melalui kesepakatan seluruh anggotanya


atau melalui mayoritas 2/3 dari anggota WTO. Perubahan-perubahan
demikian

hanyalah

berlaku

bagi

negara-negara

yang

menerimanya

saja.
Keempat,

suatu

mayoritas

2/3

dari

negara

anggota

WTO

diperlukan untuk menerima masuknya suatu negara menjadi anggota


WTO.71
2. Kebijakan Unifikasi dan Harmonisasi WTO
WTO adalah salah satu contoh yang telah di sebut di atas,
di

mana

unifikasi

aturan-aturan

atau

hukum

perdagangan

internasional diterapkan terhadap negara-negara anggotanya. Pasal


XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: "Each member shall
ensure the conformity of its laws, regulations and administrative
procedures

with

its

obligations

as

provided

in

the

annexed

Agreements." (Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World


Trade Organization).
Ketentuan
bagaimana
menyesuaikan

WTO

pasal

tersebut

mewajibkan

aturan-aturan

menjadi

indikator

negara-negara
atau

hukum

penting

anggotanya

untuk

perdagangannya

dengan

aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Bahkan


ketentuan pasal XVI tersebut juga mewajibkan negara anggotanya
untuk

menyesuaikan

administrative

procedures-nya

sesuai dengan administrative procedure-nya WTO.


71

WTO, Trading into the Future, Geneva, 1995, hlm. 14.

(birokrasi)

3. Perjanjian-perjanjian di Bawah Piagam WTO


Perjanjian-perjanjian yang termuat dalam lampiran (Annex)
WTO adalah perjanjian dalam TRIPS (telah diuraikan secara singkat
di atas). Perjanjian-perjanjian lainnya adalah:
GATT 1994; Agreement on Agriculture; Sanitary and Phytosanitary
Measures; Textiles and Clothing; Technical Barriers to Trade;
Trade-Related Investment Measures (TRIMs); Anti-dumping (Article
VI of GATT 1994); Customs valuation (Article VII of GATT 1994);
Preshipment
Subsidies

Inspection;
and

Rules

Countervailing

of

Origin;

Measures;

Import

Licensing;

Safeguards;

General

Agreement on Trade in Services (GATS); Trade-Related Aspects of


Intellectual

Property

Rights

(TRIPS);

Dispute

Settlement

Understanding.
Sebenarnya di samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya
mendorong harmonisasi hukum, termasuk harmonisasi standar-standar
teknis-nya.

Upaya

harmonisasi

ini

telah

lama

diupayakan

GATT

(pendahulu WTO). Pada tahun 1979, GATT berhasil mengeluarkan The


GATT Code on Technical Standards (Standard Code).
Aturan Standard Code ini mendorong negara-negara anggotanya
untuk

mengharmonisasikan

standar-standar

produk

domestiknya.

Upaya ini ditempuh agar kebijakan negara-negara mengenai standar


produk tidak malah menjadi penghalang bagi perdagangan dunia.72
Perjanjian
harmonisasi
bawah

lainnya

hukum

adalah

'Plurilateral

yang

dapat

digolongkan

perjanjian-perjanjian

Agreement'(Annex

yang

ke

dalam

berada

Perjanjian

di

WTO).

Perjanjian-perjanjian ini adalah: Agreement on Trade in Civil


Aircraft
(Annex

(Annex
(b));

(a));

Agreement

International

Dairy

on

Government

Agreement

Procurement

(Annex

(c));

International Bovine Meat Agreement (Annex 4 (d)).

72

Michael Trebilcock and Robert Howse, The Regulation of International


Trade, London: Routledge, 1995, hlm. 29.

b. The International Institute for the Unification of Private Law


(UNIDROIT).
1. Pengantar
The International Institute for the Unification of Private
Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang
sifatnya independen. UNCITRAL dibentuk pada tahun 1926 sebagai
suatu

badan

pelengkap

bubar,

UNIDROIT

suatu

perjanjian

Liga

dibentuk

Bangsa-Bangsa

kembali

multilateral

pada

(LBB).

tahun

yakni

Sewaktu

1940

Statuta

LBB

berdasarkan

UNIDROIT

(the

UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma.


Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk
memodernisasi,

mengharmonisasi

dan

mengkoordinasikan

hukum

privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau


di antara sekelompok negara.
Keanggotaan

UNIDROIT

terbatas

hanya

untuk

negara-negara

yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara


ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum,
ekonomi, politik dan budaya yang berbeda.
Dewasa

ini

UNIDROIT

memiliki

59

negara

anggota,

yakni:

Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil,


Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia, Croatia, Cuba, Cyprus,
Republik

Czech,

Denmark,

Mesir,

Estonia,

Federasi

Rusia

Finlandia, Perancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria,


India, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Luxembourg,
Malta, Mexico, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay,
Poland, Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia,
Slovenia, Africa Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Tunisia, Turki,
Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal
Republic of), Yunani.
2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNIDROIT
Tujuan
harmonisasi
penting

utama

UNIDROIT

aturan-aturan

mengingat

sebenarnya

hukum

perkembangan

privat.

teknologi

adalah
Upaya
baru,

mempersiapkan
ini

dipandang

praktek-praktek

pedagangan,

dll

aturan-aturan

memerlukan

baru

aturan

hukum

juga

dibuat

tersebut

yang

baru.

oleh

Biasanya

negara-negara.

Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara


satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karen itu aturan
tersebut

perlu

diharmonisasi,

atau

bahkan

diunifikasi

guna

memperlancar perdagangan internasional.


Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut
banyak

bergantung

kepada

keinginan

dan

kerelaan

negara-negara

untuk mau menerimanya.


Meskipun
UNIDROIT

memiliki

organsiasi
menerapkan
yang

menyadari

antar

kedudukannya
pemerintah.

pemberlakuan

mensyaratkan

adanya

yang
Dalam

konvensi

penerimaan

kesulitan

tersebut,

menguntungkan
kaitan

atau

dari

upaya
ini,

perjanjian

sebagai
UNDIROIT

internasional

negara-negara

anggotanya.

Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke


dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya
kepada konvensi tersebut.
Penerimaan

suatu

aturan

konvensi

oleh

negara

akan

jauh

lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke


dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara
atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).
3. Konvensi atau Perjanjian Yang Dihasilkan UNIDROIT
Selama

berdiri

UNIDROIT

telah

melakukan

lebih

dari

70

kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai


perjanjian atau konvensi internasional berikut:
(1) Convention relating to a Uniform Law on the Formation of
Contracts for the International Sale of Goods (The Hague
1964);
(2) Convention relating to a Uniform Law on the International
Sale of Goods (The Hague, 1964);
(3) International Convention on the Travel Contract (Brussels,
1970);

(4) Convention

providing

Uniform

Law

on

the

Form

of

an

International Will (Washington, 1973);


(5) Convention

on

Agency

in

the

International

on

International

Sale

of

Goods

(Geneva, 1983);
(6) UNIDROIT

Convention

Financial

Leasing

(Ottawa, 1988);
(7) UNIDROIT

Convention

on

International

Factoring

(Ottawa,

1988);
(8) UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural
Objects (Rome, 1995);
(9) Convention

on

International

Interests

in

Mobile

Equipment

(Cape Town, 2001);


(10) Protocol

to

the

Convention

on

International

Interests

in

Mobile Equipment on Matters specific to Aircraft Equipment


(Cape Town, 2001).

c.

The

United

Nations

Commission

on

International

Trade

Law

73

(UNCITRAL)

1. Pengantar
1.

The United Nations Commission on International Trade Law

(UNCITRAL) adalah badan kelengkapan khusus dari Majelis Umum PBB.


Badan ini dibentuk pada tahun 1966. Pembentukannya didasarkan
pada

Resolusi

Majelis

Umum

PBB

Nomor

2205

(XXI)

tanggal

17

Desember 1966.
Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum
di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi
perdagangan
UNCITRAL

internasional.

berupaya

Untuk

memajukan

melaksanakan

perkembangan

tugas

tersebut

harmonisasi

dan

unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif (the


progressive

harmonization

and

unification

of

the

law

of

international trade).
Sejak

berdiri

UNCITRAL

telah

mempersiapkan

berbagai

Konvensi, Model Hukum dan instrumen hukum lainnya yang mengatur


transaksi perdagangan atau aspek-aspek hukum bisnis lainnya yang
memiliki pengaruh terhadap perdagangan internasional.
2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNCITRAL
Dua

kata

harmonisasi

dan

unifikasi

di

atas

memiliki

pengertian tersendiri bagi UNICTRAL. UNCITRAL beranggapan mandat


"Harmonization"
internasional
dapat

dan
ini

berlangsung

"unification"

dimaksudkan
secara

agar

lancar.

hukum

perdagangan

perdagangan

internasional

Hal

ini

penting

mengingat

perdagangan internasional acapkali terhalang atau tidak lancar


karena faktor-faktor seperti tidak adanya kepastian hukum (lack
of

predictable

governing

law),

hukum

yang

ada

sudah

tidak

sesuai lagi dengan perkembangan jaman.

73

http://www.uncitral.org/en-index.htm. Lihat pula: Gerold Hermann,


United Nations Commission on International Trade Law, dalam: R.
Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law: Instalment
5, 1983, hlm. 298-301; Schmitthoff, op.cit., Commercial Law, hlm. 2425.

Karena
membuat

itu

produk

memberi

upaya
atau

badan

ini

instrumen

kebutuhan

hukum

tidak

hukum

untuk

lain

yang

adalah

modern

memperlancar

berupaya

yang

dapat

perdagangan

internasional dan perkembangan ekonomi dunia.74


UNCITRAL merancang dan mengesahkan setiap instrumen hukum.
Dalam upaya ini, tidak semua negara anggota UNCITRAL turut serta.
Hanya

negara-negara

tertentu

saja

yang

merupakan

wakil

dari

75

region-regiona di dunia.
Pihak

lain

yang

juga

dapat

turut

serta

dalam

proses

perancangan tersebut adalah LSM internasional atau organisasiorganisasi

antar

pemerintah

yang

berminat.

Keputusan

untuk

mengesahkan instrumen hukum dilakukan secara konsensus.


Instrumen
legislative

74

hukum

texts

yang

umumnya

dirancang

berupa

UNCITRAL

Konvensi.76

bisa

Legislative

berupa
texts

Cf., mirip mandatnya dengan UNIDROIT., supra.


Terdapat lima kelompok regional yang terwakili dalam UNCITRAL. Mereka
adalah:
(1) Negara-negara Afrika, yakni: Benin, Burkina Faso,
Cameroon, Kenya, Morocco, Rwanda, Sierra Leone, Sudan and Uganda; (2)
Negara-negara Asia:- China, Fiji, India, Iran (Islamic Rep. of), Japan,
Singapore, and Thailand; (3) Negara-negara Eropa Timur: Hungary,
Lithuania, Romania, Russian Federation, The former Yugoslav Republic of
Macedonia; (4) Amerika Latin dan Karibia: Argentina, Brazil, Colombia,
Honduras, Mexico, Paraguay and Uruguay; (5) Eropa Barat dan Lainnya:Austria, Canada, France, Germany, Italy, Spain, Sweden, United States
of America and United Kingdom.
76
Konvensi tersebut adalah: Convention on the Limitation Period in the
International Sale of Goods (New York, 1974); United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna, 1980); United
Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg
Rules); United Nations Convention on the Liability of Operators of
Transport Terminals in International Trade (1991); United Nations
Convention on International Bills of Exchange and International
Promissory Notes (New York, 1988); United Nations Convention on
Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit New York, 1995);
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
(New York 1958) (the "New York" Convention); United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna 1980) ("CISG");
Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods
(New York 1974); United Nations Convention on International Bills of
Exchange and International Promissory Notes (New York, 1988); United
Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of
Credit (New York, 1995); United Nations Convention on the Assignment of
Receivables in International Trade (2001); United Nations Convention on
the Carriage of Goods by Sea (1978) (the "Hamburg Rules"); United
75

misalnya saja: United Nations Convention on Contracts for the


International Sale of Goods; Convention on the Limitation Period
in the International Sale of Goods; United Nations Convention on
Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit; United
Nations

Convention

on

International

Bills

of

Exchange

and

International Promissory Notes; United Nations Convention on the


Carriage

of

Goods

by

Sea,

1978

(Hamburg);

United

Nations

Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals


in International Trade; and the United Nations Convention on the
Assignment of Receivables in International Trade.
Sedangkan instrumen hukum lainnya berupa legislative guides
dan non-legislative guides. Legislative guides misalnya adalah
instrumen-instrumen hukum berupa model law dan rules. Instrumen
ini

merupakan

Negara

instrumen

anggota

bebas

yang
untuk

tidak

mengikat

mengikui

atau

negara
tidak

anggota.
mengikuti

legislative guides tersebut.


Non-legislative texts adalah instrumen hukum lainnya yang
sifatnya juga tidak mengikat. Contoh instrumen hukum seperti ini
misalnya saja: UNCITRAL Arbitration Rules; UNCITRAL Conciliation
Rules;

UNCITRAL

Notes

on

Organizing

Arbitral

Proceedings;

UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International Contracts for


the Construction of Industrial Works; and UNCITRAL Legal Guide on
International Countertrade Transactions.

Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals


in International Trade (Vienna, 1991).

d. Kamar Dagang Internasional (ICC)77


1. Pengantar
The International Chamber of Commerce (ICC) didirikan pada
tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris. Tujuannya pada waktu
itu, dan sampai sekarang masih terus berlaku, adalah melayani
dunia

usaha

dengan

memajukan

perdagangan,

penanaman

modal,

membuka pasar untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal
(to serve world business by promoting trade and investment, open
markets for goods and services, and the free flow of capital).
Selama

ini

ICC

dipandang

sebagai

corongnya

dunia

usaha

(pengusaha) untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja,


dan kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan
keadaan

dunia

kebijakan

saat

atau

ini.

Negara-negara

keputusan-keputusan

di

yang

dunia
dapat

kerap

membuat

mempengaruhi

perdagangan. Karena itulah, peran atau adanya suatu badan dunia


yang menyuarakan para pedagang yang terkena oleh kebijakan atau
keputusan (suatu) negara menjadi sangat penting. Untuk itu, ICC
memiliki akses langsung kepada pemerintah negara-negara di dunia
melalui national committee ICC (KADIN Nasional) yang terdapat
hampir di setiap negara di dunia.
Peran penting lain ICC adalah sebagai badan dalam membuat
kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan yang dapat memfasilitasi
perdagangan internasional. Peran lain yang juga cukup penting
adalah:
(1) sebagai

forum

penyelesaian

sengketa

khususnya

melalui

78

arbitrase;

77

http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp;
op.cit., Commercial Law, hlm. 24-25.

78

Schmitthoff,

ICC memiliki badan arbitrase serta aturan (rules) arbitrasenya. The


ICC International Court of Arbitration terbentuk pada tahun 1923 atas
jasa Presiden ICC pertama, yaitu Etienne Clmentel, mantan menteri
perdagangan Perancis. Badan arbitrase ICC telah terkenal menjadi badan
penyelesaian sengketa bisnis ternama. Pada tahun 2002 saja badan
arbitrase ICC menerima 590 kasus atau kira-kira 50 kasus per bulan.
(http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp).

(2) sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan


serta

aturan-aturan

hukum

dagang

internasional

di

antara

teknik-teknik

dalam

pengusaha-pengusaha di dunia; dan


(3) memberikan
merancang

pelatihan-pelatihan
kontrak

serta

dan

keahlian-keahlian

praktis

lainnya

dalam perdagangan internasional.


2. Kebijakan Harmonisasi Hukum ICC
ICC tidak berupaya menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan
yang

ditempuhnya

standar

(Rules

adalah
and

memberikan

Standards)

aturan-aturan

di

bidang

dan

hukum

standar-

perdagangan

internasional. Kedua bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat.


Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari pendirian ICC bahwa
dunia usaha sebaiknya tidak atau dipengaruhi sedikit mungkin oleh
campur

tangan

menjadi

penguasa

penguasa

(pemerintah).

seperti

itu.

Ia

ICC

karenanya

berpendirian,

tidak

biarlah

mau

dunia

usaha saja yang mengatur atau membuat aturan bagi mereka sendiri.
Dana

turan-aturan

termasuk

yang

aturan-aturan

sifatnya
yang

atau

dibuat

yang

datang

dari

ICC,

haruslah

luar,

bersfiat

sukarelah saja.
Namun demikian aturan-aturan ICC (termasuk standar-standar
ICC) ini memiliki pengaruh yang cukup tinggi. Bahkan beberapa
aturan (Rules)-nya telah diikuti dengan sukarela dan seksama oleh
para pelaku dagang, seperti misalnya perbankan. Bahkan standarstandar

yang

dikeluarkan

oleh

ICC telah

banyak

dimasukkan

ke

dalam kontrak-kontrak dagang yang dibuat oleh para pelaku bisnis.


3. Aturan-aturan dan Standar yang Dikeluarkan ICC
Dewasa ini ICC memiliki 16 Komisi para ahli yang berasal
dari

sektor

swasta.

Para

ahli

ini

terdiri

berbagai

bidang

keahlian di bidang bisnis internasional. Keahlian bidang mereka


antara

lain

perpajakan,

mencakup
hukum

teknis-teknis

persaingan,

perbankan

telekomunikasi,

(jasa
HAKI,

keuangan),
teknologi

informasi, pengangkutan (udara dan laut), penanaman modal dan


kebijakan perdagangan.

Para

ahli

dalam

komisi-komisi

tersebut

berperan

cukup

penting dalam merumuskan kebijakan, aturan-aturan dan standarstandar

yang

digunakan

atau

diterapkan

terhadap

perdagangan

internasional, termasuk kontrak internasional, meskipun sifatnya


tidak mengikat.
Maksud utama dengan adanya aturan-aturan tersebut adalah
untuk

mempermudah

perusahaan-perusahaan

atau

para

pedagang

di

seluruh dunia untuk bertransaksi dagang. Selain itu yang juga


penting adalah untuk mempermudah mereka membuat kontrak-kontrak
dagang.
Selama ini, aturan-aturan yang sifatnya tidak mengikat atau
sukarelah tersebut adalah:79
(1) ICC International Code on Sponsorship (September 2030);
(2) Compendium of ICC Rules on Children and Young People and
Marketing (April 2003);
(3) Rules for Expertise (Januari 2003);
(4) Paction - the online model sales contract application
Create, negotiate and sign your model contracts online, 2002
(5) ICC DOCDEX Rules (Oktober 1997 dan Maret 2002);
(6) ICC International Code of Sales Promotion (Mei 2002);
(7) GUIDEC II: General Usage for International Digitally Ensured
Commerce (Oktober 2001); dan GUIDEC I (6 November 1997);
(8) Compendium of Rules for Users of the Telephone in Sales,
Marketing and Research (Juni 2001);
(9) ICC International Code of Direct Marketing (September 1998
dan Juni 2001);
(10) ICC International Code of Direct Selling (Juni 1999);
(11) ICC Rules of Conduct to Combat Extortion and Bribery (1999);
(12) ICC Recommended Code of Practice for Competition Authorities
on Searches and Subpoenas of Computer Records (16 Oktober
1998);
(13) Model Clauses for use in Contracts involving Transborder Data
Flows (23 September 1998);
(14) ICC Guidelines on Advertising and Marketing on the Internet
(April 1998);
(15) The Rules of Arbitration of the ICC (1 Januari 1998);
79

<http://www.iccwbo.org/home/statements_rules/menu_rules.asp>

(16) ICC International Code of Advertising Practice (April 1997);


(17) ICC International Customs Guidelines (10 Juli 1997);
(18) The Business Charter for Sustainable Development (1996);
(19) Rules for Pre-arbitral referee, (1 Januari 1990);
(20) The Uniform Customs
(UCP) 1933 dan 1994.

and

Practice

for

Documentary

Credits

(21) The International Commercial Terms (Incoterms) (1936, 2000).


Dua produk hukum ICC yang disebut terakhir, yaitu UCP dan
Incoterms perlu mendapat sedikit catatan. UCP mengalami beberapa
kali revisi. Revisi terakhir adalah UCP 500, yang mulai berlaku
Januari 1994. UCP telah digunakan oleh bank di seluruh dunia.
Suatu tambahan terhadap UCP 500, yaitu the eUCP, ditambahkan pada
tahun 2002. eUCP mengatur penampilan semua atau sebagian doumen
elektronik.
Incoterms dibentuk untuk memberikan definisi baku secara
universal mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam transaksi
perdagangan internasional, seperti misalnya Ex quay, CIF dan FOB.
Seperti halnya UCP, Incoterms telah mengalami beberapa revisi.
Revisi terakhir dilakukan pada tahun 2000 (Incoterms 2000), yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2000.
Schmitthoff

memuji

merumuskan

unifikasi

menyatakan

bahwa

peran

hukum

(ICC)

badan

ini

perdagangan

contribution

dalam

upayanya

internasional

to

the

dengan

unification

of

international trade law has been singular successful.80


Sebagai

catatan

akhir

dari

bagian

ini,

penting

pula

mengutip nasihat Schmitthoff. Beliau melihat keberadaan lembagalembaga internaisonal yang berupaya mengunifikasi aturan-aturan
perdagangan

internasional

ini

adalah

positif.

Namun

beliau

mengingatkan agar lembaga-lembaga ini harus saling kerjasama agar


upaya unifikasi efektif.81

80

Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 213.

81

Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 214.

F. Penutup
Dari

uraian

internasional

di

adalah

atas

tampak

bidang

hukum

bahwa
yang

hukum

perdagangan

sangat

luas

ruang

lingkupnya. Hal ini sudah barang tentu merupakan tantangan bagi


para mahasiswa dan sarjana hukum untuk mendalami bidang ini.
Dari
hukum

perkembangannya,

ini

yang

kekurangannya
manusia
orang

dalam

mulai

sederhana:

sudah

sudah

ada

sejak

pemenuhan

berdagang.

barter

tersirat

atau

Metode

mulai

menerapkan

Untuk

awalnya

Dalam

bidang

merasakan

hidupnya.

transaksi

menukar.

dengan

pertumbuhan

manusia

kebutuhan

tukar

transaksi

pula

itu

sangatlah

perkembangannya,

teknologi

canggih:

perdagangan dengan sarana telekomunikasi.


Canggihnya transaksi perdagangan merupakan tantangan bagi
hukum perdagangan internasional. Bidang hukum ini ditantang untuk
mengakomodasi

perkembangan

cepat

ini

melalui

aturan-aturan

hukumnya. Adanya aturan-aturan ini sangat dibutuhkan bagi pelaku


perdagangan untuk adanya kepastian hukum, sekaligus mendapatkan
perlindungan hukumnya.
Upaya
kewenangan

hukum

nasional

hukumnya

untuk

sudah

barang

mengatur

tentu

sangat

terbatas

transaksi-tansaksi

lintas

batas atau internasional. Peran hukum nasional hanya mencakup


aturan-aturan yang mengikat bagi kegiatan dan transaksi dagang
dalam wilayahnya.
Karena

itu,

upaya-upaya

internasional

sedikit

internasional

baik

banyak

yang

pengaturan

bergantung

sifatnya

antar

pada

perdagangan

peran

negara,

organisasi

misalnya

WTO,

maupun yang sifatnya privat, misalnya Kamar Dagang Internasional


(International Chamber of Commerce).
Upaya organisasi internasional pun hingga dewasa ini lebih
banyak

pada

upaya

harmonisasi

hukum

daripada

upaya

unifikasi

hukum. Upaya ini tampaknya wajar dilakukan mengingat perkembangan


hukum

perdagangan

mengkristalisasi

internasional

aturan

hukum

yang

cukup

perdagangan

progresif.

Upaya

internasional

dalam

suatu dokumen perjanjian internasional yang sifatnya stabil dan


berlaku lama tampaknya sangat sulit.
Tujuan
sebenarnya

akhir
adalah

dari
tujuan

hukum
dari

perdagangan

eksistensi

internasional

hukum

perdagangan

internasional itu sendiri. Di bagian awal Bab ini (yaitu bagian


B.

Eksistensi

dan

Tujuan

Hukum

Perdagangan

Internasional),

terungkap beberapa tujuan bidang hukum perdagangan internasional


ini

yang

terdengar

sangat

positif,

yaitu

antara

lain,

mensejahterakan negara-negara (dan warga negaranya).


Satu hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa
untuk

mencapai

dibarengi

tujuan

dengan

positif

pemahaman

tersebut

terhadap

mau

hukum

tidak

mau

harus

perdagangan

itu

sendiri. Artinya, masyarakat atau negara yang tidak mengetahui


aturan-aturan hukum perdagangan internasional janganlah berharap
dapat mengambil manfaat dari hukum perdagangan internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Ademuni-Odeke,
1999.

The

Law

of

International

Trade,

London:

Blackstone,

August, Ray, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New
Jersey: Prentice Hall, 3rd.ed., 2000.
Chia-Jui
Cheng
(ed.),
Clive
M.
Schmitthoff's
Select
Essay
on
International
Trade
Law,
Doredrecht/Boston/London:
Martinus
Nijhoff & Graham & Trotman, 1988.
David, Rene, Arbitration in International Trade, The Hague: Kluwer,
1985.
Goldtajn, Aleksander, The New Law of Merchant, (1961) JBL 12.
Hermann, Gerold, United Nations Commission on International Trade
Law,
dalam:
R.
Bernhardt
(ed.),
Encyclopedia
of
Public
International Law: Instalment 5, 1983.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajagrafindo,
cet. 3, 2003.
Huala

Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar,


Rajawali Pers, cet. 3, 2002.
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).

Jakarta:

Islam, Rafiqul M., International Trade Law, NSW: LBC, 1999.


Lew

and Stanbrook, Interational


Euromoney, 1983.

Trade:

Law

and

Practice,

Bath:

PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung


Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977.
Reuvid, Jonathan (ed.), The Strategic Guide to International Trade,
London: Kogan Page, 1997.
Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish,
2002.
Schmitthoff, Clive M., The Unification of the Law of Internatioal
Trade, (1968) JBL 106.
Schmitthoff, Clive M., Commercial Law in a Changing Economic Climate,
London: Sweet and Maxwell, 1981.
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977.
Pistor, Katerina, "The Standardization of Law and Its Effect on
Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002).
Trebilcock, Michael and Robert Howse, The Regulation of International
Trade, London: Routledge, 1995.
United Nations, Progressive Development of the Law of International
Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, New
York: United Nations, 1966.
Vilanueva, Pablo, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan
Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan
page (tt),.
WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995.

BAB II
SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa
subyek hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum
perdagangan internasional. Maksud subyek hukum di sini adalah:
(1)

para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional


yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan
badan peradilan; dan

(2)

para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional


yang

mampu

dan

berwenang

untuk

merumuskan

aturan-aturan

hukum di bidang hukum perdagangan internasional.


Dari batasan tersebut sebagai tolok ukur, maka subyek hukum
yang

dapat

tergolong

ke

dalam

lingkup

hukum

perdagangan

internasional adalah negara, organisasi internasional, individu,


dan

bank.

Uraian

berikut

akan

menganalisa

lebih

lanjut

tiga

dalam

hukum

subyek hukum ini.


B. Negara
1. Peran Negara
Negara

merupakan

subyek

hukum

terpenting

di

perdagangan internasional. Sudah dikenal umum bahwa negara adalah


subyek

hukum

yang

paling

sempurna.

Pertama,

ia

satu-satunya

subyek hukum yang memiliki kedaulatan.


Berdasarkan kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk
menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari
wilayahnya.1 Booysen menggambarkan kedaulatan negara ini sebagai
berikut:

Hercules Boosen, International Trade


Pretoria: Interlegal, 1999, hlm. 2.

Law

on

Goods

and

Services,

2
... a state can absolutely determine whether anything from
outside the state. The state would also have the power to
determine the conditions on which the goods may be imported
into the state or exported to another country. ... Every
state would have the power to regulate arbitrarily the
conditions of trade.2
Dengan

atribut

kedaulatannya

ini,

negara

antara

lain

berwenang membuat hukum (regulator) yang mengikat segala subyek


hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan
peristiwa

hukum

yang

terjadi

di

dalam

wilayahnya,

termasuk

perdagangan, di wilayahnya.
Kedua,
tidak

negara

langsung

(perdagangan)
UNCITRAL,

berperan

dalam

baik

di

dunia,

Organisasi-organisasi

internasional

secara

pembentukan

internasional

dll.4

perdagangan

juga

inilah

yang

langsung

maupun

organisasi-organisasi
misalnya

WTO,

internasional
kemudian

UNCTAD,

di

bidang

berperan

dalam

membentuk aturan-aturan hukum perdagangan internasional.


Ketiga,

peran

penting

bersama-sama

dengan

internasional

guna

mereka.

Contoh

negara

negara

mengatur

perjanjian

lainnya

lain
transaksi
seperti

adalah

negara

juga

mengadakan

perjanjian

perdagangan

di

ini

adalah

antara

perjanjian

Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman modal


bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda, dll.5
Keempat, negara berperan juga sebagai subyek hukum dalam
posisinya sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah
salah satu pelaku utama dalam perdagangan internasional. Dalam
awal tulisan ini, negara dengan perusahaan negaranya mengadakan
transaksi dagang dengan negara lainnya. Negara memiliki sumber
daya alam, perkebunan, pertambangan, dll. Bahan-bahan alam ini
disamping
2

dikelola

untuk

kebutuhan

di

dalam

negeri

juga

Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2.


Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2.
4
Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and
Maxwell, 1995, hlm. 31.
5
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 31.
3

3
diperdagangkan

(dijual)

ke

subyek

hukum

lainnya

yang

memerlukannya.
Dalam

melaksanakan

fungsinya

ini,

tidak

jarang

negara

membuat badan-badan hukum milik negara. Di tanah air misalnya,


untuk

mengeksplorasi,

mengeksploitasi

dan

memasarkan

hasil

pertambangan minyak, negara mendirikan Pertamina. Untuk mengelola


sumber

daya

air

untuk

kepentingan

rakyat

negara

mendirikan

perusahaan air minum, dst.


Sebagai

suatu

institusi

yang

besar,

negara

membutuhkan

teknologi, infrastruktur, kendaraan, pesawat kenegaraan, sumbersumber kebutuhan yang dibutuhkan rakyatnya (pengadaan barang dan
jasa

atau

membelinya

procurement).
dari

para

Untuk

pihak

yang

memenuhi

semua

menyediakannya

ini,

negara

(penjual

atau

supplier). Dengan demikian, negara dapat bertindak sebagai pelaku


dalam transaksi perdagangan.6
Semua transaksi perdagangan tersebut tunduk pada aturanaturan hukum yang bentuk dan muatan pengaturannya bergantung pada
jenis

transaksi.

Manakala

negara

bertransaksi

dagang

dengan

negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum


internasional. Manakala negara bertransaksi dengan subyek hukum
lainnya, maka hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari
salah satu pihak).7

6
7

Hercules Booysen, op.cit., hlm. 4-5.


Hercules Booysen, Op.cit., hlm. 4.

4
2. Imunitas Negara
Salah satu masalah yang kerap timbul dalam kaitannya dengan
negara adalah atribut kedaulatan negara itu sendiri. Prinsip umum
yang

diakui

adalah

bahwa

dengan

atribut

kedaulatan,

negara

memiliki imunitas terhadap pengadilan negara lain.


Arti imunitas di sini adalah bahwa negara tersebut memiliki
hak

untuk

mengklaim

kekebalannya

terhadap

tuntutan

(klaim)

terhadap dirinya. Sheldrick dengan tepat menggambarkan imunitas


negara ini sebagai berikut:
Sovereign immunity is a long-established precept of public
international law which requires that a foreign government
or head of state cannot be sued without its consent. In its
traditional form, this rule applied to all types of suit,
criminal and civil, including those arising out of purely
commercial
transactions
undertaken
by
the
foreign
sovereign.8
Dalam

perkembangannya,

konsep

imunitas

ini

mengalami

pembatasan. Minimal ada 4 pembatasan terhadap muatan imunitas


suatu negara ini.
Pertama,
bertransaksi

pembatasan
dagang,

oleh

hukum

hukum

internasional.

internasional

meskipun

Dalam

mengakui

imunitas negara ini, tetapi juga sekaligus membatasinya. Hukum


internasional regional di Eropa misalnya memiliki the European
Convention

on

State

Immunity

(16

Mei

1972).

Konvensi

beranggotakan Austria, Belgia, Belanda, Siprus, Jerman, Inggris,


Luxemburg, dan Swis.9
Hukum internasional juga mensyaratkan negara-negara untuk
bekerjasama dengan negara lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi
mengenai

prinsip-prinsip

hukum

internasional

antara

lain

menyatakan bahwa:

Andrew W. Sheldrick, Capacity, sovereign immunity and acts of state,


dalam: Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath:
Euromoney, 1983, hlm. 164.
9
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 33.

5
... states have the duty to co-operate with one another,
irrespective of the difference in their political, economic
and social system,...10
Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa
negara

memiliki

UU

mengenai

imunitas

yang

sifatnya

membatasi

imunitas negara-negara (asing) yang melakukan transaksi dagang di


dalam wilayahnya atau dengan

warga negaranya. Negara-negara yang

memiliki UU seperti ini misalnya:


1982);

Australia

(Foreign

States

Serikat

(Foreign

Sovereign

Canada (State
Immunity

Immunities

Act

Act

Immunity Act

1985),

1976),

dan

Amerika
Inggris

(State Immunity Act 1978).


UU Inggris tahun 1978 menyatakan bahwa suatu negara tidak
dapat lagi mengklaim imunitasnya dalam persidangan yang terkait
dengan:
(a)

sengketa-sengketa mengenai transaksi komersial (dagang)


yang dilakukan oleh suatu negara;

(b)

sengketa-sengketa

yang

lahir

dari

adanya

kontrak

yang

dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris;


(c)

kontrak-kontrak ketenagakerjaan yang dibuat di Inggris


atau yang berkaitan dengan jasa-jasa yang dilaksanakan
sebagian atau seluruhnya di Inggris;

(d)

tindakan-tindakan mengenai tort (dalam sistem hukum kita


semacam

perbuatan

melawan

hukum)

untuk

menuntut

ganti

rugi karena meninggal, luka-luka, atau kerugian terhadap


harta

benda,

di

mana

tindakan

tersebut

terjadi

di

Inggris;
(e)

sengketa-sengketa yang terkait dengan keanggotaan dalam


suatu perusahaan baik yang terdaftar atau yang memiliki
kegiatan usaha utamanya di Inggris;

10

Hercules Booysen, op.cit., hlm. 33 dan 33n.

6
(f)

sengketa-sengketa

yang

terkait

dengan

klaim-klaim

pengangkutan di laut terhadap kapal atau muatan atau yang


digunakan untuk tujuan-tujuan komersial; dan
(g)

sengketa-sengeta

yang

terkait

dengan

perpajakan

atau

cukai.11
Ketiga,
Pembatasan

pembatasan

ini

dianggap

secara
terjadi

diam-diam
manakala

dan

suatu

sukarela.

negara

secara

sukarela menundukkan dirinya ke hadapan suatu badan peradilan


yang mengadili sengketanya. Apabila pengadilan memanggil negara
tersebut

untuk

mengadiri

persidangan

dan

negara

tersebut

mematuhinya, maka negara tersebut dianggap telah dengan sukarela


menanggalkan imunitasnya.12
Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasn
imunitas ini adalah apabila negara memasukkan klausul arbitrase
ke dalam kontrak dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa
negara tersebut telah menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke
badan

arbitrase

yang

dipilihnya

untuk

menyelesaikan

sengketa

dagangnya.13
Dengan

adanya

pembatasan-pembatasan

tersebut,

kekebalan

suatu negara untuk hadir di hadapan badan peradilan (nasional


asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun
masalah sesungguhnya dalam kaitanya dengan pembatasan negara di
hadapan badan peradilan adalah pelaksanaan putusan pengadilannya.
Hal inilah yang menjadi nasalah utama yang justru sangat krusial.
Percumalah

11

doktrin

dan

aturan-aturan

mengenai

imunitas

ini

Scheldrick, op.cit., hlm. 163 dan 164.


Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33.
13
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33. Dengan adanya pembatasanpembatasan terhadap imunitas ini kemudian lahir teori yang disebut
dengan
teori
pembatasan
imunitas
negara
(restrictive
theory
doctrine). (Scheldrick, op.cit., hlm. 163). Teori ini juga menyatakan
bahwa negara dengan melakukan tindakan-tindakan yang bersifat nonpemerintah (publik) atau non-governmental activities, negara tersebut
secara implisit telah menanggalkan hak-haknya untuk mengklaim imunitas.
(Scheldrick, op.cit., hlm. 163).
12

7
apabila di kemudian hari ternyata putusan pengadilan tidak dapat
dilaksanakan.
Berdasarkan
tidak

dapat

hukum

menyita

internasional,

harta

milik

negara

suatu
lain

badan

peradilan

atau

memaksakan

putusannya terhadap harta milik negara lain yang digunakan atau


yang memiliki fungsi pelayanan publik (public services).14 Hukum
internasional melarang suatu negara menahan kapal perang asing
yang

sedang

menyandar

di

pelabuhan

suatu

negara

asing

atau

menyita bangunan kedutaan negara asing.15


Menurut
memungkinkan
bersangkutan

Houtte,

pelaksanaan

terhadap

aset-aset

tidak

dibutuhkan

untuk

putusan
yang

pengadilan

negara

melaksanakan

hanya

asing

yang

fungsi-fungsi

pelayanan publik.16

14

Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34.


Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34.
16
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34.
berbgai sarjana antara lain C. Schreur).
15

(Pendapat

ini

juga

mengutip

8
C. Organisasi Perdagangan Internasional
1. Organisasi Internsional Antar Pemerintah (Publik)17
Organisasi
perdagangan

internasional

internasional

yang

memainkan

bergerak
peran

di

yang

bidang

signifikan.

Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih ngara guna


mencapai tujuan bersama.
Untuk
dibentuk

mendirikan

suatu

dasar

suatu
hukum

organisasi
yang

internasional

biasanya

adalah

perlu

perjanjian

internasional. Dalam perjanjian inilah termuat tujuan, fungsi,


dan

struktur

organisasi

perdagangan

internasional

yang

bersangkutan.
Biasanya peran organisasi internasional dalam perdagangan
internasional

kurang

internasional

membeli

begitu

signifikan.

Memang

kebutuhan-kebutuhannya

organisasi

dari

penjual

(procurement). Misalnya komputer, peralatan kantor/administrasi,


telekomunikasi, transportasi, dll.
Namun

procurement

organisasi

internasional

tidak

terlalu

besar kuantitasnya. Dari segi hukum perdagangan internasional pun


organisasi seperti ini lebih banyak bergerak sebagai regulator.
Dalam

kapasitasnya

mengeluarkan
18

guidelines.

ini

organisasi

peraturan-peraturan

internasional

yang

bersifat

lebih

banyak

rekomendasi

dan

Biasanya pun aturan-aturan seperti rekomendasi atau

guidelines tersebut lebih banyak ditujukan kepada negara. Jarang


dimaksudkan untuk mengatur individu.19

17

Kajian ekstensif tentang organisasi internasional publik, lihat


antara lain: M.A.G. Meerhaeghe, International Economic Institutions,
The Netherlands: Kluwer, 1998, 7th.ed., 1998.
18
Michael P. Ryan, W.C. Lenhardt and K. Tamai, International
Governmental Organization: Knowledge Management for Multilateral Trade
Law Making, 15 Am. U.J.Intl.L. Rev 1360 (2000) (Ryan et.al., menyebut
pembuatan peraturan ini sebagai fungsi ke-lima dari organisasi
internasional publik. Fungsi lainnya adalah: fungsi administratif,
fungsi penyebarluasan informasi, fungsi penelitian, fungsi dukungan
hukum [legal support]).
19
Michael P. Ryan et.al., ibid.; Booysen, op.cit., hlm. 26.

9
Di antara berbagai organisasi internasional yang ada dewasa
ini, organisasi perdagangan internasional di bawah PBB,20 seperti
UNCITRAL atau UNCTAD. UNCITRAL adalah organisasi internasional
yang berperan cukup penting dalam perkembangan hukum perdagangan
internasional.
Badan ini didirikan pada tahun 1966 berdasarkan Resolusi
Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI), 12 Desember 1966. Tujuan atau
mandat utama badan ini adalah mendorong harmonisasi dan unifikasi
hukum perdagangan internasional secara progresif.
Dalam

upayanya

tersebut

UNCITRAL

disyaratkan

juga

untuk

mempertimbangkan kepentingan semua negara khususnya negara sedang


berkembang dalam mengembangkan perdagangan internasional secara
ekstensif. Dalam teks aslinya, mandat dalam Resolusi tahun 1966
tersebut berbunyi:
With a mandate to further the progressive development of
the law of internatonal trade and in that respect to bear
in mind the interests of all people, in particular those of
developing countries, in the extensive development of
international trade.
UNCITRAL misalnya, telah melahirkan Vienna Convention on
the

International

Sale

of

Goods

(1980);

Convention

on

the

international Multi-moda Transport (1980); UNCITRAL Arbitration


Rules (1976); UNCITRAL Model Law on Arbitration (1985), dll.
UNCTAD telah melahirkan berbagai kesepakatan internasional
di

bidang

perdagangan

yang

juga

cukup

penting,

antara

lain

misalnya: UN Convention on a Code of Conduct for Liner Conference


(1974); GSP (1968); UN Convention on Carriage of Goods by Sea
(1978).
Di luar keluarga PBB, organisasi perdagangan internasional
yang dewasa ini berpengaruh luas adalah GATT (1947). GATT dengan
20

Selama ini PBB lebih dikenal sebagai organisasi internasional yang


bersifat politis. Bab IX Piagam PBB sebenarnya memuat aturan-aturan
khusus untuk pengembangan dan majuan ekonomi dan sosial yang bertujuan,

10
ke-38

pasalnya

semula

hanya

mengatur

tarif

dan

perdagangan.

Perannya pada tahun 1994 digantikan oleh WTO.


Lahirnya

WTO,

bidang

pengaturannya

menjadi

sangat

luas.

Hampir semua sektor perdagangan, jasa, penanaman modal, hingga


hak atas kekayaan intelektual, menjadi bidang cakupan pengaturan
(perjanjian) WTO.

antara lain, meningkatkan standar hidup dan pembangunan ekonomi dan


sosial. (Lihat, Houtte, op.cit., hlm. 39-40).

11

2. Organisasi Internasional Non-Pemerintah


Di

samping

organisasi

internasional

antar

pemerintah

di

atas, terdapat subyek hukum lainnya yang juga cukup penting yaitu
NGO (Non-Governmental Organization) swasta (non-pemerintah atau
yang kerap kali disebut pula dengan LSM internasional).
NGO Internasional dibentuk oleh pihak swasta (pengusaha)
atau

asosiasi

dagang.

aturan-aturan
dipandang
Chamber

dengan

of

berhasil

hukum

sebelah

merancang
dan

penting

perdagangan

NGO

Misalnya,

atau

Kamar

Dagang

dan

melahirkan

keuangan

dalam

internasional

mata.

Commerce

perdagangan

Peran

ICC

mengembangkan
tidak

(International

Internasional),

berbagai

internasional,

dapat

bidang

misalnya:

telah
hukum

INCOTERMS,

Arbitration Rules dan Court of Arbitration, serta Uniform Customs


and Practices for Documentary Credits (UCP).
Khusus untuk UCP, misalnya, aturan-aturannya sekarang sudah
menjadi

acuan

hukum

sangat

penting

bagi

pengusaha

dalam

melaksanakan transaksi perdagangan internasional. Aturan-aturan


UCP yang terkait dengan sistem pembayaran melalui perbankan telah
ditaati

dan

dihormati

oleh

sebagian

besar

pengusaha-pengusaha

besar di dunia.
Gambaran

lainnya

adalah

ICC

Arbitration

Rules.

Banyak

pengusaha besar di dunia telah memanfaatkan aturan arbitrase ICC


untuk

menyelesaikan

klausul-klausul

sengketa-sengketa

kontrak

dagang

dagang

internasional,

mereka.
para

Dalam

pengusaha

telah cukup banyak mencantumkan klausul arbitrase dengan mengacu


kepada

ICC

Arbitration

Rules

untuk

hukum

acara

badan

21

arbitrasenya.

21

Lihat lebih lanjut: George Curmi, The Role of the Internatonal


Chamber of Commerce, dalam J. Reuvid (ed.), op.cit., hlm. 79 et.seq.,;
Houtte, op.cit., hlm. 48-49 (memberi contoh NGO lainnya yang cukup
penting. Misalnya saja, FIDIC (Fdration Internationale des ingnieurs
des conseils), kumpulan para insinyur dari berbagai negara yang telah
merumuskan berbagai kontrak standar untuk pembangunan konstruksi atau
proyek pembangunan.; atau IATA (International Association of Transport

12
D. Individu
Individu
perdagangan

atau

perusahaan

internasional.

adalah

Adalah

pelaku

individu

utama

yang

pada

dalam

akhirnya

akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan internasional.


Selain

itu,

memiliki

aturan-aturan

tujuan

untuk

hukum

yang

memfasilitasi

dibentuk

oleh

perdagangan

negara

internasional

yang dilakukan individu.22


Dibanding

dengan

negara

atau

organisasi

internasional,

status individu dalam hukum perdagangan internasional tidaklah


terlalu penting. Biasanya individu dipandang sebagai subyek hukum
dengan

sifat

hukum

perdata

(legal

persons

of

private

law

23

nature).

Individu itu sendiri hanya (akan) terikat oleh ketentuanketentuan hukum nasional yang negaranya buat. Karena itu individu
tunduk

pada

hukum

nasionalnya

(tidak

pada

aturan

hukum

perdagangan internasional). Dia pun hanya dapat mempertahankan


hak dan kewajibannya yang berasal dari hukum nasionalnya tersebut
di hadapan badan-badan peradilan nasional.24
Negara jarang sekali membuat kesepakatan-kesepakatan yang
mengikat

individu.

Umumnya

kesepakatan

negara-negara

hanya

mengikat mereka. AFTA antara lain adalah organisasi yang hanya


mengatur

komitmen

negara-negara

anggotanya

saja.

Dalam

hukum

perdagangan internasional, ia adalah subyek hukum dalam arti yang


terbatas.
Apabila
perdagangannya

individu
terganggu

merasa
atau

bahwa

hak-hak

dirugikan,

maka

dalam
yang

bidang

dapat

ia

lakukan adalah meminta bantuan negaranya untuk memajukan klaim


terhadap

negara

yang

merugikannya

ke

hadapan

badan-badan

Association), kumpulan para perusahaan penerbangan, yang merumuskan


misalnya saja aturan-aturan pengangkutan udara dan pengaturan mengenai
tarif penerbangan.
22
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 7.
23
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 13.
24
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 7.

13
peradilan internasional. Mekanisme seperti ini misalnya tampak
pada GATT/ WTO dan Mahkamah Internasional.
Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja suatu individu
dapat

mempertahankan

hak-haknya

berdasarkan

suatu

perjanjian

internasional. Individu misalnya diperkenankan untuk mengajukan


tuntutan kepada negara berdasarkan Konvensi ICSID.
Konvensi

ICSID

mengakui

hak-hak

individu

untuk

menjadi

pihak di hadapan badan arbitrase ICSID. Namun demikian hak ini


bersifat

terbatas.

sengketa-sengketa

Pertama,
di

sengketanya

bidang

penanaman

hanya
modal

dibatasi
yang

untuk

sebelumnya

tertuang dalam kontrak.


Kedua, negara dari individu yang bersangkutan harus juga
disyaratkan untuk telah menjadi anggota Konvensi ICSID (Konvensi
Washington

1965).

Persyaratan

ini

sifatnya

mutlak.

RI

telah

meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap Konvensi ICSID melalui


UU Nomor 5 tahun 1968.
Status

individu

sebagai

subyek

hukum

perdagangan

internasional tetaplah tidak boleh dipandang kecil. Aturan-aturan


di

bidang

perdagangan

yang

mereka

buat

sendiri

kadang-kadang

memiliki kekuatan mengikat seperti halnya hukum nasional.


Contoh nyata adalah aturan-aturan yang tergolong ke dalam
Lex Mercatoria atau hukum para pedagang. Salah satu wujudnya,
seperti telah diutarakan di atas, adalah the Uniform Customs and
Practice

for

diundangkan
pengusaha

Documentay

sebagaimana
sangat

Credit

(UCP).

layaknya

menghormati

hukum

dan

Meskipun
nasional,

menaati

UCP

tidak

namun

para

ketentuan-ketentuan

dalam UCP.
Disebutkan
dengan

sifat

di

hukum

atas

bahwa

perdata

individu

(legal

adalah

persons

of

subyek
a

hukum

private

law

nature). Subyek hukum lainnya yang termasuk ke dalam kategori ini


adalah (a) perusahaan multinasional; dan (b) bank.

14
1 Perusahaan Multinasional
Perusahaan
Corporations)
berperan

multinasional

telah

penting

lama

dalam

diakui

(MNCs

atau

sebagai

perdagangan

Multinational

subyek

hukum

internasional.

Peran

yang
ini

sangat mungkin karena kekuatan finansial yang dimilikinya. Dengan


kemampuan

finansialnya,

hukum

(perdagangan)

internasional

berupaya mengaturnya.
Pasal 2 (2) (b) Piagam Hak dan Kewajiban Ekonomi Negaranegara antara lain menyebutkan bahwa MNCs tidak

boleh campur

tangan terhadap masalah-masalah dalam negeri dari suatu negara.


Pasal 2 (2) (b) Piagam antara lain berbunyi sebagai berikut: ...
Transnational corporation shall not intervene in the internal
affairs of a host State.25
Alasan pengaturan ini tampaknya masuk akal. Tidak jarang
MNCs seperti Freport McMoran Company (yang beroperasi di Papua),
Mitsubishi,
Singapore

atau

MNCs

di

Telecommunication

bidang

telekomunikasi,

(Singtel

yang

ABC,

memiliki

CNN,
saham

mayoritas PT Indosat), sedikit banyak dapat mempengaruhi situasi


dan kondisi politik dan ekonomi di Indonesia.
Kekuatan dan kekayaan yang sangat besar ini memang dapat
berdampak yang cukup besar. The Economist menggambarkan dengan
tepat peran dan keberadaan MNCs:
Many people ... now think of multinationals as more
powerful than nation states, and see them as bent on
destroying
livelihoods,
the
environment,
left-wing
political opposition and anything else that stands in the
way of their profits. 26
Perlunya
memang

perlu

aturan-aturan
untuk

yang

mengontrol

menjembatani

aktivitas

perbedaan

MNCs

kepentingan.

kepentingan negara tuan rumah, apalagi negara sedang berkembang,

25

Hercules Booysen, op.cit., hlm. 14.


The Economist, The Worlds View of Multinationals, 29 January 2000,
hlm. 19.

26

15
biasanya

adalah

mengharapkan

masuknya

MNCs

ke

dalam

wilayah

negaranya dapat memberi kontribusi bagi pembangunannya.


Sedangkan

perspektif

MNCs

berbeda.

Sebagaimana

halnya

dengan perusahaan umumnya, MNCs bertujuan mencapai target utama


perusahaan,

yaitu

mendapatkan

keuntungan

sebesar-besarnya.27

Karena itu agar kedua kepentingan ini pada titik tertentu dapat
bertemu, maka perlu aturan-aturan hukum untuk menjembataninya.28
2. Bank
Memang agak mengherankan bahwa para sarjana memasukkan bank
sebagai subyek hukum dengan kategori private law nature. Sama
seperti individu atau MNCs, bank dapat digolongkan sebagai subyek
hukum perdagangan internasional dalam arti yang terbatas. Bank
pun tunduk pada hukum nasional di mana bank tersebut didirikan.
Yang membuat subyek hukum ini penting adalah:
(a) peran bank dalam perdagangan internasional dapat dikatakan
sebagai pemain kunci. Tanpa bank, perdagangan internasional
mungkin tidak dapat berjalan.29
(b) Bank menjembatani antara penjual dan pembeli yang satu sama
lain mungkin saja tidak mengenal karena mereka berada di
negara yang berbeda. Perannya di sini adalah peran bank dalam
memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli.
(c) Bank berperan penting dalam menciptakan aturan-aturan hukum
dalam perdagangan internasional khususnya dalam mengembangkan
hukum

perbankan

internasional.

Salah

satu

instrumen

hukum

yang bank telah kembangkan adalah sistem pembayaran dalam


transaksi

perdagangan

internasional.

Misalnya

adalah

terbentuknya kredit berdokumen yang disebut documentary


credit. Mekanisme dan praktek ini kemudian dikodifikasi dan
dirumuskan secara sistematis oleh ICC menjadi UCP (di atas).
27
28
29

The Economist, Ibid.


Rafiqul Islam, International Trade Law, NSW: LBC, 1999, hlm. 273.
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 14.

16
E. Penutup
Uraian

di

atas

menggambarkan

stake-holders,

aktor,

atau

subyek hukum dalam hukum perdagangan internasional, yaitu negara,


organisasi

internasional

dan

individu

(yang

terdiri

dari

perusahaan multinasional dan bank).


Subyek-subyek

hukum

tersebut

di

atas

menunjukkan

terbatasnya subyek hukum dalam hukum perdagangan internasional.


Hal ini tidak terlepas dari realita pragmatis dari perdagangan
internasional.
Imunitas negara dengan statusnya sebagai subyek hukum penuh
atau lengkap dalam hukum perdagangan internasional tampak semakin
terbatas.

Hukum

nasional,

hukum

internasional,

dan

penundukan

diri kepada suatu lembaga peradilan (arbitrase) menghendaki dan


mensyaratkan tidak mungkinnya bagi suatu negara untuk membawa
atribut imunitasnya dalam perdagangan internasional.
Dari ketiga stake-holders hukum perdagangan internasional,
yang

paling

unik

adalah

keuangan.

Ia

bukan

Fungsinya

menjembatani

bank.

pelaku
dan

Bank

utama

hanyalah

perdagangan

memfasilitasi

suatu

lembaga

internasional.

pembayaran

antara

penjual dan pembeli. Namun demikian bank telah menciptakan suatu


praktek

kebiasaan

di

bidang

perdagangan

holders lainnya yang berhubungan dengannya.

yang

mengikat

stake-

17

DAFTAR PUSTAKA
Booysen, Hercules, International Trade Law on Goods and Services,
Pretoria: Interlegal, 1999.
Curmi, George, The Role of the Internatonal Chamber of
Commerce, dalam J. Reuvid (ed.), The Strategic Guide to
International Trade, London: Kogan Page, 1997.
Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet
and Maxwell, 1995.
Islam, Rafiqul, International Trade Law, NSW: LBC, 1999.
Meerhaeghe, M.A.G., International Economic Institutions, The
Netherlands: Kluwer, 1998, 7th.ed., 1998.
Ryan, Michael P., W.C. Lenhardt and K. Tamai, International
Governmental
Organization:
Knowledge
Management
for
Multilateral Trade Law Making, 15 Am. U.J.Intl.L. Rev
1360 (2000).
Sheldrick, Andrew W., Capacity, sovereign immunity and acts of
state, dalam: Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law
and Practice, Bath: Euromoney, 1983.
The Economist, The Worlds View of Multinationals, 29 January
2000.

BAB III
SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Sumber hukum perdagangan internasional merupakan bab yang
penting. Dari sumber hukum inilah

kita dapat menemukan hukum

tersebut untuk dapat diterapkan kepada suatu fakta tertentu dalam


perdagangan internasional.
Dalam Bab I buku ini, penulis mengikuti pendirian Houtte,
Rafiqul Islam, dan Booysen. Inti
terkemuka ini adalah bahwa ada

dari pendirian para sarjana

keterkaitan erat antara hukum

perdagangan internasional dan hukum internasional.


Keterkaitan antara dua bidang hukum ini membawa konsekuensi
bahwa

sumber-sumber

lapangan

ini,

hukum

yaitu:(1)

internasional

perjanjian

yang

dikenal

internasional;

(2)

dalm
hukum

kebiasaan internasional; (3) prinsip-prinsip hukum umum; dan (4)


putusan-putusan

pengadilan

dan

publikasi

sarjana-sarjana

terkemuka (doktrin), juga dapat diadopsi sebagai sumber-sumber


hukum dalam hukum perdagangan internasional.1
Namun demikian, di samping keempat sumber hukum tersebut,
khusus
satu

dalam

bidang

bidang
hukum

hukum
lainnya

perdagangan
yang

juga

internasional,
berperan

terdapat

penting

dalam

mengatur transaksi perdagangan internasional. Hukum kelima ini


adalah hukum nsional.
Hukum nasional dalam banyak hal ternyata justru memiliki
peran

lebih

dibandingkan

ke-4

sumber

hukum

yang

tersebut

sebelumnya. peran dan diakuinya hukum nasional sebagai sumber

Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Cf., Perlu dikemukakan


di sini bahwa dalam literatur hukum perdagangan internasional, apa yang
menjadi sumber hukum perdagangan internasional belum ada kesepakatan.
Sarjana terkemuka hukum perdagangan internasional Profesor Clive
Schmitthoff hanya mengakui 2 (dua) sumber hukum saja, yaitu (1)
perjanjian internasional (istilah beliau: international legislation);
dan (2) hukum kebiasaan internasional (istilah beliau: international
commercial custom). (Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing
Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22 et.seq.).

hukum perdagangan internasional tidaklah terelakan karena sejak


awal

atau

tahap

awal

suatu

pihak

akan

memulai

transaksi-

transaksinya, selalu atau acapkali diawali dengan keterkaitannya


pada hukum nasional negaranya.2
B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian

internasional

adalah

salah

satu

sumber

hukum

yang terpenting. Secara umum, perjanjian internasional terbagi ke


dalam tiga bentuk, yaitu perjanjian multilateral, regional dan
bilateral.
Perjanjian

internasional

atau

multilateral

adalah

kesepakatan tertulis yang mengikat lebih dari dua pihak (negara)


dan tunduk pada aturan hukum internasional.3 Beberapa perjanjian
internasional
sifatnya

membentuk

umum

internasional

di
yang

suatu

antara

pengaturan

para

memberikan

pihak.

perdagangan

Ada

kekuasaan

juga

tertentu

yang

perjanjian
di

bidang

perdagangan atau keuangan kepada suatu organisasi internasional.


Perjanjian internasional kadang kala juga berupaya mencari suatu
pengaturan yang seragam guna mempercepat transaksi perdagangan.
Perjanjian

regional

adalah

kesepakatan-kesepakatan

di

bidang perdagangan internasional yang dibuat oleh negara-negara


yang tergolong atau berada dalam suatu regional tertentu. Di Asia
Tenggara

misalnya,

perjanjian-perjanjian

seperti

ini

adalah

perjanjian pembentukan AFTA.


Suatu
tersebut

perjanjian

hanya

mengikat

adalah
hanya

bilateral
dua

subyek

manakala
hukum

perjanjian

internasional

Lihat lebih lanjut dalam uraian di bawah ini.


Pengaturan mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi
Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 (the Vienna Convention on the
Law of Treaties of 1969). Pengertian perjanjian termuat dalam Pasal 2
(1) (1) Konvensi: treaty means an international agreement concluded
between States in written form and governed by international law,
whether embodied in a single instrument or in two or more related
instrumetns and whatever its particular designation; .

(negara atau organisasi internasional). Termasuk dalam kelompok


perjanjian ini adalah perjanjian penghindaraan pajak berganda.4
Dalam
memberikan

perjanjian
beberapa

persahabatan

preferensi

atau

bilateral,
perlakuan

kedua
khusus

negara
tertentu

berkaitan dengan kegiata ekspor-impor kedua negara. Perjanjian


ini bisanya disebut juga dengan nama FCN-Treaties (Friendship,
Navigation and Commerce).5
a. Daya Mengikat Perjanjian (Perdagangan) Internasional
Suatu

perjanjian

perdagangan

internasional

mengikat

berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Karena itu,


sebagaimana
perjanjian

halnya

perjanjian

perdagangan

internasional

internasional

pun

hanya

pada
akan

umumnya,
mengikat

suatu negara apabila negara tersebut sepakat untuk menandatangani


atau meratifikasinya.
Manakala suatu negara telah meratifikasinya, maka adalah
kewajiban negara tersebut untuk mengundangkannya ke dalam aturan
hukum

nasionalnya.

Perjanjian

internasional

yang

telah

diratifikasi tersebut kemudian menjadi bagian dari hukum nasional


negara tersebut.
Kadangkala
negara

untuk

pengaturan
sebaliknya,

perjanjian
tidak

atau
suatu

internasional

menerapkan

pasal

dari

perjanjian

atau

membolehkan

mengecualikan

perjanjian

beberapa

internasional.

internaisonal

tidak

suatu
Atau

mengijinkan

adanya pensyaratan ini. GATT atau Perjanjian WTO misalnya tidak


menghendaki adanya pensyaratan ini. Artinya, GATT dan Perjanjian
WTO mensyaratkan pemberlakuan keseluruhan pasal-pasalnya.
Salah satu cara lainnya bagi suatu negara untuk terikat
kepada suatu perjanjian internasional adalah melalui penundukan
4

Hans Van Houtte, , The Law of International Trade, London: Sweet and
Maxwell, 1995, hlm. 3.
5
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 3. Untuk kumpulan perjanjian-perjanjian
internasional (Konvensi, Protokol, dll., dalam hukum perdagangan
internasional), lihat: Indira Carr and Richard Kidner, Statutes and
Convention on International Trade Law, London: Cavendish, 1993, hlm.
263-446).

secara diam-diam. Artinya, tanpa mengikatkan diri secara tegas


melalui penandatanganan dan ratifikasi (yang biasanya instrumen
ratifikasi

tersebut

didepositkan

berwenang,

misalnya

Sekjen

mengikatkan

dirinya

PBB),

dengan

cara

kepada

suatu

badan

yang

suatu

negara

dapat

saja

mengadopsi

muatan

suatu

perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.


Biasanya penundukan secara diam-diam dilakukan antara lain
karena negara tersebut tidak mau secara tegas terikat terhadap
suatu perjanjian internasional. Misalnya, RI tidak meratifikasi
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum

Perjanjian. Tetapi dalam UU

Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, sebagian


besar muatannya sama dengan Konvensi Win 1969 tersebut.
Tetapi

perlu

pula

diingat

bahwa

penundukan

diri

secara

diam-diam ini tidak akan berlaku apabila perjanjian internasional


tersebut secara tegas mensyaratkan demikian. Atau, apabila muatan
perjanjian

internasional

tersebut

memberikan

hak-hak

(konsesi)

tertentu kepada suatu negara anggotanya, dan tidak kepada nonanggota. Negara-negara non-anggota yang berupaya secara diam-diam
untuk menundukan dirinya kepada aturan tersebut karenanya tidak
akan efektif.
GATT,

Misalnya,

adalah

suatu

perdagangan dan tarif. Siapa saja

kesepakatan

umum

yang menjadi

di

bidang

anggota harus

terlebih dahulu bernegosiasi dengan negara-negara anggota GATT


mengenai konsesi-konsesi yang akan diberikannya sebelum ia dapat
memanfaatkan ke-38 pasal GATT.
b. Isi Perjanjian
Dari

muatan

yang

terkandung

di

dalamnya,

perjanjian

perdagangan internasional pada umumnya memuat hal-hal berikut:


1) liberalisasi perdagangan
Perjanjian

yang

memuat

liberalisasi

perdagangan

adalah

meliberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, negara-negara anggota


suatu

perjanjian

rintangan

internasional

pengaturan

atau

berupaya

kebijakan

menanggalkan
(negara)

berbagai

yang

dapat

menghambat

atau

mengganggu

kelancaran

transaksi

perdaganagn

internasional.
2) Integrasi ekonomi
Perjanjian
Negara-negara
berupaya

seperti
anggota

mencapai

ini

berkembang

dalam

suatu

suatu

integrasi

belum

perjanjian
ekonomi

begitu

lama.

internasional

melalui

pencapaian

kesatuan kepabeanan (customs union), suatu kawasan perdagangan


bebas

(free

(economic

trade

zone),

union).

atau

Perjanjian

bahkan

suatu

seperti

ini

kesatuan
biasanya

ekonomi
memberi

kewenangan kepada suatu organisasi internasional guna mencapai


tujuan integrasi ekonomi ini.
3) Harmonisasi Hukum
Tujuan

utama

harmonisasi

hukum

hanya

berupaya

mencari

keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat


fundamental

dari

berbagai

sistem

hukum

yang

ada

(yang

akan

diharmonisasikan).6
4) Unifikasi Hukum
Dalam
dan

unifikasi

penggantian

suatu

hukum,
sistem

penyeragaman
hukum

mencakup

dengan

sistem

penghapusan
hukum

yang

baru.7 Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian TRIPS/WTO.


Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian
TRIPS/WTO
dagang,

yang

mencakup

indikasi

ketentuan

geografis,

mengenai

disain

hak

industri,

cipta,

merek

paten,

dll.,

meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturanaturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian
TRIPS/WTO.
5) Model Hukum dan Legal Guide
Pembentukan Model Hukum dan Legal Guide sebenarnyat idak
terlepas dari upaya harmonisasi di atas. Bentuk hukum seperti ini
biasanya ditempuh karena didasari sulitnya bidang hukum yang akan
6
7

Lihat Bab I di atas.


Lihat Bab I di atas.

disepakati atau diatur. Karena itu mereka membuat Model Hukum ini
yang sifatnya tidak mengikat. Pembuat atau perancang Model Hukum
berharap, meski namanya model hukum atau legal guide, negaranegara dapat mengacu muatan aturan-aturan model hukum atau legal
guide ini ke dalam hukum nasionalnya.
Dengan

(semakin)

banyaknya

negara

yang

mengadopsi

model

hukum atau legal guide ini, akhirnya diharapkan akan tercipta


keseragaman atau harmonisasi di bidang muatan model hukum atau
legal guide tersebut.
Contoh

terkenal

Model

Hukum

seperti

ini

adalah

UNCITRAL

Model Law on International Commercial Arbitration tahun 1985.


Model Hukum 1985
negara-negara

di

perundangannya

di

Dengan

diadopsinya

ini memuat aturan-aturan model (acuan) bagi


dunia
bidang
model

dalam
arbitrase

hukum

mengundangkan
komersial

arbitrase

ini

peraturan

internasional.
diharapkan

akan

tercipta pengaturan arbitrase yang bersifat universal. Artinya,


diharapkan aturan-aturan UU arbitrase suatu negara sedikit banyak
tidak akan berbeda dengan aturan UU arbitrase negara lainnya.
Legal guide yang cukup terkenal adalah UNCITRAL Legal Guide
on Drawing Up International Contracts for the Construction of
Industrial Works 1988. Legal Guide 1988 bertujuan terciptanya
keseragaman pengaturan klausul-klausul dalam menyusun kontrak di
bidang konstruksi.

c. Standar Internasional
Standar
untuk

ada

di

internasional
dalam

adalh

perjanjian

norma-norma

yang

internasional,

disyaratkan

yang

merupakan

syarat penting di dalam tata ekonomi internasional, serta syarat


suatu

negara

untuk

berpartisipasi

di

dalam

transaksi

ekonomi

internasional. Syarat-syarat dasar tersebut adalah: i. Minimumstandard or equitable treatment; ii. Most-favoured nation clause;
iii. Equal Treatment; dan iv. Preferential Treatment.
ad. i. Minimum-standard atau equitable treatment
Minimum-standard atau equitable treatment adalah norma atau
aturan dasar yang semua negara harus taati untuk dapat turut
serta

dalam

transaksi-transaksi

perdagangan

internasional.8

Contoh standar minimum ini antara lain tampak dalam perjanjianperjanjian

di

bidang

perlindungan

Misalnya Berne Convention for the


Artistic

Works.

Konvensi

ini

hak

kekayaan

intelektual.

Protection of

Literary and

meletakkan

persyaratan

standar

minimum mengenai perlindungan hukum bagi karya cipta dan karya


seni.9
ad. ii. Most-Favoured Nation Clause
Klausul

Most-Favoured

Nation

(MFN)

adalah

klausul

yang

mensyaratkan perlakun non-diskriminasi dari suatu negara terhadap


negara

lainnya.

Perlakuan

ini

diberikan

karena

masing-masing

negara terikat dalam suatu perjanjian internasional. Berdasarkan


klausul ini salah satu negara yang memberikan perlakuan khusus
atau

preferensi

kepada

suatu

negara,

maka

perlakuan

tersebut

harus juga diberikan kepada negara-negara lainnya yang tergabung


dalam suatu perjanjian.10

Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6.


RI meratifikasi Konvensi Bern melalui UU Nomor 18 tahun 1997 (Lembaran
Negara No 35 tahun 1977). Mengenai Konvensi Bern ini, lihat lebih
lanjut:
Anthony
DAmato
dan
Doris
Estelle
Long,
International
Intellectual Property Law, The Hague: Kluwer, 1997, hlm. 241).
10
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6.
9

Peran
memberikan
dalam

klausul
suatu

hubungan

ini

penting.

derajat
ekonomi

Klausul

perlakuan

sama

internasional.

ini

menurut

(equitable
Dengan

Houtte,

treatment)

klausul

ini,

hubungan-hubungan perdagangan internasional dapat berkembang.11


Menurut Houtte, klausul MFN biasanya diikuti oleh dua sifat
cukup penting, yaitu:
(a)

reciprocal

(timbal

balik),

artinya

pemberian

MFN

ini

diberikan dan disyaratkan oleh masing-masing negara. Jadi


sifatnya timbal balik; dan
(b)

unconditional
lainnya

(tidak

dalam

suatu

bersyarat),

artinya

perjanjain

berhak

negara
atas

anggota

perlakuan-

perlakuan khusus yang diberikan kepada negara ketiga.12


Ad. iii. Equal treatment
Equal
yang

juga

treatment

(perlakuan

disyaratkan

harus

sama)

ada

adalah

dalam

klausul

lainnya

perjanjian-perjanjian

internasional. Menurut klausul ini, negara-negara peserta dalam


suatu perjanjian disyaratkan utuk memberikan perlakuan yang sama
satu sama lain. Klausul ini karena itu menyatakan bahwa warga
negara dari suatu negara anggota harus juga diperlakukan sama
halnya seperti warga negara di negara anggota lainnya.
Klausul seperti ini hingga sekarang ini jarang ditemukan
dalam

praktek

perjanjian

antar

negara.13

Memang,

sulit

untuk

menemukan klausul ini dalam praktik. Suatu negara bagaimana pun


juga memiliki kewajiban utama kepada negaranya daripada kepada
warga

negara

asing.

Adalah

kewajiban

suatu

negara

untuk

mensejahterakan warga negaranya (daripada mensejahterakan warga


negara anggota lain yang berada di dalam wilayahnya).
Namun demikian klausul ini tampak nyata dalam kesepakatankesepakatan hukum internasional di bidang penyelesaian sengketa,

11
12
13

Han Van Houtte, op.cit., hlm. 7.


Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.

misalnya

arbitrase

internasional.

Misalnya

pasal

18

UNCITRAL

Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal 18 ini


yang

berada

di

bawah

judul

Equal

Treatment

of

Parties,

menyebutkan: The parties shall be treated with equality and each


party shall be given a full opportunity of presenting his case.
Pasal

18

ini

menggambarkan

prinsip

universal

mengenai

perlakuan sama di depan hukum. Pasal ini mensyaratkan perlakuan


sama

terhadap

para

pihak

yang

bersengketa.

Mereka

pun

harus

diberi kesempatan yang sama untuk membela perkaranya di hadapan


badan arbitrase. Dalam berbagai sistem hukum di dunia, tidak ada
ketentuan yang dapat mengenyampingkan prinsip ini.
Ad. iv. Preferential Treatment
Prinsip ini sebenarnya adalah pengecualian terhadap prinsip
non-diskriminasi.
negara-negara
Berdasarkan
perlakuan

Prinsip

yang
prinsip

khusus

ini

memiliki
ini

biasanya
hubungan

suatu

yang

negara

lebih

diterapkan
politis

atau

dapat

saja

menguntungkan

di

antara

ekonomis.
memberikan

(preferential

treatment) kepada suatu negara daripada kepada negara lainnya.14


Biasanya perlakuan demikian diberikan kepada negara-negara
yang sedang berkembang atau miskin. Perlakuan berbeda dan khusus
biasa

juga

keterkaitan

diberikan
sejarah

kepada

sebelumnya.

negara-negara
Misalnya,

yang

memiliki

negara-negara

eks

jajahan atau eks-koloninya.


d. Resolusi-resolusi Organisasi Internasional
Dewasa ini berbagai organisasi internasional acap kali pula
mengeluarkan
sifatnya

keputusan-keputusan

tidaklah

mengikat.

berupa

Daya

resolusi-resolusi

mengikat

yang

resolusi-resolusi

seperti ini biasanya disebut juga sebagai soft-law. Karena memang


negara-negara pesertanya tidak menginginkan keputusan-keputusan

14

Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.

10

yang dibuat oleh organisasi internasional tidak mengikat mereka


secara hukum.
Tetapi resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi
internasional
instrumen

kadang

terkenal

kala

yang

juga

mengikat.

dipandang

Salah

soft-law

oleh

satu

contoh

negara-negara

(maju) tetapi ternyata daya berlakunya sangat luas adalah Piagam


Hak-hak
Economic

dan

Kewajiban

Rights

and

Ekonomi

Duties

of

Negara-negara
States

atau

(Charter
CERDS).

on

the

Sepertiga

bagian (11 pasal) dari dari keseluruhan pasal Piagam ini mengatur
mengenai perdagangan internasional.
Meskipun CERDS bersifat soft law, namun jiwa dan nilainilai hukum yang

terdapat di dalamnya berpengaruh

cukup luas

terhadap aturan-aturan atau perjanjian-perjanjian internasional


yang lahir kemudian.15

15

Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu


Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2003.

11

2. Hukum Kebiasaan Internasional


Sebagai

suatu

sumber

hukum,

hukum

kebiasaan

perdagangan

merupakan sumber hukum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum


yang pertama-tama lahir dalam hukum perdagangan internasional.
Dari awal perkembangannya, yang disebut dengan hukum perdagangan
internasional

justru

lahir

dari

adanya

praktek-praktek

para

pedagang yang dilakukan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga


kebiasaan

yang

berulang-ulang

dengan

waktu

yang

relatif

lama

tersebut menjadi mengikat.16


Dalam studi hukum perdagangan internasional, sumber hukum
ini disebut juga sebagai lex mercatoria atau hukum para pedagang
(the law of the merchants). Istilah ini logis karena memang para
pedagang-lah
berlaku

yang

bagi

mula-mula

mereka

untuk

menciptakan

aturan

transaksi-transaksi

hukum

dagang

yang

mereka.

Contoh (lembaga hukum) yang mula-mula para pedagang lakukan dan


kembangkan adalah barter17 dan counter-trade.
Suatu

kebiasaan

tidak

selamanya

menjadi

mengikat

dan

karenanya menjadi hukum. Suatu praktek kebiasaan untuk menjadi


mengikat harus memenuhi syarat-syarat berikut:
(1) Suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan diikuti oleh
lebih dari dua pihak (praktek negara); dan
(2) Praktek

ini

diterima

sebagai

mengikat

(opnio

iuris

sive

necessitatis).
Ketentuan

Lex

Mercatoria

dapat

ditemukan

antara

lain

di

dalam kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dan dituangkan dalam

16

Tetapi, bandingkan dengan pendapat sarjana yang menyatakan bahwa


hukum kebiasaan internasional hanya memiliki peran yang terbatas
(misalnya Zamora atau Heutte, dalam Hans van Houtte, op.cit., hlm. 10).
Houtte berpendapat bahwa international customary law has a role
(albeit a limited one) to play in international and finance law.
Penulis sependapat dengan Booysen yang berpendapat bahwa: Because of
the frequency of contact between states in international trade,
customary law is and should be very relevant. (Hercules Booysen,
op.cit., hlm. 58).
17
Michelle
Sanson,
Essential
International
Trade
Law,
Sydney:
Cavendish, 2002, hlm. 6.

12

kontrak-kontrak

perdagangan

internasional,

misalnya

berupa

klausul-klausul kontrak standar (baku), atau kontrak-kontrak di


bidang pengangkutan (maritim).
Kontrak-kontrak
biasanya

dirancang

atau
oleh

klausul

asosiasi

kontrak
atau

perdagangan

organisasi

yang

perdagangan

tertentu (misalnya oleh ICC, FIDIC, dll) dan diikuti oleh anggota
dari organisasi atau asosiasi tersebut.
Kebiasaan-kebiasaan perdagangan memiliki peran yang sangat
penting

di

dalam

Misalnya,

sesuatu

kebiasaan

transaksi

tersebut

perdagangan

terkodifikasi

internasional.
dalam

kontrak

konstruksi atau pengiriman barang, fob, cif, dll.


Masalah utama yang menjadi ganjalan bagi pemberlakuan lex
mercatoria ini adalah masih disangsikannya kekuatan mengikatnya.
Seperti

dapat

dimaklumi,

bagi

para

pedagang

atau

pelaku

perdagangan, daya atau kekuatan mengikat lex mercatoria tidaklah


sulit

bagi

mereka.

Mereka

secara

sukarelah

menaati

dan

melaksanakan serta memandangnya mengikat karena merekalah yang


menciptakannya.
Kekuatan mengikat karena kebiasaan praktek perdagangan ini
sebenarnya juga diakui oleh berbagai hukum nasional. Tidaklah
sulit menemukan hukum nasional mengakui kekuatan hukum adanya
praktek kebiasaan ini. Hukum Indonesia misalnya mengakui praktek
kebiasaan

ini.

Pasal

1339

tentang

akibat

suatu

perjanjian

misalnya menyatakan:
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. (Huruf
miring oleh penulis).
Bunyi pasal di atas secara tegas mengakui kebiasaan. Tetapi
khusus

untuk

mengambil
seperti

kebiasaan

jarak.
ini,

keabsahannya.

Bahkan

pengadilan

internasional,
untuk
tidak

kebiasaan
jarang

banyak

negara

dagang

internasional

masih

yang

mempertanyakan

13

Pendirian
perdagangan

ini

antara

internasional,

lembaga-lembaga
Internasional,

lain

meskipun

internasional
UNCITRAL,

disebabkan

terkodifikasi

seperti

dll.,

karena

ICC

bukanlah

atau

kebiasaan
oleh

Kamar

bersifat

upaya
Dagang

perjanjian

internasional. Aturan-aturan internasional yang dibuat oleh ICC


menurut badan pengadilan dapat digolongkan soft-law. Aturannya
tidak mengikat. Misalnya, ICC merumuskan UCP 500 untuk Letter of
Credit. UCP 500 tidak mensyaratkan ratifikasi oleh negara-negara
untuk

mengikat.18

Karena

sifatnya

itu

pula,

UCP

tidak

pernah

meletakkan kewajiban bagi negara untuk terikat terhadapnya.19

18

Hal ini logis saja karena ICC adalah lembaga yang anggotanya adalah
swasta, bukan negara. Lihat pula: Clive Schmitthoff, op.cit., hlm. 27.
19
Di negara-negara sedang berkembang yang pengadilannya masih kental
menganut aliran positif hukum, kerap kali memandang bahwa setiap aturan
yang tidak dibuat sesuai dengan konstitusi, misalnya melalui proses
pengundangan suatu ketentuan secara formal, misalnya melalui pengumuman
di lembaran negara, bukanlah hukum dan karenanya tidak mengikat. Uraian
lebih lanjut mengenai lex mercatoria lihat: Huala Adolf, Arbitrase
Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3., 2003.

14

3. Prinsip-prinsip Hukum Umum


Sebenarnya apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum
umum belum ada pengertian yang diterima luas. Peran sumber hukum
ini

biasanya

diyakini

lahir

baik

dari

sistem

hukum

nasional

maupun hukum internasional.


Sumber
perjanjian

hukum

ini

akan

(internasional)

mulai

dan

berfungsi

hukum

manakala

kebiasaan

hukum

internasional

tidak memberi jawaban atas sesuatu persoalan. Karena itu prinsipprinsip hukum umum ini dipandang sebagai sumber hukum penting
dalam upaya mengembangkan hukum,20 termasuk sudah barang tentu
hukum perdagangan internasional.
Beberapa contoh dari prinsip-prinsip hukum umum ini antara
lain adalah prinsip itikad baik, prinsip pacta sunt servanda, dan
prinsip ganti rugi.21 Ketiga prinsip ini terdapat dan diakui dalam
hampir semua sistem hukum di dunia,22 dan terdapat pula dalam
hukum (perdagangan) internasional.

20

Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services,


Pretoria: Interlegal, 1999, hlm 58.
21
Sanson, op.cit., hlm. 6.
22
Sanson, op.cit., hlm. 6.

15

4. Putusan-putusan Badan Pengadilan dan Doktrin


Sumber hukum ke-4 ini tampaknya memiliki fungsi dan peran
pelengkap seperti halnya prinsip-prinsip hukum umum. Sumber hukum
ini akan memainkan perannya apabila sumber-sumber hukum terdahulu
tidak memberi kepastian atau jawaban atas suatu persoalan hukum
(di bidang perdagangan internasional).
Putusan-putusan

pengadilan

dalam

hukum

perdagangan

internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat seperti


yang

dikenal

Statusnya

dalam

sedikit

sistem

banyak

hukum

sama

Common

seperti

Law

yang

(Anglo

kita

Saxon).

kenal

dalam

sistem hukum kontinental (Civil Law). Bahwa putusan pengadilan


sebelumnya

hanya

untuk

dipertimbangkan.

Jadi

ada

semacam

kewajiban yang tidak mengikat bagi badan-badan pengadilan untuk


mempertimbangkan

putusan-putusan

pengadilan

sebelumnya

(dalam

sengketa yang terkait dengan perdagangan internasional).


Sifat
Japan-Taxes

putusan
on

pengadilan

Alcoholic

ini

ditegaskan

Beverages

yang

dalam

diputus

sengketa

oleh

Badan

Penyelesaian Sengketa (DSB atau Dispute Settlement Body) WTO.


Dalam tahap banding di DSB, Badan Banding (Appellate Body) antara
lain menyatakan:
Adopted panel reports ... are often considered by
subsequent panels. They create legitimate expectations
among WTO members, and, therefore, should be taken into
account where they are relevant to any dispute.23 [Huruf
miring oleh penulis].

Begitu pula dengan doktrin, yaitu pendapat-pendapat atau


tulisan-tulisan sarjana terkemuka (dalam hal ini di bidang hukum
perdagangan

internasional).

Peran

dan

fungsinya

cukup

penting

dalam menjelaskan sesuatu hukum perdagangan internasional. Bahkan


doktrin dapat pula digunakan untuk menemukan hukum.24 Doktrin ini
penting

23

manakala

sumber-sumber

hukum

sebelumnya

ternyata

juga

Japan - Taxes on Alocholic Beverages, [WT/DS8, 10,11/AB/R, 4 October


1996, hlm. 15; terkutip dalam Booysen, op.cit., hlm. 61.
24
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 62.

16

tidak jelas atau tidak mengatur sama sekali mengenai suatu hal di
bidang perdagangan internasional.25

25

Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7.

17

5. Kontrak
Sumber
merupakan

hukum

sumber

perdagangan

utama

dan

internasional

terpenting

adalah

yang

sebenarnya

perjanjian

atau

kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri. Seperti kita


dapat pahami, kontrak tersebut adalah undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya.26
Dapat

pula

(pedagang)

kita

atau

internasional

dalam

sadari

bahwa

stake-holders
melakukan

para

dalam

pelaku

perdagangan

hukum

perdagangan

transaksi-transaksi

perdagangan

internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian


tertulis (kontrak). Karena itu, kontrak adalah sangat esensial.
Karena itu kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan
terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan
hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional.
Dalam

hukum

kontrak,

kita

mengenal

penghormatan

dan

pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan para pihak


(party

autonomy).

Syarat-syarat

perdagangan

dan

hak

serta

kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan


hukum menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian.
Meskipun

kebebasan

para

pihak

sangatlah

esensial,

namun

kebebasan tersebut ada batas-batasnya. Ia tunduk pada berbagai


pembatasan

yang

melingkupinya.

Pertama,

pembatasan

yang

utama

adalah bahwa kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan


undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan kesopanan.
Pembatasan kedua adalah status dari kontrak itu sendiri.
Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak
nasional yang ada unsur asingnya.27 Artinya, kontrak tersebut,

26

Cf., Alinea pasal 1 Pasal 1338 KUH Perdata: Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
27
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976
(Gautama menyatakan bahwa kontrak dengan orang asing adalah kontrak
yang terdapat unsur asing atau foreign element).

18

meskipun

di

bidang

perdagangan

internasional,

sedikit

banyak

tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu negara tertentu).28


Ketiga, menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting
dan

mengikat

para

pihak

adalah

kesepakatan-kesepakatan

atau

kebiasaan dagang yang sebelumnya dilakukan oleh para pihak yang


bersangkutan.

Daya

mengikat

kesepakatan-kesepakatan

sebelumnya

ini meskipun tidak tertulis tetapi mengikat ini, digambarkannya


sebagai berikut:
In addition to the contractual terms agreed by the
parties, the course of past dealings between traders may
result in terms becoming part of an agreement between them.
These past dealings, or trade usages between the parties,
may apply to the contractual relationship despite their not
being incorporated into it in written form.29

28

Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7.


Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7; lihat pula Hans van Houtte,
op.cit., hlm. 12 (Houtte menekankan bukan kontrak yang dibuat oleh para
pedagang, tetapi kontrak-kontrak negara (state contracts).

29

19

6. Hukum Nasional
Signifikansi
hukum

hukum

perdagangan

nasional

internasional

sebagai
tampak

sumber

dalam

hukum

uraian

dalam

mengenai

kontrak sebagai sumber hukum perdagangan internasional di atas.


Peran hukum nasional ini antara lain akan mulai lahir manakala
timbul

sengketa

sebagai

pelaksanaan

dari

kontrak.

Dalam

hal

demikian ini maka pengadilan (badan arbitrase) pertama-tama akan


melihat

klausul

pilihan

hukum

dalam

kontrak

untuk

menentukan

hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketanya.


Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar
mengatur

kontrak

dagang

internasional.

Peran

signifikan

dari

hukum nasional lahir dari adanya jurisdiksi (kewenangan) negara.


Kewenangan ini sifatnya mutlak dan eksklusif. Artinya, apabila
tidak

ada

pengecualian

lain,

maka

kekuasaan

itu

tidak

dapat

diganggu gugat.
Jurisdiksi atau kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu
negara untuk mengatur segala (a)

peristiwa hukum,

(b) subyek

hukum, dan (c) benda yang berada di dalam wilayahnya. Kewenangan


mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya
hukum publik maupun hukum perdata (privat).
Kewenangan

atas

peristiwa

hukum

di

sini

dapat

berupa

transaksi jual beli dagang internasional, atau transaksi dagang


internasional. Dalam hal ini maka
suatu

negara

dapat

ketenaga-kerjaan,
kesehatan,

mencakup

persaingan

perlindungan

HAKI

hukum nasional

hukum
sehat,

perpajakan,

yang dibuat
kepabeanan,

perlindungan

(intellectual

property

konsumen,
rights),

hingga perizinan ekspor-impor suatu produk.


Kewenangan atas subyek hukum (pelaku atau stake-holders)
dalam perdagangan internasional, mencakup kewenangan negara dalam
membuat dan meletakkan syarat-syarat (dan izin) berdirinya suatu
perusahaan,

bentuk-bentuk

perusahaan

beserta

syarat-syaratnya,

hingga pengaturan pengakhiran perusahaan (dalam hal perusahaan


pailit, dsb).

20

Kewenangan

suatu

negara

untuk

mengatur

atas

suatu

benda

yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan obyek-obyek


apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjual-belikan.
Termasuk di dalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk
yang

dianggap

membahayakan

moral,

lingkungan, produk tiruan, dll.

kesehatan

manusia,

tanaman,

21

C. Penutup
Sumber-sumber hukum perdagangan internasional adalah materi
bahasan
menemukan

yang

penting.

hukum

Dari

sumber-sumber

perdagangan

internasional.

inilah
Dari

kita

dapat

sumber-sumber

inilah kita dapat mengomentari, menganalisis dan menilai sesuatu


persoalan dalam hukum perdagangan internasional.
Dibanding
terdapat

dengan

sumber-sumber

hukum

konvensional

hukum

internasional,

dalam

hukum

dalam

internasional

dapat

ditemui

sumber-sumber

yang

yang

perdagangan

dibuat

secara

khusus oleh para pihak (aktor) dalam perdagangan internasional.


Sumber hukum ini yaitu kontrak (dan kebiasaan-kebiasaan dagang)
memang sesungguhnya adalah hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Pengakuan terhadap kontrak sebagai salah satu sumber dalam
hukum

perdagangan

Pertama,

kontrak

internasional
sebagai

salah

mencerminkan

dua

satu

hukum

sumber

hal

berikut.

perdagangan

internasional merefleksikan unsur private law nature dari hukum


perdagangan internasional.
Kedua,

kontrak

sebagai

salah

satu

sumber

dari

hukum

perdagangan internasional mencerminkan saling keterkaitan antara


bidang hukum perdagangan internasional dengan bidang hukum lain,
khususnya

hukum

internasional,
modal, dll.

kontrak

hukum

internasional

ekonomi

di

internasional,

samping
hukum

hukum

penanaman

22

DAFTAR PUSTAKA
Booysen, Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and
Services, Pretoria: Interlegal, 1999.
Carr, Indira and Richard Kidner, Statutes and Convention on
International Trade Law, London: Cavendish, 1993.
DAmato,
Anthnoy,
dan
Doris
Estelle
Long,
International
Intellectual Property Law, The Hague: Kluwer, 1997.
Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet
and Maxwell, 1995.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali
pers, cet. 3., 2003.
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar,
Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2003.
Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney:
Cavendish, 2002.
Schmitthoff, Clive M., Commercial Law in a Changing Economic
Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981.
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni,
1976.

1
BAB IV
ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT
A. Pengantar
Salah

satu

sumber

hukum

yang

penting

dalam

hukum

perdagangan internasional adalah Persetujuan Umum mengenai Tarif


dan

Perdagangan

GATT).

Muatan

kebijakan
tertentu

(General

di

Agreement

dalamnya

perdagangan
aturannya

tidak

antar

menyangkut

on

saja

negara
pula

Tariff

and

penting

tetapi
aturan

Trade

dalam

juga

atau

mengatur

dalam

perdagangan

taraf
antara

pengusaha. Contoh yang terakhir ini adalah pengaturan mengenai


barang tiruan atau kepabeanan.
GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947. Lahirnya WTO pada
tahun 1994 membawa dua perubahan yang cukup penting bagi GATT.
Pertama, WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu
lampiran aturan WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka
aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya
Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Penanaman Modal (TRIMs), dan
juga dalam Perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan
Hak Atas Kekayaan Intelektual (TRIPs).
Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptkan suatu iklim
perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat
bisnis,

serta

untuk

menciptakan

liberalisasi

perdagangan

yang

berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim perdagangan yang sehat.


Untuk mencapai tujuan itu, sistem perdagangan internasional yang
diupayakan GATT adalah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan di seluruh dunia.1
Tujuan utama GATT dapat tampak dengan jelas pada preambulenya. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai
GATT:
1) meningkatkan taraf hidup umat manusia;

Olivier Long, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade
System, Martinus Nijhoff Publishers, 1987, hlm. 101.

2
2) meningkatkan kesempatan kerja;
3) meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan
4) meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.
Ada

tiga

fungsi

utama

GATT

dalam

mencapai

tujuannya:

pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral


yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negaranegara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan
perdagangan (the rules of the road for trade).
Kedua, sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan.
Di sini diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari
rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan).
Selain

itu,

GATT

mengupayakan

agar

aturan

atau

praktek

perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable) baik melalui


pembukaan

pasar

nasional

atau

melalui

penegakan

dan

penyebarluasan pemberlakuan peraturannya.


Dalam

perundingan

tersebut,

keputusan-keputusan

mengenai

materi-materi yang penting khususnya yang menyangkut ketentuanketentuan atau pasal-pasal GATT, keputusannya dibuat berdasarkan
mayoritas

biasa

keputusan

demikian

pengambilan

(Pasal

putusan

XXV).

Namun

diambil

tanpa

yang

formal:

pada

harus

umumnya

mengikuti

umumnya

keputusansuatu

keputusan

cara

diambil

berdasarkan konsensus.2
Sejak

berdiri,

GATT

perundingan-perundingan
dengan

istilah

perundingan

ini

telah

utama/pokok

putaran

(rounds).

bertujuan

untuk

mensponsori
yang

berbagai

biasanya

Tujuan

dari

mempercepat

disebut
putaran

macam
juga
atau

liberalisasi

perdagangan internasional.
Putaran perundingan perdagangan ini mempunyai keuntungankeuntungan sebagai berikut:

Gunther Jaenicke, General Agreement om Tariffs and Trade (1946),


dalam Bernhard (ed)., Encyclopedia of Public International Law,
Instalment 5 (1983), hlm. 21.

3
Pertama,

perundingan

perdagangan

memungkinkan

para

pihak

secara bersama-sama dapat memecahkan masalah-masalah perdagangan


yang cukup luas;
Kedua,
komitmen

para

pihak

perdagangan

akan

di

lebih

suatu

mudah

putaran

membahas

komitmen-

perundingan

daripada

membahasnya dalam lingkup bilateral;


Ketiga, negara-negara sedang berkembang dan negara-negara
kurang maju akan lebih memiliki kesempatan yang lebih luas dalam
membahas

sistem

perundingan

dan

perdagangan
akan

lebih

multilateral

dalam

menguntungkan

lingkup

negara-negara

suatu
sedang

berkembang dibandingkan apabila mereka berunding langsung dengan


negara-negara maju; dan
Keempat, dalam merundingkan sektor perdagangan dunia yang
sensitif, pembahasan atau perundingan akan relatif dapat lebih
mudah dalam konteks suatu forum yang sifatnya global. Misalnya
adalah pembahasan isu pertanian dalam Perundingan Uruguay.3
Putaran-putaran pertama GATT pada umumnya difokuskan kepada
upaya

penurunan

tarif.

Penurunan

tarif

ini

sudah

berlangsung

sejak pembentukan GATT pada tahun 1947. Sejak tahun 1947, putaran
yang telah dilaksanakan adalah Putaran Jenewa (1947 diikuti
oleh 23 negara);

Putaran Annecy-Perancis (1947

13 negara);

Putaran Torquay-Inggris (1951 38 negara); Putaran Jenewa (1956


26 negara); Putaran Jenewa atau Putaran Dillon (1960-61 26
negara).

Proses

liberalisasi

perdagangan

ini

terus

berlanjut

dalam putaran-putaran berikutnya, yaitu Putaran Kennedy (1964-67


diikuti

oleh

dumping),

62

negara

Putaran

Tokyo

yang

khusus

(1973-1979,

membahas

tarif

diikuti

102

dan

anti-

negara)

dan

Putaran Uruguay (1986 1994 diikuti oleh 123 negara).


Putaran Tokyo (1973 1979) dapat pula dianggap sebagai
putaran yang terpenting sebelum Putaran Uruguay. Putaran Tokyo
dipandang

sebagai

suatu

percobaan

pertama

mereformasi sistem perdagangan internasional.


3

WTO, The Roots of the WTO, No. Publ., 1996, hlm. 1.

yang

berupaya

4
Seperti

umumnya

putaran-putaran

perdagangan

GATT

sebelumnya, Putaran Tokyo bertujuan untuk terus menurunkan tarif


secara

progresif.

Di

akhir

perundingan,

negara-negara

sepakat

untuk memotong 1/3 dari tingkat tarif yang berlaku pada waktu
itu. Putaran Tokyo mengalami kegagalan dan beberapa kesepakatan.
Kegagalan

yang

dialaminya

antara

lain,

tidak

tercapainya

kesepakatan negara-negara mengenai masalah-masalah yang melilit


sektor

pertanian

dan

kegagalan

untuk

membuat

rumusan

aturan

mengenai safeguards, (tindakan-tindakan pengamanan).


Keberhasilan Putaran Tokyo yang patut dicatat antara lain
tercapainya

serangkaian

kesepakatan

aturan-aturan

GATT,

dan

berhasilnya dicapainya 9 kesepakatan lainnya yakni :


1) Subsidi dan tindakan balasan (Subsidies and countervalling
measures), yakni kesepakatan yang menafsirkan Pasal VI,
XVI dan XXIII GATT;
2) Rintangan-rintangan teknik terhadap perdagangan (technical
barrier to trade), yang kadang-kala disebut pula sebagai
Standard Code);
3) Prosedur lisensi impor;
4) Kesepakatan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah
(Government procurement);
5) Penaksiran bea cukai (Customs Valuation) yang menafsirkan
pasal VII GATT;
6) Anti-Dumping, yang menafsirkan Pasal VI dan menggantikan
the Kennedy Round Anti-Dumping Code;
7) Pengaturan

mengenai

daging

olahan

(Bovine

Meat

Arrangement);
8) Perdagangan

dalam

pesawat

udara

sipil

(Trade

in

Civil

Aircraft).
Pada waktu putaran Tokyo dirampungkan, hanya sedikit negara
yang

mengikatkan

diri

kepada

perjanjian-perjanjian

atau

5
kesepakatan hasil putaran Tokyo tersebut. Itu pun umumnya adalah
negara-negara maju saja.
Di putaran Uruguay, sebagian dari kesepakatan tersebut di
atas

telah

mengalami

kesepakatan

mengenai

pembahasan
subsidi

dan

dan

perluasan.

Kesepakatan-

countervailing

measures,

rintangan-rintangan teknis terhadap perdagangan, lisensi impor,


penaksiran bea cukai dan kesepakatan anti-dumping sekarang telah
terlebur ke dalam komitmen WTO.

Hal tersebut berarti bahwa semua negara anggota WTO mau


tidak mau tunduk
perjanjian

dan terikat terhadap semua kesepakatan atau

tersebut.

barang-barang

bagi

Sedangkan

pemerintah

kesepakatan
(government

mengenai

pengadaan

procurement),

bovine

meat, dairy products dan pesawat udara sipil masih tetap berada
di bawah kesepakatan plurilateral yang sifatnya terbuka bagi
negara anggota WTO untuk tunduk atau tidak (sukarela) terhadap
kesepakatan-kesepakatan
ketiga

GATT

adalah

yang

disebut

sebagai

suatu

terakhir

tersebut.

pengadilan

Fungsi

internasional

dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan


anggota-anggota GATT lainnya.
Fungsi

penyelesaian

pengaturannya
dikemukakan
mengenai

di

mengalami
atas,

perdagangan

sengketa

ini

perkembangan

GATT

semula

internasional.

sifatnya
yang

hanyalah
GATT

penting

menarik.
aturan

bukan

dan
Telah

kesepakatan

lembaga

khusus

yang dilengkapi dengan badan khusus atau aturan khusus tentang


penyelesaian sengketa perdagangan multilateral.

B. Sejarah GATT
GATT

dibentuk

sebagai

suatu

dasar

(atau

wadah)

yang

sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul

6
kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga
multilateral di samping Bank Dunia dan IMF.4
Kebutuhan

akan

adanya

suatu

lembaga

multilateral

yang

khusus ini pada waktu itu sangat dirasakan benar. Pada waktu itu
masyarakat internasional menemui kesulitan untuk mencapai kata
sepakat mengenai pengurangan dan penghapusan berbagai pembatasan
kuantitatif
untuk

serta

mencegah

diskriminasi

perdagangan.

terulangnya

praktek

Hal

ini

dilakukan

proteksionisme

yang

berlangsung pada tahun 1930-an yang memukul perekonomian dunia.5


Seperti

disebutkan

di

muka,

pada

waktu

pembentukannya,

negara-negara yang pertama kali menjadi anggota adalah 23 negara.


Ke-23 ini juga yang membuat dan merancang Piagam International
Trade

Organization

(Organisasi

Perdagangan

Internasional)

yang

pada waktu itu direncanakan sebagai suatu badan khusus PBB.


Piagam

tersebut

ketentuan-ketentuan

dimaksudkan

atau

bukan

aturan-aturan

saja
dalam

untuk

memberikan

perdagangan

dunia

tetapi juga membuat keputusan-keputusan mengenai ketenagakerjaan


(employment),

persetujuan

komoditi,

praktek-praktek

restriktif

(pembatasan) perdagangan, penanaman modal internasional dan jasa.


Benih sejarah pembentukan GATT sebenarnya berawal dari pada waktu
ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic Charter) pada bulan
Agustus

1941.

Salah

satu

tujuan

dari

piagam

ini

adalah

menciptakan suatu sistem perdagangan dunia yang didasarkan pada


non-diskriminasi dan kebebasan tukar menukar barang dan jasa.
Dengan

tujuan

tersebut,

serangkaian

pembahasan

dan

perundingan telah berlangsung antara tahun 1943-1944, khususnya


antara

Amerika

Serikat,

Inggris

dan

Kanada.

Pada

tanggal

Desember, Amerika Serikat pertama kalinya mengusulkan perlunya


pembentukan suatu Organisasi Perdagangan Internasional (ITO).
Tujuan organisasi ini, menurut versi Amerika Serikat pada
waktu
4

itu,

adalah

untuk

menciptakan

Lihat Olivier Long,, Op.cit., hlm. 1.

liberalisasi

perdagangan

7
secara

bertahap,

memerangi

monopoli,

memperluas

permintaan

komoditi dan mengkoordinasi kebijakan perdagangan negara-negara.6


Usul pembentukan suatu organisasi perdagangan ini disambut
baik oleh ECOSOC (Economic and Social Council). Badan khusus PBB
ini

menyatakan

keinginannya

untuk

menyelenggarakan

suatu

konperensi. Untuk maksud itu, negara-negara berhasil membentuk


suatu

komisi

persiapan.

Persidangan-persidangan

komisi

berlangsung di London dari tanggal 18 Oktober sampai dengan 26


1946.7

Desember

Komisi

berhasil

mengeluarkan

Piagam London (the London Draft


peserta

pertemuan

ini

gagal

suatu

Rancangan

Charter). Namun para anggota


mencapai

kata

sepakat

untuk

mengesahkan Rancangan Piagam tersebut.


Dengan adanya kegagalan ini kemudian negara-negara besar
tersebut
Amerika

membentuk
Serikat,

Benelux.

Tugas

suatu

Kanada,

komisi

komisi

perancang

Inggris,

ini

adalah

yang

beranggotakan

dan

negara-negara

Perancis
mencari

rumusan

baru

untuk

merancang suatu organisasi perdagangan baru.8


Komisi baru ini mengadakan pertemuan kedua yang berlangsung
di

Lake

Succes,

New

York

dari

tanggal

20

Januari

sampai

25

Februari 1947. Pertemuan ini membahas masalah-masalah tertentu


atau terbatas saja. Pertemuan tidak membahas hal-hal penting.9
Pertemuan

penting

diselenggarakan

di

Jenewa

dari

bulan

April sampai November 1947. Dari tanggal 10 April sampai dengan


22

Agustus,

rancangan
Oktober,

panitia

Piagam

ITO,

persiapan
dan

dari

perundingan-perundingan

melanjutkan
tanggal

10

bilateral

tugasnya
April

membuat

sampai

berlangsung

30

antar

negara-negara anggota komisi, antara lain, Brazil, Burma, Ceylon,


Pakistan dan Rhodesia Selatan.
5

Lihat, M.A.G. Van Meerghaeghe, International Economic institutions,


The Netherlands: Kluwer, 1987, hlm. 101.
6
M.A.G. Van Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 101.
7
M.A.G. Van Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 101.
8
M.A.G. Van Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 101.
9
John H. Jackson, et.al., The Legal Problems of International Economic
Relations,.St Paul Minn.: West, 1995, hlm. 32.

8
Hasil perundingan mengenai konsesi timbal balik (reciprocal
tariff concession) dicantumkan ke dalam GATT yang ditandatangani
pada tanggal 30 Oktober 1947. Hasil perundingan tersebut berisi
pula

suatu

perdagangan

kodifikasi
di

antara

sementara

mengenai

negara-negara

hubungan-hubungan

penandatangan.

Berdasarkan

persyaratan-persyaratan protokol tanggal 30 Oktober 1947, GATT


ditetapkan sejak tanggal 1 Januari 1948, sambil berlakunya ITO.10
Pertemuan

penting

keempat

berlangsung

di

Havana

(21

November 1947 24 Maret 1948). Pertemuan ini membahas Piagam ITO


oleh

delegasi

dari

66

negara.

Pertemuan

berhasil

mengesahkan

Piagam Havana. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1950-an,


negara-negara peserta menemui kesulitan dalam meratifikasinya.11
Hal

ini

lebih

disebabkan

karena

Amerika

Seriakt,

pelaku

utama dalam perdagangan dunia, pada tahun 1958, menyatakan bahwa


negaranya

tidak

akan

meratifikasi

Piagam

tersebut.

Sejak

itu

pulalah ITO secara efektif menjadi tidak berfungsi sama sekali.


Meskipun tidak pernah berlaku, namun minimnya ratifikasi
tersebut

tidak

menyebabkan

GATT

menjadi

tidak

berlaku.

Para

perunding GATT mengeluarkan suatu perjanjian internasional baru


yaitu

the

protokol

Protocol

of

(perjanjian)

(provisional).

Sejak

Provisional

yang

Application,

memberlakukan

dikeluarkannya

GATT

yaitu

untuk

protokol

suatu

sementara

inilah,

GATT

kemudian terus berlaku sampai saat ini.


Pada tahun 1954 1955, teks GATT mengalami perubahan. Ada
dua

perubahan

protokol

yang

penting

yang

merubah

bagian

terjadi.
1

dan

Pertama,
Pasal

XXIX

dikeluarkannya
dan

XXX

dan

protokol yang merubah preambule dan bagian 2 dan 3. Protokol


pertama mensyaratkan penerimaan oleh semua negara peserta. Namun
karena Uruguay tidak meratifikasinya, protokol ini menjadi tidak

10

M.A.G. Van Meerghaeghe, Loc.cit.


Sampai dengan tahuan 1950-an, hanya
meratifikasi Piagam ini, yakni Liberia dan
Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 102).

11

dua negara saja yang


Australian (M.A.G. Van

9
berlaku sejak tanggal 1 Januari 1968. Sedangkan protokol kedua
mulai berlaku sejak tanggal 28 November 1957.
Pada tahun 1965, GATT mendapat tambahan bagian baru, yaitu
bagian keempat. Bagian ini berlaku secara de facto tanggal 8
Februari 1965 dan mulai berlaku efektif tanggal 27 Juni 1965.
Bagian

ini

khusus

mengatur

kepentingan

perluasan

ekspor

bagi

negara-negara sedang berkembang (Pasal XXXVI XXXVIII).12

C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam GATT.


Ketentuan-ketentuan perdagangan yang membentuk suatu sistem
perdagangan multilateral yang terkandung dalam GATT, memiliki 3
ketentuan utama. Pertama, dan yang paling penting adalah GATT itu
sendiri beserta ke-38 pasalnya.
Ketentuan kedua, yang dihasilkan dari perundingan putaran
Tokyo

(Tokyo

mencakup

Round

1973-1979)

anti-dumping,

adalah

subsidi

dan

ketentuan-ketentuan
ketentuan

non-tarif

yang
atau

masalah-masalah sektoral. Meskipun keanggotaan pada ketentuan ke2

ini

terbatas

sifatnya,

yaitu

berkisar

30-an

negara,

namun

demikian negara-negara ini menguasai sebagian besar perdagangan


dunia.13

12

M.A.G. Van Meerhaeghe, Op.cit., hlm. 103.


Putaran Tokyo menghasilkan 6 kesepakatan yang tertuang dalam dokumen
berjudul the Tokyo Round Codes. Keenam kesepakatan tersebut yaitu 1)
the Agreement on technical Barrier to Trade (Standards Code); yaitu
kesepakatan bahwa pemerintah maupun badan-badan lainnya dalam membuat
dan menerapkan peraturan dan standar teknis, tidak menimbulkan hambatan
terhadap perdagangan; 2) the Agreement on Government Procurement, yaitu
kesepakatan
mengenai
jaminan
terlaksananya
kesempatan
secara
internasional yang lebih luas dalam tender untuk mendapatkan kontrakkontrak pemerintah; 3) the Agreement on Interpretation and Application
of Article VI, XVI and XXIII (Subsidies Codes), yaitu kesepakatan untuk
menjamin bahwa setiap pelaksanaan kebijakan subsidi tidak menimbulkan
akibat negatif terhadap perdagangan negara lain; 4) the Agreement on
Implementation
of
Article
VII
(Customs
Valuation
Code),
yaitu
kesepakatan mengenai sistem penilaian barang yang netral, seragam dan
adil untuk kepentingan bea dan cukai; 5) the Agreement on Import
Licensing
Procedures,
yaitu
kesepakatan
mengenai
jaminan
bahwa
pemberian lisensi tidak menimbulkan hambatan terhadap impor; dan
terakhir, 6) the Agreement on Implementation of Article VI (Anti
Dumping Code), yakni kesepakatan mengenai perubahan Anti Dumping Code

13

10
Yang

ketiga

arrangements.

adalah

Ketentuan

ketentuan
ini

mengenai

merupakan

multi

pengecualian

fibre

terhadap

ketentuan-ketentuan GATT umumnya terutama menyangkut tekstil dan


pakaian.

D. Prinsip-prinsip GATT.
Untuk

mencapai

tujuan-tujuannya,

GATT

berpedoman

pada

prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah:


1. Prinsip most-favoured-nation.
Prinsip most-favoured-nation (MFN) ini termuat dalam pasal
I GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan
harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Menurut prinsip
ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara
lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor
dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.14
Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera
dan

tanpa

produk

syarat

yang

(immediately

berasal

atau

yang

and

unconditionally)

diajukan

kepada

semua

terhadap
anggota

GATT.15 Karena itu sesuatu negara tidak boleh memberikan perlakuan


istimewa

kepada

diskriminasi

negara

terhadapnya.

lainnya
Prinsip

atau
ini

melakukan

tampak

tindakan

dalam

pasal

perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPS)


dan tercantum pula dalam pasal 2 Perjanjian mengenai Jasa (GATS).
Pendek
yang

sama

kata,
dan

semua

semua

negara

negara

harus

menikmati

diperlakukan

atas

dasar

keuntungan

dari

suatu

kebijaksanaan perdagangan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya

yang dihasilkan pada Putaran Kennedy (1964 1967). (Departemen


Perdagangan RI, GATT dan Uruguay Round, Seri Informasi Perdagangan
Internasional no. 14, 1993/1994, hlm. 7-9).
14
Cf. Olivier Long, Op.cit., hlm. 8-11.
15
Gunther Jaenicke, Op.cit., hlm. 22. Namun demikian prinsip ini tidak
berlaku terhadap transaksi-transaksi komersial di antara anggota GATT
yang secara teknis bukan merupakan impor atau ekspor produk-produk
seperti pengangkutan internasional, pengalihan paten, lisensi dan hakhak tak berwujud lainnya atau aliran modal.

11
prinsip

ini

mendapat

pengecualian-pengecualiannya,

khususnya

dalam menyangkut kepentingan negara sedang berkembang.


Jadi, berdasarkan prinsip itu, suatu negara anggota pada
pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan sama terhadap produk
impor dan ekspornya di negara-negara anggota lain. Namun demikian
ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini.
Pengecualian tersebut sebagian ada yang ditetapkan dalam
pasal-pasal

GATT

itu

sendiri

dan

sebagian

lagi

ada

yang

ditetapkan dalam putusan-putusan dalam konperensi-konperensi GATT


melalui

suatu

penanggalan

(waiver)

dan

prinsip-prinsip

GATT

berdasarkan Pasal XXV. Pengecualian yang dimaksud adalah:


(a)

keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas

(frontier

traffic

advantage),

tidak

boleh

dikenakan

terhadap anggota GATT lainnya (Pasal VI);


(b)

perlakuan

preferensi

di

wilayah-wilayah

tertentu

yang sudah ada (misalnya kerjasama ekonomi dalam British


Commonwealth; the French Union (Perancis dengan negaranegara bekas koloninya); dan Banelux (Banelux Economic
Union),

tetap

boleh

terus

dilaksanakan

namun

tingkat

batas preferensinya tidak boleh dinaikan (Pasal I ayat 24);


(c)
Union

anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Customs


atau

Free

Trade

Area

yang

memenuhi

persyaratan

Pasal XXIV tidak harus memberikan perlakuan yang sama


kepada negara anggota lainnya.
Untuk

negara-negara

yang

membentuk

pengaturan-

pengaturan preferensial regional dan bilateral yang tidak


memenuhi

persyaratan

pengecualian

dengan

Pasal

XXIV,

menggunakan

dapat

alasan

membentuk

penanggalan

(waiver) terhadap ketentuan GATT.


Penanggalan ini dapat pula dilakukan atau diminta oleh
suatu negara anggota. Menurut prinsip ini suatu negara
dapat, manakala ekonominya atau keadaan perdagangannya

12
dalam keadaan yang sulit, dapat memohon pengecualian dari
kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh GATT.
(d)

pemberian

prefensi

tarif

olef

negara-negara

maju

kepada produk impor dari negara yang sedang berkembang


atau

negara-negara

developed)

melalui

yang

kurang

fasilitas

beruntung

Generalised

(least

System

of

Preference (sistem preferensi umum).16


Pengecualian
ketentuan

lainnya

pengamanan

adalah

apa

(safeguard

yang

rule).

disebut

dengan

Pengecualian

ini

mengakui bahwa suatu pemerintah, apabila tidak mempunyai upaya


lain, dapat melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu
industri dalam negerinya.
Pengaturan
memperbolehkan

safeguard
kebijakan

keadaan-keadaan
membatasi

atau

ini

yang

demikian

tertentu

saja.

menangguhkan

diatur

namun
Suatu

suatu

dalam

hanya
negara

konsesi

Pasal

XIX,

dipakai

dalam

anggota

dapat

tarif

pada

produk-

produk yang diimpor dalam suatu jumlah (kuantitas) yang meningkat


dan yang menyebabkan kerusakan serius (serious injury) terhadap
produsen dalam negeri.
Dalam tahun-tahun belakangan ini, cukup banyak anggota GATT
yang menerapkan pengaturan bilateral diskriminatif

yang juga

seringkali disebut dengan voluntary export restraints (VERs).


Kebijakan perdagangan ini dilakukan untuk menghindari salah satu
isu

yang

cukup

hangat

dibahas

dalam

Putaran

Uruguay

yakni

perdagangan tekstil.
VERs adalah cara 'halus' negara maju untuk menekan negara
sedang berkembang yang umumnya adalah penghasil tekstil. Untuk
membatasi masuknya produk tekstil ke dalam pasar dalam negerinya,
negara

maju

secara

halus

menyatakan

kepada

negara

berkembang

untuk mengekspor tekstilnya dalam jumlah tertentu saja. Dalam hal


ini,

16

negara

maju

menekankan

bahwa

Gunther Jaenicke, Op.cit., hlm. 23.

pembatasan

jumlah

tersebut

13
semata-mata haruslah sukarela sifatnya yang datang atau berasal
dari kehendak negara berkembang.

2. Prinsip National Treatment.


Prinsip National Treatment terdapat dalam pasal III GATT.
Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke
dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk
dalam negeri.17 Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini
juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan
lainnya. Ia berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan
dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan,
pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk
di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan
terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan
administratif atau legislatif.18
Prinsip

national

treatment

dan

prinsip

MFN

merupakan

prinsip sentral dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam


GATT. Kedua prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidangbidang perdagangan yang kelak lahir di dalam perjanjian putaran
Uruguay. Misalnya, prinsip ini tercantum dalam pasal 3 Perjanjian
TRIPs.

Kedua

prinsip

diberlakukan

pula

dalam

the

General

Agreement on Trade in Service (GATS). Dalam GATS, negara-negara


anggota WTO diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama
(MFN treatment) terhadap jasa-jasa atau para pemberi jasa dari
suatu negara dengan negara lainnya.
Meskipun demikian, perjanjian WTO membolehkan suatu negara
untuk meminta pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini yang
mencakup

upaya-upaya

tertentu

(specific

measures)

yang

pada

mulanya tidak dapat menawarkan perlakuan demikian.


Untuk

maksud

tersebut,

manakala

suatu

negara

meminta

pembebasan kewajiban MFN, maka permintaan tersebut akan ditinjau


17
18

Olivier Long, Op.cit., hlm. 9.


Ibid.

14
setiap lima tahun. Pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini
hanya boleh dilakukan untuk jangka waktu 10 tahun.
Prinsip national treatment merupakan suatu kewajiban dalam
GATS yang mana negara-negara secara eksplisit harus menerapkan
prinsip ini terhadap jasa-jasa atau kegiatan jasa-jasa tertentu.
Oleh

karena

itulah

prinsip

national

treatment

atau

perlakuan

nasional ini pada umumnya merupakan hasil dari negosiasi atau


perundingan di antara negara-negara anggota.

15
3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif.
Yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi
kuantitatif

yang

merupakan

rintangan

terbesar

terhadap

GATT.

Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk


apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi
penggunaan

lisensi

impor

atau

ekspor,

pengawasan

pembayaran

produk-produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal


IX).

Hal

ini

disebabkan

karena

praktek

demikian

mengganggu

praktek perdagangan yang normal.


Restriksi

kuantitatif

dewasa

ini

tidak

begitu

meluas

di

negara maju. Namun demikian, tekstil, logam, dan beberapa produk


tertentu,

yang

kebanyakan

berasal

dari

negara-negara

sedang

berkembang masih acapkali terkena rintangan ini.


Namun

demikian

dalam

pelaksanaannya,

hal

tersebut

dapat

dilakukan dalam hal: pertama, untuk mencegah terkurasnya produkproduk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi
pasal dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan
perikanan;
ketiga, untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX),
meningkatnya impor yang berlebihan (increase of imports) di dalam
negeri

sebagai

upaya

untuk

melindungi,

misalnya,

terancamnya

produksi dalam negeri.


keempat,

untuk

melindungi

neraca

pembayaran

(luar

negerinya)

(Pasal XII).
Meskipun demikian restriksi tersebut tidak boleh diterapkan
di luar yang diperlukan untuk melindungi neraca pembayarannya.
Restriksi

itu

pun

secara

progesif

harus

dikurangi

bahkan

dihilangkan apabila tidak dibutuhkan kembali.


Dengan

adanya

pengakuan

sebagaimana

diatur

dalam

Pasal

XVII, pengecualian itu telah diperluas pada negara-negara sedang


berkembang. Dalam hal ini negara tersebut dapat memberlakukan
restriksi
(devisa)

kuantitatif
mereka

yang

untuk

mencegah

disebabkan

oleh

terkurasnya
adanya

valuta

asing

permintaan

untuk

16
impor yang diperlukan bagi pembayaran atau karena mereka sedang
mendirikan atau memperluas produksi dalam negerinya.
Bagi kepentingan negara tersebut, GATT menyelenggararakan
konsultasi

secara

reguler

yang

diadakan

dengan

negara

yang

mengajukan restriksi impor untuk melindungi neraca pembayarannya.


Menurut

Pasal

XIII,

restriksi

kuantitatif

ini,

meskipun

diperbolehkan, tidak boleh diterapkan secara diskriminatif.


4. Prinsip Perlindungan melalui Tarif.
Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi
terhadap industri domestik melalui tarif (menaikan tingkat tarif
bea

masuk)

dan

tidak

melalui

upaya-upaya

perdagangan

lainnya

(non-tarif commercial measures).19


Perlindungan

melalui

tarif

ini

menunjukan

dengan

jelas

tingkat perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya


kompetisi yang sehat.20
Sebagai

kebijakan

dari luar negeri,


GATT.

untuk

mengatur

pengenaan tarif

Negara-negara

GATT

umumnya

masuknya

barang

ekspor

ini masih dibolehkan dalam


banyak

menggunakan

cara

ini

untuk melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik


pemasukan bagi negara yang bersangkutan.
Meskipun dibolehkan, penggunaan tarif ini tetap tunduk pada
ketentuan-ketentuan GATT. Misalnya saja, pengenaan atau penerapan
tarif tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada
komitmen tarifnya kepada GATT/WTO.
Komitmen

tarif

ini

maksudnya

adalah

tingkat

tarif

dari

suatu negara terhadap suatu produk tertentu. Tingkat tarif ini


menjadi komitmen negara tersebut yang sifatnya mengikat. Karena
itu, suatu negara yang telah menyatakan komitmennya atas suatu
tarif, ia tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang
telah

19
20

ia

sepakati,

kecuali

diikuti

dengan

Departement Perdagangan RI, Op.cit., hlm. 3.


Olivier Long, Op.cit., hlm. 10.

negoisasi

mengenai

17
pemberian mengenai kompensasi dengan mitra-mitra dagangnya (Pasal
XXVII).
Perlu dikemukakan di sini bahwa negoisasi tarif di antara
negara-negara

merupakan

salah

satu

pekerjaan

GATT

(yang

juga

sekarang dilanjutkan oleh WTO). Tujuan GATT dalam hal ini adalah
berupaya

menurunkan

tingkat

tarif

terbentuk

pada

ke

titik

atau

level

yang

serendah-rendahnya.
Ketika

GATT

tahun

1948

sampai

dengan

disahkannya perjanjian hasil Putaran Uruguay, tingkat tarif yang


diterapkan negara-negara telah turun cukup tajam. Dari rata-rata
sebesar 38% di tahun 1948, pada tahun 1994 telah jatuh menjadi
sekitar 4% saja.
Dalam
akses

putaran

pasar

yang

Uruguay,
lebih

komitmen

besar

negara-negara

dicapai,

antara

terhadap

lain,

melalui

penurunan suku bunga yang dilakukan oleh lebih dari 120 negara.
Komitmen

negara-negara

ini

dituangkan

dalam

22.500

halaman

national tarif schedules.


Dalam

pengurangan

pengurangan
terhadap

tersebut

produk-produk

tarif

dapat

ini,

WTO

diturunkan

industri

di

mensyaratkan

sampai

40%

negara-negara

agar

(khususnya
maju)

untuk

jangka waktu 5 tahun (tahun 2000). Pada waktu putaran Uruguay


ditutup (1994), tingkat tarif yang umumnya berlaku adalah sekitar
6,8%. Dengan tingkat tarif yang menurun demikian, diharapkan akan
terjadi peningkatan penerimaan produk-produk industri maju yang
memperoleh pembebasan bea masuk (yakni dari 20% menjadi 4% di
negara-negara maju).
Seperti halnya tarif, GATT juga mensyaratkan negara-negara
anggotanya

untuk

menerapkan

prinsip

transparansi.

Prinsip

ini

pula yang menjadi kunci bagi prasyarat perdagangan yang pasti


(predictable).
Prinsip

transparansi

ini

mensyaratkan

keterbukaan

atau

transparansi hukum atau perundang-undangan nasional dan praktek


perdagangan suatu negara. Cukup banyak aturan dalam perjanjian

18
WTO memuat prinsip transparansi yang mensyaratkan negara-negara
anggotanya

untuk

mengumumkan

pada

lingkup

nasional

dengan

menerbitkan pada lembaran-lembaran resmi negara atau dengan cara


memberitahukannya secara formal kepada WTO.
5. Prinsip Resiprositas.
Prinsip
Prinsip

ini

ini

merupakan

tampak

pada

prinsip

fundamental

preambule

GATT

dan

dalam

GATT.

berlaku

dalam

perundingan-perundingan tarif yang didasarkan atas dasar timbal


balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.21 Paragraph 3
Preambul GATT menyatakan:
"Being desirous of contributing to these objectives by
entering

into

arrangements

reciprocal

directed

to

and
the

mutually

substantial

advantageous
reduction

of

tarifs and other varriers to trade and to the eliminations


of discriminatory treatment in international commerce."

21

Lihat lebih lanjut: Olivier Long, Op.cit., hlm. 10-11.

19
6. Perlakuan Khusus Bagi Negara Sedang Berkembang.
Sekitar

dua

pertiga

negara-negara

anggota

GATT

adalah

negara-negara sedang berkembang yang masih berada dalam tahap


awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan mereka,
pada tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat tiga
pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII), ditambahkan ke dalam GATT.
pasal

baru

dalam

bagian

tersebut

dimaksudkan

untuk

Tiga

mendorong

negara-negara industri membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara


sedang berkembang.
Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang
untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan. Bagian ini
juga

melarang

negara-negara

maju

untuk

membuat

rintangan-

rintangan baru terhadap ekspor negara-negara sedang berkembang.


Negara-negara industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan
meminta

balasan

penghilangan

dalam

tarif

perundingan

dan

mengenai

penurunan

rintangan-rintangan

lain

atau

terhadap

perdagangan negara-negara sedang berkembang.


Pada
sepakat

waktu

dan

Putaran

mengeluarkan

Tokyo

1979

putusan

berakhir,

mengenai

negara-negara

pemberian

perlakuan

yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar bagi


negara

sedang

clause).
berkembang

berkembang

Keputusan
juga

dalam

tersebut

adalah

perdagangan

dunia

mengakui

bahwa

yang

permanen

pelaku

(enabling

negara

sedang

dalam

sistem

perdagangan dunia. Pengakuan ini juga merupakan dasar hukum bagi


negara

industri

Preferences

untuk

atau

sedang berkembang.

sistem

memberikan
preferensi

GSP

(Generalized

umum)

kepada

System

of

negara-negara

20
E. Garis-garis Besar Ketentuan GATT22
GATT memiliki 38 pasal. Secara garis besarnya, dari pasalpasal tersebut dibagi ke dalam 4 bagian:
Bagian Pertama mengandung dua pasal, yaitu:
a) Pasal I, berisi pasal utama yang menetapkan prinsip
utama

GATT,

menerapkan

yaitu

klausul

keharusan
most

negara

favoured

anggota

nation

untuk

treatment,

kepada semua anggotanya.


b) Pasal

II

berisi

tentang

penurunan

tarif

yang

disepakati berdasarkan penurunan tarif yang disepakati.


Kesepakatan penurunan tarif dicantumkan dalam lampiran
ketentuan GATT dan menjadi bagian dari GATT.
Bagian dua memuat 30 pasal, dari Pasal III sampai Pasal
XXII. Pasal III berisi larangan pengenaan pajak dan upaya-upaya
lainnya yang diskriminatif terhadap produk-produk impor dengan
tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri. Pengertian upayaupaya lainnya disini adalah segala upaya, apa itu pungutan di
dalam

negeri

atau

penerbitan

persyaratan-persyaratan
penjualan,

penawaran

Undang-undang,

administratif

pembelian,

peraturan

yang

pengangkutan,

atau

mempengaruhi
distribusi

atau

penggunaan produk.
Berdasarkan prinsip perlakuan nasional ini, semua produk
impor yang sudah memenuhi aturan-aturan kepabeanan harus mendapat
perlakuan yang sama seperti halnya produk-produk dalam negeri di
negara tersebut.
Pasal IV berada di bawah judul ketentuan-ketentuan khusus
mengenai

film

sinematografi

(cinematograph

film).

Pasal

ini

membolehkan suatu negara untuk menetapkan kuota terhadap filmfilm melalui peraturan tentang pembatasan film. Namun demukian
pembatasan-pembatasan atau kuota ini harus tetap tunduk kepada

22

Lihat GATT, Op.cit., hlm. 19 et.seqq.

21
negoisasi

dengan

pihak-pihak

yang

terpengaruh

oleh

adanya

pembatasan-pembatasan dalam bentuk kuota ini.


Pasal

mengatur

adanya

kebebasan

sarana

angkutan

dengan

kebebasan

transit
lainnya

menggunakan

transit.

Pasal

barang-barang,
melalui

rute-rute

wilayah

yang

ini

termasuk
suatu

digunakan

mengakui

perahu

dan

negara

anggota

untuk

transit

internasional guna melakukan transit ke atau dari wilayah negara


anggota GATT lainnya (ayat 2).
Dalam hal adanya transit ini, setiap negara anggota dapat
mengenakan
transit

bea-bea

ke

dan

dan

dari

menetapkan

peraturan-peraturan

wilayah-wilayah

negara

anggota

terhadap
lainnya.

Pengenaan biaya dan pembuatan peraturan tersebut haruslah wajar


dengan

memperhatikan

keadaan-keadaan

atau

kondisi

dari

lalu

lintas transit (ayat 4).


Pasal

VI

mengatur

anti-dumping

dan

bea

masuk

tambahan.

Pasal ini berperan cukup penting dan cukup banyak digunakan oleh
negara-negara
berkembang.
(tertentu)

maju

terhadap

Negara
telah

maju

produk-produk

menuduh

memasukkan

negara

barangnya

ke

negara

sedang
pasar

sedang

berkembang

mereka

dengan

harga dumping. Dumping adalah praktek suatu negara yang menjual


produknya di negara lain dengan harga yang lebih murah (di bawah
harga normal) dengan maksud untuk merebut pasar (persaingan tidak
jujur). Pasal VI ini dengan tegas memberikan batasan mengenai
pengertian harga di bawah harga normal, yaitu:
a.

lebih rendah dari harga untuk produk di negara di mana

produk tersebut akan dikonsumsi di negara pengekspor (harga


domesik);

b.

manakala

tidak

ada

petunjuk

mengenai

harga

domestik, maka harga normal adalah harga tertinggi untuk


produk
ketiga;

tersebut
atau

c.

yang

ditunjuk

biaya

atau

produksi

diekspor

untuk

produk

ke

negara
tersebut

ditambah biaya tambahan (ongkos-ongkos) dan keuntungan yang


layak.

22
Apabila suatu negara menemukan bukti-bukti positif bahwa
suatu produk tertentu adalah dumping, maka negara tersebut dapat
mengenakan bea masuk anti dumping dan bea masuk tambahan atas
produk tersebut.
Pasal
atas

VII

barang

(valuation

impor

untuk

for

custom

purposes

maksud-maksud

atau

kepabeanan).

penilaian
Pasal

ini

menetapkan kriteria mengenai penilaian atas barang impor oleh


pejabat-pejabat

(bea

cukai)

dari

negara-negara

anggota

GATT

terhadap barang impor.


Pasal

ini

mensyaratkan

bahwa

nilai

barang-barang

impor

untuk maksud kepabeanan harus didasarkan pada nilai nyata barang


(actual value of the imported merchandise), bukan pada nilai asal
barang

atau

pada

nilai

yang

tanpa

dasar

atau

dibuat-buat

and

formalities

(arbitrary or fictitious values).


Pasal

VIII

berada

di

bawah

judul

fees

(biaya-biaya dan formalitas-formalitas). Pasal ini mensyaratkan


agar semua biaya dan pungutan (selain daripada bea masuk impor
dan

ekspor

serta

pajak

yang

diatur

dalam

pasal

III)

yang

dikenakan atas atau dalam hubungannya dengan impor atau ekspor


harus dibatasi.
Pasal ini menegaskan bahwa pungutan-pungutan seperti itu
tidak boleh dijadikan sebagai proteksi tidak langsung terhadap
produk-produk domestik atau merupakan suatu pemajakan terhadap
impor atau ekspor untuk maksud fiskal (Pasal VIII ayat 1 (a).
Ayat 1 (b) pasal ini mensyaratkan negara-negara anggota untuk
mengurangi jumlah-jumlah biaya dan pungutan seperti itu.
Pasal VIII ayat 1 (c) mensyaratkan negara-negara anggota
untuk:

1)

menyederhanakan

pengaturan

dan

rumitnya

formalitas-

formalitas impor dan ekspor; 2) mengurangi dan menyederhanakan


persyaratan-persyaratan dokumentasi impor dan ekspor.
Ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku pula terhadap biayabiaya,

pungutan,

formalitas

dan

persyaratan-persyaratan

yang

23
dikenakan oleh pejabat-pejabat pemerintah berkaitan dengan impor
dan ekspor, termasuk:
a) transaksi-transaksi konsuler, seperti faktur-faktur dan
sertifikat konsuler; b) pembatasan kuantitatif; c) lisensi;
d)

pengawasan

statistik;

devisa

f)

(exchange

dokumen,

control);

dokumentasi

dan

e)

jasa-jasa

sertifikasi;

g)

analisis dan inspeksi; h) karantina atau sanitasi.


Pasal

IX

mengatur

tanda

asal

(marks

of

origin).

Pada

prinsipnya pasal ini mensyaratkan agar semua negara anggota harus


memberikan perlakuan yang sama (no lees favourable treatment)
berkaitan
produk

dengan

dari

persyaratan

negara-negara

asal

anggota

barang

ini

seperti

terhadap

halnya

semua

perlakuan

terhadap produk serupa dari negara ketiga (ayat 1).


Ayat 6 pasal IX ini mensyaratkan agar negara-negara anggota
harus bekerja sama dalam mencegah penggunaan nama dagang yang
tidak menggambarkan asal barang suatu produk, dengan merugikan
nama-nama

regional

atau

geografis

dari

produk

suatu

negara

anggota yang dilindungi oleh hukum.


Pasal

mengatur

pengaturan-pengaturan
Undang-undang,
dan

persyaratan

perdagangan.

peraturan-peraturan,

administratif

mengenai

publikasi
Pasal

dan

ini

administrasi

menegaskan

putusan-putusan

klasifikasi

atau

bahwa

pengadilan

penilaian

produk

untuk tujuan kepabeanan, pajak, pungutan, atau segala persyaratan


yang mempengaruhi penjualan, distribusi, transportasi, asuransi,
inspeksi,
secara

pemrosesan,

wajar

sehingga

penggunaan,
para

negara

dll.,

harus

anggota

dipublikasikan

dan

para

pedagang

mengetahuinya.
Pasal

XI

kuantitatif.

sampai

Restriksi

adalah pengenaan

XV

mengatur

kuantitatif

restriksi
yang

atau

sering

pembatasan

dipraktekkan

kuota, lisensi impor atau ekspor

atau upaya

lainnya disamping bea masuk, pajak atau pungutan lainnya.


Pasal

XI

menegaskan

bahwa

praktek

seperti

ini

dilarang.

Pasal XII membolehkan suatu negara untuk menerapkan pembatasan-

24
pembatasan masuknya produk impor demi untuk mengamankan neraca
pembayarannya (restriction to safeguard the balance of payment).
Pasal

XIII

mensyaratkan

bahwa

penerapan

restriksi

kuantitatif tersebut harus dilaksanakan tanpa diskriminasi. Jadi,


misalnya suatu negara membatasi masuknya suatu produk dari suatu
negara, misalnya

dari B, maka pembatasan tersebut

harus juga

diberlakukan terhadap negara ketiga, misalnya C.


Pasal

XIV

mengatur

pengecualian-pengecualian

penerapan

restriksi kuantitatif dalam hal pembatasan masuknya produk-produk


impor karena alasan-alasan moneter tertentu.
Pasal XV mengatur pengaturan mengenai pembayaran. Pasal ini
mensyaratkan perlunya kerjasama antara GATT dengan IMF.
Pasal
praktek

XVI

mengatur

negara-negara

subsidi.

yang

masih

Pasal

ini

memberikan

mengakui
subsidi

adanya

terhadap

produk-produk dalam negerinya dengan maksud agar dapat bersaing


di

pasar

internasional.

Namun

pasal

ini

mewajibkan

negara

tersebut untuk memberitahu GATT tentang adanya subsidi ini.


Dalam

perkembangan

pengaturan

GATT

sebagaimana

kemudian

tercantum dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal XVI ini, GATT mensyaratkan


negara-negara anggotanya untuk menghapus subsidi ini.23
Pasal XVII mengatur perusahaan dagang negara (state trading
enterprises). GATT menyadari bahwa perusahaan dagang negara dapat
menimbulkan praktek-praktek perdagangan yang tidak fair. Oleh
karena itu, pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa perusahaanperusahaan seperti ini harus bertindak sesuai dengan prinsipprinsip umum mengenai perlakuan non-diskriminatif dalam kaitannya
dengan upaya-upaya pemerintah yang mempengaruhi impor dan ekspor
oleh para pedagang.
Pasal XVIII berada di bawah judul governmental assistance
to economic development (bantuan pemerintah kepada pembangunan

23

Dalam perkembangan mengenai pengaturan mengenai subsidi ini, Putaran


Uruguay berhasil merumuskan aturan mengenai isu ini yang termuat dalam
the Agreement on Subsidy.

25
ekonomi).

Pasal

ini

mengakui

bahwa

negara-negara

sedang

berkembang membutuhkan tarif yang fleksibel dan dapat menerapkan


beberapa restriksi kuantitatif untuk mempertahankan alat tukar
luar negerinya untuk kebutuhan pembangunannya.
Pasal

XIX

mengatur

tindakan

darurat

atas

impor

produk-

produk tertentu. Pasal ini memberi hak atau pembenaran bagi suatu
negara

untuk

menangguhkan

sebagian

atau

seluruh

kewajibannya

berdasarkan GATT atau menarik atau memodifikasi sebagian atau


seluruh konsesinya. Pasal baru ini dapat diterapkan apabila suatu
produk impor masuk ke dalam suatu negara yang kehadiran jumlah
produk tersebut telah mengakibatkan atau mengancam akan memukul
secara

serius

mensyaratkan

produsen

negara

dalam

yang

negerinya.

hendak

Ayat

menerapkan

pasal

pasal
ini

ini
untuk

terlebih dahulu memberitahu dan mengkonsultasikannya dengan GATT.


Pasal XX mengatur pengecualian umum (general exeptions),
yakni

pengecualian-pengecualian

yang

dimungkinkan

untuk

menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban suatu negara


terhadap GATT, khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan
yang diperlukan untuk:
(a) m elindungi moral masyarakat;
(b) melindungi

kehidupan

atau

kesehatan

manusia,

hewan

atau

tanaman;
(c) impor atau ekspor emas atau perak;
(d) perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual;
(e) produk-produk yang berasal dari hasil kerja para narapidana;
(f) perlindungan

kekayaan

nasional,

kesenian,

sejarah

atau

purbakala;
(g) konservasi kekayaan alam yang dapat habis;
(h) dalam kaitannya dengan adanya kewajiban-kewajiban yang timbul
dari perjanjian-perjanjian komoditi antar pemerintah; dll.

26
Pasal XXI GATT membenarkan suatu negara untuk menanggalkan
kewajibannya

berdasar

GATT

dengan

alasan

keamanan

(security

exeption).
Pasal

XXII

dan

XXIII

mengatur

penyelesaian

sengketa

di

dalam GATT.
Bagian

ketiga

berisi

11

pasal.

Pasal

XXIV

mengatur

bagaimana customs union and free trade area dapat memanfaatkan


pengecualian-pengecualian

terhadap

prinsip

most-favored-nation.

Pasal XXV menetapkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para


pemerintah dari negara-negara anggota GATT. Pasal ini mengakui
pula

diperbolehkannya

beberapa

pengecualian

(waiver)

terhadap

aturan GATT.
Pasal XXVI sampai XXXV adalah pasal-pasal berisi tentang
pemberlakuan

GATT,

GATT

XXVI);

(Pasal

anggota

(Pasal

berupa
status

XXVII);

penerimaan
(kondisi)

ketentuan

dan

berlakunya

tarif

untuk

dari

ketentuan

negara

perundingan

bukan

tarif

dan

perubahan-perubahan dalam daftar tarif (Pasal XXVIII), hubungan


antara GATT dengan Piagam Havana (Pasal XXIX), perubahan terhadap
GATT (Pasal XXX), penarikan atau pengunduran diri anggota dari
GATT (Pasal XXXI), batasan contracting parties (keanggotaan GATT)
(Pasal XXXII), masuknya menjadi anggota GATT (Pasal XXXIV), dan
tidak

diterapkannya

beberapa

aturan

GATT

di

antara

anggota-

anggota GATT tertentu (Pasal XXXV).


Bagian keempat terdiri dari 3 pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII)
yang ditambahkan pada tahun 1965. pasal XXXVI menyadari adanya
kebutuhan-kebutuhan

khusus

negara-negara

sedang

Berkembang

di

bidang perdagangan internasional. Pasal XXXVII mengatur komitmen


negara-negara (maju), kecuali ada alasan-alasan mendesak untuk
tidak melaksanakan pasal ini, untuk memberikan bantuan ekonomi
dan perdagangan kepada negara sedang berkembang. Pasal XXXVIII
mengatur

tindakan

bersama

oleh

para

perdagangan negara sedang berkembang.

anggota

untuk

membantu

27
F. Penutup
Uraian di atas menyiratkan beberapa catatan berikut.
GATT sebagai aturan perdagangan yang dibuat pada tahun 1947
ternyata masih relevan bahkan masih terus relevan untuk masa yang
akan datang. Aturan dan prinsip yang diaturnya memuat aturanaturan yang dapat diterima oleh hampir banyak negara (meskipun
dari keanggotaannya masing-masing negara memiliki sistem hukum
yang

berbeda).

Khususnya

prinsip

non-diskriminasi

merupakan

prinsip yang memang dapat diterima universal.


Sebenarnya masalah utama dari adanya aturan GATT ini adalah
bagaimana

dapat

memanfaatkannya,

khususnya

bagi

negara

sedang

berkembang. Dari preambul GATT tersirat tujuan pentingnya, yaitu


meningkatkan taraf hidup umat manusia; meningkatkan kesempatan
kerja;

meningkatkan

pemanfaatan

kekayaan

alam

dunia;

dan

memberi

aturan

yang

negara-negara

para

meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.


Aturan-aturan
seimbang,

antara

pesertanya.

Bagi

GATT
hak

tampaknya

dan

negara

telah

kewajiban

sedang

bagi

berkembang,

meskipun

aturannya

tidak jelas dan tidak memberi muatan yang jelas, tetapi yang
penting aturan khusus untuk negara sedang berkembang sudah ada.24
Tujuan

penting

itu

menyiratkan

satu

hal

penting.

Tujuan

tersebut hanya akan dapat terealisasi apabila negara (berkembang)


yang

bersangkutan

memahami

aturan-aturan

GATT.

Pemahaman

yang

baik akan memungkinkan negara tersebut untuk dapat memanfaatkan


aturan-aturan GATT bagi kepentingan perdagangannya.
Sebaliknya
mengakibatkan
kepentingan

kekurang-pahaman

sulitnya

pemanfaatan

perdagangan

negara

aturan-aturan
aturan-aturan
yang

GATT

akan

tersebut

bagi

bersangkutan.

Artinya,

tujuan-tujuan yang baik di atas, tidak akan tercapai.

24

Ketidak-tegasan pengaturan untuk kepentingan negara sedang berkembang


sebenarnya juga adalah kelemahan dari aturan GATT itu sendiri.

28
Daftar Pustaka
Departemen Perdagangan RI, GATT dan Uruguay Round, Seri Informasi
Perdagangan Internasional no. 14, 1993/1994.
Jackson, John H. Jackson, et.al., The Legal Problems of International
Economic Relations,.St Paul Minn.: West, 1995.
Jaenicke, Gunther, General Agreement om Tariffs and Trade (1946),
dalam Bernhard (ed)., Encyclopedia of Public International Law,
Instalment 5 (1983).
Long, Olivier, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade
System, Martinus Nijhoff Publishers, 1987.
Meerghaeghe, M.A.G. Van, International Economic
Netherlands: Kluwer, 1987.
WTO, The Roots of the WTO, No. Publ., 1996.

institutions,

The

BAB V
LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Perdagangan internasional terwujud karena adanya kesepakatan
antara penjual dan pembeli yang mereka tuangkan dalam kontrak.
Dalam kontrak ini biasanya mereka juga cantumkan bagaimana cara,
sistem atau klausul pembayarannya.
Sistem pembayaran ini merupakan salah satu hal yang penting
dalam transaksi perdagangan. Dalam transaksi dagang yang sifatnya
terbatas di mana penjual dan pembeli berada dalam wilayah atau
tempat

yang

dilakukan

sama,

secara

pembayaran
langsung.

dan

Lain

penyerahan
halnya

barang

dengan

dapat

perdagangan

internasional. Para pihak mungkin kurang begitu saling kenal.


Domisili mereka berjauhan.
Di samping sistem pembayaran, sistem pembiayaannya pun akan
sangat berpengaruh terhadap kelancaran perdagangan internasional.
Karena itu pula dapat dinyatakan bahwa perdagangan Internasional
akan

lebih

pembiayaan

berjalan
(kredit)

lancar

bagi

dengan

jual-beli

tersedianya

barang

dalam

fasilitas
perdagangan

internasional.1
Dalam

perdagangan

Internasional,

pembeli

dan

penjual

terpisah oleh jarak yang jauh. Mereka juga acap kali memiliki
praktek pembiayaan yang berbeda di masing-masing negara.
Di samping itu pula, terdapat kepentingan para pihak yang
berbeda

dalam

perdagangan

internasional.

Penjual

berupaya

dan

berkepentingan untuk menguasai dan mengontrol barangnya sampai ia


menerima harga yang disepakati dalam kontrak. Selain itu penjual
juga berkepentingan agar pembayaran (proceeds atau dana hasil
ekspor) dapat segera diterimanya tanpa harus menunggu berbulanbulan lamanya tatkala barangnya masih dalam perjalanan di kapal
(in transit).

Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and
Maxwell, 1995, 257; Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor
Impor, Jakarta: PPM, Edisi 2, Juli 2001, hlm. 2.

Di pihak lain, pembeli berkepentingan untuk tidak segera


membayar sejumlah uang yang dia janjikan sesuai kontrak selama ia
belum memeriksa barangnya apakah sesuai dengan spesifikasi yang
dicantumkan dalam kontrak, atau setidaknya ada bukti tertulis
bahwa barangnya telah dikapalkan.
Hal ini berarti menimbulkan kesulitan bagi penjual untuk
menentukan
asing.

cara

Demikian

pembayaran

yang

juga

pembeli

bagi

akan

digunakan

mengalami

oleh

pembeli

kesulitan

untuk

mempercayai reputasi dan integritas penjual asing.


Dalam hal demikian, Bank memainkan peran penting yang dapat
menjembatani kedua kepentingan yang berbeda antara penjual dan
pembeli.

Dalam

hal

ini

Bank

memberi

jaminan

kelaikan

kredit

sebagai jaminan untuk transaski jual beli barang tersebut.


Peran bank ini tampak pula pada upayanya dalam mengembangkan
sistem pembiayaan dan pembayaran selama bertahun-tahun lamanya
dengan semakin meningkatnya permintaan kredit bagi perdagangan
internasional.2

Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 257.

B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan Internasional


Disebutkan di atas bahwa Bank telah mengembangkan berbagai
sistem

pembiayaan

berbagai

sistem

dalam
yang

perdagangan

cukup

banyak

internasional.
tersebut,

Di

antara

berikut

adalah

sistem-sistem yang umum digunakan:


1. Kredit berdokumen (Documentary Credit);
2. Kredit

komersial

jangka

pendek,

menengah

dan

panjang

(Short, Medium and Long term commercial credit);


3. Bentuk-bentuk

pembiayaan

techniques),

terutama:

(Intenasional

factoring);

khusus
(i)
(ii)

(Particular

factoring

financing

internasional

Forfaiting;

dan

(iii)

Leasing internasional (International leasing).


4. Jaminan Bank (Bank Guarantee atau Auotonomous Guarantee)
Dalam bab ini, pembahasan hanya akan mengkonsentrasikan pada
ad. 1 di atas, yaitu kredit berdokumen. Alasan utama dan alasan
praktis

adalah

kredit

berdokumen

ini

lebih

banyak

digunakan

(penting) dan telah lama mengalami perkembangan pengaturannya.


Praktil

menggunakan

kredit

berdokumen

ini
3

dilakukan, khususnya sejak awal tahun 1700-an.

telah

lama

Pengaturannya pun

telah berkembang lama. Ellinger menyatakan bahwa aturan mengenai


kredit berdokujmen ini telah sedikit banyak mencapai harmoniasi
dan keseragaman pengaturan.4

E.P. Ellinger, Letters of Credit dalam: Norbert Horn and Clive M.


Schmitthoff (eds.), The Transnational Law of International Commercial
Transactions, Deventer: Kluwer, 1982, hlm. 242.
4
E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 271.

1. Kredit Berdokumen (Documentary Credit)


a. Pendahuluan
Di atas dikemukakan tentang beda kepentingan antara pembeli
dan penjual. Pembeli (importir) tidak mau membayar sebelum ia
memiliki barangnya dan memeriksa barangnya apakah barang tersebut
sesuai

dengan

kontrak.

Penjual

(eksportir)

juga

tidak

akan

mengirim barangnya selama ia belum mendapat kepastian bahwa harga


yang telah disepakati dalam kontrak dibayar.
Karena jarak kedua pihak, praktek perdagangan yang mungkin
berbeda dan mungkin saja satu sama lain tidak kenal, maka semua
perbedaan

ini

dapat

menjadi

hambatan

bagi

perdagangan

internasional.
Namun dengan lahirnya sistem kredit berdokumen (documentary
credits),

yang

juga

dikenal

dengan

Letters

of

Credit

(L/C),

perbedaan-perbedaan itu dapat dijembatani. Kredit berdokumen ini


terus berkembang. Sistem inilah yang paling banyak digunakan dan
berperan

penting

sangat

penting

untuk

membayar

barang-barang

dalam perdagangan internasional.5


Dalam

kaitannya

dengan

perdagangan

internasional,

L/C

memainkan peran yang cukup penting. Pengadilan Inggris misalnya


telah lama mengakui bahwa L/C adalah mekanisme pembayara yang
paling

penting

dalam

perdagangan

internasional.6

Pengadilan

Inggris memandang L/C sebagai the life blood of international


commerce.7 Peran tersebut adalah:
(1) memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor;
(2) mengamankan

dana

yang

disediakan

importir

untuk

membayar

barang impor;

Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: PPM,
Edisi 2, Juli 2001, hlm. 1 Ramlan Ginting, Letter of Credit: Tinjauan
Aspek Hukum dan Bisnis, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2000, hlm 1.
(Ramlan Ginting menyebutkan pula bahwa L/C ini adalah primadona dalam
pembayaran transaksi ekspor-impor. Dari sini tergambar bahwa L/C
mempunyai fungsi sebagai suatu sistem pembayaran).
6
Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essays on
International Trade Law, London: Martinus Nijhoff Publ., 1988, hlm. 574.
7
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 574.

(3) menjamin kelengkapan dokumen pengapalan.8


Karena itu tampak bahwa L/C merupakan jaminan atas pelunasan
barang yang akan dikirim oleh penjual (eksportir). Jadi untuk
kepentingan eksportir, L/C harus dibuka terlebih dahulu sebelum
barang dikirim.
Di pihak lain, pembukaan L/C merupakan jaminan pula bagi
importir untuk memperoleh pengapalan barang secara utuh sesuai
dengan kontrak. Sedangkan dana L/C tersebut tidak akan dicairkan
tanpa penyerahan dokumen pengapalan. Dengan demikian L/C tampak
sebagai

suatu

memudahkan

instrumen

lalu

lintas

yang

ditawarkan

pembiayaan

dalam

bank

devisa

transaksi

untuk
dagang

internasional.

Dari uraian di atas, tampak bahwa sangatlah wajar bila L/C


kemudian menjadi lebih banyak disukai oleh para pihak, khususnya
penjual

dan

pembeli

dalam

bertransaksi

dagang

secara

lintas

batas. Alasan utama para pedagang menyukai sistem ini, adalah


karena adanya unsur janji bayar yang ada pada sistem ini.10 Ramlan
Ginting menggambarkan sebagai berikut:
Penerima yang menjual barang kepada pemohon merasa aman
dibayar dengan cara L/C karena adanya janji pembayaran dari
bank penerbit kepadanya. Sebaliknya, pemohon juga merasa
aman membeli barang dengan cara L/C karena akan menerima
dokumen-dokumen yang dikehendakinya sebab pemenuhannya
merupakan syarat pembayaran langsung.11

Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: PPM,
edisi 2, Juli 2001, hlm. 1; M. Rafiqul Islam, International Trade Law,
Sydney: LBC, 1999, hlm. 340-341.
9
Amir M.S., op.cit., hlm. 2.
10
Ramlan Ginting, Op.cit., hlm. 18
11
Ramlan Ginting, Op.cit., hlm. 18

b. Batasan
Hans van Houtte mendefinisikan kredit berdokumen ini sebagai
berikut:
"... an arrangement in which the bank, acting for and on
behalf of the buyer (customer), undertakes to pay the seller
(beneficiary) a sum of money or to accept a bill of exchange
drawn by the seller, or to authorize another bank to do so
on presentation by the seller of specified document and on
condition that all other credit terms are met."12
Amir M.S. menggambarkan L/C sebagai berikut:
"L/C adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh bank devisa
atas permintaan importir nasabah bank devisa bersangkutan
dan ditujukan kepada eksportir di luar negara yang menjadi
relasi dari importir tersebut. Isi surat itu menyatakan
bahwa eksportir penerma L/C diberi hak oleh importir untuk
menarik wewel (surat perintah untuk melunasi utang) atas
importir bersangkutan untuk sejumlah uang yang disebut dalam
surat
itu.
Bank
yang
bersangkutan
menjamin
untuk
megnakseptir atau menghonorir wesel yang ditarik tersebut
asal sesuai dan memenuhi semua syarat yang tercantum di
dalam surat itu."13
UCP (Pasal 2 UCP 500) memberi definisi L/C sebagai berikut:
"L/C adalah janji membayar dari bank penerbit kepada
penerima yang pembayarannya hanya dapat dilakukan oleh bank
penerbit jika penerima menyerahkan kepada bank penerbit
dokumen-dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C.14
12

Hans Van Houtte, 258. Definisi ini disarikan beliau dari batasan yang
terdapat dalam Pasal 2 the Uniform Customs and Practice for Documentary
Credits (UCP) yang berbunyi sebagai berikut: "Any arrangement, however
named or described, whereby a bank (the Issuing Bank), acting at the
request and on the instructions of a customer (the Applicant) or on its
own behalf,
(i) is to make a payment to or to the order of a third party (the
Beneficiary), or is to accept and pay bills of exchange (draft(s)) drawn
by the Beneficiary; or
(ii) authorises another bank to effect such payment, or to accept and
pay such bills of exchange (draft(s)); or
(iii) authorises another bank to negotiate;
against stipulated document(s), provided that the terms and conditions
of the Credit are complied with."
13
Amir M.S., op.cit., 2001, hlm. 1.
14
Ramlan Ginting, Op.cit., hlm. 11 (Ramlan Ginting juga memberikan
aneka definisi yang diberikan oleh para sarjana, op.cit., hlm. 11 dst.
Teks inggris Pasal 2 UCP berbunyi: "For the purposes of these articles,
the expressions "Documentary /credit(s)" and "Standby Letter(s) of
Credit" (hereinafter referred to as "Credit(s)", means any arrangement,
however, named or described, whereby a bank (the "issuing bank") acting

Beberapa hal penting dari definisi di atas yaitu:


(a) Bank yang memberikan jaminan pembayaran tersebut adalah bank
yang menerbitkan Kredit Dokumenter L/C tersebut (bank penerbit
atau Issuing Bank).
(b) Dokumen-dokumen

yang

disyaratkan

dapat

berupa

dokumen

perdagangan ataupun dokumen yang diterbitkan instansi-instansi


pemerintah, asuransi maupun pengangkutan.15
(c) Karena Kredit Dokumenter (L/C) merupakan Jaminan bersyarat,
maka

pembayaran

(pembeli),

dan

sudah

tentu

pembayaran

itu

dilakukan

atas

dilaksanakan

nama

bila

Buyer

dokumen-

dokumen yang disyaratkan telah diserahkan.


(d) Karena

dokumen-dokumen

tersebut

mewakili

barang,

maka

penyerahan dokumen itu berarti memberikan hak kepada buyer


(pembeli)

atas

pemilikan

barang-barang

yang

dikapalkan

tersebut.
(e) Karena Kredit Dokumenter (L/C) merupakan jaminan bank, maka
segera

setelah

pembayaran

dari

pengapalan
Bank,

barang,

bukan

Seller

mengandalkan

akan

meminta

kemampuan

dan

kesediaan Buyer (pembeli) untuk membayar.


Namun sekalipun demikian, berhubung jaminan tersebut adalah
jaminan bersyarat, maka seller (penjual) hanya berhak meminta
pembayaran apabila dia sudah memenuhi semua syarat yang telah
ditetapkan dalam Kredit Dokumenter tersebut.
f. Untuk kelancaran pembayaran atas dasar Kredit Berdokumen (L/C)
diperlukan paling tidak dua buah bank, yaitu Bank pembeli
at the request and on the instructions of a customer (the "Applicant")
or on its own behalf, i. is to make a payment to or to the order of a
third party (the "beneficiary") or is to accept and pay bills of
exchange (Draft(s)) drawn by the Benficiary, or ii. authorises another
bank to effect such payment, or to accept and pay such bills of
exchangge (Draft(s)), or iii. authorises another bank to negotiate,
against stipulated document(s), provided that the terms and conditions
of the Credit are complied with. For the purpose of these Articles,
branches of a bank in different countries are considered another bank.
15
Secara umum dokumen-dokumen itu antara lain: Commercial Invoice
(Faktur Dagang), Packing and Weight List, Certificate of Origin,
Polis/Sertifikat Asuransi serta Bill of Lading/Airway Bill (dokumen
pengangkutan) atau dokumen pengangkutan lainnya, seperti Certificate of
Inspection. (khusus di Indonesia dengan penambahan LKP yang dikeluarkan
SGS untuk impor dan ekspor barang-barang tertentu), dll.

sebagai penerbit L/C (Issuing Bank atau bank penerbit) dan


Bank penjual yang terletak di negara penjual itu sendiri.

c. Kontrak Penjualan Sebagai Dasar Terbitnya L/C


Persiapan yang harus ada untuk terbitnya
kesepakatan

antara

Seller

dan

Buyer

untuk

L/C

adalah

membuat

dan

menandatangani sebuah sales contract (kontrak penjualan).


Yang mendasari terbitnya sebuah L/C adalah kontrak jual beli
atau sales contract yang sudah disepakati bersama dan kemudian
disahkan dengan penandatanganan oleh masing-masing pihak antara
penjual dan pembeli.
Kontrak

penjualan

tersebut

biasanya

mencantumkan

pula

bagaimana barang tersebut akan dikirim: apakah melalui darat,


laut atau udara; dan pihak mana yang akan menutup asuransi.
Kredit

berdokumen

juga

konstruksi

internasional

investasi.16

Pasal

UCP

dikeluarkan

jangka

untuk

proyek-proyek

dan

proyek-proyek

panjang

memberlakukan

kredit

berdokumen

ini

terhadap bukan saja untuk barang tetapi juga terhadap jasa dan
bentuk-bentuk

lainnya

('services

and/or

other

performances'),

meskipun untuk hal-hal yang terakhir ini lebih banyak digunakan


Standby L/C atau Bank Garansi.17
L/C
kedudukan

sendiri
L/C

adalah

sebagai

dokumen

suatu

kontrak.

Namun

demikian,

kontrak dan kontrak jual belinya

sifatnya adalah terpisah atau independen.18 Sifat independen L/C


tampak pada aplikasi L/C dan realisasi pembayaran L/C.
Dalam

aplikasi

L/C,

bank

penerbit

(issuing

bank)

tidak

meminta atau mensyaratkan diperlihatkannya kontrak penjualan dari


pemohon (buyer atau pembeli). Dalam realisasi pembayaran L/C,
bank hanya memeriksa apakah dokumen-dokumen yang dipersyaratkan

16

Hans Van Houtte, op.cit., 257.


Hans Van Houtte, op.cit., 258n.
18
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 15; Hans van Houtte, op.cit., hlm 259.
(Menurut van Houtte, dengan tidak adanya hubungan antara kontrak
penjualan atau jual beli dengan L/C, seorang nasabah (penjual) tidak
dapat meminta bank penerbit untuk tidak melakukan pembayaran dengan
alasan bahwa barang yang dikirim kepadanya tidak sesuai dengan kontrak).
17

L/C

telah

terpenuhi.19

Hal

inilah

yang

disebut

juga

sebagai

prinsip otonomi dari L/C.20


Pasal 3 UCP 500 menegaskan sifat independen ini:
"Credits, by their nature, are separate transactions from
the sales or other contract(s) on which they may be based
and banks are in no way concerned with or bound by such
contract(s), even if any reference whatsoever to such
contract(s) is included in the Credit. Consequently, the
undertaking of a bank to pay, accept and pay Draft(s) or
negotiate and/or to fulfill any other obligation under the
Credit, is not subject to claims or defences by the
Applicant resulting from his relationships with the issuing
bank or the beneficiary." (Huruf miring oleh penulis).

19

Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 15.


E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 263 (menyebutkan the principle of the
autonomy of the L/C. Prinsip ini didasarkan pada fakta bahwa bank lebih
berkepentingan atau lebih peduli dengan dokumen-dokumen, bukan denga
barang-barang yang tercantum di dalamnya).

20

d. Hubungan Hukum antara Para Pihak dalam Transaksi L/C

Pada

umumnya,

para

pihak

yang

terlibat

dalam

pembukaan

transaksi L/C adalah:


(1) Applicant (buyer atau pembeli): adalah pihak yang meminta
kepada sebuah bank untuk membuka L/C atas namanya (sebagai
pembeli).
(2) Penerima (Beneficiary) adalah pihak yang disebutkan dalam L/C
(sebagai penjual).
(3) Bank penerbit (Opening Bank atau issuing bank) adalah bank
yang membuka atau menerbitkan L/C (Bank pembeli).
(4) Bank penerus atau Advising Bank adalah Bank yang meneruskan
L/C yang diterima dari opening bank kepada beneficiary (bisa
Bank penjual).21
Di antara para pihak tersebut di atas, hubungan hukum yang
timbul adalah sebagai berikut:
(1) Nasabah dengan Bank
Nasabah atau disebut juga pemohon dengan banknya biasanya
menandantangani

kesepakatan

atau

perjanjian

tentang

permintaan

penerbitan L/C. Kesepakatan ini sudah barang tentu tunduk pada


syarat yang ditetapkan oleh pihak bank. Dalam hal ini biasanya
bank mensyaratkan adanya jaminan dari nasabahnya. Misalnya, bank
mensyaratkan

21

dokumen-dokumen

pengapalan

(bill

of

lading

atau

Di samping 4 pihak tersebut di atas, pihak-phak lain yang dapat


terkait adalah:
(1) Negotiating Bank adalah Bank yang melakukan negosiasi atas draft
(wesel) dan dokumen pengapalan milik seller (biasanya advising bank juga
merupakan negotiating bank).
(2) Reimbursing Bank adalah Bank kepada siapa penagihan atas pengapalan
barang dilakukan (bisa opening bank atau bank lain yang berfungsi
sebagai imbursing bank). Penunjukan bank ini biasanya terjadi apabila
antara eksportir dan importir tidak ada hubungan rekening untuk
menyelesaikan pembayarannya.
(3)Confirming Bank (bank pengkonfirmasi) adalah Bank yang diminta oleh
bank untuk menambahkan konfirmasi pada L/C.
(4) Pihak lainnya yang tidak langsung terlibat dalam pelaksanaan L/C,
yakni: Perusahaan Pelayaran/Perkapalan; Bea dan Cukai/Pabean; Perusahaan
Asuransi; Badan-badan pemeriksa (perwakilan Sucofindo); Badan-badan
penelitian lainnya. (Amir M.S., op.cit. (note 1), hlm. 3,4).

konosemen). Bank, jika menurutnya diperlukan, menahan dokumendokumen ini sampai klien telah membayar.22
(2) Bank Penerbit dan Penerima
Bank penerbit menandatangani L/C untuk kepentingan penjual.
L/C di dalamnya mengandung persyaratan dari Bank untuk membayar
atau menerima atau menegosiasikan suatu bill of exchange segera
setelah

dokumen

diperlihatkan.

L/C

yang

dipersyaratkan

menetapkan

tanggal

dalam
jatuh

kontrak

tempo

dan

dasar
tempat

23

untuk mengajukan dokumen untuk pembayaran.

Dalam hal ini, hukum nasional negara-negara berbeda mengenai


hubungan hukum antara bank penerbit dan penerima ini. Misalnya,
menurut

negara-negara

Amerika

Serikat),

Common

hubungan

Law

(misalnya

hukum

antara

hukum
bank

Inggris

dan

penerbit

dan

24

penerima termuat dalam kontrak (kontraktual).

Sedangkan menurut negara dengan sistem hukum Civil, misalnya


hukum Belgia dan Belanda, hubungan hukum tersebut tampak pada
kehendak tegas dari para pihak. Perbedaan dalam sistem hukum ini
menjadi penting dalam praktek.25
Jika

prestasi

bank

bersifat

kontraktual,

maka

dalam

hal

demikian itu prestasi tersebut harus diperlihatkan bahwa penerima


telah

menerima

usulan

tersebut.

Eksportir

atau

penjual

dapat

mengajukan gugatan terhadap bank penerbit berasarkan L/C. Dalam


hal ini ia berhak atas pembayaran jika ia telah memenuhi syaratsyarat dalam L/C.26
(3) Bank Penerbit dan Bank Penerus
Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus seperti
halnya antara seorang prinsipal dan agen. Dalam hal ini bank
penerbit bertindak atas nama dan untuk bank penerbit. Jika bank
penerbit
22

telah

membayar

sejumlah

uang

Hans Van Houtte, op.cit., 263; Chia-Jui


Hans Van Houtte, op.cit., 263; Chia-Jui
24
Hans Van Houtte, op.cit., 264.
25
Hans Van Houtte, op.cit., 264.
26
Hans Van Houtte, op.cit., 264; lihat
hlm. 88-89; Chia-Jui Cheng, op.cit., hlm.
23

kepada

penerima

sesuai

Cheng, op.cit., hlm. 581.


Cheng, op.cit., hlm. 581.

pula Ramlan Ginting, op.cit.,


582.

dengan
(wesel)

mandatnya,
yang

atau

ditarik

telah
oleh

menerima suatu bill of exchange


penerima,

maka

ia

berhak

atas

pembayaran dari bank penerbit.27


(4) Penerima dan Bank Penerus
Terhadap

penerima,

bank

penerus

seolah-olah

bertindak

sebagai agen dari bank penerbit. Karenanya, penerima tidak berhak


untuk menggugat bank penerbit.28
(5) Bank Penerbit dan Bank Pengkonfirmasi
Jika

bank

lain

menjadi

Confirming

Bank

(Bank

Pengkonfirmasi), yakni bank yang turut menjamin pembayaran L/C,


maka ia bersama-sama dengan bank penerbit bertanggung jawab untuk
membayar suatu bill of exchange.29

27

Hans Van Houtte, op.cit., 264; lihat pula Ramlan Ginting, op.cit.,
hlm. 89.
28
Hans Van Houtte, op.cit., 264; lihat pula Ramlan Ginting, op.cit.,
hlm. 92.
29
Hans Van Houtte, op.cit., 264.

e. Pembukaan L/C
1). Aplikasi (Application)
Segera setelah penjual dan pembeli menandatangani kontrak
penjualan.

Dalam

kontrak

tersebut

memuat

kesepakatan

bahwa

transaksi akan diselesaikan dengan Letter of Credit (L/C), maka


pembeli akan meminta kepada banknya untuk membuka L/C.
Data-data

yang

harus

tercantum

dalam

formulir

aplikasi

terdiri dari:
(1) Nama dan alamat Beneficiary;
(2) Nama dan alamat pembeli/pemohon;
(3) Nilai

L/C

yang

dibuka

dengan

shipping

terms

yang

talah

disetujui (FOB/CIF/C&F);
(4) Jenis L/C (Revocable/Irrevocable);
(5) Syarat pembayaran (Sight/Usance);
(6) Uraian barang;
(7) Dokumen-dokumen yang diperlukan, baik jenis maupun jumlahnya;
(8) Masa

berlakunya

L/C

(Validity

of

the

Credit)

dengan

menetapkan expire date;


(9) Tanggal pengapalan terakhir;
(10) Pelabuhan bongkar muat;
(11) Persyaratan barang yang harus dikirim oleh penjual;
(12) Ketentuan-ketentuan khusus yang diperlukan (misalnya: boleh
tidaknya penggantian kapal; atau boleh tidaknya pengapalan
sebagian);
(13) Cara penyampaian L/C lewat surat atau teleks, dan sebagainya.
2) Pembukaan/Penerbitan L/C (Opening/Issuing of the Credit)
Atas dasar aplikasi pembukaan L/C yang telah disetujui, bank
penerbit

membuka

dan

penerima,

yang

isinya

menerbitkan
sesuai

L/C

benar

yang
dengan

ditujukan
apa

kepada

yang

telah

tercantum pada formulir aplikasi.


Ketentuan-ketentuan

yang

tersebut umumnya terdiri dari:

ditambahkan

oleh

bank

penerbit

(1) Syarat

pengapalan,

seperti:

larangan

terhadap

penggunaan

kapal-kapal berbendera negara tertentu;


(2) jangka waktu penyerahan dokumen;
(3) ketentuan-ketentuan

tentang

endorsement

terhadap

dokumen-

dokumen yang negotiable seperti B/L, Draft dan sebagainya;


(4) reimbursement instruction (perintah kepada negotiating bank
untuk penagihan terhadapnya);
(5) ketentuan

pengiriman

dokumen,

ke

mana

dan

berapa

kali

pengiriman,.
3) Syarat-syarat L/C
L/C yang dibuka oleh suatu bank harus memenuhi syarat-syarat
umum yaitu:
(1) Menyebutkan nama dan alamat penerima dan pemohon dengan jelas;
(2) Menyebutkan masa berlakunya L/C;
(3) mencantumkan nama bank penerus (advising bank) yang dituju;
(4) Mencantumkan dengan tegas jenis L/C;
(5) Uraian barang harus jelas dan tegas;
(6) Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat dalam L/C harus jelas
tidak berbelit-belit dan tidak mensyaratkan hal-hal yang tidak
mungkin dipenuhi oleh penerima (beneficiary); dan
(7) Menyatakan bahwa L/C tunduk pada UCPDC dengan mencantumkan
klausul yang berbunyi: This credit is subject to Uniform
Costums and Practice for Documentary Credit 1993 revision, ICC
Publication 500.

f. Aturan Hukum Yang Berlaku (Applicable Rules)


Kredit

berdokumen

digunakan

untuk

membiayai

transaksi

perdagangan internasional. Karena itu masalah hukum apa yang akan


mengaturnya merupakan salah satu persoalan yang penting.
Di samping itu, ada juga negara-negara yang mengeluarkan
hukumnya

sendiri

demikian,

dapat

guna
saja

mengatur
antara

Kredit

Dokumenter.

Dalam

hal

hukum nasional suatu negara akan

menjadi konflik dengan hukum nasional negara lainnya.30


Guna mencegah agar konflik tersebut tidak menjadi hambatan
bagi perdagangan internasional, suatu pemecahan atau jalan keluar
perlu

ditempuh.

Salah

adalah

dengan

mengacu

satu

pemecahan

kepada

yang

acapkali

prinsip-prinsip

ditempuh

hukum

perdata

internasional yang relevan dalam mengatur L/C.


Ada

juga

keinginan

agar

hukum

yang

mengatur

kredit

berdokumen itu tercipta adanya suatu keseragaman hukum. Salah


satu upaya ke arah unifikasi hukum tersebut adalah lahirnya UCP
oleh ICC.
Berdasarkan
kredit

uraian

berdokumen

ini

di

atas,

adalah:

aturan

(1)

hukum

yang

mengatur

Ketentuan-ketentuan

Hukum

Perdata Internasional; dan (2) The Uniform Customs and Practice


(UCP).31
(1) Hukum Perdata Internasional
Hukum yang berlaku terhadap L/C sebenarnya harus dibedakan
dengan hukum yang berlaku terhadap kontrak induk (yakni kontrak
penjualan yang menjadi dasar lahirnya L/C). Menurut van Houtte,
prinsip-prinsip

berikut

adalah

yang

biasanya

berlaku

dalam

praktek:
(a) Dalam hubungan antara nasabah dan bank penerbit (the issuing
bank), jika kesepakatan atau perjanjian kredit memuat klausul
pilihan hukum, maka hukum yang dipilih para pihaklah yang akan
berlaku terhadap kontrak.
30

Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 574 (Schmitthoff menggambarkan


hukum nasional Inggris tentang L/C, yakni Section 72 dari the Bills of
Exchange Act 1882).

Bila tidak ada hukum yang dipilih, maka hubungan hukum antara
nasabah dan bank penerbit (the issuing bank) pada umumnya
diatur oleh hukum di negara di mana 'the most characteristic
performance'

(pelaksanaan

kontrak

yang

paling

berkarakteristik) adalah yang akan digunakan, atau di mana


pihak

melaksanakan

performance

(prestasi)

berdomisi,

yaitu

biasanya negara di mana bank yang memberikan kredit berada;32


(b) dalam hal kaitannya antara bank penerbit (the issuing bank),
bank

penerus

(the

beneficiary),

maka

adivising
hukum

yang

bank)
berlaku

dan

penerima

adalah

hukum

(the
yang

33

dipilih mereka.

Bila tidak ada hukum yang dipilih, maka hukum yang berlaku
adallah hukum di negara di mana kredit tersebut dicairkan. Hal
ini adalah hukum di (negara) mana penerima (beneficiary) atau
penjual

menerima

dokumen

dan

menerima

pembayaran,

yaitu

biasanya negara dari bank penerus (the adivising bank) atau


bank pengkonfirmasi (confirming bank).34
(c) Jika tidak ada hukum yang dipilih oleh bank, maka hubungan
antara bank penerbit (the issuing bank) dan bank penerus (the
advising

bank)

diatur

oleh

hukum

di

mana

bank

penerbit

(advising bank) berada (didirikan). Hal ini biasanya berlaku


terhadap hubungan antara bank penerus (the advising bank) dan
penerima (the beneficiary). Sulit untuk diterima bila sistem
hukum yang berbeda diterapkan terhadap dua aspek dari satu
atau transaksi yang sama.35

31

Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 25; Hans Van Houtte, op.cit., 265.
Hans Van Houtte, op.cit., 264. Di negara-negara Common Law, penerapan
hukum perdata internasional menunjukkan bahwa dalam hubungan hukum antar
para pemohon (nasabah) dengan bank penerbit prinsip hukum perdata
interansional yang akan diterapkan adalah the law of the closest
connection and most real connection (Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm.
580.
33
M. Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 350 (mengaskan bahwa ... the parties
to the underlying transaction specify a choice of law and forum and
submit themselves to the law and jurisdictions of that country in the
case of a dispute); Lihat pula Ramlan Ginting, op.cit., 25.
34
Hans Van Houtte, op.cit., 265.
32

(2) Uniform Customs and Practice36


International Chamber of Commerce (ICC) yaitu Kamar Dagang
International

telah

menerbitkan

ketentuan

mengenai

kredit

berdokumen. Ketentuan tersebut yakni Uniform Customs and Practice


for Documentary Credit (UCPDC). Aturan-aturan yang termuat di
dalamnya

merupakan

kodifikasi

dari

praktek-praktek

perdagangan

internasional dan praktek perbankan.37


ICC untuk pertama kali menerbitkan UCP pada tahun 1933. UCP
mengalami beberapa kali revisi. Revisi dilakukan pada tahun 1951,
1962, 1974, 1983 dan terakhir 1993 (UCP DC No 500 tahun 1993 yang
berlaku mulai tanggal 1 Januari 1994). Revisi ini dilakukan untuk
mengakomodasi

perkembangan

teknologi,

perkembangan

teknik

dan

perkembangan di bidang pengangkutan.


Dalam pelaksanaan Kredit Dokumenter, bank-bank pada umumnya
di lebih dari 170 negara telah menundukkan diri kepada UCP. Dalam
dokumen L/C mereka mencantumkan klausul berbunyi: "This credit is
subject to Uniform Custems and practice for Documentary Credit,
ICC Publication No 500 1993 Revision."38
UCP

500

memuat

ketentuan-ketentuan

dan

penjelasan

penjelasan tentang Kredit Dokumenter (L/C). UCP terdiri dari 49


pasal, yang dikelompokkan ke dalam sub bagian berikut:
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

35

General provisions and definitions


Form and notification of credits
Liabilities and responsibilities
Documents
Miscellaneuous provisions
Transferable credits
Assignment of proceeds.

Han van Houte, op.cit., hlm. 265.


Lihat antara lain, E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 248 et.seq., George
Curmi, "Documentary Credits and Their Administration," dalam Jonathan
Reuvid (ed.), Strategic Guide to International Trade, Kogan Page, 1997,
hlm. 133 et.seqq.; M. Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 350-351.
37
Ellinger
mengungkapkan
bahwa
praktik
awal
penggunaan
kredit
berdokumen in bermula pada praktik perbankan Amerika Serikat, yaitu
ketika dilangsungkannya the New American Commercial Credit Conference di
New York pada tahun 1920. (E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 248).
38
Sesuai dengan bunyi ketentuan pasal 1 UCP.
36

Aturan-turan UCP sifat atau kekuatan hukumnya semata-mata


mengatur.

Kesepakatan

kesepakatan
ketentuan

para
dari

para

pihak
UCP.

pihak

dapat

Hal

tetap

berlaku.

Bahkan

mengenyampingkan

beberapa

aturan

manakala

mereka

ini

masih

dapat

terjadi

beranggapan bahwa aturan tertentu dari UCP tidak sesuai dengan


keinginan mereka.39
Meskipun UCP telah diimplementasikan di banyak negara, UCP
sendiri memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
(1) UCP pada prinsipnya akan berlaku hanya atau sepanjang bank
penerbit mencantumkan atau memilih UCP secara tegas sebagai
aturan

yang

mengatur

L/C.40

Dalam

kaitan

ini

Ellinger

menyatakan bahwa:
... it would appear advisable to regard the Code ... as being
applicable by reason of its incorporation in documentary
credit transaction. It would, thus, constitute a contractual
document and would not enjoy the status of a set of norms
consecreated by usage.41
(2) UCP

tidak

mengatur

masalah

penipuan

dalam

transaksi

L/C.

Menurut Ginting, unsur penipuan ini merupakan alasan hukum


bagi

bank

penerbit

atau

kuasanya

untuk

menolak

melakukan

pembayaran L/C kepada penerima meskipun semua dokumen yang


disyaratkan sesuai dengan persyaratan.42
(3) UCP tidak memuat aturan mengenai pilihan hukum. Disebutkan di
atas,

bahwa

hukum

nasional

terjadinya

negara-negara
yang

konflik

pun

mengatur
hukum,

kadang
kredit

UCP

tidak

kala

memiliki

berdokumen.
memuat

aturan

Dalam

aturan

hal

tegas

mengenai penyelesaiannya.

39

Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone,


1999, hlm. 271. (Beliau menegaskan bahwa "... the UCP is subject to the
express terms of the credit"); lihat pula E.P. Ellinger, op.cit., hlm.
251 et.seq. (mengungkapkan kekuatan mengikat UCP di berbagai negara yang
ternyata berbeda-beda).
40
Lihat pasal 1 UCP; Lihat pula Clive M. Schmitthoff, The New Uniform
Customs for Letters of Credit, dalam: Chia-Jui Chen (ed.), op.cit.,
hlm. 449.
41
E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 252-253.
42
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 3.

g. Klasifikasi L/C
(1). Jenis-jenis L/C.
(1) Revocable L/C
Jenis L/C dapat berupa Irrevocable L/C dan Revocable L/C.43
Menurut UCP, para pihak harus menegaska apakah suatu L/C adalah
Revocable atau Irrevocable.44
Revocable L/C adalah L/C yang dapat diubah atau dibatalkan
oleh

penerbit

secara

sepihak

tanpa

persetujuan

dari

pihak

penerima. Pasal 8 UCP menyatakan: A revocable credit may be


amended

or

cancelled

by

the

Issuing

Bank

at

any

moment

and

without prior notice to the Beneficiary.


Dalam

hal

ini,

kedudukan

penerima

lemah.

Ia

menanggung

resiko yang tidak ringan. Hal ini antara lain karena sifatnya,
maka L/C tersebut tiba-tiba dibatalkan atau diubah oleh penerbit.
Namun demikian UCP tetap melindungi penerima (bank penerima) yang
beritikad
membayar

baik.
L/C

Bank

penerima

(negotiating

bank)

kepada

penerima

sebelum

diberitahu

ia

yang

telah
adanya

pembatalan sepihak dari penerbit, ia tetap berhak atas pembayaran


dari

penerbit.

Pembayaran

L/C

dapat

dilakukan

dengan

cara

pembayaran secara unjuk (sight payment), akseptasi (acceptance),


negosiasi

(negotiation),

dan

pembayaan

kemudian

(deferred

payment).45 Pasal 8 UCP menyatakan:


...the Issuing Bank must:
i.

ii.

43
44
45

reimburse another bank with which revocable Credit has


been made available for sight payment, acceptance or
negotiation

for
any
payment,
acceptance
or
negotiation made by such bank prior to receipt by it
of notice of amendment or cancellation against
documents which appear on their face to be in
compliance with the terms and conditions of the
Credit;
reimburse another bank with which a revocable Credit
has been made available for deferred payment, if such
a bank has, prior to receipt by it of notice of
amndment or cancellation, taken up documents which

Pasal 6 (a) UCP.


Pasal 6 (b) UCP.
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 36.

appear on their face to be in compliance with the


terms and conditions of the Credit.

(2) Irrevocable L/C


Disebutkan di atas bahwa para pihak harus menegaskan jenis
L/C-nya. Dalam hal tidak ada penegasan tersebut, maka suatu L/C
dianggap sebagai Irrevocable L/C.46 Contoh klausul Irrevocable L/C
memuat ketentuan atau bunyi klausul berikut:
We undertake to honour such drafts on presentation provided
that they are drawn and presented in conformity with the
terms of this credit.47
Irrevocable L/C adalah L/C yang tidak dapat dibatalkan atau
diubah secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang
terlibat dalam transaksi L/C yaitu penerima dan bank penerbit.
Kedudukan penerima lebih terjamin dari risiko. Tiap-tiap
perubahan harus ada persetujuannya. Karena sifatnya yang tidak
dapat
banyak

diubah

secara

disukai

oleh

sepihak,

maka

jenis

dan

bank

penerima

menyediakan kredit ekspor).

46
47

Pasal 6 (c) UCP.


Ademuni-Odeke, op.cit., hlm. 277.

L/C

ini

(bank

yang

penerima

paling
yang

(3) Irrevocable Confirmed L/C


Jenis

L/C

mendapatkan

adalah

konfirmasi

Irrevocable

sebuah

bank

apabila

L/C

pengkonfirmasi

tersebut

(Confirming

Bank). Dalam hal ini bank pengkonfirmasi turut menjamin kewajiban


bank penerbit dengan memberikan konfirmassi atau janjinya untuk
membayar L/C.
Tampak bahwa jenis L/C ini memberi kepastian jaminan kepada
penerima.

Jika

bank

penerbit

tidak

melakukan

pembayaran

atas

barang yang dikapalkan, maka bank pengkonfirmasi akan membayar


barang yang telah dikapalkan.
Permintaan

demikian

demikian

biasanya

dituliskan

dengan

kata-kata sebagai berikut dalam L/C: Please advice beneficiary


with adding your confirmation.
Yang dapat menjadi bank pengkonfirmasi bisa bank penerus
atau bank lain yang diminta oleh bank penerbit. Dengan adanya
permohonan

korfirmasi

tersebut,

dan

jika

bank

yang

diminta

confirm L/C tersebut menyepakatinya, maka ia akan menambahkan


konfirmasinya dalam L/C, sebelum L/C diserahkan kepada penerima.

(4) Sight (Payment) L/C


Jenis Sight L/C (Payment L/C) adalah L/C yang pembayaranya
dilakukan

secara

tunai

segera

setelah

dokumen-dokumen

yang

disyaratkan diajukan atau diserahkan.


Setelah penerima mengapalkan barang, maka dia dapat langsung
minta

pembayaran

dokoumen-dokumen

kepada

negotiating

pengapalan

yang

bank

dengan

diperlukan

menyerahkan

disertai

dengan

wesel/draf-nya.
Atas

pembayaran

(negotiating

bank)

yang

dilakukan,

segera

melakukan

maka

bank

penegosiasi

penagihan/reimbursement

kepada bank penerbit (opening/issuing bank). Bank penerbit akan


segera

pula

melakukan

dokumen tersebut.

pembayaran

pada

saat

menerima

dokumen-

(5) Acceptance L/C


Jenis Acceptance L/C atau L/C berjangka adalah L/C yang
pembayarannya dilakukan pada suatu jangka waktu tertentu setelah
wesel diunjukan atau setelah barang dikapalkan.
Acceptance L/C merupakan pemberian kredit kepada pembeli
oleh penjual sebab pembeli di luar negeri akan menerima barangbarang tanpa melakukan pembayaran pada saat yang sama melainkan
pada jangka waktu tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam
L/C.

2. Bentuk Khusus Kredit Berdokumen


(1) Standby L/C
Jenis Standby L/C lebih dikenal sebagai alat atau sarana
penjamin. Jenis L/C ini acapkali disebut pula sebagai Guarantee
L/C. Jenis ini cenderung digunakan di wilayah suatu negara di
mana isu jaminan itu tidak dimungkinkan atau tidak dibolehkan.48
Jenis L/C ini dimaksudkan untuk melindungi penerima jika pihak
lainnya wanresptasi (berdasarkan kontrak).
Menurut Ginting, jenis L/C ini adalah bahwa bank penerbit
bersiap-siap untuk melaksanakan kewajibannya dalam hal pemohon
wanprestasi.49
Perlu pula dinyatakan di sini bahwa Standby L/C dalam hal
tertentu berbeda dengan bank guarantee (garansi bank). Perbedaan
tersebut

Standby

L/C

merupakan

kewajiban

utama

dari

bank

penerbit.50 Yang membedakan jenis L/C ini dengan jaminan bank


adalah bahwa Standby L/C tunduk pada UCP.51 Sedangkan Bank garansi
tunduk pada hukum nasional. Di samping itu, dalam hal adanya
default (non-performance), pencairan dana langsung dilaksanakan
oleh Bank berdasarkan klaim yang diterima. Sedangkan pada bank
garansi, bank penerbit garansi bank baru mencairkan dana atau
membayar

penerima

(beneficiary)

setelah

berhasil

dibuktikan

adanya default (non performance).52

48

George Curmi, op.cit., hlm. 134.


Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 50. Cf., Ellinger menyatakan bahwa
standby credit ini ... is furnished at the instruction of the seller to
protect the buyer if the goods turn out to be faulty (E.P. Ellinger,
op.cit., hlm. 247).
50
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 50.
51
George Curmi, op.cit., hlm. 134.
52
Masukan dari Sdr. Pitman, 23 Oktober 2004.
49

(2) Transferable L/C


Transferable L/C adalah jenis L/C yang dapat dialihkan dari
penerima I kepada satu atau lebih penerima lainnya. Kredit yang
dialihkan dapat seluruh atau sebagiannya.53 Dalam hal ini penerima
1 hanya dapat mengajukan permohonan. Ia tidak dapat memerintah
bank-nya untuk mengalihkan kredit. Keputusan untuk mengahlihkan
atau tidak tetap berada pada keputusan bank penerus (atau bank
pengkonfirmasi).54
Jenis

L/C

ini

diatur

dalam

pasal

48

UCP.

Pasal

ini

menyatakan:
A transferable Credit is a Credit under which the
Beneficiary (First Beneficiary) may request the bank
authorised to pay, incur a deferred payment undertaking,
accept or negotiate (the Transferring Bank or in the case
of a freely negotiable Credit, the bank specifically
authorised in the Credit as a Transferring Bank, to make the
Credit available in whole or in part to one or more other
Beneficiary(ies) (Second Beneficiary(ies)).

53
54

George Curmi, op.cit., hlm. 133.


George Curmi, op.cit., hlm. 134.

(3) Back to Back L/C


Back to Back L/C adalah L/C yang dibuka oleh penerima I dari
sebuah L/C kepada penerima lainnya. Di dalam jenis ini, transaksi
L/C melibatkan dua L/C, L/C induk (Master L/C) dan L/C anak (Baby
L/C).
Dalam L/C back to Back penerima I semata-mata bertindak
sebagai

pemohon.

Ia

bertanggung

jawab

penuh

terhadap

pembayarannya kepada penerima II. Kewajiban penerima II adalah


memenuhi ketentuan-ketentuan sesuai dengan yang ditetapkan dalam
Back to Back L/C, tanpa melihat syarat dan ketentuan yang ada
pada L/C induknya (Master L/C).
L/C

induk

dan

L/C

anak

masing-masing

terpisah,

meskipun

persyaratannya sama. Yang berbeda adalah nilai L/C dan tanggal


jatuh tempo L/C. L/C induk lainnya relatif lebih besar daripada
L/C

anak.

L/C

Induk

memiliki

jatuh

tempo

yang

lebih

lama

kredit

yang

55

dibandingkan jatuh tempo L/C anak.


Jenis

L/C

ini

lebih

banyak

digunakan

jika

ditransfer tidak dapat digunakan karena berbagai alasan. Misalnya


adanya perbedaan dalam nilai mata uang pembelian dan nilai mata
uang penjualan barang dan dokumen-dokumen pengapalan barang yang
harus diubah atau diganti.56

55
56

Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 47.


George Curmi, op.cit., hlm. 134.

(4) Revolving L/C


Revolving L/C adalah L/C yang secara otomatis berlaku secara
berulang-ulang oleh penerima dalam jumlah tertentu selama jangka
waktu tertentu, tanpa harus memasukkan permohonan penerbitan L/C
baru atau memohon perubahan terhadap L/C.57
Revolving L/C dapat bersifat Kummulatif atau Non-kummulatif.
Dalam

hal

Revolving

L/C

direalisasi

seluruhnya,

ditambahkan

dengan

nilai

berikutnya.

Dalam

hal

kumulatif,

maka

sisa

L/C

semula

bila

nilai
untuk

Non-kummulatif,

nilai
L/C

L/C

tersebut

pengapalan

sisa

tidak

L/C

yang

akan

periode
tidak

direalisasi dihapus, dan untuk masa berlaku/ periode berikutnya


adalah sebesar nilai L/C semula.58

57
58

Lihat pula George Curmi, op.cit., hlm. 134.


Amir M.S., op.cit., hlm. [FIND PLS].

(5) Red Clause L/C


Red Clause L/C adalah jenis L/C yang dibayar di muka setelah
terpenuhinya

syarat-syarat

tertentu.

Misalnya,

dengan

diperlihatkannya tanda terima yang sederhana (yang ada), invoice


dan dokumen pengapalan. Nilai pembayaran di muka ini dinyatakan
dalam L/C. misalnya, 30 % atau 40 % dari nilai barang.59
Jenis L/C ini memuat klausul khusus yang memberi wewenang
kepada bank penerus (advising bank) untuk melakukan pembayaran
sejumlah

uang

muka

kepada

penerima

sebelum

dokumen-dokumen

diserahkan atau pun sebelum barang dikapalkan. Klausul Red Clause


yang dicantumkan dan dicetak dengan warna merah (red clause)
yang

isinya

memungkinkan

penerima

menarik

pembayaran

L/C

di

60

muka.

59

George Curmi, op.cit., hlm. 134. Jenis yang sama dengan Red Clause
L/C adalah Green Clause L/C. Kedua jenis L/C ini pada prinsipnya adalah
sama. Hanya dalam Green Clause, biasanya bank mensyaratkan dokumendokumen tambahan yang membuktikan lebih kuat adanya barang yang
diperjual-belikan. Misalnya saja, tanda terima gudang barang, dsb.
(George Curmi, op.cit., hlm. 134).
60
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 47.

C. Penutup
Dari

uraian

di

atas

dapat

dikemukakan

beberapa

catatan

berikut:
(1) Kredit

berdokumen

pembayaran

yang

(L/C)

lahir

merupakan

dari

salah

praktek

satu

kebiasaan

instrumen

yang

sangat

dibutuhkan oleh para pihak (penjual dan pembeli).


(2) Kredit berdokumen merupakan salah satu instrumen yang lahir
karena

peran

perdagangan

perbankan

dalam

internasional.

Peran

memfasilitasi
inilah

transaksi

yang

menjadikan

indikasi mengapa dalam hukum perdagangan internasional bank


dipandang pula sebagai salah satu subyek hukum yang cukup
penting.61
(3) Sebagai sarana pembayaran, salah satu keunikan dari L/C ini
adalah sifatnya yang independen atau terlepas dari kontrak
penjualan. Dengan sifatnya ini, ketidakabsahan suatu kontrak
penjualan tidak mengakibatkan tidak sahnya pembayaran yang
dilakukan melalui L/C.
(4) Yang dapat menjadi masalah dalam L/C ini adalah kekuatan
hukumnya, khususnya aturan-aturan L/C yang tercantum dalam
UCPDC (UCP). UCP pun sebenarnya adalah instrumen hukum yang
lahir

karena

kebiasaan

dagang.

Kebiasaan

dagang

yang

dilakukan terus menerus dan kemudian adanya perasaan atau


anggapan bahwa kebiasaan tersebut mengikat, maka sebenarnya
kebiasaan tersebut adalah hukum. Namun khusus untuk UCP ini,
meskipun hukum, tetapi masih perlu adanya penegasan dari para
pihak untuk menundukkan dirinya secara tegas pada UCP.
(5) Yang

mungkin

dapat

pula

menjadi

masalah

adalah

bagaimana

posisi badan peradilan terhadap penundukan diri para pihak


terhadap

UCP.

Sesuai

dengan

prinsip

hukum

perdagangan

internasional, khususnya prinsip kebebasan para pihak, maka


seyogyanyalah badan peradilan menghormati kehendak para pihak
tersebut terhadap aturan-aturan UCP yang mengikat mereka.

61

Lihat
Bab
2
buku
internasional,supra.

ini

mengenai

subyek

hukum

perdagangan

DAFTAR PUSTAKA
Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone, 1999.
Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: PPM,
Edisi 2, Juli 2001.
Bugeja, John, "Trade Finance and Its Sources," dalam: Jonathan Reuvid
(ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan Page,
1997.
Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essays on
International Trade Law, London: Martinus Nijhoff Publ., 1988.
Curmi, George, "Demand Guarantees and Contracts Bonds," dalam: Jonathan
Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan
Page, 1997.
Ellinger, E.P., Letter of Credit, dalam: Norbert Horn and Clive M.
Schmitthoff (eds.), The Transnational Law of International
Commercial Transactions, Deventer: Kluwer, 1982.
Islam, Rafiqul M., International Trade Law, Sydney: LDC, 1999.
Ramlan Ginting, Letter of Credit: Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis,
Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2000.
Siswanto Sutojo, Membiayai Perdagangan Ekspor Impor: International Trade
Financing. Seri Manajemen No. 3, Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka,
2001.
Van Houtte, Hans, The Law of International Trade, London: Sweet and
Maxwell, 1995.

BAB VI
E-COMMERCE MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON ELECTRONIC
COMMERCE 1996
A. Pengantar
Perkembangan
terlepas

dari

perdagangan

perkembangan

internasional
1

teknologi.

tidak

Karenanya

akan

pernah

dalam

upaya

bangsa-bangsa mencapai kemakmuran, teknologi tidak terlepas dari


upaya tersebut.
Perkembangan aturan-aturan perdagangan juga tidak terlepas
dari pengaruh perkembangan teknologi. Pengaruh tersebut dewasa
ini

semakin

nyata

dengan

lahirnya

e-commerce

(electronic

commerce). Perkembangan ini cukup signifikan antara lain tampak


dari kuantitas transaksi melalui sarana ini. John Nielson, salah
seorang
kurun

pimpinan

waktu

30

perusahaan
tahun,

30

Microsoft,
%

dari

menyatakan

transaksi

bahwa

dalam

penjualan

kepada

transaksi-transaksi

dalam

konsumen akan dilakukan melalui e-commerce.2


Batasan

e-commerce

adalah

perdagangan internasional yang dilakukan melalui pertukaran data


elektronik

dan

cara-cara

komunikasi

lainnya.3

Pertukaran

data

elektronik tersebut dilakukan melalui berbagai teknologi. Salah


satunya adalah melalui electronic data interchange (EDI).4
Perkembangan e-commerce mulai berkembang secara signifikan
ketika internet mulai diperkenalkan. Perkembangan internet ini
1

Cf., Assafa Endeshaw, Internet and E-commerce Law, Singapore: Prentice


Hall, 2001, hlm. 3 (mengutip Nathan Rosenberg, 1982, bahwa the history
of mankind is also a history of the development of artefacts, the
history of technology).
2
Abu Bakar Munir, Cyber Law: Policies and Challenges, Malaysia,
Singapore, Hong Kong: Butterworths Asia, 1999, hlm. 205.
3
Definisi
UNCITRAL,
dalam
Resolusi
Majelis
Umum-PBB,
51/162
(transactions in international trade which are carried out by means of
electonic data interchange and other means of communications).
4
EDI mulai digunakan di Amerika Serikat pada akhir tahun 1960-an.
Sistem ini menghemat biaya, waktu dan kertas. Namun penggunaan EDI
kurang begitu populer. Hanya 5 % dari perusahaan-perusahaan di dunia
yang menggunakan EDI. (Abu Bakar Munir, op.cit., hlm. 205); Assafa
Endeshaw, op.cit., hlm. 243, et.seq.

mendorong transaksi-transaksi perdagangan internasional semakin


cepat. Dengan internet batas-batas wilayah negara dalam melakukan
transkasi

dagang

perdagangan

menjadi

melalui

tidak

internet

lagi

signifikan.

digambarkan

juga

sebagai

Praktek
'final

frontiers of commerce' pada abad ke-21 ini.


Transaksi

melalui

e-commerce

ini

memiliki

beberapa

ciri

berikut:
(1) transaksi secara e-commerce memungkinkan para pihak memasuki
pasar global secara cepat tanpa dirintangi oleh batas-batas
negara;
(2) transaksi

secara

e-commerce

memungkinkan

para

pihak

berhubungan tanpa mengenal satu sama lainnya;


(3) transaksi

melalui

(teknologi)

yang

e-commerce

sangat

keandalannya

bergantung

kurang

dijamin.

pada

sarana

Karena

itu

transaksi secara e-commerce ini keamanannya belum atau tidak


begitu dapat diandalkan.6
Transaksi melalui e-commerce memiliki beberapa keuntungan:
(1) transaksi dagang menjadi lebih efektif dan cepat;
(2) transaksi

dagang

menjadi

lebih

efisien,

produktif

dan

bersaing;
(3) lebih memberi kecepatan dan ketepatan kepada konsumen;
(4) mengurangi biaya administratif;
(5) memperkecil masalah-masalah sebagai akibat perbedaan budaya,
bahasa dan praktek perdagangan;
(6) meningkatkan pendistribusian logistik;7 dan
(7) Memungkinkan

perusahaan-perusahaan

kecil

untuk

menjual

produknya secara global.


5

Abu Bakar Munir, op.cit., hlm. 205.


Abu Bakar Munir, op.cit., hlm. 205; Sanson, op.cit., hlm. 144 (Sanson
mengungkapkan pula 4 masalah dalam bertransaksi secara e-commerce, ini:
(1) kerahasiaan; (2) keaslian data (authentication); (3) integritas
data; dan (4) masalah non-repudiation, yaitu masalah pengakuan pengirim
data bahwa memang ia telah mengirim data tersebut).
7
Rafiqul Islam, International Trade Law, London: LBC, 1999, hlm. 426.
6

B. Masalah Hukum: Pengawasan


Meningkatnya transaksi-transaksi dagang melalui e-commerce
ternyata juga telah melahirkan berbagai masalah lain dalam hukum
perdagangan internasional. Masalah ini timbul mengingat transaksi
secara e-commerce adalah praktik baru di bidang perdagangan dan
berkembang progresif. Sedangkan aturan-aturan hukum dibuat untuk
mengatur hal-hal atau hubungan-hubungan hukum yang sedang atau
telah terjadi sehingga sifatnya agak statis.
Masalah

utamanya

aturan-aturan

hukum

adalah
yang

apakah

ada

ketentuan-ketentuan

dapat

mengakomodasi

atau

lahirnya

transaksi-transkasi yang dilahirkan melalui media e-commerce ini


yang sifatnya transnasional ini.
Di samping itu masalah lain yang juga penting adalah apakah
peraturan hukum perdagangan inernasional yang ada sekarang dapat
memberi

perlindungan

atau

keseimbangan

pengaturan

antara

pengusaha, konsumen dan pemerintah.


Secara

khusus

masalah-masalah

tersebut

dapat

diuraikan

lebih lanjut menjadi masalah-maalah berikut:


(1) masalah pembuktian mengenai data-data yang terdapat dalam ecommerce;
(2) masalah keabsahan suatu kontrak dan bentuk kontrak e-commerce
ini,

khususnya

mengenai

pembuktian

orisinalitas

data

(originality); syarat tertulis (writing); dan masalah tanda


tangan (signature);
(3) masalah

kapan

kata

sepakat

telah

terjadi

dalam

transaksi-

transaksi yang dilakukan secara e-commerce;


(4) masalah

pengesahan,

pengakuan

penerimaan,

penyimpanan

data

elektronik;
(5) masalah hilangnya wewenang bank sentral untuk mengawasi nilai
tukar

mata

uang

dan

penerimaan

pemerintah

dari

transaksi-

transaksi dagang yang dikeluarkan secara elektronik;9 dan


8
9

Sanson, op.cit., hlm. 143.


Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 426.

(6) masalah

rintangan-rintangan

kebijakan-kebijakan

(perdagangan)

(perdagangan)

transaksi-transaksi

e-commerce

negara
ini

dari

yang

menjadi

adanya

mengakibatkan
tidak

lancar

(terganggu).
Negara-negara
masalah-masalah

di

yang

dunia

lahir

menjadi

dari

semakin

sadar

transaksi-transaksi

tentang

e-commerce

ini. Kekhawatiran ini tidak bisa tidak harus segera diantisipasi


mengingat

transaksi-transkasi

e-commerce

menjadi

semakin

meningkat sehubungan dengan meningkatnya globalisasi ekonomi dan


hubungan-hubungan dagang.
Menghadapi perkembangan ini, umumnya negara-negara di dunia
mengeluarkan

aturan-aturan

mengantisipasinya.

Namun

hukum

aturan

hukum

nasionalnya
nasional

untuk

tersebut

yang

cenderung berbeda dengan aturan hukum nasional negara lainnya


dapat

menjadi

rintangan

cukup

serius

efektif

yang

terhadap

perdagangan

10

internasional.

Sebenarnya

ada

cara

dapat

ditempuh

negara-

negara untuk membuat atau menciptakan aturan internasional di


bidang e-commerce. Cara tersebut adalah membuat suatu perjanjian
atau konvensi internasional yang berlaku bagi negara-negara di
dunia.

(Sudah

barang

tentu

setelah

menempuh

cara-cara

atau

prosedur normal untuk terikatnya suatu perjanjian internasional


terhadap suatu negara).
Badan

atau

organisasi

internasional

yang

berkpentingan

dengan aturan internasional antara lain adalah UNCITRAL.11 Tetapi


yang ditempuh UNCITRAL adalah justru menempuh cara yang tidak
tersebut di atas, tetapi merumuskan suatu Model Law.
Sesuai dengan namanya, yaitu Model Law, aturan-aturannya
tidak

mengikat

negara.

Negara-negara

bebas

untuk

mengikuti

sepenuhnya mengikuti sebagian atau menolak Model Law tersebut.


10

Negara yang mula-mula berinisiatif menyusun aturan-aturan hukum di


bidang e-commerce ini adalah Amerika Serikat yang kemudian diikuti
negara-negara Eropa Barat.

Pada tahun 1996,UNCITRAL berhasil merumuskan suatu aturan


hukum

cukup
12

Commerce.

penting

yakni

UNCITRAL

Model

Law

on

Electronic

Tujuan dari Model Law ini adalah menggalakkan aturan-

aturan hukum yang seragam dalam penggunaan jaringan komputer guna


transaksi-transaksi komersial.
Alasan utama digunakannya instrumen Model Law tampak dalam
resolusi No 51/162 tahun 1996 yang menyatakan sebagai berikut:
Convinced
that
the
establishment
of
a
model
law
facilitating the use of electronic commerce that is
acceptable to States with different legal, social and
economic systems, could contribute significantly to the
development of harmonious international economic relations,
Noting that the Model Law on Electronic Commerce was
adopted by the Commission at its twenty-ninth session after
consideration of the observations of Governments and
interested organizations,
Believing that the adoption of the Model Law on Electronic
Commerce
by
the
Commission
will
assist
all
States
significantly in enhancing their legislation governing the
use of alternatives to paper-based methods of communication
and storage of information and in formulating such
legislation where none currently exists,....
Dari bunyi resolusi di atas, terdapat 3 (tujuan) alasan
utama pemilihan Model Law ini, yaitu:
(1)

Model Law yang sifatnya dapat diterima oleh negara-negara


dengan sistem hukum, sosial dan ekonomi yang berbeda. Model
Law

dapat

terhadap

pula

memberi

perkembangan

perkembangan

secara

signifikan

hubungan-hubungan

ekonomi

internasional yang harmonis;


(2)

Model Law dipilih karena memang sebelumnya negara-negara


(dan

organisasi

internasional

yang

berkepentingan)

mengusulkan digunakannya instrumen hukum ini; dan


(3)

Digunakannya

Model

Law

dapat

membantu

negara-negara

di

dalam membuat perundangan nasionalnya di bidang e-commerce.


11

Lihat Bab I di atas mengenai upaya UNCITRAL dalam mengupayakan


harmonisasi (dan unifikasi) hukum perdagangan internasional.
12
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to Enactment,
1996, with additional article 5 bis as adopted in 1998. (Selanjutnya
disebut Guide to Enactment).

Sebenarnya
masalah

hukum

organisasi
e-commerce

internasional

ini

tidak

yang

hanya

memperhatikan

UNCITRAL.

Berbagai

lembaga internasional yang juga menjadikan masalah (hukum) ecommerce

ini

dalam

agendanya

antara

lain

adalah

WTO,

International Telecommunication Union (ITU); World Intellectual


Property

Organization

(WIPO);

Kamar

Dagang

Internasional

(International Chamber of Commerce atau ICC), dll.13

C. UNCITRAL MODEL LAW


1. Pengantar
Majelis

Umum

PBB

mengesahkan

UNCITRAL

Model

Law

dengan

Resolusi 51/162 tanggal 16 Desember 1996. UNCITRAL Model Law ini


dibentuk
pengakuan,
messaging)

sebagai
dan

aturan

akibat

yang

dari

didasarkan

dasar

untuk

pesan-pesan
pada

mengatur

keabsahan,

elektronik

(electronic

penggunaan

komputer

dalam

perdagangan.14
Tujuan utama atau tujuan khusus dari Model Law ini adalah:
(1) memberikan aturan-aturan mengenai e-commerce yang ditujukan
kepada badan-badan legislatif nasional atau badan pembuat UU
suatu negara;
(2) memberikan

aturan-aturan

yang

besifat

lebih

pasti

untuk

15

transaksi-transaksi perdagangan secara elektronik.

Model Law terdiri dari 17 pasal yang terbagi ke dalam 2


bagian dan 4 Bab. Bagian I Bab 1 memuat ketentuan umum. Bab 2
mengatur penerapan persyaratan-persyaratan hukum terhadap pesan
data. Bab 3 mengatur komunikasi pesan data. Bagian II mengatur e-

13

Lihat lebih lanjut: E. Saefullah dan Danrivanto Budhijanto,


Perspektif Hukum Internasional tentang Cyber Law, dalam: Mieke Komar
Kantaatmadja, et.al. (eds.), op.cit., hlm. 93-94; Sanson, op.cit., hlm.
145.
14
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 426.
15
Abdul Bakar Munir, Op.cit., hlm. 213.

commerce dalam bidang-bidang khusus. Bagian II ini hanya terdiri


dari 1 bab saja, yaitu bab mengenai pengangkutan barang.16
Maksud
adalah

"pesan

pengiriman

data
dan

melalui

cara-cara

seperti

EDI,

elektronik

penerimaan

elektronik,

electronic

mail,

(electronic

dan

optik

data

message)

penyimpananan
atau

telegram,

informasi

cara-cara

telex

atau

lainnya
telecopy.

(Dalam tulisan ini selanjutnya, penggunaan data elektronik dan


pesan data mempunyai pengertian yang sama).
Sedangkan kata perdagangan (commerce) mengandung pengertian
luas, yakni semua hubungan yang bersifat komersial. Hubunganhubungan

tersebut

dapat

lahir

karena

adanya

hubungan-hubungan

yang bersifat kontraktual atau bukan. Lebih lanjut


memberikan

ilustrasi

hubungan-hubungan

komersial

Model Law

(dagang)

yang

luas tersebut, yakni:


Relationships of a commercial nature include, but are not
limited
to,
the
following
transactions:
any
trade
transaction for the supply or exchange of goods or
services; distribution agreement; commercial representation
or agency; factoring; leasing; construction of works;
consulting; engineering; licensing; investment; financing;
banking; insurance; exploitation agreement or concession;
joint venture and other forms of industrial or business
cooperation; carriage of goods or passengers by air, sea,
rail or road.17
Model
terhadap

Law

mensyaratkan

aturan-aturannya.

penafsiran

Penafsiran

secara

tersebut

itikad
harus

baik
sesuai

dengan:

16

Dari struktur atau komposisi Bab yang diaturnya tampak sekilas bahwa
bab-bab UNCITRAL Model Law tidak lengkap. Khususnya bab terakhir yaitu
bidang-bidang khusus (specific areas), ternyata hanya memuat 1 bab saja
yaitu bab mengenai pengangkutan barang. Hal ini memang oleh perancang
Model Law sengaja dibuat demikian. Perancang Model Law sebenarnya
berharap bahwa di kemudian hari ada perkembangan pengaturan yang khusus
mengenai bidang-bidang lainnya. Sehingga Model Law memuat ketentuan
demikian. Lihat pula para. 11 dan 12 Guide to Enactment. Sebagai contoh
pada tahun 1998, UNCITRAL memasukkan pasal tambahan baru untuk pasal 5
yaitu pasal 5 bis.
17
Pasal 1 Model Law.

(1) prinsip hukum internasional tentang penafsiran;18


(2) kebutuhan-kebutuhan khusus untuk memajukan keseragaman dalam
penerapannya.19
Dalam mengesahkan Model Law ini, para pihak dapat mengubah
atau

menyesuaikan

aturan-aturan

muatan

Model

Law

berdasarkan

kesepakatan, sesuai dengan kebutuhannya, terutama Bab II dan III.


UNCITRAL Model Law memuat dua prinsip pendekatan penting
yang

menjadi

landasan

pengaturannya.

Dua

prinsip

pendekatan

tersebut adalah (i) functional equivalence approach; dan (ii)


technology neutrality approach.
Maksud
secara

functional

fungsinya

komunikasi

equivalence

sama)

elektronik

adalah
memiliki

approach

bahwa

(pendekatan

dokumen

fungsi

dan

dan

yang

komunikasi-

tujuan

yang

sama

20

seperti halnya dokumen-dokumen kertas dan komunikasi.


Maksud

technology

kenetralan

suatu

elektronik

diperlakukan

neutrality

teknologi)
sama

berarti

approach
bahwa

terhadap

(pendekatan

suatu

komunikasi

teknologi

komunikasi

elektronik lainnya. Dengan demikian persyaratan-persyaratan umum


untuk dianggap sebagai teknologi berlaku secara umum.21

18

Cf., lihat Bab III di atas mengenai sumber-sumber hukum perdagangan


internasional. Dalam hal mengenai penafsiran, hukum internasional telah
memberi aturan mengenai penafsiran dalam Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum Perjanjian (the Vienna Convention on the Law of Treaties of
1969).
19
Pasal 3 UNCITRAL Model Law tidak secara tegas menjelaskan apa yang
dimaksud dengan kebutuhan-kebutuhan khusus ini. Tetapi dalam Guide to
Enactment kita dapat pahami bahwa yang dimaksud dengan kebutuhankebutuhan khusus tersebut tidak lain adalah Model Law itu sendiri. Para.
5 Guide to Enactment berbunyi sebagai berikut: ... Furthermore, at an
international level, the Model Law may be useful in certain cases as a
tool for interpreting existing international conventions and other
international instruments that create legal obstacles to the use of
electronic commerce, for example by prescribing that certain documents
or contractual clauses be made in written form. As between those States
parties to such international instruments, the adoption of the Model Law
as a rule of interpretation might provide the means to recognize the use
of electronic commerce and obviate the need to negotiate a protocol to
the international instrument involved. (Huruf tebal oleh penulis).
20
Para. 16 Guide to Enactment; Sanson, Op.cit., hlm. 145.
21
Sanson, Op.cit., hlm. 145.

Pada intinya muatan UNCITRAL Model Law memuat ketentuanketentuan umum berikut:
(1)

suatu data elektronik seperti halnya dokumen-dokumen hukum


lainnya harus mengikat secara hukum;

(2)

suatu data elektronik dapat berisikan informasi yang dapat


digunakan sebagai referensi;

(3)

suata

data

elektronik

adalah

suatu

tulisan

untuk

tujuan

hukum, apabila dapat diakses sebagai referensi di kemudian


hari;
(4)

suatu data elektronik mencakup suatu tanda tangan, apabila


dapat diidentifikasi orang yang mengirim pesan tersebut dan
indikasi bahwa orang tersebut telah menyetujui informasi
dalam data tersebut;

(5)

suatu

data

elektronik

merupakan

suatu

dokumen

asli

(original) apabila informasi yang dikandung dapat secara


terpercaya dipertahankan dalam bentuk aslinya; dan
(6)

suatu pertukaran data elektronik dapat menimbulkan suatu


penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) dan karenanya
membentuk suatu kontrak yang sah.22

22

Mieke Komar Kantaatmadja, Pengaturan Kontrak Untuk Perdagangan


Elektronik (E-Contracts), dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, et.al.
(eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: ELIPS, 2002, hlm. 3-4
(mengacu kepada Gerald R. Ferrera, et.al., Cyber Law, Ohio: SouthWestern College, 2001, hlm. 363.

10

2. Penerapan Persyaratan Hukum Terhadap Pesan Data


Bab 2 Model Law diawali dengan judul Penerapan Persyaratan
Hukum terhadap Pesan Data. Bab ini diawali dengan pasal 5 yang
juga dianggap sebagai inti dari Model Law. Pasal ini mengakui
akibat hukum, keabsahan dan dapat dipaksanakannya informasi dalam
bentuk pesan/data elektronik (electronic message) yang digunakan
dalam transaksi-transaksi dagang.23
Model

Law

meletakkan

aturan-aturan

hukum

mengenai

kapan

suatu pesan data elektronik (electornic data messages) memenuhi


persyaratan hukum mengenai syarat "tertulis", tanda tangan atau
keasliannya (original). Ketiga syarat ini termuat dalam pasal 6
8 Model Law. Dan ketiga pasal tersebut harus dibaca bersama-sama
(satu kesatuan).24
Maksud

dari

pengaturan-pengaturan

ini

adalah

untuk

memecahkan masalah pembuktian, khususnya bukti-bukti dokumen atau


persyaratan dokumen asli dalam sistem hukum di dunia. Model Law
mengakui

atau

memperbolehkan

dokumen-dokumen

elektronik

ini

sebagai bukti yang diakui keabsahannya (menurut hukum).

a. Syarat Tertulis
Persyaratan hukum tertulis terpenuhi oleh adanya pesan data
ini apabila informasi yang terkandung di dalamnya dapat diakses
("accessible") setiap saat. Selain itu pula, pesan data tersebut
selanjutnya atau dapat digunakan dan dirujuk sebagai referensi
(bahan acuan) selanjutnya.25
b. Syarat Tanda Tangan
Persyaratan tanda tangan terpenuhi oleh adanya pesan data
apabila:
(1) si

pembuat

(originator)

dapat

mengenali

informasi

terdapat di dalamnya oleh suatu metode tertentu; dan


23
24

Pasal 5 UNCITRAL Model Law.


Para. 47 Guide to Enactment.

yang

11

(2) Metoda

tertentu

tersebut

dapat

diandalkan

dan

layak

untuk

(penampilan)

atau

26

dapat mengetahui pesan data tersebut.


c. Syarat Keaslian
Persyaratan

hukum

dari

presentasi

penyimpanan suatu informasi dalam bentuk aslinya terpenuhi pada


suatu pesan data, apabila:
(1) Terdapat

jaminan

mengenai

integritas

informasi

pada

waktu

pertama kali dituangkan dalam bentuk akhir sebagai suatu pesan


data; dan
(2) informasi

dapat

ditampilkan

kepada

suatu

pihak

yang

disyaratkan untuk ditampilkan terhadapnya.


Integritas

suatu

informasi

ditentukan

berdasarkan

pada

sifat pesan data tersebut yaitu, bahwa informasi tersebut tetap


atau tidak berubah. Jadi di sini yang ditekankan adalah status
atau kestabilan muatan dari pesan data tersebut. Model Law di
sini mensyaratkan bahwa pesan data atau data elektronik tersebut
harus tidak dapat diubah.
Model Law melihat ke-3 syarat ini cukup sulit sebab syarat
keaslian suatu dokumen dari suatu pesan data sudah barang tentu
sangat

berbeda

disyaratkan

denga

untuk

dokumen-dokumen

transaksi-transaksi

asli

yang

tertentu,

pada

umumnya

misalnya

akte

tanah, polis asuransi, dll. Dokumen-dokumen tertulis terakhir ini


relatif agak sulit untuk dipalsukan atau diubah oleh salah satu
pihak. Hal ini berbeda dengan pesan data atau data elektronik.
Oleh karena itu, pendekatan yang ditempuh oleh Model Law
adalah

mengenakan

persyaratan

minim

(minimum

requirement),

seperti tampak dalam pasal 8 tersebut di atas. Pendekatan ini


dianggap juga sama sebagai functional equivalent dari suatu
sifat atau tujuan dari keaslian dokumen.27

25
26
27

Pasal 6 UNCITRAL Model Law.


Pasal 7 UNCITRAL Model Law.
Para. 63 dan 64 Guide To Enactment.

12

3. Kekuatan Pembuktian Pesan Data


Model

Law

pembuktian,

secara

tegas

pengadilan

menyatakan

nasional

tidak

bahwa

boleh

untuk

masalah

mempermasalahkan

pesan data ini sebagai bukti semata-mata karena bukti tersebut


terdapat dalam bentuk pesan data.
Pengaturan ini tampaknya sederhana. Tetapi justru inilah
yang akan menjadi masalah khususnya di negara-negara yang secara
tradisional

telah

lama

mengakui

bukti-bukti

konvensional

yang

diakui oleh sistem hukum nasionalnya.28


Kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan nilai-nilai
dari suatu pesan data adalah:
(1) asal dari pesan data, disimpan atau dikomunikasikan;
(2) integritas dari informasi;
(3) dikenalnya si pembuat aslinya (originator);
(4) faktor-faktor lainnya yang relevan dengan informasi.29
4. Penyimpanan Pesan Data
Manakala suatu informasi atau dokumen disimpan dan dibuka
(ditampilkan)
kritieria
(record

melalui

atau

media

syarat-syarat

retention)

dan

elektronik,
hukum

Model

mengenai

penampilannya

Law

meletakkan

penyimpanan
30

(kembali).

data

Kriteria-

kriteria ini adalah:


(1) informasi yang terkandung di dalamnya dapat diakses sehingga
dapat digunakan untuk rujukan (referensi) selanjutnya;

28

Di Indonesia misalnya, tidaklah gampang untuk menyatakan bahwa data


elektronik dapat dijadikan bukti sebagaimana dinyatakan dalam UNCITRAL
Model Law tersebut. Cf., lihat Danrivanto Budhijanto, Op.cit., hlm. 67
(mengungkapkan kemungkinan timbulnya masalah dalam pembuktian pesan
data elektronik sebagai alat bukti, yaitu: (1) pesan data tidak banyak
berbeda dari salinan pesan itu sendiri; (2) pesan data tidak terdapat
tanda tangan; (3) pesan data itu tidak termuat dalam secarik kertas
(paperless); dan (4) masih dimungkinkannya penipuan pesan data); Cf.,
masalah-masalah dalam e-commerce, supra, khususnya Sanson, op.cit.,
hlm. 144.
29
Pasal 9 UNCITRAL Model Law.
30
Pasal 10 UNCITRAL Model Law.

13

(2) pesan data disimpan dalam format yang sama dengan semula,
dikirim

atau

diterima,

atau

dalam

bentuk

yang

dapat

ditampilkan sehingga informasi yang akurat sejak awal, dikirim


atau diterima; dan
(3) informasi

tersebut

disimpan

guna

memungkinkan

atau

mengidentifikasi asal mula dan tujuan dari suatu pesan data,


dan tanggal dan waktu data tersebut dikirim atau diterima.

5. Komunikasi Pesan Data


Bab III menguraikan aturan-aturan mengenai masalah-masalah
kontraktual yang timbul dalam penggunaan teknologi komputer dalam
transaksi internasional. Maksud Bab ini sebenarnya tidak untuk
mempermasalahkan hukum mengenai pembentukan suatu kontrak. Bab
ini hanya menyinggung isu-isu pembentukan kontrak dan bagaimana
para pihak dalam kontrak dapat mengemukakan offer dan acceptance
mereka dalam kontrak melalui berbagai cara (khususnya melalui
sarana elektronik).
Tujuan

Bab

hubungan-hubungan
secara

ini

adalah

komersial

elektronik.

Dengan

untuk
dan

menciptakan

kepercayaan

tujuan

ini

kepastian

dalam

dalam

perdagangan

diharapkan

perdagangan

internasional dapat berkembang.


Model Law bermaksud menghapus keragu-raguan yang mungkin
timbul

dari

elektronik

pengungkapan
tersebut.

offer

Masalahnya

dan

acceptance

adalah

melalui

penyampaian

sarana

kehendak

(offer dan acceptance) tersebut tidak diungkapkan secara langsung


oleh para pihak tetapi diungkapkan melalui cara lain (yaitu
komunikasi elektronik dan tidak adanya dokumen tertulis).31

31

Para. 76 Guide to Enactment.

14

6. Bentuk dan Keabsahan Kontrak


Model
autonomy)
membuat

Law
dan

mengakui
kebebasan

kontrak

mereka

prinsip

otonomi

berkontrak.
melalui

para

Para

offer

pihak
dan

pihak

(party

berhak

acceptance

untuk
yang

32

dinyatakan oleh cara-cara elektronik.


Pembuatan
mengikat

(valid

kontrak
and

melalui

enforceable

e-commerce
33

contract).

adalah

sah

Penegasan

dan

tentang

keabsahan berkontrak ini ditegaskan dalam pasal 11 ayat (1) yang


berbunyi:
(1) In the context of contract formation, unless otherwise
agreed by the parties, an offer and the acceptance of an
offer may be expressed by means of data messages. Where a
data message is used in the formation of a contract, that
contract shall not be denied validity or enforceability on
the sole ground that a data message was used for that
purpose.
Begitu

pula

suatu

pernyataan

kehendak

atau

pernyataan

lainnya yang dinyatakan dalam bentuk suatu pesan data oleh si


pembuat

(originator)

suatu pesan harus

dan

alamat

si

mempunyai akibat

penerima

(addressee)

hukum, keabsahan

dari

dan daya

mengikatnya (enforceability).34

32

Dilihat dari syarat-syarat yang ditetapkannya, tampak bahwa Model Law


lebih cenderung mengacu kepada syarat-syarat sahnya suatu kontrak
berdasarkan sistem Common Law. Berdasarkan Common Law, syarat sahnya
suatu kontrak adalah: (1) kesepakatan para pihak untuk mengikatkan
diri. Syarat ini mencakup: (a) adanya suatu penawaran (offer) dari
pihak offeror sebagai pihak pertama; (b) adanya penyampaian penawaran
tersebut kepada offeree sebagai pihak kedua; (c) adanya penerimaan
penawaran oleh pihak kedua yang menyatakan kehendaknya untuk terikat
pada persyaratan dalam penawaran tersebut; dan (d) adanya penyampaian
penerimaan (acceptance) oleh pihak kedua kepada pihak pertama; (2)
Consideration (something of value) yang dipertukarkan antara para
pihak; (3) kecakapan untuk membuat perjanjian; dan (4) suatu obyek yang
halal. (Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 4-5; mengutip Henry R.
Cheeseman, Business Law, Prentice Hall, hlm 180-181).
33
Pasal 11 UNCITRAL Model Law.
34
Pasal 12 UNCITRAL Model Law. Pasal ini disusun pada tahap akhir
perumusan Model Law. Pasal ini dibuat untuk menegaskan prinsip dari
akibat dari suatu kontrak yang sah. (Para. 81 Guide to Enactment).

15

7. Pengakuan terhadap Pesan Data


Masalah

pengakuan

terhadap

pesan

data

menjadi

relevan

manakala timbul masalah mengenai apakah suatu pesan data benarbenar dikirim oleh si pembuat asli (originator). Untuk menjawab
masalah ini Model Law memberi jawabannya dalam pasal 13.35 Pasal
ini menyatakan bahwa suatu pesan data dianggap berasal dari orang
yang membuatnya manakala:
(1) pesan data tersebut dikirim oleh: (a) pihak pembuat sendiri;
(b) orang yang memiliki wewenang atau kuasa untuk bertindak
atas

nama

pihak

originator

(pembuat

asli)

atau

(c)

suatu

sistem informasi yang terprogram oleh atau atas nama pihak


pembuat

asli

(originator)

untuk

mengoperasikannya

secara

otomatis;
(2) bahwa

pihak

persetujuan

penerima
mengenai

(addressee)

suatu

prosedur

sebelumnya
untuk

memberikan

memastikan

bahwa

suatu pesan data berasal dari pembuat asli (originator); atau


(3) bahwa pesan data yang diterima oleh pihak penerima (addressee)
berasal dari tindakan-tindakan agent dari pembuat asli yang
memungkinkan agent tersebut untuk memperoleh akses terhadap
suatu

metoda

yang

digunakan

oleh

pihak

originator

untuk

36

mengidentifikasi data-data sebagai miliknya.

Ketentuan terakhir pasal 13, yaitu ayat (6) memuat aturan


mengenai duplikasi pesan data yang salah. Ayat ini meletakkan
kewajiban kepada pihak penerima untuk melakukan tindakan kehatihatian (standard of care) untuk membedakan apakah suatu pesan
data duplikasi yang keliru (salah) dan pesan data yang terpisah
(separate data message). Model Law dalam hal ini menyatakan
35

Bunyi pasal ini sebenarnya mengacu kepada pasal 5 dari Model Law
UNCITRAL mengenai transfer kredit internasional (UNCITRAL Model Law on
International
Credit
Transfer).
Pasal
ini
meletakkan
kewajibankewajiban dari pengirim dalam melakukan tansfer kredit. (Para. 83 Guide
to Enactment).
36
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 429. Maksud utama pasal ini bukan untuk
menentukan siapa yang akan bertanggung jawab tetapi untuk memberi
kriteria mengenai pengiriman pesan-pesan data denga menetapkan suatu
praduga kapan suatu pesan data berasal dari pengirim asli (originator).
[CEK APA BENAR INI PENJELASANNYA, BUKANNYA MASUK KE FN No 35].

16

bahwa pihak penerima (addressee) berhak untuk menduga bahwa suatu


pesan

data

berasal/milik

pemilik

asli

yang

bermaksud

untuk

mengirimnya kepadanya. Pihak penerima berhak untuk memperlakukan


setiap pesan data yang diterimanya sebagai suatu pesan data yang
terpisah, kecuali pesan data tersebut adalah atau berupa salinan
dari

yang

aslinya

tersebut.

Namun

si

penerima

menjadi

tidak

berhak manakala:
(1) ia telah menerima pemberitahuan dari originator (pihak pembuat
asli) bahwa pesan datanya bukan berasal darinya, dan waktu
yang layak tidak digunakannya untuk pesan data; atau
(2) ia

mengetahui

atau

seharusnya

telah

mengetahui

dengan

menggunakan tata cara dan prosedur yang disepakati bahwa: (a)


pesan data tidak berasal dari pembuat asli (originator); (2)
transmisi

pengirim

pesan

merupakan salinan.37

37

Pasal 13 UNCITRAL Model Law.

data

gagal;

atau

(c)

pesan

data

17

8. Pengakuan Penerimaan
Ketentuan mengenai pengakuan penerimaan suatu pesan data
semata-mata merupakan masalah persyaratan mengenai adanya bukti
bahwa offer telah diterima. Masalah ini bukan mengenai akibat
hukum dari adanya penerimaan suatu pesan data (dalam hal ini
adalah offer).38
Pihak
mengirim

originator

suatu

(addressee),

data

bahwa

dapat

atau

meminta

telah

penerimaan

pada

setuju

pesan

saat

dengan

data

atau
pihak

diakuinya

sebelum
penerima

dan

bahwa

mereka masing-masing sepakat mengenai bentuk khusus atau metode


tertentu untuk maksud itu.
Dalam hal tidak adanya bentuk atau metode, suatu pengakuan
dapat diberikan oleh setiap alat komunikasi tertentu itu, yang
cukup untuk menunjukkan kepada originator bahwa pesan data telah
diterima.
penerima

Jika

pesan

pengakuan,

data
maka

dibuat
pesan

dengan
data

persyaratan

dianggap

mengenai

tidak

pernah

dikirimkan sampai pengakuan telah diterima.


Dalam hal tidak adanya persyaratan atau kesepakatan yang
ditentukan/disepakati,

orginator

yang

belum

menerima

suatu

pengakuan dapat memberikan pemberitahuan dalam jangka waktu yang


layak kepada pihak penerima bahwa ia akan mengirim pemberitahuan
kepada pihak penerima. Dan dengan memberikan jangka waktu yang
layak, ia mengharapkan penerimaan pengakuan dari penerima.
Kelalaian
bahwa

pesan

untuk

data

memenuhi

dianggap

jangka

belum

waktu

pernah

ini

akan

dikirim

dianggap

oleh

pihak

39

originator.

Dalam hal suatu pengakuan diterima oleh pihak originator,


asumsinya adalah bahwa pesan data diterima oleh pihak penerima.
Apabila pengakuan menunjukkan bahwa pesan data diterima telah
38

Para. 93 Guide to Enactment. Lihat pula Rafiqul Islam, Op.cit., hlm.


430; lihat pula Assafa Endeshaw, op.cit., hlm. 254 (beliau menyatakan
bahwa Model Law tidak mengatur
... which party will have the rights
and which party bears the liabiities in the specific contractual
arrangement).
39
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 429.

18

memenuhi standar atau persyaratan teknis yang berlaku, asumsinya


adalah bahwa standar dan persyaratan-persyaratan tersebut telah
terpenuhi.
9. Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data
Model Law mengangkat masalah waktu dan tempat pengiriman
dan penerimaan pesan data ini dalam pasal 15. Diaturnya masalah
ini sebab transaksi-transaksi melalui elektronik ini sangatlah
sulit untuk menentukan kapan secara pasti mengenai di mana dan
kapan salah satu pihak telah menerima suatu pesan data.
Seperti

kita

maklumi

dalam

sistem

hukum

pada

umumnya,

termasuk RI, kapan terjadinya kesepakatan dan dimana kesepakatan


terjadi adalah faktor-faktor yang relevan yang dapat mempengaruhi
terjadinya suatu perikatan.
Kesulitan

transaksi

melalui

elektronik

ini

adalah

bahwa

salah satu pihak tidak tahu di mana pihak lainnya berada. Apa
yang diupayakan oleh Model Law di sini adalah bahwa lokasi di
mana sistem informasi berada tidaklah relevan. Model Law hanya
menyatakan bahwa kriteria obyektif untuk menentukan tempat adalah
tempat usaha para pihak. Oleh karena itu ketentuan pasal mengenai
waktu dan tempat tidak menjadi acuan bagi pengaturan dalam hukum
perdata internasional.40
Menurut pasal 15 Model Law, suatu pesan data dianggap telah
dikirim
informasi

ketika
di

pesan
luar

data

kontrol

tersebut
dari

memasuki

originator

suatu

atau

agen

sistem
yang

disepakati untuk bertindak atas namanya. Waktu penerimaan suatu


pesan data terjadi karena keadaan-keadaan berikut:
(1) Segera setelah pesan data memasuki suatu sistem informasi yang
dibuat/ditetapkan oleh pihak penerima (addressee) untuk maksud
menerima pesan data tersebut;
(2) Jika pesan data dikirim kepada suatu sistem informasi dari
pihak penerima yang tidak dibuat/ditetapkan untuk maksud itu,

40

Para. 100 Guide to Enactment.

19

maka penerimaan suatu pesan data terjadi segera setelah pesan


data dibuka (retrieved) olehnya; dan
(3) Jika tidak ada sistem informasi yang dibuat/ditetapkan oleh
pihak

penerima,

maka

waktu

penerimaan

pesan

data

terjadi

segera setelah pesan data memasuki sistem informasi dari pihak


penerima.41
Aturan-aturan
informasi

dan

ini

tempat

berlaku

di

mana

meski

pesan

lokasi

data

dari

tersebut

sistem

yang

akan

diterima ternyata berbeda. Tempat pengiriman dan penerimaan pesan


data

adalah

tempat

usaha

dari

pihak

originator

dan

juga

si

penerima (addressee).42
Dalam hal terdapat lebih dari satu tempat usaha (place of
business),

tempat

usaha

adalah

tempat

yang

memiliki

hubungan

terdekat (closest link) dengan transaksi yang bersangkutan. Dalam


hal tidak ada hubungan terdekat tersebut, maka tempat usahanya
adalah tempat usaha pokoknya (the principal place of business).
Dalam hal tidak adanya tempat usaha, maka pengiriman dan
penerimaan suatu pesan data akan berlangsung di tempat kediaman
biasanya (their habitual residence). Namun demikian baik pihak
originator dan pihak penerima (addressee) dapat menyepakati untuk
membuat aturan-aturan tersendiri bagi mereka. Para pihak tidak
perlu untuk menetapkan kriteria-kriteria tersebut di atas.

41

Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 430.


Perlu untuk dikemukakan di sini bahwa suatu pesan data tidak boleh
dipertimbangkan isinya apabila pesan data tersebut sekedar sampai pada
sistem informasi si penerima, tetapi gagal untuk masuk ke dalamnya.
Dalam hal ini Model Law tidak secara tegas mengatur masalah kemungkinan
tidak berfungsinya (rusaknya) sistem informasi sebagai dasar untuk
lahirnya tanggung jawab, khususnya manakala sistem informasi penerima
tidak berfungsi sama sekali atau berfungsi tetapi ada kerusakan atau
meskipun dapat berfungsi dengan baik namun tidak dapat dimasuki oleh
adanya pesan data. Karena itu pengiriman berdasarkan Model Law tidak
terjadi. (Para. 104 Guide to Enactment).

42

20

10. Bagian II: Obyek Tertentu: Pengiriman Barang


Bagian I Model Law di atas memuat aturan-aturan umum dari
e-commerce. Dalam bagian kedua sekarang ini, Model Law memuat
aturan-aturan khusus mengenai pengiriman barang yang dilakukan
melalui

pesan

data

melalui

sistem

komunikasi

komputer

(elektronik). Informasi yang dikomputerkan dapat digunakan dalam


hubungannya dengan suatu kontrak pengiriman barang dan dokumendokumen pengangkutan terkait.
Perlu

ditekankan

di

sini

bahwa

bagian

dua

ini

sifatnya

tidaklah eksklusif atau berdiri sendiri. Aturan dalam bagian I,


khususnya

aturan-aturan

mengenai

persyaratan

tertulis,

tanda

tangan dan keaslian suatu dokumen (pasal 6 8 Model Law) juga


berlaku terhadap bagian II ini.43
Pasal 16 memuat daftar mengenai hal-hal pesan data secara
elektronik (electronic data message) yang dapat berlaku. Daftar
tersebut adalah:
(1) pemberian tanda, angka, jumlah dan berat barang;
(2) memuat sifat atau nilai barang;
(3) penerbitan surat penerimaan untuk barang;
(4) perintah kepada kapal pengangkut;
(5) klaim pengiriman barang;
(6) perintah/kuasa untuk melepaskan barang
(7) memuat pemberitahuan mengenai hilang atau kerusakan terhadap
barang;
(8) memberikan

pemberitahuan

lainnya

mengenai

pelaksanaan

kontrak;
(9) upaya

untuk

mengirim

barang

kepada

orang

yang

telah

ditentukan atau seseorang yang mengklaim pengiriman; dan

43

Model Law menyatakan: ... Part two of the Model Law does not in any
way limit or restrict the field of application of the general
provisions of the Model Law. (Para. 109 Guide to Enactment).

21

(10) hal-hal lain yang terkait dengan hak atas barang, hak dan
kewajiban berdasarkan kontrak.44
11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading)
Pasal

17

memuat

aturan-aturan

untuk

memfasilitasi

penggunaan bill of lading elektronis yang dapat digunakan untuk


moda-moda

pengangkutan

lainnya

di

samping

pengangkutan

laut.

Termasuk di dalamnya moda angkutan melalui jalan raya, kereta


api, dan pengangkutan udara.45
Persyaratan hukum mengenai syarat tertulis dan penggunaan
suatu dokumen kertas, dapat terpenuhi dengan penggunaan satu atau
lebih pesan data. Model Law hanya mensyaratkan bahwa metode atau
cara pengiriman pesan data tersebut dapat diandalkan.
Model

Law

mengakui

dokumen-dokumen

pengangkutan

secara

elektronik ini. Dalam Model Law ternyata yang menjadi aturan(aturan)

khusus

di

sini

baru

atau

hanya

dokumen

pengangkutan

(laut, darat, kereta api, udara).


Dilihat
bahwa

Model

dari
Law

kata
masih

yang

digunakannya,

melihat

adanya

yaitu

kemungkinan

areas,

jelas

pengaturan-

pengaturan untuk bidang-bidang khusus lainnya di samping dokumen


pengangkutan secara elektronik (e-bill of lading).

44

Daftar-daftar di atas tidak bersifat sebagai ilustrasi semata. Daftar


tersebut juga tidak hanya untuk sektor pengangkutan laut (maritim),
tetapi juga moda-moda angkutan lainnya (Para. 122 Guide to Enactment).
45
Para. 110 Guide to Enactment.

22

12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi


a. Tanda Tangan Digital (Digital Signature)
Di samping Model Law 1996 tersebut di atas, UNCITRAL telah
pula

secara

aktif

merancang

aturan-aturan

untuk

tanda

tangan

digital dan pejabat verifikasi. Untuk itu, UNCITRAL membentuk


suatu badan khusus, yaitu UNCITRAL Working Group.
Sejak

bulan

mempersiapkan

Februari

1997,

aturan-aturan

'Certifying

Authority'

UNCITRAL

mengenai

(CA

atau

Working

'digital

Group

telah

signature'

pejabat

atau

dan

lembaga

sertifikasi). Pembentukan kelompok kerja ini sebagai implementasi


dari pasal 7 Model Law 1996.
Digital

signature

adalah

sejumlah

karakter

alphanumerik

yang dihasilkan dari operasi matematik dan kriptografi.46 Hingga


saat

ini

"cryptography"

masih

dipandang

cara

terbaik

untuk

memproteksi data dari kemungkinan perubahan-perubahan yang tidak


diinginkan.47
Cryptography

telah

digunakan

secara

umum.

Penggunaannya

acapkali didasarkan pada penggunaan fungsi-fungsi 'algorithmic'


(algoritma).
saja.

Pada

prinsipnya

Cryptography

mengubah

cara

kerja

informasi

cryptograhy

menjadi

sederhana

kode.

Pengirim

mengirim informasi melalui kode-kode. Penerima kode (informasi)


kemudian

membuka

mengirim-menerima

kode
code,

tersebut

untuk

dilakukan

dapat

dengan

membacanya.

menggunakan

Dalam

kunci.

dan

untuk

Kunci ini tidak lain adalah angka-angka.


Satu

kunci

mengkonfirmasi

digunakan

digital

untuk

signature

menerjemahkan
(kunci

data

privat

atau

private

keys).
Kunci lainnya, yaitu kunci publik (public keys), digunakan
untuk meverifikasi suatu tanda tangan digital dari pesan yang
kembali ke bentuk aslinya (public key).48
46

Danrivanto Budhijanto, Op.cit., hlm. 67.


Danrivanto Budhijanto, Op.cit., hlm. 67.
48
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431; Danrivanto Budhijanto, op.cit.,
hlm. 68 dan 72; Sanson, op.cit., hlm. 144.
47

23

b. Certification Authority
Certification

Authority

(CA)

adalah

konsep

yang

baru

berkembang, yakni suatu provider jasa pihak ke-3 yang netral dan
independen. CA mengeluarkan serifikat 'untuk menghubungkan suatu
kunci dengan si penandantangan. CA juga bertugas mendaftarkan
suatu

public

key

bersama-sama

dengan

nama

dari

pelanggan

(pengguna) sertifikat sebagai 'subyek' sertifikat.


Dengan

dimulainya

diskusi

secara

umum

mengenai

isu

yang

dibahas, Working Group mempersiapkan teks-teks mengenai aturanaturan seragam pada akhir 1997. Aturan-aturan hukum seragam ini
disahkan oleh Working Group pada sidangnya yang ke-32 di Wina
pada tangggal 19-30 Januari 1998. UNCITRAL mengesahkannya pada
sidangnya yang ke 31 di New York, pada tanggal 1 - 12 Juni 1998.
Aturan-aturan hukum seragam ini antara lain mengatur ruang
lingkup berlakunya aturan (Bab I), tanda tangan elektronik (Bab
2),

pejabat

sertifikasi

dan

isu-isu

terkait

(Bab

3),

dan

pengakuan tanda tangan elektronik asing (Bab 4).49

49

Digital Signatures, Certification Authorities and Related Legal


Issues, Doc. Nos. A/CV.9/WG.IV/WP/73 dan A/CN.9/457); Rafiqul Islam,
Op.cit., hlm. 431.

24

D. Penutup
UNCITRAL telah menempuh suatu pendekatan fungsional dalam
Model Law. UNCITRAL tidak menempuh upaya menyusun kembali aturanaturan

yang

ada

untuk

mengakomodasi

e-commerce.

Namun

yang

dilakukan UNCITRAL adalah menemukan pemecahan secara teknis untuk


memenuhi persyaratan-persyaratan hukum yang ada (dengan sedikit
penyesuaian).

Misalnya,

masalah

integritas

dan

keaslian

(authenticity) dari suatu pesan data dari tanda tangan elektronis


telah diselesaikan dengan penggunaan metode cryptography.50
Di

samping

penggunaan

cryptography,

sebenarnya

apa

yang

Model Law sumbangkan secara signifikan adalah pengakuan hukum


terhadap

data.51

pesan

semata-mata

menetapkan

Endeshaw
legal

mentakan

bahwa

recognition

Model

of

Law

data

ini

message

transmitted via electronic or other form.


Oleh karena itulah mengapa beberapa negara telah membuat
rancangan

UU-nya

mengenai

perdagangan

secara

e-commerce

ini

dengan didasarkan kepada seluruh atau sebagian ketentuan dari


Model

Law

ini.

Termasuk

antara

lain

Amerika

Serikat

dalam

'Uniform Commercial Code'-nya, the Illinois Electronic Commerce


Security
Signature.

Act,

dan

the

Malaysia

Danish

telah

Bill

for

mengundangkan

an

Act

on

Digital

perundang-undangannya

mengenai electronic commerce dan tanda tangan digital. Negaranegara lainnya telah pula mempertimbangkan UU nasionalnya untuk
bidang electronic commerce dan tanda tangan digital ini. Sejak
bulan

Oktober

elektronik-nya

1997,
di

Inggris

pasar

telah

modalnya

memperkenalkan

(Stock

Exchange).

perdagangan
Di

Jerman

telah pula mengundangkan the Digital Signature Ordinance pada


tahun 1997 (mulai berlaku pada tanggal 1 November 1997).52

50

Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431.


Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431.
52
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431; lihat pula: Mieke Komar
Kantaatmadja, op.cit., hlm. 3 dan 9 (mengungkapkan upaya Amerika
Serikat dan Uni Eropa dalam mempersiapkan aturan-aturan hukum di bidang
e-commercenya).
51

25

Salah

satu

tantangan

yang

dihadapi

Indonesia

adalah

menyikapi hadirnya e-commerce ini. Sebenarnya masalah utamanya


adalah sederhana, aturan hukum RI hanya perlu mengakui keabsahan
transaksi-transaksi melalui e-commerce.53
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah pengakuan terhadap
data elektronik sebagai alat bukti di hadapan pengadilan. Alat
bukti yang diakui hukum Indonesia adalah: (1) bukti tulisan; (2)
bukti

saksi-saksi;

(3)

persangkaan-persangkaan;

(4)

pengakuan;

dan (5) bukti sumpah.54 Bukti data elektronik hingga tulisan ini
dibuat belum ada pengakuan.55
Sebagai

perbandingan,

Cina. Pada bulan

negara

berkembang

lainnya

adalah

Maret 1999, Cina mengeluarkan hukum kontrak

yaitu the Contract Law of the Peoples Republic of China. UU


tahun 1999 ini menyatakan bahwa tulisan dapat berupa berbagai
wujud atau bentuk, termasuk tulisan-tulisan yang disimpan secara
visual

(visually

recorded).

Dalam

pengertian

tersebut

yang

tercakup ke dalamnya adalah kontrak-kontrak elektronik. Karena


kontrak-kontrak tersebut dapat dilihat, maka kontrak demikian
sah menurut hukum kontrak Cina.

53

Cf., Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 1 (pengakuan ini perlu


untuk menciptakan kepastian hukum dalam bertransaksi melalui e-commerce
di Indonesia).
54
Pasal 1866 BW dan 154 HIR.
55
Sebenarnya UU kita secara tidak langsung mengakui dokumen perusahaan
sebagai alat bukti tertulis otentik. UU Nomor 8 tahun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan telah mengakui adanya data elektronik ini. (Lihat
lebih lanjut: Isis Ikhwansyah, Prinsip-prinsip Universal Bagi Kontrak
Melalui E-Commerce dan Sistem Hukum pembuktian Perdata dalam Teknologi
Informasi, dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 33).

26

DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Munir, Cyber Law: Policies and Challenges, Malaysia,
Singapore, Hong kong: Butterworths Asia, 1999.
Danrivanto Budhijanto, Aspek Hukum Digital Signature dan
Certification
Authority
dalam
Transaksi
E-Commerce,
dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, et.al. (eds.), Cyber Law:
Suatu Pengantar, Jakarta: Elips, 2002.
Endeshaw, Assafa, Internet and Ecommerce Law, Singapore: prentice
Hall, 2001.
Isis Ikhwansyah, Prinsip-prinsip Universal Bagi Kontrak Melalui
E-Commerce dan Sistem Hukum pembuktian Perdata dalam
Teknologi Informasi, dalam: Mieke Komar Kantaatmadja,
et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: Elips,
2002.
Islam, Rafiqul, International Trade Law, London: LBC, 1999.
Mieke Komar Kantaatmadja, Pengaturan Kontrak Untuk Perdagangan
Elektronik (E-Contracts), dalam: Mieke Komar Kantaatmadka,
et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: Elips,
2002.
Mieke Komar Kantaatmadja, et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu
Pengantar, Jakarta: Elips, 2002.
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to
Enactment, 1996, with additional Article 5 bis as adopted in
1998.

BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Transaksi-tansaksi

atau

hubungan

dagang

banyak

bentuknya.

Dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan


barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dll.
Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.
Umumnya

sengketa-sengketa

dagang

kerap

didahului

oleh

penyelesaian oleh negosiasi. Manakala cara penyelesaian ini gagal


atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti
penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.1
Penyerahan

sengketa

baik

kepada

pengadilan

maupun

ke

arbitrase kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di antara


para

pihak.

suatu

Langkah

perjanjian

yang

atau

biasa

ditempuh

memasukkan

adalah

suatu

dengan

klausul

membuat

penyelesaian

sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik


ke pengadilan atau ke badan arbitrase.2
Yang menjadi dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian
sengketa

yang

akan

menangani

sengketa

adalah

kesepakatan

para

pihak. Kesepakatan inilah hukum. Kesepakatan tersebut diletakkan


baik

pada

waktu

kontrak

ditandatangani

atau

setelah

sengketa

timbul.
Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini
akan

berakibat

pada

kesulitan

Karena,

dengan

adanya

menjadi

alasan

yang

dalam

kekosongan

kuat

bagi

penyelesaian

pilihan

setiap

forum

forum

sengketanya.
tersebut

untuk

akan

menyatakan

dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa.

Gerald Cooke, Disputes Resolution in International Trading, in:


Jonathan Reuvid (ed)., The Strategic Guide to International Trade,
London: Kogan Page, 1997, p. 193.
2
Pada umumnya di samping menyepakati lembaga atau forum yang akan
menyelesaikan sengketa, para pihak perlu juga menyepakati hokum apa yang
akan diterapkan oleh badan peradilan yang baru disepakati para pihak.
(Gerald Cooke, op. cit., p. 193).

Lazimnya
konsep

'long

dalam
arm'

sistem

hukum

jurisdiction.

(Common
Dengan

Law)

dikenal

konsep

ini,

dengan

pengadilan

dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang


dibawa ke hadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan
sengketa
Amerika
yang

tersebut
Serikat

para

keterkaitan

tipis

dan

pihak

sekali.3

Inggris

serahkan

sengketa

Misalnya,

kerapkali

selalu

kehadapannya

dengan

badan

badan

menerima

meskipun

peradilan

peradilan

di

sengketa

hubungan

sangatlah

atau

kecil.

Misalnya, pihak termohon memiliki usaha di Amerika Serikat atau


dalam kontrak tersebut secara tegas atau diam-diam mengacu kepada
salah satu negara bagian Amerika Serikat atau hukum Inggris.4
Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihak
dapat

pula

menyerahkan

sengketanya

kepada

cara

alternatif

penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (alternative


dispute resolution) atau APS (alternatif penyelesaian sengketa).5
Pengaturan
samping

alternatif

pengadilan.

di

sini

Bisa

juga

dapat

berupa

berarti

cara

alternatif

altrnatif

di

penyelesaian

secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang


para pihak dapat gunakan, termasuk alternatif penyelesaian melalui
pengadilan.6
Biasanya

pula

dalam

klausul

tersebut

dimasukkan

atau

dinyatakan pula hukum yang akan diterapkan oleh badan penyelesaian


sengketa.

3
Bandingkan pula dengan prinsip hukum di Indonesia, bahwa badan peradilan
tidak boleh menolak setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya.
4
Gerald Cooke, op. cit., p. 194.
5
Gerald Cooke, op. cit., p. 194.
6
Penulis berpandangan pada yang luas ini. Kata alternatif mencakup semua
alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan para pihak,
termasuk di dalamnya pengadilan.

B. Para Pihak dalam Sengketa


Bab 3 memuat beberapa stake-holders atau subyek hukum dalam
hukum

perdagangan

individu,

dll.

pembahasan

internasional,

Dalam

dibatasi

individu)

dan

uraian
pada

negara.

yaitu

negara,

berikut,

pihak

Karena

para

pihak

pedagang
sifat

perusahaan
yang

(badan

dari

menjadi

hukum

hukum

atau
atau

perdagangan

internasional adalah lintas batas, pembahasan pun dibatasi hanya


antara 1. pedagang dan pedagang; dan 2. Pedagang dan negara asing.
Ad. 1. Sengketa antara pedagang dan pedagang.
Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang sering dan
paling banyak terjadi. Sengketa seperti ini terjadi hampir setiap
hari.

Sengketanya

diselesaikan

melalui

berbagai

cara.

Cara

tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para


pihak.
Kesepakatan

dan

kebebasan

akan

pula

menentukan

forum

pengadilan apa yang akan menyelesaian sengketa mereka. Kesepakatan


dan

kebebasan

pula

yang

akan

menentukan

hukum

apa

yang

akan

diberlakukan dan diterapkan oleh badan pengadilan yang mengadili


sengketanya.
Kesepakatan dan kebebasan para pihak adalah esensil. Hukum
menghormati
tentu,

kesepakatan

kesepakatan

Biasanya

dan

batas-batas

dan

kebebasan

kebebasan

tersebut

tersebut.

tersebut

adalah

ada

tidak

Sudah

barang

batas-batasnya.

melanggar

UU

dan

ketertiban umum.
Ad.2. Sengketa antara pedagang dan negara asing
Sengketa
kekecualian.

antara

pedagang

Kontrak-kontrak

dan

negara

dagang

antara

juga

bukan

pedagang

merupakan

dan

negara

sudah lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak seperti ini biasanya


dalam
adalah

jumlah

(nilai)

yang

kontrak-kontrak

relatif

besar.

pembangunan

Termasuk

(development

Misalnya, kontrak di bidang pertambangan.

di

dalamnya

contracts).

yang menjadi masalah adalah adanya konsep imunitas negara


yang diakui hukum internasional. Dengan adanya konsep iimunitas
inilah yang sedikit banyak berpengaruh terhadap keputusan pedagang
untuk menentukan penyelesain sengketanya. Masalah utamnya adalah
dengan

adanya

konsep

imunitas

ini,

suatu

negara

dalam

situasi

apapun, tidak akan pernah dapat diadili di hadapan badan-badan


peradilan asing.
Namun demikian hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum
internasional tidak semata-mata mengakui atribut negara sebagai
subyek hukum internasional yang sempurna (par excellence). Hukum
internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subyek
hukum internasional terbatas.
Karena itu dalam hukum internasional berkembang pengertian
jure imperii dan jure gestiones. Yang pertama adalah tindakantindakan negara di bidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu
negara yang berdaulat. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu
tidak

akan

pernah

dapat

diuji

atau

diadili

di

hadapan

badan

peradilan.
Konsep kedua, jure gesiones, yaitu tindakan-tindaka negara di
bidang

keperdataan

seperti

itu

kapasitasnya
Sehingga

tidak

atau

dagang.

lain

adalah

seperti

Karena

tindakan-tindakan

tindakan-tindakan

orang-perorangan

tindakan-tindakan

itu,

seperti

(pedagang

itu

dapat

negara
atau

dianggap

dalam

privat).
sebagai

tindakan-tindakan sebagaimana layaknya para pedagang biasa. Karena


itu

tindakan-tindakan

seperti

itu

yang

kemudian

menimbulkan

sengketa, dapat saja diselesaikan di hadapan badan-badan peradilan


umum, arbitrase, dll.
Sebaliknya

negara-negara

yang

mengajukan

bantahannya

bahwa

suatu badan peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili


neggara

sebagai

pihak

dalam

sengketa

bisnis,

biasanya

ditolak.

Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure gestiones ini.7


7

Lihat selanjutnya, Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum


Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3, 2002, hlm. 255 et.seq.

C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa


Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di
sini

prinsip-prinsip

mengenai

penyelesaian

sengketa

perdagangan

internasional.
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental
dalam

penyelesaian

sengketa

perdagangan

internasional.

Prinsip

inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu


proses penyelesaian sengketa.
Prinsip

ini

pula

penyelesaian

sengketa

prinsip

sangat

ini

dapat

menjadi

yang

sudah

esensial.

dasar

apakah

berlangsung

Badan-badan

suatu

proses

diakhiri.

peradilan

Jadi

(termasuk

arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati.


Termasuk dalam lingkup pengertian kesepaktan ini adalah:
(1)

bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya
menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya;

(2)

bahwa

perubahan

kesepakatan
kesepakatan

atas

kedua
atau

kesepakatan

belah

revisi

pihak.

terhadap

harus

berasal

Artinya,

muatan

dari

pengakhiran

kesepakatan

harus

pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.

2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa


Prinsip

penting

kedua

adalah

prinsip

dimana

para

pihak

memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau


mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free
choice of means).
Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The UNCITRAL
Model

Law

on

International

Commercial

Arbitration.

Pasal

ini

memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian


penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini

penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau


perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan
arbitrase

haruslah

berdasarkan

pada

kebebasan

para

pihak

untuk

memilihnya.9
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak
untuk

menentukan

sengketanya
terhadap

sendiri

hukum

diselesaikan)

pokok

sengketa.

apa

oleh

yang

badan

Kebebasan

akan

diterapkan

peradilan

para

pihak

untuk

(bila

(arbitrase)
menentukan

hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan


(ex aequo et bono).10
Yang

terakhir

ini

adalah

sumber

di

mana

pengadilan

akan

memutus sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan


atau

kelayakan

suatu

penyelesaian

sengketa.

Contoh

kebebasan

memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah pasal
28

ayat

(1)

UNCITRAL

Model

Law

on

International

Commercial

Arbitration:
The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance
with such rules of law as are chosen by the parties as
applicable to the substance of the dispute. Any designation
of the law or legal system of a given State shall be
construed, unless otherwise expressed, as directly referring
to the substantive law of that State and not to its conflict
of laws rules.

Cf., Pasal 1338 KUH Perdata Indonesia.


Pasal 7 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbtration:
Arbitration Agreement is an agreement by the parties to submit to
arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise
between them in respect of a defined legal relationship , whether
contractual or not. An arbitration agreement may be in the form of an
arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement.
10
Pasal 38:2 Statuta Mahkamah Internasional: "This provision shall not
prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if
the parties agree hereon."
9

4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)


Prinsi

itikad

fundamental

dan

baik

paling

dapat

sentral

dikatakan
dalam

sebagai

penyelesaian

prinsip
sengketa.

Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari


para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.
Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua
tahap.

Pertama,

prinsip

itikad

baik

disyaratkan

untuk

mencegah

timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik


di antara negara.
Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak
menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa
yang

dikenal

dalam

hukum

(perdagangan)

internasional,

yakni

negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau caracara pilihan para pihak lainnya.11
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir
dari

prinsip

merumuskan

hukum

pengaturan

Internasional

PBB

kebiasaan
mengenai

(International

internasional.
prinsip
Law

ini,

Commission)

Dalam

upayanya

Komisi

Hukum

memuat

aturan

khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC Draft


Articles on State Responsibility. Pasal 22 ini menyatakan sebagai
berikut:
When the conduct of a State has created a situation not in
conformity with the result of it by an international
obligation concerning the treatment too be accorded to
11

Dalam instrumen-instrumen hukum internasional, prinsip ini jarang


sekali ditemui. Hal ini mungkin disebabkan karena sulitnya patokan yang
dapat
digunakan
untuk
mengukur
sesuatu
pihak
telah
atau
tidak
melaksanakan sesuatu perbuatan dengan itikad baik. Dalam hukum naisonal,
prinsip ini antara lain tampak dalam pasal 1338 KUH Perdata dan UU Nomor
30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pasal 6 ayat (1) UU No 30 tahun 1999 menyatakan: (1) Sengketa atau beda
pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian
sengketa
yang
didasarkan
pada
itikad
baik
dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

aliens, whether natural or juridical persons, but the


obligation allows that this or an equivalent result may
nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State,
there is a breach of the obligation only if the aliens
concerned have exhausted the effective local remedies
available to them without obtaining the treatment called for
by the obligation or, where that is not possible, an
equivalent treatment.12
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan
bahwa

sebelum

para

pihak

mengajukan

internasional,

maka

langkah-langkah

sengketanya
penyelesaian

ke

pengadilan

sengketa

yang

tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus


terlebih

dahulu

ditempuh

(exhausted).

Dalam

sengketa

the

Interhandel Case (1959), Mahkamah Internasional menegaskan:


"Before resort may be had to an international court... the
state where the violation occured should have an opportunity
to redress it by its own means, within the framework of its
own domestic legal system."13

12

Terkutip dari D.J. Harris, Cases and Materials on International Law,


London: Sweet and Maxwell, 5th.ed., 1998, hlm. 617.
13
Lihat lebih lanjut uraian tentang exhaustion of local remedies ini
dalam tulisan kami: Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum
Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002, hlm. 276 et.seq.

D. Forum Penyelesaian Sengketa


Forum

penyelesaian

sengketa

dalam

hukum

perdagangan

internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal


dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada umumnya.
Forum

tersebut

(inquiry),
hukum

adalah

mediasi,

atau

negosiasi,

konsiliasi,

melalui

penyelidikan

arbitrase,

pengadilan,

atau

fakta-fakta

penyelesaian

cara-cara

melalui

penyelesaian

sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.14


Cara-cara

sengketa

di

atas

telah

dikenal

dalam

berbagai

negara dan sistem hukum di dunia. Cara-cara tersebut dipandang


sebagai
dalam

bagian

sistem

integral

hukumnya.

dari

penyelesaian

Misalnya,

hukum

sengketa

nasional

yang

Ri

diakui

yang

dapat

ditemukan dalam pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase


dan

Alternatif

Penyelesaian

Sengketa.

Negara

lainnya

adalah

15

Amerika Serikat, Inggris dan Australia.

Berikut adalah uraian singkat mengenai forum-forum tersebut.


Tidak semua forum dibahas, tetapi akan dibatasi pada negosiasi,
mediasi,

konsiliasi,

penyelidikan

fakta

pengadilan

(inquiry)

atau

dan

arbitrase.

cara-cara

lainnya

Sedangkan
yang

para

pihak sepakati tidak termasuk dalam bahasan.


1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar
dan yang paling tua digunakan.16

Penyelesaian melalui negosiasi

merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan

14

Cf., pasal 33 Piagam PBB: The parties to any dispute, the continuance
of which is likely to endanger the maintenance of international peace and
security, shall, first of all, seek a solution be negotiation, enquiry,
mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to
regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own
choice. (Huruf tebal oleh kami).
15
Gerald Cooke, op.cit., hlm. 200.
16
W. Poeggel and E. Oeser, "Methods of Diplomatic Settlement," dalam
Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law: Achievements and Prospects,
Paris: UNESCO and Martinus Nijhoff, 1991, hlm. 514.

10

setiap

hari

oleh

negosiasi

ini

tanpa

adanya

publisitas

atau

menarik perhatian publik.17


Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak
dapat

mengawasi

penyelesaiannya
18

para pihak.

prosedur

pun

penyelesaian

didasarkan

pada

sengketanya.

kesepakatan

atau

Setiap

konsensus

Senada dengan itu Kohona mengatakan bahwa negosiasi

adalah "an efficacious means of settling disputes relating to an


agreement, because they enable parties to arrive at conclusions
having regard to the wishes of all the disputants."

19

Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan


sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak
seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan
ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak
lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi
untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.20
Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi
acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena
sulitnya

permasalahan-prmasalahan

yang

timbul

di

antara

para

pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas


waktu

bagi

para

pihak

untuk

menyelesaian

sengketanya

melalui

21

negosiasi ini.

17

F.V. Garcia-Amador, The Canging Law of International Claims, USA:


Oceana Publications, Inc., 1984, hlm. 518.
18
Peter Behrens, "Alternative Methods of Dispute Settlement in
International Economic Relations," dalam: Ernst-Ulrich Petersmann and
Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Dispute in
International and National Economic Law, Fribourg U.P., 1992.op.cit.,
hlm. 14.
19
Palitha TB. Kohona, , The Regulation of International Economic
Relations
through
Law,
the
Netherlands:
Martinus
Nijhoff
Publ.,
1985op.cit., hlm. 161.
20
G. Malinverni, "The Settlement of Disputes within International
Organizations," dalam Mohammed Bedjaoui, op.cit., hlm. 550; Palitha TB
Kohona, op.cit., hlm. 159.
21
G. Malirveni, "The Settlement of Disputes within International
Organizations," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law:

11

Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras


dengan

pendiriannya.

Keadaan

ini

dapat

mengakibatkan

proses

22

negosiasi ini menjadi tidak produktif.


Mengenai
terdapat

di

pelaksanaan

dalamnya

perlu

negosiasi,
dibedakan

prosedur-prosedur
sebagai

berikut:

yang

pertama,

negosiasi digunakan manakala suatu sengketa belum lahir (disebut


pula sebagai konsultasi); dan kedua, negosiasi digunakan manakala
suatu sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan
proses

penyelesaian

sengketa

oleh

para

pihak

(dalam

arti

negosiasi).

Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers and


UNESCO, 1991, hlm. 159.
22
Palitha TB Kohona, op.cit., hlm. 159.

12

2. Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga.
Ia bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi
atau

dagang.

negosiasi.
netral

Mediator

Biasanya

berupa

ia

ikut

serta

dengan

mendamaikan

para

secara

kapasitasnya
pihak

aktif

dalam

sebagai

dengan

proses

pihak

memberikan

yang
saran

penyelesaian sengketa.23
Usulah-usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat agak tidak
resmi

(informal).

informasi

yang

Usulan

ini

diberikan

dibuat

oleh

berdasarkan

para

pihak.

informasiBukan

atas

24

penyelidikannya.

Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat


tetap melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan
baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari
berbagai

solusi

(penyelesaian),

mengidentifikasi

hal-hal

yang

dapat disepakati para pihak serta membuat usulah-usulan yang dapat


mengakhiri sengketa.25
Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur
khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas
menentukan prosedurnya. Yang penting adalah kesepakatan para pihak
mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya
usulah-usulan

yang

diberikan

oleh

mediator,

sampai

kepada

pengakhiran tugas mediator.


Gerald

Cooke

menggambarkan

kelebihan

mediasi

ini

sebagai

berikut:26
23

W. Poeggel and E. Oeser, op.cit., hlm. 515.


Peter Behrens, op. cit., hlm. 22.
25
ibid., hlm. 23.
26
Gerald Cooke, op. cit., p. 200. Lihat pula Michelle Sanson, Essential
International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002, hlm. 132. (Sanson
menyatakan bahwa mediasi lebih banyak dipraktekkan oleh negara-negara di
Asia khususnya Taiwan dan Vietnam), Hong Kong dan Filipina). Di Indonesia
cara mediasi juga cukup aktif diterapkan untuk sengketa-sengketa bisnis
khususnya oleh pengadilan dan badan arbitrase. Dalam pengadilan dan
24

13

Where mediation is successfully used, it generally provides


a quick, cheap and effective result. It is clearly
appropriate, therefore, to consider providing for mediation
or other alternative dispute resolution techniques in the
contractual dispute resolution clause. (Huruf tebal oleh
penulis).
Cooke

juga

dengan

benar

mengingatkan

bahwa

penyelesaian

melalui mediasi ini tidaklah mengikat. Artinya, para pihak meski


telah

sepakat

namun

mereka

untuk
tidak

menyelesaikan
wajib

atau

senketanya

harus

melalui

menyelesaikan

mendiasi,

sengketanya

melalui mediasi.
Manakala para pihak gagal menyelesaikan sengketanya melalui
mediasi, mereka masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat
yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu pengadilan atau arbitrase.

arbitrase, adalah suatu kewajiban bagi hakim dan arbiter untuk


menawarkan terlebih dahulu kepada para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan
sengketanya
melalui
arbitrase.
Mediasi
juga
aktif
diperkenalkan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan antara
pengusaha dan penduduk setempat.

14

3. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini
adalah

melibatkan

secara

damai.

pihak

ketiga

untuk

dan

mediasi

Konsiliasi

menyelesaikan
sulit

untuk
27

Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian.

sengketanya
dibedakan.

Namun menurut

Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih


formal daripada mediasi.28
Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seroang individu atau
suatu

badan

Komisi

yang

disebut

konsiliasi

(sementara)
persyaratan

bisa

yang

dengan
yang

sudah

berfungsi

penyelesaian

yang

badan

atau

komisi

terlembaga

untuk

atau

menetapkan

diterima

oleh

para

konsiliasi.
ad

hoc

persyaratanpihak.

Namun

putusannya tidaklah mengikat para pihak.29


Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua
tahap: tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang
diuraikan

secara

tertulis)

diserahkan

kepada

badan

konsiliasi.

Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para


pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut,
tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.
Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau
badan

konsiliasi

disertai

akan

dengan

menyerahkan

kesimpulan

laporannya

dan

kepada

usulan-usulan

para

pihak

penyelesaian

sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat.


Karenanya diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya
kepada para pihak.30
Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang
dibentuk

27
28
29
30

oleh

Bank

Dunia

untuk

Sanson, op. cit., hlm. 132.


Peter Behrens, op. cit., hlm. 22.
Peter Behrens, op. cit., hlm. 24.
Peter Behrens, op.cit., hlm. 23.

menyelesaikan

sengketa-sengketa

15

penanaman modal asing, yaitu the


Conciliaiton

Proceedings

ICSID Rules of Procedure for

(Conciliaiton

Rules).31

Namun

dalam

prakteknya, penggunaan cara ini kurang populer.


Sejak berdiri (1966), badan konsiliasi ICSID hanya menerima
dua

kasus.

Kasus

pertama

diterima

pada

Oktober

1982.

(Jadi

selama 16 tahun kosong). Namun sebelum badan konsiliasi terbentuk,


para pihak sepakat mengakhiri persengketaannya.
Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of
Trinidad

and

diselesaikan

Tobago
pada

diterima

tahun

1985

tahun
setelah

1983.32
para

Kasus
pihak

ini

berhasil

sepakat

untuk

menerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsiliator.33

31

Cf. I. Seidl-Hohenveldern,
"General Course on Public International
Law," 198 Recueil des Cours 198 (1986): Sanson, op.cit., hlm. 132-133.
32
ICSID Case No. CONC/83/1.
33
Huala Adolf, The Settlement of Investment Disputes under the ICSID
Arbitration, Thesis, Department of Law, Sheffield University, 1995, hlm.
1.

16

4. Arbitrase.34
a. Mengapa Arbitrase Dipilih?
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada
pihak

ketiga

arbitrase

yang

netral.

terlembaga

atau

Pihak

ketiga

arbitrase

ini

sementara

bisa
(ad

individu,

hoc).

Badan

arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini arbitrase


semakin

banyak

digunakan

dalam

menyelesaikan

sengketa-sengketa

dagang nasional maupun internasional.


Adapun

alasan

utama

mengapa

badan

arbitrase

ini

semakin

banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:


(1) kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama
dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat
daripada proses berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase
tidak dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali
seperti yang kita kenal dalam sistem peradilan kita. Putusan
arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian
ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.
(2) Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase
ini

adalah

sifat

kerahasiaannya.

Baik

kerahasiaan

mengenai

persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.


(3) Dalam

penyelesaian

kebebasan

untuk

melalui

memilih

arbitrase,

hakimnya

para

(arbiter)

pihak
yang

memiliki
menurut

mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa


yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada
kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah
mereka yang tidak saja ahli tetapi juga ia tidak selalu harus
ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia

34

Pembahasan mengenai hal ini lihat lebih lanjut antara lain: Huala
Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, cet.2.,
1994; Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta:
Rajawali pers, 1994.

17

bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi,


ahli perbankan, dll.35
(4) Keuntungan

lainnya

dimungkinkannya

dari

para

badan

arbiter

arbitrase

untuk

ini

menerapkan

adalah

sengketanya

berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak


menghendakinya).36
(5) Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif
lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila
sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan. Hal
ini dapat terwujud antara lain karena dalam lingkup arbitrase
internasional ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu
Konvensi

New

York

1958

mengenai

Pengakuan

dan

Pelaksanaan

37

Putusan Arbitrase Asing.


b. Perjanjian Arbitrase

Dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan


peradilan

tertentu,

termasuk

arbitrase,

termuat

dalam

klausul

penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak. Biasanya judul klausul


tersebut ditulis secara langsung dengan Arbitrase. Kadang-kadang
istilah lain yang digunakan adalah choice of forum atau choice
of jurisdiction.
Kedua
berbeda.

istilah

Istilah

tersebut

choice

of

mengandung
forum

pengertian

berarti

pilihan

yang
cara

agak
untuk

menadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan arbitrase.


Istilah

35

choice

of

jurisdiction

berarti

pilihan

tempat

dimana

Namun dalam praktek, dewan arbitrase yang menangani kasus, peranan ahli
hukum tetap minimal ada dalam komposisi dewan. Misalnya, dalam kasus
terkenal dalam GATT, yaitu the DISC, Panel GATT yang mengadili kasus ini
terdiri dari 2 orang ahli ekonomi dan seorang ahli hukum. Peranan ahli
hukum bagaimana pun juga tetap signifikan dalam proses beracara,
penentuan hak dan kewajiban para pihak dan penentuan prinsip-prinsip
hukum dalam suatu sengketa.
36
Hans Bagner, op.cit., hlm. 173.
37
Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 dengan Keppres Nomor 34
tahun 1981.

18

pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa. Tempat


yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia, dll.38
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan
dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada
arbitrase
atau

suatu

melalui

perjanjian

sengketa

pembuatan

sebelum

yang
suatu

sengketanya

telah

lahir.

klausul
lahir

Alternatif

arbitrase

lainnya,

dalam

(klausul

arbitrase

arbitration

clause

suatu
atau

arbitration clause).
Baik

submission

clause

atau

harus

tertulis. Syarat ini sangat esensial. Sistem hukum nasional dan


internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk
arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam
pasal 1 (3) UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian

Sengketa.

Dalam

instrumen

hukum

internasional,

termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International


Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958.
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase
melahirkan jurisdiksi arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi
kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila
pengadilan

menerima

suatu

sengketa

yang

di

dalam

kontraknya

terdapat klausul arbitrase, maka pengadilan harus menolak untuk


menangani sengketa.39
c. Lembaga-lembaga Arbitrase

38

Gerald Cooke, op.cit., hlm. 194.


Lihat, misalnya, pasal 3 dan pasal 11 UU Nomor 30 tahun 1999; pasal 8
ayat (1) UNCITRAL Model Law mengenai Arbitrase Komersial Internaisonal
1985; dan pasal II ayat (3) Konvensi New York 1958. Pasal II ayat (3)
Konvensi 1958 ini dipandang penting mengingat ketentuan ini dibuat sudah
cukup relatif lama (sejak 1958). Pengakuan kewenangan arbitrase ini dalam
suatu klausul arbitrase ini berbunyi sebagai berikut: 3. The court of a
Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of
which the parties have made an agreement within the meaning of this
article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties
to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void,
inoperative or incapable of being performed.
39

19

Peran

arbitrase

difasilitasi

oleh

adanya

lembaga-lembaga

arbitrase internasional terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya


adalah the London Court of International Arbitration (LCIA), the
Court

of

Arbitration

of

the

International

Chamber

of

Commerce

(ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of


Commerce (SCC).
Di

samping

kelembagaan,

pengaturan

arbitrase

sekarang

ini

ditunjang pula oleh adanya sutau aturan berabitrase yang menjadi


acuan

bagi

banyak

negara

di

dunia,

yaitu

Model

Law

on

International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United


Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL).40

40

Gerald Cooke, op. cit., p. 196.

20

5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)


Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain
cara-cara tersebut di atas adalah melalui pengadilan nasional atau
internasional. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila caracara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.41
Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya
hanya dimungkinkan manakala para pihak sepakat. Kesepakatan ini
tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang
para

pihak.

Dalam

klausul

tersebut

biasanya

ditegaskan

bahwa

manakala timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, maka mereka


sepakat

untuk

menyerahkan

sengketanya

kepada

suatu

pengadilan

(negeri) suatu negara tertentu.


Kemungkinan kedua, para pihak dapat menyerahkan sengketanya
kepada badan pengadilan internasional. Salah satu badan peradilan
yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja adalah WTO. Namun
perlu

ditekankan

di

sini,

WTO

hanya

menangani

sengketa

antar

negara anggota WTO. Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya


suatu pihak (pengusaha atau negara) yang dirugikan karena adanya
kebijakan perdagangan negara lain anggota WTO yang merugikannya.
Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional
(International

Court

of

Justice).

Namun

penyerahan

sengketa

ke

Mahkamah Internasional, menurut hasil pengamatan beberapa sarjana,


kurang begitu diminati oleh negara-negara.42
Sebagai ilustrasi adalah peranan Mahkamah Internasional (the
International
menyelesaikan

41

Court

of

Justice).

sengketa-sengketa

Peranan

ekonomi

Mahkamah

(termasuk

dalam

perdagangan),

Cf. Prinsip exhaustion of local remedies, di atas.


Palith TB. Kohona, op.cit., hlm. 192; Verloren van Themaat, The
Changing Structure of International Economic Law, the Netherlands:
Martinus Nijhoff Publishers, 1981, hlm. 189.
42

21

menurut

Mann,

'suram'.43

sangatlah

Selama

berdiri

(sejak

1945)

sampai tulisan ini dibuat, Mahkamah Internasional hanya mengadili


2

kasus

di

bidang

ekonomi

internasional,

yakni

the

ELSI

Case

antara Amerika Serikat melawan Italia,44 dan the Barcelona Traction


Case antara Belgia melawan Spanyol.45
Sengketa

The

Barcelona

Traction

adalah

sengketa

terkenal.

Dalam sengketa ini sebuah perusahaan Kanada, Barcelona Traction,


Light and Power, Co., didirikan pada tahun 1911. Perusahaan ini
mengoperasilan

pembangunan

dan

pengadaan

tenaga

listrik

Spanyol

memutuskan

di

Spanyol.
Pada

tahun

1968,

pengadilan

perusahaan

tersebut pailit. Keputusan ini ditindak-lanjuti oleh serangkaian


tindakan

dalam

rangka

kepailitan

tersebut.

Pemerintah

Kanada

kemudian turut campur dalam sengketa ini dalam upayanya melindungi


kepentingan

warga

negaranya.

ternyata

pemegang

dimiliki

warga

saham

negara

Masalahnya

mayoritas

Belgia,

yaitu

dalam

menjadi

rumit

perusahaan

sebesar

88

%.

karena
tersebut

Pemerintah

Belgia dalam upaya melindungi warga negaranya yang dirugikan oleh


tindakan pemerintah Spanyol itu membawa sengketanya ke Mahkamah
Internasional. Spanyol menolak gugatan pemerintah Belgia dengan
dalil bahwa Belgia tidak memiliki dasar hukum yang sah (locus
standi)

untuk

membawa

kasus

ini.

Dalam

putusannya,

Mahkamah

Internasional setuju dengan Spanyol.46


Alasan
Internasional

F.A.
ini

Mann

menyatakan

'suram',

pada

'hasil

dasarnya

kerja'

karena

dua

Mahkamah
alasan.

Pertama, kurang adanya penghargaan terhadap fakta-fakta spesifik


mengenai

43

duduk

perkaranya.

Kedua,

kurangnya

keahlian

atau

F.A. Mann, "Foreign Investment in the International Court of Justice:


the ELSI Case," 86 AJIL 92 (1992).
44
1989 ICJ Rep. 15 (Judgment of July 20).
45
1970 ICJ Rep. 3, (Judgment of Feb. 5).
46
Lihat lebih lanjut, D.J. Harris, op.cit., (Cases and Materials on
International Law), hlm. 604, et.seq.

22

kemampuan Mahkamah pada permasalahan-permasalahan bidang (hukum)


ekonomi atau perdagangan internasional.47
Selain itu, pengadilan-pengadilan permanen internasional ini
juga jurisdiksinya kadangkala terbatas hanya kepada negara saja,
misalnya Mahkamah Internasional. Sedangkan kegiatan-kegiatan atau
hubungan-hubungan
subyek-subyek

perdagangan

hukum

internasional

perdagangan

dewasa

internasional

ini

peranan

non-negara

juga

penting.48
Bentuk kedua adalah pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus.
Dibandingkan dengan pengadilan permanen, pengadilan ad hoc atau
khusus ini lebih populer, terutama dalam kerangka suatu organisasi
perdagangan internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup
penting

dalam

menyelesaikan

sengketa-sengketa

yang

timbul

dari

perjanjian-perjanjian perdagangan internasional.49


Contoh yang menonjol adalah peranan badan-badan pengadilan
khusus dalam kerangka GATT (kemudian digantikan oleh WTO), yakni
dengan

adanya

sengketa

badan-badan

ekonomi

panel

internasional

yang

menyelesaikan

antar

sengketa-

negara-negara

anggota

GATT/WTO.
Faktor penting yang mendorong negara-negara untuk menyerahkan
sengketanya kepada badan-badan peradilan seperti ini adalah karena
hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum. Ia bisa saja
seorang ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa. Kedua, adanya
perasaan dari sebagian besar negara yang kurang percaya kepada
suatu badan peradilan (internasional) yang dianggap kurang tepat
untuk

menyelesaikan

sengketa-sengketa

dalam

bidang

perdagangan

internasional.50
47

F.A. Mann, loc.cit.


Cf., I. Seidl-Hohenveldern, op.cit., hlm. 199.
49
Palitha TB Kohona, op.cit., hlm. 197.
50
Cf., Palitha TB Kohona, op.cit., hlm. 152. Cf., supra, mengenai
keengganan
masyarakat
internasional
menyerahkan
sengketanya
kepada
Mahkamah Internasional.
48

23

E. Hukum Yang Berlaku


1. Pengantar
Masalah hukum yang akan diberlakukan atau diterapkan oleh
badan

peradilan

termasuk

arbitrase

adalah

salah

satu

masalah

krusial dalam hukum kontrak internasional, termasuk dalam hukum


perdagangan internasional.51
Masalahnya
kepastian

hukum

adalah

hukum

terutama

yang

bagi

berlaku

badan

ini

peradilan

menjadi
bahwa

penentu

ia

telah

menerapkan hukumnya dengan benar. Dalam hal ini, badan peradilan


tidak mengambil jalan pintas dalam menerapkan suatu hukum terhadap
suatu sengketa yang dibawa ke hadapannya.
Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum (choice of law,
proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari suatu
negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara tesebut
secara

otomatis

yang

berwenang

menyelesaikan

sengketanya.

Yang

terakhir ini disebut juga choice of forum (pembahasan di atas).


Artinya, choice of law tidak sama dengan choice of forum.52
Peran choice of law di sini adalah hukum yang akan digunakan
oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk:
(1) menentukan keabsahan suatu kontrak dagang;
(2) menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak;
(3) menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu
prestasi (pelaksanaan suatu kontrak dagang); dan
(4) menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap
kontrak.53
51

Mauro Rubino-Sammartano, International Arbitration Law, Deventer,


Boston: Kluwer Law, 1990, hlm. 251.
52
Gerald Cooke, op.cit., hlm. 195.
53
Tetapi perlu dicatat di sini bahwa praktek negara (badan peradilannya)
berbeda mengenai pandangannya terhadap choice of law dan choice of forum
ini. Di Inggris dan Wales, pemilihan suatu hukum tertentu, dalam hal ini
hukum Inggris atau Wales, mensyaratkan jurisdiksi pengadilan tersebut
untuk mengadili suatu sengketa. Dasarnya dalah bahwa para pihak dianggap
secara diam-diam telah memilih jurisdiksi (keweangan badan peradilan
Inggris atau Wales) dengan memilih hukum Inggris atau hukum Wales untuk
mengatur kontraknya. (Gerald Cooke, op.cit., hlm. 195).

24

Hukum yang akan berlaku ini dapat mencakup beberapa macam


hukum. Hukum-hukum tersebut adalah:
(1) hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa (applicable
substantive law atau lex causae);
(2) hukum yang akan berlaku untuk persidangan (procedural law);
Hukum yang akan berlaku akan sedikit banyak bergantung pada
kesepakatan para pihak. Hukum yang akan berlaku tersebut dapat
berupa

hukum

nasional

suatu

negara

tertentu.

Biasanya

hukum

nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu


pihak. Cara pemilihan inilah yang lazim diterapkan dewasa ini.
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat
mengenai

salah

satu

hukum

nasional

tersebut,

biasanya

kemudian

mereka akan berupaya mencari hukum nasional yang relatif lebih


netral.
Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum perdagangan
internasional

adalah

menerapkan

prinsip-prinsip

kepatutan

dan

kelayakan (ex aequo et bono). Namun demikian penerapan prinsip ini


pun harus berdasarkan pada kesepakatan para pihak.54
2. Kebebasan Para Pihak
Di atas telah dikemukakan bahwa dalam menentukan hukum yang
akan berlaku, prinsip yang berlaku adalah kesepakatan para pihak
yang didasarkan pada kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian
atau kesepakatan (party autonomy).
Kebebasan

para

pihak

ini

tampaknya

sudah

menjadi

prinsip

hukum umum. Artinya, hampir setiap sistem hukum di dunia, yaitu


Common Law, Civil Law, dll., mengakui eksistensinya.
Bahkan,

praktek

para

pelaku

bisnis

atau

pedagang

melihat

prinsip kebebasan para pihak untuk menetapkan aturan-aturan dagang


yang berlaku di antara mereka, merupakan suatu prinsip yang telah
terkristalisasi.

Prinsip

inilah

yang

antara

lain

melahirkan

prinsip atau doktrin lex mercatoria.


54

Lihat Mauro Rubino-Sammartano, International Arbitration Law, Deventer,


Boston: Kluwer Law and Taxation Publsihers, 1990, hlm. 251-255.

25

Kebebasan dalam memilih hukum yang berlaku ini (lex causae)


sudah barang tentu ada batas-batasnya. Yang paling umum dikenal
adalah bahwa kebebasan memilih hukum tersebut adalah:
(1) tidak bertentangan dengan UU atau ketertiban umum;
(2) kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;55
(3) hanya berlaku untuk hubungan dagang;
(4) hanya berlaku dalam bidang hukum kontrak (dagang);
(5) tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah; dan
(6) tidak untuk menyelundupkan hukum.
Menurut

Cooke,

kebebasan

para

pihak

ini

pun

akan

banyak

dipengaruhi oleh sistem hukum nasional yang akan dipilih (baik


oleh

salah

satu

pihak

atau

kedua

pihak).

Tidak

sekedar

hanya

menentukan hukum suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan apakah


hukum di negara tersebut konsisten atau tidak. Artinya, apakah
hukum di sesuatu negara tertentu sering berubah-ubah tidak. Gerald
Cooke dengan tepas menyatakan sebagai berikut:
The significance of needing to provide for the 'proper' law
is that the parties will frequently prefer to have their
disputes dealt with by a legal system which is perhaps
independent of each of the parties or which is recognised to
have highly sophisticated and consistent trading laws.56
Dalam hukum nasional Indonesia mengenai arbitrase, yaitu UU
Nomor 30 tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak diserahkan
sepenuhnya kepada mereka. Pasal 56 UU tersebut menyatakan:
"(1) Arbiter
atau
majelis
arbitrase
mengambil
putusan
berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan
dan kepatutan.
(2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan
berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin
telah timbul antara para pihak."

55

M. Hulieatt-James and N. Gould, International Commercial Arbitration,


London: LLP, 1996, hlm. 16.
56
Gerald Cooke, op. cit., p. 195.

26

Model Arbitration Law 1985 juga menghormati kebebasan para


pihak untuk memilih hukum yang akan berlaku. Pasal 28 Model Law
menggariskan sebagai berikut:
"(1) The arbitral tribunal shall decide the dispute in
accordance with such rules of law as are chosen by the
parties as applicable to the substance of the dispute. Any
designation of the law or legal system of a given State shall
be construed, unless otherwise expressed, as directly
referring to the substantive law of that State and not to its
conflict of laws rules."
(2) Failing any designation by the parties, the arbitral
tribunal shall apply the law determined by the conflict of
laws rules which it considers applicable.
(3) The arbitral tribunal shall decide ex aequo et bono or
amiable compositeur only if the parties expressly authorized
to do so.
(4) In all cases, the arbitral tribunal shall decide in
accordance with the terms of the contract and shall take into
account
the
usages
of
the
trade
applicable
to
the
transaction.'
Dari kedua instrumen hukum di atas, terdapat beberapa catatan
pinggir yang cukup penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa
kedua instrumen berbeda di dalam hal prioritas pengaturan mengenai
hukum

yang

menekankan

berlaku

terhadap

bahwa

arbitrator

kontrak.
atau

UU

Nomor

badan

30

tahun

arbitrase

1999
harus

menyandarkan pada hukum untuk mengambil putusan. Pasal ini tidak


menentukan

atau

mensyaratkan

bahwa

hukum

yang

akan

diterapkan

tersebut haruslah pilihan hukum para pihak. Sedangkan Model Law


dengan

tegas

menyatakan

bahwa

badan

arbitrase

harus

menerapkan

hukum yang dipilih para pihak. Tampaknya, ketentuan UU Nomor 30


tahun

1999

ini

perlu

disempurnakan

dengan

mengacu

atau

mencantumkan klausul Model Law ini.


Kedua, UU Nomor 30 tahun 1999 membolehkan arbitrator atau
badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo et bono (pasal 56 ayat
1). Ketentuan yang sama dalam Model Law tercantum dalam pasal 28
ayat

3.

Bedanya

adalah,

UU

nasional

kita

tidak

tegas

bahwa

penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan

27

apabila para pihak dengan tegas diperintahkan oleh para pihak.


Penjelasan

pasal

kebebasan...').
kebebasan

56

hanya

Rumusan

untuk

menyebut:

ini

memberikan

tidak

'Dalam
tegas

hal

arbiter

diberi

siapa

yang

memberi

putusan

berdasarkan

keadilan

manakala

para

tidak

dan

kepatutan.
Ketiga,
hukum

yang

nasional

adalah
akan

kita

masalah

berlaku

dan

Model

terhadap
Law

pihak

kontrak.

memuat

Dalam

aturan

yang

hal

memilih
ini,

UU

berbeda.

UU

nasional kita tampaknya menganut jalan pintas. Penjelasan pasal 56


UU

Arbitrase

dan

Alternatif

Penyelesaian

Sengketa

menyebutkan,

apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbitrator


atau

badan

arbitrase

harus

menerapkan

hukum

tempat

arbitrase

dilakukan.
Sedangkan Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak
memilih hukum, maka badan arbitrase atau arbitrator harus mengacu
kepada
perdata

hukum

yang

ditentukan

internasional

berdasarkan

(conflict

of

laws

aturan-aturan
rules)

arbitrator atau badan arbitrase dianggap berlaku.

yang

hukum
oleh

28

F. Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang


1. Pengantar
Masalah pelaksanaan putusan penyelesaian sengketa (khususnya
yang

dibuat

di

luar

negeri)

hingga

kini

masih

menjadi

suatu

masalah yang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena pihak yang
kalah

di

dalam

suatu

sengketa

tidak

jarang

merasa

keberatan

melaksanakan putusan tersebut. Bersamaan dengan itu, pengadilan di


dalam

negeri

pelaksanaan

tersebut
putusan

yang

diharapkan

ternyata

kurang

dapat

membantu

memberikan

proses

respon

yang

konstruktif.
Masalah ini pula yang saat ini menjadi ciri utama kelemahan
dari

putusan-putusan

penyelesaian

sengketa

oleh

badan-badan

penyelesaian sengketa asing. Inti masalahnya adalah dilaksanakan


sutau putusan mencerminkan efektivitas suatu putusan.57
Dalam

bagian

ini,

uraian

akan

melihat

secara

singkat

pelaksanaan putusan dari masing-masing cara penyelesaian sengketa,


yaitu putusan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase
asing dan pengadilan (asing).
2. Pelaksanaan Putusan APS
Penyelesaian

sengketa

melalui

alternatif

penyelesaian

sengketa (APS) memiliki risiko yang cukup tinggi dalam hal pihak
yang

kalah

Pelaksanaan
itikad

baik

tidak

mau

melaksanakan

putusan

melalui

para

pihaknya.

APS

putusan

lebih

Hal

ini

banyak

yang

dikeluarkan.

bergantung

semata-mata

kepada

karena

sifat

putusannya yang sejak awal dilandasi oleh asas konsensuil.


Masalahnya
tersebut

dibuat

berupaya

agar

akan
di

menjadi

luar

putusan

lebih

negeri.
APS

dapat

sulit

Upaya

apabila

pihak

yang

dilaksanakan

putusan

APS

menang

yang

semakin

sangat

bergantung kepada itikad baik ini. Tidak ada kepastian hukum kapan
dan apakah pihak yang kalah mau melaksanakan putusan APS tersebut.

57

Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and
Maxwell, 1995, p. 369.

29

3. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)


Pelaksanaan putusan arbitrase asing sudah menjadi isu yang
lama. Masalah ini pula yang menjadi kelemahan utama dari cara
penyelesaian melalui pengadilan atau hakim partikelir ini. Seperti
telah disebut di muka, umumnya yang menjadi kendala dalam masalah
ini adalah pelaksanaan (eksekusi) putusan oleh pihak yang kalah.
Upaya

masyarakat

internasional

dalam

mengurangi

dan

memperbaiki kelemahan ini telah lama dilakukan, yaitu sejak tahun


1927.

Waktu

Jenewa

itu

masyarakat

tentang

Pengakuan

internasional
dan

mengeluarkan

Pelaksanaan

Putusan

Konvensi

Arbitrase.

Konvensi ini kemudian direvisi oleh Konvensi New York 1958.


Sebenarnya

timbulnya

konvensi-konvensi
New

York

seperti
hanya

1958

ini

Konvensi

internasional
ini.

tidak

mengatur

Masalahnya

mengatur

hal-hal

internasional

pelaksanaannya

masalah

pada

merupakan

umumnya,

adalah

ini

saja.

ibarat

oleh

Dalam

dari

Konvensi

internasional

yang

detail.

lingkup

Undang-undang

Peraturan

refleksi

termasuk

konvensi

peraturan-peraturan

pokoknya

dijabarkan

ini

nasional,

Pokok

Pemerintah,

Ia

yang

Keputusan

Presiden, dan seterusnya (implementing legislation-nya).


Kalau di dalam lingkup nasional ada hierarki pengaturan yang
jelas, sebaliknya dalam lingkup internasional tidak ada. Masinmasing negara memiliki cara melaksanakan implementing legislationnya. Keadaan demikian jelas menambah ruwetnya masalah pelaksanaan
suatu putusan arbitrase asing.58
Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and
Enforcement

of

Foreign

Arbitral

Awards)

ditandatangani

10

Juni

1958 di kota New York. Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni
1959.

58

Konvensi

ini

hanya

mensyaratkan

tiga

ratifikasi

agar

Lihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Karl Heinz Boockstiegel yang
menyimpulkan sebagai berikut: if we now turn to the enforcement of
arbitration awards ... the information collected shows many variations
between national laws. (Karl Heinz Bockstiegel, Arbitration and State
Enterprises, KlUwer Law and Taxation Publishers, 1989, h1m. 50).

30

berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah


ratifikasi ketiga terpenuhi.59
Konvensi

mengandung

16

pasal.

Dari

pasal-pasal

ini

dapat

ditarik 5 (lima) prinsip berikut di bawah ini:


(1) Konvensi

ini

menerapkan

prinsip

pengakuan

dan

pelaksanaan

putusan arbitrase luar negeri dan menempatkan putusan tersebut


pada kedudukan yang sama dengan putusan peradilan nasional.
(2) Konvensi ini mengakui prinsip putusan arbitrase yang mengikat
tanpa perlu dicantumkan dalam putusannya.
(3) Konvensi

ini

menghindari

proses

pelaksanaan

ganda

(double

enforcement process).
(4) Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang
diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan
putusan. Dalam hal ini Konvensi hanya mensyaratkan dua dokumen
saja untuk dapat melaksanakan suatu putusan, yaitu: (a) Dokumen
putusan atau salinannya yang sah dan (b) dokumen perjanjian
arbitrase atau salinannya yang sah (pasal IV).60
(5) Konvensi New York lebih lengkap dan komprehensif daripada hukum
nasional pada umumnya. Konvensi New York di samping mengatur
pelaksanaan,

juga

mengatur

pengakuan

(recognition)

terhadap

61

suatu putusan arbirase asing.


Indonesia

adalah

anggota

Konvensi

New

York

melalui Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981, 5

dengan

aksesi

Agustus 1981.

Aksesi ini didaftar di Sekretaris Jenderal PBB 7 Oktober 1981.

59

Lihat, pasal XII Konvensi.


Rene David berpendapat bahwa pasal ini memberi keuntungan kepada pihak
yang menang di dalam memohon eksekusi karena ia cukup menunjukkan dua
dokumen
tersebut
kepada
Pengadilan
(Rene
David,
Arbitration
in
International Trade, Netherlands: Kluwer, 1985, h1m. 96).
61
Samir Saleh, "The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards in the States of the Arab Middle East", dalam Julian DM Lew,
(ed)., Contemporary Problems in International Arbitration, Netherlands:
Martinus Nijhoff Publ., 1986, h1m. 344.
60

31

3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan


Masalah

pelaksanaan

putusan

pengadilan

juga

masih

menjadi

masalah yang cukup serius. Pengadilan adalah refleksi kedaulatan


negara

dalam

karenanya

mengadili

tidak

sesuatu

secara

otomatis

sengketa.
dapat

Putusan

dilaksanakan

pengadilan
di

wilayah

kedaulatan negara lain.


Untuk supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan di suatu
negara lain, ada dua kemungkinan berikut:
(1) menyidangkan kembali kasus tersebut dari awal sebagai suatu
sengketa

baru

di

pengadilan

tersebut

(di

mana

putusan

dimintakan pelaksanaannya);
(2) pelaksanaan
dilaksanakan
negara,

putusan
apabila

dimana

pengadilan

di

negara-negara

pelaksanaa

putusan

suatu
yang

negara
terkait

dimintakan)

dapat
(ke-dua

terikat

baik

apda suatu perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral


mengenai pelaksanaan putusan pengadilan di bidang sengketasengketa dagang (padanan kata asingnya yaitu sengketa-sengketa
komersial).
Untuk hal yang pertama, sudah barang tentu sulit. Prosesnya
jadi

panjang

yang

akan

dan

berlarut-larut.

dikeluarkan

untuk

Belum

proses

lagi

pertimbangan

tersebut.

Biasanya

biaya
proses

berperkara di pengadilan di luar negeri tidaklah murah. Belum lagi


timbul ketidak-pastian apakah putusannya akan sama dengan putusan
yang dikeluarkan oleh badan peradilan sebelumnya.
Untuk hal yang kedua, adalah alternatif yang cukup layak.
Sayangnya,

perjanjian-perjanjian

perjanjian
bilateral
dalam

bilateral
dapat

hal

dan

ditemukan

pengakuan

dan

regional
di

seperti
di

antara

pelaksanaan

Eropa

ini

Barat.

negara-negara
putusan

baru

berupa

Perjanjian
Eropa

pengadilan

Barat
secara

bilateral.62

62

Hans Van Houtte, op. cit., p. 356. (Biasanya perjanjian bilateral ini
memuat hal-hal yang tidak tercakup dalam Perjanjian Regional mengenai

32

a. Konvensi Brussel 1968


Perjanjian

regional

di

Eropa

Barat

mengenai

pelaksanaan

putusan pengadilan ini adalah the Convention on Jurisdiction and


the

Enforcement

(Konvensi

of

Judgment

Brussel),

27

in

Civil

september

and

1968.

Commercial

Konvensi

Matters

Brussel

ini

beranggotakan Belgia, Belanda, Luxembourg, Perancis, Jerman, dan


Italia). Selanjutnya negara-negara yang bergabung adalah Inggris,
Irlandia, dan Denmark (1978), Spanyol dan Portugal (26 Mei 1989).
Konvensi Brussel bertujuan:
(1) mengatur jurisdiksi pengadilan di negara-negara anggotanya;
(2) memperkenalkan

prosedur

sederhana

untuk

pengakuan

dan

otentik

dari

pelaksanaan putusan; dan


(3) mengatur

pengakuan

terhadap

dokumen-dokumen

negara-negara anggotanya.63
b. Konvensi Lugano 1988
Konvensi kedua yaitu the Convention on Jurisdiction and the
Enforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters (Konvensi
Lugano)

ditandatangani

anggota

Konvensi

ini

di

Lugano,

adalah

12

16

negara

September
Masyarakat

1988.

Negara

Eropa

dan

negara anggota European Free Trade Area (EFTA) yaitu Finlandia,


Islandia, Norwegia, Austria, Swedia dan Swis.
Tujuan

Konvensi

ini

adalah

sama

dengan

Konvensi

Brussel,

yaitu mendorong pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan di


antara negara anggotanya. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan halhal yang tidak diatur dalam Konvensi Brussel.64

masalah pelaksanaan putusan dagang oleh pengadilan di antara negaranegara anggota Konvensi Brussel dan Konvensi Lugano, lihat infra).
63
Hans Van Houtte, op. cit., p. 355.
64

Hans Van Houtte, op. cit., p. 356 (menurut Houtte, hal lain yang
membedakannya adalah bahwa Konvensi Lugano tidak memberikan jaminan
penafsiran yang seragam dibandingkan dengan Konvensi Brussel. Houtte,
op.cit., hlm. 356).

33

G. Penutup
Dari

uraian

internasional

di

memberi

atas

tampak

kebebasan

bahwa

dan

hukum

peluang

yang

perdagagan
cukup

besar

kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Dalam kebebasan


memilih cara-cara penyelesaian sengketa termasuk pula kebebasan
untuk

memilih

sengketa.

hukum

Untuk

yang

kedua

akan

diterapkan

hal

ini

untuk

badan

menyelesaikan

peradilan

harus

menghormatinya.
Mengenai forum penyelesaian sengketa yang tersedia, tampak
masing-masing

memiliki

kekuatan

dan

kelemahannya.

Baik

itu

APS

atau pengadilan masing-masing memiliki cirinya. Hal inilah yang


perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh para pihak yang hendak
menyelesaikan sengketanya.
Mengenai

kebebasan

para

pihak

untuk

menentukan

hukumnya,

faktor yang penting adalah kestabilan hukum tersebut. Di dalam


pengertian
tersebut.

ini

adalah

Selain

pendekatan

itu

yang

menyelesaikannya.

pengetahuan
pula

perlu

diterapkan
Seperti

para

terhadap

diperhatikan

badan

diuraikan

pihak

di

praktik

peradilan
atas,

hukum

para

dan

yang

akan

pihak

perlu

menyadari adanya praktik yang berbeda-beda antara badan peradilan


di suatu negara dengan badan peradilan di negara lainnya.
Pertimbangan
adalah

penting

pertimbangan

lainnya

kemungkinan

yang
dapat

justru
atau

sangat

esensial

tidak

dapatnya

dilaksanakannya putusan (ekseskusi). Kegagalan atau kealpaan untuk


mempertimbangkan faktor ini akan membuat upaya-upaya penyelesaian
sengketa

yang

tidak berarti.

dipilih

berdasarkan

kebebasan

para

pihak

menjadi

34

DAFTAR PUSTAKA
Bagner, Hans, Dispute Settlement, dalam: Julian D.M. Lew and
Clive Stanbrook (eds.), International Trade: Law and Practice,
London: Euromoney, 1983.
Beherens, Peter, "Alternative Methods of Dispute Settlement in
International
Economic
Relations,"
dalam:
Ernst-Ulrich
Petersmann and Gunther Jaenicke, Adjudication of International
Trade Dispute in International and National Economic Law,
Fribourg U.P., 1992.
Cooke, Gerald, Disputes Resolution in International Trading,
dalam:
Jonathan
Reuvid
(ed.),
The
Strategic
Guide
to
International Trade, London: Kogan Page, 1997.
David, Rene, Arbitration in International Trade, Netherlands:
Kluwer, 1985.
Garcia-Amador, F.V., The Canging Law of International Claims, USA:
Oceana Publications, Inc., 1984.
Harris, D.J., Cases and Materials on International Law, London:
Sweet and Maxwell, 5th.ed., 1998.
Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet
and Maxwell, 1995.
Huala Adolf, The Settlement of Investment Disputes under the
ICSID Arbitration, Thesis, Department of Law, Sheffield
University, 1995.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali
Pers, cet.2., 1994.
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional,
Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002.
Hulieatt-James
M.,
and
N.
Gould,
International
Commercial
Arbitration, London: LLP, 1996.
Islam, M. Rafiqul, International Trade Law, Sydney: LBC, 1999.
Kohona, Palitha TB., , The Regulation of International Economic
Relations through Law, the Netherlands: Martinus Nijhoff
Publ., 1985.
Malirveni, G., "The Settlement of Disputes within International
Organizations," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International
Law: Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff
Publishers and UNESCO, 1991.
Mann, F.A., "Foreign Investment in the International Court of
Justice: the ELSI Case," 86 AJIL 92 (1992).
Poeggel W., and E. Oeser, "Methods of Diplomatic Settlement,"
dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law: Achievements
and Prospects, Paris: UNESCO and Martinus Nijhoff, 1991.

35

Rubino-Sammartano, Mauro, International Arbitration Law, Deventer,


Boston: Kluwer Law and Taxation Publsihers, 1990.
Saleh, Samir, "The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards in the States of the Arab Middle East", dalam Julian DM
Lew,
(ed).,
Contemporary
Problems
in
International
Arbitration, Netherlands: Martinus Nijhoff Publ., 1986.
Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney:
Cavendish, 2002.
Seidl-Hohenveldern, I., "General Course on Public International
Law," 198 Recueil des Cours 198 (1986).
Themaat, Verloren van, The Changing Structure of International
Economic Law, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers,
1981.

Anda mungkin juga menyukai