Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh
Merdeka ( GAM ), maka dilahirkanlah Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh ( UUPA ). UUPA merupakan harapan baru bagi masyarakat aceh untuk
mewujudkan kesejahteraan dalam perdamaian abadi. Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan
Aceh ( UUPA ) merupakan satu tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya
bagi masyarakat Aceh , karena dengan Undang-Undang ini tercurah harapan untuk terciptanya
perdamaian yang langgeng, menyeluruh, adil, dan bermartabat, sekaligus sebagai wahana
pelaksanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera. UUPA
sendiri terdiri dari 40Bab dan 273 Pasal.
Berdasarkan undang undang otonomi khusus aceh dan UUPA, dalam hubungannya dengan
syariat islam, maka ketentuan ketentuan hukum islam yang berkatitan dengan hukum private
seperti perkawinan, zakat, tetap berlaku. Adapun ketentuan dengan hukum public dalam hal ini
jinayat (hukum pidana islam) sampai saat ini belum lah berlaku, disebabkan rancangan undang
undang tentang Qanun jinayat dari DPRA (Tingkat provinsi aceh) belum lah ditandatangani oleh
gubernur. Adapun ketentuan hukum public antara lain Qanun maisyir (judi), khamar (minuman
keras), khalwat (mesum) sudah ditandatangani oleh gubernur sebagai Qanun yang dinyatakan
berlaku di aceh.
Dalam hubungannya dengan syariat islam di aceh, mahkamah syariah aceh pada tingkat
provinsi dan mahkamah syariah pada tingkat kota madya/kabupaten merupakan lembaga yang
berwenang megadili perkara perkara pelanggaran berkaitan dengan Qanun yang sudah
ditandatangani.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal hal tersebut di atas maka dapat lah diketahui rumusan masalah sebagai
berikut
1. Apakah Syariat islam di aceh berlaku sebagai Hukum Positif?
2. Bagaimanakah pelaksanaan Hukuman cambuk di Aceh?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN SYARIAT ISLAM


Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk kaum
muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Quran maupun dengan sunnah Rasul.1
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) syariat islam secara harfiah adalah jalan
(ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslum, syariat merupakan
jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun
suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.2
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan atau hukum
yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan
alam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam AL-quran maupun hadis dengan tujuan
terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat.
Dalam hunbungannya dengan syariat islam yang berlaku di aceh, dapatlah dijelaskan
lembaga lembaga yang memiliki wewenang sebagai berikut :
a.

Dinas syariat islam.


Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 feb 2002. Lembaga inilah yang

mengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan
penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di NAD.

1 Muhammad Yusuf Musa, islam: suatu kajian komprehensif. rajawali press. Jakarta.
1998, h3
2 Nurhafni dan maryam, pro dan kontra penerapan syariat islam di NAD, Jakarta.
2006, h3

b. Majelis permusyawaratan ulama (MPU)


Lembaga ini merupakan suatu lembaga independen sebagai suatu wadah bagi ulama-ulama
untuk berinteraksi, berdiskusi, melahirkan ide-ide baru di bidang syariat. Kaitannya dalam
pelaksanaan syariat islam adalah lembaga ini bertugas memberikan masukan pertimbangan,
bimbingan dan nasehat serta saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam,
baik kepada pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.
c. Wilayatul hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenang memberitahu dan mengingatkan
anggota anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada yang harus di ikuti, cara
menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta perbuatan yang harus di hindari karena
bertentangan dengan peraturan.
d. Mahkamah syariah.
Mahkamah syariah merupakan pengganti pengadialan agama yang sudah di hapuskan.
Mahkamah ini akan mengurus perkara muamalah (perdata), jinayah (pidana) yang sudah ada
Qanunnya. Pendek kata lembaga ini adalah pengadilan yang akan mengadili pelaku pelanggaran
syariat islam. Tingkat kabupaten dibentuk mahkamah syariah dan tingkat provinsi mahkamah
syariah provinsi yang diesmikan pada tahun 2003 (dalam alyasa abu bakar, 2004 dan 2006).

B. PENGERTIAN QANUN
Qanun adalah peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah aceh dan disahkan oleh DPR
yang di tanda tangain oleh Gubernur (Tingkat propinsi) dan bupati atau walikota pada daerah
tingkat dua. Dasar berlakunya Qanun adalah undang undang tentang otonomi khusus Aceh,
Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syariyah akan melaksanakan
syariat islam yang di tuangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Qanun merupakan peraturan

yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di
Aceh3
Adapun Qanun yang telah diberlakukan antara lain :
1. Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah. Ibadah dan
syariat islam.
2. Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang
mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin
untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang mem[roduksi khamar
dijatuhi hukuman tazir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan
dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp.
25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3. Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
4. Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).
5. Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.

3 Al Yasa' Abubakar, bunga rampai pelaksanaan syariat islam (pendukung Qanun


pelaksanaan syariat islam). Banda Aceh. 2004, h 4

BAB III
PEMBAHASAN

A. SYARIAT ISLAM SEBAGAI HUKUM POSITIF DI ACEH


Syariat islam di aceh berlaku sebagai hukum positif sejak zaman kerajaan aceh Darussalam
yang mencapai puncak kejayaan pada jaman sultan iskandar muda. Syariat islam tersebut berlaku
dalam seluruh aspek kehidupan bernegara baik berdasarkan hukum private yang meliputi Fiqih,
yaitu berkaitan dengan kewajiban secara perorangan, maupun hukum public yang berupa hukum
pidana islam (Jinayat), maisyir (Judi), khamar (minuman keras), maupun khalawat yaitu berduaduaan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mukhrim.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18
tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek
ajaran islam.
Seiring dnegan berjalannya waktu sampai dengan era kemerdekaan Negara republic
Indonesia, aceh dinyatakan oleh pemerintah pusat sebagai daerah istimewa yang memberlakukan
hukum islam sebagai hukum positif atau hukum yang seharusnya (ius constituendum) yang
meliputi maisyir (Judi), khamar (minuman keras), dan khalawat. Namun pada kenyataannya
tidak menjadi hukum yang berlaku (ius constitutum), hal inilah yang memicu masyarakat aceh
menuntut diberlakukannya kembali hukum islamn dan sebagai salah satu penyebab aceh untuk
merdeka.
Dari seluruh rangkaian sejarah tuntutan masyarakat aceh akhirnya pemerintah pusat
memberikan otonomi khusus berdasarkan undang undang otsus yang disebut undang undang
pemerintahan aceh (UUPA). Dan pada akhirnya pemerintah daerah aceh atau yang disebut
pemerintah aceh membuat peraturan daerah yang disebut Qanun dan secara resmi menjadikan
hkum islam sebagai hukum positif yaitu hukum public yang meliputi maisyir (Judi), khamar
(minuman keras), dan khalawat.

Proses pelaksanaan hukum public tersebut di atas dilaksanakan oleh polisi syariat dan polri
sebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan pengadilan agama yang
disebut sebagai mahkamah syariah sebagai yang berwenang mengadili. Dengan ancaman
hukuman cambuk bagi para pelanggarnya.

B. PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK DI ACEH


Setelah berlakunya hukum pidana islam yang meliputi meliputi maisyir (Judi), khamar
(minuman keras), dan khalawat (mesum), bagi pelaku tindak pidana diatas yang telah diutus oleh
mahkama syariah dan dinyatakan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maka
pelaksanaan putusan mahkamah syariah akan dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum dan
dibantu oleh algojo (tukang cambuk) yang dilaksanakan dihalaman masjid sesudah shalat jumat.
Pelaksanaan hukum cambuk tersebut dihadir oleh poara penegak hukum, dan masyarakat
aceh yang ingin menyaksikannya. Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku
dalam syariat islam NAD. Ketentuan dlam hukum cambuk antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Terhukum dalam kondisi sehat.


Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan

medis, atau terhukum melarikan diri.


g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum
menyerahkan diri atau tertangkap.4
Berdasarkan hukuman cambuk tersebut di atas

harus diakui bahwa kesadaran hukum

masyarakat aceh semakin meningkat dengan menurunnya angka kriminalitas dan tindak pidana
yang terjadi.
BAB IV
4 Abu Bakar. Al yasa, syariat islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalamparadigma, kebijakan dan kegiatan. Dinas syariat islam, Banda aceh. 2006, h 7

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18
tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek
ajaran islam.
Proses pelaksanaan hukum public tersebut di atas dilaksanakan oleh polisi syariat dan polri
sebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan mahkamah syariah sebagai
yang berwenang mengadili dengan ancaman hukuman cambuk bagi para pelanggarnya.
Setelah berlakunya hukum pidana islam yang meliputi meliputi maisyir (Judi), khamar
(minuman keras), dan khalawat (mesum), bagi pelaku tindak pidana diatas yang telah diutus oleh
mahkama syariah dan dinyatakan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maka
pelaksanaan putusan mahkamah syariah akan dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum dan
dibantu oleh algojo (tukang cambuk) yang dilaksanakan dihalaman masjid sesudah shalat jumat.

B. SARAN SARAN
1. Hukum public teap diberlakukan di aceh dan ditambah pidana islam atau jinayat.
2. Pelaksanaan hukum cambuk di aceh hendaknya dapat menjadikan masyarakat muslim
lainnya untuk memilki kesadaran hukum agar lebih mentaati ketentuan ketentuan yang
berlaku dengan kesadaran yang paling dalam bahwa perbuatan tersebut adalah melanggar
agama.

DAFTAR PUSTAKA

Musa, Muhammad yusuf.1988.islam: suatu kajian komprehensif. Jakarta: rajawali press.


Nurhafni dan maryam.2006. pro dan kontra penerapan syariat islam di NAd. SUWA IV (3):59-66
Abu Bakar. Al yasa.2004. bunga rampai pelaksanaan syariat islam (pendukung Qanun
pelaksanaan syariat islam). Dinas syariat islam : Banda Aceh.
Abu Bakar. Al yasa.2006. syariat islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam-paradigma,
kebijakan dan kegiatan. Dinas syariat islam: Banda aceh.

Anda mungkin juga menyukai