Makalah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Fiqih siyasah 2 Program
Studi Hukum Tata Negara Semester 4
Oleh :
KELOMPOK 6
A.HILAL HIDAYATULLAH
742352019084
MAHDEA TAHIR
742352019076
NURUL FATIMAH CHITRA.H
742352019083
Dosen pembimbing
Ma’adul yaqien makkarateng,M.H.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana berkat rahmat dan taufiq
serta hidaya-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah dalam memenuhi tugas yang di
berikan tepat pada waktunya.
Sholawat serta salam seantiasa kita limpahkan curahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya hingga hari kiamat. Aamiin.
Selanjutnya tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing yang
telah memberikan kami kepercayaan dalam menyampaikan makalah ini.
Pemakalah
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB 1....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
BAB III...............................................................................................................................................12
PENUTUP..........................................................................................................................................12
A. KESIMPULAN......................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................xiii
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
4
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu sistem pemerintahan monarki???
2. Apa latar belakang munculnya sistem monarki dalam islam???
3. Bagaimana pemikiran tentang monarki pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah???
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui sistem pemerintahan monarki
2. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya sistem monarki dalam islam
3. Untuk mengetahui pemikiran tentang monarki pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
namun tidak dari ikatan darah. Bahkan Ali sudah dianggap anak oleh Nabi. Bani
Hasyim selalu memprotes keputusan diangkatnya khalifah selain Ali, karena mereka
tidak rela kursi khalifah diduduki oleh sembarang orang selain keluarga terdekat Nabi
di kalangan suku Quraisy. Dengan demikian ego kesukuan dalam bangsa Arab ikut
melatarbelakangi dijadikannya konsep monarki sebagai sistem pemerintahan Islam.
Namun ego kesukuan jugalah yang mengawali pertikaian dalam Islam dan
menjadikan Ali terbunuh. Setelah itu pula Hasan yang ditunjuk oleh Bani Hasyim
sebagai khalifah berikutnya pun mundur dan membuat kekuasaan yang tadinya
dipegang oleh Bani Hasyim menjadi terlepas dan jatuh ketangan Bani Umayyah
dibawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Dan sejak saat itu pula mulailah ditegakkannya
sistem monarki dalam pemerintahan Islam.
Bentuk monarki absolut banyak di praktekkan pada masa lalu, ketika partisipasi
politik rakyat di batasi atau bahkan tidak di perkenankan sama sekali. Perkembangan
politik yang terjadi, terutama setelah lahirnya Revolusi Industri, menyadarkan rakyat
bahwa mereka memiliki hak asasi yang tidak dapat di anbil alih secara paksa karena
itu berkembang kehendak untuk membatasi kekuasaan Raja agar tidak bersifat mutlak
( Absolut ).
7
Karena kekuasaan raja di batasi oleh undan-undang dasar ( Konstitusi ), maka
bentuk pemerintahan di sebut monarki konstitusional.
Pengalaman beberapa kerajaan berkaitan dengan proses terbentuknya Monarki
Konstitusional dapat di uraikan sebagai berikut.
a) Ada kalanya inisiatif untuk mengubah bentuk menarki absolut menjadi monarki
konstitusional itu datang dari raja sendiri karena di takut kekuasaannya akan
runtuh.
Contoh :Jepang dengan hak octrooi.
b) Adakalanya monarki absolut berubah menjadi monarki konstitusional karena
adanya desakan dari Rakyat atau terjadi refilusi yang berakibat dibatasinya
kekuasaan raja ( tidak lagi mutlah / Absolut ).
Contoh : Inggris yang melehirkan Bill of right pada 1689, Yordania, Denmark,
Arab Saudi, dan Brunei Darusalam.
8
D. Pemikiran tentang monarki pada mada Bani Umayyah dan Abbasiyah
Kekhalifahan Patrimonial Pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan
periode awal Bani Abbasiyah, dua kekuatan-neotribalisme Islam (atau komunalisme)
dan birokrasi patrimonial-bersaing untuk mengendalikan budaya politik. Kekuatan
pertama bersumber dari Arab dan diekspresikan dalam hukum agama, secara kamus
berarti pemahaman) kekuatan lainnya bersumber dari budaya Iran, yang diekspresikan
dalam budaya kesopanan tinggi (adab) dan karya-karya genre nasihat-kepada-raja
(nashîhah al-muluk)
Kita akan membicarakan yang terakhir terlebih dahulu. Patrimonialisme yang
berada di bawah pemerintahan yang memberikan hak pemimpin untuk sini adalah
sistem yang menganggap negara sebagai negara yang melepaskan diri dan bisa
diwariskan kepada keluarganya (turun-temurun), sementara rakyat dipandang sebagai
bawahan yang berada di bawah perlindungan dan dukungannya. Menurut konsep ini,
kekuasaan pemimpin bersifat mutlak dan tidak bisa dicampuri orang lain (apalagi
hukum konstitusional), tetapi ia tunduk pada aturan tak tertulis yang memosisikannya
sebagai kepala keluarga (bapak) yang dermawan.
Kekuasaannya juga meliputi hak dan kewajiban untuk mengatur urusan
ekonomi demi kebahagiaan rakyatnya.? Ancaman perang sipil yang berkepanjangan
mendorong munculnya pemikiran dan sikap pasrah. Bani Umayyah mendasarkan
legitimasi mereka, pertama, pada ikatan perasaudaraan mereka dengan Utsman.
Mereka menyebut diri mereka sebagai keturunan pilihan Tuhan. Abdul Malik (m.
685–705 M) memperbarui dan memperluas otoritas pemerintah pusat dengan
menerapkan sistem suksesi turun-temurun. Gaya-gaya Islam-Arab dibaurkan dengan
pemikiran dan praktik monarki yang diambil dari negara yang ditaklukkan, yaitu Iran.
Pengadilan banding dalam tradisi Persia diubah menjadi pengadilan “ganti rugi"
(mazhalim"). Bani Umayyah mulai mengekspresikan pandangan monarkisnya tentang
imamah dalam ungkapan-ungkapan religius.
Mereka menggunakan gaya- gaya retorika monarki ala Timur Tengah
(mayoritas rakyat mereka bukan muslim). Misalnya, mereka mendakwahkan
pandangan bahwa penguasa adalah penggembala dan rakyat adalah gembalaan
(ra'iyyah). Sang khalifah meliputi bumi dengan cahaya, kasih sayang, keadilan, dan
hujan. Kemurahannya ini wajib dibalas oleh rakyat dengan ketaatan tanpa syarat.
9
Mereka juga secara spesifik mulai menggunakan pemikiran Islam untuk
mendukung otoritas penguasa. Mereka menyebut diri mereka sebagai “wakil Tuhan",
sekaligus penerus Nabi. Pada periode awal Abbasiyah, tradisi kekuasaan terpusat
"diimpor" dari Iran oleh Ibn al-Muqqaffa, yaitu ketika tradisi politik Islam belum
terbentuk sempurna dan belum menemukan konsep politik yang jelas. Tradisi ini
berhubungan erat dengan kehidupan kultural di istana dan para sekretaris raja.
Monarki patrimonial memasuki tahapan klasik di bawah Bani Abbasiyah dan para
penerusnya. Hal ini terjadi tepat ketika gagasan tentang kekaisaran monarki
dihidupkan kembali di Eropa oleh Charlemagne dan keturunan Otto. Kedua fenomena
ideologis yang sejajar ini bukannya tidak berhubungan; peradaban Kristen Barat
tengah membangun kekuatan politik mereka sebagai reaksi terhadap gerakan umat
Islam. Keduanya berakar pada monoteisme monarkis Timur Tengah.
Penguasa Abbasiyah memulai kekuasaannya sebagai revolusioner yang saleh,
tetapi mereka segera mengadopsi gagasan patrimonial tentang dinasti-monarki, yang
diperhalus oleh pasca- tribalisme Islam. Segera setelah berkuasa, alih-alih bersimpati
kepada kelompok oposisi minoritas, seperti aliran-aliran Syiah, mereka
mengakomodasi beberapa kelompok semi-Sunni. Meski demikian, mereka tetap
mengenakan gelar penguasa berdasarkan pertalian darah dengan Nabi. Dalam pidato
penetapannya sebagai Khalifah, al-Saffah merujuk kepada konsep dawlah-takdir
dinasti- nya untuk mewarisi kekuasaan-gagasan dalam Alquran dan Yahudi tentang
peralihan kekuasaan suci dari seseorang kepada orang lain. (CH Iran, 4: 57).
Konsep daulah menjadi istilah standard bagi dinasti, rezim, dan negara. Pada
masa-masa itu, hanya suku-suku dari sebuah dinasti yang bisa memperoleh, memiliki,
dan kehilangan dawlah. Akibatnya, kesuksesan mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan berarti merupakan pertanda bahwa seseorang atau sebuah keluarga
mendapatkan berkah Tuhan, sehingga (bagaimanapun penampilannya) ia layak dan
berhak mendapat dukungan moral.
Mereka yang mendapatkan berkah agung ini dibolehkan bertindak kasar,
bahkan pemerintahan mereka harus dibela. Inilah yang melatarbelakangi sikap kejam
penguasa kepada siapa pun yang menyerang atau yang ingin menjatuhkan
kekuasaannya. Pada masa Abbasiyah, Dâr al-Islâm meluas sampai ke kawasan
pegunungan di Asia Tengah dan barat laut Afrika, padang rumput di dataran tinggi
Iran Tengah, bagian timur Anatolia (yang masih nomad), dan ke kawasan pertanian
yang kebanyakan meng- gunakan sistem irigasi, seperti Irak, Mesir, dan daerah Oxus.
10
Penaklukan Islam membuka peluang bagi perdagangan jarak jauh yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya, misalnya jalur dagang timur-barat dari Cina sampai
Damaskus dan perdagangan me- lintasi Samudera Hindia dan Mediterania; di sini,
Mesir menjadi titik pusat. Produksi kerajinan tangan berkembang di seluruh daerah
urban, dari Marw, Rayy, dan Bukhara, sampai Baghdad, Damaskus, Kairo (didirikan
pada 970), dan Kordoba. Kemenangan Abbasiyah mengukuhkan takdir Islam sebagai
agama universal yang dominan, dengan tradisi Arab sebagai patokannya; kemenangan
itu juga sekaligus menandai kemenangan masyarakat multietnik dan multikultur.
Dalam wilayah Islam sendiri, terus terjadi arus perpindahan agama dari agama lain
(ke Islam). Perpindahan agama terjadi beberapa saat setelah pe- naklukan, dan
disebabkan oleh berbagai alasan. Di beberapa tempat, seperti Mesir dan Libanon,
sejumlah besar umat Kristen minoritas 'hidup berdampingan dengan damai sampai
terjadinya Perang Salib
11
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sistem pemerintahan monarki (kerajaan) adalah negara yang dikepalai oleh seorang
raja secara turun temurun dan menjabat untuk seumur hidup. Selain raja kepala negara
monarki dapat dipimpin oleh kaisar (Jepang), syah (Iran), ratu (Inggris, Belanda), Emir
(Kuwait), Sultan (Brunai Darussalam).
Pada dasarnya usaha untuk menggunakan sistem monarki dalam Islam sudah dimulai
sejak Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Meskipun Nabi Muhammad SAW sudah
berusaha menghilangkan ego kesukuan dalam bangsa Arab, namun hal itu bukanlah hal
yang mudah dikarenakan sudah mendarah daging dalam kehidupan bangsa Arab yang
terdiri dari banyak suku baik besar maupun kecil sejak berabad-abad.
12
DAFTAR PUSTAKA
Ja’fariyan, Rasul, SEJARAH PARA PEMIMPIN ISLAM : dari Imam Ali sampai Monarki
Muawiyah, Al-Huda:2010.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131655980/penelitian/Buku+PSP.pdf
xiii