Anda di halaman 1dari 13

ISLAM DAN PEMERINTAHAN MONARKI

Makalah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Fiqih siyasah 2 Program
Studi Hukum Tata Negara Semester 4

Oleh :
KELOMPOK 6

A.HILAL HIDAYATULLAH
742352019084
MAHDEA TAHIR
742352019076
NURUL FATIMAH CHITRA.H
742352019083

Dosen pembimbing
Ma’adul yaqien makkarateng,M.H.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE


2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana berkat rahmat dan taufiq
serta hidaya-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah dalam memenuhi tugas yang di
berikan tepat pada waktunya.
Sholawat serta salam seantiasa kita limpahkan curahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya hingga hari kiamat. Aamiin.
Selanjutnya tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing yang
telah memberikan kami kepercayaan dalam menyampaikan makalah ini.

Bone, 31 Maret 2021

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii

BAB 1....................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN................................................................................................................................4

A. LATAR BELAKANG..............................................................................................................4

BAB II..................................................................................................................................................6

PEMBAHASAN...................................................................................................................................6

A. Pengertian Sistem Pemerintahan Monarki............................................................................6

B. Sejarah Munculnya Monarki Dalam Islam...........................................................................6

C. Bentuk Pemerintahan Monarki..............................................................................................7

D. Pemikiran tentang monarki pada mada Bani Umayyah dan Abbasiyah............................9

BAB III...............................................................................................................................................12

PENUTUP..........................................................................................................................................12

A. KESIMPULAN......................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................xiii

iii
BAB 1

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Membahas tentang sejarah Bani Umayyah tentunya tidak dapat dipisahkan


dari seorang tokoh Mu’awiyah Ibn Abi Sofyan keturunan ketiga dari Umayyah Ibn
‘Abd Sham yang juga disebut dengan Bani Umayyah, dan juga kebijakan-kebijakan
politik di masa khulafaur rhasidin. Seperti dijelaskan oleh beberapa tokoh seperti
Fakhri,bahwa,  Mu’awiyah merupakan tokoh yang memeiliki kepribadian menarik,
lemah lembut, cakap dalam mengatur siasat, bijaksana, kapasitas intelektual yang
tinggi, dan juga fasih dalam berbicara. Karir politiknya mulai terlihat pada masa
khalifah Abu Bakar yang ditandai dengan keterlibatannya sebagai militer. Kemudian
di masa khalifah Umar, ia diangkat sebagai Gubernur di Damaskus. Beriringan
dengan kepemerintahannya di damaskus, wilayah kekuasaannya bertambah luas
ketika khalifah ‘Usman bekuasa, karena seluruh wilayah Syam berada dalam
pengawasannya.
Ambisi Mu’awiyah untuk menjadi orang nomor satu di dunia Islam
ditengarahi ketika kekhalifahan sudah di tangan Ali ibn Abi Thalib, yang mana dalam
kepemimpinannya, Ali banyak memutuskan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan
suhu perpolitikan semakin kisruh, ditambah dengan terbunuhnya khalifah ‘Usman,
sehingga dimana-mana terjadi pemberontakan, seperti perang Jamal dan perang
Shiffin.
Peralihan kekuasaan kepemimpinan umat Islam dari khalifah Ali bin Abi
Thalib ke Mu’awiyah tidak sama dengan khalifah-khalifah sebelumnya yang
berlangsung secara damai, tertib dan demokratis. Peralihan kekuasaan dari Ali ke
Mu’awiyah diwarnai dengan peperangan (Perang Shiffin) yang awalnya kemenangan
hampir berpihak kepada Ali, namun dengan tipu siasat Mu’awiyah yang mengajak Ali
untuk berdamai dan membuat kesepakatan bahwa untuk memilih pemimpin
diserahkan sepenuhnya kepada rakyat. Perundingan itu ditandai dengan
proses tahkhim, yang senyatanya itu hanya dijadikan siasat Mu’awiyah untuk menjadi
seorang pemimpin.
Dari sinilah pemerintahan Mu’awiayah ibn Abi Shofyan dimulai dengan
bebagai corak baru sistem kepemerintahannya (sistem kerajaan atau sistem monarki),
yang sekaligus mengawali munculnya secara terang-terangan kekeuasaan Dinasti
Umayyah sebagai generasi kekhalifahan setelah khulafaur rhasidin.

4
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu sistem pemerintahan monarki???
2. Apa latar belakang munculnya sistem monarki dalam islam???
3. Bagaimana pemikiran tentang monarki pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah???

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui sistem pemerintahan monarki
2. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya sistem monarki dalam islam
3. Untuk mengetahui pemikiran tentang monarki pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Pemerintahan Monarki


Sistem pemerintahan monarki (kerajaan) adalah negara yang dikepalai oleh
seorang raja secara turun temurun dan menjabat untuk seumur hidup. Selain raja
kepala negara monarki dapat dipimpin oleh kaisar (Jepang), syah (Iran), ratu (Inggris,
Belanda), Emir (Kuwait), Sultan (Brunai Darussalam). Contoh negara monarki adalah
Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand, Jepang, Inggris, Belanda, Swedia, Norwegia,
Monako, Maroko, Arab Saudi, Kuwait, Jordania, Belgia, Denmark dan sebagainya.
Yang mana terbagi 3 yaitu :
1.Monarki absolut,
2.Monarki konstitusional
3. Monarki parlementer

B. Sejarah Munculnya Monarki Dalam Islam


Pada dasarnya usaha untuk menggunakan sistem monarki dalam Islam sudah
dimulai sejak Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Meskipun Nabi Muhammad
SAW sudah berusaha menghilangkan ego kesukuan dalam bangsa Arab, namun hal
itu bukanlah hal yang mudah dikarenakan sudah mendarah daging dalam kehidupan
bangsa Arab yang terdiri dari banyak suku baik besar maupun kecil sejak berabad-
abad. Ego kesukuan tersebut kembali menguat dalam proses pemilihan khalifah atau
pemimpin umat muslim berikutnya. Saat Nabi Muhammad wafat, Bani Hasyim yang
merupakan keluarga Nabi menganggap posisi pemimpin lebih pantas diserahkan pada
mereka, namun usaha itu dihambat oleh terpilihnya Abu Bakar yang berasal dari suku
lain melalui proses musyawarah.
            Usaha penegakan konsep monarki itu tak berhenti begitu saja, meskipun Ali
yang mereka ajukan selalu gagal untuk menjadi khalifah sampai akhirnya tampuk
pemerintahan tertinggi dalam Islam itu berhasil mereka rebut dari Utsman. Tentu saja,
jika Ali yang dijadikan pemimpin sejak awal maka kepemimpinan Ali akan menjadi
dasar monarki dalam Islam. Ali merupakan keponakan dari Nabi, berbeda dengan
khalifah sebelumnya yang meskipun memiliki ikatan kekeluargaan dari pernikahan

6
namun tidak dari ikatan darah. Bahkan Ali sudah dianggap anak oleh Nabi. Bani
Hasyim selalu memprotes keputusan diangkatnya khalifah selain Ali, karena mereka
tidak rela kursi khalifah diduduki oleh sembarang orang selain keluarga terdekat Nabi
di kalangan suku Quraisy. Dengan demikian ego kesukuan dalam bangsa Arab ikut
melatarbelakangi dijadikannya konsep monarki sebagai sistem pemerintahan Islam.
Namun ego kesukuan jugalah yang mengawali pertikaian dalam Islam dan
menjadikan Ali terbunuh. Setelah itu pula Hasan yang ditunjuk oleh Bani Hasyim
sebagai khalifah berikutnya pun mundur dan membuat kekuasaan yang tadinya
dipegang oleh Bani Hasyim menjadi terlepas dan jatuh ketangan Bani Umayyah
dibawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Dan sejak saat itu pula mulailah ditegakkannya
sistem monarki dalam pemerintahan Islam.

C. Bentuk Pemerintahan Monarki


a) Monarki Absolut
Dalam Monarki Absolut, pemerintahan di kepelai oleh seorang raja,ratu,syah
atau kaisar (sebutan untuk jabatan ini antara satu wilayah dengan wilayah lain kadang
berbeda yang kekuasaannya tidak terbatas. Perintah penguasa merupakan hukum yang
harus di patuhi oleh rakyatnya.pada diri penguasa terdapat kekuasaan exsekutif,
legeslatif,dan yudikatif yang menyatu dalam ucapan dan perbuatannya.
Satu contoh yang banyak di kenal adalah Perancis pada masa kekuasaan Louis
XIV. Louis XIV menyebut l’etat c’est moi (Negara adalah saya ) Artinya tidak ada
perbedaan antara lembaga Negara dengan diri pribadi sang Raja,segala kehendaknya
bearti undang-undang yang mesti di patuhi oleh rakyat.
b) Monarki konstitusional

Bentuk monarki absolut banyak di praktekkan pada masa lalu, ketika partisipasi
politik rakyat di batasi atau bahkan tidak di perkenankan sama sekali. Perkembangan
politik yang terjadi, terutama setelah lahirnya Revolusi Industri, menyadarkan rakyat
bahwa mereka memiliki hak asasi yang tidak dapat di anbil alih secara paksa karena
itu berkembang kehendak untuk membatasi kekuasaan Raja agar tidak bersifat mutlak
( Absolut ).

7
Karena kekuasaan raja di batasi oleh undan-undang dasar ( Konstitusi ), maka
bentuk pemerintahan di sebut monarki konstitusional.
Pengalaman beberapa kerajaan berkaitan dengan proses terbentuknya Monarki
Konstitusional dapat di uraikan sebagai berikut.
a) Ada kalanya inisiatif untuk mengubah bentuk menarki absolut menjadi monarki
konstitusional itu datang dari raja sendiri karena di takut kekuasaannya akan
runtuh.
Contoh :Jepang dengan hak octrooi.
b) Adakalanya monarki absolut berubah menjadi monarki konstitusional karena
adanya desakan dari Rakyat atau terjadi refilusi yang berakibat dibatasinya
kekuasaan raja ( tidak lagi mutlah / Absolut ).
Contoh : Inggris yang melehirkan Bill of right pada 1689, Yordania, Denmark,
Arab Saudi, dan Brunei Darusalam.

Dalam perkembangan modren, tidak sedikit yang kemudian membatasi


kekuasaan raja dengan hanya menempatkan raja sebagai kepala negara. Sementara,
kekuasaan kepela pemerinthan di pegang oleh seorang perdana mentri.kabinet yang di
pimpin oleh perdanamentri sendiri di bentuk berdasarkan kekuatan politik di
parlemen. Dalam sistem ini, perdana mentri bertanggung jawab kepada parlemen.
Sementara, anggota parlemen di pilih oleh Rakyat.
Dengan demikian, rakyat memiliki kekuasaan cukup besar untuk terlibat
dalam segenap proses politik dengan pembatasan kekuasaan raja dan di bukanya
partisipasi politik warga negara, maka prinsip-prinsip dasar demikrasi sesunguhnya
telah di terapkan. Sistem yang demikian pada masa kini di kembangkan antara lain
oleh Inggris,Belanda , dan Malaysia

8
D. Pemikiran tentang monarki pada mada Bani Umayyah dan Abbasiyah
Kekhalifahan Patrimonial Pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan
periode awal Bani Abbasiyah, dua kekuatan-neotribalisme Islam (atau komunalisme)
dan birokrasi patrimonial-bersaing untuk mengendalikan budaya politik. Kekuatan
pertama bersumber dari Arab dan diekspresikan dalam hukum agama, secara kamus
berarti pemahaman) kekuatan lainnya bersumber dari budaya Iran, yang diekspresikan
dalam budaya kesopanan tinggi (adab) dan karya-karya genre nasihat-kepada-raja
(nashîhah al-muluk)
Kita akan membicarakan yang terakhir terlebih dahulu. Patrimonialisme yang
berada di bawah pemerintahan yang memberikan hak pemimpin untuk sini adalah
sistem yang menganggap negara sebagai negara yang melepaskan diri dan bisa
diwariskan kepada keluarganya (turun-temurun), sementara rakyat dipandang sebagai
bawahan yang berada di bawah perlindungan dan dukungannya. Menurut konsep ini,
kekuasaan pemimpin bersifat mutlak dan tidak bisa dicampuri orang lain (apalagi
hukum konstitusional), tetapi ia tunduk pada aturan tak tertulis yang memosisikannya
sebagai kepala keluarga (bapak) yang dermawan.
Kekuasaannya juga meliputi hak dan kewajiban untuk mengatur urusan
ekonomi demi kebahagiaan rakyatnya.? Ancaman perang sipil yang berkepanjangan
mendorong munculnya pemikiran dan sikap pasrah. Bani Umayyah mendasarkan
legitimasi mereka, pertama, pada ikatan perasaudaraan mereka dengan Utsman.
Mereka menyebut diri mereka sebagai keturunan pilihan Tuhan. Abdul Malik (m.
685–705 M) memperbarui dan memperluas otoritas pemerintah pusat dengan
menerapkan sistem suksesi turun-temurun. Gaya-gaya Islam-Arab dibaurkan dengan
pemikiran dan praktik monarki yang diambil dari negara yang ditaklukkan, yaitu Iran.
Pengadilan banding dalam tradisi Persia diubah menjadi pengadilan “ganti rugi"
(mazhalim"). Bani Umayyah mulai mengekspresikan pandangan monarkisnya tentang
imamah dalam ungkapan-ungkapan religius.
Mereka menggunakan gaya- gaya retorika monarki ala Timur Tengah
(mayoritas rakyat mereka bukan muslim). Misalnya, mereka mendakwahkan
pandangan bahwa penguasa adalah penggembala dan rakyat adalah gembalaan
(ra'iyyah). Sang khalifah meliputi bumi dengan cahaya, kasih sayang, keadilan, dan
hujan. Kemurahannya ini wajib dibalas oleh rakyat dengan ketaatan tanpa syarat.

9
Mereka juga secara spesifik mulai menggunakan pemikiran Islam untuk
mendukung otoritas penguasa. Mereka menyebut diri mereka sebagai “wakil Tuhan",
sekaligus penerus Nabi. Pada periode awal Abbasiyah, tradisi kekuasaan terpusat
"diimpor" dari Iran oleh Ibn al-Muqqaffa, yaitu ketika tradisi politik Islam belum
terbentuk sempurna dan belum menemukan konsep politik yang jelas. Tradisi ini
berhubungan erat dengan kehidupan kultural di istana dan para sekretaris raja.
Monarki patrimonial memasuki tahapan klasik di bawah Bani Abbasiyah dan para
penerusnya. Hal ini terjadi tepat ketika gagasan tentang kekaisaran monarki
dihidupkan kembali di Eropa oleh Charlemagne dan keturunan Otto. Kedua fenomena
ideologis yang sejajar ini bukannya tidak berhubungan; peradaban Kristen Barat
tengah membangun kekuatan politik mereka sebagai reaksi terhadap gerakan umat
Islam. Keduanya berakar pada monoteisme monarkis Timur Tengah.
Penguasa Abbasiyah memulai kekuasaannya sebagai revolusioner yang saleh,
tetapi mereka segera mengadopsi gagasan patrimonial tentang dinasti-monarki, yang
diperhalus oleh pasca- tribalisme Islam. Segera setelah berkuasa, alih-alih bersimpati
kepada kelompok oposisi minoritas, seperti aliran-aliran Syiah, mereka
mengakomodasi beberapa kelompok semi-Sunni. Meski demikian, mereka tetap
mengenakan gelar penguasa berdasarkan pertalian darah dengan Nabi. Dalam pidato
penetapannya sebagai Khalifah, al-Saffah merujuk kepada konsep dawlah-takdir
dinasti- nya untuk mewarisi kekuasaan-gagasan dalam Alquran dan Yahudi tentang
peralihan kekuasaan suci dari seseorang kepada orang lain. (CH Iran, 4: 57).
Konsep daulah menjadi istilah standard bagi dinasti, rezim, dan negara. Pada
masa-masa itu, hanya suku-suku dari sebuah dinasti yang bisa memperoleh, memiliki,
dan kehilangan dawlah. Akibatnya, kesuksesan mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan berarti merupakan pertanda bahwa seseorang atau sebuah keluarga
mendapatkan berkah Tuhan, sehingga (bagaimanapun penampilannya) ia layak dan
berhak mendapat dukungan moral.
Mereka yang mendapatkan berkah agung ini dibolehkan bertindak kasar,
bahkan pemerintahan mereka harus dibela. Inilah yang melatarbelakangi sikap kejam
penguasa kepada siapa pun yang menyerang atau yang ingin menjatuhkan
kekuasaannya. Pada masa Abbasiyah, Dâr al-Islâm meluas sampai ke kawasan
pegunungan di Asia Tengah dan barat laut Afrika, padang rumput di dataran tinggi
Iran Tengah, bagian timur Anatolia (yang masih nomad), dan ke kawasan pertanian
yang kebanyakan meng- gunakan sistem irigasi, seperti Irak, Mesir, dan daerah Oxus.
10
Penaklukan Islam membuka peluang bagi perdagangan jarak jauh yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya, misalnya jalur dagang timur-barat dari Cina sampai
Damaskus dan perdagangan me- lintasi Samudera Hindia dan Mediterania; di sini,
Mesir menjadi titik pusat. Produksi kerajinan tangan berkembang di seluruh daerah
urban, dari Marw, Rayy, dan Bukhara, sampai Baghdad, Damaskus, Kairo (didirikan
pada 970), dan Kordoba. Kemenangan Abbasiyah mengukuhkan takdir Islam sebagai
agama universal yang dominan, dengan tradisi Arab sebagai patokannya; kemenangan
itu juga sekaligus menandai kemenangan masyarakat multietnik dan multikultur.
Dalam wilayah Islam sendiri, terus terjadi arus perpindahan agama dari agama lain
(ke Islam). Perpindahan agama terjadi beberapa saat setelah pe- naklukan, dan
disebabkan oleh berbagai alasan. Di beberapa tempat, seperti Mesir dan Libanon,
sejumlah besar umat Kristen minoritas 'hidup berdampingan dengan damai sampai
terjadinya Perang Salib

11
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sistem pemerintahan monarki (kerajaan) adalah negara yang dikepalai oleh seorang
raja secara turun temurun dan menjabat untuk seumur hidup. Selain raja kepala negara
monarki dapat dipimpin oleh kaisar (Jepang), syah (Iran), ratu (Inggris, Belanda), Emir
(Kuwait), Sultan (Brunai Darussalam).
Pada dasarnya usaha untuk menggunakan sistem monarki dalam Islam sudah dimulai
sejak Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Meskipun Nabi Muhammad SAW sudah
berusaha menghilangkan ego kesukuan dalam bangsa Arab, namun hal itu bukanlah hal
yang mudah dikarenakan sudah mendarah daging dalam kehidupan bangsa Arab yang
terdiri dari banyak suku baik besar maupun kecil sejak berabad-abad.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ja’fariyan, Rasul, SEJARAH PARA PEMIMPIN ISLAM : dari Imam Ali sampai Monarki
Muawiyah, Al-Huda:2010.

Black,Antony,PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DARI MASA NABI HINGGA MASA


KINI,Jakarta:2006

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131655980/penelitian/Buku+PSP.pdf

xiii

Anda mungkin juga menyukai