Anda di halaman 1dari 10

Hubungan Nazar Yeftah dengan Roh TUHAN

(Suatu analisa terhadap Hak 11,29-40)

Pendahuluan
Nazar Yeftah dalam kitab Hak 11,29-40 merupakan teks yang agak populer untuk kisah
Yeftah. Latar belakang nazar ini diucapkan ketika Yeftah hendak menyerang bani Amon. Dalam
nazarnya kepada TUHAN, Yeftah bersumpah untuk mengurbankan apa yang keluar dari
pintu rumahku untuk menemui aku pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon
(Hak 11,31).
Kisah ini kemudian menjadi menarik tatkala puteri Yeftah sendiri yang menyambutnya.
Itu berarti ia harus mengurbankan puterinya itu. Tetapi hal ini kemudian membangkitkan rasa
ingin tahu pembaca ketika tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang terjadi dengan puterinya. Rasa
ingin tahu ini kemudian menjadi semacam masalah, bagaimana orang harus menafsirkan teks ini.
Apa yang sebenarnya terjadi, apakah janji Yeftah dan sumpahnya merupakan sesuatu yang
pantas? Dalam peristiwa ini, apakah puterinya mati ataukah dia merupakan simbol dari
keperawanan abadi? Jika ia mati apakah Yeftah bersalah dalam mengurbankannya?
Satu hal yang juga kemudian menjadi cukup problematis adalah nazar Yeftah yang
diucapkan setelah Roh TUHAN turun atasnya. Apakah ada hubungan antara Roh TUHAN yang
turun ke atas Yeftah dengan nazar yang diucapkannya? Sehubungan dengan nazar yang telah
menjadi kebiasaan dalam dunia Yahudi, bagaimana nazar Yeftah dilihat dalam konteks ini?
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kisah seputar nazar Yeftah ini menunjukkan
tidak mudahnya membaca teks ini. Bergumul dengan hal ini, penulis bermaksud untuk melihat
lebih jauh, apa yang sebenarnya terjadi dalam kisah Nazar Yeftah. Oleh karena itu, penulis akan
membahas secara singkat kisah nazar Yeftah dalam tiga bagian besar. Pertama, penulis akan
memberikan sedikit informasi tentang nazar dalam budaya Yahudi. Kedua, penulis akan
menganalisis nazar Yeftah. Pada bagian ini akan ditampilkan, beberapa pendapat dari tokohtokoh dan sintesa dari pandangan mereka, sehubungan dengan nazar ini. Kemudian tulisan ini
dengan pendapat dari beberapa tokoh lainnya ditutup dengan tanggapan terhadap pertanyaanpertanyaan sehubungan dengan problematika nazar ini.

Nazar dalam kebudayaan Yahudi


Nazar dalam bahasa Ibrani adalah nazir yang berasal dari akar nzr yang berarti
terpisah. Kata ini ada kesamaan dengan qds yang juga diartikan sebagai terpisah. Tetapi makna
nazar di sini rupanya lebih menunjuk kepada si pelaku yang justru karena nazarnya itu, dia
terpisah dari yang lain di hadapan Allah.1
Dalam kitab suci Yahudi, seseorang boleh saja bersumpah kepada yang lain, tetapi nazar
diperuntukkan hanya kepada Tuhan. Karena itu, nazar harus selalu dimengerti sebagai tempat
dalam konteks berdoa, yang dialamatkan pada Tuhan.
vows are always conditional promises to God, to be fulfilled only when and if
God answer the petitioners request.
Nazar mempunyai rumusan baku jika maka dalam bentuk protasis, dan apodosis.
1. The protasis If God : followed by one or more imperfect or perfect verbs, all
attached by .
2. The apodosis Then I will: a perfect consecutive verb, sometimes followed by
imperfects.
Nazar umumnya muncul ketika pemohon mengalami kesukaran dan berjanji memberikan
hadiah yang berhubungan dengan permintaan pemohon. Yakub bernazar kepada YHWH
membangun tugu, dan membayar sepersepuluh bagi perjalanan dan keselamatannya sampai di
rumah (Kej 28,20-22). Kisah yang mirip dengan cerita Yakub ini adalah maksud nazar Absalom
untuk beribadah kepada YHWH jika dia telah kembali dengan selamat di Yerusalem (2 Sam
15,7-8). Kesukaran dalam perang mendorong Israel bersumpah untuk menumpas orang-orang
Kanaan (Bil 21,2) sebagaimana nazar Yeftah untuk mempersembahkan apa/siapa yang
menyambutnya ketika dia kembali dengan selamat dari pertempuran melawan bani Amon (Hak
11,30-31). Kemandulan Hana mendorongnya untuk meminta seorang anak laki-laki, dengan
nazar dia akan dikembalikan kepada Tuhan (1 Sam 1,11)
Objek dari suatu nazar sering diarahkan kepada pengurbanan, termasuk di dalamnya
kurban bakaran (Im 7,16; 22,18; Mz 66,13-15). Dalam beberapa teks, pemenuhan nazar
1

Tony W. Cartledge, Vows in The Hebrew Bible and The Ancient Near East. (Sheffield: Sheffield Academic
Press, 1992), p. 18-19.

disebutkan mempunyai hubungan yang erat dengan persembahan suka rela lainnya seperti suatu
persembahan kehendak bebas(Im 7,16; 22,18.21; Bil 15,3; 29,39; Ul 12,6). Dalam Mazmur
janji publik untuk memuji Allah sering lebih dapat diterima dibandingkan kurban bakaran (Mz
50,12-15). Nazar yang diarahkan kepada seseorang sebagai objek juga dibuktikan (Im 27, 1-8)
meskipun implikasinya kadang kurang jelas. Hana memberikan Samuel menjadi pelayan rumah
Tuhan di Silo. Yeftah mempersembahkan puterinya sebagai kurban bakaran, meskipun ada
banyak tafsiran tentang hal ini karena cerita yang agak kurang jelas.
Persembahan nazar secara eksplisit merupakan sesuatu yang bersifat suka rela, tetapi
mengikat (Ul 23,21-23). Tradisi menuliskan contoh-contoh terdahulu dari yang membuat nazar
mengindikasikan bahwa nazar dapat dibayar di beberapa tempat yang didirikan bagi Tuhan
(Yakub di Betel, Hana di Siloah, dan Absalom di Hebron). Teologi Deuteronomistis mengatakan
sesungguhnya semua nazar harus dibayar di tempat yang Tuhan Allahmu kehendaki, (Ul 12,5-6,
11. 17. 26).
Nazar dari pria atau wanita bebas (janda dan perempuan yang diceraikan) secara
otomatis mengikat, tetapi nazar dari wanita muda yang masih tinggal di rumah atau perempuan
yang menikah dapat dibatalkan oleh ayah atau suami mereka (Ul 30,3-8). Dalam beberapa kasus,
suatu nazar kepada YHWH dianggap sebagai sesuatu yang serius, dan tidak dibuat dengan
terburu-buru. Nazar yang dibuat secara terburu-buru dapat menimbulkan suatu krisis saat itu
harus dibayar. Hal ini kemudian yang mengarah kepada pengalaman Yeftah: Ah anakku,
engkau membuat hatiku hancur luluh dan engkaulah yang mencelakakan aku; aku telah
membuka mulutku bernazar kepada TUHAN dan tidak dapat aku mundur (Hak 11, 35).
Pembuatan nazar jelas memainkan peran penting dalam kultus hidup Israel dan secara
khusus nyata dalam kesalehan individualnya. Nazar biasanya diucapkan oleh seseorang, tapi
dalam perkembangannya, nazar juga mencakup komunitas. Ini selanjutnya diilustrasikan oleh
kisah nabi Yesaya ketika orang Mesir datang untuk mengenal YHWH, mereka akan akan
beribadah dengan korban sembelihan dan korban sajian, dan mereka akan bernazar kepada
YHWH (tanggapan kultis sebagai bagian dari komunitas) dan bernazar kepada YHWH serta
membayar nazar itu (kesalehan individu) (Yes 19,21).

Dari penjelasan di atas nampak ada beberapa poin penting berhubungan dengan nazar di
kalangan orang Yahudi. Nazar biasanya dikaitkan dengan kesalehan individu (dan komunitas),
objek, dan doa. Meskipun nazar dapat diungkapkan sebagai suatu masyarakat, tetapi
penekanannya lebih merupakan ungkapan religiusitas individual. Objek dalam nazar juga
mendapat perhatian yang penting.2 Dalam nazar Yeftah objeknya disamarkan tetapi tetap
menunjuk pada sesuatu yang harus dibayar.
Nazar merupakan bagian permohonan pendoa yang ditujukan kepada YHWH. Nazar
mengandung kekuatan dari hubungannya dengan YHWH ketika seseorang berada dalam
kebutuhan, secara khusus ketika YHWH menjadi tempat istirahat yang terakhir. Orang tidak
membuat nazar untuk meminta hal-hal kecil atau untuk menghindari usaha ketika mereka masih
mempunyai pilihan lain. Lebih dari itu, nazar diucapkan ketika campur tangan dari Yang Ilahi
dirasakan sebagai sesuatu yang esensial: memberikan penglihatan perlindungan bagi yang
melakukan perjalanan seorang diri, memberikan anak kepada perempuan mandul, dan
memberikan kemenangan besar dalam peperangan.3
Analis Nazar Yeftah
Sebelum perjalannya ke Mizpah untuk bertempur menghadapi bani Amon, Roh TUHAN
turun ke atas Yeftah, dan dia bernazar:
apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku
kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN,
dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran.
Pernyataan nazar Yeftah ini tidak jelas. Sekurang-kurangnya ada empat hal yang dapat
membuktikan ini:
(i) Pada umumnya ini merupakan suatu bentuk teks pro pengurbanan hewan atau manusia.
Hal ini dibolehkan meskipun pernyataan itu akan menjadi kepunyaan TUHAN
merupakan suatu cara yang kurang wajar bila menunjuk pada pengurbanan. Dalam kitab
imamat, menjadi kepunyaan TUHAN adalah dengan disucikan menjadi pelayan ilahi (Im
3,12) dan atau dari kepunyaan Israel kepada YHWH (Yer 24,7; Mal 3,17).
2
3

L, Jacob. The Jewish Religion Acompanion. (New York: Oxford University, 1995), p. 581.
Tony W. Cartledge, Vows in The Hebrew Bible and The Ancient Near East. p. 16-30.

(ii) Ada kemungkinan bahwa nazar Yeftah ini kemudian dilihat sebagai suatu janji untuk
mengabdikan seseorang dengan hidup perawan di bawah gambaran korban bakaran.
Dengan kata lain korban bakaran mengandung makna metaforis, yang diarahkan kepada
seseorang yang menjadi abdi TUHAN. Menurut Pamela Reis, apa yang dimaksudkan
Yeftah adalah untuk mengabdikan kepada YHWH salah seorang dari hambanya (Im 27)
setelah membebaskannya untuk sejumlah uang yang akan dibagikan diantara para imam.
Penebusan hamba itu, menurut hukum dalam (Im 27), tetap kudus dan akan dibebaskan
dari tugasnya sebagai seorang hamba. Puteri Yeftah ini rupanya anak manja yang nakal,
yang dimanjakan Yeftah seperti Adonia oleh Daud yang tidak pernah bertanya mengapa
tetapi langsung melakukannya (1Raj 1,6). Tahu akan sumpah itu, puteri Yeftah
menyambut bapaknya yang telah kembali dengan kemenangan. Pikirnya, bapaknya tidak
mungkin melakukan itu kepada puterinya sendiri. Tetapi bisa juga itu merupakan
pilihannya untuk tetap kudus dengan tidak melakukan pekerjaan seperti layaknya
seorang perempuan perihal melahirkan dan membesarkan anak.
she would rather continue to be the one and only love of an extremely
indulgent father than become some mans first wife. Ingenious as this reading
it, it fails to convince. Since when has a good knowledge of history or the
frequent use of religious language been a sufficient proof of virtue? If
redemption of slave is meant, the terms of the vow are expressed with
intolerable obliqueness. Moreover, that a redeemed woman would have to
remain a virgin has to be argued by analogy with what Talmud tradition, rather
than the biblical text, prescribes redeemed animal.

Ada banyak cara membaca teks ini, karenanya pembaca bisa saja terjebak dalam suatu
kesalahan meyakinkan. Jika dimengerti sebagai pembebasan seorang hamba, istilah
sumpah yang intoleransi ini, menyimpang. Arti yang tetap dipertahankan adalah ide
tentang selibat seperti yang terdapat dalam tradisi Talmud dan bukan dalam Kitab Suci.
(iii)

Sumpah Yeftah ini mengandung alternatif pilihan, kekuatannya terletak pada

atau. Disucikan bagi TUHAN (bdk Im 3,12) atau dipersembahkan sebagai kurban
bakaran.
apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku
kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN,
dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran (Hak 11,31).

Menurut Browne pernyataan Yeftah ini sejajar dengan Kel 21,15 (siapa yang memukul
bapak atau ibunya haruslah mati). Kata "dan" (Ibrani, vau) dari ayat 31 ini, lebih
mengarah pada ungkapan dalam arti "atau". Browne menunjukkan bahwa apa yang akan
terjadi nantinya, tergantung pada apa yang akan menjumpai Yeftah pertama kali, saat
sekembalinya dari medan pertempuran. Jika seekor binatang yang muncul, Yeftah akan
mempersembahkannya sebagai korban bakaran, tetapi jika manusia maka dia akan
menyucikannya (hidup selibat?) bagi TUHAN. Browne menambahkan, itulah kemudian
yang terjadi dengan puteri Yeftah. Tetapi penafsiran yang berkembang hingga sekarang
menyatakan bahwa ini adalah suatu penyusunan. Ide tentang selibat wanita (kesucian
perawan) merupakan sesuatu yang tidak ada dalam dunia Yahudi. Seseorang mungkin
menuliskan nazar dalam konteks ini, hanyalah sebagai suatu pandangan tentang binatang
atau manusia yang duluan muncul.
(iv)

Keddell melihat bahwa nazar ini pertama-tama merujuk pada pengabdian,

kemudian pengurbanan hewan.


Jephthah vows that the animal/person first to meet him will be dedicated to
YHWH and/or (depending on whether the is conjunctive or disjunctive in
force) I shall offer up to him (YHWH) a burnt offering. Keddell notes the
omission of the which one would expect if Jephthah were offering a human
being as a sacrifice.

Markus berpendapat penafsiran nazar itu lebih bernuansa bukan pengurbanan, tetapi ia
kemudian mengatakan bahwa kebingungan dalam teks yang mencolok itu merupakan
karya narator yang ditulis secara sadar. Dia juga menambahkan bahwa kisah nazar Yeftah
ini boleh jadi merupakan suatu kisah variatif dari kisah Idomeneus dan Iphigeneia. 4
Pendapat ini cukup benar, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa menemukan dengan
pasti cerita dalam satu kisah sejarah. Maksud yang membingungkan memang tidak
4

Kisah Idomeneus dan Iphigeneia ini merupakan kisah-kisah Yunani yang pararel dengan cerita nazar Yeftah:
tentang pengurbanan anak. Idomeneus adalah seorang raja Kreta. Ketika pulang dari pertempuran Troya, kapalnya
dihantam badai yang ganas. Idomeneus pun bernazar untuk mengurbankan apa yang pertama kali ia jumpai bila ia
pulang dengan selamat ke rumahnya. Tetapi ketika anaknya sendiri yang menyambutnya, Idomeneus membatalkan
nazarnya itu. Akibat dari perbuatannya itu warga Kreta tertimpa wabah. Dia pun diturunkan dari takhtanya. Sedikit
berbeda dengan kisah Idomeneus, Iphigeneia ini adalah putri dari Agamemnon, seorang pemimpin pasukan Yunani
di Troy. Rupanya sikap dari Agamemnon telah menyinggung dewi Artemis. Akibatnya Artemis mengirimkan badai
kepada kapal-kapal Agamemnon yang tengah berlayar di teluk Aulis. Untuk menenangkan hati dewi Artemis ini,
para imamnya meramalkan bahwa Iphigenia puterinya harus dikorbankan. Tetapi ketika Agamemnon hendak
membunuh puterinya, tiba-tiba Iphigenia secara ajaib diangkut ke Taurus, sebuah kota di Laut Hitam.

pernah luput dari beberapa kisah dalam Perjanjian Lama. Sebagai contoh, kita dapat
melihat betapa buruknya perilaku Daud terhadap Bathsheba atau juga perilaku Tamar,
begitu pun dengan puteri Yeftah itu, apakah ia mati dikurbankan atau hanya merupakan
simbol dari selibat, tidak jelas.
Dari keempat poin di atas nampak bahwa pandangan (ii), (iii) dan (iv) lebih sulit
dipahami dari pada (i). Apa yang dituju oleh poin (i) sebenarnya adalah pengurbanan dalam arti
sesungguhnya dan bukan metaforis. Meskipun demikian poin (i) sendiri belum mampu untuk
memberikan suatu gambaran jelas tentang objek nazar ini. Menurut Markus, yang menjadi objek
dari nazar Yeftah itu adalah manusia dan bukan hewan. Ada beberapa hal yang dapat
menunjukkan hal ini. Pertama frase keluar untuk menyambut hanyalah digunakan untuk
menunjuk pada manusia dan bukan binatang. Markus menyadari akan adanya kebiasaan bagi
para wanita Yahudi untuk menyambut orang yang pulang dari peperangan dengan kemenangan
(bdk Kel 15,19-21; 1 Sam 18,6). Jika manusia, maka yang mungkin dalam hal ini, nazar Yeftah
sebenarnya tertuju kepada puterinya sendiri. Tentang hal ini G. F. Moore mengatakan:
that a human victim is intend is, in fact, as plain as words can make it; the
language is inapplicable to an animal, and a vow to offer the first sheep or goat
that he comes across not to mention the possibility of an unclean animal is
trivial to absurdity.
Kedua, dalam masyarakat Yahudi, pernikahan dilihat sebagai suatu norma. Bila ada
perempuan yang tidak menikah, maka ia melanggar norma tersebut. Selain itu, hal ini juga dapat
mendatangkan aib bagi dirinya sendiri (Yes 4,1). Ini bisa dimengerti karena dari perkawinan
inilah sang wanita dapat memiliki anak yang merupakan keturunan. Selain itu dengan
memperoleh anak, sang perempuan menunjukkan bahwa ia subur dan diberkati TUHAN. Dalam
arti lain, konsep perkawinan merupakan gambaran suatu relasi cinta antara TUHAN dan
umatNya Israel (Hos 1-3; Yer 2,2).5 Seorang wanita yang tak bersuami jelas tak mempunyai
relasi yang dapat diartikan seperti ini. Berdasarkan kedua argument di atas maka menjadi jelas
bahwa objek dari nazar Yeftah adalah manusia, dan itu berarti puterinya sendiri yang telah
menjemputnya.
Nazar Yeftah: Mengurbankan anak puterinya kepada TUHAN
5

Grace I. Emerson, Women in Ancient Israel, in R. E. Clements, The World of Ancient Israel (New York:
Cambridge University Press, 1989), p. 382-383.

demi kemenangan melawan bani Amon?


Jika menyimak kisah Nazar Yeftah ini dengan teliti maka akan timbul lagi suatu
persoalan yang kiranya cukup mendasar. Apa sebenarnya hubungan antara nazar yang diucapkan
Yeftah dengan turunnya Roh TUHAN ke atasnya? Menurut Phyllis Trible, nazar Yeftah
merupakan suatu tindakan orang yang kurang percaya. Yeftah sadar bahwa dia menerima Roh
TUHAN. Melalui pengetahuan ini, Yeftah seharusnya percaya bahwa Roh Allah dapat menjadi
jaminan bagi kemenangannya melawan bani Amon. Meskipun dia menambahkan sumpahnya
setelah menerima Roh TUHAN, hal ini cukup membuktikan bahwa dia sebenarnya tidak cukup
percaya. Nazar ini rupanya merupakan suatu cara hitung-hitungan untuk memanipulasi
keputusan TUHAN demi memperoleh kemenangan.
Bertentangan dengan Trible, Cheryl Exum menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan
antara nazar Yeftah dengan Roh TUHAN. Menurutnya, nazar itu justru dibuat di bawah kuasa
Roh TUHAN. Permasalahannya adalah bukan nazarnya, seperti yang dikatakan Trible, tetapi ini
lebih pada suatu kepercayaan Israel sendiri yang sering bernazar kepada TUHAN, menurut
Exum. Misalnya, Yakub yang bernazar untuk menyembah TUHAN, jika TUHAN menyertai dan
menjamin kebutuhannya (Kej 28,20-22). Kesalehan Hana yang bernazar untuk mengabdikan
anaknya sebagai pelayan TUHAN jika TUHAN memberikan kepadanya seorang anak (1 Sam
1,9-11). Exum tidak memisahkan antara nazar dan Roh TUHAN. Permasalahan dari nazar
Yehftah itu sendiri terletak pada kesembronoan kata-kata dan isinya. Yeftah sembrono
mengucapkan nazarnya yakni untuk mempersembahkan siapa atau apa saja yang keluar dari
rumahnya, sebagai kurban bakaran. Jika saja dia berjanji untuk mendirikan suatu altar atau
tempat pemujaan bagi TUHAN sekembalinya dari pertempuran, nazar ini tentu tidak menjadi
problematis.
Menurut Exum, tindakan memutuskan untuk membuat nazar pada dirinya sendiri, dalam
konteks khusus ini, sungguh problematis tetapi bukan untuk alasan Trible. Exum mengatakan,
kita tidak berbicara apakah Yeftah itu sadar telah menerima Roh TUHAN atau tidak. Karena itu,
kita tidak dapat bersama Trible, untuk mempersalahkan Yeftah bahwa ia mungkin tidak sadar
kalau Roh TUHAN turun kepadanya. Tapi itu bukan berarti sikap Yeftah dapat dibenarkan begitu
saja. Nazar yang pantas, boleh diucapkan kepada TUHAN dalam konteks tertentu. Kesalahan

Yeftah adalah menggunakan nazarnya sebagai suatu suap untuk mempengaruhi keputusan ilahi
dalam kasus ini. Menurut hukum Musa, suap atau pemberian hadiah kepada hakim secara tegas
dilarang, agar mereka tidak mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan (Ul 16,19).
Larangan ini juga merupakan dasar bagi Israel dalam pemahamannya tentang TUHAN yang
tidak memandang bulu atau pun menerima suap (Ul 10,17).
Jika Yefta menawarkan putrinya sebagai korban bakaran demi kemenangan melawan bani
Amon, maka jelas apa yang dilakukannya adalah tanpa persetujuan TUHAN. Menurut hukum
Musa, pengorbanan manusia adalah hal yang terkutuk dan yang tak pernah diharapkan oleh
TUHAN (Ul 18:10). Jadi, kalaupun Yeftah memperoleh kemenangan itu tentu saja bukan
nazarnya yang immoral itu, tetapi semata karena penyertaan TUHAN terhadapnya.
Dari beberapa alasan di atas maka nampaklah bahwa 1) Nazar Yeftah adalah tindakan
sembrono yang dilakukan Yeftah 2) Nazar Yeftah lebih dilihat sebagai suatu upaya untuk
mempengaruhi keputusan TUHAN dan bukan dilakukan dalam konteks doa. Dengan demikian
ada semacam petunjuk bahwa nazar Yeftah sebenarnya tidak memiliki peran terhadap
kemenangannya melawan bani Amon.
Penutup
Nazar Yeftah memang dalam beberapa hal cukup problematis. Jika kita melihat kisah ini
dalam konteks pengurbanan maka, seperti yang telah diterangkan di atas, ada dua pendekatan
yang dapat membantu kita memahaminya. Ada yang mengatakan bahwa korban bakaran itu
memiliki makna harafiah. Dengan itu, pandangan ini membenarkan tentang adanya pengurbanan
manusia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kurban di sini mengandung makna metaforis.
Dengan demikian menolak adanya pengurbanan manusia seperti yang terdapat dalam hukum
Musa. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang yang lain, maka kelihatan bahwa nazar ini,
menggambarkan tentang suatu tradisi yang telah hidup di kalangan orang Yahudi. Dengan
demikian kisah Yeftah ini sebenarnya menyimpan persoalan-persoalan yang perlu digali lebih
lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Baker, C., Pseudo-Philo and The Transformation of Jephthahs Daughter. In Mieke Bal (ed).,
Anti-Covenant. Sheffield: The Almond Press, 1989.
Buttrick, G. A. The Interpreters Dictionary of The Bible. Nashville: Abingdon Press, 1962.
Cartledge, T. W. Vows in The Hebrew Bible and The Ancient Near East. Sheffield: Sheffield
Academic Press, 1992.
Freedman, D. N, ed. The Anchor Bible Dictionary. Volume III. New York: Doubleday, 1992.
Grace I. Emerson, Women in Ancient Israel, in R. E. Clements, ed., The World of Ancient
Israel. New York: Cambridge University Press, 1989, pp 382-383.
Jacob, L. The Jewish Religion Acompanion. New York: Oxford University, 1995.
Martin, J. D., The Book of Judges. In P. R Ackroyd, A. R. C. Leaney dan J. W. Parker, (eds).,
The Cambridge Bible Commentary. New York: Cambridge University Press, 1975.
Olson, D. T. The Book of Judges. In Leander E. Keck, ed., The New Interpreters Bible.
Volume II. Nashville: Abingdon Press, 1999.
Robinson, Bernard P. The Story of Jephtah and his daughter: Then and Now. In Biblica 2004,
pp. 331-344.

10

Anda mungkin juga menyukai