Anda di halaman 1dari 5

1.

DOSA PERENCANAAN
Dari berbagai perspektif pembangunan berikut strategi-strategi yang telah dilahirkannya, dalam
pelaksanaannya sudah barang tentu satu sama lain menunjukkan kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Ada satu negara berhasil di selamatkan dari kemiskinan lewat strategi pembangunan
semacam neo-klasik. Tapi pada saat yang sama ada suatu negara yang justru semakin melarat akibat
diterapkannya strategi pembangunan yang menekankan pertumbuhan itu.
Dalam konteks ini, negara yang justru semakin bertambah miskin itu, biasanya adalah sumber
dari kesalahan para perenca pembangunan yang mengantisipasi dan memilih strategi mana yang
seyogyanya diterapkan. Serangkaian kesalahan yang dilakukan oleh para perencana pembangunan itu,
oleh Mahbub ul Haq dirinci dan disebut sebagai Tujuh Dosa Perencana Pembangunan sebagai
berikut :
(1) Permainan Angka.
Salah satu dosa besar perencana pembangunan, mereka pemuja angka. Diam-diam mereka
menganggap apa yang dapat diukur diabaikan. Akibatnya, terlalu banyak tenaga kerja yang
dihabiskan untuk menciptakan model-model ekonometri; tidak cukup banyak untuk merumuskan
kebijaksanaan ekonomi atau menilai proyek.
Yang bisa terjadi di beberapa negara, pertama, adalah terlalu sibuk menghaluskan tata cara
menghitung pendapatan nasional. Padahal masalah yang nyata, yaitu kemiskinan yang melanda rakyat
banyak diabaikan. Juga, ada kecenderungan memberikan waktu terlampau banyak pada soal teori,
daripada pada soal kebijaksanaan dan pelaksanaannya. Bukan main cemasnya para perencana
memikirkan hal-hal yang kurang inti, sedangkan hal-hal yang inti diabaikan, terutama dalam
pelaksanaannya.
Kedua, waktu dan keahlian yang disediakan para perencara untuk memilih dan menilai kegiatan
proyek lebih sedikit lagi. Kegiatan seperti itu, umumnya dipandang sebagai pekerjaan kasar,
pekerjaan orang lapangan. Kaitan antara merencana di tingkat nasional dan memilih proyek demi
proyek karena itu acapkali lemah dan tidak menentu. Di satu pihak, hal ini Mombassa akibat, proyek
yang baik kurang sekali, seperti yang sudah berulang kali disinggung berbagai lembaga internasional
pemberi bantuan. Di pihak lain, sasaran keseluruhan, seperti menaikkan pendapatan atau menciptakan
lapangan kerja atau menaikkan produksi, tidak mengandung jaminan bahwa sasaran bersangkutan
benar-benar tercermin dalam isi proyek. Singkatnya, apa yang sudah ada di lapangan.
(2) Dosa lain perencana pembangunan adalah pengendalian yang berlebihan.
Para perencana cinta dengan pengendalian langsung atas ekonomi. Cepat sekali dianggapnya
kalau merencanakan pembangunan itu berarti mendorong sektor pemerintah dan menjalankan
berbagai pengendalian birokrasi guna mengatur kegiatan ekonomi, terutama di sektor swasta.
Sungguh aneh, masyarakat yang umumnya kekurangan perangkat administrasi yang baik justru main
coba-coba dengan berbagai pengendalian administratif yang kaku.

Pengendalian yang berlebihan berwujud birokrasi yang berbelit ini, meliputi perijinan yang sulit,
prosedur yang mesti melalui banyak meja dengan banyak pula uang-uang semir yang mesti
dikeluarkan, pada akhirnya menjadi bumerang bagi perekonomian negaranya masing-masing.
Kegiatan ekonomi lesu, adanya dominasi golongan-golongan tertentu, dan semakin banyaknya kasuskasus korupsi, adalah akibat yang harus ditanggung sebagai konsekuensi pelaksanaan pengendalian
yang berlebihan. Dalam hal ini, kalau semua akibat itu sudah mencapai titik puncaknya, baru
pemerintah tergugah untuk memperkecil pengendalian, yaitu dengan debirokratisasi dan semacamnya.
(3) Di antara sekian banyak dosa perencana pembangunan, ada satu yang agak
menggelikan, yaitu mereka asyik untuk menghitung tingkat penanaman modal.
Setelah banyak negara sadar bahwa pembentukan modal adalah inti proses pembangunan, lalu
mereka tidak henti-hentinya memeriksa apakah penanaman modal naik atau turun. Tidak jadi soal
terdiri atau tidak; sampai berapa jauh penanaman modal berbentuk sumber daya manusia dibanding
dalam bentuk sarana fisik lebih bermanfaat; prioritas apa yang mesti diperhatikan, dan sebagainya.
Kita sering mendengar modal sangat langka di negara sedang berkembang. Tetapi justru di negara
sedang berkembang banyak kita temukan barang modal menganggur tidak terpakai. Di Pakistan,
misalnya (negara tenpat ul Haq mengadakan studi dan menyusun Tujuh Dosa Perencana
Pembangunan), kemampuan industri yang menganggur tidak terpakai menurut perkiraan mencapai 50
% sampai 60 % tahun 1960-an, itu pada waktu pengelolaan ekonomi Pakistan dinilai baik. Sekolah
dan rumah sakit didirikan, seringkali tanpa menyediakan guru dan dokter dalam jumlah yang
memadai. Tetapi setiap kali mereka harus mengambil keputusan ekonomi dihadapkan pada pilihan
antara menambah kemampuan unit baru atau menggunakan barang modal lama yang menganggur,
umumnya pilihan jatuh pada yang pertama. Unit industri baru dibuka, sekolah dibangun setiap tahun,
tetapi permintaan sekolah yang ada akan anggaran yang memadai tidak diterima.
Setidak-tidaknya ada dua sebab mengapa diambil keputusan semacam itu, yang kelihatannya
tidak masuk akal, kalau dilihat dengan akal sehat. Pertama, di Pakistan wewenang administrasi atas
belanja bukan-modal terpisah dari wewenang administrasi atas belanja modal. Kementrian keuangan
bertanggung jawab atas belanja bukan-modal, sedang belanja modal berada dalam wewenang Dewan
Perencana Nasional. Kalau kementrian keuangan, yang berwatak tidak suka perubahan itu, selalu
berusaha menekan anggaran belanja sehari-hari, maka Dewan Perencana Nasional selalu berusaha
menaikkan penanaman modal. Betul memang, para perencana selalu mengeluh dalam rencana
pembangunan yang mereka susun bahwa kemampuan prosuksi yang ada banyak yang tidak dipakai
dan penanaman modal dalam bentuk sumber daya manusia diabaikan, tetapi, karena wewenang
mereka ini sia-sia saja. Karena pembangunan diartikan sama dengan penanaman modal fisik dan
karena perencana hanya berwenang mengambil keputusan mengenai penanaman modal saja, mereka
seringkali akhirnya memutuskan menciptakan stana fisik barum sementara yang ada tetap tidak
digunakan.

Kedua, rupanya seluruh dunia cinta penanaman modal. Ketika Pakistan sangat membutuhkan
bantuan bahan baku untuk memanfaatkan kemampuan industri dan pertanian sepenuhnya, sebagian
besar negara pemberi bantuan hanya bersedia memberikan bantuan proyek. Ada anggapan rupanya di
kalangan negara pemberi proyek bahwa bantuan bahan baku kemungkinan besar akan menaikkan
konsumsi. Sedangkan bantuan proyek langsung menaikkan penanaman modal. Ini tidak lain
merupakan anggapan yang menyesatkan. Selama sumber dapat saling ditukar pakai, bantuan proyek
juga membebaskan sumber-sumber lain Pakistan untuk digunakan tujuan lain. Selain itu, tidak masuk
akal mengapa dipompakan bantuan proyek melalui barang modal ke negara-negara yang sebenarnya
membutuhkan bahan baku untuk memanfaatkan kemampuan produksinya. Dalam keadaan seperti ini,
tabungan dan prosuksi negara-negara ini seringkali tergantung pada laju pertumbuhannya yang
sekarang, agar bantuan bahan baku itu dapat diterjemahkan ke dalam penanaman modal melalui laju
pertumbuhan dan tingkat tabungan yang lebih tinggi. Jadi, persediaan bahan baku dalam jumlah
cukup dan pada waktunya mungkin akan lebih besar sumbangannya pada usaha sistem bersangkutan
menabung dan mengembangkan eksport di masa daatang, karena dengan bahan baku ini sistem
produksi dapat digerakkan daripada persediaan mesin-mesin. Memaksakan bantuan proyek dalam
keadaan seperti ini berarti Membawa penanaman modal khayal ke batasnya yang paling tidak masuk
akal.
(4) Salah satu dosa menyenangkan para perencana pembangunan ialah mereka kecanduan
mode-mode pembangunan.
Kita telah menyaksikan beberapa macam mode pembangunan melanda dunia dalam dua warsa
terakhir ini. Para perencana seringkali mau saja menjadi korban mode yang sering berubah-ubah itu;
ini sebagian karena mereka harus menjaga jangan sampai tertinggal ke belakang dalam usaha
mengejar pembangunan, dan sebagian lagi karena mereka mungkin tidak turut menganut jalan pikiran
yang sedang jadi mode di kalangan negara pemberi bantuan.
Barangkali terlalu banyak kita berharap bahwa perencana pembangunan dapat kebal terhadap
mode-mode pembangunan yang ada dan memusatkan perhatiannya dengan gigih pada sistem ekonomi
dan ciri khasnya masing-masing; tetapi kalau siasat pembangunan terlalu sering diubah, ini akan
berakibat buruk pada proses pembangunan jangka panjang. Dan kemungkinan besar akan tetap
menjadi dilema utama yang dihadapi perencana pembangunan: mereka membutuhkan pandangan
jangka panjang agar dpat merencanakan perubahan susun ekonomi, tetapi sementara itu pemerintah
nasional dan masyarakat pembangunan internasional, karena perimbangan politik yang cukup
beralasan, pada umumnya memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi sekarang dan pada
pemecahan jangka pendek.
(5) Perencana pembangunan senang sekali membedakan antara perencanaan dan
pelaksanaan.
Kalau didesak terus mengapa, mereka umumnya akan menjawab, tanggung jawab mereka
membuat rencana pembangunan, sedangkan tugas melaksanakannya jatuh ke puncak seluruh sistem

politik dan ekonomi. Ini tidak lain dari sebuah alasan yang dicari-cari. Sebuah rencana yang baik
biasanya disertai bagan langkah-langkah yang perlu diambil untuk melaksanakannya. Rencana itu
harus berisi saran-saran rinci mengenai semua kebijaksanaan yang harus dijalankan, perubahan
lembaga yang harus diadakan, kerangka administrasi yang harus dibangun, dan proyek-proyek yang
telah dinilai dengan cermat dan yang diperlukan untuk mewujudkannya. Rencana yang baik harus
berpijak pada anggapan politik yang berdasar kenyataan. Para perencana harus tetap mengikuti dan
menilai rencana itu selama dilaksanakan, agar perbaikkan yang diperlukan dapat dilaksanakan pada
waktunya.
Bahwa suatu rencana terus berubah, itu bukan pertanda kelemahan, tetapi malah kekuatan.
Bahkan, sebenarnya kita harus curiga apabila ada rencana pembangunan lima tahun yang
dilaksanakan tepat sesuai dengan jadwalnya semula. Banyak anggapan yang akan berubah dalam
waktu lima tahun; masa depan eksport, iklim bantuan luar negeri, iklim cuaca, iklim penanaman
modal, sehingga tidaklah jujur kalau kita berpura-pura bahwa semua ditampung dalam rencana
bersangkutan itu.
(6) Salah satu dosa perencanaa pembangunan yang tidak terkikis, meski ada usaha dalam
beberapa rencana pembangunan untuk menghilangkannya nya, ialah kecenderungan
mengabaikan sumber daya manusia.
Meskipun banyak sanggahan, tapi umumnya di sebagian besar negara sedang berkembang,
terutama di Asia Selatan, sedikit sekali modal yang ditanam untuk mengembangkan sumber daya
manusia. Sebabnya sebagian, penanaman modal semacam itu lama baru memberi hasil dan bukti
kuantitatif tidak ada mengenai hubungan antara penanaman modal semacam itu dan hasilnya. Namun
demikian, banyak contoh yang dapat dilihat mengenai apa-apa yang dapat dicapai jika sumber daya
manusia dikembangkan. Salah satu contoh yang paling menarik adalah Cina. Dalam waktu singkat,
Cina kelihatannya telah berhasil menyebarluaskan ketrampilan teknik dan kejuruan pada sebagian
besar tenaga kerjanya dan pendidikan dasar pada sebagian besar tenaga kerjanya dan pendidikan dasar
pada hampir seluruh rakyatnya. Jangka waktu yang pendek antara saat modal dan hasil yang dapat
diperik diperpendek dengan cara memusatkan perhatian pada kegiatan memberikan latihan kejuruan
jangka pendek (misalnya dokter kaki telanjang yang terkenal itu) dan bukan pada pendidikan liberal
atau latidan menyeluruh. Modal diganti dengan organisasi, sehingga ekonomi bekerja penuh tercapai
meski modal terbatas. Penduduk dan tenaga kerja yang melimpah-ruah telah berhasil dari beban
menjadi kenyataan melalui penanaman modal yang bijaksana dalam sumber daya manusia.
Mahbub ul Haq yakin, bahwa memberantas buta huruf dan mengadakan latihan kerjuruan secara
besar-besaran adalah unsur penting dalam usaha pembangunan yang berhasil dan serasi. Hal ini harus
dijalankan berdasarkan keyakinan, tanpa memperhitungkan terlalu terperinci untung ruginya.
Tantangan besar yang dihadapi perencana pembangunan ialah mewujudkan system pendidikan yang
mampu menyebar kepandaian baca tulis ke seluruh pelosok negara, memberikan latihan yang tepat

dan sudah diperoleh setiap orang apa pun tingkat pendapatannya. Tanpa landasan-landasan seperti itu,
pola pembangunan akan mudah menyimpang dan hanya menguntungkan golongan atas saja.
(7) Pertumbuhan tanpa keadilan.
Perencana pembangunan terlalu terpukau oleh laju pertumbuhan GNP yang tinggi dan
mengabaikan tujuan sebenarnya dari usaha pembangunan. Ini dosanya yang paling tidak dimaafkan.
Di negara demi negara, pertumbuhan ekonomi disertai jurang perbedaan pendapatan, antar perorangan
maupun antar daerah, yang makin menganga. Dari negara ke negara rakyat nyentuh kehidupan seharihari mereka. Pertumbuhan ekonomi seringkali berarti sedikit sekali keadilan. Pertumbuhan ekonomi
selama ini selalu diikuti pengangguran yang meningkat, pelayanan social yang semakin buruk, dan
kemiskinan absolut dan relatif yang makin menjadi-jadi.
2. STUDI KASUS ANTIPLANNING
Ada suatu kasus dalam suatu wilayah yang mempunyai permasalahan yang cukup komplek,
dimana ada beberapa instansi mempunyai kaitan langsung dalam wilayah tersebut sehubungan dengan
ketugasan dan fungsinya. Wilayah tersebut dalam perencanaannya akan dikembangkan menjadi
daerah kawasan industri, mengingat era otonomi daerah dimana diharapkan dengan tumbuhnya
kawasan industri tersebut, diharapkan dapat mengangkat potensi wilayah tersebut dari ketertinggalan.
Wilayah tersebut mempunyai bentuk-bentuk geomorfologi/ roman muka bumi gunung berapi, bukitbukit karst, lereng curam yang mendominasi, dataran, dataran pantai, sungai serta laut.
Melihat kasus permasalahan tersebut di Perencanaan yang matang harus dilakukan untuk
mengantisipasi dampak negatif yang mungkin akan terjadi. Sehingga dianggap perencanaan
pembangunan kawasan industri diatas dianggap kurang bermanfaat sehingga dianggap perencanaan
tersebut belum bisa direalisasikan dikarenakan faktor biaya dan kondisi alam kawasan yang
dimaksud.

Anda mungkin juga menyukai