Anda di halaman 1dari 18

SERANGGA DAN LINGKUNGAN

Prof Ir Rudy C Tarumingkeng, PhD


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
If you intend to use this material, please acknowledge the author and
the source of the information.
Nama penulis dan sumber perlu nyatakan jika anda menggunakan
bahan ini.

Pendahuluan
Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu
pengetahuan), dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk
hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan, masih ada sekitar 10 juta spesies
serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam
menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem
dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar
biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem, seperti di
padang pasir dan Antarktika.
Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata,
kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam
biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu
habitat. Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti
Thysanoptera, berbagai macam kutu dll.) sampai yang besar seperti walang kayu,
kupu-kupu gajah dsb. Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan,
dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan
rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis
vertebrata.
Satu-satunya ekosistem di mana serangga tidak lazim ditemukan adalah di
samudera. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran,
bentuk dan perilaku. Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga
berkaitan erat dengan rangka luar (eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya
yang juga merangkap sebagai rangka penunjang tubuhnya, dan ukurannya yang
relatif kecil serta kemampuan terbang sebagian besar jenis serangga.
Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga
relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan
musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam
waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya
untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis serangga merupakan hama tanaman
budidaya, yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap
insektisida.

Beberapa jenis serangga juga berguna bagi kehidupan manusia seperti lebah
madu, ulat sutera, kutu lak, serangga penyerbuk, musuh alami hama atau serangga
perusak tanaman, pemakan detritus dan sampah, dan bahkan sebagai makanan
bagi mahluk lain, termasuk manusia. Tetapi sehari-hari kita mengenal serangga
dari aspek merugikan kehidupan manusia karena banyak di antaranya menjadi
hama perusak dan pemakan tanaman pertanian dan menjadi pembawa (vektor)
bagi berbagai penyakit seperti malaria dan demam berdarah. Walaupun demikian
sebenarnya serangga perusak hanya kurang dari 1 persen dari semua jenis
serangga. Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka
diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang
merugikan ini.
Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku
adaptasi dalam lingkungannya, dan demilkian banyaknya jenis serangga yang
terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang
murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika
populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula,
pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model
untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih
besar.

.
Kiri: Hippodamia glacialis, predator dari aphid (J.Ogrodnick)
Tengah: Cotesia congregata, parasitoid pada ulat (K.Kester)
Kanan: Larva Sphenoptera jugoslavica pada akar tanaman knapweed (R.Richard).
(Sumber: http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html

Anatomi serangga

).

Serangga pada umumnya ringan dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang
kuat. Jaringan otot dan organ-organ terdapat di dalamnya. Di seluruh permukaan
tubuhnya, integumen serangga memiliki berbagai syaraf penerima rangsang
cahaya, tekanan, bunyi, temperatur, angin dan bau.
Pada umumnya serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks (dada) dan
abdomen (badan). Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan makanan
dan rangsangan syaraf , serta untuk memproses informasi (otak). Berbagai
macam bagian mulut serangga seperti: pengunyah (Orthoptera, Coleoptera, ulat

Lepidoptera, penusuk-pengisap (kutu daun, walang sangit, nyamuk), spons pengisap


(lalat), belalai-sifon (kupu-kupu dang ngengat).
Toraks yang terdiri atas tiga ruas memberikan tumpuan bagi tiga pasang kaki
(sepasang pada setiap ruas), dan jika terdapat sayap, dua pasang pada ruas kedua
dan ketiga. Bentuk kaki bervariasi menurut fungsinya seperti untuk menggali
(jangkrik, Gryllidae), menangkap (walang sembah, Mantidae), untuk berjalan
(semut, Formicidae) dsb.
Fungsi utama abdomen adalah untuk menampung saluran pencernaan dan alat
reproduksi. Anatomi internal serangga dicirikan oleh peredaran darah terbuka,
adanya saluran-saluran atau pipa pernapasan dan tiga bagian saluran pencernaan.
Serangga memiliki jantung dan aorta tetapi darah beredar bebas di dalam rongga
badannya. Udara memasuki tubuhnya melalui spirakel (lobang-lobang) pada dinding
badannya, melaui system pipa yang becabang-cabang ke seluruh tubuh.
Saluran pencernaan terdiri atas tiga bagian dengan fungsi yang berbeda-beda.
Sistem syaraf terdiri atas otak di kepala dan simpul-simpul syaraf di bagian
toraks dan abdomen, berfungsi untuk mengolah informasi dan memberikan
perintah-perintah ke organ-organ fungsional lainnya seperti otot dan kelenjarkelenjar.
Pengetahuan tentang struktur dan fungsi dari eksoskeleton serangga merupakan
aspek penting karena berguna untuk pengembangan formulasi insektisida yang
mampu menembus integumen serangga yang berlapis.
Kajian-kajian tentang komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat
senyawa-senyawa kimia yang berperan dalam komunikasi antar individu serangga,
dan mekanisme dalam menemukan makanannya. Bahan kimia ini disebut feromon
(pheromones) dan banyak di antaranya telah diidentifikasi dan diproduksi secara
sintetik, misalnya bahan penarik (atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi
(atraktan individu serangga sejenisnya) dan atraktan makanan. Feromon sintetik
ini kini banyak digunakan untuk mengumpan serangga hama (kemudian diracuni
dengan insektisida), mendeteksi adanya hama, mengestimasi kelimpahan dan
untuk pengendalian. Apa pula feromon sintetik yang dalam pengendalian hama
berfungsi membingungkan lawan jenis sehingga tidak memungkinkan terjadi
perkawinan, dan berakibat pada penurunan populasi hama.
Struktur bagian mulut serangga digunakan juga dalam taktik pengendalian hama,
terutama dalam aspek selektivitas. Misalnya jika suatu serangga hama daun
memiliki tipe mulut mengunyah maka insektisida digunakan dengan cara
penyemprotan pada permukaan daun. Cara ini hanya efektif jika daun dimakan
hama sedangkan dengan kontak saja tidak efektif. Perlu dipertimbangkan juga

akan adanya serangga yang bersifat musuh alami dari hama yang perlu
dihindarkan dari bahaya insektisida.
Karena serangga bernapas melalui spirakel (lobang-lobang) pada integumen,
penyumbatan spirakel akan meyebabkan kematiannya. Penggunaan insektisida
berbasis minyak merusak integumen (yang bahan utamanya adalah kutikel).
Ada pula bakteri yang menyebabkan penyakit serangga seperti Bacillus
thuringiensis. Komponen bakteri ini seperti spora kini telah diproduksi dan
dikemas sebagai insektisida thuricide. Thuricide menimbulkan penyakit saluran
pencernaan pada serangga. Sebagian besar insektisida yang digunakan sekarang
merupakan racun syaraf dan banyak di antaranya secara kimia dikembangkan dari
produk-produk alamiah seperti piretroida.
Contoh feromon sintetik yang kini digunakan sekarang antara lain untuk
mengendalikan serangan rayap pada bangunan dengan jalan menarik ( attracting);
rayap yang tertarik diberi makan flumuron (bahan perusak kutukel), membawanya
ke sarang koloni, menyebabkan koloni rayap tidak dapat berganti kulit dan
kemudian punah.

Reproduksi serangga
Kebanyakan serangga memiliki kelamin dan bereproduksi secara seksual. Pada
beberapa spesies jarang terdapat jantan atau jika terdapat hanya pada musimmusim tertentu saja. Dalam keadaan tak ada jantan, betinanya masih bisa
bereproduksi. Hal ini umum di antara kutu daun (Aphids). Pada beberapa jenis
penyengat (Hymenoptera), telur yang tak dibuahi menjadi jantan, sedangkan yang
dibuahi menjadi betina.
Apa pula spesies yang tak memiliki jantan, semua keturunannya betina. Biasanya
setiap telur mengembangkan satu embrio, tapi ada juga yang mengembangkan
banyak embrio (polyembryony), sampai ratusan. Biasanya, serangga bertelur;
namun ada pula jesis-jenis yang telurnya menetas dalam tubuh induk sehingga
melahirkan seperti ovipar, pada Aphids (kutu daun).

Pertumbuhan serangga dan perkembangan (Metamorfosis)

Pertumbuhan serangga biasanya melalui empat tahap bentuk hidup yaitu: telur,
larva / nimfa, pupa dan stadium dewasa. Telur diletakkan secara tunggal, atau
dalam kelompok, di dalam atau di atas jaringan tanaman atau binatang inang yang
menjadi sasaran makanan serangga. Embrio di dalam telur berkembang menjadi
larva atau nimfa (tergantung macam metamorfosis atau perkembangan) yang
keluar dari telur pada saat telur menetas.

Larva/nimfa memiliki tahapan perkembangan (instar), yang setiap tahapannya


melalui proses pergantian kulit (ecdysis), karena setiap meningkatan ukuran
tubuh pada satu instar ke instar berikutnya memerlukan integumen baru yang
lebih besar (sama halnya dengan anak yang bertumbuh memerlukan pakaian yang
ukurannya lebih besar). Larva berkembang menjadi pupa (pada ulat kup-kupu
disebut cocoon atau kepompong), dan pupa dan nimfa berkembang menjadi
serangga dewasa.

Dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga, yaitu metamorfosis
sempurna atau holometabola yang melaui tahapan-tahapan atau stadium: telur

larva pupa dewasa, dan metamorfosis bertahap (hemimetabola) yang melalui


stadium-stadium: telur nimfa dewasa.
Pada hemimetabola, bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum
berkembang dan habitat (tempat tinggal dan makanan) nimfa biasanya sama
dengan habitat stadium dewasanya. Contoh hemimetabola adalah jenis-jenis kepik
seperti walang sangit, yang nimfanya menempati habitat yang sama dengan kepik
dewasa, biasanya pada daun. Jenis-jenis belalang (Orthoptera) dan lipas
(Blattaria) juga termasuk hemimetabola, nimfa dan stadium dewasanya hidup dan
makan pada habitat yang sama.
Kumbang (Coleoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) dan semut serta
lebah (Hymenoptera) adalah serangga holometabola. Bentuk pradewasa (larva dan
pupa) jenis-jenis holometabola ini sangat berbeda dengan stadium dewasanya.
Perhatikanlah bentuk-bentuk larva seperti ulat bulu, ulat hijau, ulat jengkal yang
kelak menjadi pupa dan kemudian menjadi kupu-kupu indah dan berwarna-warni.
Habitat larva bisanya sangat berbeda dari habitat dewasanya. Ulat makan daun
sedangkan kupu mengisap cairan bunga. Demikian pula, larva lebah madu
dipelihara oleh pekerja (dalam koloni), makan madu; tapi lebah dewasa yang
bersayap terbang mencari serbuk bunga sebagai makanannya.
Serangga metabola, setelah stadium larva memasuki tahapan pupa yang tidak
aktif (tidak makan), terbungkus dalam kulit kepompong yang disebut puparium
yang berfungsi sebagai pelindung.
Serangga termasuk berdarah dingin, sehingga pertumbuhannya banyak
dipengaruhi
suhu
lingkungannya.
Di
daerah-daerah
beriklim
dingin
pertumbuhannya lambat, sedangkan di daerah tropik seperti Indonesia
pertumbuhan serangga relatif cepat. Dengan demikian banyaknya generasi yang
terjadi di daerah beriklim panas lebih banyak daripada di daerah dingin.
Dengan mempelajari perilaku pertumbuhan serangga para pakar pengendalian
hama serangga mengembangkan cara-cara pengendalian dengan menggunakan
pengatur tumbuh (insect growth regulators, IGR). Salah satunya adalah
pengendalian dengan hormon pertumbuhan, yang mengganggu pembentukan
kutikel pada saat ganti kulit. Cara ini sangat efektif dan selektif (tidak
mengganggu serangga yang bukan sasaran) karena hanya mempengaruhi serangga
sasaran.
Dinamika pertumbuhan serangga hama tanaman budidaya telah benyak diteliti dan
daripadanya dihasilkan model-model pertumbuhan yang dapat digunakan untuk
meramalkan saat-saat terjadinya epidemi pada tanaman atau inang tertentu,
sehingga tindakan pengendalian dapat dilaksanakan secara lebih tepat.

Identifikasi dan klasifikasi serangga

Pengetahuan mengenai klasifikasi serangga diperlukan agar jenis-jenis serangga


yang demikian banyaknya dapat dibedakan. Misalnya, dari sekian banyak serangga
yang menjadi hama tanaman padi, perlu diketahui jenis-jenisnya, karena mereka
memiliki perilaku hidup yang berbeda, menyerang bagian tanaman yang berbeda
(daun, buah, batang, akar) menyebabkan kerugian yang berbeda sehingga berbeda
pula cara penanganannya.
Pada umumnya spesies-spesies serangga dibedakan sesuai dengan kemiripan
dalam penampakannya. Jenis-jenis lalat misalnya, dibedakan dari kupu-kupa
berdasarkan karakter sayap. Lalat hanya memilki sepasang sayap, sedangkan
kupu-kupu dua pasang.
Secara hirarki, dikenal taksa-taksa ( taxon, taxa) dalam klasifikasi, oleh
karenanya maka ilmu mengenai penggolongan jenis-jenis mahluk hidup biasanya
disebut taksonomi (taxonomy). Taksonomi ulat kubis misalnya adalah sebagai
berikut:

Filum (Phylum) - Arthropoda

Kelas - Insecta

Ordo - Lepidoptera

Famili - Plutellidae

Genus - Plutella

spesies - Plutella xylostella


Dengan demikian nama spesies Plutella xylostella berlaku universal bagi ulat
kubis di seluruh dunia.

Ekologi serangga
Ekologi adalah disiplin kajian hubungan-hubungan antar mahluk hidup dan
lingkungannya. Mengetahui kelimpahan (abundance) serangga (hama) yang
menyerang tanaman tertentu serta pengetahuan tentang kegiatan dan penampilan
hama tersebut (phenology) merupakan factor-faktor penting dalam menentukan
pengendaliannya. Beberapa hama memiliki hanya satu generasi pada satu musim
(univoltine), sedangkan ada pula yang banyak generasi per musim (multivoltine).
Dalam pengendalian hama berkonteks agrosistem biasanya hama dianggap sebagai
populasi. Atribut-atribut penting populasi adalah kerapatan, distribusi umur, laju
kelahiran dan laju kematian.

Dinamika populasi

Di bumi ini tak ada satupun yang tidak berubah. "Semua berubah dari waktu ke
waktu; tak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri". Demikian ucap
Heraklitus 500 tahun S.M. Oleh perubahan juga maka kita mengenal jenis-jenis
hayati dan individu-individu populasi yang ada sekarang -- termasuk di dalamnya
eksistensi (dan status) kita sebagai bagian dari populasi hayati di bumi. Dan
mungkin kita menyesali jika suatu saat karena ulah manusia sendiri atau bukan,
ada jenis (spesies) tertentu punah. Bahkan juga mungkin kita merasa
berkeberatan jika ada jenis lain yang tak diinginkan muncul. Perubahan yang
terjadi di bumi sebagian besar melibatkan populasi jenis-jenis hayati di mana
manusia termasuk di dalamnya. Tetapi manusia pula yang dianggap bertanggung
jawab untuk "memulihkan" perubahan atau lebih etis jika dikatakan
mengendalikan perubahan agar "berubah" ke arah lebih menguntungkan manusia
-- agar cukup tersedia populasi spesies-spesies hayati seperti tanaman padi,
ternak sapi, populasi ikan di laut dan di danau, semuanya untuk pasokan pangan.
Tapi kita tak menginginkan jika populasi tikus di Jakarta menjadi demikian
banyaknya sehingga jumlahnya melebihi jumlah penduduk Jakarta sendiri
(walaupun perkiraan itu mungkin benar) atau patogen koli (salah satu penyebab
penyakit saluran pencernaan manusia) di sungai-sungai dan perairan menjadi
demikian meningkat dan mengancam kesehatan kita, sehingga dari waktu ke waktu
perlu dikendalikan (perlu diubah). Apa yang dikemukakan merupakan topik
populasi dan perubahan, atau singkatnya -- dinamika populasi.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang berlangsung demikian cepatnya masa kini
diiringi oleh pengurasan sumber-sumber alam dalam bentuk populasi hayati yang
cenderung semakin meningkat dan dampaknya pun semakin terasa. Dampakdampak yang merupakan akibat perubahan-perubahan status sistem sumbersumber hayati sepanjang dimensi waktu kehidupan manusia dari generasi ke
generasi, termasuk konteks ilmu perilaku alam -- yang perlu dikuasai dengan
teknologi, termasuk metode-metode kuantitatif/ numerika. Tanpa analisis
kuantatif rasanya tak mungkin manusia dapat meramalkan dampak-dampak
kualitatif akibat perubahan-perubahan perilaku manusia dalam ia memanfaatkan
dan mengelola sumber daya alamnya. Upaya ini merupakan salah satu jawaban atas
tantangan-tantangan yang dihadapi yang tak dapat tidak dilakukan melalui ilmu
dan teknologi juga.
Masalah populasi mencakup sistem hayati apa saja yang ada di bumi ini dan
sehari-hari mungkin menjadi pembicaraan bahkan menjadi isyu politik dan
pembangunan. Jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan sistem dalam
pembahasan selanjutnya tak lain dari sistem populasi dalam konteks populasi
hayati yang menghuni bumi ini seperti jenis-jenis tetumbuhan (tanaman

budidaya, pohon dsb.), satwa liar, ikan, ternak dan jasad renik seperti bakteria
dan protozoa baik yang kini diketahui bermanfaat maupun yang diketahui tak
bermanfaat atau bahkan merugikan yang semuanya dikenal sebagai sumber daya
hayati yang bertumbuh sehingga terus-menerus mengalami perubahan.
Sistem pertumbuhan populasi dikaji menurut perjalanan waktu tertentu dan
menurut laju tertentu, sehingga ia tunduk pada kaidah-kaidah dinamika. Demikian
pula ekosistem yang terbentuk dari populasi serta lingkungan fisiknya senantiasa
berubah dan bertumbuh sepanjang waktu. Pertumbuhan ekonomi, perubahan
sosial, proses pendidikan dan bahkan proses pembangunan merupakan contohcontoh lain yang memerlukan berbagai analisis yang didasarkan atas kaidahkaidah perubahan (dinamika) dengan mempertimbangkan sumberdaya hayati awal,
laju pertumbuhan dan batas-batas pertumbuhan (kemampuan sumber serta daya
dukung lingkungan), pengaruh-pengaruh lain dari lingkungan dan sistem-sistem
terkait lainnya.
Suatu keunggulan (advantage) bagi ekologi masakini adalah tidak seperti 40 tahun
yang lampau, ekologi baru merupakan masalah "akademik" yang dibicarakan di
sekolah atau institusi yang berkaitan, kini ekologi telah menjadi perbincangan
khalayak dan merupakan isyu pembangunan, karena kesadaran akan dampakdampak masalah ekologi semakin memasyarakat. Khalayak juga telah menyadari
akan terbatasnya sumber-sumber alam seperti hutan, tanah dan air, terancamnya
perairan, komunitas-komunitas dalam ekosistem dan sebagainya. Masalah-masalah
yang berkaitan dengan keterbatasan sumber, usaha-usaha pelestarian dalam
hubungannya dengan keanekaragaman hayati --- dan yang kini populer dengan
ungkapan pemungutan hasil berasaskan kelestarian sumber, --- perlu dipecahkan
oleh para pakar sumberdaya berdasarkan analisis yang mendalam dan
pengetahuan yang komprehensif karena ramifikasi sistem dan komponen
lingkungan serta sumberdaya hayati yang sangat kompleks dan dinamis tidaklah
sesederhana konstruksi fisik. Hal ini merupakan salah satu kendala dalam
pengkajian masalah lingkungan dan sumberdaya hayati.
Dalam kaitan dengan hubungan inang-parasitoid atau mangsa-pemangsa, model
teoretik dinamika pertumbuhan "mangsa (sumberdaya) dan dinamika "pemangsa"
(pemungut hasil, the exploiter), dapat dikaji lebih lanjut bagi pemecahan
pemanfaatan sumberdaya alam berasaskan kelestarian dalam konteks manajemen
populasi sumber daya hayati untuk keperluan pembangunan umat manusia. Lebih
jauh, masalah keseimbangan dan kestabilan populasi dan ekosistem merupakan
salah satu kajian kunci bagi analisis kelestarian dan keanekaragaman hayati.

Ekologi dan studi populasi

Studi populasi dan ekosistem merupakan bagian dari ekologi. Sejak tahun 1960-an
telah banyak diterbitkan buku-buku teks ekologi. Di antara sekian banyak bukubuku ekologi yang digunakan untuk subyek ini antara lain dapat diacu Odum (edisi
ketiga, 1971), Watts (1973), Southwick (1976), Price (1975), Krebs (1978) dan
Begon, Harper dan Townsend, (edisi kedua, 1990).
Sejak zaman dahulu orang telah mengamati masalah-masalah ekologi tetapi istilah
ekologi sendiri belum digunakan pada waktu itu. Masyarakat primitif telah
menggunakan tumbuhan dan hewan di sekitar mereka untuk keperluan hidupnya.
Peradaban manusia secara bertahap tumbuh sejak manusia mulai menggunakan api
dan alat-alat untuk mengubah lingkungannya bagi kepentingan kelangsungan
hidupnya. Kemajuan penguasaan manusia terhadap alam sejalan dengan
berkembangnya peradaban yang berarti juga perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang menghasilkan teknik-teknik pemanfaatan sumber-sumber alam
secara lebih efisien. Pertumbuhan peradaban juga menyebabkan penduduk dunia
semakin meningkat dan hal ini diiringi oleh berkurangnya kualitas dan kuantitas
sumber-sumber alam yang dieksploitasi manusia. Proses-proses perubahan yang
bersifat dinamik ini lambat laun menginsyafkan manusia bahwa sumber-sumber
alam yang persediaannya terbatas perlu dikelola secara lestari agar hasil yang
diperoleh dari padanya tak mengalami penurunan, akan tetapi tetap berlanjut
(sustainable) dan sumber-sumber alam hayati yang digunakan diusahakan untuk
dapat dibaharui (renewable).
Tulisan-tulisan mengenai ekologi pada zaman dahulu muncul dalam konteks ilmu
hewan, ilmu tumbuhan dan/atau ilmu hayat. Pada abad ke 4 sebelum Masehi filsuf
Aristoteles mencoba menjelaskan masalah-masalah epidemi hama belalang dan
tikus yang sering mengancam tanaman pertanian Yunani. Dalam bukunya Historia
Animalium, Aristoteles menjelaskan bahwa terjadinya ledakan hama tikus
disebabkan oleh laju pertumbuhan populasi tikus yang tak terkendalikan oleh
musuh-musuh alaminya, dan pada waktu itu manusia tidak sanggup mengatasinya.
Menurut Aristoteles, hanya hujan deraslah yang dapat menghempaskan populasi
tikus itu sampai mati dan mengalirkannya ke sungai-sungai dan selanjutnya ke
laut. Plato dan Herodotus juga dalam tulisan mereka menyinggung mengenai alam
dan sumber-sumbernya yang mampu menjamin berlangsungnya kehidupan spesiesspesies mahluk hidup. Mereka menganggap bahwa kerapatan populasi atau jumlah
individu dari setiap spesies tidak banyak berubah sepanjang waktu. Jika terjadi
ledakan populasi yang dapat membawa bencana, hal ini disebabkan oleh tindakan
dewa-dewa untuk menghukum orang-orang yang hidupnya tidak berkenan kepada
para dewa. Penulis-penulis ini beranggapan bahwa dalam alam terdapat
keseimbangan, dan keselarasan (harmony) sehingga tidak akan ada spesies yang

dapat punah karena kepunahan spesies akan menyebabkan gangguan keseimbangan


dan keselarasan dalam alam. Anggapan ini mungkin cukup berdasar pada zaman
Plato karena pada waktu itu manusia belum banyak melakukan perubahanperubahan dalam ekosistemnya.
Jadi, apa yang dikemukakan oleh filsuf-filsuf zaman dahulu merupakan pemikiran
pada zaman itu mengenai ekologi, walaupun istilah ekologi belum digunakan sampai
dengan abad ke 19. Istilah oekologi" pertama kali dimunculkan pada tahun 1869
oleh ahli ilmu hayat bangsa Jerman, Ernst Haeckel. Oekologi atau ekologi berasal
dari kata Junani oikos yang berarti rumah, dan logos yang artinya pengetahuan.
Ekologi biasanya didefinisikan sebagai hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Karena ekologi berkaitan dengan biologi kelompok-kelompok
makhluk hidup dan proses-proses fungsional yang berlangsung di darat, di lautan,
di perairan dan di udara maka ekologi merupakan kajian terhadap struktur dan
fungsi alam, di mana manusia merupakan bagian utama dari padanya. Ekologi dapat
pula didefinisikan sebagai keseluruhan pola-pola hubungan antara makhluk hidup
dengan lingkungannya. Keadaan lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman
bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk hidup atau keanekaragaman
hayati (biodiversitas) dan sebaliknya keaneka-ragaman dan banyaknya makhluk
hidup juga menentukan keadaan lingkungan. Misalnya, kualitas dan kuantitas
penutupan tanah oleh hutan ditentukan oleh banyaknya jenis pohon yang ada
dalam hutan yang bersangkutan. Hutan Pinus merkusii yang cenderung
berkembang dalam formasi sejenis (hutan pinus "monokultur") membentuk
serasah yang proses humifikasinya lebih lambat sehingga sangat kurang
memberikan peluang bagi pertumbuhan tumbuhan bawah. Di lain pihak, proses
pertumbuhan hutan tropik yang pada umumnya terdiri atas berbagai spesies
pohon, menghasilkan serasah dengan humifikasi yang cepat dan menumbuhkan
berbagai jenis tumbuhan bawah. Hutan tropik yang lebat ini memberikan
konservasi lahan yang lebih baik karena tingkat erosi tanah menjadi sangat
berkurang, air hujan dapat diserap lebih banyak ke dalam tanah sehingga pada
musim penghujan tidak mengakibatkan banjir di daerah aliran sungai sekitarnya.
Demikian pula, ekosistem hutan tropik yang memiliki komunitas dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi merupakan habitat bagi pelbagai makhluk
hidup seperti bakteria, lumut, rayap dan berbagai satwa liar. Keanekaragaman
dan jumlah makhluk hidup yang ada dalam ekosistem hutan menjamin keadaan
lingkungan yang baik. Dari uraian ini jelas bahwa ekologi merupakan keseluruhan
pola hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dan lingkungan.
Dewasa ini dengan berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan dan
berkembangnya penekanan-penekanan khusus sesuai dengan keperluan

pembangunan, maka kajian-kajian ekologi juga berkembang demikian rupa


sehingga kita kini mengenal berbagai macam ekologi seperti ekologi
kependudukan, ekologi perairan, ekologi hutan, ekologi pertanian, ekologi
serangga dan bahkan ekologi perkotaan dan sebagainya. Kemajuan-kemajuan
dalam ilmu-ilmu dasar (matematika, biologi, kimia, fisika dan statistika) sebagai
dasar pengembangan teknologi telah banyak berjasa dalam perkembangan ekologi
terutama sekitar 40 tahun terakhir. Kemajuan teknologi yang pada satu sisi telah
menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan, pada sisi lain merupakan tumpuan
harapan manusia dalam upayanya mengelola lingkungannya secara lebih baik.
Kajian ekologi antara lain dapat dipelajari dengan membagi lingkungan hidup
(environment) atau biosfer (biosphere) dalam beberapa bagian sesuai dengan
komponen-komponen atau bagian yang membentuk lingkungan yaitu:
1. Lingkungan fisik atau abiotik,
2. Lingkungan hayati atau biotic
3. Lingkungan fisik mencakup unsur-unsur litosfer (lithosphere) atau lapisan
kerak bumi termasuk tanah) yang mencakup tipe tanah, bahan induk, serta
parameter-parameternya seperti struktur, tekstur, sifat-sifat fisik, kimia dan
kesuburan), hidrosfer (hydrosphere), yang meliputi lautan dan perairan lainnya
dengan parameter-parameter: arus, kedalaman, salinitas, keasaman (pH),
kandungan bahan-bahan, suhu dll.) dan atmosfer ( atmosphere, udara: iklim, cuaca,
angin, suhu dll.).
4. Lingkungan biotik merupakan bagian dari keseluruhan lingkungan yang
terbentuk dari semua fungsi hayati makhluk-makhluk hidup yang satu dengan
yang lainnya saling berinteraksi. Asosiasi atau hubungan-hubungan fungsional
antar makhluk hidup dapat dikaji dalam berbagai tahapan. Misalnya ada studi
mengenai satu makhluk hidup dan seluruh populasinya, ada pula studi yang
mencakup seluruh komunitas yaitu kajian atas interaksi berbagai populasi dalam
satu daerah tertentu.
Perkembangan ekologi yang berkaitan dengan dinamika populasi walau
berkembang agak lambat tetapi cukup konsisten. Dapat dikatakan walaupun sejak
dahulu pada waktu-waktu tertentu orang telah tertarik kepada masalah sensus
penduduk, teori-teori populasi baru berkembang pesat pada abad ke-19. Memang
dasar-dasar studi populasi telah ada sejak abad ke 17 tetapi kajian-kajian yang
lebih mendalam baru mulai mendapat perhatian setelah para ahli mulai
memikirkan masalah keterbatasan sumber daya (bahan makanan, perumahan dsb.)
dalam hubungannya dengan peningkatan penduduk.
Sepanjang sejarah dunia sejak abad-abad pertama bangsa-bangsa di Eropah dan
Asia Kecil telah mengenal sensus atau penghitungan jumlah penduduk. Antara lain

karena para penguasa ingin mengetahui besarnya pajak yang dapat dipungut dari
rakyatnya dan berapa besar angkatan perang yang dapat dikerahkan untuk
menaklukkan daerah-daerah sekitar yang dapat dijangkau untuk melebarkan
daerah jajahan.
Konsep-konsep mengenai analisis kependudukan baru mulai muncul pada abad ke
17 di Inggeris. Pada tahun 1662 Graunt mengemukakan argumentasi mengenai
pentingnya data sensus penduduk untuk menentukan laju kelahiran, laju kematian,
nisbah kelamin (sex ratio) dan struktur umur untuk mengukur potensi
pertumbuhan penduduk, dan ia berkesimpulan bahwa walaupun tanpa imigrasi
penduduk London pada waktu itu akan meningkat dua kali setelah 64 tahun.
Anthonie van Leeuwenhoek, yang dikenal sebagai penemu mikroskop karena
kegemarannya memeriksa makhluk-makhluk renik, juga gemar mengamati
perkembangan binatang kecil seperti kumbang beras, lalat carrion dan kutu
kepala manusia. Ia menghitung banyaknya telur yang diletakkan oleh lalat carrion
betina dan menyimpulkan bahwa dalam tiga bulan sepasang lalat tersebut dapat
menghasilkan 746.496 lalat.
Dalam bukunya berjudul Natural History, Buffon pada tahun 1756 ( vide Krebs,
1978) mengemukakan bahwa setiap populasi makhluk hidup mengalami proses yang
sama. Antara lain dikemukakan, walaupun tingkat keperidian (fertilitas) suatu
organisme mungkin sangat tinggi tetapi bahaya yang mengancam populasinya juga
besar. Lebih jauh ia mengemukakan bahwa ledakan populasi yang sewaktu-waktu
terjadi pada tikus lapangan sebagian dapat ditekan oleh penyakit dan kekurangan
makanan. Demikian pula, jika tidak terdapat penyakit yang mengancam populasi
kelinci, maka kelimpahan populasi kelinci akan mengubah setiap padang rumput
yang ada di dunia menjadi padang pasir. Buffon menolak hipotesis Aristoteles
mengenai ledakan populasi tikus lapangan yang dapat ditekan oleh hujan deras.
Akan ikhwal kelimpahan populasi tikus, seperti halnya dengan kelinci, ia
berpendapat bahwa epidemi tikus lapangan kemudian menurun karena timbulnya
wabah penyakit. Ternyata bahwa masalah-masalah yang telah dikemukakan oleh
Buffon mengenai hama dan penyakit pada pertengahan abad ke 18 itu masih saja
merupakan masalah kita sekarang --- 250 tahun sesudahnya.
Perlu pula disinggung mengenai teori demografi yang kontroversial dari Malthus.
Dalam bukunya Essay on Population Malthus menghitung, walaupun jumlah individu
suatu organisme dapat berkembang secara geometrik (deret ukur: 1, 2, 4, 8 ...)
tetapi sumber-sumber makanan tidak melampaui pertumbuhan aritmatik (deret
hitung: 1, 2, 3, 4 ...). Besarnya perbedaan dalam pola peningkatan kedua model ini
menyebabkan Malthus mengambil kesimpulan bahwa perkembangbiakan populasi
makhluk hidup akan dikendalikan oleh kemampuan makhluk hidup itu untuk

menghasilkan bahan makanan baginya. Peningkatan bahan makanan secara


aritmatik yang diberikan oleh Malthus memang merupakan hipotesis yang kurang
berdasar, tetapi sampai saat ini, 200 tahun setelah teori Malthus dicetuskan,
kita masih saja mempermasalahkan implikasi-implikasi teori itu, antara lain
kendali-kendali apa yang dapat dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk yang memang tidak sesederhana pertumbuhan menurut pola geometrik
seperti yang dihipotesiskan oleh Malthus itu. Salah seorang yang
mempertanyakan teori Malthus adalah Doubleday (vide Krebs, 1978).
Berdasarkan pengamatannya terhadap perkembangan populasi manusia, pada
tahun 1841 ia mengemukakan suatu teori bahwa jika suatu spesies terancam
populasinya maka kesuburannya akan meningkat. Teori ini didasarkan atas
beberapa kenyataan yang diamatinya pada saat itu yaitu adanya orang-orang yang
gizinya kurang akan tetapi tingkat kesuburannya lebih tinggi dari orang-orang
yang makanannya berkelimpahan. Doubleday menjelaskan bahwa penurunan
kesuburan pada orang-orang yang makanannya melimpah disebabkan oleh
kelebihan mineral dalam tubuhnya. Walaupun apa yang diamati oleh Doubleday
mungkin dapat kita amati sekarang namun pendekatan yang digunakannya untuk
menjelaskan masalah ini kini dianggap kurang tepat.
Quetelet, seorang ahli statistika Belgia adalah yang pertama kali
mengetengahkan teori mengenai terjadinya penekanan populasi sebagai akibat
peningkatan populasi secara geometrik. Pada tahun 1838, salah seorang mantan
muridnya, Verhulst, menggambarkan peningkatan suatu populasi terhadap waktu,
yang ia namakan kurva logistik dalam bentuk S.
Konsep yang dikemukakan oleh Verhulst telah membuka jalan bagi perkembangan
studi populasi sampai pada tahap yang dicapai sekarang. Kelak dalam bab-bab
berikut teori yang mendasari kurva logistik serta implikasi-implikasinya akan
dikaji lebih mendalam.

Populasi

Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk
hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat
melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu
waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Adapun sifatsifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan (densitas), laju
kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi) umur,
potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Dalam studi
populasi, lazimnya peneliti menentukan sendiri secara arbitrer kriteria yang
membatasi populasi yang akan ditelitinya. Sebagai contoh seorang peneliti dapat
secara arbitrer menentukan: populasi Eurema blanda L pada persemaian

Paraseriathes falcataria di Saradan, populasi banteng (Bos sondaicus} di Baluran,


populasi rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light) di gedung-gedung
Kampus Universitas Pakuan, Bogor dan seterusnya.
Dari segi populasi, ekologi dapat didefinisikan sebagai hubungan antara kerapatan
biomas populasi dengan lingkungan, interaksi antar ( inter) populasi dan dalam
(intra) populasi, serta efek populasi terhadap lingkungan.

Tingkatan organisasi

Seperti telah dikemukakan terdahulu populasi adalah sekelompok individu dari


suatu spesies pada suatu tempat yang terbatas dan tertentu (limited and
defined) dan pada waktu tertentu sedangkan lingkungan merupakan variabel fisik
dan hayati yang mempengaruhi populasi, termasuk interaksi antara individu dalam
populasi dan antar individu spesies-spesies yang berbeda.
Dem (deme) adalah populasi setempat (local population) yang merupakan
sekelompok individu di mana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok
itu memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu gene pool). Spesies
adalah himpunan populasi-populasi yang memiliki gene pool yang sama. Tingkatan
organisasi yang lebih tinggi adalah komunitas sebagai populasi dari berbagai
spesies yang hidup pada satu wilayah tertentu, sedangkan ekosistem adalah
komunitas bersama-sama dengan lingkungan fisiknya. Ekosistem-ekosistem
regional seperti daerah padang rumput, hutan hujan tropik dan hutan gugur daun
adalah bioma (biome).
Sistem kehidupan atau sistem hayati (life system) adalah suatu satuan ekologi
yang merupakan bagian dari ekosistem yang menentukan eksistensi, kelimpahan
dan evolusi dari populasi tertentu. Dari segi ini, ekosistem dapat dianggap sebagai
himpunan sistem-sistem kehidupan yang saling mengunci (interlocking life
system).

Jaring-jaring makanan, rantai makanan dan hubungan


trofik

Makanan sebagai sumber energi adalah salah satu komponen esensial untuk
kelangsungan hidup yang dapat membatasi pertumbuhan populasi. Hubungan
trofik merupakan pola hubungan produksi dan konsumsi bahan makanan antar
spesies dalam ekosistem, atau dalam ungkapan sederhana: apa yang dimakan oleh
suatu makhluk dan siapa yang memakan makhluk yang bersangkutan. Jika ini
diteruskan dengan beberapa spesies maka terbentuklah suatu rantai atau bahkan
beberapa rantai yang saling berhubungan dan membentuk jaring-jaring, yang
dikenal sebagai rantai makanan atau jaring-jaring makanan. Pola hubungan aras
trofik (trophic levels) tampak sangat sederhana tetapi kenyataan menunjukkan
bahwa jaring-jaring makanan dapat menjadi sangat kompleks.

Dari segi hubungan trofik, makhluk hidup dapat digolongkan dalam dua kategori
yaitu autotrof atau makhluk hidup yang memperoleh energi dari sinar matahari
dan/atau sumber-sumber non-hayati, dan heterotrof yang memperoleh energi
dari sumber-sumber hayati (makan makhluk hidup lain). Sinar matahari
merupakan sumber utama penghasil makanan melalui proses fotosintesis. Makhluk
hidup utama yang bertindak sebagai produsen (autotrof) adalah tumbuhan
(termasuk beberapa jenis bakteria), yang dapat memanfaatkan sinar matahari
untuk membentuk makanannya (seperti tumbuhan yang memiliki klorofil),
dan/atau dapat memanfaatkan bahan-bahan non hayati di sekitarnya untuk
makanannya. Sedangkan konsumen (heterotrof) adalah semua jenis makhluk hidup
di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari
tersedianya makhluk hidup produsen.
Sistem hubungan trofik dapat diberikan contoh, tegakan jati yang diserang rayap
inger-inger (Neotermes tectonae Damm.), sedangkan inger-inger sendiri menjadi
mangsa semut dan semut dimangsa oleh burung. Contoh lain adalah ayam yang
memangsa cacing tanah, dimangsa oleh musang, sedangkan musang dimangsa oleh
harimau. Pada contoh kedua ayam berada pada posisi ketiga (karena cacing tanah
makan humus yang berasal dari serasah bahan tumbuhan) sedangkan musang
keempat, dan harimau kelima. Dalam contoh ini baik ayam, musang dan harimau
adalah karnivora (makhluk pemakan hewan) tetapi sebenarnya ayam yang makan
cacing tanah tidak mutlak termasuk karnivora melainkan omnivivora (yang dapat
makan tumbuhan maupun hewan) sedangkan harimau dan musang lebih bersifat
karnivora. Sebagaimana halnya ayam, manusia juga termasuk omnivora karena kita
gemar makan kambing dan ayam dan sekaligus juga nasi, jagung dan sayur kubis.
Herbivora (makhluk pemakan tumbuhan) adalah konsumen primer, sedangkan
karnivora dapat dikategorikan kepada konsumen sekunder dan tertier. Serangga
biasanya berada pada posisi kedua dan ketiga dalam rantai makanan.
Berbagai hewan memiliki perilaku makan yang berbeda menurut musim. Misalnya
serigala Spitzbergen di dekat kutub Utara pada musim dingin bersifat saprofag
(memakan sisa-sisa jasad hidup yang telah mati) di perairan beku, sedangkan pada
musim panas memangsa burung-burung, serangga dan tumbuhan. Beberapa jenis
serangga berperilaku makan yang berbeda pula pada tahap-tahap
perkembangannya. Serangga holometabola seperti kupu-kupu jelas menunjukkan
sifat ini. Nyamuk pada stadium larva makan jasad renik dalam air, pada stadium
dewasa mengisap darah vertebrata. Karena makanan seringkali tidak tersedia
dalam kuantitas yang memadai, serangga holometabola (yang mengalami
metamorfosis sempurna seperti Lepidoptera Coleoptera, Hymenoptera dan
Diptera) yang makanannya berbeda pada stadium larva dan imago selalu

menghindar dari persaingan makanan dalam spesiesnya (intra-spesies). Sifat


adaptasi ini menyebabkan keberhasilan eksistensi serangga holometabola, yang
mencakup 85 persen dari seluruh spesies serangga. Sisanya (15 persen) adalah
serangga hemimetabola yang pada stadium dewasa dan pradewasa memiliki
morfologi dan perilaku makan yang sangat mirip satu dengan yang lain.
Studi populasi bertujuan untuk menjelaskan dan meramalkan perkembangan suatu
populasi. Dalam studi ini acapkali dipergunakan model untuk menjelaskan sistem
serta hubungan-hubungannya dapat diberikan secara kualitatif maupun
kuantitatif. Model adalah simplifikasi dari suatu sistem, yang menggambarkan
keadaan yang sebenarnya.
Untuk menyatakan bahwa hama kutu loncat, Heteropsylla sp. pada lamtoro
(Leucaena spp.) misalnya tahun depan tidak akan menjadi wabah lagi karena
menurut ramalan cuaca, hujan yang turun tahun depan di bawah normal. Dengan
curah hujan yang kurang, pucuk lamtoro sebagai makanan kutu akan berkurang,
pemangsa kutu loncat (Curinus coeruleus) akan menurun populasinya dan mungkin
akan kesulitan memperoleh mangsa yang lain. Dengan berkurangnya predator,
kemungkinan pada musim kemarau tahun berikutnya populasi kutu akan naik.
Turun naiknya populasi kutu daun berlangsung terus dalam bentuk siklus dua
tahunan sehingga kurva trayektori populasi berlangsung turun naik (osilasi).
Dasar-dasar pernyataan yang bersifat deskriptif ini telah memadai, jika faktor
penentu naik turunnya populasi kutu loncat semata-mata hanya faktor curah
hujan dan pemangsanya.
Untuk mendapatkan model yang lebih baik, wawasan kajian perlu diperluas dengan
memasukkan faktor-faktor lain seperti informasi mengenai pengaruh curah hujan
yang tinggi terhadap pertumbuhan lamtoro, musuh-musuh lain dari kutu lamtoro
(parasit, parasitoid), kemungkinan imigrasi individu kutu loncat dari tempat lain,
sifat genetik dan perilaku kutu loncat, dan seterusnya. Karena faktor yang
menentukan naik turunnya populasi organisme tidak semata-mata hanya
tergantung pada curah hujan dan pemangsanya saja. Berbagai faktor perlu
diketahui kemudian dicari besarnya pengaruh setiap faktor terhadap faktor yang
lain yang juga mungkin merupakan faktor yang menentukan untuk faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan populasi obyek yang kita kaji.
Penelitian ekologi populasi merupakan pencarian jawaban atas berbagai
pertanyaan seperti bagaimana perilaku pertumbuhan populasi jenis hayati A ?
Bagaimana nasib hutan hujan tropik Indonesia nanti setelah tahun 2000 ? Atau,
berapa pengaruh hutan kita dalam memasok oksigen di atmosfer pada tahun 2020
? Banyak jawaban atas masalah-masalah seperti disebutkan di atas dapat
diberikan secara deskriptif tetapi ketepatan (atau lebih tepat bila dikatakan

kesimpulan yang mendekati tepat) cenderung lebih mudah untuk diyakini bila
semua pengaruh, kaitan, fungsi, derivasi dan kecenderungan perilaku yang kita
kaji itu dianalisis dengan metode kuantitatif agar kesimpulan yang diambil tidak
terlampau samar-samar, dan ketidak-tepatan yang dihasilkan dapat diumpanbalikkan kepada proses kajian kita untuk diulangi kembali sehingga diperoleh hasil
yang lebih tajam.
Kepustakaan:
Begon, M, J.L. Harper dan C. L. Townsend (1990). Ecology: Individuals,
Populations and Communities. 2nd Ed. Blackwell Sci. Publ. , Boston, Oxford etc.
945 p.
Hoffmann, M.P. and Frodsham, A.C. (1993) Natural Enemies of Vegetable Insect
Pests. Cooperative Extension, Cornell University, Ithaca, NY. 63 pp.
Insect Biology and Ecology: A Primer.
http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html
(Cornell
University), dikunjungi 15 Desember 2000.
Krebs, C.J. (1978). Ecology: The experimental Analysis of Distribution and
Abundance, 2nd Ed.. Harper & Raw Publ., New York etc. 678 p.
Meyer, John R. ; Department of Entomology, NC State University, ENT 425
http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425 , dikunjungi 1 November 2000.
Odum, E.P. (1971). Fundamental of Ecology. W.B.Saunders Co. Philadelphia etc.,
574.
Tarumingkeng, PhD, Rudy C. (1994). Dinamika Populasi. Pustaka Sinar Harapan.
284 p.

Anda mungkin juga menyukai