Serangga Dan Lingkungan
Serangga Dan Lingkungan
Pendahuluan
Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu
pengetahuan), dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk
hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan, masih ada sekitar 10 juta spesies
serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam
menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem
dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar
biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem, seperti di
padang pasir dan Antarktika.
Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata,
kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam
biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu
habitat. Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti
Thysanoptera, berbagai macam kutu dll.) sampai yang besar seperti walang kayu,
kupu-kupu gajah dsb. Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan,
dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan
rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis
vertebrata.
Satu-satunya ekosistem di mana serangga tidak lazim ditemukan adalah di
samudera. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran,
bentuk dan perilaku. Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga
berkaitan erat dengan rangka luar (eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya
yang juga merangkap sebagai rangka penunjang tubuhnya, dan ukurannya yang
relatif kecil serta kemampuan terbang sebagian besar jenis serangga.
Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga
relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan
musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam
waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya
untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis serangga merupakan hama tanaman
budidaya, yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap
insektisida.
Beberapa jenis serangga juga berguna bagi kehidupan manusia seperti lebah
madu, ulat sutera, kutu lak, serangga penyerbuk, musuh alami hama atau serangga
perusak tanaman, pemakan detritus dan sampah, dan bahkan sebagai makanan
bagi mahluk lain, termasuk manusia. Tetapi sehari-hari kita mengenal serangga
dari aspek merugikan kehidupan manusia karena banyak di antaranya menjadi
hama perusak dan pemakan tanaman pertanian dan menjadi pembawa (vektor)
bagi berbagai penyakit seperti malaria dan demam berdarah. Walaupun demikian
sebenarnya serangga perusak hanya kurang dari 1 persen dari semua jenis
serangga. Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka
diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang
merugikan ini.
Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku
adaptasi dalam lingkungannya, dan demilkian banyaknya jenis serangga yang
terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang
murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika
populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula,
pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model
untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih
besar.
.
Kiri: Hippodamia glacialis, predator dari aphid (J.Ogrodnick)
Tengah: Cotesia congregata, parasitoid pada ulat (K.Kester)
Kanan: Larva Sphenoptera jugoslavica pada akar tanaman knapweed (R.Richard).
(Sumber: http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html
Anatomi serangga
).
Serangga pada umumnya ringan dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang
kuat. Jaringan otot dan organ-organ terdapat di dalamnya. Di seluruh permukaan
tubuhnya, integumen serangga memiliki berbagai syaraf penerima rangsang
cahaya, tekanan, bunyi, temperatur, angin dan bau.
Pada umumnya serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks (dada) dan
abdomen (badan). Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan makanan
dan rangsangan syaraf , serta untuk memproses informasi (otak). Berbagai
macam bagian mulut serangga seperti: pengunyah (Orthoptera, Coleoptera, ulat
akan adanya serangga yang bersifat musuh alami dari hama yang perlu
dihindarkan dari bahaya insektisida.
Karena serangga bernapas melalui spirakel (lobang-lobang) pada integumen,
penyumbatan spirakel akan meyebabkan kematiannya. Penggunaan insektisida
berbasis minyak merusak integumen (yang bahan utamanya adalah kutikel).
Ada pula bakteri yang menyebabkan penyakit serangga seperti Bacillus
thuringiensis. Komponen bakteri ini seperti spora kini telah diproduksi dan
dikemas sebagai insektisida thuricide. Thuricide menimbulkan penyakit saluran
pencernaan pada serangga. Sebagian besar insektisida yang digunakan sekarang
merupakan racun syaraf dan banyak di antaranya secara kimia dikembangkan dari
produk-produk alamiah seperti piretroida.
Contoh feromon sintetik yang kini digunakan sekarang antara lain untuk
mengendalikan serangan rayap pada bangunan dengan jalan menarik ( attracting);
rayap yang tertarik diberi makan flumuron (bahan perusak kutukel), membawanya
ke sarang koloni, menyebabkan koloni rayap tidak dapat berganti kulit dan
kemudian punah.
Reproduksi serangga
Kebanyakan serangga memiliki kelamin dan bereproduksi secara seksual. Pada
beberapa spesies jarang terdapat jantan atau jika terdapat hanya pada musimmusim tertentu saja. Dalam keadaan tak ada jantan, betinanya masih bisa
bereproduksi. Hal ini umum di antara kutu daun (Aphids). Pada beberapa jenis
penyengat (Hymenoptera), telur yang tak dibuahi menjadi jantan, sedangkan yang
dibuahi menjadi betina.
Apa pula spesies yang tak memiliki jantan, semua keturunannya betina. Biasanya
setiap telur mengembangkan satu embrio, tapi ada juga yang mengembangkan
banyak embrio (polyembryony), sampai ratusan. Biasanya, serangga bertelur;
namun ada pula jesis-jenis yang telurnya menetas dalam tubuh induk sehingga
melahirkan seperti ovipar, pada Aphids (kutu daun).
Pertumbuhan serangga biasanya melalui empat tahap bentuk hidup yaitu: telur,
larva / nimfa, pupa dan stadium dewasa. Telur diletakkan secara tunggal, atau
dalam kelompok, di dalam atau di atas jaringan tanaman atau binatang inang yang
menjadi sasaran makanan serangga. Embrio di dalam telur berkembang menjadi
larva atau nimfa (tergantung macam metamorfosis atau perkembangan) yang
keluar dari telur pada saat telur menetas.
Dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga, yaitu metamorfosis
sempurna atau holometabola yang melaui tahapan-tahapan atau stadium: telur
Kelas - Insecta
Ordo - Lepidoptera
Famili - Plutellidae
Genus - Plutella
Ekologi serangga
Ekologi adalah disiplin kajian hubungan-hubungan antar mahluk hidup dan
lingkungannya. Mengetahui kelimpahan (abundance) serangga (hama) yang
menyerang tanaman tertentu serta pengetahuan tentang kegiatan dan penampilan
hama tersebut (phenology) merupakan factor-faktor penting dalam menentukan
pengendaliannya. Beberapa hama memiliki hanya satu generasi pada satu musim
(univoltine), sedangkan ada pula yang banyak generasi per musim (multivoltine).
Dalam pengendalian hama berkonteks agrosistem biasanya hama dianggap sebagai
populasi. Atribut-atribut penting populasi adalah kerapatan, distribusi umur, laju
kelahiran dan laju kematian.
Dinamika populasi
Di bumi ini tak ada satupun yang tidak berubah. "Semua berubah dari waktu ke
waktu; tak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri". Demikian ucap
Heraklitus 500 tahun S.M. Oleh perubahan juga maka kita mengenal jenis-jenis
hayati dan individu-individu populasi yang ada sekarang -- termasuk di dalamnya
eksistensi (dan status) kita sebagai bagian dari populasi hayati di bumi. Dan
mungkin kita menyesali jika suatu saat karena ulah manusia sendiri atau bukan,
ada jenis (spesies) tertentu punah. Bahkan juga mungkin kita merasa
berkeberatan jika ada jenis lain yang tak diinginkan muncul. Perubahan yang
terjadi di bumi sebagian besar melibatkan populasi jenis-jenis hayati di mana
manusia termasuk di dalamnya. Tetapi manusia pula yang dianggap bertanggung
jawab untuk "memulihkan" perubahan atau lebih etis jika dikatakan
mengendalikan perubahan agar "berubah" ke arah lebih menguntungkan manusia
-- agar cukup tersedia populasi spesies-spesies hayati seperti tanaman padi,
ternak sapi, populasi ikan di laut dan di danau, semuanya untuk pasokan pangan.
Tapi kita tak menginginkan jika populasi tikus di Jakarta menjadi demikian
banyaknya sehingga jumlahnya melebihi jumlah penduduk Jakarta sendiri
(walaupun perkiraan itu mungkin benar) atau patogen koli (salah satu penyebab
penyakit saluran pencernaan manusia) di sungai-sungai dan perairan menjadi
demikian meningkat dan mengancam kesehatan kita, sehingga dari waktu ke waktu
perlu dikendalikan (perlu diubah). Apa yang dikemukakan merupakan topik
populasi dan perubahan, atau singkatnya -- dinamika populasi.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang berlangsung demikian cepatnya masa kini
diiringi oleh pengurasan sumber-sumber alam dalam bentuk populasi hayati yang
cenderung semakin meningkat dan dampaknya pun semakin terasa. Dampakdampak yang merupakan akibat perubahan-perubahan status sistem sumbersumber hayati sepanjang dimensi waktu kehidupan manusia dari generasi ke
generasi, termasuk konteks ilmu perilaku alam -- yang perlu dikuasai dengan
teknologi, termasuk metode-metode kuantitatif/ numerika. Tanpa analisis
kuantatif rasanya tak mungkin manusia dapat meramalkan dampak-dampak
kualitatif akibat perubahan-perubahan perilaku manusia dalam ia memanfaatkan
dan mengelola sumber daya alamnya. Upaya ini merupakan salah satu jawaban atas
tantangan-tantangan yang dihadapi yang tak dapat tidak dilakukan melalui ilmu
dan teknologi juga.
Masalah populasi mencakup sistem hayati apa saja yang ada di bumi ini dan
sehari-hari mungkin menjadi pembicaraan bahkan menjadi isyu politik dan
pembangunan. Jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan sistem dalam
pembahasan selanjutnya tak lain dari sistem populasi dalam konteks populasi
hayati yang menghuni bumi ini seperti jenis-jenis tetumbuhan (tanaman
budidaya, pohon dsb.), satwa liar, ikan, ternak dan jasad renik seperti bakteria
dan protozoa baik yang kini diketahui bermanfaat maupun yang diketahui tak
bermanfaat atau bahkan merugikan yang semuanya dikenal sebagai sumber daya
hayati yang bertumbuh sehingga terus-menerus mengalami perubahan.
Sistem pertumbuhan populasi dikaji menurut perjalanan waktu tertentu dan
menurut laju tertentu, sehingga ia tunduk pada kaidah-kaidah dinamika. Demikian
pula ekosistem yang terbentuk dari populasi serta lingkungan fisiknya senantiasa
berubah dan bertumbuh sepanjang waktu. Pertumbuhan ekonomi, perubahan
sosial, proses pendidikan dan bahkan proses pembangunan merupakan contohcontoh lain yang memerlukan berbagai analisis yang didasarkan atas kaidahkaidah perubahan (dinamika) dengan mempertimbangkan sumberdaya hayati awal,
laju pertumbuhan dan batas-batas pertumbuhan (kemampuan sumber serta daya
dukung lingkungan), pengaruh-pengaruh lain dari lingkungan dan sistem-sistem
terkait lainnya.
Suatu keunggulan (advantage) bagi ekologi masakini adalah tidak seperti 40 tahun
yang lampau, ekologi baru merupakan masalah "akademik" yang dibicarakan di
sekolah atau institusi yang berkaitan, kini ekologi telah menjadi perbincangan
khalayak dan merupakan isyu pembangunan, karena kesadaran akan dampakdampak masalah ekologi semakin memasyarakat. Khalayak juga telah menyadari
akan terbatasnya sumber-sumber alam seperti hutan, tanah dan air, terancamnya
perairan, komunitas-komunitas dalam ekosistem dan sebagainya. Masalah-masalah
yang berkaitan dengan keterbatasan sumber, usaha-usaha pelestarian dalam
hubungannya dengan keanekaragaman hayati --- dan yang kini populer dengan
ungkapan pemungutan hasil berasaskan kelestarian sumber, --- perlu dipecahkan
oleh para pakar sumberdaya berdasarkan analisis yang mendalam dan
pengetahuan yang komprehensif karena ramifikasi sistem dan komponen
lingkungan serta sumberdaya hayati yang sangat kompleks dan dinamis tidaklah
sesederhana konstruksi fisik. Hal ini merupakan salah satu kendala dalam
pengkajian masalah lingkungan dan sumberdaya hayati.
Dalam kaitan dengan hubungan inang-parasitoid atau mangsa-pemangsa, model
teoretik dinamika pertumbuhan "mangsa (sumberdaya) dan dinamika "pemangsa"
(pemungut hasil, the exploiter), dapat dikaji lebih lanjut bagi pemecahan
pemanfaatan sumberdaya alam berasaskan kelestarian dalam konteks manajemen
populasi sumber daya hayati untuk keperluan pembangunan umat manusia. Lebih
jauh, masalah keseimbangan dan kestabilan populasi dan ekosistem merupakan
salah satu kajian kunci bagi analisis kelestarian dan keanekaragaman hayati.
Studi populasi dan ekosistem merupakan bagian dari ekologi. Sejak tahun 1960-an
telah banyak diterbitkan buku-buku teks ekologi. Di antara sekian banyak bukubuku ekologi yang digunakan untuk subyek ini antara lain dapat diacu Odum (edisi
ketiga, 1971), Watts (1973), Southwick (1976), Price (1975), Krebs (1978) dan
Begon, Harper dan Townsend, (edisi kedua, 1990).
Sejak zaman dahulu orang telah mengamati masalah-masalah ekologi tetapi istilah
ekologi sendiri belum digunakan pada waktu itu. Masyarakat primitif telah
menggunakan tumbuhan dan hewan di sekitar mereka untuk keperluan hidupnya.
Peradaban manusia secara bertahap tumbuh sejak manusia mulai menggunakan api
dan alat-alat untuk mengubah lingkungannya bagi kepentingan kelangsungan
hidupnya. Kemajuan penguasaan manusia terhadap alam sejalan dengan
berkembangnya peradaban yang berarti juga perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang menghasilkan teknik-teknik pemanfaatan sumber-sumber alam
secara lebih efisien. Pertumbuhan peradaban juga menyebabkan penduduk dunia
semakin meningkat dan hal ini diiringi oleh berkurangnya kualitas dan kuantitas
sumber-sumber alam yang dieksploitasi manusia. Proses-proses perubahan yang
bersifat dinamik ini lambat laun menginsyafkan manusia bahwa sumber-sumber
alam yang persediaannya terbatas perlu dikelola secara lestari agar hasil yang
diperoleh dari padanya tak mengalami penurunan, akan tetapi tetap berlanjut
(sustainable) dan sumber-sumber alam hayati yang digunakan diusahakan untuk
dapat dibaharui (renewable).
Tulisan-tulisan mengenai ekologi pada zaman dahulu muncul dalam konteks ilmu
hewan, ilmu tumbuhan dan/atau ilmu hayat. Pada abad ke 4 sebelum Masehi filsuf
Aristoteles mencoba menjelaskan masalah-masalah epidemi hama belalang dan
tikus yang sering mengancam tanaman pertanian Yunani. Dalam bukunya Historia
Animalium, Aristoteles menjelaskan bahwa terjadinya ledakan hama tikus
disebabkan oleh laju pertumbuhan populasi tikus yang tak terkendalikan oleh
musuh-musuh alaminya, dan pada waktu itu manusia tidak sanggup mengatasinya.
Menurut Aristoteles, hanya hujan deraslah yang dapat menghempaskan populasi
tikus itu sampai mati dan mengalirkannya ke sungai-sungai dan selanjutnya ke
laut. Plato dan Herodotus juga dalam tulisan mereka menyinggung mengenai alam
dan sumber-sumbernya yang mampu menjamin berlangsungnya kehidupan spesiesspesies mahluk hidup. Mereka menganggap bahwa kerapatan populasi atau jumlah
individu dari setiap spesies tidak banyak berubah sepanjang waktu. Jika terjadi
ledakan populasi yang dapat membawa bencana, hal ini disebabkan oleh tindakan
dewa-dewa untuk menghukum orang-orang yang hidupnya tidak berkenan kepada
para dewa. Penulis-penulis ini beranggapan bahwa dalam alam terdapat
keseimbangan, dan keselarasan (harmony) sehingga tidak akan ada spesies yang
karena para penguasa ingin mengetahui besarnya pajak yang dapat dipungut dari
rakyatnya dan berapa besar angkatan perang yang dapat dikerahkan untuk
menaklukkan daerah-daerah sekitar yang dapat dijangkau untuk melebarkan
daerah jajahan.
Konsep-konsep mengenai analisis kependudukan baru mulai muncul pada abad ke
17 di Inggeris. Pada tahun 1662 Graunt mengemukakan argumentasi mengenai
pentingnya data sensus penduduk untuk menentukan laju kelahiran, laju kematian,
nisbah kelamin (sex ratio) dan struktur umur untuk mengukur potensi
pertumbuhan penduduk, dan ia berkesimpulan bahwa walaupun tanpa imigrasi
penduduk London pada waktu itu akan meningkat dua kali setelah 64 tahun.
Anthonie van Leeuwenhoek, yang dikenal sebagai penemu mikroskop karena
kegemarannya memeriksa makhluk-makhluk renik, juga gemar mengamati
perkembangan binatang kecil seperti kumbang beras, lalat carrion dan kutu
kepala manusia. Ia menghitung banyaknya telur yang diletakkan oleh lalat carrion
betina dan menyimpulkan bahwa dalam tiga bulan sepasang lalat tersebut dapat
menghasilkan 746.496 lalat.
Dalam bukunya berjudul Natural History, Buffon pada tahun 1756 ( vide Krebs,
1978) mengemukakan bahwa setiap populasi makhluk hidup mengalami proses yang
sama. Antara lain dikemukakan, walaupun tingkat keperidian (fertilitas) suatu
organisme mungkin sangat tinggi tetapi bahaya yang mengancam populasinya juga
besar. Lebih jauh ia mengemukakan bahwa ledakan populasi yang sewaktu-waktu
terjadi pada tikus lapangan sebagian dapat ditekan oleh penyakit dan kekurangan
makanan. Demikian pula, jika tidak terdapat penyakit yang mengancam populasi
kelinci, maka kelimpahan populasi kelinci akan mengubah setiap padang rumput
yang ada di dunia menjadi padang pasir. Buffon menolak hipotesis Aristoteles
mengenai ledakan populasi tikus lapangan yang dapat ditekan oleh hujan deras.
Akan ikhwal kelimpahan populasi tikus, seperti halnya dengan kelinci, ia
berpendapat bahwa epidemi tikus lapangan kemudian menurun karena timbulnya
wabah penyakit. Ternyata bahwa masalah-masalah yang telah dikemukakan oleh
Buffon mengenai hama dan penyakit pada pertengahan abad ke 18 itu masih saja
merupakan masalah kita sekarang --- 250 tahun sesudahnya.
Perlu pula disinggung mengenai teori demografi yang kontroversial dari Malthus.
Dalam bukunya Essay on Population Malthus menghitung, walaupun jumlah individu
suatu organisme dapat berkembang secara geometrik (deret ukur: 1, 2, 4, 8 ...)
tetapi sumber-sumber makanan tidak melampaui pertumbuhan aritmatik (deret
hitung: 1, 2, 3, 4 ...). Besarnya perbedaan dalam pola peningkatan kedua model ini
menyebabkan Malthus mengambil kesimpulan bahwa perkembangbiakan populasi
makhluk hidup akan dikendalikan oleh kemampuan makhluk hidup itu untuk
Populasi
Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk
hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat
melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu
waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Adapun sifatsifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan (densitas), laju
kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi) umur,
potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Dalam studi
populasi, lazimnya peneliti menentukan sendiri secara arbitrer kriteria yang
membatasi populasi yang akan ditelitinya. Sebagai contoh seorang peneliti dapat
secara arbitrer menentukan: populasi Eurema blanda L pada persemaian
Tingkatan organisasi
Makanan sebagai sumber energi adalah salah satu komponen esensial untuk
kelangsungan hidup yang dapat membatasi pertumbuhan populasi. Hubungan
trofik merupakan pola hubungan produksi dan konsumsi bahan makanan antar
spesies dalam ekosistem, atau dalam ungkapan sederhana: apa yang dimakan oleh
suatu makhluk dan siapa yang memakan makhluk yang bersangkutan. Jika ini
diteruskan dengan beberapa spesies maka terbentuklah suatu rantai atau bahkan
beberapa rantai yang saling berhubungan dan membentuk jaring-jaring, yang
dikenal sebagai rantai makanan atau jaring-jaring makanan. Pola hubungan aras
trofik (trophic levels) tampak sangat sederhana tetapi kenyataan menunjukkan
bahwa jaring-jaring makanan dapat menjadi sangat kompleks.
Dari segi hubungan trofik, makhluk hidup dapat digolongkan dalam dua kategori
yaitu autotrof atau makhluk hidup yang memperoleh energi dari sinar matahari
dan/atau sumber-sumber non-hayati, dan heterotrof yang memperoleh energi
dari sumber-sumber hayati (makan makhluk hidup lain). Sinar matahari
merupakan sumber utama penghasil makanan melalui proses fotosintesis. Makhluk
hidup utama yang bertindak sebagai produsen (autotrof) adalah tumbuhan
(termasuk beberapa jenis bakteria), yang dapat memanfaatkan sinar matahari
untuk membentuk makanannya (seperti tumbuhan yang memiliki klorofil),
dan/atau dapat memanfaatkan bahan-bahan non hayati di sekitarnya untuk
makanannya. Sedangkan konsumen (heterotrof) adalah semua jenis makhluk hidup
di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari
tersedianya makhluk hidup produsen.
Sistem hubungan trofik dapat diberikan contoh, tegakan jati yang diserang rayap
inger-inger (Neotermes tectonae Damm.), sedangkan inger-inger sendiri menjadi
mangsa semut dan semut dimangsa oleh burung. Contoh lain adalah ayam yang
memangsa cacing tanah, dimangsa oleh musang, sedangkan musang dimangsa oleh
harimau. Pada contoh kedua ayam berada pada posisi ketiga (karena cacing tanah
makan humus yang berasal dari serasah bahan tumbuhan) sedangkan musang
keempat, dan harimau kelima. Dalam contoh ini baik ayam, musang dan harimau
adalah karnivora (makhluk pemakan hewan) tetapi sebenarnya ayam yang makan
cacing tanah tidak mutlak termasuk karnivora melainkan omnivivora (yang dapat
makan tumbuhan maupun hewan) sedangkan harimau dan musang lebih bersifat
karnivora. Sebagaimana halnya ayam, manusia juga termasuk omnivora karena kita
gemar makan kambing dan ayam dan sekaligus juga nasi, jagung dan sayur kubis.
Herbivora (makhluk pemakan tumbuhan) adalah konsumen primer, sedangkan
karnivora dapat dikategorikan kepada konsumen sekunder dan tertier. Serangga
biasanya berada pada posisi kedua dan ketiga dalam rantai makanan.
Berbagai hewan memiliki perilaku makan yang berbeda menurut musim. Misalnya
serigala Spitzbergen di dekat kutub Utara pada musim dingin bersifat saprofag
(memakan sisa-sisa jasad hidup yang telah mati) di perairan beku, sedangkan pada
musim panas memangsa burung-burung, serangga dan tumbuhan. Beberapa jenis
serangga berperilaku makan yang berbeda pula pada tahap-tahap
perkembangannya. Serangga holometabola seperti kupu-kupu jelas menunjukkan
sifat ini. Nyamuk pada stadium larva makan jasad renik dalam air, pada stadium
dewasa mengisap darah vertebrata. Karena makanan seringkali tidak tersedia
dalam kuantitas yang memadai, serangga holometabola (yang mengalami
metamorfosis sempurna seperti Lepidoptera Coleoptera, Hymenoptera dan
Diptera) yang makanannya berbeda pada stadium larva dan imago selalu
kesimpulan yang mendekati tepat) cenderung lebih mudah untuk diyakini bila
semua pengaruh, kaitan, fungsi, derivasi dan kecenderungan perilaku yang kita
kaji itu dianalisis dengan metode kuantitatif agar kesimpulan yang diambil tidak
terlampau samar-samar, dan ketidak-tepatan yang dihasilkan dapat diumpanbalikkan kepada proses kajian kita untuk diulangi kembali sehingga diperoleh hasil
yang lebih tajam.
Kepustakaan:
Begon, M, J.L. Harper dan C. L. Townsend (1990). Ecology: Individuals,
Populations and Communities. 2nd Ed. Blackwell Sci. Publ. , Boston, Oxford etc.
945 p.
Hoffmann, M.P. and Frodsham, A.C. (1993) Natural Enemies of Vegetable Insect
Pests. Cooperative Extension, Cornell University, Ithaca, NY. 63 pp.
Insect Biology and Ecology: A Primer.
http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html
(Cornell
University), dikunjungi 15 Desember 2000.
Krebs, C.J. (1978). Ecology: The experimental Analysis of Distribution and
Abundance, 2nd Ed.. Harper & Raw Publ., New York etc. 678 p.
Meyer, John R. ; Department of Entomology, NC State University, ENT 425
http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425 , dikunjungi 1 November 2000.
Odum, E.P. (1971). Fundamental of Ecology. W.B.Saunders Co. Philadelphia etc.,
574.
Tarumingkeng, PhD, Rudy C. (1994). Dinamika Populasi. Pustaka Sinar Harapan.
284 p.