HEPATIKUM
Try Merdeka Puri
04104705047
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
ENSEFALOPATI HEPATIKUM
II.2 Etiologi
Penyebab
Intake protein dalam jumalah tinggi, pendarahan gastrointestinal
nitrogen
load
Gangguan
elektrolit
atau
metabolik
Obatobatan
Infection
infeksi paru)
Pneumonia, infeksi saluran kemih , peritonitis bakteri spontan ,
Infeksi
Lain-lain
infeksi lain
pembedahan, perburukan dari penyakit hati, menyebabkan
kerusakan hati kerusakan hati (misalnya hepatitis alkoholik ,
idiopathik
hepatitis A )
Pada 20-30% kasus, tidak ada penyebab yang jelas
II.3 Patofisiologi
Patogenesis EH sampai saat ini belum diketahui secara pasti karena :
1. masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar neurokimia/neurofisiologis.
2. heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda
dalam jaringan otak
3. ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan
biokimia saling berkaitan satu dengan lainnya.
Secara umum dikemukakan bahwa EH terjadi akibat akumulasi dari
sejumlah zat neuro-aktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam
sirkulasi sitemik (Mullen, 2007)
Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan :
1. Hipotesis Amoniak
Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam
lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati amonia
dirubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi glutamin pada
sel hati perivenus, sehingga jumlah amonia yang masuk ke sirkulasi dapat
dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi oleh otot (50%), hati,
ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi gangguan
metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia
sebesar 5-10 kali lipat.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa amonia secara in vitro akan
mengubah loncatan (fluk) klorida melalui membran neural dan akan
menganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Di samping itu amonia
dalam proses detoksifikasi akan menekan eksitasi transmiter asam amino,
aspartat, dan glutamat.
serta
penekanan
aktivitas
NaK-ATP-ase
sehingga
dapat
b. pada gagal hati seperti pada sirosis hati akan terjadi penurunan asam
amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin dan
isoleusin, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan asam amino
aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena
penurunan ambilan hati (hepatic-uptake). Rasio antara BCAA dan
AAA (Fisischer ratio) normal antara 3-3.5 akan menjadi lebih kecil
dari 1.0. Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting
dipertahankan
karena
akan
menggambarkan
konsentrasi
amonia
GABA
obstipasi
Neuromuscular Function
None
EEG
Frekuensi Alfa
Sleep disturbance
Monotone voice
(8.5-12 siklus/dtk)
7-8 siklus/dtk
Impaired concentration
Tremor
Depression, anxiety, or
Poor handwriting
irritability
Drowsiness (Lethargy)
Constructional apraxia
Ataxia
Disorientation
Dysarthria
Poor short-term
Asterixis
memory
Automatism (yawning,
Disinhibited behaviour
Somnolence
blinking, sucking)
Nystagmus
Confusion
Muscular rigidity
Amnesia
Hyperreflexia or
Anger, paranoia, or
hyporeflexia
other bizzare
Coma
Dilated pupils
3 siklus/dtk atau
Oculocephalic or
negatif
5-7 siklus/dtk
3-5 siklus/dtk
oculovestibular reflexes
Decebrate posturing
Gejala-gejala tersebut tidak akan muncul sampai fungsi otak terpengaruh.
Gejala yang muncul pada awal adalah constructional apraxia, di mana pasien
tidak mampu untuk menggambar hal-hal yang sederhana seperti bintang.
Agitasi dan mania dapat muncul tapi jarang terjadi. Defisit neurologis
yang terjadi bersifat simetris. Bau mulut yang khas dapat muncul dan tidak
bergantung pada grade dari EH.
II.5 Diagnosis
EH dapat ditegakkan berdasarkan :
-
Laboratorium
karena EH merupakan sindrom neuropsikiatrik non-spesifik, maka tes
biokemikal kurang memadai untuk menegakkan diagnosis. Yang paling
informatif adalah kadar amonia dalam darah. Amonia merupakan hasil
akhir dari metabolisme asam amino baik yang berasal dari dekarboksilasi
protein maupun hasil deaminasi glutamin pada usus dari hasil katabolisme
protein otot. Dalam keadaan normal amonia dikeluarkan oleh hati dengan
pembentukan urea. Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati, terjadi
peningkatan konsentrasi amonia darah karena gangguan fungsi hati dalam
mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas (shunt) porto-sistemik. Nilai
>100 g/100 ml dianggap abnormal.
Tingkat ensefalopati
0
I
II
III
IV
-
EEG
Terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah siklus gelombang
per detik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12
Hz). Pemeriksaan ini kurang tepat dibandingkan dengan pemeriksaan
evoked potentials.
Tes psikometri
Cara ini dapat membantu m enilai tingkat kemampuan intelektual pasien
yang mengalami EH subklinis. Penggunaannya sangat sederhana dan
mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak
mahal. Tes ini pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail Making Test)
yang dipergunakan secara luas pada ujian personal militer Amerika (Conn
HO, 1994) kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut Uji
Hubung Angka (UHA) atau Number Connection Test (NCT), dengan
menghubungakan angka-angka dari 1-25, kemudian diukur lama
penyelesaian oleh pasien dalam satuan detik.
10
Tingkat
Hasil UHA
ensefalopati
0
I
II
III
IV
(detik)
15-30
31-50
51-80
81-120
>120
II.7 Penatalaksanaan
Harus diperhatikan apakah EH yang terjadi adalah primer atau sekunder.
Pada EH primer, terjadinya ensepalopati adalah akibat kerusakan parenkim hati
yang berat tanpa adanya faktor pencetus (presipitasi), sedangkan pada EH
sekunder terjadinya koma dipicu oleh faktor pencetus.
Tujuan utama :
1. Memberikan dukungan perawatan suportif
2. Memperbaiki faktor-faktor pencetus
3. Mengurangi asupan nitrogen di dalam saluran cerna
4. Memberikan kebutuhan pengobatan jangka panjang
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka yang harus dilakukan adalah :
1. Mengobati penyakit dasar hati jika mungkin
11
12
ANALISIS KASUS
Pada pasien ditemukan gejala klinis berupa batuk berdahak lama (6 bulan)
sebelumnya, disertai riwayat demam yang tidak terlalu tinggi, keringat pada
malam hari, penurunan berat badan, dan kadang sesak napas. Dari pemeriksaan
spesifik didapatkan temuan berupa adanya ronkhi basah sedang pada seluruh
lapangan paru kanan maupun kiri. Kombinasi riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan fisik disertai adanya hasil kultur dahak (++) di rumah sakit tempat
pasien berobat sebelumnya, serta riwayat minum obat paru (OAT) selama 2 bulan
13
maka Pasien dogolongkan sebagai kasus baru Tb paru BTA (++) on terapi OAT
kategori 1 fase intensif.
Berdasarkan anamnesis lebih lanjut, pada pasien didapatkan riwayat
meminum obat paru selama 2 bulan, setelah minum obat selama 1,5 bulan mata
pasien mulai terlihat kuning, BAK berwarna seperti teh tua. Semakin hari mata
pasien semakin kuning dan kuningnya menyebar hingga ke kulit tangan dan kaki
pasien. Sebelumnya pasien tidak pernah menderita penyakit kuning dan
dikeluarganya juga tidak ditemukan riwayat penyakit yang sama. Dilihat dari
gejala-gejala pasien dimana gejala-gejala seperti demam, kurang nafsu makan,
mual, nyeri perut, dan kemudian BAK berwarna teh tua disusul dengan timbul
kuning pada kulit dan mata, ditambah dengan penemuan dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya sklera ikterik pada kedua mata, hepatomegali 3 jari dibawah
arcus costae yang kenyal pada perabaan dengan permukaan rata dan tepi tajam,
yang terjadi setelah pasien meminum OAT, maka diagnosis sementara adalah
jaundice suspect hepatitis drug induce karena pengaruh pemakaian OAT.
Hepatomegali dan tenderness pada perabaan hati yang timbul pada pasien
dikarenakan hepatitis drug induce (OAT) dapat mempengaruhi fungi liver ketika
melakukan replikasi dalam hepatosit. Sistem imun seseorang kemudian akan
teraktivasi untuk memproduksi sebuah reaksi spesifik untuk mencoba melawan
dan mengeradikasi agen infeksius tersebut. Sebagai konsekuensinya, liver akan
pembesaran.
Dari anamnesis didapatkan 1 hari SMRS kesadaran pasien mengalami
penurunan, pasien menjadi sering gelisah, tidak bisa tidur. Pasien juga tidak bisa
menjawab pertanyaan yang diberikan, pasien hanya mau membuka matanya
14
15
16
Pada pasien didapatkan bilirubin total 30,83 mg/dl, hasil ini mengalami
peningkatan dari nilai normal. Bilirubin adalah hasil pemecahan heme yaitu
bagian dari hemoglobin. Liver bertanggungjawab atas clearance dari bilirubin
melalui proses konjugasi agar lebih larut air untuk disekresi ke empedu kemudian
diekskresi ke lumen usus. Ikterus yang timbul pada pasien diakibatkan oleh proses
peradangan intrahepatik mengganggu transport bilirubin konjugasi. Fase ini
terjadi di mana penyakit kuning berkembang di tingkat bilirubin total melebihi 20
- 40 mg/l. Fase ikterik biasanya dimulai dalam waktu 10 hari gejala awal
didahului urin yang berwarna coklat, sklera kuning, kemudian seluruh badan
menjadi kuning.
Dari semua hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang ada
maka pasien ini didiagnosis dengan encephalopathy hepaticum grade III et causa
hepatitis drug induce (OAT) + Kasus baru TB paru BTA (++) on terapi OAT
kategori I fase Intensif dengan infeksi sekunder + hipokalemia + insuffisiensi
ginjal.
Diagnosis bandingnya adalah encephalopathy hepaticum grade III et
causa hepatitis viral acute + Kasus baru TB paru BTA (++) on terapi OAT
kategori I fase Intensif dnegan infeksi sekunder + hipokalemia + insuffisiensi
ginjal. Untuk pemeriksaan lebih lanjut maka diperlukan pemeriksaan HbsAg,
AntI HAV IgM, Anti HCV, PT INR, foto thoraks PA, USG abdomen dan kultur
serta resistensi sputum.
Tatalaksana pada pasien ini meliputi tatalaksana medikamentosa dan nonmedikamentosa. Non medikamentosa berupa tirah baring, Diet cair HATI I +
protein 20 gr/hari. Sedangkan medikamentosa meliputi pemberian KCL (IVFD
NaCl 0,9 %+ 2 flash KCL gtt XV kali/menitIVFD RL) untuk memperbaiki
17
kondisi hipokalemia,. IVFD drip Hepamerz 2 Amp dalam RL 500 gtt XV kali/
menit, pemberian selulosa 2x1 c yang bermanfaat dalam menciptakan lingkungan
dengan pH asam yang akan menghambat penyerapan amoniak. Selain itu juga
membuat frekuensi defekasi bertambah sehingga memperpendek waktu transit
protein di usus. Pasien juga diberikan OBH syrup untuk mengurangi batuk yang
dialaminya, serta diberikan antibiotic ceftriaxone untuk mengatasi infeksi
sekunder yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci, A.S., Kasper, D.L., Longo, D.L, et all; Hepatic Encephalopathy in
Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th Edition. USA: McGrawHill. 2006.
18
19