Anda di halaman 1dari 4

WIDYO SULISTYO PUTRO

NIM : 15412030
PRODUKSI 2 A

BAGAIMANAKAH NASIB BLOK MASELA ?

1. PENDAHULUAN

Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan populasi manusia dengan berbagai aktivitas


hidupnya menjadi faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan terhadap energi di segala
aspek penggunaanya. Semakin meningkatnya kebutuhan energi yang berbanding terbalik
dengan usaha pengembangan sumber daya energi dan pembaruan cadangan energi
mengakibatkan krisis energi melanda berbagai negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.
Penggunaan energi di Indonesia meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan
pertambahan penduduk yang mengakibatkan meningkatnya konsumsi energi per kapita.
Indonesia sejak tahun 2005 mencatat pertumbuhan konsumsi energi hingga 7 persen per
tahun. Peningkatan kebutuhan energi tersebut menuntut ketersediaan pasokan energi jangka
panjang secara berkesinambungan, terintegrasi dan ramah lingkungan. Sebagai mana yang
saya ketahui, energi adalah kebutuhan primer manusia yang menjadi penggerak utama
aktivitas hidup dan roda ekonomi negara. Indonesia sebagai negara dengan anugerah
kekayaan sumber daya energi yang melimpah salah satunya adalah gas, sudah sepantasnya
menikmati apa yang disebut ketahanan energi nasional. Setiap elemen bangsa sudah
seharusnya diberi jaminan akan pemenuhan kebutuhan energi dalam rangka mencapai
kedaulatan energi, eksploitasi dan pengembangan sumber daya energi pada semua bidang
menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan. Cadangan gas bumi blok Masela di wilayah
provinsi Maluku adalah salah satu blok yang memiliki cadangan gas terbesar di Indonesia
dan bisa jadi terbesar di dunia. Pembangunan ladang gas abadi itu di darat akan lebih
menjamin kepentingan nasional dan pemerintah daerah setempat dibandingkan pembangunan
kilang terapung.
Presiden RI Joko Widodo memutuskan skema pengolahan gas alam cair atau
pembangunan kilang liquified natural gas (LNG) Blok Masela dilakukan di darat (onshore).
Hal ini diumumkannya di Ruang Tunggu Keberangkatan Bandar Udara Supadio, Pontianak,
Kalimantan Barat, Rabu 23 Maret 2016. Ada beberapa pertimbangan yang disampaikan
Jokowi soal keputusannya itu. Pertama, pemerintah ingin ekonomi daerah dan juga ekonomi
nasional, terimbas dari adanya pembangunan blok Masela. Kedua, pembangunan wilayah
regional juga diharapkannya terkena dampak dari pembangunan besar, Blok Masela ini.
Sebelum diumumkan Presiden Jokowi bahwa blok Masela akan dibangun di darat, ada beda
pendapat pada jajaran kabinet kerja. Kementerian ESDM mengusulkan Floating LNG
offshore, sementara Kemenko Maritim mengusulkan pipanisasi atau onshore. Seharusnya
para pembantu presiden tersebut saling mendukung satu sama lain bukannya saling silang
pendapat agar para investor asing bisa merasa nyaman untuk menginvestasikan modal
mereka dalam pembangunan blok Masela tersebut. Mengapa bisa terjadi perbedaan yang
tajam antara 2 kementerian diatas terkait rencana pengolahan blok Masela? Seperti apa

keuntungan serta kekurangan masing-masing pilihan, baik floating offshore maupun


pipanisasi onshore fasilitas pengolahan gas di blok Masela nantinya? Untuk menjawab
pertanyaan diatas, berikut ini adalah dua paragraf yang akan menjawab pertanyaan terkait
beda pendapat antara 2 kementerian kabinet kerja tersebut diatas serta keuntungan dan
kekurangan masing-masing pilihan.
2. PEMBAHASAN
Penyebab kisruh yang terjadi antara dua menteri soal Blok Masela adalah terkait
hitungan investasi pembangunan kilang darat dan laut. Menurut Tim Fortuga (Forum
Angkatan Tujuh Tiga) ITB yang menjadi basis perhitungan Rizal Ramli berbeda dengan
Inpex dan Shell yang menjadi basis hitung Menteri ESDM Sudirman Said dan SKK Migas.
Fortuga menyatakan pembangunan kilang laut lebih mahal daripada di darat sedangkan Inpex
dan Shell sebaliknya. Saya sependapat dengan pernyataan yang dikemukakan Tim Fortuga
ITB yakni pembangunan kilang di laut akan mengeluarkan biaya lebih mahal dibandingkan
pembangunan kilang di darat. Hal ini bisa dilogika dengan mudah, sebagai contoh mudah,
apabila di darat kita tidak perlu menyiapkan pondasi yang sebegitu rumit dibandingkan jika
membangun pondasi di laut. Jika di darat, kita hanya cukup meratakan tanah kemudian tanah
tersebut dikeraskan dengan bantuan teknologi dan alat-alat canggih yang tersedia seperti
sekarang. Sedangkan apabila di laut, kita akan butuh uang lebih untuk membangun kapal
yang akan digunakan untuk pondasi peralatan di atasnya. Maka dari itu, saya sangat
menentang perhitungan Inpex dan Shell. Saya akan sangat setuju apabila kilang tersebut di
bangun di darat. Lantaran selain lebih murah, multiplier effect untuk masyarakat sekitar
sangat besar. Hitungan Fortuga untuk kilang darat berdasarkan pengalaman pembangunan 16
kilang darat (onshore) yang pernah ada di Indonesia. Fortuga mengklaim, Inpex dan Shell
telah mengecilkan angka investasi agar bisa mendapatkan kontrak tersebut. Sebenarnya Inpex
menginginkan pembangunan kilang dilakukan di darat, namun Inpex menginginkan untuk
pipanisasi ke Australia agar diolah disana. Saya setuju apabila kilang akan dibangun di tanah
Indonesia namun tidak untuk pipanisasi ke Australia, karena akan lebih menguntungkan
Australia daripada Indonesia sedangkan yang mempunyai cadangan gas tersebut adalah
Indonesia. Di sisi lain, Menko Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri ESDM Sudirman Said
tidak bisa mengganti investor di lapangan abadi Blok Masela, yaitu Inpex dan Shell. Menteri
tidak berhak mengganti investor di lapangan abadi itu seenaknya. Sebab yang berhak
mengganti hanyalah Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (SKK Migas). Selain itu, jika memang atasannya meminta agar Inpex dan Shell diganti,
maka sudah dipastikan akan terjadi perlawanan hukum dari investor tersebut. Apalagi Inpex
sudah aktif di Indonesia sejak tahun 1998. Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menemukan
cadangan migas di lokasi tersebut seluruhnya menggunakan uang investor. Pemerintah baru
akan membayarnya dengan cost recovery saat Blok Masela benar-benar telah berproduksi.
Kemenko Kemaritiman meyakini kekisruhan soal pemilihan skema pembangunan kilang
Blok Masela, Maluku tidak akan membuat dua existing investor Royal Dutch Shell dan Inpex
Corporation hengkang serta membatalkan investasinya di lapangan abadi tersebut.
Sebelumnya dikhawatirkan keributan antara dua menteri akan membuat operator itu pergi.
Apalagi Inpex Corporation memiliki saham 65% dan Royal Dutch Shell memiliki 35%. Sejak
memegang status sebagai operator lapangan gas abadi pada November 1998, Inpex telah
menyiapkan investasi paling tidak sebesar USD 14 Miliar untuk mengelola Blok Masela yang
memiliki potensi cadangan gas sebesar 10,7 TCF (Trillion Cubic Feet)
Perdebatan tentang blok Masela akhirnya berakhir setelah Presiden Joko Widodo
memutuskan jika pengelolaan proyek gas abadi blok Masela, di Kabupaten Maluku Tenggara,

Provinsi Maluku, dilakukan di darat (onshore). Atas keputusan itu, pemerintah memberi
kesempatan kepada investor dalam hal ini Inpex dan Shell untuk mengkaji ulang seluruh
usulan, meskipun hal ini membawa konsekuensi kemungkinan adanya penundaan
pembangunan proyek tersebut. Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membangun kilang
di darat dibandingkan di laut berdasarkan berbagai pertimbangan. Pertimbangan Presiden
salah satunya agar sumber daya alam tidak hanya digunakan untuk sumber devisa, tapi juga
harus memiliki industri turunan dan manfaat lain. Kelebihan onshore dibandingkan offshore
antara lain adalah pembangunan di onshore tidak hanya dipergunakan sebagai sumber devisa
dan adanya multiplier effect. Menurut Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli skema
offshore atau kilang terapung di laut hanya akan memberikan sumber devisa sebesar US$
2,52 miliar dolar tiap tahun. Tapi, dengan skema onshore, Rizal mengklaim pemerintah bisa
membangun Kota Maluku serta membangun pabrik pupuk dan petrokimia dan diperkirakan
bisa mendatangkan devisa sebesar US$ 6,5 miliar dolar setiap tahun. Kemudian multiplier
effect yang ditimbulkan dengan dibangunnya kilang di darat yaitu rakyat sekitar akan
membuka lapangan pekerjaan yang tidak berkaitan langsung dengan bidang pertambangan
seperti menjadi sopir taksi ataupun membuka warung makan atau restoran. Sehingga
diharapkan ekonomi Maluku dan sekitarnya akan lebih maju. Disamping memiliki kelebihan
tersebut diatas, dengan skema kilang di darat terdapat juga beberapa kekurangan antara lain
faktor lahan, infrastruktur gas dan fleksibilitas. Konsep Floating LNG sangat meminimalisasi
konflik lahan karena berada di laut. Sedangkan konsep LNG sangat besar kemungkinannya
terjadi konflik lahan. Infrastruktur gas juga menjadi kendala berikutnya, dengan
menggunakan skema kilang di darat maka dibutuhkan pipanisasi yang dianggap kurang
berkelanjutan dibandingkan dengan pembangunan kilang di laut. Kemudian fleksibilitas,
maksudnya setelah kontrak berakhir dengan konsep kilang di laut dapat dialokasikan ke
tempat lain, sedangkan kalau di darat susah untuk dipindahkan.
3. SIMPULAN
Pengembangan blok Masela menjadi perdebatan karena skema pengembangannya akan
dilakukan di onshore ataukah di offshore. Masing-masing skema perencanaan tersebut
memiliki kekurangan dan kelebihan. Skema pengembangan kilang di offshore akan
membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan pengembangan kilang di onshore, tapi
disisi lain skema pembangunan kilang di offshore tersebut telah disiapkan dan dipelajari
dengan sangat matang oleh para investor. Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli
kurang setuju apabila kilang LNG tersebut dibangun di laut, dikarenakan dampak yang akan
di akibatkan kurang begitu maksimal. Sebagai contoh apabila kilang dibangun di offshore
maka yang bekerja disana hanyalah orang-orang tertentu yang sudah mempunyai sertifikat
khusus kerja offshore, harus bisa berenang, dan sebagian besar harus berpendidikan tinggi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di Maluku, sumber daya manusia nya tidak terlalu pandai
dalam dunia migas, maka dari itu multiplier effect pada masyarakat sekitar akan sangat
kurang apabila kilang tersebut dibangun di laut. Beda halnya jika kilang tersebut dibangun di
darat. Efek yang akan ditimbulkan pada masyarakat sekitar pasti lebih banyak. Dengan
adanya hal tersebut maka perekonomian di daerah Maluku akan lebih meningkat. Sebagai
contoh masyarakat sekitar bisa menjadi sopir taksi apabila disana dibangun bandara, mereka
bisa menjadi sopir yang mengantarkan orang dari bandara menuju daerah kilang. Mereka
juga bisa membangun warung makan disekitar kilang untuk pekerja yang sedang makan pagi
ataupun siang. Mereka juga bisa melamar ke kilang onshore tanpa harus memiliki sertifikat
khusus, seperti menjadi tukang bersih-besih atau yang lainnya yang tidak memerlukan
keahlian khusus yang mendalam. Walaupun pada awalnya nanti, pembangunan blok Masela
di onshore akan mengakibatkan beberapa permasalahan seperti sulitnya pembebasan lahan

dan rumitnya perizinan perizinan yang terjadi. Namun semua itu bisa diatasi apabila ada
banyak dukungan dari masyarakat sekitar. Menurut saya, keputusan yang diambil oleh
presiden Joko Widodo sudah tepat untuk membangun kilang di darat. Saya akan sangat setuju
apabila kilang tersebut di bangun di darat. Lantaran selain lebih murah, multiplier effect
untuk masyarakat sekitar juga sangat besar. Jadi, kita tunggu saja pengembangan blok Masela
di tahun 2018, semoga dengan adanya proyek besar ini perekonomian di Indonesia bagian
timur tersebut bisa menyamai perekonomian di Indonesia bagian barat, pada akhirnya seluruh
Indonesia akan merasakan keuntungan dengan adanya proyek besar Masela, dan nantinya
Indonesia akan bisa merasakan apa yang dimaksud dengan ketahanan energi nasional.

Anda mungkin juga menyukai